Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 9, No.
12, Desember 2024
KOMUNIKASI
INTERPERSONAL MAHASISWA DI MAKASSAR SAAT PERTAMA KALI KE PSIKIATER
Riyadi1, Jeanny
Maria Fatimah2, Hasrullah3
Universitas
Hasanuddin, Indonesia1,2,3
Email:
[email protected]1, [email protected]2, [email protected]3
Abstrak
Permasalahan kesehatan
mental di kalangan mahasiswa
semakin krusial di tengah tuntutan akademik, sosial, dan ekonomi yang tinggi. Stigma negatif terhadap gangguan mental sering kali menjadi penghambat bagi mahasiswa untuk mencari bantuan
profesional seperti psikiater. Penelitian ini mengeksplorasi pengalaman komunikasi
interpersonal mahasiswa di Makassar saat pertama kali berkonsultasi dengan psikiater. Menggunakan pendekatan fenomenologis, studi ini melibatkan
wawancara mendalam dengan 10 mahasiswa (8 perempuan, 2 laki-laki) dari berbagai perguruan
tinggi di Makassar. Analisis
tematik mengungkapkan perbedaan signifikan dalam pengalaman dan tujuan konsultasi antara mahasiswa rumpun kesehatan dan non-kesehatan. Mahasiswa rumpun kesehatan cenderung mencari dukungan emosional dan validasi, sementara mahasiswa non-kesehatan lebih fokus pada pencarian solusi konkret. Temuan menunjukkan bahwa mahasiswa rumpun kesehatan umumnya melaporkan pengalaman positif, merasa didengarkan dan diberdayakan. Sebaliknya, beberapa mahasiswa non-kesehatan mengalami ketidakpuasan, terutama terkait kurangnya komunikasi dua arah dan fokus berlebihan pada pengobatan. Penelitian ini menyoroti pentingnya komunikasi interpersonal yang efektif
dalam konsultasi psikiatri, terutama dalam konteks perbedaan
latar belakang akademis mahasiswa. Implikasi praktis meliputi kebutuhan akan pendekatan yang lebih personal dan berorientasi pada
komunikasi dalam layanan kesehatan mental mahasiswa di Makassar.
Kata kunci: komunikasi
interpersonal, mahasiswa, psikiater,
Makassar, fenomenologi
Abstract
Mental
health issues among university students have become increasingly critical amid
high academic, social, and economic demands. Negative stigma surrounding mental
health disorders often prevents students from seeking professional help, such
as consulting a psychiatrist. This study explores the interpersonal
communication experiences of university students in Makassar during their first
consultation with a psychiatrist. Using a phenomenological approach, this study
conducted in-depth interviews with 10 university students (8 females, 2 males)
from various universities in Makassar. Thematic analysis revealed significant
differences in consultation experiences and goals between health and non-health
students. Health students tended to seek emotional support and validation,
while non-health students focused more on finding concrete solutions. The
findings showed that health students generally reported positive experiences,
feeling listened to and empowered. In contrast, some non-health students
experienced dissatisfaction, particularly due to a lack of two-way
communication and an excessive focus on medication. This research highlights
the importance of effective interpersonal communication in psychiatric
consultations, especially considering students' diverse academic backgrounds.
Practical implications include the need for a more personalized and
communication-oriented approach in student mental health services in Makassar.
Keywords: interpersonal communication,
university students, psychiatrist, Makassar, phenomenology
Pendahuluan
Kesehatan mental mahasiswa telah menjadi isu yang semakin krusial dalam dunia pendidikan tinggi, terutama di Indonesia. Transisi ke kehidupan
perguruan tinggi, tekanan akademik, dan berbagai tantangan sosial-ekonomi menciptakan lingkungan yang berpotensi memicu masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Tantangan akademik seperti beban tugas yang tinggi, ujian yang sering, serta tuntutan
untuk mendapatkan IPK tinggi dapat menimbulkan
stres berkepanjangan. Sementara itu, tantangan sosial-ekonomi meliputi biaya pendidikan yang semakin mahal, kesulitan mendapatkan pekerjaan paruh waktu, dan tuntutan untuk mandiri secara
finansial, terutama bagi mahasiswa perantauan yang jauh dari keluarga. Fenomena ini semakin
diperparah oleh ekspektasi
yang tinggi dari keluarga dan masyarakat, persaingan yang ketat di pasar kerja, serta tuntutan
untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang pesat. Selain itu, perubahan
gaya hidup yang drastis, jauh dari
lingkungan familiar, dan kebutuhan
untuk membangun jaringan sosial baru sering kali menambah beban psikologis pada mahasiswa.
Kompleksitas masalah ini juga diperumit oleh kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang kesehatan mental di kalangan mahasiswa sendiri, serta terbatasnya akses ke layanan dukungan
psikologis yang memadai di banyak institusi pendidikan tinggi. Akibatnya, banyak mahasiswa mengalami gejala stres, kecemasan,
dan depresi yang tidak terdeteksi atau tidak tertangani dengan baik, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mereka secara keseluruhan, termasuk performa akademik, hubungan interpersonal,
dan prospek karir masa depan (Ramón-Arbués, et.al.,
2023).
Studi Afdhal
Situasi ini diperparah oleh stigma sosial yang masih kuat terkait masalah
kesehatan mental di Indonesia, yang seringkali mencegah mahasiswa untuk mencari bantuan profesional (Kurnia et al.,
2024). Stigma ini berakar pada kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental, kepercayaan tradisional yang menganggap gangguan mental sebagai kelemahan pribadi atau bahkan
kutukan, serta ketakutan akan dikucilkan atau dilabeli sebagai "gila" (Nurhaeni et al.,
2022). Akibatnya, banyak mahasiswa yang mengalami masalah kesehatan mental memilih untuk menyembunyikan
kondisi mereka atau mencoba mengatasi
sendiri, yang seringkali memperburuk gejala dan menghambat pemulihan (Rahmansyah,
2024).
Penelitian Shabrina (2021) menunjukkan
bahwa hanya sebagian kecil mahasiswa yang bersedia mencari bantuan profesional ketika menghadapi masalah kesehatan mental, dengan preferensi yang lebih tinggi untuk mencari
dukungan dari teman atau keluarga.
Hal ini diperparah oleh kurangnya literasi kesehatan mental di kalangan mahasiswa sendiri, yang membuat mereka sulit mengenali gejala dan pentingnya penanganan profesional (Septiana, 2024).
Lebih lanjut, Wahyudiana (2020) mengungkapkan bahwa stigma tidak hanya berasal
dari masyarakat umum, tetapi juga dari lingkungan akademik, di mana beberapa staf pengajar dan administrator masih menganggap masalah kesehatan mental sebagai "alasan" untuk kinerja akademik
yang buruk, bukan sebagai kondisi medis yang memerlukan dukungan dan akomodasi. Situasi ini menciptakan
lingkaran setan di mana mahasiswa yang membutuhkan bantuan justru semakin terisolasi dan rentan terhadap memburuknya kondisi kesehatan mental mereka.
Salah satu cara untuk
mengubah stigma negatif terhadap masalah kesehatan mental adalah dengan mendorong konsultasi ke tenaga
profesional seperti psikiater. Interaksi langsung dengan psikiater dapat membantu menghilangkan miskonsepsi dan meningkatkan pemahaman tentang kesehatan mental (Wijaya, 2019). Pengalaman
positif dalam berkomunikasi dengan tenaga ahli dapat
mengubah persepsi mahasiswa tentang perawatan kesehatan mental dan mengurangi rasa takut atau malu untuk
mencari bantuan (Hasibuan, 2022).
Namun,
proses ini tidak selalu mudah, terutama
bagi mahasiswa yang mungkin pertama kali berinteraksi dengan tenaga profesional kesehatan mental. Sebagai contoh, seorang mahasiswa dari fakultas non-kesehatan di
Makassar menyatakan bahwa kunjungan pertamanya ke psikiater terasa
canggung dan membingungkan karena ia tidak
tahu harus mulai bercerita dari mana. Mahasiswa tersebut merasa takut akan penilaian
negatif dari psikiater, terutama ketika ditanya tentang permasalahan pribadinya. Di sisi lain, seorang mahasiswa dari rumpun kesehatan
mengungkapkan bahwa meskipun ia memahami
pentingnya layanan kesehatan mental, bahasa teknis yang digunakan psikiater membuatnya kesulitan memahami diagnosis awal yang diberikan (Meliala, 2024).
Pengalaman ini menunjukkan bahwa hambatan komunikasi dapat bervariasi tergantung pada latar belakang dan kesiapan mahasiswa, yang pada akhirnya memengaruhi kenyamanan mereka dalam melanjutkan konsultasi. Kualitas komunikasi interpersonal antara mahasiswa dan psikiater menjadi sangat penting dalam membentuk pengalaman dan persepsi mereka. Faktor-faktor seperti empati psikiater, kemampuan mendengarkan aktif, dan keterampilan
dalam menjelaskan diagnosis
dan rencana pengobatan dengan bahasa yang mudah dipahami dapat secara signifikan
mempengaruhi kenyamanan mahasiswa dan kesediaan mereka untuk melanjutkan
perawatan.
Di sisi lain, hambatan komunikasi seperti penggunaan istilah medis yang terlalu teknis, kurangnya waktu konsultasi yang memadai, atau sikap
yang dingin dan tidak empatik dapat memperkuat
stigma dan keengganan untuk
mencari bantuan lebih lanjut. Oleh karena itu, memahami
pengalaman komunikasi
interpersonal mahasiswa saat
berkunjung ke psikiater, menjadi krusial untuk mengembangkan
strategi yang efektif dalam
mengurangi stigma dan meningkatkan
akses ke perawatan kesehatan mental.
Novelty Penelitian
Penelitian ini memiliki kontribusi
baru dengan mengeksplorasi pengalaman komunikasi interpersonal mahasiswa
saat pertama kali berkonsultasi dengan psikiater, ditinjau dari perbedaan latar belakang akademis antara mahasiswa rumpun kesehatan dan non-kesehatan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang cenderung fokus pada efektivitas komunikasi dalam konteks umum
(Rosmalina, 2018) atau hambatan pencarian
bantuan kesehatan mental (Shabrina, 2021), penelitian ini berusaha mengisi
celah dengan menganalisis pengalaman mahasiswa berdasarkan perbedaan tujuan dan ekspektasi mereka. Fokus pada perbedaan ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai tantangan spesifik yang dihadapi mahasiswa dari latar belakang
akademis yang berbeda, yang
belum banyak dikaji dalam penelitian
terkait kesehatan mental mahasiswa.
Fokus pada
Kota Makassar sebagai pusat
pendidikan di Kawasan Timur Indonesia memberikan perspektif lokal yang relevan dalam memahami peran komunikasi interpersonal dalam layanan kesehatan
mental. Penelitian ini juga
mengidentifikasi perbedaan tujuan dan ekspektasi mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu yang belum banyak dikaji dalam
penelitian sebelumnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengalaman komunikasi interpersonal mahasiswa
di Makassar saat pertama
kali berkonsultasi dengan psikiater, khususnya ditinjau dari perbedaan
jenis kelamin dan latar belakang akademis (rumpun kesehatan dan rumpun non-kesehatan).
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis: Penelitian ini memperkaya kajian komunikasi interpersonal dalam konteks layanan
kesehatan mental di Indonesia, khususnya
terkait perbedaan latar belakang akademis mahasiswa.
2. Manfaat Praktis: Memberikan masukan bagi psikiater
dan penyedia layanan kesehatan mental untuk mengembangkan pendekatan komunikasi yang lebih personal
dan efektif.
3. Manfaat Sosial: Membantu mengurangi stigma terhadap masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa dan mendorong mereka untuk lebih terbuka
dalam mencari bantuan profesional.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam upaya peningkatan
akses dan efektivitas layanan kesehatan mental di lingkungan pendidikan tinggi, khususnya di Kota
Makassar. Poin-poin utama
yang mendukung harapan ini meliputi pemahaman
mendalam mengenai perbedaan tujuan dan ekspektasi mahasiswa dari latar belakang
akademis yang berbeda, identifikasi hambatan komunikasi yang sering terjadi dalam konsultasi
psikiatri, serta rekomendasi praktis yang berfokus pada peningkatan kualitas komunikasi
interpersonal. Selain itu, penelitian ini memberikan perspektif lokal yang relevan di Kota
Makassar sebagai pusat pendidikan, sehingga hasil temuan dapat
menjadi dasar pengembangan kebijakan layanan kesehatan mental yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan mahasiswa.
Metode Penelitian
Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi digunakan dalam penelitian ini. Pendekatan fenomenologi, menurut Creswell (2013), bertujuan
untuk memahami esensi dari pengalaman
hidup individu melalui deskripsi mendalam terhadap fenomena yang dialami. Dalam konteks ini,
penelitian berfokus pada pengalaman subjektif mahasiswa dalam berinteraksi dengan psikiater saat pertama kali berkonsultasi, serta makna yang mereka berikan terhadap interaksi tersebut. Pendekatan ini dianggap relevan
karena memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi perasaan, persepsi, dan pengalaman mahasiswa secara lebih mendalam (Moustakas, 1994).
Penelitian ini berlokasi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Alasan pemilihan lokasi ini adalah
karena Makassar merupakan
salah satu kota besar di Indonesia yang berperan sebagai pusat pendidikan
di kawasan timur Indonesia.
Kota ini memiliki jumlah mahasiswa yang besar dan beragam dari berbagai budaya
dan latar belakang, sehingga memberikan variasi pengalaman yang kaya. Selain itu, Makassar memiliki akses yang lebih baik terhadap
layanan kesehatan mental, termasuk jumlah psikiater yang lebih banyak dibandingkan daerah sekitarnya. Hal ini mendukung penelitian
untuk memahami dinamika komunikasi antara mahasiswa dan psikiater.
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 10 orang, yang terdiri dari 8 perempuan dan 2 laki-laki. Teknik
sampling yang digunakan adalah
purposive sampling, sesuai dengan
Patton (2002), yang menekankan pemilihan
partisipan berdasarkan kriteria tertentu yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian.
Kriteria yang digunakan adalah: (1) mahasiswa tersebut pernah mengunjungi psikiater setidaknya sekali, dan (2) berstatus sebagai mahasiswa aktif dari berbagai jenjang
pendidikan perguruan tinggi (negeri maupun swasta) di Makassar saat pertama kali berkunjung. Pendekatan purposive sampling memastikan
bahwa partisipan memiliki pengalaman langsung yang sesuai dengan fenomena yang diteliti.
Wawancara dilakukan secara semi-struktur untuk memberikan fleksibilitas kepada partisipan dalam menyampaikan pengalaman mereka. Teknik wawancara ini memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi lebih dalam aspek-aspek pengalaman yang dianggap penting oleh partisipan (Kvale & Brinkmann, 2009). Hasil wawancara
kemudian ditranskripsi secara verbatim untuk memastikan keakuratan data.
Proses member checking dilakukan dengan cara memberikan
transkrip kepada partisipan untuk memastikan bahwa interpretasi peneliti sesuai dengan pengalaman
yang mereka ceritakan
(Lincoln & Guba, 1985). Proses ini juga meningkatkan validitas data.
Teknik Analisis
Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis tematik seperti yang diusulkan oleh Braun dan Clarke (2006). Analisis
ini melibatkan proses identifikasi, analisis, dan interpretasi pola tema dalam data kualitatif. Tahapan dalam analisis ini mencakup:
1.
Transkripsi Data. Hasil wawancara ditranskrip
secara verbatim untuk mendapatkan data yang akurat dan mendalam.
2.
Identifikasi Kode. Kata kunci, frasa,
dan kalimat penting diidentifikasi dari transkrip untuk memahami pengalaman yang disampaikan partisipan.
3.
Pengelompokan Tema. Pola dan tema utama
dari pengalaman partisipan dikategorikan berdasarkan kemiripan makna dan konteks, sehingga muncul tema-tema yang relevan dengan tujuan penelitian.
4.
Analisis Tematik. Tema-tema
yang telah diidentifikasi dianalisis secara mendalam untuk memahami esensi pengalaman mahasiswa. Proses ini melibatkan penggalian makna yang lebih mendalam dari perspektif partisipan.
5.
Elaborasi dengan Studi Terdahulu. Tema yang ditemukan dieksplorasi lebih lanjut dan dikaitkan dengan hasil penelitian-penelitian
relevan sebelumnya, seperti Rosmalina (2018) dan Shabrina (2021), untuk memastikan kesesuaian temuan atau mengidentifikasi
kontribusi baru dari penelitian ini.
Teknik analisis ini memberikan
fleksibilitas dalam menggali makna pengalaman mahasiswa, serta memungkinkan perbandingan dengan studi terdahulu untuk memperkuat temuan penelitian. Selain itu, triangulasi
data dilakukan melalui diskusi dengan ahli komunikasi interpersonal dan
psikiatri untuk memastikan interpretasi yang komprehensif dan konsisten.
Dengan pendekatan fenomenologi dan analisis tematik ini, penelitian
ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mendalam mengenai pengalaman komunikasi interpersonal mahasiswa
saat berkonsultasi dengan psikiater. Pendekatan ini juga membantu mengungkap makna yang diberikan mahasiswa terhadap interaksi tersebut, serta faktor-faktor yang memengaruhi kenyamanan dan efektivitas komunikasi antara mahasiswa dan psikiater.
Hasil dan Pembahasan
Jenis Kelamin Informan
Penelitian yang telah dilakukan
memperoleh data informan dengan mayoritas perempuan, yakni 80% dari total informan. Dominasi responden perempuan ini dapat
mengindikasikan beberapa hal, antara lain prevalensi masalah kesehatan mental yang lebih tinggi di kalangan mahasiswi dan/atau kecenderungan mahasiswi untuk lebih terbuka
dalam melaporkan masalah kesehatan mental dibandingkan laki-laki.
Temuan ini sejalan dengan beberapa studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa mahasiswi cenderung lebih rentan terhadap
masalah kesehatan mental dibandingkan rekan laki-laki mereka. Sebuah studi oleh Rahmawaty, et.al. (2022) menemukan
bahwa mahasiswi memiliki risiko lebih tinggi mengalami
gangguan mood dan kecemasan
dibandingkan laki-laki. Suryana (2023) juga mengatakan bahwa selama masa remaja, anak perempuan
memiliki prevalensi depresi dan gangguan makan yang lebih tinggi. Pada masa dewasa, perempuan memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk sebagian
besar gangguan afektif dan psikosis non-afektif, sedangkan laki-laki memiliki tingkat yang lebih tinggi untuk gangguan
penggunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial.
Menurut Arini (2021), fase
"emerging adulthood" ditandai oleh berbagai tantangan psikososial yang dapat mempengaruhi kesehatan mental, seperti pencarian identitas, ekspektasi sosial, dan tekanan akademik. Komunikasi
interpersonal antara perempuan
dan laki-laki saat mengalami gangguan kesehatan mental menunjukkan perbedaan signifikan, yang dapat mempengaruhi cara mereka mengekspresikan,
mencari bantuan, dan mengatasi masalah kesehatan mental mereka.
Perempuan cenderung lebih ekspresif dalam mengomunikasikan emosi mereka dibandingkan
laki-laki. Mereka lebih sering berbagi
perasaan dan mencari dukungan emosional dari orang lain. Sebaliknya, laki-laki umumnya lebih enggan mencari
bantuan profesional untuk masalah kesehatan
mental dibandingkan perempuan
(Rasyida, 2019). Hal ini dipengaruhi oleh norma maskulinitas
dan stigma budaya di Sulawesi Selatan maupun di Indonesia pada umumnya,
yang masih menganut paham patriarki. Budaya ini menuntut
laki-laki untuk kuat, mandiri, dan tidak menunjukkan kelemahan emosional. Norma ini membatasi ekspresi
emosional laki-laki, yang
pada akhirnya dapat menghalangi mereka untuk mencari bantuan
profesional.
Perempuan cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih luas dan sering memanfaatkannya untuk dukungan emosional. Laki-laki, di sisi lain, cenderung memiliki jaringan yang lebih kecil dan kurang memanfaatkannya untuk membahas masalah kesehatan mental. Hal ini menyebabkan perempuan lebih cenderung mencari dukungan dari tenaga profesional
dibandingkan laki-laki. Dengan demikian, penelitian ini menegaskan pentingnya intervensi budaya dan peningkatan kesadaran gender dalam mendukung kesehatan mental laki-laki dan perempuan secara lebih adil. Perbedaan
ini juga menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih spesifik dalam merancang program intervensi kesehatan mental yang mempertimbangkan kebutuhan dan pola komunikasi berdasarkan gender.
Fakultas Informan
Kesepuluh informan dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni enam
informan berasal dari rumpun kesehatan
(Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan), dan empat lainnya dari rumpun
sosial, hukum, dan ekonomi.
Mahasiswa Rumpun
Kesehatan
Mahasiswa kedokteran dan ilmu kesehatan cenderung berkonsultasi dengan psikiater untuk mendapatkan dukungan emosional dan validasi atas tekanan yang mereka alami, seperti
burnout akibat beban studi yang berat. Hal ini sejalan dengan
penelitian Duffy, et.al. (2020), yang menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran sering membutuhkan validasi pengalaman emosional karena merasa bahwa stres
mereka unik dan sulit dipahami oleh orang lain. Konsultasi ini dipandang sebagai safe space
untuk berefleksi dan mengekspresikan emosi mereka.
Beberapa informan dari rumpun kesehatan menyatakan bahwa mereka merasa terisolasi
akibat beban studi yang berat, khususnya saat menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis
(PPDS). Namun, psikiater mereka menormalkan perasaan tersebut sebagai sesuatu yang wajar dalam pendidikan
kedokteran yang menantang. Psikiater mendorong mereka untuk mengembangkan
resiliensi agar mampu menghadapi tantangan masa depan. Temuan ini
senada dengan studi Thusholeha (2024), yang menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran sering menghadapi transisi identitas dari siswa menjadi
calon dokter profesional, serta cenderung perfeksionis dan diliputi keraguan diri.
Pengalaman mahasiswa rumpun kesehatan ini cenderung
positif. Informan melaporkan perasaan lega karena dapat
mengekspresikan diri sepenuhnya dan merasa didengarkan tanpa penilaian. Mereka juga merasa lebih diberdayakan
karena psikiater melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan tentang perawatan mereka. Hal ini konsisten dengan
studi Wahyudi, et.al. (2023), yang menekankan pentingnya komunikasi yang berpusat pada pasien dalam menciptakan
hubungan terapeutik yang efektif. Selain itu, komunikasi yang suportif membantu mahasiswa membangun pemahaman lebih baik tentang diri
mereka, baik secara personal maupun profesional (Santoso, 2017).
Mahasiswa Rumpun
Sosial, Hukum, dan Ekonomi
Berbeda dengan mahasiswa rumpun kesehatan, mahasiswa rumpun sosial, hukum, dan ekonomi berkonsultasi dengan tujuan menemukan
solusi konkret atas masalah yang mereka hadapi. Namun, pengalaman mereka bervariasi. Beberapa informan menyatakan kekecewaan karena sesi konsultasi
terlalu berfokus pada pemberian obat tanpa eksplorasi mendalam terhadap akar masalah mereka.
Informan merasa bahwa waktu konsultasi
sangat terbatas, sehingga mereka memilih untuk beralih ke
psikolog atau psikiater lain.
Komunikasi interpersonal timbal balik sangat penting dalam hubungan
terapeutik antara psikiater dan pasien. Menurut Antari, et.al. (2019), komunikasi dua arah dapat membantu membangun kepercayaan, meningkatkan keterlibatan pasien, serta mengurangi
kesalahpahaman dalam
diagnosis. Komunikasi ini membuat pasien merasa dihargai dan dilibatkan dalam proses perawatan. Namun, keterbatasan jumlah psikiater di Indonesia menjadi tantangan besar. Berdasarkan data Kemenkes (2021),
satu psikiater harus melayani hingga 250.000 penduduk, jauh melebihi standar
WHO, yaitu 1 psikiater untuk 30.000 penduduk (Winurini, 2023). Kondisi ini mendorong psikiater
untuk mengadopsi pendekatan biomedis yang lebih cepat dan terukur (Pinontoan & Sumampouw, 2022).
Menurut informan rumpun sosial, komunikasi interpersonal memiliki peran lebih penting dibandingkan
pemberian obat saja. Komunikasi dua arah memungkinkan eksplorasi akar permasalahan, bukan hanya gejala. Hal ini sejalan dengan
penelitian Rosmalina
(2018), yang menyatakan bahwa
gangguan mental sering melibatkan masalah dalam hubungan interpersonal,
yang dapat diatasi melalui komunikasi efektif. Komunikasi interpersonal
juga memungkinkan individu mengembangkan keterampilan koping yang lebih baik dan mencegah kambuhnya gangguan mental.
Delima, et.al. (2023) mengembangkan pendekatan Client-Centered Therapy, yang menekankan pentingnya empati, penerimaan tanpa syarat, dan komunikasi autentik dalam proses terapi. Empati memungkinkan psikiater memahami dunia internal
pasien, membantu pasien menerima diri mereka, serta
terbuka terhadap pengalaman untuk mendukung perubahan positif. Dengan komunikasi yang empatik dan suportif, mahasiswa dapat merasa lebih
dihargai, didengarkan, dan mendapatkan solusi jangka panjang untuk kesehatan mental mereka.
Dengan demikian, hasil penelitian ini menegaskan pentingnya pendekatan komunikasi
interpersonal yang adaptif dan responsif
dalam pelayanan kesehatan mental. Mahasiswa dari berbagai latar
belakang akademis memiliki kebutuhan dan harapan yang berbeda, sehingga pendekatan berbasis empati, komunikasi dua arah, dan integrasi terapi holistik dapat meningkatkan efektivitas layanan serta kepuasan
pasien secara signifikan.
Kesimpulan
Hasil penelitian tentang komunikasi interpersonal mahasiswa
di Makassar saat pertama
kali ke psikiater menunjukkan variasi antar mahasiswa, di mana terdapat perbedaan mencolok antara mahasiswa dari rumpun ilmu kesehatan
dan ilmu-ilmu sosial. Hasil
penelitian mengindikasikan bahwa pengalaman dan cara berkomunikasi setiap mahasiswa dengan psikiater berbeda-beda. Faktor-faktor yang memengaruhi variasi tersebut meliputi latar belakang akademik mahasiswa, tingkat kenyamanan mereka dalam berkomunikasi
tentang masalah kesehatan mental, serta pemahaman mereka tentang peran psikiater.
Komunikasi interpersonal pada kunjungan
pertama ke psikiater tampaknya menjadi pengalaman yang unik bagi setiap
mahasiswa, yang dapat memengaruhi persepsi mereka tentang layanan kesehatan mental.
Penelitian ini memberikan wawasan penting tentang bagaimana meningkatkan komunikasi antara psikiater dan mahasiswa untuk memastikan pengalaman yang lebih positif dan efektif dalam konsultasi
kesehatan mental. Temuan ini juga menegaskan pentingnya pendekatan personal, komunikasi dua arah, dan empati dalam membangun
hubungan terapeutik yang efektif. Dengan memahami perbedaan tujuan dan ekspektasi mahasiswa dari rumpun kesehatan dan non-kesehatan, layanan psikiatri dapat lebih optimal dalam mendukung kebutuhan kesehatan mental mahasiswa.
Kontribusi Penelitian di Masa Depan Penelitian ini membuka peluang bagi penelitian lanjutan untuk mengeksplorasi: (1) Intervensi Psikoterapeutik yang Efektif: Studi mengenai pendekatan komunikasi terapeutik yang paling efektif dalam mengatasi hambatan komunikasi antara psikiater dan mahasiswa. (2) Faktor Budaya dan Gender: Penelitian lebih mendalam tentang pengaruh faktor budaya dan gender dalam pengalaman mahasiswa berkonsultasi dengan psikiater. (3) Evaluasi Jangka Panjang: Studi longitudinal untuk melihat dampak komunikasi interpersonal terhadap
keberlanjutan perawatan kesehatan mental mahasiswa. (4) Pengembangan Model Layanan: Penelitian yang berfokus pada pengembangan model layanan kesehatan mental yang lebih inklusif dan berbasis komunikasi interpersonal. Dengan kontribusi ini, penelitian selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi praktis dan inovatif untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan mental di lingkungan pendidikan tinggi.
BIBLIOGRAFI
Afdhal, Y. (2020). Pengaruh motivasi berprestasi dan stres terhadap prestasi akademik mahasiswa tahap akademik kelas internasional program studi pendidikan dan profesi dokter fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Improvement: Jurnal Ilmiah Untuk Peningkatan
Mutu Manajemen Pendidikan, 7(2), 100–110. https://doi.org/10.21009/improvement.v7i2.18366
Antari, N. P.
U., Meriyani, H., & Suena,
N. M. D. S. (2019). Faktor–Faktor
komunikasi yang mempengaruhi
tingkat kepercayaan terhadap tenaga teknis kefarmasian. Jurnal Ilmiah Medicamento, 5(2).
Ardi, W. R., Dwidiyanti, M., Sarjana, W.,
& Wiguna, R. I. (2021). Pengalaman
mahasiswa dalam mengatasi depresi. Journal of
Holistic Nursing Science, 8(1), 46–53. https://doi.org/10.31603/nursing.v8i1.3443
Arini, D. P.
(2021). Emerging adulthood: Pengembangan teori Erikson mengenai teori psikososial pada abad 21. Jurnal Ilmiah Psyche, 15(1), 11–20.
Braun, V., &
Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology. Qualitative
Research in Psychology, 3(2), 77–101. https://doi.org/10.1191/1478088706qp063oa
Creswell, J. W.
(2013). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five
approaches (3rd ed.). SAGE Publications.
Delima, D., Mudjiran, M., & Karneli, Y.
(2023). Improve the resilience of parents of starting children with counseling
guidance using a person-centered therapy approach. Jurnal
Pendidikan dan Konseling (JPDK), 5(1), 489–494.
Duffy, M. C., Lajoie,
S. P., Pekrun, R., & Lachapelle, K. (2020).
Emotions in medical education: Examining the validity of the Medical Emotion
Scale (MES) across authentic medical learning environments. Learning and
Instruction, 70, 101150.
Hasibuan, S.
(2022). Hubungan literasi
kesehatan mental dengan sikap mencari bantuan
profesional psikologi mahasiswa FKM UIN Sumatera Utara (Doctoral
dissertation, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara).
Kurnia Utami,
I., Magfirah, M., Arynesta,
T., & Songko, A. (2024). Peningkatan
pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan mental di desa sejahtera kecamatan Palolo, Sulawesi Tengah. Jurnal
Mandala Pengabdian Masyarakat, 5(1), 141–145. https://doi.org/10.35311/jmpm.v5i1.368.
Kvale, S.,
& Brinkmann, S. (2009). InterViews:
Learning the craft of qualitative research interviewing (2nd ed.). SAGE
Publications.
Lincoln, Y. S., &
Guba, E. G. (1985). Naturalistic inquiry. SAGE Publications.
Meliala, P. A. F.
B. S. (2024). Kesehatan mental mahasiswa menghadapi tekanan akademik dan sosial. Circle
Archive, 1(4).
Moustakas, C. (1994).
Phenomenological research methods. SAGE Publications.
Nurhaeni, A.,
Marisa, D. E., & Oktiany, T. (2022). Peningkatan pengetahuan tentang gangguan kesehatan mental pada remaja. Jurnal Pengabdian
Masyarakat Kesehatan, 1(1).
Patton, M. Q. (2002).
Qualitative research and evaluation methods (3rd ed.). SAGE
Publications.
Pinontoan, O. R.,
& Sumampouw, O. J. (2022). Biomedik.
Purbalingga: Eurika Media
Aksara.
Rahmansyah, A., SM,
A. E., & Dianthi, M. H. (2024). Standpoint
suicide attempts dalam film Kembang
Api. Professional: Jurnal Komunikasi
dan Administrasi Publik, 11(1), 451–460.
Rahmawaty, F., Silalahi, R. P., Berthiana, T.,
& Mansyah, B. (2022). Faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan
mental pada remaja. Jurnal
Surya Medika (JSM), 8(3), 276–281.
Ramón-Arbués, E., Gea-Caballero, V., Granada-López, J. M.,
Juárez-Vela, R., Pellicer-García, B., &
Antón-Solanas, I. (2020). The prevalence of depression, anxiety and stress and
their associated factors in college students. International Journal of
Environmental Research and Public Health, 17(19), 7001. https://doi.org/10.3390/ijerph17197001.
Rasyida, A.
(2019). Faktor yang menjadi
hambatan untuk mencari bantuan psikologis formal di kalangan mahasiswa. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 8(2), 193–207.
Rosmalina, A.
(2018). Peran komunikasi interpersonal dalam mewujudkan kesehatan mental seseorang. Prophetic:
Professional, Empathy, Islamic Counseling Journal, 1(1).
Santoso, D. (2017). Begini mencetak dokter profesional. Airlangga University Press.
Septiana, N. Z., Istiqomah, N., & Rahayu, D.
S. (2024). Literasi kesehatan
mental: Dampak perilaku dan
resiliensi sosial pada remaja. Nusantara of Research: Jurnal
Hasil-Hasil Penelitian Universitas Nusantara PGRI
Kediri, 11(1), 81–91.
Shabrina, A.,
Prathama, A. G., & Ninin, R. H. (2021). Persepsi stigmatisasi dan intensi pencarian bantuan kesehatan mental pada mahasiswa S1. Jurnal Psikologi, 17(1), 80–92.
Suryana, E. U.,
& Sakni, A. S. (2023). Gangguan
makan anorexia nervosa dan bulimia nervosa pada remaja putri. UInScof,
1(2), 705–716.
Thusholeha, M.
(2024). Efektivitas pelatihan
resiliensi dalam meningkatkan resiliensi dan menurunkan burnout akademik mahasiswa kepaniteraan klinik tingkat 1 fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin (Doctoral dissertation, Universitas Hasanuddin).
Wahyudi, A., Rumintjap, F.
M., & Yuwanto, L. (2023). Accreditation surveyor
and patient safety: Learning from World Patient Safety Day 2023 (Literature
Review). Formosa Journal of Science and Technology, 2(9), 2279–2304.
Wahyudiana, E., & Andayani, F.
(2020). Tinjauan literatur sistematik tentang kesehatan mental siswa di sekolah dasar. Parameter: Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, 32(2),
115–152.
Wijaya, Y. D. (2019). Kesehatan mental di Indonesia:
Kini dan nanti. Buletin
Jagaddhita, 1(1), 1–4.
Winurini, S. (2023). Penanganan kesehatan mental di Indonesia. Jurnal
Info Singkat, XV(20), 21–25.
Copyright holder: Riyadi, Jeanny Maria Fatimah, Hasrullah
(2024) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |