Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No. 12, Desember 2024
FUNGSI
JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM NON LITIGASI PADA PELAKSANAAN
PROGRAM JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN
Raden
Muhammad Ridwan Fahrudin1, Husein Alting2, Sultan Alwan3
Universitas Khairun, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1,
[email protected]2, [email protected]3
“Berdirinya
sebuah negara tidak dapat terlepas dari adanya kontrak sosial antar sesama
anggota masyarakat untuk mendirikan satu entitas yang bernama negara. Melalui
kontrak sosial tersebut masyarakat menyerahkan sebagian kebebasannya untuk
dapat diatur dan dibatasi oleh negara. Sebagai kompensasinya negara memiliki
kewajiban dalam memberikan jaminan perlindungan kepada rakyatnya
Pada abad ke-19 munculah
gagasan tentang pembatasan kekuasaan negara melalui pembentukan konstitusi baik
secara tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi ini memuat batas-batas
kekuasaan negara yang pembatasannya dikenal dengan prinsip konstitusionalisme.
Gagasan dan prinsip konstitusionalisme ini lah
kemudian muncul konsep negara hukum, yakni rechtstaat dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental dan rule of law dari
kalangan ahli hukum anglo saxon
Di Indonesia konstitusi (UUD 1945)
telah mengalami beberapa kali amandemen, dimana Pasal
1 ayat 3 telah mengalami tiga kali amandemen, dan amandemen terakhir berbunyi
“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal ini berimplikasi bahwa segala
aspek penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan
kekuasaan (machtstaat).
Selanjutnya, Pancasila sebagai segala sumber dari segala sumber hukum negara
dan UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hierarki tertinggi dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam mewujudkan konsep negara hukum, diperlukan adanya
pemahaman hukum sebagai satu kesatuan sistem. Setiap sistem umumnya terdiri
dari elemen-elemen pendukung. Mengacu pada teori Friedman
maka substansi, struktur dan budaya merupakan tiga elemen pendukung yang sangat
penting sebagai penyangga (pilar) dari sistem hukum
Pada
penelitian ini, Penulis fokus pada pelaksanaan program jaminan sosial
Ketenagakerjaan. Bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjelaskan
pada Bab II tentang pembentukan dan ruang lingkup, mengatur dan membagi tentang
BPJS salah satunya ialah BPJS Ketenagakerjaan. Pada Pasal 6 BPJS
Ketenagakerjaan menyelenggarakan program seperti: 1) jaminan kecelakaan kerja,
2) jaminan hari tua, 3) jaminan pensiun, dan 4) jaminan kematian.
Adanya
BPJS Ketenagakerjaan sebagai bagian dari jaminan sosial maka secara jelas pada
penjelasan Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS bahwa pemberi kerja
secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya termasuk orang asing
yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan menjadi peserta program jaminan
sosial yang diikuti.
Selanjutnya,
dengan adanya peraturan tersebut diatas pemerintah
pun menerbitkan Instruksi Presiden Repubik Indonesia
(Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan dengan menginstruksikan kepada salah satunya kepada
Jaksa Agung untuk melakukan penegakan kepatuan dan
penegakan hukum terhadap Badan Usaha, Badan Usaha Milik Daerah, dan Pemerintah
Daerah dalam ranka optimalisasi pelaksanaan program
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Selanjutnya
dalam rangka mensukseskan program jaminan sosial
dengan melibatkan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penyelenggara kekuasan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain
berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia. Pada UU tersebut mengatur tentang kedudukan, tugas, dan
wewenang Kejaksaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, negara memberikan kekuasaan
yang merdeka bebas dari intervensi pihak manapun
kepada Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Pada Pasal
30 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan RI menyatakan
bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan dalam bidang perdata dan tata usaha negara
dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun di
luar pengadilan mewakili negara atau pemerintah (Agoes, 2012), yang
dalam hal ini mewakili BPJS Ketenagakerjaan. Dasar hukum praktik Jaksa
Pengacara Negara pun mengalami perkembangan dimana
dalam mewakili dan menyelesaikan persoalan Badan Usaha Milik Negara/Daerah
terdapat perbedaan dalam penafsiran hukumnya dilapangan.
Adanya perubahan paradigma diatas membuat peran jaksa pengacara negara mempunyai
kewenangan dan tugas yang berbeda dari sebelum adanya SEMA Nomor 4 Tahun 2014.
Kejaksaan Republik Indonesia selain sebagai lembaga penegak hukum dituntut
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme juga harus mampu mengamankan dan mensukseskan pembangunan Proyek Strategis Nasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur,
menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara melalui bidang perdata
dan tata usaha negara (Agoes,
2016).
Hal ini didasarkan pada Peraturan
Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum lain, dan
Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Bahwa didalam lampirannya menjelaskan mengenai peran Jaksa
Pengacara Negara berdasarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) dapat melakukan penegakan
hukum dan bantuan hukum dan/atau berdasarkan surat perintah melakukan
pertimbangan hukum, tindakan hukum lain dan pelayanan hukum di bidang perdata
dan tata usaha negara. SKK ialah surat yang berisi pemberian kuasa kepada pihak
lain yang menerimanya untuk melaksanakan kepentingan tertentu untuk dan atas
nama pemberi kuasa.
Bahwa Peran Jaksa Pengacara Negara
melalui bidang perdata dan tata usaha negara diatas
dalam praktiknya kemudian sebagai penerima kuasa dalam surat kuasa khusus (SKK)
yang dalam hal ini mewakili BPJS Ketenagakerjaan untuk menangani persoalan
hukum terkait para pengusaha yang belum mencatat dirinya dan mendaftarkan
karyawannya menjadi anggota program tanggungan tenaga kerja.
Pada praktiknya pelaksanaan jaminan
sosial Ketenagakerjaan, terdapat kendala dalam kewajiban kepatuhan pemberi
kerja dalam pemenuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan dikarenakan hanya sanksi
administratif bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerja dalam jaminan
sosial Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan masih terbatas memberi peringatan
kepada pemberi kerja agar dapat mengikutsertakan pegawai/pekerjanya kedalam program jaminan sosial yang pada pelaksanaan di
lapangan belum dipatuhi sepenuhnya dari pemberi kerja. Adanya SKK yang
diberikan kepada Kejaksaan dapat bekerjasama dalam
melakukan pemanggilan terhadap perusahaan pemberi kerja dalam rangka melakukan
mediasi mengenai belum terdaftarnya dalam program BPJS Ketenagakerjaan,
memberikan batas waktu untuk melakukan pendaftaran, mendata pekerjanya untuk
ikut serta sebagai anggota jaminan sosial Ketenagakerjaan agar hak-hak nya dapat terpenuhi.
Di Indonesia kepesertaan
jaminan sosial Ketenagakerjaan yang diselenggrakan
oleh BPJS Ketenagakerjaan mengalami kenaikan dari 19,2 juta pekerja pada tahun
2015 menjadi 41,5 juta pekerja pada tahun 2023. Artinya, saat ini lebih dari 30
persen pekerja di Indonesia telah terlindungi oleh program jaminan sosial
Ketenagakerjaan, yang terdiri dari berbagai segmen peserta seperti swasta,
informal, pekerja rentan, pegawai non ASN hingga Pekerja Migran Indonesia
(Suprapto, 2024).
Pada penelitian ini, Penulis
terfokus pada lokasi penelitian di Kejaksaan Tinggi Maluku dan Kantor BPJS
Cabang Ternate. Hal ini didasarkan melihat data kepesertaan
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Provinsi Maluku Utara yang masih sangat jauh
atau banyak belum tercover Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan. Bahwa program jaminan sosial Ketenagakerjaan di Maluku Utara
tercatat baru menyentuh angka 51 persen dari 351.172 angkatan kerja, baru
181.446 yang sudah terlindungi program jaminan sosial Ketenagakerjaan.
Bahwa berdasarkan data (Badan
Penjamin Sosial Ketenagakerjaan Cabang Ternate di Provinsi Maluku Utara, 2024) setidaknya 49 persen lagi
atau 169.726 angkatan kerja yang pelru dicover jaminan sosial Ketenagakerjaan di Provinsi
Maluku Utara.
Hal ini dapat terlihat bahwa belum efektifnya dan masih minimnya pekerja yang
terlindungi hak-haknya dalam pekerjaan yang menimbulkan berbagai resiko.
Selanjutnya, Kejaksaan dalam
pelaksanaan fungsi bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan Tinggi
Maluku Utara oleh Jaksa Pengacara Negara melakukan perjanjian kerjasama/MoU dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate yang sudah berlangsung sejak tahun 2016
sampai dengan sekarang guna penyelesaian permasalahan di bidang perdata.
Sebagai tindak lanjut dari
perjanjian kerjasama, pada tahun 2022 Kejaksaan
Tinggi Maluku Utara menerima permohonan Surat Kuasa Khusus (SKK) pada 23 April
2022 dari BPJS Ketenagakerjaan tentang kepatuhan pemberi kerja dalam
pendaftaran jaminan sosial Ketenagakerjaan sebanyak 49 pemberi kerja yang kemudian
ditindaklanjuti dengan melakukan penegakan hukum dan bantuan hukum secara non litigasi.
Pada praktiknya Jaksa Pengacara
Negara hanya melakukan penyelesaian permasalahan kepatuhan jaminan sosial
Ketenagakerjaan setelah pihak BPJS Ketenagakerjaan merasa tidak mampu lagi
untuk melakukan penegakan kepatuhan dalam jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga
proses penyelesaian oleh Jaksa Pengacara Negara tidak berjalan efektif karena
hanya melakukan tindakan berdasarkan SKK.
Padahal, dapat dilihat berdasarkan
kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan, hadirnya JPN menjaga kewibawaan
pemerintah. Beberapa contoh kasus tunggakan yang tidak selesai, nyatanya belum
efektif jika tidak dilakukan upaya lanjutan misalnya dengan memberi somasi dan
upaya hukum lainnya. BPJS Ketenagakerjaan dianggap belum sepenuhnya percaya
kepada Kejaksaan dalam mensukseskan peningkatan
sosial Ketenagakerjaan.
Terbatasnya fungsi Jaksa Pengacara
Negara dalam perjanjian kerjasama dengan BPJS
Ketenagakerjaan dalam menjalankan tugas dan wewenang terkait dengan
penyelesaian permasalahan jaminan sosial Ketenagakerjaan, menjadikan penulis
tertarik untuk mengkaji lebih mendalam terkait perbaikan kedepan
untuk Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak
para pekerja sekaligus tujuan lebih lanjut lebih luas lagi dengan pemulihan
keuangan negara. Dapat dikaatkan emakin
banyak atau meningkatmya pekerja yang tercover BPJS Ketenagakerjaan maka jaminan hak pekerja juga
semakin terlindungi dengan baik.
Oleh karena itu, Penulis
perlu melihat sejauhmana efektivitas dan hambatan
yang ditemukan Jaksa Pengacara Negara, dalam menjalankan peran dan fungsinya
dalam peningkatan kepatuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan, sehingga Penulis
mengambil judul “Fungsi Jaksa Pengacara Negara dalam Penegakan Hukum Non Litigasi pada Pelaksanaan Program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan (Studi Kerjasama Kejaksaan Tinggi
Maluku Utara dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kantor
Cabang Ternate)”. Penelitian ini
bertujuan sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui efektivitas fungsi Jaksa
Pengacara Negara dalam penegakan hukum non litigasi
dalam meningkatkan kemanfaatan kepatuhan
kewajiban pemberi kerja pada jaminan sosial Ketenagakerjaan. (2) Untuk
mengetahui hambatan Jaksa Pengacara Negara dalam penegakan hukum non litigasi dalam meningkatkan kepatuhan pemberi kerja dalam
pendaftaran jaminan sosial Ketenagakerjaan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris (sosio-legal study), yang bertujuan
untuk mengkaji fenomena hukum yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, di mana data empiris diperoleh dari perilaku manusia, baik melalui wawancara
langsung maupun observasi di lapangan. Populasi dalam penelitian ini mencakup semua pihak yang terkait dengan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Provinsi
Maluku Utara, termasuk aparat
penegak hukum, pelaksana BPJS Ketenagakerjaan, pemberi kerja, dan penerima manfaat. Sampel diambil secara purposive, yaitu berdasarkan kriteria tertentu, seperti Jaksa Pengacara Negara yang berpengalaman
dan petugas BPJS Ketenagakerjaan
yang bertugas di wilayah ini.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi wawancara,
observasi langsung, dan telaah pustaka. Wawancara dilakukan dengan responden yang telah dipilih berdasarkan
kriteria yang relevan, sementara observasi dilakukan untuk mengamati langsung situasi dan kondisi di lapangan. Telaah pustaka dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis bahan pustaka terkait, termasuk buku, dokumen, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.
Data yang telah dikumpulkan
kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang bertujuan untuk memahami, mengembangkan teori, dan menggambarkan fenomena secara kompleks tanpa menggunakan perhitungan statistik.
Hasil
dan Pembahasan
Efektivitas Jaksa
Pengacara Negara dalam Penegakan Hukum Non Litigasi
dalam Meningkatkan Kemanfaatan Kepatuhan pada Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Sebelum berbicara terkait efektivitas perlu diketahui pengertian
efektivitas itu sendiri. Kata efektivitas berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) efektivitas artinya manjur, mujarab, ada efeknya, dapat membawa
keberhasilan dan daya guna. Suatu usaha dapat dikatakan efektif apabila dalam
suatu kegiatan yang dilakukan merujuk pada hasil akhir yang dicapai dapat
terwujud, sesuai dengan tujuan dan tercapainya keberhasilan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi instansi tersebut.
Menurut Supriyono, efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu
pusat tanggung jawab dengan sasaran yang akan dicapai, semakin besar kontribusi
yang diberikan dari pada keluaran dapat disimpulkan efektif (Supriyono, 2000). Bahwa terjadinya suatu akibat atau efek yang dikehendaki dan menekankan
pada hasil akhirnya atau efek dalam mencapai tujuan, dapat tercapai suatu
keefektifan.
Sedangkan istilah teori efektivitas hukum berasal dari bahasa Inggris effectivieness of the legal theory, dalam
bahasa Belanda disebut effectiviet van de juridische
theorie. Menurut Hans Kelsen
(Usman, 2009), efektivitas hukum
berkaitan dengan validitas hukum yang merujuk pada apakah orang tersebut
berbuat suatu cara untuk menghindari sanksi yang diancamkan oleh norma hukum
atau bukan, dan apakah sanski tersebut benar
dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi. Bahwa teori
efektivitas mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan dan kegagalan dan
faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum.
Pada pembahasan ini, menurut Penulis efektivitas adalah sesuatu hal yang
berjalan sesuai sasaran/indikator awal dibentuk serta dapat diimplementasikan
di lapangannya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan
efektivitas hukum adalah suatu hal yang sangat penting sekali untuk mengukur sejauhmana kegiatan atau hal yang menjadi tujuan dalam
suatu organisasi dapat mencapai program yang sedang dikerjakan. Bahwa dikatakan
efektivitas hukum ialah terkait dengan hukum itu bekerja dalam mengatur
masyarakat agar taat kepada hukum untuk mencapai suatu tujuan akhir dari hukum,
kemudian ada kesesuaian antara yang diatur dalam hukum dengan pelaksanaannya.
Teori efektivitas hukum dalam mengkaji dan menganalisi
tentang keberhasilan dan kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
pelaksanaan dan penerapan hukum terdapat 3 (tiga) poin penting yaitu (Novitasari, 2018): a)
keberhasilan dalam pelaksanaan hukum, b) kegagalan dalam pelaksanaannya, dan c)
faktor yang mempengaruhinya. Menurut Penulis, perlu melihat terlebih dahulu
pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara dalam
meningkatkan kemanfaatan kepatuhan kewajiban pemberi kerja pada jaminan sosial
ketenagakerjaan.
Pelaksanaan penegakan hukum, perlu dilihat dari tugas Kejaksaan sebagai
salah satu aparat penegakan hukum. Bahwa dalam mendukung program kerja
pemerintah dan sebagai lembaga yang satu-satunya dalam penegakan hukum pada
bidang penuntutan ranah hukum Pidana, Kejaksaan juga memiliki tugas lain
dibidang pembinaan pada bagian manajerial Sumber Daya Manusia, bidang Intelijen
terkait penegakan kepentingan umum, penerangan hukum, bidang Tindak Pidana
Khusus terkait kasus tindak pidana korupsi yang berperan sebagai penyidik,
bidang Tindak Pidana Umum penerapan Tindak Pidana pada KUHP dan Aturan yang
lain, bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (TUN) untuk meneggakan
wibawa pemerintah pada perkara Perdata dan TUN, dan bidang Pengawasan sebagai
pengawas internal yang melekat di internal para pegawai Kejaksaan.
Pada penelitian ini, Penulis fokus pada Bidang Perdata dan TUN khususnya
pada Penegakan Hukum Non Litigasi Program Jaminan
Sosial. Jaksa Pengacara Negara di Kejaksaan berperan sebagai mitra pemerintah
khususnya pada ranah perdata yang diharapkan menjadi katalis percepatan tugas
pemerintahan. Pada
masa reformasi penegakan hukum memperoleh sorotan yang tajam khususnya dalam
penegakkan tindak pidana korupsi, dimana Kejaksaan
juga mengalami dinamika perubahan dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia. Adanya perubahan UU tersebut
memperkuat peran Jaksa yakni tanggung jawab dalam fungsi penuntutan khususnya
dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.
1.
Mekanisme
Penyelesaian oleh Jaksa Pengacara Negara dalam Penegakan Hukum Non
Litigasi
Secara teoritis pengertian penegakan hukum adalah
proses untuk mengukur keefektifan dari suatu hukum di masyarakat. Sebagaimana
menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah
suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan,
mempunyai arti bahwa keinginan hukum disini tidak
lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam
hukum. Perumusan pemikiran pembuat peraturan hukum tersebut yang dituangkan
dalam peraturan hukum yang akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu
dijalankan.
Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan untuk manusia agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi
dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hukum yang telah
dilanggar harus ditegakkan, sehingga melalui penegakan hukum inilah hukum itu
akan menjadi kenyataan. Bahwa adanya analisis dari penegakan hukum dapat
mempermudah dalam melakukan perbaikan-perbaikan kedepan.
Dalam penegakan hukum, Penulis fokus pada penegakan hukum non litigasi, yakni adalah suatu
mekanisme penyelesaian sengketa hukum perdata dan TUN di luar
pengadilan/arbitrase yang dapat dilakukan antara lain dengan negosiasi.
Negosiasi merupakan proses merundingkan atau melakukan pembicaraan mengenai
sesuatu hal yang dilakukan secara dua arah yaitu dengan keterlibatan
pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan arbitrase adalah cara penyelesaian
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.Pada
prinsipnya non litigasi yakni setiap perkara di
bidang perdata diutamakan untuk diselesaikan di luar pengadilan.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan Jaksa Pengacara pada Kejaksaaan Tinggi Maluku
Utara, pada pendampingan kasus BPJS Ketenagakerjaan yakni sebagai berikut (Suyanto, 2024):
Bahwa dalam melakukan penyelesaian non litigasi tugas JPN didasarkan pada MoU terlebih dahulu.
Artinya, terhadap permasalahan yang dihadapi dapat dituangkan pada SKK yang
berisikan tentang tagihan pemberi kerja yang belum bisa membayar program
jaminan sosial ketenagakerjaan. Tagihan ini kemudian akan menjadi jaminan
sosial manfaat kepada karyawan atau penerima manfaat (Suyanto, 2024).
Bahwa dapat terlihat pelaksanaan
penegakan hukum yang dilakukan JPN didasarkan oleh SKK. Adanya SKK merupakan
kewenangan JPN mewakili negara atau pemerintah untuk menangani permasalahan
hukum di bidang perdata dan tata usaha negara. Jaksa Agung Muda perdata dan TUN
menerima SKK dengan hak substitusi dari kepala badan, direktur utama badan
usaha milik negara, pejabat eselon I di pusat dan/atau yang setara selaku pemebri kuasa. Adanya surat kuasa substitusi berlaku sesuai
dengan ruang lingkup dan waktu yang tercantum dalam klausul SKK, kecuali
ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil wawancara,
terdapat langkah-langkah yang dijadikan basis dalam pemahaman bagi penunggak,
yaitu:
Bahwa terdapat langkah-langkah yang dapat diambil yakni
dengan memberikan pemahaman terhadap pengunggak
tentang konsekuensi tunggakannya, yaitu program BPJS Ketenagakerjaan seyogyanya
merupakan amanat jaminan sosial oleh undang-undang, jika pekerja terlindungi
maka perusahaan juga akan terhindar dari risiko ketenagakerjaan. Apabila
perusahaan yang menunggak maka akan diberikan sanksi berupa administrasi,
perdata, bahkan sampai pada pidana.
Dalam penegakan hukum non litigasi
Landasan hukum Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara pada saat ini
diatur dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu dalam Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 34
ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 junto Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan
bahwa Kejaksaan dengan Surat Kuasa Khusus (SKK) dapat bertindak di dalam maupun
di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah, serta dapat
memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada pemerintah. Kejaksaan Tinggi
dalam tugas dan fungsi di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara melalui Peran
Jaksa Pengacara Negara memberikan jasa hukum baik kepada masyarakat maupun kepada
pemerintahan daerah dan BUMN. Pelaksanaan Fungsi di Bidang Perdata dan Tata
Usaha Negara berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2021 meliputi pada Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pelayanan Hukum,
Pertimbangan Hukum serta Tindakan Hukum Lain. Tugas dan fungsi tersebut
merupakan layanan Hukum kepada masyarakat dan stakeholder
lain sebagai katalis dalam penyelesaian permasalahan di bidang keperdataan. Selain itu Bidang Perdata dan Tata Usaha
Negara hadir dalam melaksanakan pemulihan dan perlindungan hak serta penegakkan
kewajiban pemerintah.
Selain itu, tugas dan fungsi dipertegas dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, Jaksa Agung
Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan
tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara,
sedangkan lingkup bidang perdata dan tata usaha negara meliputi penegakan
hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan hukum lain kepada negara
atau pemerintah.
Sedangkan, aturan dasar di
Kejaksaan Tinggi Maluku Utara juga dilakukan koordinasi dengan Perjanjian
Kerja Sama/MoU antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate dengan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara
tentang Penanganan Masalah Hukum Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Nomor:
PER/14/07/20222 dengan Nomor: B-1083/S.2/Gs,1/7/2022 tanggal 7 Juli Tahun 2022
di Manado. Perjanjian ini dibuat bertujuan untuk meningkatkan efektivitas
penanganan dan/atau penyelesaian masalah hukum dalam bidang perdata dan Tata
Usaha Negara, baik di dalam maupun diluar pengadilan.
Bahwa terdapat ruang lingkup dari Perjanjian Kerja
sama diatas, yaitu meliputi sebagai berikut:
1)
Pemberian Bantuan Hukum oleh Jaksa
Pengacara Negara (JPN) dalam perkara perdata maupun tata usaha negara untuk
mewakili BPJS Ketenagakerjaan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat
yang dilakukan secara litigasi maupun non litigasi;
2)
Pemberian pertimbangan hukum oleh Jaksa
Pengacara Negara (JPN) dengan memberikan Pendapat Hukum (Legal Opinion/LO) dan/atau Pendampingan Hukum (Legal Assistance/LA) di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dan/
atau Audit Hukum (Legal Audit) di Bidang
Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara;
3)
Tindakan Hukum Lain, yaitu pemberian
layanan hukum lain oleh JPN dalam rangka menyelamatkan dan memulihkan keuangan/
kekayaan negara serta menegakkan kewibawaan pemerintah melalui negosiasi,
mediasi dan fasilitasi.
4)
Peningkatan kompetensi sumberdaya
manusia melalui Pelatihan Bersama di dalam dan diluar
negeri,
sosialisasi, magang dan penyediaan narasumber.
5)
Kerjasama lain
dalam rangka mitigasi resiko
hukum, termasuk pecegahan tindak pidana korupsi. Mekanisme diterbitkan SKK, SKS, sampai pada penerapan non litigasi
Berdasarkan dokumen yang
diperoleh dari kantor Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara
dalam melakukan peningkatan program jaminan sosial menggunakan pendeketan jalur Non Litigasi
terdapat alur mekanisme dalam melakukan Bantuan Hukum Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan dimulai dengan megumpulkan berkas
sebagaimana berikut:
1) Penerbitan Nota Kesepahaman/MoU, yang ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan
Tinggi dan Pimpinan Kantor Cabang;
2) Penerbitan Surat Kuasa Khusus, contohnya peneribitan
dana dengan tunggakan iuran yang dimohonkan;
3) Penerbitan Surat Kuasa Substitusi, penerbitan surat kuasa oleh Kepala
Kejaksaan Tinggi Maluku Utara kepada Jaksa Pengacara Negara;
4) Penerbitan Surat Perintah Negosiasi, aturan teknis dalam melakukan non litigasi pada jaksa pengacara negara;
5) Berita Acara Negosiasi Penagihan Tunggakan Pembayaran Iuran Tetap, dengan
mengetahui alasan dan kondisi perusahaan dalam melakukan pembayaran.
Bahwa menurut Pasal 11 Undang-undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, kewenangan BPJS antara lain
berwenang untuk menagih pembayaran iuran serta melakukan pengawasan dan
pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi
kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan
sosial nasional. Adapun pengertian “menagih” dalam pasal ini penjelasannya
adalah meminta pembayaran dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau
kekurangan pembayaran iuran.
Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengatur adanya kewajiban dari
Pemberi Kerja untuk membayar Iuran BPJS, sehingga adanya kewajiban yang tidak
dipenuhi tersebut menimbulkan kerugian bagi BPJS. Dalam konteks ini terdapat
perbuatan melawan hukum perdata yakni adanya perbuatan yang melanggar Pasal
1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) yang memuat kaidah pihak yang
dirugikan oleh pihak lain berhak menuntut ganti rugi dimana
ganti rugi ini bukan dalam lapangan perjanjian. Pada Pasal 55 Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2011 memuat kaidah adanya sanksi bagi Pemberi Kerja yang tidak
membayar Iuran BPJS yakni sanksi berupa pidana penjara atau denda sehingga
dalam konteks ini terdapat perbuatan melawan hukum pidana.
Menurut Penulis, terkait dengan
mekanisme penyelesaian Jaksa Pengacara Negara dalam menyelesaikan kasus non litigasi yakni penyelesaiannya sudah mendasarkan pada
aturan yang berlaku. Pemohon mengajukan
Surat Kuasa Khusus kepada JPN berkaitan dengan kepentingan masing-masing klien,
kemudian Kepala Kejaksaan Tinggi mengeluarkan Surat Kuasa Substitusi dalam
pembentukan Tim dan mengupayakan penyelesaian secara non litigasi.
Upaya Klarifikasi, Mediasi dan
Konsiliasi telah dilakukan Tim JPN dalam menyelesaikan sengketa Jaminan Sosial Ketengakerjaan. Praktiknya, disini
JPN mewakili dari BPJS Ketenagakerjaan melakukan pemanggilan kepada Pemberi Kerja untuk melakukan pembayaran guna
memenuhi hak karyawan. Setelah dilakukan pemanggilan selama 3 kali, belum
melakukan pembayaran maka JPN melakukan klarifikasi secara langsung kepada
Pemberi Kerja beserta menanyakan kesanggupan untuk membayar iuran premi. Upaya
tersebut memaksimalkan jalur non litigasi terlebih
dahulu, apabila tidak bisa maka ditempuh jalur litigasi
berupa gugatan sederhana.
2.
Efektivitas Peningkatan kemanfaatan
kepatuhan pada Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Efektivitas secara umum diartikan sebagai tingkat
pencapaian suatu tujuan. Sesuatu dikatakan efektif jika berhasil mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks hukum, efektivitas mengacu pada
sejauh mana hukum mampu mencapai tujuannya.
Berdasarkan hasil wawancara
kepada Jaksa Pengacara Negara, terdapat
peran JPN sebagai mitra BPS yaitu:
Salah satu peran JPN sebagai mitra dari BPJS
Ketenagakerjaan bersifat sebagai Konsultan yakni berkaitan dengan pertimbangan
hukum dengan mengeluarkan pendapat hukum atau pendampingan hukum. JPN memiliki
fungsi bantuan hukum sebagai teknis penyelesaian sengketa litigasi
maupun non litigasi. Bahwa akan menjadi efektif,
apabila tim JPN itu sendiri juga dapat mengakomodir
sistem hirerarki, jadi apabila ada
permasalahan/sengketa diluar wilayah maka dapat
melibatkan Jajaran di Tim JPN Kejaksaan Tinggi yang lain, atau bahkan sengketa
dapat di koordinasikan dengan Tim Jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata
Usaha Negara (Nursubhan, 2024).
Pengaturan jaminan sosial di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) serta Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kedua
undang-undang tersebut, jaminan sosial didefiniskan
sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jaminan sosial dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial
Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa jaminan sosial
Ketenagakerjaan menjadi hak bagi pekerja dan keluarganya.
Program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan bagi sektor penerima upah merupakan program paket yang wajib
diikuti oleh setiap pengusaha ataupun pemberi kerja ataupun Badan Usaha.
Terbentuknya tunggakan iuran atau piutang adalah akumulasi dari iuran bulanan
yang tidak dibayarkan oleh Pemberi Kerja/Badan Usaha. Iuran tersebut
dipergunakan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua
(JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) (Putra, 2024). Perbandingan
tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan Data BPJS Ketenagakerjaan .
Tabel 1. Tingkat Partisipasi
Tahun |
Potensi |
Coverage |
% Coverage |
Gap |
2023 |
351.172 |
150.349 |
42,81% |
251.664 |
2024 |
351.172 |
181.446 |
51% |
169.726 |
Keterangan: Data diambil dari Rapat Monitoring
dan Evaluasi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021
Berdasarkan data yang diperoleh
dari BPJS Ketenagakerjaan, tingkat partisipasi masyarakat di Provinsi Maluku
Utara khususnya para pekerja belum efektif. Terhitung pada Tahun 2023 sampai dengan 2024 presentase
kepesertaan terakhir pada 51% dan hanya mengalami
peningkatan sebesar 8,19%. Hal ini perlu ditingkatkan kembali sinergitas BPJS Ketenagakerjaan dalam menggandeng stakeholder terkait untuk mengoptimalisasi
program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Data Pemulihan Keuangan Negara BPJS Ketenagakerjaan
Cabang Ternate berdasarkan SKK Kejaksaan Tinggi Maluku Utara.
Tabel 1. Data Pemulihan Keuangan Negara
BPJS
No |
Piutang Berjalan |
Realisasi |
Pemulihan Keuangan Negara |
1 |
Rp.
14.477.220.708 |
Rp.
1.031.617.333 |
Rp.13.
445.603.375 |
2 |
49 Perusahaan |
28 Perusahaan |
21 Perusahaan |
Keterangan: Data diambil dari Surat BPJS Ketenagakerjaan
B/9645/122022 perihal Undangan Monitoring &
Evaluasi SKK Juli - Desember 2022
Peningkatan kepersertaan
dapat dilihat pada Surat Kuasa Khusus BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate, yang berhasil ditangani oleh Tim Jaksa
Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara di tahun 2022 dari hasil piutang
berjalan Rp 14.477.220.708 dikurangi Rp 13.445.603.375
telah berhasil memulihkan sebesar Rp 1.031.617.333. Data perusahaan yang
menunggak dari 49 perusahaan yang diajukan SKK dapat diselesaikan sebanyak 28
perusahaan, sisa 21 perusahaan yang
sedang ditangani oleh Tim JPN Kejaksaan Tinggi Maluku Utara.
Terhadap realisasi perusahaan
yang telah dilakukan pekerjaan maka dapat dianalisis dari rumus rata-rata
penyelesaian yakni 28:49x100= 57,14 %. Artinya tingkat efektivitas masih dapat
dikatakan kurang dari setengah perusahaan yang membayar. Hal ini dikarenakan
peran JPN Kejati Maluku Utara telah berhasil menyelesaikan tunggakan iuran,
namun progresnya masih belum begitu efektif dalam penyelesaian SKK.
Sedangkan untuk penyelamatan
keuangan negara dapat dilihat dengan pemulihan dibagi dengan piutang negara,
yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Rp 1.031.617.333 : Rp14.477.220.708 x100= 7,6%. Hal ini dapat terlihat, bahwa belum efektif
yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate dengan Kejati Maluku Utara.
Adapun jika dianalisis lebih lanjut, yakni piutang terbsesar
pada Perusahaan PT. Nusa Halmahera Mineral
di tahun 2023 (semester I)
sebesar Rp. 13.448.042.957 atau sebanyak 93% dari total piutang yang
tertunggak.
Berdasarkan hasil wawancara
kepada Tim JPN Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, terdapat kasus menarik yang bisa
dijadikan contoh yakni perusahaan Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang bergerak
pada tambang kandungan emas. Perusahaan belum membayar kewajiban terhitung pada
bulan Juli tahun 2024 total tunggakan sebanyak 71.000.000.000; (tujuh puluh
satu milyar) yang belum terbayarkan. Dalam mensiasati
hal tersebut, perusahaan mengambil langkah kebijkan
dengan sebanyak 1.500 karyawan dijatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), namun
kita mengambil langkah sebelum dilakukan PHK harus dibayarkan dulu agar hak
pekerja terhadap program jaminan dapat terjamin.
Jaksa harus memilah profil
perusahaan yang kedepannya dapat dilakukan penagihan.
Perusahaan yang tidak mempunyai kemampuan bayar harus dapat diseleksi secara
awal. Hal ini agar JPN tidak hanya menjadi “keranjang sampah” terhadap
permasalahan yang memang tidak ada potensi untuk terselesaikan dikarenakan memang
perusahaan dinyatakan pailit. BPJS Ketenagakerjaan sebagai core
business mengatur dan memanajerial
Jaminan sosial ketenagakerjaan. Sedangkan Jaksa Pengacara Negara bertugas yang
melakukan pengawasan dan penegakan kepatuhan hukum pelaksanaan jaminan sosial
ketenagakerjaan. Sehingga dapat dipetakan beban dan tanggung jawab yang
seharusnya menjadi core business
BPJS Ketenagakerjaan tidak berpindah sepenuhnya kepada JPN.
Adapun jika dianalisis
menggunakan teori efektivitas, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi Efektifitas Jaksa Pengacara Negara dalam
Program Jaminan Soial terdapat
beberapa faktor sebagai berikut:
1.
Faktor Hukum
Faktor hukum ialah berupa peraturan perundang-undangan
(peraturan tertulis) berlaku umum dan dibuat oleh pemerintah pusat maupun
daerah yang sah. Adanya beberapa asas dalam UU mempunyai dampak positif agar UU
tersebut mencapai tujuannya secara efektif dalam kehidupan masyarakat. Faktor
hukum menjadi pondasi awal untuk melihat sejauh mana
pembagian kewenangan peran dan fungsi dalam menjalankan kegiatan dan dapat
aplikatif di lapangan sesuai dengan tujuan dibentuknya aturan hukum.
Bahwa lahirnya Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
menjelaskan pada Bab II tentang pembentukan dan ruang lingkup, mengatur dan
membagi tentang BPJS salah satunya ialah BPJS Ketenagakerjaan. Pada Pasal 6
BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program seperti: 1) jaminan kecelakaan
kerja, 2) jaminan hari tua, 3) jaminan pensiun, dan 4) jaminan kematian,
membawa angin segar pada perlindungan kepada masyarakat.
Adanya BPJS Ketenagakerjaan sebagai bagian dari
jaminan sosial maka secara jelas pada penjelasan Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun
2011 tentang BPJS bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan
dirinya dan pekerjanya termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6
(enam) bulan menjadi peserta program jaminan sosial yang diikuti. Selanjutnya,
dengan adanya peraturan tersebut diatas pemerintah
pun menerbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 2 Tahun
2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
dengan menginstruksikan kepada salah satunya kepada Jaksa Agung untuk melakukan
penegakan kepatuan dan penegakan hukum terhadap Badan
Usaha, Badan Usaha Milik Daerah, dan Pemerintah Daerah dalam ranka optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan.
Selanjutnya dalam rangka mensukseskan
program jaminan sosial dengan melibatkan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga penyelenggara kekuasan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pada UU tersebut mengatur tentang
kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan. Lahirnya Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, negara memberikan
kekuasaan yang merdeka bebas dari intervensi pihak manapun
kepada Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Lahirnya instruksi Presiden diatas
membawa perubahan paradigma peran Jaksa Pengacara Negara dalam keterlibatannya
dalam penegakan hukum di Indonesia. Dasar hukum praktik Jaksa Pengacara Negara
pun mengalami perkembangan dimana dalam mewakili dan
menyelesaikan persoalan Badan Usaha Milik Negara/Daerah terdapat perbedaan
dalam penafsiran hukumnya dilapangan.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun
2012 Hasil Rapat Pleno Kamar Perdata menjelaskan bahwa:
”Jaksa
sebagai Pengacara Negara tidak dapat mewakili BUMN (Persero) karena BUMN
tersebut berstatus badan hukum privat (vide Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2023
tentang BUMN”.
Dalam
perkembangannya berdasarkan Surat Edaran MahkamahAgung
(SEMA) Nomor 4 Tahun 2014, khususnya pada Pleno Kamar Perdata di tahun 2013
Jaksa Pengacara Negara berwenang mewakili BUMN dalam menyelesaiakan
sengketa maupun gugatan, yakni didasarkan pada Pasal 24 ayat (2) Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan sebagai berikut :
“Lingkup
bidang perdata dan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan hukum
lain kepada negara atau pemerintah, meliputi lembaga negara/badan negara,
lembaga/instansi pemerintah pusat dan daerah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah
di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan, memulihkan
kekayaan negara, menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta memberikan
pelayanan hukum kepada masyarakat”.
Adanya
perubahan paradigma diatas membuat peran jaksa
pengacara negara mempunyai kewenangan dan tugas yang berbeda dari sebelum
adanya SEMA Nomor 4 Tahun 2014. Kejaksaan Republik Indonesia selain sebagai
lembaga penegak hukum dituntut menegakkan supremasi hukum, perlindungan
kepentingan umum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme juga harus mampu
mengamankan dan mensukseskan pembangunan Proyek
Strategis Nasional guna mewujudkan
masyarakat adil dan makmur, menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan
negara melalui bidang perdata dan tata usaha negara (Agoes, 2016).
Jaksa Pengacara Negara melakukan kewenangan di Bidang
Perdata dan Tata Usaha Negara didasarkan pada aturan hukum yakni UU Nomor 16
Tahun 2024 tentang Kejaksaan RI jo. UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan
RI. Pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan RI
menyatakan bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan dalam Bidang Perdata dan Tata
Usaha Negara dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam
maupun di luar pengadilan mewakili negara atau pemerintah.
Dalam
meningkatkan kualitas pelaksanaan wewenang, tugas, dan fungsi kejaksaan RI di
bidang perdata dan tata usaha negara, kemudian dibuat aturan teknis lebih
lanjut mengenai Jaksa Pengacara Negara dalam melaksanakan kewenangannya dalam
TUN diatur pada Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-025/A/JA/11/2015 sebagaimana
dirubah dengan Peraturan Kejakasaan
Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum,
Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum lain, dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata
dan Tata Usaha Negara.
Pada Peraturan Kejaksaan Nomor 7 tahun 2021 tersebut diatas menjelaskan bahwa kepentingan hukum tata usaha
negara dari negara atau pemerintah adalah kepentingan yang berkaitan dengan
penegakan kewibawaan pemerintah sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Terdapat tugas Jaksa Pengacara Negara berdasarkan surat
kuasa khusus dapat melakukan penegakan hukum dan bantuan hukum dan/atau
berdasarkan surat perintah melakukan pertimbangan hukum, tindakan hukum lain,
dan pelayanan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara.
Menuurt Penulis, bahwa
faktor hukum dalam melaksanakan penegakan hukum non litigasi
dalam membantu BJPS Ketenagakerjaan di cabang Ternate didasarkan pada SKK belum
maksimal dilaksanakan. Pada praktiknya Jaksa Pengacara Negara hanya melakukan
penyelesaian permasalahan kepatuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan setelah
pihak BPJS Ketenagakerjaan merasa tidak mampu lagi untuk melakukan penegakan
kepatuhan dalam jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga proses penyelesaian
oleh Jaksa Pengacara Negara tidak berjalan efektif karena hanya melakukan
tindakan berdasarkan SKK.
Padahal, dapat dilihat berdasarkan kewenangan yang
dimiliki oleh Kejaksaan, hadirnya JPN menjaga kewibawaan pemerintah. Beberapa
contoh kasus tunggakan yang tidak selesai, nyatanya belum efektif jika tidak
dilakukan upaya lanjutan misalnya dengan memberi somasi dan upaya hukum
lainnya. BPJS Ketenagakerjaan dianggap belum sepenuhnya percaya kepada
Kejaksaan dalam mensukseskan peningkatan sosial
Ketenagakerjaan. Terhadap perusahaan yang tidak bisa melakukan pembayaran
iuran, dapat dilakukan rekomendasi kepada aturan pemberian gaji terhadap
pemotongan gaji untuk dapat dituntut pailit apabila tidak bisa memberikan
pemahaman dalam penegakaan hukum .
2.
Faktor Penegak Hukum
Faktor
penegak hukum menjadi poin penting juga untuk menganalisis sejauhmana
pelaksana dari aturan hukum di lapangannya. Bahwa penegak hukum merupakan
pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Penegak hukum
adalah bagian dari aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian,
keadilan dan kemanfaatan hukum secara proporsional. Aktor yang terlibat dari penjamin
jaminan sosial dalam hal managemen dalam penelitian
ini yakni BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate, sedangkan untuk penegak aturan diantaranya JPN Kejati Maluku Utara,
Polri atau Dinaster.
JPN Kejati Maluku Utara telah melakukan upaya terkait
penagihan kepada perusahaan yang belum membayarkan iuran. Adapun dari pihak
BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate, belum memberikan data dan dokumen secara
lengkap yang diperlukan kepada Tim JPN untuk menganalisis lebih mendalam
terkait Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Hal ini membuat JPN mengalami kesulitan
ketika akan melakukan pendalaman terkait dengan pendampingan dalam penegakan
hukum non litigasi nya.
Selanjutnya, terdapat tim pegawas
lain seperti Polri dan Dinaskertrans yang ikut
mengawal proses dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan, akan tetapi belum dirasa
cukup dalam mendukung penyelesaian bersama. Menurut Penulis, perlu dilakukan
upaya koordinasi lebih maksimal, agar dapat saling membantu dalam penyelesaian
kasus BPJS Ketenagakerjaan, dengan terhimpun/membentuk satuan gugus tugas
khusus agar dapat maksimal dalam setiap pelaksanaannya.
3.
Faktor
Sarana atau Fasilitas Hukum
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung sangat
berkaitan sekali dengan proses berjalannya penegakan hukum lancar tanpa adanya
gangguan-gangguan. Tidak mungkin
penegakan hukum dapat berjalan secara efektif jika tidak didukung adanya sarana atau
fasilitas. Adapun
sarana prasarana yang mendukung penegakan
hukum seperti
peralatan yang memadai, bangunan kantor, anggaran operasional yang cukup.
Menurut Penulis, pada penelitian Program Jaminan Sosial antara
Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate belum berjalan dengan
efektif. Hal ini dapat terlihat dari dukungan suport
anggaran, yaitu BPJS Ketenagakerjaan selaku pemohon belum memberikan suport berupa sarana prasarana yakni berupa sarana
transportasi yang tidak tersedia, fasilitas minim yang diberikan kepada tim JPN
Kejati Maluku Utara dimana terlihat menurut Penulis
masih tergolong sempit karena perlu dilakukan kerjasama
dengan lintas sektor.
Hal
ini perlu dilakukan dengan segera, jika perlu dibuatkan rencana pelaksanaan
yang secara detail. Bahwa adanya dukungan sarana dan prasarana dari berbagai
pihak dapat mendukung penegakan hukum agar berjalan dengan lancer
tanpa hambatan dalam sarana dan prasarananya. Efektivitas
dapat terwujud
apabila didukung sarana dan prasarana juga lengkap.
4.
Faktor
Kebudayaan Masyarakat
Bahwa kebudayaan hukum
masyarakat merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam rangka
memahami hukum dan berupaya untuk menerapkannya secara baik demi kepentingan
bersama. Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.
Sementara itu, menurut
Baharuddin Lopa, bahwa ada 3 (tiga) komponen atau
unsur yang memungkinkan tegaknya hokum dan keadilan
di tengah masyarakat, yaitu sebagai berikut (Akub
& Baharudin, 2012):
1.
Dilakukan
adanya peraturan hokum yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat;
2.
Adanya
aparat penegak hokum yang professional
dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral yang terpuji;
3.
Adanya
kesadaran hokum masayarakt
yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hokum.
Menurut
Penulis, berdasarkan penelitian tingkat partisipasi masyarakat
dalam mengetahui manfaat kepersetaan di Maluku Utara
dirasakan belum maksimal. Efektivitas JPN Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan
BPJS Ketenagakerjaan dalam mensukseskan program
jaminan ketenagakerjaan masih perlu ekstra lagi agar dapat berjalan dengan
sukses (kemampuan untuk mencapai tuuan dengan cara
yang terbaik). Bahwa berdasarkan beberapa faktor kegiatan yang mempengaruhi diantaranya ialah peraturan perundang-undangan, aparat penegak
hukum, sarana prasarana, masyarakat dan Kebudayaan. Kelima faktor tersebut yang
mempengaruhi berjalannya efektivitas hukum secara maksimal.
Efektivitas penyelenggaraan jaminan sosial meskipun telah
mengalami peningkatan pembayaran tunggakan ketenagakerjaan dengan adanya
Permohonan SKK ke Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, BPJS Ketenagakerjaan Cabang
Ternate di Tahun 2022 telah mengembalikan keuangan negara sekitar Rp. 1.031.617.333 atau
bisa dihitung sebanyak 21 Perusahaan yang telah dinyatakan lunas tunggakan,
akan tetapi perlu ada sinergi kolaborasi dengan lintas sektor dalam menyentuh
ke grassroot dimasyarakat. Adanya peningkatan
jumlah kepersertaan di tahun 2022 sampai dengan tahun
2023 sebanyak 169.726 peserta namun masih menjadi catatan karena belum seratus
persen (100%) hak-hak karyawan terbayarkan hak-haknya
dalam BPJS Ketenagakerjaan.
Menurut Penulis, dengan melihat faktor-faktor yang
mendukung efektifitas hukum diatas
dalam penegakan non litigasi pada kasus BPJS
Ketenagakerjaan oleh JPN dapat ditarik kesimpulan belum berjalan efektif. Hal
ini perlu dilakukan perbaikain segera, untuk menjamin
hak-hak korban dalam mendapatkan hak-haknya.
Hambatan Jaksa
Pengacara Negara dalam penegakan hukum non litigasi dalam
meningkatkan kepatuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan
Proses penegakan hukum yang baik
pasti akan didukung dengan sarana dan prasarana yang baik pula. Penegakan hukum
harus saling berkelindan dengan budaya yang ada pada masyarakat agar maksimal.
Dalam prosesnya sering terjadi kendala dan hambatan dalam mencapai tujuan khusunya kemanfaatan hukum itu sendiri.
Praktiknya Jaminan sosial ketenagakerjaan dalam penegakan hukum tidak terlepaskan dari kendala teknis maupun non teknis. Hambatan
dalam menjalani proses penyelesaian non litigasi
permasalahan sengketa secara non litigasi terhadap
permasalahan BPJS pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara pada bidang Perdata dan
TUN yakni pada faktor dari JPN dan pada BPJS Ketenagakerjaan, dan pemberi kerja
stkeholder.
Adapun hambatan maupun kendala penegakan hukum dalam peningkatan kepatuhan
jaminan sosial dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Faktor-Faktor Hambatan
Jaksa Pengacara Negara dalam penegakan hukum non litigasi
Penyelesaian Sengketa non litigasi
terhadap permasalahan Badan Penyelenggaraan Jamninan
Sosial Ternate di Bidang Perdata yang dilakukan Jaksa Pengacara Negara Pada
Kejaksaan Tinggi Maluku Utara terdapat 2 faktor, yakni faktor internal dan
faktor eksternal.
Sedangkan Hambatan yang dihadapi
oleh Tim dari BPJS Ketenagakerjaan dalam upaya optimalisasi pelaksanaan Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan adalah masih banyak masyarakat pekerja yang belum
mengetahui pentingnya dan manfaat dari Program Jaminan Soaial
Ketenagakerjaan (Roni, 2024).
a. Hambatan Internal
1.
Keterbatasan Pengalaman Jaksa Pengacara Negera dalam Bidang Perdata
Dalam tahapan ini kemampuan dan pengalaman Jaksa
Pengacara Negara akan mampu menyelesaikan kewajiban pemberi kerja dalam
mengikutsertakan seluruh pekerja dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Pengetahuan dan pengalaman Jaksa Pengacara Negara masih terbatas pada kemampuan
di bidang non litigasi yaitu melakukan mediasi
dan/atau negosiasi sehingga apabila ada kendala yang muncul dari pelaksanaan
surat kuasa khusus harus melakukan dinamika kelompok terlebih dahulu karena
tidak semua personil Jaksa Pengacara Negara menguasai dan memiliki pengalaman
di bidang perdata.
Luasnya cakupan bidang ilmu terkait dengan landasan
hukum, kedudukan, tugas, fungsi, wewenang, dan sanksi dalam BPJS
Ketenagakerjaan, sebelum ada pemberian surat kuasa khusus tidak semua yang
berkaitan dengan pemberi kuasa (BPJS Ketenagakerjaan) dipahami secara
menyeluruh dan mendalam oleh Jaksa Pengacara Negara.
2.
Keterbatasan Personil Jaksa Pengacara
Negara Dalam Penyelesaian Surat Kuasa Khusus.
Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Maluku
Utara dalam pelaksanaan peran di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara salah
satunya adalah melaksanakan Surat Kuasa Khusus (SKK) dari pemberi 49 dari total 100 kuasa. Berdasarkan data dari Kejaksaan Tinggi Maluku
Utara selama tahun 2024 telah
melaksanakan Perjanjian Kerjasama dengan 8 (delapan)
instansi. Dari Perjanjian Kerjasama tersebut kemudian
ditindaklanjuti dengan pemberian Surat Kuasa Khusus (SKK) dengan total sebanyak
17 (tujuh belas) SKK yang
salah satunya adalah dari BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate terkait
dengan Perusahaan Wajib Belum Daftar (PWBD) sebanyak 29 Pemberi
Kerja.
b.
Hambatan Eksternal
1.
Pelaksanaan Peran Jaksa Pengacara Negara
Terbatas pada Surat Kuasa Khusus
Landasan hukum Kejaksaan di bidang perdata dan tata
usaha negara pada saat ini diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yaitu
dengan surat kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan
untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah, serta dapat memberikan pertimbangan
dalam bidang hukum kepada pemerintah lainnya. Apabila kita cermati maka dalam
melaksanakan tugas maka Jaksa Pengacara Negara harus berdasarkan surat kuasa
khusus sebagai dasar dari tindakan seorang Jaksa Pengacara Negara dalam
mewakili kepentingan pemberi kuasa. Dengan surat kuasa khusus ini maka Jaksa
Pengacara Negara tidak bisa bertindak di luar dari surat kuasa khusus sehingga
kewenangannya cukup terbatas.
Pelaksanaan kerja sama antara Jaksa Pengacara Negara
pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang
Ternate yang telah terjalin selama ini yang hanya berdasarkan surat kuasa
khusus merupakan bagian dari upaya terakhir atau tindakan represif setelah
upaya preventif yang dilakukan oleh BPJS ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate
tidak berjalan selanjutnya menyerahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk
menyelesaikan. Jaksa Pengacara Negara seolah-olah dijadikan tameng agar pemberi
kerja patuh dan taat dalam mendaftarkan pekerja dalam jaminan sosial tenaga
kerja. Pemberi kerja merasa takut dan segan dengan Jaksa Pengacara Negera sehingga apabila pemberi kerja diundang ke Kantor
Kejaksaan Tinggi Maluku Utara kemudian berkomitmen untuk mendaftarkan
pekerjanya dalam jaminan sosial ketenagakerjaan.
Dalam kerja sama antara Jaksa Pengacara Negara
Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate
fungsi pelayanan hukum dari Jaksa Pengacara Negera
belum berjalan karena fokus kerjasama masih pada
tindakan represif yang terbatas pada pelaksanaan surat kuasa khusus yaitu
penyelesaian permasalahan Perusahaan Wajib Belum Bayar (PWBD) dalam jaminan
sosial ketenagakerjaan. Jaksa Pengacara Negara hanya bekerja menyelesaikan
sebagaimana yang ada dalam surat kuasa khusus.
Lemahnya Koordinasi Antara BPJS Ketenagakerjaaan
Kantor Cabang Ternate Dengan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara Sebagai tindak
lanjut pelaksanaan perjanjian kerjasama antara BPJS
Ketenagakerjaan Cabang Ternate dengan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, pihak BPJS
Ketenagakerjaan memberikan surat kuasa khusus kepada Jaksa Pengacara Negara
untuk mendorong perusahaan wajib
mendaftarkan karyawannya dalam program jaminan sosial. Kerjasama tersebut merupakan hubungan antar lembaga
pemerintah untuk mendukung kepatuhan perusahan atau
pemberi kerja. Tujuan dari kerjasama untuk memberikan
penyadaran kepada pemberi kerja tentang pentingnya pemberian jaminan sosial
ketenagakerjaan kepada setiap pekerja.
2. Pemberi Kerja secara geografis terletak jauh dari BPJS Ketenagakerjaan
Hambatan yang dirasakan secara
eksternal yakni, dari letak geografis Provinsi Maluku Utara berbentuk
kepulauan. Beberapa perusahaan khususnya di bidang Pertambangan yang tersebar
di Pulau Halmahera hanya sebagai lokasi
tambang, sedangkan untuk kantor/administrasi terletak di luar Provinsi Maluku
Utara. Hal in yang menghambat proses penyelesaian secara non litigasi terhadap pemberi kerja yang belum membayarkan
jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaaan.
3. Data tunggakan dari BPJS Cabang Ternate belum lengkap
Klien BPJS Ketenagakerjaan tidak
sepenuhnya terbuka terhadap data dan informasi berkaitan dengan data yang
tertunggak. SKK yang sudah dimohonkan oleh klien sebaiknya di sampaikan
seluruhnya, agar dapat di analisis secara mendalam oleh JPN. Selanjutnya BPJS
Ketenagakerjaan dalam hal sarana dan prasana kurang
mendukung/mensuport kegiatan yang dilakukan oleh tim
JPN (Rozali, 2024).
Berdasarkan pengalaman penulis
bahwa dalam pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan memiliki kendala dan
hambatan. Hambatan berdasarkan Jaksa Pengacara Negara dapat dibedakan menjadi
Internal dan Eksternal, sedangkan BPJS Tenagakerjaan
memiliki kendala eksternal.
Hambatan Internal dapat dipilah
menjadi 2 yakni Hambatan Keterbatasan Pengetahuan dan Pengalaman
Jaksa Pengacara Negera dalam Bidang Perdata, dan
Keterbatasan Personil Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Surat Kuasa
Khusus. Sedangkan Hambatan eksternal di Pelaksanaan Peran Jaksa Pengacara
Negara Terbatas pada Surat Kuasa Khusus. Data
tunggakan dari BPJS Cabang Ternate belum lengkap Pemberi Kerja secara geografis
terletak jauh dari BPJS Ketenagakerjaan.
Sedangkan hambatan berdasarkan
BPJS Ketenagakerjaan, pemberi kerja dan pekerja belum sepenuhnya mengetahui dan
manfaat dari program jaminan sosial ketenagakerjaan. Kendala beberapa diatas seharusnya dapat diperbaiki secara bersama agar
penegakan hukum non litigasi dapat meningkat dan pekeja dapat tercover Jaminan
sosial dengan baik.
2.
Solusi Meningkatkan Kepatuhan Jaminan
Sosial Ketenagakerjaan
Peningkatan kepatuhan terhadap
jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan hal yang krusial dalam memastikan
perlindungan sosial yang adil dan merata bagi seluruh tenaga kerja. Di tengah
dinamika pasar kerja yang terus berkembang, tantangan kepatuhan terhadap
program-program jaminan sosial menjadi semakin penting untuk ditangani secara
efektif. Hal ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu pekerja, tetapi
juga stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
a. Koordinasi antara Jaksa Pengacara Negara dengan BPJS Ketenagakerjaan secara
intens
Solusi untuk meningkatkan
kepatuhan terhadap jaminan sosial ketenagakerjaan perlu dirancang dengan
cermat, berdasarkan pemahaman mendalam akan faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kepatuhan saat ini. Beberapa faktor tersebut mencakup kesadaran pekerja
akan hak-hak mereka, kejelasan prosedur administrasi, ketersediaan sumber daya
untuk implementasi, dan juga peran serta aktif pemerintah serta pihak swasta
dalam mendukung program ini.
Solusi yang dapat di lakukan
terhadap jaminan sosial salah satunya dengan koordinasi secara intens, kemudian
membentuk suatu FGD dengan melibatkan stakeholder
terkait, sesuai yang diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021
tentang Optimalisasi Program Jaminan Sosial. BPJS Ketenagakerjaan sebagai pelaskana, Tim JPN sebagai pengawas eksternal dan dari
Dinas Ketenagakerja juga sebagai pengawas secara
eksternal dalam mendukung Program Jaminan Sosial (Suyanto, 2024).
Upaya yang dapat meningkatkan
kepatuhan pemberi kerja dalam mensukseskan Jaminan
Sosial adalah dengan bersama berkoordinasi dengan para stakeholder,
serta pengusaha terkait pentingnya program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Mensosialisasikan manfaat dan keuntungan yang akan didapat Pekerja atau Pemberi
kerja (Roni, 2024).
b. Koordinasi terkait progres perkembangan
dan evaluasi secara lebih intens
Pelaporan progres perkembangan
hasil dari SKK BPJS Ketenagakerjaan seyogya harus
terdokumentasi baik. Laporan Tunggakan secara administrasi sebaiknya dilakukan
selama per 3 bulan, triwulan. Tidak hanya pada rapat monev
yang dilaksanakan per 1 tahun sekali. Hal ini agar dari tim JPN juga dapat
lebih efektif dalam meningkatan kepatuhan jaminan
sosial ketenagakerjaan.
BPJS Ketenagakerjaan sebagai
pengelola dan manajerial harus menyampaikan laporan, agar yang mengetahui keaadaan dilapangan. Sedangkan
untuk JPN Kejati Maluku Utara sebagai pengawas eksternal dan eksekutor terhadap
SKK dapat di pulihkan tunggakan iuran dari pemberi kerja. JPN mengupayakan
penegakan non litigasi dengan mengupayakan win-win solution agar berbagai
pihak yang terlibat dapat menjalankan peran sebagaimana mestinya.
JPN Kejati Malut mengedepankan pendekatan secara non litigasi dengan melakukan penagihan terhadap Pemberi kerja
yang terlambat melakukan iuran jamianan sosial
ketenagakerjaan. Namun apabila tunggakan iuran besar yang menarik perhatian,
maka dapat dilakukan gugatan perdata dan pelaporan kepada Penyidik Kepolisian
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
Berdasarkan pendapat penulis
solusi yang dapat dilakukan yakni dengan Menurut penulis Peran Jaksa Pengacara
Negara sebagai problem solver menjalankan tugas dan
fungsi bidang perdata diantaranya tugas pelayanan
hukum dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya pekerja dalam
memperoleh hak-hak jaminan sosial tenaga kerja.
Jaksa Pengacara Negara melakukan
sosialisasi dalam bentuk pelayanan dan penerangan hukum. Pekerja akan memahami
bahwa hak-hak jaminan sosial ketenagakerjaan berupa jaminan hari tua, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan pensiun telah diatur dalam
konstitusi sehingga pemberi kerja wajib memberikan jaminan sosial kepada
pekerjanya. Dengan perlindungan tersebut dapat memberikan ketenangan bagi
pekerja sehingga memberikan kontribusi bagi perusahaan dan meningkatkan produktifitas tenaga kerja.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka kesimpulan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) Efektivitas Fungsi Kejaksaan belum efektif dalam
Program Jaminan Sosial belum berjalan dengan baik. Berbagai faktor yang
mempengaruhi efektivitas diantaranya dengan peraturan
yang mengatur jaminan sosial, Aparat Penegak Hukum, Sarana Prasarana, dan
faktor dari masyarakat itu sendiri masih ada kekurangan. Telah menyelesaikan SKK dan memulihan Keuangan Negara pada sektor Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan meningkat namun belum belum efektif
dan terjadi peningkatan kepersetaan pekerja disetiap tahun. (2) Hambatan terhadap Peran Jaksa Pengacara
Negara dalam peningkatan kepatuhan jamian sosial
ketenagakerjaan mengalami kendala
internal dan eksternal. Kendala Internal berupa Pengetahuan dan Pengalaman Jaksa
Pengacara Negera dalam Bidang Perdata, dan
Keterbatasan Personil Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Surat Kuasa
Khusus. Sedangkan Hambatan eksternal di Pelaksanaan Peran Jaksa Pengacara
Negara Terbatas pada Surat Kuasa Khusus.
Dari pihak BPJS Ketenagakerjaan juga tidak memberikan data yang lengkap,
selanjutnya faktor Pemberi Kerja secara geografis terletak jauh dari Provinsi
Maluku Utara.
BIBLIOGRAFI
Agoes, E. P. P. (2012). Catatan opini penegak
hukum. Jakarta: Sapta E Saudara.
Agoes, E. P. P. (2016). Jaksa pengacara negara:
Mengawal percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Jakarta: Sapta E Saudara.
Akub, S., & Baharudin, B. (2012). Wawasan due process of law
dalam sistem peradilan pidana. Yogyakarta: Rangkang Education.
Badan Penjamin Sosial Ketenagakerjaan Cabang
Ternate di Provinsi Maluku Utara. (2024, Mei 7). Hasil mengikuti Presentasi Rapat Monitoring dan Evaluasi Implementasi Inpres Nomor 2 Tahun
2021 antara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan Badan Penjamin Sosial
Ketenagakerjaan Cabang Ternate di Provinsi Maluku Utara.
Hafidzi,
A. (2015). Eksistensi Advokat Sebagai Profesi Terhormat (Officium
Nobile) Dalam Sistem Negara Hukum Di Indonesia. Khazanah:
Jurnal Studi Islam Dan Humaniora, 13(1).
Mahfud,
M. A. (2017). Hak Menguasai Negara dan Perlindungan Hukum terhadap Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat: Kajian Teoritis dan Implementasinya. Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, 19(1), 63–79.
Manurung,
A. M., Puspita, D., Sari, D. S., Lubis, M. A., Yani, N. W., & Purba, T. M.
R. (2024). Sistem Hukum Nasional Indonesia Ditinjau Dari Pancasila Dan UUD
1945. Eksekusi: Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi Negara, 2(1),
112–121.
Muhshi, A. (2018). Pemenuhan Hak atas Informasi Publik sebagai
Tanggung Jawab Negara dalam rangka Mewujudkan Good Governance. Lentera Hukum, 5, 63.
Novitasari, A. (2018). Optimalisasi Undang-Undang Cukai terhadap ketaatan pengusaha pabrik
rokok dalam membayar cukai (Studi di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan
Cukai Tipe Madya Cukai Kudus) [Skripsi, Universitas Sebelas Maret].
Nursubhan, S. R. (2024, Juli 8). Wawancara mengenai peran Kejaksaan Tinggi dalam
implementasi Inpres Nomor 2 Tahun 2021.
[Wawancara pribadi].
Putra, R. D. K. (2024, Juli 12). Wawancara mengenai
evaluasi pengawasan BPJS Ketenagakerjaan.
[Wawancara pribadi].
Rizhan, A. (2021). Konsep Negara Hukum Profetik. KODIFIKASI,
3(1), 74–100.
Roni. (2024, Juli 10). Wawancara mengenai
implementasi program BPJS Ketenagakerjaan di Ternate.
[Wawancara pribadi].
Rozali, S. (2024). Wawancara mengenai proses pengacara negara
dalam menangani proyek strategis nasional.
[Wawancara pribadi].
Suprapto, A. (2024, Juni 18). Satu dekade pembangunan
jaminan sosial nasional di Indonesia. Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. https://www.kemenkopmk.go.id/satu-dekade-pembangunan-jaminan-sosial-nasional-di-indonesia
Supriyono, R. A. (2000). Sistem pengendalian
manajemen. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Usman, S. (2009). Dasar-dasar
sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Suyanto. (2024, Juli 8). Wawancara mengenai kendala
dalam implementasi
Copyright holder: Raden Muhammad Ridwan Fahrudin,
Husein Alting, Sultan Alwan (2024) |
First publication
right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |