Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 9, No. 12, Desember 2024

 

FUNGSI JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM NON LITIGASI PADA PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN

 

Raden Muhammad Ridwan Fahrudin1, Husein Alting2, Sultan Alwan3

Universitas Khairun, Indonesia1,2,3

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas dan hambatan dalam peran Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam penegakan hukum non-litigasi pada program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, khususnya melalui kerjasama antara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate. Penelitian ini menggunakan metode hukum empiris (sosio-legal study) dengan pendekatan deskriptif analitis yang menggabungkan wawancara, observasi, dan telaah pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas fungsi JPN dalam meningkatkan kepatuhan pemberi kerja terhadap kewajiban jaminan sosial ketenagakerjaan masih belum optimal, meskipun terdapat peningkatan jumlah pekerja yang terdaftar setiap tahunnya. Hambatan yang dihadapi meliputi kendala internal seperti keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan jumlah personel JPN, serta kendala eksternal seperti data yang tidak lengkap dari BPJS Ketenagakerjaan dan lokasi geografis pemberi kerja yang sulit dijangkau. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa meskipun JPN telah berupaya meningkatkan kepatuhan pemberi kerja, peran mereka masih belum sepenuhnya efektif. Implikasi dari temuan ini adalah perlunya peningkatan kapasitas dan sinergi antara JPN dan BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum non-litigasi dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Kata kunci: Jaksa Pengacara Negara, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, penegakan hukum non-litigasi, BPJS Ketenagakerjaan, Maluku Utara.

 

Abstract

This study aims to evaluate the effectiveness and challenges faced by the State Attorney (Jaksa Pengacara Negara, JPN) in enforcing non-litigation legal measures within the Employment Social Security program, particularly through the collaboration between the Maluku Utara High Prosecutor's Office and the Ternate Branch of BPJS Ketenagakerjaan. The research employs an empirical legal method (socio-legal study) with a descriptive-analytical approach, combining interviews, observations, and literature review. The findings reveal that the effectiveness of JPN in enhancing employer compliance with employment social security obligations remains suboptimal, despite the annual increase in registered workers. Challenges include internal issues such as limited knowledge, experience, and the number of JPN personnel, as well as external obstacles like incomplete data from BPJS Ketenagakerjaan and the remote geographical locations of employers. The conclusion drawn from this study is that although JPN has made efforts to improve employer compliance, their role has not yet been fully effective. The implications of these findings suggest the need for enhanced capacity and synergy between JPN and BPJS Ketenagakerjaan to improve the effectiveness of non-litigation legal enforcement in the employment social security program.

Keywords: State Attorney, Employment Social Security, non-litigation legal enforcement, BPJS Ketenagakerjaan, Maluku Utara.

 

 

 

Pendahuluan

Berdirinya sebuah negara tidak dapat terlepas dari adanya kontrak sosial antar sesama anggota masyarakat untuk mendirikan satu entitas yang bernama negara. Melalui kontrak sosial tersebut masyarakat menyerahkan sebagian kebebasannya untuk dapat diatur dan dibatasi oleh negara. Sebagai kompensasinya negara memiliki kewajiban dalam memberikan jaminan perlindungan kepada rakyatnya (Mahfud, 2017; Muhshi, 2018)..

Pada abad ke-19 munculah gagasan tentang pembatasan kekuasaan negara melalui pembentukan konstitusi baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi ini memuat batas-batas kekuasaan negara yang pembatasannya dikenal dengan prinsip konstitusionalisme. Gagasan dan prinsip konstitusionalisme ini lah kemudian muncul konsep negara hukum, yakni rechtstaat dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental dan rule of law dari kalangan ahli hukum anglo saxon (Hafidzi, 2015; Rizhan, 2021).

Di Indonesia konstitusi (UUD 1945) telah mengalami beberapa kali amandemen, dimana Pasal 1 ayat 3 telah mengalami tiga kali amandemen, dan amandemen terakhir berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal ini berimplikasi bahwa segala aspek penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat). Selanjutnya, Pancasila sebagai segala sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan. Dalam mewujudkan konsep negara hukum, diperlukan adanya pemahaman hukum sebagai satu kesatuan sistem. Setiap sistem umumnya terdiri dari elemen-elemen pendukung. Mengacu pada teori Friedman maka substansi, struktur dan budaya merupakan tiga elemen pendukung yang sangat penting sebagai penyangga (pilar) dari sistem hukum (Manurung et al., 2024).

Pada penelitian ini, Penulis fokus pada pelaksanaan program jaminan sosial Ketenagakerjaan. Bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjelaskan pada Bab II tentang pembentukan dan ruang lingkup, mengatur dan membagi tentang BPJS salah satunya ialah BPJS Ketenagakerjaan. Pada Pasal 6 BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program seperti: 1) jaminan kecelakaan kerja, 2) jaminan hari tua, 3) jaminan pensiun, dan 4) jaminan kematian.

Adanya BPJS Ketenagakerjaan sebagai bagian dari jaminan sosial maka secara jelas pada penjelasan Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan menjadi peserta program jaminan sosial yang diikuti.

Selanjutnya, dengan adanya peraturan tersebut diatas pemerintah pun menerbitkan Instruksi Presiden Repubik Indonesia (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dengan menginstruksikan kepada salah satunya kepada Jaksa Agung untuk melakukan penegakan kepatuan dan penegakan hukum terhadap Badan Usaha, Badan Usaha Milik Daerah, dan Pemerintah Daerah dalam ranka optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Selanjutnya dalam rangka mensukseskan program jaminan sosial dengan melibatkan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penyelenggara kekuasan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pada UU tersebut mengatur tentang kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, negara memberikan kekuasaan yang merdeka bebas dari intervensi pihak manapun kepada Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan RI menyatakan bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan dalam bidang perdata dan tata usaha negara dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan mewakili negara atau pemerintah (Agoes, 2012), yang dalam hal ini mewakili BPJS Ketenagakerjaan. Dasar hukum praktik Jaksa Pengacara Negara pun mengalami perkembangan dimana dalam mewakili dan menyelesaikan persoalan Badan Usaha Milik Negara/Daerah terdapat perbedaan dalam penafsiran hukumnya dilapangan.

Adanya perubahan paradigma diatas membuat peran jaksa pengacara negara mempunyai kewenangan dan tugas yang berbeda dari sebelum adanya SEMA Nomor 4 Tahun 2014. Kejaksaan Republik Indonesia selain sebagai lembaga penegak hukum dituntut menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme juga harus mampu mengamankan dan mensukseskan pembangunan Proyek Strategis Nasional  guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur, menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara melalui bidang perdata dan tata usaha negara (Agoes, 2016).

Hal ini didasarkan pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum lain, dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Bahwa didalam lampirannya menjelaskan mengenai peran Jaksa Pengacara Negara berdasarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) dapat melakukan penegakan hukum dan bantuan hukum dan/atau berdasarkan surat perintah melakukan pertimbangan hukum, tindakan hukum lain dan pelayanan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara. SKK ialah surat yang berisi pemberian kuasa kepada pihak lain yang menerimanya untuk melaksanakan kepentingan tertentu untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Bahwa Peran Jaksa Pengacara Negara melalui bidang perdata dan tata usaha negara diatas dalam praktiknya kemudian sebagai penerima kuasa dalam surat kuasa khusus (SKK) yang dalam hal ini mewakili BPJS Ketenagakerjaan untuk menangani persoalan hukum terkait para pengusaha yang belum mencatat dirinya dan mendaftarkan karyawannya menjadi anggota program tanggungan tenaga kerja.

Pada praktiknya pelaksanaan jaminan sosial Ketenagakerjaan, terdapat kendala dalam kewajiban kepatuhan pemberi kerja dalam pemenuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan dikarenakan hanya sanksi administratif bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerja dalam jaminan sosial Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan masih terbatas memberi peringatan kepada pemberi kerja agar dapat mengikutsertakan pegawai/pekerjanya kedalam program jaminan sosial yang pada pelaksanaan di lapangan belum dipatuhi sepenuhnya dari pemberi kerja. Adanya SKK yang diberikan kepada Kejaksaan dapat bekerjasama dalam melakukan pemanggilan terhadap perusahaan pemberi kerja dalam rangka melakukan mediasi mengenai belum terdaftarnya dalam program BPJS Ketenagakerjaan, memberikan batas waktu untuk melakukan pendaftaran, mendata pekerjanya untuk ikut serta sebagai anggota jaminan sosial Ketenagakerjaan agar hak-hak nya dapat terpenuhi.

Di Indonesia kepesertaan jaminan sosial Ketenagakerjaan yang diselenggrakan oleh BPJS Ketenagakerjaan mengalami kenaikan dari 19,2 juta pekerja pada tahun 2015 menjadi 41,5 juta pekerja pada tahun 2023. Artinya, saat ini lebih dari 30 persen pekerja di Indonesia telah terlindungi oleh program jaminan sosial Ketenagakerjaan, yang terdiri dari berbagai segmen peserta seperti swasta, informal, pekerja rentan, pegawai non ASN hingga Pekerja Migran Indonesia (Suprapto, 2024).

Pada penelitian ini, Penulis terfokus pada lokasi penelitian di Kejaksaan Tinggi Maluku dan Kantor BPJS Cabang Ternate. Hal ini didasarkan melihat data kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Provinsi Maluku Utara yang masih sangat jauh atau banyak belum tercover Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Bahwa program jaminan sosial Ketenagakerjaan di Maluku Utara tercatat baru menyentuh angka 51 persen dari 351.172 angkatan kerja, baru 181.446 yang sudah terlindungi program jaminan sosial Ketenagakerjaan.

Bahwa berdasarkan data (Badan Penjamin Sosial Ketenagakerjaan Cabang Ternate di Provinsi Maluku Utara, 2024) setidaknya 49 persen lagi atau 169.726 angkatan kerja yang pelru dicover jaminan sosial Ketenagakerjaan di Provinsi Maluku Utara. Hal ini dapat terlihat bahwa belum efektifnya dan masih minimnya pekerja yang terlindungi hak-haknya dalam pekerjaan yang menimbulkan berbagai resiko.

Selanjutnya, Kejaksaan dalam pelaksanaan fungsi bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara oleh Jaksa Pengacara Negara melakukan perjanjian kerjasama/MoU dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate yang sudah berlangsung sejak tahun 2016 sampai dengan sekarang guna penyelesaian permasalahan di bidang perdata.

Sebagai tindak lanjut dari perjanjian kerjasama, pada tahun 2022 Kejaksaan Tinggi Maluku Utara menerima permohonan Surat Kuasa Khusus (SKK) pada 23 April 2022 dari BPJS Ketenagakerjaan tentang kepatuhan pemberi kerja dalam pendaftaran jaminan sosial Ketenagakerjaan sebanyak 49 pemberi kerja yang kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan penegakan hukum dan bantuan hukum secara non litigasi.

Pada praktiknya Jaksa Pengacara Negara hanya melakukan penyelesaian permasalahan kepatuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan setelah pihak BPJS Ketenagakerjaan merasa tidak mampu lagi untuk melakukan penegakan kepatuhan dalam jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga proses penyelesaian oleh Jaksa Pengacara Negara tidak berjalan efektif karena hanya melakukan tindakan berdasarkan SKK.

Padahal, dapat dilihat berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan, hadirnya JPN menjaga kewibawaan pemerintah. Beberapa contoh kasus tunggakan yang tidak selesai, nyatanya belum efektif jika tidak dilakukan upaya lanjutan misalnya dengan memberi somasi dan upaya hukum lainnya. BPJS Ketenagakerjaan dianggap belum sepenuhnya percaya kepada Kejaksaan dalam mensukseskan peningkatan sosial Ketenagakerjaan.

Terbatasnya fungsi Jaksa Pengacara Negara dalam perjanjian kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam menjalankan tugas dan wewenang terkait dengan penyelesaian permasalahan jaminan sosial Ketenagakerjaan, menjadikan penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam terkait perbaikan kedepan untuk Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak para pekerja sekaligus tujuan lebih lanjut lebih luas lagi dengan pemulihan keuangan negara. Dapat dikaatkan emakin banyak atau meningkatmya pekerja yang tercover BPJS Ketenagakerjaan maka jaminan hak pekerja juga semakin terlindungi dengan baik.

Oleh karena itu, Penulis perlu melihat sejauhmana efektivitas dan hambatan yang ditemukan Jaksa Pengacara Negara, dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam peningkatan kepatuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan, sehingga Penulis mengambil judul “Fungsi Jaksa Pengacara Negara dalam Penegakan Hukum Non Litigasi pada Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Studi Kerjasama Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate)”.  Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: (1) Untuk mengetahui efektivitas fungsi Jaksa Pengacara Negara dalam penegakan hukum non litigasi dalam  meningkatkan kemanfaatan kepatuhan kewajiban pemberi kerja pada jaminan sosial Ketenagakerjaan. (2) Untuk mengetahui hambatan Jaksa Pengacara Negara dalam penegakan hukum non litigasi dalam meningkatkan kepatuhan pemberi kerja dalam pendaftaran jaminan sosial Ketenagakerjaan.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris (sosio-legal study), yang bertujuan untuk mengkaji fenomena hukum yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, di mana data empiris diperoleh dari perilaku manusia, baik melalui wawancara langsung maupun observasi di lapangan. Populasi dalam penelitian ini mencakup semua pihak yang terkait dengan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Provinsi Maluku Utara, termasuk aparat penegak hukum, pelaksana BPJS Ketenagakerjaan, pemberi kerja, dan penerima manfaat. Sampel diambil secara purposive, yaitu berdasarkan kriteria tertentu, seperti Jaksa Pengacara Negara yang berpengalaman dan petugas BPJS Ketenagakerjaan yang bertugas di wilayah ini.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi wawancara, observasi langsung, dan telaah pustaka. Wawancara dilakukan dengan responden yang telah dipilih berdasarkan kriteria yang relevan, sementara observasi dilakukan untuk mengamati langsung situasi dan kondisi di lapangan. Telaah pustaka dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis bahan pustaka terkait, termasuk buku, dokumen, dan peraturan perundang-undangan yang relevan. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang bertujuan untuk memahami, mengembangkan teori, dan menggambarkan fenomena secara kompleks tanpa menggunakan perhitungan statistik.

 

Hasil dan Pembahasan

Efektivitas Jaksa Pengacara Negara dalam Penegakan Hukum Non Litigasi dalam Meningkatkan Kemanfaatan Kepatuhan pada Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Sebelum berbicara terkait efektivitas perlu diketahui pengertian efektivitas itu sendiri. Kata efektivitas berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) efektivitas artinya manjur, mujarab, ada efeknya, dapat membawa keberhasilan dan daya guna. Suatu usaha dapat dikatakan efektif apabila dalam suatu kegiatan yang dilakukan merujuk pada hasil akhir yang dicapai dapat terwujud, sesuai dengan tujuan dan tercapainya keberhasilan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi tersebut.

Menurut Supriyono, efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab dengan sasaran yang akan dicapai, semakin besar kontribusi yang diberikan dari pada keluaran dapat disimpulkan efektif (Supriyono, 2000). Bahwa terjadinya suatu akibat atau efek yang dikehendaki dan menekankan pada hasil akhirnya atau efek dalam mencapai tujuan, dapat tercapai suatu keefektifan.

Sedangkan istilah teori efektivitas hukum berasal dari bahasa Inggris effectivieness of the legal theory, dalam bahasa Belanda disebut effectiviet van de juridische theorie. Menurut Hans Kelsen (Usman, 2009), efektivitas hukum berkaitan dengan validitas hukum yang merujuk pada apakah orang tersebut berbuat suatu cara untuk menghindari sanksi yang diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanski tersebut benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi. Bahwa teori efektivitas mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan dan kegagalan dan faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum.

Pada pembahasan ini, menurut Penulis efektivitas adalah sesuatu hal yang berjalan sesuai sasaran/indikator awal dibentuk serta dapat diimplementasikan di lapangannya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sedangkan efektivitas hukum adalah suatu hal yang sangat penting sekali untuk mengukur sejauhmana kegiatan atau hal yang menjadi tujuan dalam suatu organisasi dapat mencapai program yang sedang dikerjakan. Bahwa dikatakan efektivitas hukum ialah terkait dengan hukum itu bekerja dalam mengatur masyarakat agar taat kepada hukum untuk mencapai suatu tujuan akhir dari hukum, kemudian ada kesesuaian antara yang diatur dalam hukum dengan pelaksanaannya.

Teori efektivitas hukum dalam mengkaji dan menganalisi tentang keberhasilan dan kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan penerapan hukum terdapat 3 (tiga) poin penting yaitu (Novitasari, 2018): a) keberhasilan dalam pelaksanaan hukum, b) kegagalan dalam pelaksanaannya, dan c) faktor yang mempengaruhinya. Menurut Penulis, perlu melihat terlebih dahulu pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara dalam meningkatkan kemanfaatan kepatuhan kewajiban pemberi kerja pada jaminan sosial ketenagakerjaan.

Pelaksanaan penegakan hukum, perlu dilihat dari tugas Kejaksaan sebagai salah satu aparat penegakan hukum. Bahwa dalam mendukung program kerja pemerintah dan sebagai lembaga yang satu-satunya dalam penegakan hukum pada bidang penuntutan ranah hukum Pidana, Kejaksaan juga memiliki tugas lain dibidang pembinaan pada bagian manajerial Sumber Daya Manusia, bidang Intelijen terkait penegakan kepentingan umum, penerangan hukum, bidang Tindak Pidana Khusus terkait kasus tindak pidana korupsi yang berperan sebagai penyidik, bidang Tindak Pidana Umum penerapan Tindak Pidana pada KUHP dan Aturan yang lain, bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (TUN) untuk meneggakan wibawa pemerintah pada perkara Perdata dan TUN, dan bidang Pengawasan sebagai pengawas internal yang melekat di internal para pegawai Kejaksaan.

Pada penelitian ini, Penulis fokus pada Bidang Perdata dan TUN khususnya pada Penegakan Hukum Non Litigasi Program Jaminan Sosial. Jaksa Pengacara Negara di Kejaksaan berperan sebagai mitra pemerintah khususnya pada ranah perdata yang diharapkan menjadi katalis percepatan tugas pemerintahan. Pada masa reformasi penegakan hukum memperoleh sorotan yang tajam khususnya dalam penegakkan tindak pidana korupsi, dimana Kejaksaan juga mengalami dinamika perubahan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia. Adanya perubahan UU tersebut memperkuat peran Jaksa yakni tanggung jawab dalam fungsi penuntutan khususnya dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

1.     Mekanisme Penyelesaian oleh Jaksa Pengacara Negara dalam Penegakan Hukum Non Litigasi

Secara teoritis pengertian penegakan hukum adalah proses untuk mengukur keefektifan dari suatu hukum di masyarakat. Sebagaimana menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan, mempunyai arti bahwa keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam hukum. Perumusan pemikiran pembuat peraturan hukum tersebut yang dituangkan dalam peraturan hukum yang akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.

Penegakan hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan untuk manusia agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan, sehingga melalui penegakan hukum inilah hukum itu akan menjadi kenyataan. Bahwa adanya analisis dari penegakan hukum dapat mempermudah dalam melakukan perbaikan-perbaikan kedepan.

Dalam penegakan hukum, Penulis fokus pada penegakan hukum non litigasi, yakni adalah suatu mekanisme penyelesaian sengketa hukum perdata dan TUN di luar pengadilan/arbitrase yang dapat dilakukan antara lain dengan negosiasi. Negosiasi merupakan proses merundingkan atau melakukan pembicaraan mengenai sesuatu hal yang dilakukan secara dua arah yaitu dengan keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.Pada prinsipnya non litigasi yakni setiap perkara di bidang perdata diutamakan untuk diselesaikan di luar pengadilan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Jaksa Pengacara pada Kejaksaaan Tinggi Maluku Utara, pada pendampingan kasus BPJS Ketenagakerjaan yakni sebagai berikut (Suyanto, 2024):

Bahwa dalam melakukan penyelesaian non litigasi tugas JPN didasarkan pada MoU terlebih dahulu. Artinya, terhadap permasalahan yang dihadapi dapat dituangkan pada SKK yang berisikan tentang tagihan pemberi kerja yang belum bisa membayar program jaminan sosial ketenagakerjaan. Tagihan ini kemudian akan menjadi jaminan sosial manfaat kepada karyawan atau penerima manfaat (Suyanto, 2024).

Bahwa dapat terlihat pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan JPN didasarkan oleh SKK. Adanya SKK merupakan kewenangan JPN mewakili negara atau pemerintah untuk menangani permasalahan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara. Jaksa Agung Muda perdata dan TUN menerima SKK dengan hak substitusi dari kepala badan, direktur utama badan usaha milik negara, pejabat eselon I di pusat dan/atau yang setara selaku pemebri kuasa. Adanya surat kuasa substitusi berlaku sesuai dengan ruang lingkup dan waktu yang tercantum dalam klausul SKK, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hasil wawancara, terdapat langkah-langkah yang dijadikan basis dalam pemahaman bagi penunggak, yaitu:

Bahwa terdapat langkah-langkah yang dapat diambil yakni dengan memberikan pemahaman terhadap pengunggak tentang konsekuensi tunggakannya, yaitu program BPJS Ketenagakerjaan seyogyanya merupakan amanat jaminan sosial oleh undang-undang, jika pekerja terlindungi maka perusahaan juga akan terhindar dari risiko ketenagakerjaan. Apabila perusahaan yang menunggak maka akan diberikan sanksi berupa administrasi, perdata, bahkan sampai pada pidana.

Dalam penegakan hukum non litigasi Landasan hukum Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara pada saat ini diatur dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yaitu dalam Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa Kejaksaan dengan Surat Kuasa Khusus (SKK) dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah, serta dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada pemerintah. Kejaksaan Tinggi dalam tugas dan fungsi di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara melalui Peran Jaksa Pengacara Negara memberikan jasa hukum baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintahan daerah dan BUMN. Pelaksanaan Fungsi di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 meliputi pada Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pelayanan Hukum, Pertimbangan Hukum serta Tindakan Hukum Lain. Tugas dan fungsi tersebut merupakan layanan Hukum kepada masyarakat dan stakeholder lain sebagai katalis dalam penyelesaian permasalahan di bidang keperdataan. Selain itu Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara hadir dalam melaksanakan pemulihan dan perlindungan hak serta penegakkan kewajiban pemerintah.

Selain itu, tugas dan fungsi dipertegas dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan tugas dan kewenangan Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara, sedangkan lingkup bidang perdata dan tata usaha negara meliputi penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan hukum lain kepada negara atau pemerintah.

Sedangkan, aturan dasar di Kejaksaan Tinggi Maluku Utara juga dilakukan koordinasi dengan Perjanjian Kerja Sama/MoU antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate dengan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara tentang Penanganan Masalah Hukum Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Nomor: PER/14/07/20222 dengan Nomor: B-1083/S.2/Gs,1/7/2022 tanggal 7 Juli Tahun 2022 di Manado. Perjanjian ini dibuat bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penanganan dan/atau penyelesaian masalah hukum dalam bidang perdata dan Tata Usaha Negara, baik di dalam maupun diluar pengadilan. Bahwa terdapat ruang lingkup dari Perjanjian Kerja sama diatas, yaitu meliputi sebagai berikut:

1)   Pemberian Bantuan Hukum oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam perkara perdata maupun tata usaha negara untuk mewakili BPJS Ketenagakerjaan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat yang dilakukan secara litigasi maupun non litigasi;

2)   Pemberian pertimbangan hukum oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) dengan memberikan Pendapat Hukum (Legal Opinion/LO) dan/atau Pendampingan Hukum (Legal Assistance/LA) di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dan/ atau Audit Hukum (Legal Audit) di  Bidang Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara;

3)   Tindakan Hukum Lain, yaitu pemberian layanan hukum lain oleh JPN dalam rangka menyelamatkan dan memulihkan keuangan/ kekayaan negara serta menegakkan kewibawaan pemerintah melalui negosiasi, mediasi dan fasilitasi.

4)   Peningkatan kompetensi sumberdaya manusia melalui Pelatihan Bersama di dalam dan diluar negeri, sosialisasi, magang dan penyediaan narasumber.

5)   Kerjasama lain dalam rangka mitigasi resiko hukum, termasuk pecegahan tindak pidana korupsi. Mekanisme diterbitkan SKK, SKS, sampai pada penerapan non litigasi

Berdasarkan dokumen yang diperoleh dari kantor Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dalam melakukan peningkatan program jaminan sosial menggunakan pendeketan jalur Non Litigasi terdapat alur mekanisme dalam melakukan Bantuan Hukum Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dimulai dengan megumpulkan berkas sebagaimana berikut:

1)   Penerbitan Nota Kesepahaman/MoU, yang ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Pimpinan Kantor Cabang;

2)   Penerbitan Surat Kuasa Khusus, contohnya peneribitan dana dengan tunggakan iuran yang dimohonkan;

3)   Penerbitan Surat Kuasa Substitusi, penerbitan surat kuasa oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara kepada Jaksa Pengacara Negara;

4)   Penerbitan Surat Perintah Negosiasi, aturan teknis dalam melakukan non litigasi pada jaksa pengacara negara;

5)   Berita Acara Negosiasi Penagihan Tunggakan Pembayaran Iuran Tetap, dengan mengetahui alasan dan kondisi perusahaan dalam melakukan pembayaran.

Bahwa menurut Pasal 11 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, kewenangan BPJS antara lain berwenang untuk menagih pembayaran iuran serta melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional. Adapun pengertian “menagih” dalam pasal ini penjelasannya adalah meminta pembayaran dalam hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran iuran.

Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengatur adanya kewajiban dari Pemberi Kerja untuk membayar Iuran BPJS, sehingga adanya kewajiban yang tidak dipenuhi tersebut menimbulkan kerugian bagi BPJS. Dalam konteks ini terdapat perbuatan melawan hukum perdata yakni adanya perbuatan yang melanggar Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) yang memuat kaidah pihak yang dirugikan oleh pihak lain berhak menuntut ganti rugi dimana ganti rugi ini bukan dalam lapangan perjanjian. Pada Pasal 55 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 memuat kaidah adanya sanksi bagi Pemberi Kerja yang tidak membayar Iuran BPJS yakni sanksi berupa pidana penjara atau denda sehingga dalam konteks ini terdapat perbuatan melawan hukum pidana.

Menurut Penulis, terkait dengan mekanisme penyelesaian Jaksa Pengacara Negara dalam menyelesaikan kasus non litigasi yakni penyelesaiannya sudah mendasarkan pada aturan yang  berlaku. Pemohon mengajukan Surat Kuasa Khusus kepada JPN berkaitan dengan kepentingan masing-masing klien, kemudian Kepala Kejaksaan Tinggi mengeluarkan Surat Kuasa Substitusi dalam pembentukan Tim dan mengupayakan penyelesaian secara non litigasi.

Upaya Klarifikasi, Mediasi dan Konsiliasi telah dilakukan Tim JPN dalam menyelesaikan sengketa Jaminan Sosial Ketengakerjaan. Praktiknya, disini JPN mewakili dari BPJS Ketenagakerjaan melakukan pemanggilan kepada  Pemberi Kerja untuk melakukan pembayaran guna memenuhi hak karyawan. Setelah dilakukan pemanggilan selama 3 kali, belum melakukan pembayaran maka JPN melakukan klarifikasi secara langsung kepada Pemberi Kerja beserta menanyakan kesanggupan untuk membayar iuran premi. Upaya tersebut memaksimalkan jalur non litigasi terlebih dahulu, apabila tidak bisa maka ditempuh jalur litigasi berupa gugatan sederhana.

 

2.   Efektivitas Peningkatan kemanfaatan kepatuhan pada Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Efektivitas secara umum diartikan sebagai tingkat pencapaian suatu tujuan. Sesuatu dikatakan efektif jika berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks hukum, efektivitas mengacu pada sejauh mana hukum mampu mencapai tujuannya.

Berdasarkan hasil wawancara kepada Jaksa Pengacara Negara,  terdapat peran JPN sebagai mitra BPS yaitu:

Salah satu peran JPN sebagai mitra dari BPJS Ketenagakerjaan bersifat sebagai Konsultan yakni berkaitan dengan pertimbangan hukum dengan mengeluarkan pendapat hukum atau pendampingan hukum. JPN memiliki fungsi bantuan hukum sebagai teknis penyelesaian sengketa litigasi maupun non litigasi. Bahwa akan menjadi efektif, apabila tim JPN itu sendiri juga dapat mengakomodir sistem hirerarki, jadi apabila ada permasalahan/sengketa diluar wilayah maka dapat melibatkan Jajaran di Tim JPN Kejaksaan Tinggi yang lain, atau bahkan sengketa dapat di koordinasikan dengan Tim Jajaran Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Nursubhan, 2024).

Pengaturan jaminan sosial di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kedua undang-undang tersebut, jaminan sosial didefiniskan sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jaminan sosial dibagi menjadi 2 (dua) yaitu jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial Ketenagakerjaan. Dalam Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa jaminan sosial Ketenagakerjaan menjadi hak bagi pekerja dan keluarganya.

Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi sektor penerima upah merupakan program paket yang wajib diikuti oleh setiap pengusaha ataupun pemberi kerja ataupun Badan Usaha. Terbentuknya tunggakan iuran atau piutang adalah akumulasi dari iuran bulanan yang tidak dibayarkan oleh Pemberi Kerja/Badan Usaha. Iuran tersebut dipergunakan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) (Putra, 2024). Perbandingan tingkat partisipasi masyarakat berdasarkan Data BPJS Ketenagakerjaan .

 

Tabel 1. Tingkat Partisipasi

Tahun

Potensi

Coverage

% Coverage

Gap

2023

351.172

150.349

42,81%

251.664

2024

351.172

181.446

51%

169.726

Keterangan: Data diambil dari Rapat Monitoring dan Evaluasi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2021

 

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPJS Ketenagakerjaan, tingkat partisipasi masyarakat di Provinsi Maluku Utara khususnya para pekerja belum efektif. Terhitung pada Tahun 2023  sampai dengan 2024 presentase kepesertaan terakhir pada 51% dan hanya mengalami peningkatan sebesar 8,19%. Hal ini perlu ditingkatkan kembali sinergitas BPJS Ketenagakerjaan dalam menggandeng stakeholder terkait untuk mengoptimalisasi program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Data Pemulihan Keuangan Negara BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate berdasarkan SKK Kejaksaan Tinggi Maluku Utara.

 

Tabel 1. Data Pemulihan Keuangan Negara BPJS

No

Piutang Berjalan

Realisasi

Pemulihan Keuangan Negara

1

Rp. 14.477.220.708

Rp. 1.031.617.333

Rp.13. 445.603.375 

2

49 Perusahaan

28 Perusahaan

21 Perusahaan

Keterangan: Data diambil dari Surat BPJS Ketenagakerjaan B/9645/122022 perihal Undangan Monitoring & Evaluasi SKK Juli - Desember 2022

 

Peningkatan kepersertaan dapat dilihat pada Surat Kuasa Khusus BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate,  yang berhasil ditangani oleh Tim Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara di tahun 2022 dari hasil piutang berjalan Rp 14.477.220.708 dikurangi Rp 13.445.603.375 telah berhasil memulihkan sebesar Rp 1.031.617.333. Data perusahaan yang menunggak dari 49 perusahaan yang diajukan SKK dapat diselesaikan sebanyak 28 perusahaan, sisa 21 perusahaan yang sedang ditangani oleh Tim JPN Kejaksaan Tinggi Maluku Utara.

Terhadap realisasi perusahaan yang telah dilakukan pekerjaan maka dapat dianalisis dari rumus rata-rata penyelesaian yakni 28:49x100= 57,14 %. Artinya tingkat efektivitas masih dapat dikatakan kurang dari setengah perusahaan yang membayar. Hal ini dikarenakan peran JPN Kejati Maluku Utara telah berhasil menyelesaikan tunggakan iuran, namun progresnya masih belum begitu efektif dalam penyelesaian SKK.

Sedangkan untuk penyelamatan keuangan negara dapat dilihat dengan pemulihan dibagi dengan piutang negara, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Rp 1.031.617.333 : Rp14.477.220.708 x100=  7,6%.  Hal ini dapat terlihat, bahwa belum efektif yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate dengan Kejati Maluku Utara. Adapun jika dianalisis lebih lanjut, yakni piutang terbsesar pada Perusahaan PT. Nusa Halmahera Mineral  di tahun 2023  (semester I) sebesar Rp. 13.448.042.957 atau sebanyak 93% dari total piutang yang tertunggak.

Berdasarkan hasil wawancara kepada Tim JPN Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, terdapat kasus menarik yang bisa dijadikan contoh yakni perusahaan Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang bergerak pada tambang kandungan emas. Perusahaan belum membayar kewajiban terhitung pada bulan Juli tahun 2024 total tunggakan sebanyak 71.000.000.000; (tujuh puluh satu milyar) yang belum terbayarkan. Dalam mensiasati hal tersebut, perusahaan mengambil langkah kebijkan dengan sebanyak 1.500 karyawan dijatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), namun kita mengambil langkah sebelum dilakukan PHK harus dibayarkan dulu agar hak pekerja terhadap program jaminan dapat terjamin.

Jaksa harus memilah profil perusahaan yang kedepannya dapat dilakukan penagihan. Perusahaan yang tidak mempunyai kemampuan bayar harus dapat diseleksi secara awal. Hal ini agar JPN tidak hanya menjadi “keranjang sampah” terhadap permasalahan yang memang tidak ada potensi untuk terselesaikan dikarenakan memang perusahaan dinyatakan pailit. BPJS Ketenagakerjaan sebagai core business mengatur dan memanajerial Jaminan sosial ketenagakerjaan. Sedangkan Jaksa Pengacara Negara bertugas yang melakukan pengawasan dan penegakan kepatuhan hukum pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan. Sehingga dapat dipetakan beban dan tanggung jawab yang seharusnya menjadi core business BPJS Ketenagakerjaan tidak berpindah sepenuhnya kepada JPN.

Adapun jika dianalisis menggunakan teori efektivitas, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Efektifitas Jaksa Pengacara Negara dalam Program Jaminan Soial terdapat beberapa faktor sebagai berikut:

1.       Faktor Hukum

Faktor hukum ialah berupa peraturan perundang-undangan (peraturan tertulis) berlaku umum dan dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah yang sah. Adanya beberapa asas dalam UU mempunyai dampak positif agar UU tersebut mencapai tujuannya secara efektif dalam kehidupan masyarakat. Faktor hukum menjadi pondasi awal untuk melihat sejauh mana pembagian kewenangan peran dan fungsi dalam menjalankan kegiatan dan dapat aplikatif di lapangan sesuai dengan tujuan dibentuknya aturan hukum.

Bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjelaskan pada Bab II tentang pembentukan dan ruang lingkup, mengatur dan membagi tentang BPJS salah satunya ialah BPJS Ketenagakerjaan. Pada Pasal 6 BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program seperti: 1) jaminan kecelakaan kerja, 2) jaminan hari tua, 3) jaminan pensiun, dan 4) jaminan kematian, membawa angin segar pada perlindungan kepada masyarakat.

Adanya BPJS Ketenagakerjaan sebagai bagian dari jaminan sosial maka secara jelas pada penjelasan Pasal 15 UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS bahwa pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan menjadi peserta program jaminan sosial yang diikuti. Selanjutnya, dengan adanya peraturan tersebut diatas pemerintah pun menerbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dengan menginstruksikan kepada salah satunya kepada Jaksa Agung untuk melakukan penegakan kepatuan dan penegakan hukum terhadap Badan Usaha, Badan Usaha Milik Daerah, dan Pemerintah Daerah dalam ranka optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Selanjutnya dalam rangka mensukseskan program jaminan sosial dengan melibatkan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penyelenggara kekuasan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pada UU tersebut mengatur tentang kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, negara memberikan kekuasaan yang merdeka bebas dari intervensi pihak manapun kepada Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Lahirnya instruksi Presiden diatas membawa perubahan paradigma peran Jaksa Pengacara Negara dalam keterlibatannya dalam penegakan hukum di Indonesia. Dasar hukum praktik Jaksa Pengacara Negara pun mengalami perkembangan dimana dalam mewakili dan menyelesaikan persoalan Badan Usaha Milik Negara/Daerah terdapat perbedaan dalam penafsiran hukumnya dilapangan.

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 Hasil Rapat Pleno Kamar Perdata menjelaskan bahwa:

”Jaksa sebagai Pengacara Negara tidak dapat mewakili BUMN (Persero) karena BUMN tersebut berstatus badan hukum privat (vide Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2023 tentang BUMN”.

 

Dalam perkembangannya berdasarkan Surat Edaran MahkamahAgung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014, khususnya pada Pleno Kamar Perdata di tahun 2013 Jaksa Pengacara Negara berwenang mewakili BUMN dalam menyelesaiakan sengketa maupun gugatan, yakni didasarkan pada Pasal 24 ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan sebagai berikut :

“Lingkup bidang perdata dan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan hukum lain kepada negara atau pemerintah, meliputi lembaga negara/badan negara, lembaga/instansi pemerintah pusat dan daerah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan, memulihkan kekayaan negara, menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat”.

 

Adanya perubahan paradigma diatas membuat peran jaksa pengacara negara mempunyai kewenangan dan tugas yang berbeda dari sebelum adanya SEMA Nomor 4 Tahun 2014. Kejaksaan Republik Indonesia selain sebagai lembaga penegak hukum dituntut menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme juga harus mampu mengamankan dan mensukseskan pembangunan Proyek Strategis Nasional  guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur, menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara melalui bidang perdata dan tata usaha negara (Agoes, 2016).

Jaksa Pengacara Negara melakukan kewenangan di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara didasarkan pada aturan hukum yakni UU Nomor 16 Tahun 2024 tentang Kejaksaan RI jo. UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI. Pada Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan RI menyatakan bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan dalam Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara dengan kuasa khusus dapat bertindak didalam maupun di luar pengadilan mewakili negara atau pemerintah.

Dalam meningkatkan kualitas pelaksanaan wewenang, tugas, dan fungsi kejaksaan RI di bidang perdata dan tata usaha negara, kemudian dibuat aturan teknis lebih lanjut mengenai Jaksa Pengacara Negara dalam melaksanakan kewenangannya dalam TUN diatur pada Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-025/A/JA/11/2015 sebagaimana dirubah dengan Peraturan Kejakasaan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum lain, dan Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

Pada Peraturan Kejaksaan Nomor 7 tahun 2021 tersebut diatas menjelaskan bahwa kepentingan hukum tata usaha negara dari negara atau pemerintah adalah kepentingan yang berkaitan dengan penegakan kewibawaan pemerintah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terdapat tugas Jaksa Pengacara Negara berdasarkan surat kuasa khusus dapat melakukan penegakan hukum dan bantuan hukum dan/atau berdasarkan surat perintah melakukan pertimbangan hukum, tindakan hukum lain, dan pelayanan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara.

Menuurt Penulis, bahwa faktor hukum dalam melaksanakan penegakan hukum non litigasi dalam membantu BJPS Ketenagakerjaan di cabang Ternate didasarkan pada SKK belum maksimal dilaksanakan. Pada praktiknya Jaksa Pengacara Negara hanya melakukan penyelesaian permasalahan kepatuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan setelah pihak BPJS Ketenagakerjaan merasa tidak mampu lagi untuk melakukan penegakan kepatuhan dalam jaminan sosial ketenagakerjaan sehingga proses penyelesaian oleh Jaksa Pengacara Negara tidak berjalan efektif karena hanya melakukan tindakan berdasarkan SKK.

Padahal, dapat dilihat berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Kejaksaan, hadirnya JPN menjaga kewibawaan pemerintah. Beberapa contoh kasus tunggakan yang tidak selesai, nyatanya belum efektif jika tidak dilakukan upaya lanjutan misalnya dengan memberi somasi dan upaya hukum lainnya. BPJS Ketenagakerjaan dianggap belum sepenuhnya percaya kepada Kejaksaan dalam mensukseskan peningkatan sosial Ketenagakerjaan. Terhadap perusahaan yang tidak bisa melakukan pembayaran iuran, dapat dilakukan rekomendasi kepada aturan pemberian gaji terhadap pemotongan gaji untuk dapat dituntut pailit apabila tidak bisa memberikan pemahaman dalam penegakaan hukum .

 

2.       Faktor Penegak Hukum

Faktor penegak hukum menjadi poin penting juga untuk menganalisis sejauhmana pelaksana dari aturan hukum di lapangannya. Bahwa penegak hukum merupakan pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Penegak hukum adalah bagian dari aparatur penegak hukum yang mampu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum secara proporsional. Aktor yang terlibat dari penjamin jaminan sosial dalam hal managemen dalam penelitian ini yakni BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate, sedangkan untuk penegak aturan diantaranya JPN Kejati Maluku Utara, Polri atau Dinaster.

JPN Kejati Maluku Utara telah melakukan upaya terkait penagihan kepada perusahaan yang belum membayarkan iuran. Adapun dari pihak BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate, belum memberikan data dan dokumen secara lengkap yang diperlukan kepada Tim JPN untuk menganalisis lebih mendalam terkait Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Hal ini membuat JPN mengalami kesulitan ketika akan melakukan pendalaman terkait dengan pendampingan dalam penegakan hukum non litigasi nya.

Selanjutnya, terdapat tim pegawas lain seperti Polri dan Dinaskertrans yang ikut mengawal proses dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan, akan tetapi belum dirasa cukup dalam mendukung penyelesaian bersama. Menurut Penulis, perlu dilakukan upaya koordinasi lebih maksimal, agar dapat saling membantu dalam penyelesaian kasus BPJS Ketenagakerjaan, dengan terhimpun/membentuk satuan gugus tugas khusus agar dapat maksimal dalam setiap pelaksanaannya.

 

3.     Faktor Sarana atau Fasilitas Hukum

Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung sangat berkaitan sekali dengan proses berjalannya penegakan hukum lancar tanpa adanya gangguan-gangguan. Tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan secara efektif jika tidak didukung adanya sarana atau fasilitas. Adapun sarana prasarana yang mendukung penegakan hukum seperti peralatan yang memadai, bangunan kantor, anggaran operasional yang cukup.

Menurut Penulis, pada penelitian Program Jaminan Sosial antara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate belum berjalan dengan efektif. Hal ini dapat terlihat dari dukungan suport anggaran, yaitu BPJS Ketenagakerjaan selaku pemohon belum memberikan suport berupa sarana prasarana yakni berupa sarana transportasi yang tidak tersedia, fasilitas minim yang diberikan kepada tim JPN Kejati Maluku Utara dimana terlihat menurut Penulis masih tergolong sempit karena perlu dilakukan kerjasama dengan lintas sektor.

Hal ini perlu dilakukan dengan segera, jika perlu dibuatkan rencana pelaksanaan yang secara detail. Bahwa adanya dukungan sarana dan prasarana dari berbagai pihak dapat mendukung penegakan hukum agar berjalan dengan lancer tanpa hambatan dalam sarana dan prasarananya. Efektivitas dapat terwujud apabila didukung sarana dan prasarana juga lengkap.

4.     Faktor Kebudayaan Masyarakat

Bahwa kebudayaan hukum masyarakat merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai dalam rangka memahami hukum dan berupaya untuk menerapkannya secara baik demi kepentingan bersama. Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.

Sementara itu, menurut Baharuddin Lopa, bahwa ada 3 (tiga) komponen atau unsur yang memungkinkan tegaknya hokum dan keadilan di tengah masyarakat, yaitu sebagai berikut (Akub & Baharudin, 2012):

1.     Dilakukan adanya peraturan hokum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat;

2.     Adanya aparat penegak hokum yang professional dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral yang terpuji;

3.     Adanya kesadaran hokum masayarakt yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hokum.

Menurut Penulis, berdasarkan penelitian tingkat partisipasi masyarakat dalam mengetahui manfaat kepersetaan di Maluku Utara dirasakan belum maksimal. Efektivitas JPN Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan BPJS Ketenagakerjaan dalam mensukseskan program jaminan ketenagakerjaan masih perlu ekstra lagi agar dapat berjalan dengan sukses (kemampuan untuk mencapai tuuan dengan cara yang terbaik). Bahwa berdasarkan beberapa faktor kegiatan yang mempengaruhi diantaranya ialah peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, sarana prasarana, masyarakat dan Kebudayaan. Kelima faktor tersebut yang mempengaruhi berjalannya efektivitas hukum secara maksimal.

Efektivitas penyelenggaraan jaminan sosial meskipun telah mengalami peningkatan pembayaran tunggakan ketenagakerjaan dengan adanya Permohonan SKK ke Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate di Tahun 2022 telah mengembalikan keuangan negara sekitar Rp. 1.031.617.333 atau bisa dihitung sebanyak 21 Perusahaan yang telah dinyatakan lunas tunggakan, akan tetapi perlu ada sinergi kolaborasi dengan lintas sektor dalam menyentuh ke grassroot dimasyarakat. Adanya peningkatan jumlah kepersertaan di tahun 2022 sampai dengan tahun 2023 sebanyak 169.726 peserta namun masih menjadi catatan karena belum seratus persen (100%) hak-hak karyawan terbayarkan hak-haknya dalam BPJS Ketenagakerjaan.

Menurut Penulis, dengan melihat faktor-faktor yang mendukung efektifitas hukum diatas dalam penegakan non litigasi pada kasus BPJS Ketenagakerjaan oleh JPN dapat ditarik kesimpulan belum berjalan efektif. Hal ini perlu dilakukan perbaikain segera, untuk menjamin hak-hak korban dalam mendapatkan hak-haknya. 

 

Hambatan Jaksa Pengacara Negara dalam penegakan hukum non litigasi dalam meningkatkan kepatuhan jaminan sosial Ketenagakerjaan

Proses penegakan hukum yang  baik pasti akan didukung dengan sarana dan prasarana yang baik pula. Penegakan hukum harus saling berkelindan dengan budaya yang ada pada masyarakat agar maksimal. Dalam prosesnya sering terjadi kendala dan hambatan dalam mencapai tujuan khusunya kemanfaatan hukum itu sendiri.

Praktiknya Jaminan sosial ketenagakerjaan dalam penegakan hukum tidak terlepaskan dari kendala teknis maupun non teknis. Hambatan dalam menjalani proses penyelesaian non litigasi permasalahan sengketa secara non litigasi terhadap permasalahan BPJS pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara pada bidang Perdata dan TUN yakni pada faktor dari JPN dan pada BPJS Ketenagakerjaan, dan pemberi kerja stkeholder.

Adapun hambatan maupun kendala penegakan hukum dalam peningkatan kepatuhan jaminan sosial dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.   Faktor-Faktor Hambatan Jaksa Pengacara Negara dalam penegakan hukum non litigasi

Penyelesaian Sengketa non litigasi terhadap permasalahan Badan Penyelenggaraan Jamninan Sosial Ternate di Bidang Perdata yang dilakukan Jaksa Pengacara Negara Pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara terdapat 2 faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal.

Sedangkan Hambatan yang dihadapi oleh Tim dari BPJS Ketenagakerjaan dalam upaya optimalisasi pelaksanaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah masih banyak masyarakat pekerja yang belum mengetahui pentingnya dan manfaat dari Program Jaminan Soaial Ketenagakerjaan (Roni, 2024).

a.   Hambatan Internal

1.     Keterbatasan Pengalaman Jaksa Pengacara Negera dalam Bidang Perdata

Dalam tahapan ini kemampuan dan pengalaman Jaksa Pengacara Negara akan mampu menyelesaikan kewajiban pemberi kerja dalam mengikutsertakan seluruh pekerja dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. Pengetahuan dan pengalaman Jaksa Pengacara Negara masih terbatas pada kemampuan di bidang non litigasi yaitu melakukan mediasi dan/atau negosiasi sehingga apabila ada kendala yang muncul dari pelaksanaan surat kuasa khusus harus melakukan dinamika kelompok terlebih dahulu karena tidak semua personil Jaksa Pengacara Negara menguasai dan memiliki pengalaman di bidang perdata.

Luasnya cakupan bidang ilmu terkait dengan landasan hukum, kedudukan, tugas, fungsi, wewenang, dan sanksi dalam BPJS Ketenagakerjaan, sebelum ada pemberian surat kuasa khusus tidak semua yang berkaitan dengan pemberi kuasa (BPJS Ketenagakerjaan) dipahami secara menyeluruh dan mendalam oleh Jaksa Pengacara Negara.

2.   Keterbatasan Personil Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Surat Kuasa Khusus.

Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dalam pelaksanaan peran di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara salah satunya adalah melaksanakan Surat Kuasa Khusus (SKK) dari pemberi 49 dari total 100 kuasa. Berdasarkan data dari Kejaksaan Tinggi Maluku Utara  selama tahun 2024 telah melaksanakan Perjanjian Kerjasama dengan 8 (delapan) instansi. Dari Perjanjian Kerjasama tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian Surat Kuasa Khusus (SKK) dengan total sebanyak 17 (tujuh belas) SKK yang salah satunya adalah dari BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate terkait dengan Perusahaan Wajib Belum Daftar (PWBD) sebanyak 29 Pemberi Kerja.

 

 

b.   Hambatan Eksternal

1.     Pelaksanaan Peran Jaksa Pengacara Negara Terbatas pada Surat Kuasa Khusus

Landasan hukum Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha negara pada saat ini diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yaitu dengan surat kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau Pemerintah, serta dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada pemerintah lainnya. Apabila kita cermati maka dalam melaksanakan tugas maka Jaksa Pengacara Negara harus berdasarkan surat kuasa khusus sebagai dasar dari tindakan seorang Jaksa Pengacara Negara dalam mewakili kepentingan pemberi kuasa. Dengan surat kuasa khusus ini maka Jaksa Pengacara Negara tidak bisa bertindak di luar dari surat kuasa khusus sehingga kewenangannya cukup terbatas.

Pelaksanaan kerja sama antara Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate yang telah terjalin selama ini yang hanya berdasarkan surat kuasa khusus merupakan bagian dari upaya terakhir atau tindakan represif setelah upaya preventif yang dilakukan oleh BPJS ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate tidak berjalan selanjutnya menyerahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk menyelesaikan. Jaksa Pengacara Negara seolah-olah dijadikan tameng agar pemberi kerja patuh dan taat dalam mendaftarkan pekerja dalam jaminan sosial tenaga kerja. Pemberi kerja merasa takut dan segan dengan Jaksa Pengacara Negera sehingga apabila pemberi kerja diundang ke Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara kemudian berkomitmen untuk mendaftarkan pekerjanya dalam jaminan sosial ketenagakerjaan.

Dalam kerja sama antara Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan BPJS Ketenagakerjaan Kantor Cabang Ternate fungsi pelayanan hukum dari Jaksa Pengacara Negera belum berjalan karena fokus kerjasama masih pada tindakan represif yang terbatas pada pelaksanaan surat kuasa khusus yaitu penyelesaian permasalahan Perusahaan Wajib Belum Bayar (PWBD) dalam jaminan sosial ketenagakerjaan. Jaksa Pengacara Negara hanya bekerja menyelesaikan sebagaimana yang ada dalam surat kuasa khusus.

Lemahnya Koordinasi Antara BPJS Ketenagakerjaaan Kantor Cabang Ternate Dengan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara Sebagai tindak lanjut pelaksanaan perjanjian kerjasama antara BPJS Ketenagakerjaan Cabang Ternate dengan Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, pihak BPJS Ketenagakerjaan memberikan surat kuasa khusus kepada Jaksa Pengacara Negara untuk mendorong perusahaan wajib  mendaftarkan karyawannya dalam program jaminan sosial. Kerjasama tersebut merupakan hubungan antar lembaga pemerintah untuk mendukung kepatuhan perusahan atau pemberi kerja. Tujuan dari kerjasama untuk memberikan penyadaran kepada pemberi kerja tentang pentingnya pemberian jaminan sosial ketenagakerjaan kepada setiap pekerja.

2.       Pemberi Kerja secara geografis terletak jauh dari BPJS Ketenagakerjaan

Hambatan yang dirasakan secara eksternal yakni, dari letak geografis Provinsi Maluku Utara berbentuk kepulauan. Beberapa perusahaan khususnya di bidang Pertambangan yang tersebar di Pulau Halmahera  hanya sebagai lokasi tambang, sedangkan untuk kantor/administrasi terletak di luar Provinsi Maluku Utara. Hal in yang menghambat proses penyelesaian secara non litigasi terhadap pemberi kerja yang belum membayarkan jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaaan.

3.     Data tunggakan dari BPJS Cabang Ternate belum lengkap

Klien BPJS Ketenagakerjaan tidak sepenuhnya terbuka terhadap data dan informasi berkaitan dengan data yang tertunggak. SKK yang sudah dimohonkan oleh klien sebaiknya di sampaikan seluruhnya, agar dapat di analisis secara mendalam oleh JPN. Selanjutnya BPJS Ketenagakerjaan dalam hal sarana dan prasana kurang mendukung/mensuport kegiatan yang dilakukan oleh tim JPN (Rozali, 2024).

Berdasarkan pengalaman penulis bahwa dalam pelaksanaan jaminan sosial ketenagakerjaan memiliki kendala dan hambatan. Hambatan berdasarkan Jaksa Pengacara Negara dapat dibedakan menjadi Internal dan Eksternal, sedangkan BPJS Tenagakerjaan memiliki kendala eksternal.

Hambatan Internal dapat dipilah menjadi 2 yakni Hambatan Keterbatasan Pengetahuan dan Pengalaman Jaksa Pengacara Negera dalam Bidang Perdata, dan Keterbatasan Personil Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Surat Kuasa Khusus. Sedangkan Hambatan eksternal di Pelaksanaan Peran Jaksa Pengacara Negara Terbatas pada Surat Kuasa Khusus. Data tunggakan dari BPJS Cabang Ternate belum lengkap Pemberi Kerja secara geografis terletak jauh dari BPJS Ketenagakerjaan.

Sedangkan hambatan berdasarkan BPJS Ketenagakerjaan, pemberi kerja dan pekerja belum sepenuhnya mengetahui dan manfaat dari program jaminan sosial ketenagakerjaan. Kendala beberapa diatas seharusnya dapat diperbaiki secara bersama agar penegakan hukum non litigasi dapat meningkat dan pekeja dapat tercover Jaminan sosial dengan baik.

 

2.   Solusi Meningkatkan Kepatuhan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

Peningkatan kepatuhan terhadap jaminan sosial ketenagakerjaan merupakan hal yang krusial dalam memastikan perlindungan sosial yang adil dan merata bagi seluruh tenaga kerja. Di tengah dinamika pasar kerja yang terus berkembang, tantangan kepatuhan terhadap program-program jaminan sosial menjadi semakin penting untuk ditangani secara efektif. Hal ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu pekerja, tetapi juga stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

a.     Koordinasi antara Jaksa Pengacara Negara dengan BPJS Ketenagakerjaan secara intens

Solusi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap jaminan sosial ketenagakerjaan perlu dirancang dengan cermat, berdasarkan pemahaman mendalam akan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan saat ini. Beberapa faktor tersebut mencakup kesadaran pekerja akan hak-hak mereka, kejelasan prosedur administrasi, ketersediaan sumber daya untuk implementasi, dan juga peran serta aktif pemerintah serta pihak swasta dalam mendukung program ini.

Solusi yang dapat di lakukan terhadap jaminan sosial salah satunya dengan koordinasi secara intens, kemudian membentuk suatu FGD dengan melibatkan stakeholder terkait, sesuai yang diamanatkan dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Program Jaminan Sosial. BPJS Ketenagakerjaan sebagai pelaskana, Tim JPN sebagai pengawas eksternal dan dari Dinas Ketenagakerja juga sebagai pengawas secara eksternal dalam mendukung Program Jaminan Sosial (Suyanto, 2024).

Upaya yang dapat meningkatkan kepatuhan pemberi kerja dalam mensukseskan Jaminan Sosial adalah dengan bersama berkoordinasi dengan para stakeholder, serta pengusaha terkait pentingnya program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Mensosialisasikan manfaat dan keuntungan yang akan didapat Pekerja atau Pemberi kerja (Roni, 2024).

b.     Koordinasi terkait progres perkembangan  dan evaluasi secara lebih intens

Pelaporan progres perkembangan hasil dari SKK BPJS Ketenagakerjaan seyogya harus terdokumentasi baik. Laporan Tunggakan secara administrasi sebaiknya dilakukan selama per 3 bulan, triwulan. Tidak hanya pada rapat monev yang dilaksanakan per 1 tahun sekali. Hal ini agar dari tim JPN juga dapat lebih efektif dalam meningkatan kepatuhan jaminan sosial ketenagakerjaan.

BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelola dan manajerial harus menyampaikan laporan, agar yang mengetahui keaadaan dilapangan. Sedangkan untuk JPN Kejati Maluku Utara sebagai pengawas eksternal dan eksekutor terhadap SKK dapat di pulihkan tunggakan iuran dari pemberi kerja. JPN mengupayakan penegakan non litigasi dengan mengupayakan win-win solution agar berbagai pihak yang terlibat dapat menjalankan peran sebagaimana mestinya.

JPN Kejati Malut mengedepankan pendekatan secara non litigasi dengan melakukan penagihan terhadap Pemberi kerja yang terlambat melakukan iuran jamianan sosial ketenagakerjaan. Namun apabila tunggakan iuran besar yang menarik perhatian, maka dapat dilakukan gugatan perdata dan pelaporan kepada Penyidik Kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Berdasarkan pendapat penulis solusi yang dapat dilakukan yakni dengan Menurut penulis Peran Jaksa Pengacara Negara sebagai problem solver menjalankan tugas dan fungsi bidang perdata diantaranya tugas pelayanan hukum dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat khususnya pekerja dalam memperoleh hak-hak jaminan sosial tenaga kerja.

Jaksa Pengacara Negara melakukan sosialisasi dalam bentuk pelayanan dan penerangan hukum. Pekerja akan memahami bahwa hak-hak jaminan sosial ketenagakerjaan berupa jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan pensiun telah diatur dalam konstitusi sehingga pemberi kerja wajib memberikan jaminan sosial kepada pekerjanya. Dengan perlindungan tersebut dapat memberikan ketenangan bagi pekerja sehingga memberikan kontribusi bagi perusahaan dan meningkatkan produktifitas tenaga kerja.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Efektivitas Fungsi Kejaksaan belum efektif dalam Program Jaminan Sosial belum berjalan dengan baik. Berbagai faktor yang mempengaruhi efektivitas diantaranya dengan peraturan yang mengatur jaminan sosial, Aparat Penegak Hukum, Sarana Prasarana, dan faktor dari masyarakat itu sendiri masih ada kekurangan.  Telah menyelesaikan SKK dan memulihan Keuangan Negara pada sektor Jaminan Sosial Ketenagakerjaan meningkat namun belum belum efektif dan terjadi peningkatan kepersetaan pekerja disetiap tahun. (2) Hambatan terhadap Peran Jaksa Pengacara Negara dalam peningkatan kepatuhan jamian sosial ketenagakerjaan mengalami kendala  internal dan eksternal. Kendala Internal berupa Pengetahuan dan Pengalaman Jaksa Pengacara Negera dalam Bidang Perdata, dan Keterbatasan Personil Jaksa Pengacara Negara Dalam Penyelesaian Surat Kuasa Khusus. Sedangkan Hambatan eksternal di Pelaksanaan Peran Jaksa Pengacara Negara Terbatas pada Surat Kuasa Khusus.  Dari pihak BPJS Ketenagakerjaan juga tidak memberikan data yang lengkap, selanjutnya faktor Pemberi Kerja secara geografis terletak jauh dari Provinsi Maluku Utara.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agoes, E. P. P. (2012). Catatan opini penegak hukum. Jakarta: Sapta E Saudara.

Agoes, E. P. P. (2016). Jaksa pengacara negara: Mengawal percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Jakarta: Sapta E Saudara.

Akub, S., & Baharudin, B. (2012). Wawasan due process of law dalam sistem peradilan pidana. Yogyakarta: Rangkang Education.

Badan Penjamin Sosial Ketenagakerjaan Cabang Ternate di Provinsi Maluku Utara. (2024, Mei 7). Hasil mengikuti Presentasi Rapat Monitoring dan Evaluasi Implementasi Inpres Nomor 2 Tahun 2021 antara Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dengan Badan Penjamin Sosial Ketenagakerjaan Cabang Ternate di Provinsi Maluku Utara.

Hafidzi, A. (2015). Eksistensi Advokat Sebagai Profesi Terhormat (Officium Nobile) Dalam Sistem Negara Hukum Di Indonesia. Khazanah: Jurnal Studi Islam Dan Humaniora, 13(1).

Mahfud, M. A. (2017). Hak Menguasai Negara dan Perlindungan Hukum terhadap Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat: Kajian Teoritis dan Implementasinya. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 19(1), 63–79.

Manurung, A. M., Puspita, D., Sari, D. S., Lubis, M. A., Yani, N. W., & Purba, T. M. R. (2024). Sistem Hukum Nasional Indonesia Ditinjau Dari Pancasila Dan UUD 1945. Eksekusi: Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi Negara, 2(1), 112–121.

Muhshi, A. (2018). Pemenuhan Hak atas Informasi Publik sebagai Tanggung Jawab Negara dalam rangka Mewujudkan Good Governance. Lentera Hukum, 5, 63.

Novitasari, A. (2018). Optimalisasi Undang-Undang Cukai terhadap ketaatan pengusaha pabrik rokok dalam membayar cukai (Studi di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Cukai Kudus) [Skripsi, Universitas Sebelas Maret].

Nursubhan, S. R. (2024, Juli 8). Wawancara mengenai peran Kejaksaan Tinggi dalam implementasi Inpres Nomor 2 Tahun 2021. [Wawancara pribadi].

Putra, R. D. K. (2024, Juli 12). Wawancara mengenai evaluasi pengawasan BPJS Ketenagakerjaan. [Wawancara pribadi].

Rizhan, A. (2021). Konsep Negara Hukum Profetik. KODIFIKASI, 3(1), 74–100.

Roni. (2024, Juli 10). Wawancara mengenai implementasi program BPJS Ketenagakerjaan di Ternate. [Wawancara pribadi].

Rozali, S. (2024). Wawancara mengenai proses pengacara negara dalam menangani proyek strategis nasional. [Wawancara pribadi].

Suprapto, A. (2024, Juni 18). Satu dekade pembangunan jaminan sosial nasional di Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. https://www.kemenkopmk.go.id/satu-dekade-pembangunan-jaminan-sosial-nasional-di-indonesia

Supriyono, R. A. (2000). Sistem pengendalian manajemen. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Usman, S. (2009).
Dasar-dasar sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Suyanto. (2024, Juli 8). Wawancara mengenai kendala dalam implementasi

 

 

Copyright holder:

Raden Muhammad Ridwan Fahrudin, Husein Alting, Sultan Alwan (2024)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: