�Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
� e-ISSN: 2548-1398
� Vol. 5, No. 10, Oktober 2020
�
RESPON TURKI TERHADAP TINDAKAN
DISKRIMINATIF PEMERINTAH CINA KEPADA ETNIS UIGHUR DI XINJIANG (2009-2015)
Zulkarnain dan Syifa Nur Ghonimah
Universitas
Nasional (UNAS) Jakarta, Indonesia
E-mail: [email protected] dan [email protected]
Abstract
This study aims to explain Turkey's response to
discriminatory acts committed by the Chinese government against ethnic Uighurs
in Xinjiang in 2009 - 2015. Discriminatory actions occur due to cultural
complexity in a country, one of which is China, which has committed
discriminatory actions against Uighurs. To find out the response given by Turkey,
the author uses the theory of foreign policy which has derivatives in the form
of Turkish foreign policy, the concept of discrimination, and the concept of
ethnicity. The research method used in this research is a qualitative research
method with a descriptive-analytic model. The result of this research is that
the Chinese government has committed human rights violations against ethnic
Uighurs as evidenced by the findings in the form of Chinese government policies
towards ethnic Uighur minorities, restrictions on access to education and
religion, and the construction of Uighur concentration camps. The historical,
cultural, and religious ties between the Proto Turks and the Uighurs became the
basis for Turkey to respond to China's discriminatory actions. To overcome
these problems, the Turkish government responded in the form of verbal
responses and non-verbal responses in addressing the problems that occurred to
the Uighurs in Xinjiang.
Keywords: Response; Turkish;
Discriminatory; Uighur Ethnicity
Abstrak
Penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan respon Turki terhadap tindakan diskriminatif yang
dilakukan oleh pemerintah Cina kepada etnis uighur di Xinjiang pada tahun 2009 - 2015.
Tindakan diskriminatif terjadi karena adanya kompleksitas budaya di sebuah
negara, salah satunya Cina yang telah melakukan tindakan diskriminatif kepada
etnis Uighur. Untuk mengetahui respon yang diberikan Turki, penulis menggunakan
teori kebijakan luar negeri yang memiliki turunan berupa politik luar negeri
Turki, konsep diskriminasi, dan konsep etnis. Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian kualitatif dengan model analitik deskriptif. Hasil
dari penelitian ini adalah pemerintah Cina telah melakukan pelanggaran hak
asasi manusia terhadap etnis Uighur terbukti dengan adanya temuan-temuan berupa
kebijakan-kebijakan pemerintah Cina kepada etnis Uighur minoritas, pembatasan
akses pendidikan dan agama serta pembangunan kamp konsentrasi uighur. Adanya
keterikatan baik secara historis budaya maupun agama antara etnis Proto Turki
dengan etnis Uighur menjadi dasar Turki memberikan respon terhadap tindakan
diskriminatif Cina. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah Turki
memberikan respon berupa respon verbal dan respon non-verbal dalam menyikapi
permasalahan yang terjadi kepada etnis Uighur di Xinjiang.
Kata kunci: Respon; Turki; Diskriminatif; Etnis Uighur.
Pendahuluan
�� Hak
asasi manusia (HAM) merupakan hak yang sudah melekat pada setiap individu
manusia bahwa manusia memiliki kesamaan dan kebebasan tanpa adanya perbedaan
baik dari segi agama, ras, pandangan politik, jenis kelamin maupun golongan.
Pelanggaran hak asasi manusia adalah perilaku menyimpang yang merugikan hak-hak
seseorang biasanya dilakukan oleh individu, kelompok bahkan negara. International Criminal Court (ICC)
mengkategorikan terdapat 4 bentuk pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan
kemanusiaan, kejahatan perang, tindakan agresi dan tindakan genosida (UN Office of the Hights Commisioner for
Human Rights). Tindakan
genosida adalah sebuah bentuk pemusnahan suatu kelompok atau etnis yang
dilakukan secara besar-besaran dan sistematis yang bertujuan untuk
menghilangkan keberadaan etnis dari sebuah negara. Tindakan diskriminatif yang
terjadi kepada etnis Uighur di Xinjiang merupakan bentuk dari pelanggaran hak
asasi manusia dilakukan oleh negara kepada warga negaranya.
�� Keberadaan
sebuah etnis di dalam negara merupakan bentuk dari adanya karateristik sosial
budaya sehingga sudah menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan
perlindungan kepada warga negaranya dari tindakan diskriminatif. Namun kenyataannya, saat
ini negara justru menjadi pelaku utama yang melakukan tindakan diskriminasi
kepada warga negara minoritas atau etnis minoritas karena adanya perbedaan
budaya yang mendasar. Adanya kesenjangan sosial, ekonomi, pendidikan, budaya bahkan
agama menjadi pelopor terjadinya tindakan diskriminasi yang dilakukan negara
kepada warga negaranya. Oleh karena itu negara sudah dianggap sebagai pelaku
pelanggaran HAM berat yang menuju pada impunitas.
Tindakan diskriminatif dapat terjadi
karena adanya konflik internal yang pada akhirnya menjadi pemicu adanya
tindakan-tindakan diskriminasi negara, salah satunya Cina. Seperti yang �diketahui� bahwa
Cina merupakan negara dengan kekuatan ekonomi yang baik saat ini, tetapi tidak
terlepas dari konflik internal negaranya yang dapat menghambat pertumbuhan dari
negara Cina tersebut. Konflik internal ini dapat berkembang dari yang awalnya
berupa konflik intra-state dapat
menjadi konflik inter-state (Karisma, 2016). Konflik internal yang
berkembang akan mempengaruhi stabilitas keamanan tidak hanya untuk Cina tetapi
juga untuk negara tetangga yang secara geopolitiknya berdekatan. Konflik yang
terjadi pada etnis Uighur di Xinjiang termasuk ke dalam Low Intensity Conflict (LIC) dimana terdapat peran elit politik
yang menargetkan etnis minoritas demi mencapai kepentingan politik sesuai
dengan ideologi negaranya tersebut.
Etnis Uighur atau Xinjiang Uighur Autonomous Region (XUAR) adalah etnis minoritas di
Cina yang beragama Islam dengan aliran Sunni. Etnis Uighur merupakan keturunan
dari etnis Proto Turki dimana terdapat kesamaan bahasa dan budaya, sehingga
mengganggap bahasa Cina adalah bahasa asing. Etnis Uighur menempati wilayah
Xinjiang yang berlokasi di sebelah barat Cina yang berbatasan langsung dengan
negara Kazakhstan dan Kyrgistan (Hidayat, 2013)
Pada tahun 1940 (The Uyghur American Association) Turkestan Timur adalah sebuah
negara merdeka yang memiliki geografi beragam seperti pegunungan, gurun, sungai
dan sumber daya alam yang melimpah. Dahulu kala Turkestan Timur ditempati oleh
etnis yang berasal dari Asia Tengah seperti etnis Uighur, etnis keturunan
Kazakhstan, Kyrgistan, Uzbekistan dan Tajikistan. Karena letaknya yang
strategis sehingga membuat wilayah ini menjadi tempat yang sangat strategis
bagi pertukaran ekonomi maupun budaya. Kemudian pada tahun 1876 terjadi invasi
yang dilakukan oleh Dinasti Qing Manchu Cina untuk menaklukkan wilayah Xinjiang
yang pada akhirnya Xinjiang menjadi bagian dari wilayah Cina. Semenjak bergabungnya
wilayah Turkestan Timur atau yang saat ini dikenal dengan nama Xinjiang, sistem
pemerintahan berubah menjadi komunis dan adanya keterbatasan akibat perbedaan
budaya yang ada. Etnis Uighur harus bertahan hidup secara budaya dari derasnya
arus globalisasi karena perbedaan etnis.
Xinjiang dianggap sebagai salah satu �kawasan otonomi�
di Cina di bawah pemerintahan komunis Cina. Provinsi Xinjiang membangun
perekonomian dengan sangat pesat karena terbantu dari sektor infrastruktur.
Sejak masuknya wilayah Xinjiang ke Cina, pemerintah Cina berfokus untuk
melakukan population balance atau
keseimbangan populasi antara etnis Uighur dan etnis Han. Dikarenakan adanya
program keseimbangan populasi dan sulitnya menerima heterogenitas budaya,
pemerintah Cina melakukan berbagai tindakan diskriminatif.
Etnis adalah sekelompok masyarakat yang
memiliki persamaan secara karakteristik kesamaan atas identitas sosial,
identitas kebudayaan, bahasa bahkan agama. Etnis merupakan bentuk dari
identifikasi sosial yang terjadi di masyarakat. Aspek lainnya yang dapat
dikategorikan sebagai pengelompokkan etnis dapat dilihat dari kilas balik
sejarah keberadaan etnis tersebut, kilas balik nenek moyang, simbol-simbol
budaya, bahasa khas yang digunakan hingga tradisi. Selain itu kesamaan agama,
kesamaan biologis hingga faktor historis menyebabkan adanya ikatan etnisitas
yang kuat. Ikatan etnisitas inilah yang mampu menyatukan orang dari berbagai
belahan dunia sekalipun apabila memiliki historis etnis yang sama, maka sudah
sewajarnya untuk memberikan dukungan dan bantuan terhadap etnis yang dilanggar
hak asasinya. Hal ini yang terjadi terhadap etnis Proto Turki yang memiliki
keserumpunan dengan etnis Uighur di Xinjiang Cina.
Dalam penelitian ini, etnis Proto Turki
memiliki kesamaan historis sosial budaya dan agama dengan etnis Uighur di
Xinjiang. Ikatan etnisitas yang melatarbelakangi adanya keterkaitan antara
pemerintah Turki dengan etnis Uighur. Sehingga memunculkan reaksi berupa respon
yang diberikan secara resmi oleh pemerintah Turki kepada pemerintah Cina. Hal
ini sejalan dengan kebijakan luar negeri Turki yang menganut sistem aktif dan
humanis. Kebijakan luar negeri (Amstutz, 2013) merupakan sebuah konsep
yang terdiri dari pemikiran-pemikiran untuk mencapai sebuah kepentingan
nasional negara. Kebijakan luar negeri bersifat dinamis untuk mengikuti
perkembangan ekonomi sosial politik dunia.�
Kebijakan luar negeri Turki mengalami
perkembangan yang sangat signifikan. Pada awalnya, Turki merupakan negara yang
menganut sistem pemerintahan sekuler pada kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk.
Pada masa kepemimpinan Mustafa Kemal, agama menjadi poros utama yang memiliki
ruang khusus di bawah pengaruh negara. Selain itu, militer menjadi kekuatan
utama di dalam pemerintahan yang kemudian dipercaya untuk menjaga dan
melanjutkan enam (6) prinsip Kemalisme yang pada saat itu berkuasa. 6 prinsip
kemalisme diantaranya: nasionalisme, sekularisme, popular sovereignty atau populisme, etatisme dan revolusionisme (Alfian, 2018)
Setelah selesainya masa pemerintahan
sekulerisme Turki, dan keinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa yang
diharuskan negara anggotanya menganut sistem pemerintahan demokrasi membuat
Turki beralih menjadi negara yang demokrasi. Para politisi Islam dengan
ideologi Islamisme membentuk partai AKP (Adalet
Ve Kalkinma Partisi), Partai Keadilan dan Pembangunan yang mendapatkan
apresiasi dari masyarakat Turki. Semenjak berkuasanya AKP dan Erdogan,
perkembangan Turki terlihat sangat pesat. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, kebijakan luar negeri sebuah negara dipengaruhi faktor internal dan
eksternal, begitupun Turki (Juanidi, 2016)
Kebijakan luar negeri Turki tidak terlepas
dari adanya kepentingan nasional Turki sendiri. Keberpihakan Turki untuk
membantu negara-negara Islam yang berkonflik membuktikan bahwa ideologi
Islamisme masih sangat erat kaitannya dengan Turki. Hal ini membuat Turki
menjadi negara tujuan para aktivis Islam di negara berkonflik untuk membentuk
sebuah gerakan kerja sama. Ini merupakan salah satu alasan mengapa Turki ingin
membantu melepaskan penderitaan yang diterima oleh etnis Uighur di Xinjiang
Cina.
Kebijakan luar negeri Turki
yang aktif yakni turut berperan aktif dalam menjaga stabilitas dan keamanan
kawasan, penguatan hubungan kerja sama strategis, perluasan jaringan investasi
dan perdagangan serta keamanan energi dan peningkatan diplomasi �soft power� Turki.� Sedangkan kebijakan luar negeri humanis yang
dimaksud yakni memberikan bantuan terhadap negara yang terlibat kasus hak asasi
manusia, menampung pengungsi Suriah dan etnis Uighur, memperkuat kerja sama
dalam memberantas terorisme, bekerja sama dengan negara lain dan bergabung di
dalam organisasi internasional. Sebagai catatan penting dari beberapa hasil
penelitian sebelumnya diungkapkan �(Laylia, 2018) Tekanan yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap
etnis Uighur dan banyaknya korban yang jatuh dalam kerusuhan memunculkan reaksi
dari public dan pemerintah Turki. Bahkan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah
Cina terhadap etnis Uyghur dan banyaknyakorban yang jatuh dalam kerusuhan
memunculkan reaksi dari publik dan pemerintah Turki (Felicia Amelia, n.d.). Alasan penelitian ini dilakukan
untuk mengkaji sejauhmana penyebab konflik kedua negara dilihat dari persfektif
kepentingan negara. Adapun tujuan penelitian ini mengaitkan faktor-faktor
afektif yang mempengaruhi sikap Turki terhadap etnis Uyghur yang mendiami
wilayah Xinjiang dan hubungan Turki serta hubungannya dengan Cina. Sehingga
manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan, pemikiran dan
memberikan konsep-konsep, teori-teori terhadap studi Hubungan Internasional,
serta sebagai referensi atau sumber dan bahan kajian tambahan bagi pihak lain
yang ingin memperluas kajian ilmu Hubungan Internasional.
Metode Penelitian
Pendekatan metode kualitatif dalam tulisan ini dilakukan untuk mengeksplorasi berbagai persfektif permasalahan sosial (Creswell, n.d.) dengan data tracing yang diigunakan untuk mendukung analisis fenomena masalah melalui temuan fakta-fakta berita (Kim et al., 2011). Penelitian tracing melewati beberapa langkah-langkah metodologi seperti
pencarian data sesuai dengan topik penelitian, pengumpulan data, pengolahan
data dan penginterpretasian data dengan metode ilmiah. Hasil analisis yang
sudah disusun sesuai dengan metode alamiah kemudian diolah menjadi sebuah
laporan atau karya tulis ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk memahami
fenomena-fenomena yang terjadi dengan cara yang sistematis. Teknik pengumpulan
data yang digunakan dengan library
research atau studi kepustakaan seperti buku, jurnal ilmiah, artikel
ilmiah, penelitian terdahulu yang memiliki relevansi data dan portal berita.
Hasil dan
Pembahasan
Pendapat dari Brown, mengidentifikasikan empat faktor sebagai
penyebab konflik internal, diantaranya, pertama, structural factors misalnya
karena lemahnya legitimasi politik, kedua, political factors misalnya
diskriminasi politik, civic nationalism, dan ethnic nationalism, ketiga,
economic/social factors yaitu menyangkut masalah ekonomi ataupun diskriminasi
sistem ekonomi, keempat, cultural/perceptual factors misalnya adanya
diskriminasi budaya atau mengucilkan kaum minoritas.
Masalah konflik internal ini menjadi sangat penting karena pada titik
tertentu konflik internal yang bisanya bersifat intra state dapat berkembang
menjadi konflik inter state. Dalam konteks Cina, konflik intra state yang sulit
diselesaikan cenderung akan mengundang keterlibatan actor diluar negara yaitu
negara tetangga China seperti Asia Selatan dan Tengah. Beberapa isu yang memicu
konflik dengan negara tetangga misalnya yang berkaitan dengan isu penyelundupan
senjata maupun masalah pengungsi. Hal tersebut akhirnya dapat merusak hubungan
antar negara yang bertetangga. Selain itu, konflik internal Cina yang bisa
berkembang menjadi interstate juga turut menyebabkan kerentanan instability
terutama bagi kawasan yang secara geopolitik berdekatan, seperti Asia Tenggara
dan khususnya Indonesia. Alhasil dalam penelitian ini ditermukan manfaat
informasi baru jikalau konflik internal di Cina sebetulnya bukan merupakan
konflik yang cukup besar di level konflik etnis duia.
A.
Bentuk-Bentuk Tindakan
Diskriminatif Pemerintah Cina Kepada Etnis Uighur di Xinjiang
1.
Program Migrasi etnis Han
Pada 1950-an pemerintah Cina membuat program
migrasi etnis Han ke wilayah Xinjiang, etnis Han yang berasal dari Cina bagian
Timur kemudian mendapatkan pekerjaan yang diberikan kekuasaan tinggi (Human
Rights in China). Sedangkan etnis Uighur yang sudah lama tinggal di Xinjiang
hanya menjadi penduduk kelas buruh (pekerja kasar) yang mendapat penghasilan
minim dan penghidupan yang tidak layak. Program migrasi ini bukan hanya memindahkan penduduk saja, tetapi juga
mengambil alih posisi di pemerintahan. Sehingga hanya keturunan etnis Han yang
dapat bekerja di bagian pemerintahan. Hal ini sejalan dengan prinsip
monokultural Cina yang hanya mengizinkan warga negara yang fasih berbahasa Cina
yang dapat bekerja di bagian pemerintahan.
2.
Kebijakan monokultural Cina
Kebijakan monokultural adalah kebijakan dimana
di dalam sebuah negara hanya diizinkan memiliki budaya, bahasa dan identitas
yang sama. Monokultural pada prinsipnya tidak menerima adanya perbedaan dan
keberagaman budaya atau bahasa. Monokultural dimaksudkan untuk meningkatkan
rasa nasionalisme terhadap negara. Kebijakan monokultural juga yang membuat adanya
perbedaan-perbedaan spesifik antara etnis Uighur dengan etnis lainnya. Tidak
dapat menerima heterogenitas budaya, membuat pemerintah Cina terus melakukan
tindak diskriminasi kepada etnis Uighur.
3.
Pelarangan kegiatan beragama
Pemerintah Cina membuat peraturan lanjutan yang
diresmikan pada 23 Agustus 1999 yang isinya jelas tentang pembatasan kegiatan
beragama, memberikan sanksi bagi warga yang ketahuan melakukan ibadah, melarang
kegiatan beribadah seperti salat atau puasa, menghancurkan beberapa bangunan
masjid di Xinjiang dan menonaktifkan masjid-masjid dari fungsinya. Dilakukan
alih fungsi masjid yang seharusnya digunakan untuk beribadah, saat ini dikelola
pemerintah dan dijadikan museum sejarah. Walaupun dijadikan museum, baik warga
maupun turis dilarang memotret di sekitar masjid.
4.
Pengendalian kelahiran atau birth control
Kebijakan satu anak melalui kebijakan satu anak
atau yang dinamakan one child policy, hal ini
terdapat pada Peraturan Keluarga Berencana dan mulai diberlakukan sejak tahun
1980. Kebijakan satu anak mewajibkan setiap keluarga hanya memiliki satu anak
saja, apabila melanggar maka akan diberikan sanksi berupa aborsi paksa,
sterilisasi dari kehamilan, pemutusan hubungan kerja dan denda. Kontrol atas
kelahiran ini tentu saja berakibat besar terhadap keberlangsungan hidup
masyarakat khususnya etnis Uighur, dimana dilarang untuk meregenerasi keturunan
Uighur yang akan menyebabkan semakin terpojok dan minoritas di Xinjiang.
5.
Pembatasan
kurikulum pendidikan
Pembatasan yang dilakukan bertujuan untuk
menghilangkan nilai dan budaya Turki yang terdapat di dalam sejarah etnis
Uighur. Sehingga etnis Uighur tidak dapat mempelajari nilai budaya dan bahasa
leluhurnya dan berfokus pada nilai-nilai komunisme Cina. Di dalam
merealisasikannya, pemerintah Cina mewajibkan menggunakan bahasa Cina melarang adanya
pembelajaran yang berkaitan dengan bahasa Uighur, bahasa Turki, sejarah etnis
Uighur dan budaya-budaya Uighur.
6.
Program
Pengumpulan Deoxyribo Nucleic Acid
(DNA)
Program pengumpulan DNA (Wee, 2019) adalah program yang digalakkan pemerintah Cina untuk mengumpulkan hasil
tes DNA seluruh warga Uighur yang setidaknya terdapat dua belas juta jiwa etnis
Uighur di Xinjiang. Tes kesehatan ini wajib dilakukan oleh seluruh warga etnis
Uighur tanpa terkecuali. Rangkaian tes yang dilakukan dengan mengumpulkan
sampel darah, melakukan pemindaian wajah, melakukan perekaman suara, melakukan
pengumpulan sampel sidik jari dan perekaman iris mata. Sampel DNA yang
diperoleh kemudian diteliti dan didata di kepolisian Cina untuk
menghubungkannya ke database
kependudukan Xinjiang. Program Pengumpulan DNA ini dapat digunakan oleh
pemerintah Cina untuk mengontrol segala aktivitas yang dilakukan etnis Uighur
di Xinjiang hanya melalui smartphone.
7.
Kamp
konsentrasi Uighur
Kamp konsentrasi adalah kamp khusus yang berada di dekat Kota Dabancheng, Bagian Barat Cina. Pada tahun 2014, Pemerintah Cina membuat Kampanye Strike Hard dengan tujuan untuk melawan aksi terorisme di Xinjiang. Kampanye ini menargetkan orang-orang yang tinggal di Xinjiang, tidak terkecuali etnis Uighur karena dianggap sebagai �ancaman� dan dikhawatirkan akan melakukan aksi-aksi yang merugikan dan mengancam keamanan Cina. Aksi penangkapan dilakukan secara resmi oleh pemerintah Cina dan menahannya di kamp konsentrasi (Watch, 2015)
Para warga yang ditahan
di dalam kamp konsentrasi diwajibkan untuk berlari dan melakukan push-up selama kurang lebih 12 jam.
Selain itu, etnis yang ditahan juga diwajibkan untuk bekerja menjadi buruh
pabrik di pabrik tekstil yang berada di dalam komplek kamp tersebut. Tindakan
pelanggaran lainnya berupa melarang seluruh kegiatan beragama di dalam kamp,
melarang penggunaan hijab bagi wanita, melarang membaca kitab suci dan dipaksa
untuk menyanyikan lagu kebangsaan Komunis dan diwajibkan mempelajari nilai-nilai
komunisme. Apabila terjadi pelanggaran di dalam kamp, maka akan mendapatkan
hukuman berupa penyiksaan yang berujung pada penghilangan nyawa seseorang (International, 2018).
Beberapa titik kamp konsentrasi di Xinjiang Cina, sebagaimana terlihat
dalam gambar berikut:
Gambar 1
Peta Kamp
Konsentrasi Xinjiang Cina
B.
Ikatan
Etnisitas Antara Etnis Proto Turki dan Etnis Uighur
Kesamaan ikatan etnis
dapat menjadi salah satu motif utama terjadinya intervensi suatu negara
terhadap konflik etnis di negara lain. Tindakan sebuah negara untuk melakukan
intervensi maupun diplomasi dapat dilihat dari berbagai faktor dan motivasi
negara tersebut. motivasi afektif (affective
motivation) adalah motivasi yang dilihat dari adanya kesamaan sejarah, asal
muasal, budaya, agama dan bahasa di dalam suatu etnis. Adanya motivasi-motivasi
tersebut, dan diperkuat dengan ikatan etnis yang terjalin, sebuah negara tetap
akan mempertahankan kepentingan nasionalnya di atas ikatan etnis yang ada.
Karena apabila negara melakukan bantuan atau intervensi yang berlebihan, tentu
saja akan merugikan negara nya sendiri. Jika negara sudah menganggap bahwa
bantuan yang diberikan sudah merugikan negara, maka negara akan secara
perlahan-lahan menarik diri dari konflik etnis tersebut untuk tetap menjaga
keamanan dari sektor ekonomi maupun politik negaranya.
Jika dilihat dari ikatan
etnisitas yang terjadi antara etnis Uighur dengan etnis Proto Turki, maka dapat
dikategorikan ke dalam tindakan diplomasi yang dilakukan pemerintah Turki
dengan pemerintah Cina. Apabila dilihat dari motivasi yang terjadi, maka dapat
dikategorikan di dalam motivasi afektif karena ikatan etnisitas antara etnis
Uighur dengan proto Turki dilihat dari persamaan sejarah dan budaya yang ada.
Persamaan ikatan etnisitas ini menimbulkan rasa kesamaan primordialisme.
Primordialisme adalah sebuah pandangan yang memegang teguh hal-hal yang
berkaitan dengan kesamaan asal-usul, adat-istiadat dan rasa kepercayaan nenek
moyang. Rasa kekeluargaan yang besar karena adanya persamaan bangsa mempererat
ikatan etnis Uighur dengan proto Turki.
Etnis Uighur dengan etnis
Proto Turki memiliki nilai historis yang sama karena berasal dari keturunan
suku yang sama. Hubungan antara kedua etnis memang sudah ada sejak Kerajaan
Turki berkuasa di Asia Tengah, dan biasa disebut dengan Klan Turki Uyghur. Klan
Turki Uyghur ini adalah sekelompok orang yang memang keturunan dari Turki dan
Uighur. Klan Turki Uighur yang merupakan salah satu dari sekian banyak klan
yang berasal dari Kerajaan Turki. Klan Turki Uighur ini juga yang membentuk
Kekaisaran Uighur dan membawa Kekaisaran tersebut di dalam masa kejayaan.
Klan Turki Uighur umumnya
berlokasi di sepanjang jalan sutera seperti Urumqi, Kashgar dan Turfan yang
berada di wilayah pegunungan Altaic atau saat ini disebut dengan Xinjiang. (Sloan, 1985) Orang-orang yang berdiam
diri di wilayah Xinjiang disebut dengan Qarakhan, percampuran etnis ini yang
menjadi etnis Uighur saat ini di Xinjiang Cina.
Dari bahasa yang
digunakan, baik etnis Proto Turki maupun etnis Uighur keduanya menggunakan akar
bahasa Chaghatay yang memang sudah
digunakan di hampir seluruh Asia Tengah pada saat itu. Akar dari Chaghatay tersebut berkembang menjadi
bahasa old turkic dengan aksen huruf
Arab. Tentu saja budaya yang terdapat di kedua etnis terlihat sangat identik
karena memang asal-muasal keduanya berasal dari induk suku yang sama. Mulai
dari suara musik, alat musik yang digunakan seperti Dutar, pakaian adat yang
memiliki aksen ornamental Turki dan Uighur dengan warna merah ataupun
tari-tariannya.
C.
Respon
Turki Terhadap Tindakan Diskriminatif Pemerintah Cina Kepada Etnis Uighur
Hubungan bilateral yang
terjalin antara Turki dengan Cina telah berlangsung sejak lama. Walaupun pada
tahun 2009, hubungan ini sempat renggang karena kecaman yang diberikan
pemerintah Turki terhadap pemerintah Cina yang telah melakukan tindakan
diskriminasi kepada etnis Uighur di Xinjiang. Kecaman ini meluas hingga
pemerintah Turki memboikot produk-produk Cina yang berada di pasar Turki. Namun hubungan antara Turki dengan
Cina membaik pada September 2010 ditandai dengan adanya latihan militer bersama
antara kedua negara.
Beberapa hari setelah
dilakukannya latihan militer bersama, Perdana Menteri Cina Wen Jiabao melakukan
kunjungan resmi di Istanbul Turki untuk membahas beberapa hubungan kerja sama
keduanya diantaranya di bidang militer, pertahanan dan ekonomi. Komitmen kedua
negara untuk melanjutkan hubungan bilateral ditandai dengan kesepakatan kerja
sama yang menetapkan biaya senilai USD $50 juta pada tahun 2015 dan USD $100
juta pada tahun 2020. Kunjungan
resmi yang dilakukan Perdana Menteri Cina mendapatkan respon baik dengan
dilakukannya kunjungan balik dari Kementerian Luar Negeri Turki menuju Cina.
Kunjungan ini dilakukan pada 28 Oktober 2010 oleh Menteri Luar Negeri Turki,
Ahmet Davutoglu yang menyampaikan rencana penambahan kantor konsulat Turki di
Cina dan bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan investasi di kedua negara (Kılı� & Baş, 2010).
Hubungan kerja sama yang
terjalin diantara kedua negara semakin terlihat jelas ketika pemerintah Turki
membeli rudal jarak jauh untuk menjaga perbatasan Turki dengan Suriah. Kemudian
di bidang ekonomi, Turki resmi tergabung di dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada 23 Maret 2011 (Mustafa, 2016) SCO merupakan organisasi
kerja sama antarpemerintah di wilayah Asia Tengah yang berfokus pada sektor
perekonomian, pertahanan dan keamanan untuk meningkatkan keamanan dan
stabilitas regional. Kerja sama ekonomi merupakan aspek yang sangat penting dan
krusial terhadap kemajuan sebuah negara.
Seiring dengan
perkembangan prinsip diplomasi, strategi diplomasi multidimensi yang diterapkan
pemerintah Cina dan Turki lebih meluas dengan adanya kerja sama di bidang
pertahanan. Walaupun sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari bayang-bayang isu
kemanusiaan yang terjadi terhadap etnis Uighur di Xinjiang yang merupakan etnis
keturunan dari Turki. Selain adanya kerja sama yang dilakukan antara Turki
dengan Cina, terdapat respon resmi dari pemerintah Turki diantaranya :
1. Respon
Verbal. Respon verbal merupakan bentuk dari respon langsung yang biasanya
terdiri dari pernyataan-pernyataan para petinggi negara terkait dengan isu yang
terjadi. Terdapat tiga (3) respon verbal yang diberikan Turki kepada Cina
yaitu:
a. Pernyataan
pemerintah Turki terkait dengan tindakan diskriminatif Cina kepada etnis Uighur
Pernyataan ini diberikan
secara resmi oleh Erdogan pada 10 Juli 2009 yang menyebutkan rasa keprihatinan
atas diskriminasi yang diterima oleh etnis Uighur di Xinjiang. Di dalam
pernyataannya, Erdogan meminta kepada negara-negara Organisasi Konferensi Islam
(OKI) untuk membantu melindungi etnis Uighur di Xinjiang, meminta pemerintah
Cina untuk menutup kamp konsentrasi karena dianggap melanggar hak asasi
manusia. Selain itu juga Erdogan mengancam akan membawa isu etnis Uighur ke
dewan HAM PBB.
Melalui pernyataan dari
Menteri Luar Negeri Turki, Hami Aksoy pada 9 Februari 2019, menyebutkan bahwa
kebijakan asimilasi yang dilakukan pemerintah Cina kepada etnis keturunan Turki
Uighur di Xinjiang Cina memalukan bagi kemanusiaan. Hal ini dikarenakan� etnis Uighur yang dimasukkan ke dalam
kamp-kamp konsentrasi menerima kekerasan baik secara fisik maupun non-fisik.
Kegiatan di dalam kamp yang disebut sebagai kamp pendidikan ulang berusaha
untuk melakukan doktrin komunisme dan menghilangkan agama dari etnis Uighur.
Tidak hanya pemerintah Turki yang mengecam aksi pemerintah Cina kepada etnis
Uighur, beberapa aktivis, masyarakat dan media massa juga turut serta di dalam
memberikan pernyataan-pernyataan kecaman kepada pemerintah Cina. Pernyataan ini
bertujuan supaya tidak ada lagi diskriminasi dan tindakan yang melanggar hak
asasi manusia yang dilakukan pemerintah Cina kepada etnis Uighur di Xinjiang.
Sejak pernyataan resmi ini, hubungan Turki dengan Cina sudah merenggang.
b. Kunjungan
Kenegaraan antara Pemerintah Turki dengan Pemerintah Cina
Pada tahun 2009 hubungan
Turki dengan Cina sempat memburuk, namun pada September dan Oktober tahun 2010,
hubungan kedua negara telah membaik. Hal ini terlihat dari kegiatan latihan
militer bersama antara Turki dan Cina yang dilakukan di markas pasukan udara
Konya. Hubungan membaik ini juga terlihat dari kunjungan resmi Perdana Menteri
Cina, Wen Jiabao yang menyambangi Turki pada 7 Oktober 2010. Beberapa bulan
kemudian Kementerian Luar Negeri Turki melakukan kunjungan kenegaraan ke Cina
yang diwakili oleh Ahmet Davutoglu. Pertemuan ini fokus membahas tentang
rencana Turki untuk menambah kantor konsulat di Cina dan perkembangan investasi
antara Cina dengan Turki.
Pada 8 April tahun 2012,
terjadi kunjungan kenegaraan yang dilakukan Turki maupun Cina, keduanya
menyatakan komitmen untuk saling mendukung kebijakan-kebijakan yang ada di
negara tersebut dan Turki berkomitmen untuk membantu menumpas gerakan yang
termasuk ke dalam separatisme dan terorisme. Pada tahun 2015, Presiden Erdogan
mengunjungi Cina untuk melakukan kunjungan kenegaraan yang membahas tentang
hubungan kerja sama ekonomi, politik dan militer antara Turki dengan Cina.
Kunjungan ini tidak luput dari pembahasan diskriminasi kepada etnis Uighur di
Xinjiang.
Kunjungan ini untuk
melanjutkan proyek-proyek kerja sama yang telah terjalin sebelumnya. Hubungan
kerja sama antara Turki dan Cina membawa dampak baik bagi perekonomian kedua
negara karena menjadi penghubung antara wilayah Asia dengan Eropa. Sejak
periode 2009, Turki merupakan salah satu dari negara tujuan impor Cina.
c. Kebijakan
Anti-Cina di Turki
Pada tahun 2009, setelah
terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan beberapa aktivis Turki dan
masyarakat Turki di depan gedung Kedutaan Besar Cina di Ankara Turki, yang
menuntut adanya respon dan bantuan Turki untuk membantu etnis Uighur di
Xinjiang dari perlakuan diskriminasi Cina. Pemerintah Turki akhirnya membuat
kebijakan anti-Cina.
Kebijakan anti-Cina ini awalnya dinyatakan
oleh Menteri Perdagangan dan Industri Turki, Nihat Ergun yang memboikot
produk-produk yang berasal dari Cina dan melarang masyarakat Turki untuk
menggunakan atau membeli barang buatan Cina. Menteri Perdagangan dan Industri
juga menyebutkan apabila masyarakat Turki tetap menggunakan dan membeli
produk-produk dari Cina maka dianggap tidak menghormati nilai kemanusiaan.
2. Respon
Non-Verbal. Respon non-verbal merupakan bentuk dari respon tidak langsung yang
biasanya terdiri dari tindakan-tindakan negara terkait dengan isu yang terjadi.
Terdapat tiga (3) respon non-verbal yang diberikan Turki kepada Cina yaitu:
a. Aksi
Demonstrasi Masyarakat Turki
Pada Juli 2009, terjadi
kerusuhan besar-besaran di Xinjiang yang telah menelan korban jiwa yakni etnis
Uighur. Kerusuhan ini terjadi antara etnis Uighur dengan etnis Han di Xinjiang.
Kerusuhan didasari oleh aksi militer yang dilakukan pemerintah Cina kepada
demonstran yang sedang melakukan demonstrasi di Xinjiang untuk menuntut hak-hak
kebebasan dari diskriminasi. Kerusuhan besar ini terdengar hingga Turki,
sehingga Perdana Menteri Erdogan saat itu mengecam tindakan pemerintah Cina dan
menganggap pemerintah Cina melakukan aksi genosida yang bertujuan untuk
menghilangkan etnis Uighur dari Xinjiang. Oleh karena itu, masyarakat Turki
merasa tidak terima terhadap perlakuan diskriminasi yang dilakukan pemerintah
Cina kepada etnis Uighur dan melakukan aksi demonstrasi di Ankara dan Istanbul.
Aksi demonstrasi ini
dibentuk oleh The East Turkestan
Education and Solidarity Associaction (ETESA) yang diikuti oleh partai sayap kanan Turki, organisasi pemuda The Great Unity Party (GUP) atau B�y�k Birlik Partisi (BBP) dan
organisasi Alperen Ocaklari (Laylia, 2018) Massa demonstrasi yang
bergabung setidaknya 10.000 orang (Antara News, 2009). Aksi ini didukung oleh
masyarakat Turki, para aktivis dari berbagai lembaga dan partai salah satunya
Seyit Tumturk kepala Majelis Nasional Turkistan Timur, para tokoh-tokoh agama
di Turki dan Uighur, pemerintahan Turki dan media massa di Turki. Media massa
yang turut memberikan kecaman dan reaksi keras diantaranya Bugun, Nizli Illicak
dan Hurriyet.
b. Pemerintah
Turki Menerima Pengungsi Uighur
Kementerian Luar Negeri
Turki menyatakan bahwa Turki selalu siap untuk menerima warga Uighur yang ingin
mengungsi dari Cina. Pemerintah Turki terus mengupayakan untuk memberikan
bantuan-bantuan kepada etnis Uighur. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya
bantuan dari LSM atau organisasi yang ingin membantu etnis Uighur di Xinjiang.
Pengungsi Uighur mendapatkan akses bebas untuk masuk ke negara Turki,
mendapatkan pendidikan yang setara, mendapatkan perhatian khusus dan diberikan
bantuan baik secara moral maupun materiil.
Laporan data pada Juli tahun
2015 (Radio Free Asia) menyebutkan terdapat 173
warga etnis Uighur yang telah tiba di Istanbul Turki. Pengungsi ini sampai di
Turki pada 30 Juni 2015.� Pengungsi ini
berasal dari Thailand dimana mereka melakukan pengungsian dan pergi meninggalkan
Cina, kemudian pemerintah Turki datang untuk memberikan bantuan kepada etnis
Uighur. Bantuan ini murni didasari oleh ikatan primordialisme karena memiliki
ikatan budaya dan sejarah yang sama.
Seyit Tumturk, Kepala
Majelis Nasional Turkistan Timur melaporkan terdapat 173 warga Uighur yang
sampai di Istanbul pada hari Selasa. Mayoritas pengungsinya adalah anak-anak
dan wanita, terdapat setidaknya 120 anak-anak dan 50 wanita yang mengungsi ke
Istanbul. Pengungsi tersebut berasal dari Thailand yang telah berada di
Thailand sejak Maret tahun 2014. Sedangkan pada Januari, Turki telah menerima
pengungsi lebih dari 500 warga Uighur. Jalur yang dilewati etnis uighur
sebagaimana gambar berikut :
Gambar 2
� Jalur Pengungsi Etnis Uighur
c. Latihan
Militer Gabungan antara Cina dan Turki
Hubungan antara Turki
dengan Cina membaik ditandai dengan adanya latihan militer gabungan yang
dilakukan Cina dan Turki. Latihan militer ini merupakan latihan gabungan
angkatan udara yang pertama kali melibatkan negara Cina dengan negara anggota North Atlantic Treaty Organization
(NATO) yaitu Turki. Latihan militer dilakukan pada 20 September sampai 4
Oktober 2010 di Pangkalan Udara Konya, Anatolia Turki Tengah. Tentara Cina yang
terlibat merupakan Chinese People�s
Liberation Army atau Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).
D.
Masa
Depan Etnis Uighur di Xinjiang
Xinjiang merupakan sebuah
wilayah di bagian Barat Cina yang saat ini sudah termasuk ke dalam kawasan
Otonomi Cina. Alasan Cina ingin menjaga wilayah Xinjiang karena sumber daya
alam yang melimpah berada di Xinjiang. Xinjiang merupakan wilayah kedua
terbesar yang menyimpan stok batu bara bagi Cina. Selain batu bara,
perkembangan perekonomian yang sangat pesat juga terjadi di Xinjiang. Lahan
yang luas dimanfaatkan untuk membangun perusahaan-perusahaan tekstil di wilayah
Xinjiang. Selain itu rempah-rempah yang terdapat di Xinjiang juga sangat
melimpah sehingga Cina berusaha untuk menguasai Xinjiang dengan memindahkan
etnis Han ke Xinjiang.
Xinjiang juga merupakan
jalur perdagangan yang strategis karena menghubungkan wilayah Asia Timur dengan
Asia Tengah dan Eropa. Hal ini dinilai sebagai kawasan strategis untuk
melakukan perdagangan ekspor impor negara dan akan memberikan dampak yang
positif. Memang sejak jaman Kekaisaran Uighur berdiri, Xinjiang merupakan jalur
perdagangan yang menghubungkan Cina dengan Persia dan negara-negara Arab
lainnya. Hal ini juga yang membawa agama Islam masuk ke dalam Xinjiang
khususnya etnis Uighur. Etnis Uighur merupakan etnis keturunan Turki yang sudah
lama mendiami wilayah Xinjiang bahkan sejak sebelum Mao Zedong memasukkan
Xinjiang ke dalam wilayah Otonomi Cina. Berbagai tindakan diskriminasi diterima
dan dirasakan oleh etnis Uighur karena adanya perbedaan antara budaya dan
bahasa yang digunakan etnis Uighur dengan etnis lainnya di Cina.
Sistem komunisme Cina
membawa perubahan politik yang sangat jelas dengan dibuatnya kebijakan satu
Cina dimana diwajibkan untuk menggunakan bahasa Cina, penduduk asli Cina dan
tidak dapat menerima keberagaman budaya. Kebijakan satu Cina berdampak pada
banyak aspek seperti halnya sistem pemerintahan dan kebijakan-kebijakan
kontroversial yang dibuat. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti pengumpulan
sampel DNA dari setiap warga Uighur, pemasangan CCTV yang terintegrasi dengan
data biometrik, kamp pendidikan ulang yang dibuat seperti penjara dan kebijakan
satu Cina. Kebijakan kontroversial yang terus diberlakukan sampai saat ini
berupa menikah campur dimana etnis Uighur diwajibkan untuk menikah dengan etnis
asli Cina atau etnis Han. Kebijakan menikah campur ini tentu saja menjadi
permasalahan baru bagi etnis Uighur karena dipaksa untuk menikah dengan etnis
yang tidak sama dengan etnis Uighur.
Berdasarkan analisis yang
dilakukan penulis, etnis Uighur nantinya akan bernasib sama seperti isu etnis
Rohingya di Myanmar yang dipaksa meninggalkan wilayah Rohingya dan tidak diakui
keberadaannya. Perbedaannya disini apabila Rohingya tidak menerima pengakuan
sebagai warga dari Myanmar, sedangkan etnis Uighur masih diakui sebagi etnis
minoritas yang terdaftar di dalam dokumen pemerintah Cina. Hal ini karena
adanya nilai-nilai yang sangat erat dan kental di dalam Cina yang mengedepankan
monokulturalisme. Monokulturalisme tidak dapat menerima perbedaan budaya, tidak
dapat menerima perbedaan bahasa dan tidak dapat menerima perbedaan nilai-nilai
agama. Monokulturalisme tidak dapat menerima heterogenitas budaya dan hanya
homogenitas budaya. Pemerintah Cina menganggap Cina hanya milik orang-orang
keturunan Cina dan tidak dapat didiami oleh etnis keturunan negara lain.
Oleh karena itu, apabila
terus dilakukan kebijakan-kebijakan kontroversial yang dilakukan pemerintah
Cina kepada etnis minoritas khususnya etnis Uighur, maka lama-kelamaan etnis
Uighur akan hilang secara permanen. Hal ini dikarenakan tidak adanya regenerasi
dari penerus asli Uighur dengan diskriminasi-diskriminasi yang terus dilakukan
pemerintah Cina kepada etnis Uighur di Xinjiang.
Kesimpulan
Politik luar negeri Turki
telah mengalami beberapa perubahan seiring dengan perkembangan demokratisasi
yang terjadi di Turki. Pada awalnya Turki mengedepankan kekuatan militer namun
saat ini lebih berfokus pada nilai-nilai demokrasi. Perubahan sikap Turki ditandai
dengan peningkatan kerjasama dan kunjungan-kunjungan yang diadakan oleh elit
kedua negara. Respon Turki terhadap pelanggaran HAM minoritas muslim Uighur
yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok adalah etnisitas antara Uighur dan
Turki kurang berpengaruh karena dilandasi oleh pertimbangan�pertimbangan lain
selain faktor efektif, yaitu faktor instrumental yang dapat dikategorikan dalam
politik domestik, keuntungan ekonomi dan kondisi internasional. Faktor efektif
merupakan faktor-faktor yang melihat ikatan etnis
dalam arti kesamaan sejarah, budaya, dan agama.
Respon Turki ini didasari dengan adanya
hubungan kerja sama yang sudah terjalin lama dengan Cina. Respon verbal yang
pertama, Perdana Menteri Erdogan pada 10 Juli 2009 meminta Cina untuk menghentikan
tindakan diskriminasi kepada etnis Uighur. Kedua, pernyataan resmi dari Menteri
Luar Negeri Turki Hami Aksoy pada 9 Februari 2019 yang mengecam kebijakan
monokultural Cina karena mengancam keberadaan etnis Uighur dan meminta Cina
menghentikan doktrin komunisme. Kemudian pada 8 April 2012 Perdana Menteri
Erdogan mengunjungi Cina. Kunjungan kenegaraan ini memang berfokus pada kerja
sama antar kedua negara. Ketiga, adanya kebijakan anti-Cina. Kebijakan
anti-Cina mulai diberlakukan saat pemerintah Cina secara terang-terangan
melakukan diskriminasi kepada etnis Uighur dan membuat pemerintah Turki
mengecam aksi tersebut. Kebijakan anti-Cina adalah melarang penggunaan barang
yang berasal dari Cina.
Respon non-verbal pertama, aksi
demonstrasi yang dilakukan di Istanbul pada 10 Juli 2009, diikuti oleh
setidaknya 10.000 massa, aktivis masyarakat Seyit Tumturk, Kepala Majelis
Nasional Turkistan Timur, beberapa media massa Turki seperti Bugun, Nizli
Illicak dan Hurriyet. Kedua, Turki juga membantu etnis Uighur dengan menerima
pengungsi secara sukarela di Turki pada 30 Juni 2015. Etnis Uighur yang ingin
mengungsi mendapatkan akses mudah untuk hidup dan menetap di Turki. Berdasarkan
laporan Radio Free Asia (RFA) tahun
2015, terdapat 173 etnis Uighur yang sudah ditampung di Turki. Ketiga, Turki
dan Cina melakukan latihan militer gabungan pada 4 Oktober 2010 di Pangkalan
Udara Konya, Anatolia, Turki Tengah. Latihan militer gabungan ini diikuti oleh Chinese People�s Liberation Army atau
Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).
BIBLIOGRAFI
Alfian, M. Alfan. (2018). Militer dan Politik di Turki: Dinamika
Politik Pasca-AKP Hingga Gagalnya Kudeta. Bekasi:
Penerbit
Penjuru Ilmu.
Amstutz, M. R. (2013). International
Ethics : Concept, Theories and Cases in Global Politics Fouth Edition.
United Kingdom: Rowman & Littlefield Inc.
Creswell, J. W. (2010.). Research Design Pendekatan
kualitatif, kuantitatif, dan Mixed. In Research Design pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed ([Edisi Bah). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Felicia Amelia, S. (2013.). Etnisitas Dan Politik
Luar Negeri: Respon Turki Terhadap Penindasan Etnis Uyghur Di Xinjiang. Jurnal
Analisis Hubungan Internasional. 2,3. 295-317
Hidayat, Muhammad Nizar.
(2013). Diaspora Uyghur dan Hak Sipil di Xinjiang China. Interdependence
Journal, 1, 3.
International, Amnesty.
(2018). Up to One Million Detained in China�s Mass Re-Education Drive. Amnesty
International.
Juanidi, Ahmad. (2016).
Kebijakan Politik Recep Tayyib Erdogan dan Islamisme Turki Kontemporer. Jurnal
Agama Dan Hak Asasi Manusia, 6, 1.
Karisma, Gita. (2016).
Konflik Etnis di Xinjiang : Kebijakan Monokultural dan Kepentingan Negara
China Terhadap Keutuhan Wilayah. Jurnal Sosiologi, 19, 1.
Kim, Yu Sok, Bogert,
Lysander W. J., Immink, Rogier V, Harms, Mark P. M., Colier, Willy N. J. M.,
& van Lieshout, Johannes J. (2011). Effects of aging on the cerebrovascular
orthostatic response. Neurobiology of Aging, 32(2), 344�353.
Kılı�, B�lent,
& Baş, Erdal. (2010). Complex solutions for the fisher equation and
the benjamin-bona-mahony equation.
Laylia, Siti Nida.
(2018). Respon Turki Terhadap Pelanggaran HAM Minoritas Muslim Uighur Yang
Dilakukan Oleh Pemerintah Tiongkok 2009-2010. Universitas Riau, 5,
1.
Mustafa, Erma Yunita.
(2016). Kepentingan Turki Untuk Bergabung Dengan Shanghai Cooperation
Organization (SCO). E-Journal Hubungan
Internasional Universitas Mulawarman. Kalimantan.
Sloan, Ismail. (1985).
History of the Uyghurs, Of Kashgar And Of Greater Turkestan. Anusha.
Watch, Human Rights.
(2015). Memberantas Virus Ideologis: Kampanye Represi Tiongkok Terhadap Muslim
Xinjiang. HRW Journal.
Wee, Sui Lee. (2019).
China Uses DNA to Track Its People, With The Help of American Expertise. New
York Times.