Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 10, Oktober 2020
�
PELAKSANAAN BEBAS BERSYARAT SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KELAS IIA PADANG
Dini Busra
Universitas Andalas Padang Sumatera Barat, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
The development pattern in the penal system, based on
Law Number 12 of 1995 concerning Corrections, is carried out gradually to
integrate inmates into the community through a Parole program consisting of
Conditional Exemption (PB), Pre-Free Leave (CMB), and Conditional Leave (CB).
The parole in the penitentiary system is intended to integrate inmates in
associating with the community to be re-accepted as part of the community
members. The research analysis concerning the implementation of parole in Class
IIA Penitentiary in Padang was conducted using the empirical law research method.
The collected data were then analyzed and presented in the form of descriptive
analysis. The implementation of Parole an inmates development
effort in Class IIA Penitentiary in Padang is based on the provisions of the
Minister of Law and Human Rights Regulation Number 03 of 2018 concerning Terms
and Procedures for granting Remission, Assimilation, Family Visit Leave,
Conditional Exemption, Pre-Free Leave, and Conditional Leave. Referring to the aforementioned
rule, the penitentiary runs a parole program with an administrative governance
system aimed at optimizing the implementation of said program. From the
research results, the implementation of the parole program in Class IIA
Penitentiary in Padang faced several obstacles, including obstacles in the
legal administration system and in terms of inmates-wise.
Keywords: Parole; Development; Penitentiary
Abstrak
Pola pembinaan dalam sistem pemasyarakatan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
dilakukan secara bertahap sampai pada upaya pengintegrasian narapidana ke
masyarakat melalui program bebas bersyarat yang terdiri
dari
Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB). Peranan bebas bersyarat dalam sistem pemasyarakatan dimaksudkan untuk
mengintegrasikan narapidana bergaul dengan masyarakat guna bisa diterima kembali sebagai bagian dari anggota
masyarakat.
Pembahasan kajian terhadap bebas bersyarat di Lapas Kelas IIA
Padang dilakukan dengan metode penelitian hukum empiris. Data
yang didapat kemudian dianalisis dan
disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. Pelaksanaan bebas bersyarat sebagai
upaya pembinaan narapidana di
Lapas Kelas IIA Padang didasarkan pada ketentuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Merujuk pada aturan tersebut Lapas Kelas
IIA Padang menjalankan program bebas bersyarat dengan sistem tata kelola
administrasi yang ditujukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan program bebas
bersyarat. Dari kajian tersebut pelaksanaan program bebas bersyarat di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Padang ditemukan beberapa kendala yang meliputi
kendala dalam sistem administrasi hukum dan kendala dari sisi narapidana itu
sendiri.
Kata
kunci:� Bebas Bersyarat; Pembinaan; Pemasyarakatan
Pendahuluan
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
menyebutkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah
tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Situmorang, HAM, &
Kav, 2019). Dalam rangka mewujudkan pola pembinaan tersebut salah satu upaya
yang ditempuh adalah pelaksanaan
program
bebas bersyarat yang terdiri dari Pembebasan
Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB), yang merupakan bagian
dari hak-hak warga binaan
pemasyarakatan (Setyowati, 2014).
Bebas bersyarat
dipahami sebagai bentuk
pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana ke dalam kehidupan
masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan (Tirtakusuma, 2020). Pelaksanaan hak-hak warga
binaan pemasyarakatan tentang bebas bersyarat
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
kemudian diatur lebih lanjut Peraturan Pemerintah
Nomor
99 Tahun 2012 yang ditindaklanjuti oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia sebagai peraturan pelaksana dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor
03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti
Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat.
Peranan
bebas
bersyarat dalam sistem pemasyarakatan
dimaksudkan untuk mengintegrasikan narapidana bergaul dengan masyarakat dan
latihan hidup bermasyarakat guna bisa diterima kembali sebagai
bagian dari anggota masyarakat (Bahtiar, 2018).
Bebas bersyarat juga untuk
memberikan kesempatan kepada narapidana berkumpul kembali bersama keluarga dan
masyarakat serta mengembalikan kepercayaan
pada diri sendiri bahwa ia mampu hidup dan berbuat dengan baik serta untuk
mengembalikan rasa tanggungjawab dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan yang
tentram dan sejahtera dalam masyarakat agar selanjutnya berpotensi untuk
menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi (Sudirman, 2015).
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Pemasyarakatan
yang menjalankan tugas melaksanakan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan.
Namun
dalam kenyataannya, pemberian hak-hak
narapidana khususnya pemberian bebas bersyarat masih belum
efektif dan belum optimal.
Berdasarkan data dari Sub Seksi Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan Lapas Kelas IIA Padang, narapidana
di Lapas Kelas IIA Padang yang mendapatkan
bebas bersyarat dalam kurun waktu
3 (tiga) tahun terhitung tahun 2017 sampai dengan 2019.
Tabel 1
Data narapidana yang mendapatkan
bebas bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang Tahun
2017-2019
No |
Tahun |
Usulan Bebas Bersyarat Narapidana |
Jumlah Narapidana yang mendapatkan bebas bersyarat |
||||
PB |
CB |
CMB |
PB |
CB |
CMB |
||
1 |
2017 |
299 |
10 |
5 |
165 |
10 |
5 |
2 |
2018 |
368 |
13 |
3 |
179 |
13 |
3 |
3 |
2019 |
284 |
12 |
19 |
241 |
6 |
13 |
JUMLAH |
951 |
35 |
27 |
585 |
29 |
21 |
|
Rata-rata |
338 |
212 |
Sumber:� Subseksi
Bimbingan Kemasyarakatan
dan Perawatan, Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa narapidana yang mendapatkan bebas bersyarat dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tahun 2017 sampai dengan 2019 rata-rata berjumlah 212 orang per tahun. Jumlah yang mendapatkan bebas bersyarat tersebut jauh lebih sedikit dibanding dengan rata-rata jumlah usulan bebas bersyarat narapidana pertahunnya yaitu 338 orang.
Timbulnya masalah ini pada dasarnya terjadi pada adanya pertimbangan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan dalam memberikan program bebas bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang. Timbulnya pertimbangan dalam pemberian bebas bersyarat tersebut dilatarbelakangi oleh aturan tentang pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat sebagaimana awalnya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas. Dalam ketentuan tersebut diungkapkan bahwa dalam pemberian program bebas bersyarat harus memenuhi dua syarat utama yakni syarat substantif dan syarat administratif.Pertimbangan tersebut diberikan oleh petugas pemasyarakatan guna menilai keabsahan syarat substantif dan syarat administratif untuk semua program bebas bersyarat.
Metode Penelitian
Dalam
penelitian ini penulis melakukan menggunakan metode penelitian hukum
empiris adalah pendekatan dengan cara melihat dan mengamati faktor dan norma
hukum yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat dengan tujuan untuk mengetahui bekerjanya hukum di
dalam masyarakat dengan tipe penelitian tipe penelitian yang penulis
gunakan adalah deskriptif analitis (Moleong, 2017).
Deskriptif
analitis yaitu untuk menggambarkan sekaligus
menganalisis peraturan perundang-undangan dan teori-teori hukum tentang
manusia, keadaan, dan gejala-gejala lainnya yang berkaitan dengan permasalahan.
Pelaksanaan bebas bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Padang (Prastowo, 2011).
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder sebagai
data utama dan didukung data primer. Data tersebut dikumpulkan melalui
penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.
Hasil dan
Pembahasan
A.
Dasar pertimbangan pemberian bebas bersyarat di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Padang
Landasan hukum tentang adanya bebas
bersyarat didasarkan pada Pasal 15 ayat (1) KUHP yang menyebutkan �Jika
terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya yang sekurang-kurangnya harus 9 (sembilan) bulan, maka kepadanya
dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa
pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana� (Astuti, 2013).
Dalam Pasal 14 ayat (1) huruf k, dan
l Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa
Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas merupakan bagian dari hak-hak narapidana.
Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dirubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan.
Hak-hak narapidana yang disebutkan dalam
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 diperkuat oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.PK.04-10
Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat dengan ditambahkannya
ketentuan tentang Cuti Bersyarat sebagai salah satu hak dari narapidana (Noeke Sri Wardhani,
Sri Hartati, 2015).
Ketentuan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut kemudian
diperbarui dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun
2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi
Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, yang
kemudian dirubah lagi dengan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang
Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimiliasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, yang
selanjutnya dirubah lagi menjadi Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi,
Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti
Bersyarat (KemenkumHAM, 2013) (KemenkumHAM, 2018).
Berdasarkan ketentuan tentang bebas
bersyarat di atas terdapat beberapa pertimbangan-pertimbangan dalam memberikan
program bebas bersyarat. Timbulnya pertimbangan dalam pemberian bebas bersyarat
tersebut dilatarbelakangi oleh aturan tentang pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat
sebagaimana awalnya diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007. Dalam ketentuan tersebut
disebutkan bahwa dalam pemberian Pembebasan Bersyarat harus memenuhi dua syarat
utama yakni syarat substantif dan syarat administratif.
Pada Pasal 6 Peraturan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007
disebutkan persyaratan substantif� yang
harus dipenuhi narapidana agar mendapatkan program bebas bersyarat adalah:
1.
Telah menunjukkan
kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
2.
Telah menunjukkan
perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
3.
Berhasil mengikuti
program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
4.
Masyarakat dapat menerima
program pembinaan narapidana yang bersangkutan;
5.
Berkelakuan baik selama
menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin untuk :
a.
Pembebasan Bersyarat, 2/3
(dua pertiga) dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) dari masa
pidana tersebut tidak kurang dari 9 (Sembilan) bulan;
b.
Cuti Menjelang Bebas, 2/3
(dua pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi
terakhir paling lama 6 (enam) bulan;
c.
Cuti Bersyarat, 2/3 (dua
pertiga) dari masa pidananya dan jangka waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan;
Sedangkan
persyaratan administratif program bebas bersyarat diatur pada Pasal 7 Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun
2007 sebagai berikut (Kementerian Hukum dan HAM, 2007):
1.
Kutipan putusan hakim
(ekstrak vonis);
2.
Laporan penelitian
kemasyarakatan yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan atau laporan perkembangan
pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dibuat oleh wali
pemasyarakatan;
3.
Surat pemberitahuan
Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas atau Cuti Bersyarat terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan
yang bersangkutan;
4.
Salinan Register F
(daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana
dan anak didik pemasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari Kepala Lapas;
5.
Salinan daftar perubahan
atau pengurangan masa pidana seperti grasi, remisi dan lain-lain dari Kepala
Lapas;
6.
Surat pernyataan
kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana dan anak didik
pemasyarakatan, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah atau
swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya Lurah
atau Kepala Desa;
7.
Bagi narapidana atau anak
didik pemasyarakatan warga negara asing diperlukan syarat tambahan :
a.
Surat jaminan dari
Kedutaan Besar/Konsulat Negara orang asing bersangkutan bahwa narapidana atau
anak didik pemasyarakatan tidak akan melarikan diri dan mentaati aturan-aturan
yang berlaku selama manjalani masa Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas
ataupun Cuti Bersyarat;
b.
Surat Keterangan dari
Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.
Persyaratan
yang menjadi pertimbangan petugas lapas dalam memberikan program bebas
bersyarat tersebut diperbarui oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 03 Tahun 2018.� Pada Pasal
114 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018,
Persyaratan administratif cuti bersyarat yang semula� jangka waktu cuti paling lama 3 (tiga) bulan
di rubah menjadi jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Selanjutnya
diperjelas pada Pasal 87 ayat (2),� Pasal
105 ayat (2), dan Pasal 118 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 03 Tahun 2018 bahwa terhadap surat pemberitahuan kepada Kejaksaan
Negeri tentang rencana pemberian program bebas bersyarat terhadap narapidana
yang tidak mendapatkan balasan dari Kejaksaan Negeri dalam jangka waktu 12 (dua
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan dikirim, program
bebas tetap diberikan.
Selanjutnya
untuk pemberian program bebas bersyarat terhadap narapidana yang melanggar
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang terdiri dari pelaku tindak pidana
terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan
terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta
kejahatan transnasional terorganisasi (Sulianto, 2019).
Persyaratan pemberian program bebas bersyarat lebih diperketat dengan tujuan
untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Pada
Pasal 84 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018,
Pemberian Pembebasan Bersyarat bagi narapidana yang melakukan tindak pidana
terorisme selain harus memenuhi syarat administratif dan substantif di atas,
harus juga memenuhi syarat:
1.
Bersedia bekerja sama
dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
2.
Telah menjalani paling
sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga)
masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
3.
Telah menjalani Asimilasi
paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani;dan
4.
Telah menunjukkan
kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan
menyatakanikrar:
5.
Kesetiaan kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara
Indonesia; atau
6.
Tidak akan mengulangi perbuatan
tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.
Sedangkan Pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana yang dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika serta psikotropika pada Pasal 85, narapidana juga harus memenuhi syarat:
1.
Bersedia bekerja sama
dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukannya;
2.
Telah menjalani paling
sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa
pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;dan
3.
Telah menjalani Asimilasi
paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani.
Selanjutnya pada Pasal 87 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 disebutkan Pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi syarat juga harus memenuhi syarat:
1.
Bersedia bekerja sama
dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukannya;
2.
Telah menjalani paling
sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga)
masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;dan
3.
Telah menjalani Asimilasi
paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani.
Pemberian Pembebasan Bersyarat bagi
Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika
dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan
negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional
terorganisasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal
86 dibuktikan dengan melampirkan dokumen:
1.
Surat keterangan bersedia
bekerjasama untuk membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya yang
ditetapkan oleh instansi penegak hukum;
2.
Fotokopi kutipan putusan
hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan;
3.
Laporan perkembangan
pembinaan yang ditandatangani oleh Kepala Lapas;
4.
Laporan penelitian
kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang diketahui oleh
KepalaBapas
5.
Surat pemberitahuan ke
Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Pembebasan Bersyarat terhadap
Narapidana yangbersangkutan;
6.
Salinan register F dari
Kepala Lapas;
7.
Salinan daftar perubahan
dari KepalaLapas;
8.
Surat pernyataan dari
Narapidana tidak akan melarikan diri dan tidak melakukan perbuatan me1anggar hukum;dan
9.
Surat jaminan kesanggupan
dari pihak Keluarga, atau Wali, atau Lembaga Sosial, atau instansi pemerintah,
atau instansi swasta, atau Yayasan yang diketahui oleh lurah atau kepala desa
atau nama lain yangmenyatakan:
a.
Narapidana tidak akan
melarikan diri dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggar hukum; dan
b.
membantu dalam membimbing
dan mengawasi Narapidana selama mengikuti program Pembebasan Bersyarat.
Terpenuhinya syarat bebas bersyarat berdasarkan ketentuan
Peraturan di atas, maka petugas lapas dapat mengusulkan program bebas bersyarat
terhadap narapidana sistem informasi pemasyarakatan atau Sistem Database
Pemasyarakatan (SDP) yang terintegrasi antara unit pelaksana teknis
pemasyarakatan yang ada di Lapas, Kantor Wilayah dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Marlina, 2011). Berdasarkan aturan tersebut Lapas Kelas IIA Padang
melakukan pendataan terhadap narapidana yang telah memenuhi syarat dan memiliki
kelengkapan dokumen untuk mendapatkan bebas bersyarat.
Data narapidana yang telah memenuhi syarat tersebut dicatat
dalam data narapidana yang akan diusulkan pemberian bebas bersyarat. Data yang
ada tersebut diserahkan kepada Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lapas Kelas
IIA Padang untuk mendapatkan penilaian sebagai rekomendasi yang akan diserahkan
kepada Kepala Lapas untuk mendapat persetujuan. Pelaksanaan penilaian yang
dilakukan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang akan menjadi
rekomendasi usulan pemberian bebas bersyarat.
Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang merupakan
tim yang dibentuk di bawah penanggung jawab Kepala Lapas Kelas IIA Padang.
Struktur Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang diketuai oleh
Kepala Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA
Padang. Struktur Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang dapat
dilihat berdasarkan skema di bawah ini :
Gambar 1
Struktur Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang
Sumber : Sub Seksi
Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan Lapas Kelas IIA Padang
Pertimbangan pemberian bebas bersyarat kepada narapidana
oleh petugas Lapas Kelas IIA Padang juga harus memperhatikan tata cara
pelaksanaan program bebas bersyarat� yang
dilaksanakan dengan prosedural sebagai berikut :
1.
Data
narapidana yang akan mendapatkan usulan bebas bersyarat diserahkan kepada Tim
Pengamat Pemasyarakatan.
2.
Ketua
Tim Pengamat Pemasyarakatan mengundang anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan
untuk melakukan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan guna melakukan penilaian
terhadap narapidana yang akan diberikan rekomendasi usulan bebas bersyarat.
3.
Tim
Pengamat Pemasyarakatan melakukan persidangan terhadap narapidana yang telah
memenuhi syarat untuk mendapat rekomendasi usulan pemberian bebas bersyarat.
4.
Hasil
penilaian langsung terhadap narapidana dibahas oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan
guna menjadi rekomendasi dari Tim Pengamat Pemasyarakatan untuk diajukan kepada
Kepala Lapas Kelas IIA Padang.
5.
Kepala
Lapas Kelas IIA Padang akan memberikan pandangan, baik itu berupa persetujuan,
penolakan ataupun perbaikan atas rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan.
a.
Rekomendasi
Tim Pengamat Pemasyarakatan yang diterima oleh Kepala Lapas akan diteruskan
kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Barat.
b.
Rekomendasi
Tim Pengamat Pemasyarakatan yang direvisi akan diperbaiki oleh Tim Pengamat
Pemasyarakatan berdasarkan saran dan masukan dari Kepala Lapas Kelas IIA
Padang.
c.
Rekomendasi
yang ditolak akan dilakukan penilaian ulang pada sidang Tim Pengamat
Pemasyarakatan berikutnya.
6.
Rekomendasi
usulan pemberian bebas bersyarat yang telah disetujui oleh Tim Pengamat
Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang akan diberitahukan kepada Kantor
Kejaksaan Negeri Padang sebagai eksekutor guna mendapat persetujuan tentang
tidak adanya perkara lain belum di putus�
yang terkait dengan narapidana yang akan diusulkan pemberian bebas
bersyarat.
7.
Pemberitahuan
tersebut akan dibalas sebagai bentuk persetujuan oleh Kejaksaan Negeri Padang,
dan jika dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari sejak disampaikannya pemberitahuan
tidak dapat balasan maka dianggap disetujui untuk diteruskan kepada Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Barat.
8.
Hasil
rekomendasi Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang yang diusulkan
oleh Kepala Lapas Kelas IIA Padang yang telah memenuhi persyaratan, selanjutnya
akan diperiksa oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Barat.
9.
Berdasarkan
rekomendasi usulan pemberian bebas bersyarat dari Lapas Kelas IIA Padang, Tim
Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
melakukan pemeriksaan dan penilaian berkas yang diusulkan untuk masing-masing
narapidana yang akan mendapatkan program bebas bersyarat.
10.
Penilaian
Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Sumatera Barat dapat berupa persetujuan, penolakan atau revisi.
a.
Penolakan
terhadap usulan rekomendasi Lapas Kelas IIA Padang akan dikembalikan kepada
Kepala Lapas Kelas IIA Padang untuk mendapatkan penilaian ulang dari Tim
Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang guna diusulkan ulang pada masa
pengusulan berikutnya.
b.
Penilaian
berupa revisi dikembalikan kepada Kepala Lapas Kelas IIA Padang untuk
diperbaiki berdasarkan usulan yang diberikan.
11.
Rekomendasi
usulan Pemberian bebas bersyarat yang diajukan oleh Lapas Kelas IIA Padang yang
disetujui oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera
Barat akan diteruskan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan
dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Pemberian bebas bersyarat terhadap
narapidana yang diusulkan setelah melalui penilaian dan pemeriksaan dari Tim
Pengamat Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
12.
Rekomendasi
usulan pemberian bebas bersyarat yang disetujui oleh Tim Pengamat
Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia akan diterbitkan Surat Keputusan bebas
bersyarat terhadap narapidana atas nama Menteri berdasarkan persetujuan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia
13.
Kepala
Lapas Kelas IIA Padang melaksanakan surat keputusan tersebut guna memberikan
bebas bersyarat terhadap narapidana yang telah disetujui usulan bebas
bersyarat.
14.
Narapidana
yang telah mendapatkan bebas bersyarat selanjutnya disampaikan kepada Kejaksaan
Negeri Padang sebagai salah satu insitusi pengawas pelaksanaan bebas bersyarat
terhadap narapidana� yang menjalani
program bebas bersyarat.
15.
Bersamaan
dengan itu Kepala Lapas Kelas IIA Padang menyerahkan narapidana kepada Balai
Pemasyarakatan (Bapas) untuk selanjutnya menjadi klien dari Bapas untuk melaksanakan
pembinaan terhadap narapidana dalam menjalankan program bebas bersyarat.
Tata cara bebas bersyarat yang dilaksanakan oleh Lapas
Kelas IIA Padang sebagaimana diuraikan di atas pada dasarnya merujuk pada tata
aturan hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018. Jadi, dapat disimpulkan
pertimbangan-pertimbangan dalam pemberian program bebas bersyarat di Lapas
Kelas IIA Padang diberikan oleh Kepala Lapas Kelas IIA Padang,
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Sumatera Barat, Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Berdasarkan aturan hukum tersebut juga dapat dipahami
bahwa pertimbangan dalam pemberian program bebas bersyarat yang terdiri dari
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat didasarkan pada
terpenuhinya syarat substantif dan syarat administratif. Apabila syarat
substantif dan administratif di atas tidak terpenuhi maka program pembinaan melalui
bebas bersyarat tidak dapat diberikan.
B.
Pelaksanaan Bebas Bersyarat
Sebagai Kegiatan Pembinaan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas
IIA Padang
Berdasarkan� Peraturan�
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018 tentang Syarat
dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pada peraturan
menteri tersebut ketentuan tentang bebas bersyarat yang terdiri dari Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat terdapat beberapa syarat
dan tata cara yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan program tersebut.
Data
usulan dan data realisasi pemberian program bebas bersyarat yang dilaksanakan
di Lapas Kelas IIA Padang menunjukkan bahwa program pembinaan tersebut
dijalankan secara selektif, sehingga data usulan dan realisasi pemberian
program bebas bersyarat menunjukkan bahwa tidak semua usulan yang diajukan
mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk diterbitkan Surat Keputusan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa semua usulan bebas bersyarat yang diajukan harus
melalui� seleksi yang ketat berdasarkan
aturan yang berlaku.
Menurut
Bapak Alfin, Pelaksanaan pembinaan melalui program bebas bersyarat di Lapas
Kelas IIA Padang dijalankan sesuai dengan aturan. Terhadap program Pembebasan
Bersyarat yang dilaksanakan di Lapas Kelas IIA Padang sebagaimana disebutkan
dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 disebutkan
bahwa Pembebasan Bersyarat diberikan terhadap narapidana yang telah menjalani
masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per
tiga) tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.
Ketentuan
Pasal 82 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018
menjadi syarat dasar untuk pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat yang
dilaksanakan oleh Lapas Kelas IIA Padang. Terhadap syarat dasar tersebut, Lapas
Kelas IIA Padang telah melakukan pendataan �narapidana yang telah menjalani 2/3 masa
pidana dengan paling singkat 9 (sembilan) bulan melalui sistem
data base yang dimiliki oleh Lapas Kelas IIA Padang. Data yang ada tersebut
akan menjadi objek kerja dari Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA
Padang untuk dinilai kelayakan dan kelengkapan dokumennya guna diusulkan
pemberian program Pembebasan Bersyarat .
Sistem
pendataan narapidana yang dilaksanakan oleh Lapas Kelas IIA Padang untuk
pemberian program Pembebasan Bersyarat tersebut lebih ditujukan terhadap
narapidana yang menjalani masa hukuman diatas 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan,
sehingga program Pembebasan Bersyarat yang dilaksanakan oleh Lapas Kelas IIA
Padang lebih tertuju terhadap narapidana yang menjalani hukuman tinggi. Tingkat
hukuman yang menjadi sasaran dari pembinaan melalui program Pembebasan
Bersyarat memberi implikasi terhadap syarat penetapan keputusan pengabulan
permohonan Pembebasan Bersyarat yang menghendaki adanya persetujuan dari
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indoneisa atas permohonan pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat yang
diajukan oleh Lapas Kelas IIA Padang melalui Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Sumatera Barat. Persetujuan dari Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
tersebut sebagai bentuk pernyataan adanya persetujuan dari Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia untuk penerbitan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SK PB)
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012 bahwa �Pemberian Pembebasan Bersyarat ditetapkan dengan Keputusan
Menteri�.
Berdasarkan
prosedur pemberian program Pembebasan Bersyarat (PB) tersebut terlihat bahwa
pemberian program Pembebasan Bersyarat memiliki prosedur berlapis dalam
penilaiannya yang membutuhkan persetujuan dari Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia� di Jakarta guna penerbitan keputusan
pemberian Pembebasan Bersyarat (PB) yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Berlapisnya persetujuan pemberian program Pembebasan Bersyarat (PB) dapat
dilihat dari tahapan persetujuan atas rekomendasi yang diusulkan oleh Tim
Pengamat Pemasyarakatan Lapas Kelas IIA Padang yang menghendaki lagi penilaian
dari Tim Pengamat Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Sumatera Barat yang akan dinilai lagi oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI untuk
memberikan persetujuan atas usulan rekomendasi pemberian program Pembebasan
Bersyarat (PB) guna diterbitkannya Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SK PB)
berdasarkan Keputusan Menteri.
Di
sisi lain narapidana dengan tingkat hukuman diatas 1 (satu) tahun 6 (enam)
bulan merupakan jumlah terbesar di Lapas Kelas IIA Padang. �Hal itu dapat dilihat dari data jumlah
narapidana dengan tingkat hukuman diatas 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
terhitung pada Mei 2020 jumlahnya mencapai hampir 90% dari jumlah narapidana di
Lapas Kelas IIA Padang. Oleh sebab itu keberhasilan pembinaan melalui program
bebas bersyarat sangat ditentukan oleh keberhasilan pelaksanaan program
Pembebasan Bersyarat. Sebab program Pembebasan Bersyarat ini menjadi prioritas
dengan jumlah terbesar yang dapat dilaksanakan oleh Lapas Kelas IIA Padang.
Dalam
implementasi pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat� dipengaruhi oleh pelaksanaan program remisi
yang didapatkan oleh narapidana. Walaupun berdasarkan aturan yang ada dua
program tersebut merupakan dua program pembinaan yang berbeda namun dalam
penerapannya kedua program tersebut saling berkaitan dalam pelaksanaannya.
Keterkaitan dua program pembinaan tersebut juga terjadi dalam pelaksanaan
pemberian program Pembebasan Bersyarat di Lapas Kelas IIA Padang. Kaitan itu
berhubungan dengan penghitungan masa jatuh tempo penerimaan program Pembebasan
Bersyarat yang diberikan terhadap narapidana di Lapas Kelas IIA Padang, dimana
dalam penentuan masa Pembebasan Bersyarat di Lapas Kelas IIA Padang dilakukan
setelah dikurangi masa remisi yang didapatkan oleh narapidana.
Merujuk
pada aturan tentang pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat� yang menyatakan bahwa program Pembebasan
Bersyarat diberikan terhadap narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya
2/3 (dua per tiga) masa pidana, maka terhadap narapidana yang akan menjalani
program Pembebasan Bersyarat didasarkan pada 2/3 (dua per tiga) masa pidananya.
Setelah ditetapkan 2/3 (dua per tiga) dari masa pidana tersebut, selanjutnya
terhadap narapidana tersebut dikurangi dengan remisi yang telah didapatkan
selama menjalani masa pidananya.
Tindak
pidana dari narapidana akan mempengaruhi program Pembebasan Bersyarat yang
diberikan terhadap narapidana di Lapas Kelas IIA Padang. Tindak pidana yang
memberi pengaruh terhadap program Pembebasan Bersyarat ini didasarkan pada
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pada Pasal 43A Peraturan Pemerintah� Nomor 99 Tahun 2012 disebutkan:
1. Pemberian
Pembebasan Bersyarat untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi,
kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat,
serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi
persyaratan:
a.
bersedia bekerja sama
dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukannya;
b.
telah menjalani
sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua
per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
c.
telah menjalani Asimilasi
paling sedikit 1/2
(satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan
d.
telah menunjukkan
kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan
menyatakan ikrar:
1)
kesetiaan kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara
Indonesia, atau
2)
tidak akan mengulangi
perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara
Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
2. Narapidana
yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika,
psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap
Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
3. Kesediaan
untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara
tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 43A Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tersebut
menetapkan bahwa pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana
tindak pidana narkotika dengan masa hukuman paling singkat 5 (lima) tahun dan
narapidana tindak pidana korupsi mengharuskan adanya persyaratan tambahan yang
harus dipenuhi untuk bisa diberikannya program Pembebasan Bersyarat. Syarat
tambahan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43A ayat (1) huruf �a� dan
�c� dan ayat (3) yang menghendaki adanya kesediaan dari narapidana untuk bekerjasama
dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukannya. Terhadap narapidana tersebut juga diharuskan untuk menjalani
asimilasi paling sedikit
1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib
dijalani. Kesediaan untuk bekerjasama tersebut harus dinyatakan secara tertulis
oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan
program Cuti Menjelang Bebas di Lapas Kelas IIA Padang dilakukan dengan dasar
telah adanya lewat waktu untuk pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat,
sehingga terhadap narapidana yang demikian itu diberikan program Cuti Menjelang
Bebas sebesar remisi yang harus didapatkan pada tahun berjalan. Pelaksanaan
program Cuti Menjelang Bebas sekarang ini di Lapas Kelas IIA Padang lebih
banyak diberikan terhadap narapidana dengan hukuman tinggi yang telah lewat
waktu untuk pelaksanaan program Pembebasan Bersyarat.
Program
pembinaan lainnya yang dilaksanakan oleh Lapas Kelas IIA Padang adalah melalui
Cuti Bersyarat yang dilaksanakan terhadap narapidana dengan masa pidana paling
lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.
C.
Kendala-Kendala
Dalam Pelaksanaan Program Bebas Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Padang
Pemenuhan hak narapidana melalui
pemberian program bebas bersyarat� masih
ditemui beberapa kendala yang menghambat jalannya proses tersebut.
Kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan bebas bersyarat di Lapas Kelas
IIA Padang meliputi beberapa persoalan yakni :
1.
Terlambatnya petikan
putusan dari lembaga peradilan baik itu ditingkat� Mahkamah Agung (MA).
Berdasarkan ketentuan yang ada
mengharuskan bahwa dalam program bebas bersyarat mengharuskan adanya
kelengkapan administratif yang dalam salah satu dokumen kelengkapan itu adalah
adanya petikan putusan sebagai syarat administratif dalam pengusulan bebas
bersyarat. Terlambat keluarnya petikan putusan menjadi kendala pertama dalam
pengusulan bebas bersyarat (H. E. Setiadi, &
SH, 2017).
Keterlambatan petikan putusan dari
Mahkamah Agung lebih disebabkan karena pengurusan permintaan petikan putusan
tersebut harus dilakukan ke Jakarta. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Alfin
Djamalus selaku Kasubsi Bimaswat di Lapas Kelas IIA Padang yang mengungkapkan bahwa
Lapas Kelas IIA Padang sering kali kesulitan untuk meminta petikan putusan dari
Mahkamah Agung sebab untuk permintaan petikan itu harus melalui Pengadilan
Negeri Padang guna ditindak lanjuti ke Mahkamah Agung (MA).
2.
Terlambatnya eksekusi
Jaksa
Terlambatnya petikan putusan ini
berdampak pada proses lebih lanjut yang harus dijalankan Jaksa untuk melakukan
eksekusi terhadap tahanan yang telah memiliki putusan dengan kekuatan hukum
tetap (inkracht). Terlambatnya
petikan putusan tersebut akan berdampak terhadap penentuan status tahanan
seseorang yang awalnya merupakan tahanan pada tingkat Mahkamah Agung (MA),
dengan keluarnya putusan yang berkekuatan hukum tetap akan mengalihkan status
tersebut menjadi narapidana setelah sebelumnya dilakukan eksekusi oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU).
3.
Penjamin yang tidak
sesuai dengan aturan
Keluarga yang dapat memberikan
jaminan dinyatakan dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Nomor 03 Tahun 2018 yang menyebutkan : �keluarga adalah suami atau
isteri, anak kandung, anak angkat, atau anak tiri, orang tua kandung atau
angkat atau tiri atau ipar, saudara kandung atau angkat atau tiri atau ipar,
dan keluarga dekat lainnya sampai derajat kedua baik horizontal maupun
vertikal.� Jaminan yang diberikan oleh pihak yang tidak jelas hubungan
kekeluargaannya dengan narapidana tidak dapat diterima dan menjadi kendala
terhadap pelaksanaan usulan program bebas bersyarat baik itu Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas ataupun Cuti Bersyarat .
Kendala yang demikian juga ditemui di
Lapas Kelas IIA Padang, dimana narapidana yang terputus hubungan dengan
keluarga dekatnya seringkali menggunakan pihak lain yang tidak jelas
keterkaitannya dengan narapidana, sehingga Lapas Kelas IIA Padang harus
melakukan pengecekan baik itu pengecekan lapangan maupun pengecekan
administrasi tentang kedekatan dan status hubungan antara pemberi jaminan
dengan narapidana� yang akan dijamin.
Dalam proses verifikasi tersebut �juga akan
dilakukan pengecekan kepada aparat pemerintah setempat tentang keberadaan dari
narapidana� yang akan dijamin oleh pihak
penjamin. Terhadap hal itu harus ada surat keterangan yang dikeluarkan oleh
aparat pemerintahan setempat setingkat Lurah atau Kepala Desa (Wali Nagari)
tentang keberadaan narapidana di tempat tinggal si penjamin. Tanpa adanya surat
keterangan tersebut maka hubungan kedekatan antara penjamin dengan narapidana
tidak dapat diterima atau diakui oleh Lapas Kelas IIA Padang.
4.
Tidak adanya keluarga
sebagai penjamin
Pelaksanaan bebas bersyarat baik itu
itu Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat sangat
ditentukan oleh adanya penjamin terhadap narapidana yang akan menjalani program
tersebut. Penjamin ini akan memberikan jaminan bahwa selama pelaksanaan program
tersebut narapidana tidak akan melarikan diri dan akan mematuhi semua ketentuan
yang ditetapkan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagai pembinaan dalam
pelaksanaan program bebas bersyarat. Tanpa adanya penjamin, maka terhadap
narapidana tersebut tidak dapat diberikan program bebas bersyarat. Tidak adanya
keluarga sebagai penjamin bagi narapidana�
untuk pelaksanaan program bebas bersyarat menjadi kendala dalam
kelancaran dan optimalisasi pelaksanaan program tersebut. Kendala yang demikian
itu juga terjadi di Lapas Kelas IIA Padang.
Narapidana yang sudah terputus
hubungan dengan keluarga ataupun yang tidak jelas keberadaan keluarganya tidak bisa
diusulkan untuk program bebas bersyarat. Di Lapas Kelas IIA Padang, narapidana
yang demikian itu disebut dengan istilah �anak hilang�. Dimana narapidana yang
disebut dengan istilah �anak hilang� ini tidak pernah mendapat kunjungan
keluarga atau kenalan dekatnya. Lapas Kelas IIA Padang tidak bisa melaksanakan
pembinaan melalui program bebas bersyarat terhadap kelompok anak hilang ini,
sebab syarat penjamin untuk usulan program bebas bersyarat tidak dapat dipenuhi
oleh narapidana yang masuk kelompok ini.
5.
Penjamin yang berada di
luar kota
Penjamin yang berada di luar kota ini
juga menjadi penyebab terlambatnya pengajuan pengusulan bebas bersyarat
terhadap narapidana. Hal ini disampaikan oleh Alfin Djamalus, Kepala Sub Seksi
Pembinaan kemasyarakatan dan Perawatan (Kasubsi
Bimaswat) Lapas Kelas
IIA Padang. Penjamin yang berada di luar kota akan sulit untuk dilakukan
verifikasi lapangan dan akan memperlama proses administratif bagi narapidana
untuk pengajuan program bebas bersyarat. Berdasarkan keterangan dari Alfin Djamalus,
keterlambatan ini juga menjadi penyebab dialihkannya program bebas bersyarat
narapidana dari Pembebasan Bersyarat menjadi Cuti Menjelang Bebas, ketika masa
jatuh tempo Pembebasan Bersyarat dari narapidana telah terlewat.
6.
Proses Bebas Bersyarat
usulannya sampai ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Jakarta
Proses bebas Bersyarat yang sampai ke Direktorat jenderal Pemasyarakatan di
Jakarta tersebut tentunya membutuhkan waktu yang
cukup lama pula, ada kalanya untuk Pembebasan Bersyarat ini sejak diusulkan
oleh Lembaga Pemasyarakatan untuk terbitnya Surat Keputusan tentang Pembebasan
Bersyarat tersebut sampai ke Lapas membutuhkan waktu lebih kurang 3 bulan,
sementara kalau merujuk pada Standar Operasional (SOP) pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat mengungkapkan bahwa tataran waktu memproses Pembebasan
Bersyarat adalah 14 (empat belas) hari pengurusan di Kantor Wilayah dan di
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan diproses paling lama 14 hari.
7.
Sulitnya proses
pengurusan Justice Collaborator bagi
narapidana� yang dikenai aturan Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012
Sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh petugas Lapas Kelas IIA
Padang
bahwa aturan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 memperlambat pelaksanaan program
pembinaan lanjutan yaitu program bebas bersyarat di Lapas Kelas IIA Padang. Salah
satu kendala yang ditimbulkan dengan adanya aturan dalam Peraturan Pemerintah
tersebut adalah adanya kewajiban bagi narapidana yang dikenai oleh aturan itu
untuk mendapatkan Justice Collaborator.
Disisi lain, dalam
verifikasi dan pengembangan kasus tersebut baru bisa dibuktikan kebenaran
kerjasama yang dilakukan oleh narapidana�
untuk membongkar lebih lanjut tindak pidana yang dilakukannya sedangkan tindakan verifikasi dan
pengembangan kasus tersebut membutuhkan waktu yang tidak dapat diprediksi,
sehingga hal ini menjadikan permohonan Justice
Collaborator yang diajukan menjadi sulit untuk ditetapkan waktu pengeluarannya
oleh aparat penegak hukum bersangkutan.
Kesimpulan
Dasar Pertimbangan dalam pemberian program bebas bersyarat di
Lapas Kelas IIA Padang didasarkan kepada aturan yang ada yaitu Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 03 Tahun 2018, dimana pertimbangan
dalam pelaksanaan bebas bersyarat diberikan oleh Kepala Lapas Kelas IIA Padang, Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Barat dan Direktur Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Pertimbangan pemberian program bebas bersyarat didasarkan
pada terpenuhinya syarat substantif dan syarat administratif. Apabila syarat
substantif dan administratif di atas tidak terpenuhi maka program pembinaan
melalui bebas bersyarat tidak dapat diberikan.
Pelaksanaan bebas bersyarat dalam kegiatan pembinaan di Lapas Kelas IIA Padang didasarkan pada aturan hukum yang
berlaku tentang program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan khususnya pembinaan
melalui program bebas bersyarat. Berdasarkan aturan yang ada tersebut Lapas
Kelas IIA Padang melaksanakan program bebas bersyarat sebagai tahap akhir
pembinaan dalam upaya proses integrasi narapidana untuk masuk kembali ke
masyarakat. Program bebas bersyarat ini dilaksanakan setelah melalui tahap
pengamatan dan pembinaan yang berkelanjutan di Lapas Kelas IIA Padang mulai
dari masa penahanan sampai dengan masa pelaksanaan program bebas bersyarat.
Kendala
yang ditemui dalam pelaksanaan bebas bersyarat di Lapas Kelas IIA Padang adalah
terlambatnya petikan putusan dari lembaga peradilan baik itu ditingkat Mahkamah
Agung, terlambatnya pelaksanaan eksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum, penjamin
yang tidak sesuai dengan aturan, tidak adanya keluarga sebagai penjamin,
penjamin yang berada di luar kota, proses Pembebasan Bersyarat usulannya sampai
ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan di Jakarta, sulitnya proses pengurusan Justice Collaborator (JC) bagi
narapidana� yang dikenai aturan Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012
BIBLIOGRAFI
Astuti, Catur Adi Prasetyo dan Pudji. (2013). Pelaksanaan Pembebasan
Bersyarat Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Pati. Kajian
Moral Dan Kewarganegaraan, 2(1), 595�609.
Bahtiar, Yan. (2018). Implementasi Cuti Bersyarat di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Palembang. Palembang.
H. E. Setiadi, & SH, M. (2017). Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan
Sistem Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Prenada Media.
HAM, Kementerian Hukum dan. (2013). Peraturan Menteri Hukum dan HAM
tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (p. 44). p.
44. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM.
HAM, Kementerian Hukum dan. (2018). Peraturan Menteri Hukum dan HAM
tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi
Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
(p. 86). p. 86. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM.
Kementerian Hukum dan HAM. (2007). Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat.
Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM.
Marlina. (2011). Hukum Penitensier. Bandung: Rafika Aditama.
Moleong, Lexy J. (2017). Metodologi Penelitian Kualitatif (Revisi).
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Noeke Sri Wardhani, Sri Hartati, Helda Rahmasari. (2015). Sistem Pembinaan
Luar Lembaga Bagi Narapidana Yang Merata Dan Berkeadilan
Berperspektif Pada Tujuan Pemasyarakatan. Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 45(1),
1�32.
Prastowo, Andi. (2011). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif
Rancangan Penelitian.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Setyowati, Utiyafina Mardhati Hazhin dan Kike. (2014). Pemberian Cuti
Bersyarat (CB) Dan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Sebagai Kewenangan Kantor Wilayah
Kementerian Hukum Dan HAM Dalam Upaya Penanganan Over Kapasitas Lapas di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Recidive: Jurnal Hukum Pidana Dan
Penanggulangan Kejahatan, 3(1), 7�16.
Situmorang, Victorio Hariara, HAM, R. I., & Kav, Jl H. R. Rasuna Said.
(2019). Lembaga Pemasyarakatan sebagai Bagian dari Penegakan Hukum. Jurnal
Ilmiah, 13(1), 85�98.
Sudirman, Hasanuddin Masssaile dan Dindin. (2015). Realitas Sosial
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan, dalam Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan,
Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya. Jakarta: Center for Detention
Studies.
Sulianto, Harun. (2019). Hak Narapidana Tindak Pidana Narkotika Untuk
Memperoleh Pembebasan Bersyarat. Jurnal Rechtens, 7(1), 1�17.
Tirtakusuma, Andreas Eno. (2020). Modifikasi Pelaksanaan Putusan
Pengadilan (Kajian Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui
Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran
Covid-19). Selisik: Jurnal Hukum Dan Bisnis, 6(1), 15�29.