�Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������� ������������������������e-ISSN: 2548-1398
��������� ������������������������Vol. 5, No. 11, November 2020
FEMINIMISME RADIKAL DAN
EKSPLOITASI PEREMPUAN SURIAH SEBAGAI OBJEK SEKSUAL TERKAIT IMBALAN BANTUAN
KEMANUSIAAN
Gulia Ichikaya Mitzy dan Silfanny
Zahirah
Universitas Nasional (UNAS) Jakarta Jawa Barat, Indonesia
Email:
�guliaichikayamitzy@civitas.unas.ac.id
dan silfannyzhrh@gmail.com
Abstract
This study aims to explore the level of complexity of
humanitarian issues including gender-based violence which raises new agendas in
dealing with international conflicts. This research method uses desk-research,
which is research whose data sources are obtained from the results of other
relevant research and then processed through gap analysis items. The results
show that nearly 80% of the one million Syrian refugees in Lebanon are women
and girls. They live jostled in modest houses, garages, tents or precast
buildings in cities in Lebanon. Sexual exploitation and violence are common,
especially against women. Exploitation of women means the use of everything
attached to women, both images and signs attached to them, including as
bartering for refugee foodstuffs. Where gender-based sexual violence can damage
both physical and mental health, dignity, security and autonomy of its victims,
it remains shrouded in a culture of silence. Various kinds of factors underlie
how this gender-based violence can occur, one of which is about the abuse of
power of a person or a group where this is a criticism of the theory of radical
feminism. This abuse of power also occurs in Syria where the practice of sexual
exploitation occurs in Syrian women just to get humanitarian assistance.
Keywords: Radical feminism; Women;
Sexual-violence; Power, Exploitation
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi tingkat
kompleksitas isu-isu kemanusiaan mencakup kekerasan berbasis gender yang
memunculkan agenda-agenda baru dalam menghadapi konflik dunia internasional. Metode
penelitian ini menggunakan desk-research
yaitu riset yang sumber datanya diperoleh dari hasil penelitian lain yang relevan
kemudian diolah melalui gap item-item analisis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ampir 80% dari satu juta pengungsi Suriah di Lebanon adalah perempuan dan
anak perempuan. Mereka tinggal berdesak-desakan di rumah sederhana, garasi,
tenda atau bangunan asal jadi di kota-kota di Lebanon. Eksploitasi dan
kekerasan seksual menjadi umum terjadi terutama terhadap perempuan. Eksploitasi
pada perempuan berarti pemanfaatkan segala hal yang melekat pada perempuan,
baik citra maupun tanda yang melekat kepadanya termasuk sebagai barter bahan
makanan pengungsi. Di mana kekerasan seksual berbasis gender dapat merusak
kesehatan baik fisik dan mental, martabat, keamanan dan otonomi para korbannya,
namun tetap terselubung dalam budaya diam. Berbagai macam faktor mendasari
tentang bagaimana kekerasan berbasis gender ini dapat terjadi, salah satunya
yaitu tentang penyalahgunaan kekuasaan seseorang atau suatu kelompok dimana hal
ini menjadi kritik dari teori feminisme radikal. Penyalahgunaan kekuasaan ini
juga terjadi di Suriah dimana praktek eksploitasi seksual terjadi pada
perempuan Suriah hanya demi mendapatkan bantuan kemanusiaan.
Kata kunci: Feminisme Radikal; Perempuan; Kekerasan Seksual;
Kekuasaan; Eksploitasi
Pendahuluan
Studi Hubungan Internasional kontemporer dewasa ini berkembang
dengan sangat pesat dan dinilai sebagai akibat dari perubahan dramatis yang
terjadi dalam praktik hubungan internasional. Perubahan yang ditandai
dengan�� munculnya�� isu-isu��
baru, seperti: kemiskinan, global-warming, kerusakan lingkungan, food
security, kesetaraan gender, human security dan sebagainya. Perubahan
tersebut semakin kompleks dengan hadirnya sejumlah aktor-aktor baru dalam
hubungan internasional seperti MNCs, NGOs, kelompok etnik dan global social
movement yang kian hari perannya semakin signifikan dalam dunia
internasional. Salah satu isu yang menarik perhatian dunia internasional yaitu
mengenai kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender yang paling umum
terjadi adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan (Human
Rights Council, 2018), meskipun tidak menampik bahwa banyak pula kekerasan yang
dilakukan terhadap laki-laki.
Kekerasan berbasis gender merupakan salah satu pelanggaran
hak asasi manusia yang paling umum di dunia dimana hal ini tidak mengenal batas
sosial, ekonomi atau nasional. Menurut laporan tahunan PBB, di seluruh dunia
diperkirakan satu dari tiga perempuan akan mengalami pelecehan fisik atau
seksual dalam hidupnya (Human
Rights Council, 2018). Hal ini juga terjadi pada perempuan-perempuan di Suriah. Kekerasan
terhadap perempuan dinilai sangat umum terjadi khususnya pelecehan verbal,
kekerasan dalam rumah tangga dan pernikahan muda untuk anak perempuan dibawah
umur. Isu ini semakin keras disuarakan mengingat krisis kemanusiaan di Suriah
yang berlarut-larut terjadi disebabkan oleh dampak dari Perang Suriah.
Kekerasan berbasis gender ini memiliki konsekuensi untuk menghancurkan masa
depan perempuan dan anak perempuan Suriah. Mereka menghadapi beban terberat
dari krisis Suriah karena keadaan seperti ini terus mengganggu kehidupan hingga
mereka tidak merasa aman.
UNFPA mengecam bahwa sejumlah besar perempuan dan anak
perempuan Suriah dieksploitasi secara seksual oleh anggota tim yang bertanggung
jawab menyediakan bantuan kemanusiaan di daerah konflik tempat tinggal
sementara mereka atau biasa disebut kamp. Anggota tim tersebut menyimpan
pasokan yang dikirim ke kamp dan menukarnya dengan bantuan seksual. Perempuan
Suriah tidak hanya mengalami tindak kekerasan konflik, tetapi mereka juga
menjadi korban kekerasan gender, kekerasan seksual, dan kekerasan dalam rumah
tangga. Kasus-kasus eksploitasi seksual ini sebagian besar dilakukan oleh
penyedia lokal yang disewa untuk memberikan bantuan kemanusiaan ke wilayah
konflik terbesar di Suriah. Tidak saja terjadi di dunia
internasional, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa eksploitasi terhadap
perempuan kini hadir dalam wajah baru, melalui media massa (Haryanto
& Wahyudin, 2017; Syafrini, 2014).
Media
masa saat ini memiliki peran ganda, ibarat dua sisi mata uang yang berbeda,
disatu sisi media berfungsi sebagai mediator untuk pencerdasan dan ke-majuan
bangsa namun disisi lain media juga berperan untuk penindasan demikeuntungan
dan mulusnya jalan kapitalisme pasar menuju budaya konsumen yang ingin
diwujudkan, dan lagi-lagi perempuan yang menjadi sasaran dengan rekayasa pencitraan
yang mereka ciptakan (Syafrini,
2014). Karakter
media massa seperti ini memunculkan pertanyaan besar dalam konteks
sosial-masyarakat, bahkan kemudian membentuk kesimpulan bahwa ternyata
perempuan identik dengan perilaku yang negatif yang menjadi sumber eksploitasi
kekerasan gender (Hamdani,
2017). Hasil
penelitian ini dapat membantu dan memberikan interpretasi dalam menjabarkan
kemelut gender terhadap eksploitasi perempuan yang seyogyanya memberi
pendidikan yang baik justru menjadi bagian penindasan terstruktur bagi
perempuan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
adalah kualitatif deskriptif yang
merupakan suatu prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Penelitian
kualitatif bertumpu pada latar belakang alamiah secara holistik, memposisikan
peneliti sebagai alat penelitian yang melakukan analisis data secara induktif
dan lebih mementingkan proses daripada hasil penelitian yang dilakukan
disepakati oleh peneliti dan subjek penelitian (Sugiyono, 2014). Metode deskriptif dipilih karena metode deskrptif merupakan
satu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu subjek, suatu set
kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun kelas peristiwa. Adapun tujuan dari
penelitian deskriptif ini ialah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis serta hubungan antar fenomena yang akan dianalisis.
Hasil dan
Pembahasan
Sebelum
konflik Suriah dimulai, banyak warga Suriah yang mengeluh tentang tingkat
pengangguran yang tinggi, korupsi dan kurangnya kebebasan politik di bawah
pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Presiden Assad menggantikan ayahnya,
Hafez, setelah dia meninggal pada tahun 2000. Warga Suriah memiliki harapan
besar bahwa Assad yang pada saat itu dinilai cukup muda akan mereformasi sistem
yang berlaku. Namun, hal ini ternyata tidak sesuai dengan harapan warga Suriah.
Dalam beberapa tahun Assad memang melakukan reformasi dimana �meliberalisasi�
ekonomi dengan menjual beberapa perusahaan negara. Assad mengizinkan para
pebisnis untuk mendirikan perusahaan seperti perusahaan telepon seluler yang
dulunya adalah milik negara. Assad dengan cerdik meningkatkan harapan kekuatan
Barat bahwa pebisnis mereka bisa mendapatkan keuntungan dari privatisasi.
Tetapi hal ini mengacu kepada privatisasi yang lebih menguntungkan keluarga
Assad sendiri (Nassif,
2015).
Selain
itu, empat tahun kekeringan dahsyat yang dimulai pada tahun 2006 menyebabkan
setidaknya 800.000 petani kehilangan seluruh mata pencaharian mereka dan
sekitar 200.000 meninggalkan tanah mereka begitu saja (Nassif,
2015). Bahkan
di beberapa daerah semua pertanian berhenti. Dilansir dari media New York Times
pada tahun 2010, kegagalan panen mencapai 75 persen dan umumnya sebanyak 85
persen ternak mati karena kehausan atau kelaparan. Ratusan ribu petani Suriah
meninggalkan pertanian mereka dan melarikan diri ke kota-kota besar dan kecil
untuk mencari pekerjaan yang hampir tidak ada dan persediaan makanan yang sangat
sedikit. Pengamat luar termasuk para ahli PBB memperkirakan bahwa antara 2 dan
3 juta dari 10 juta penduduk pedesaan Suriah mengalami kemiskinan ekstrem.
Dikarenakan
krisis negara yang semakin parah, pada Maret 2011, warga Suriah melakukan aksi
demonstrasi damai pro-demokrasi terinspirasi oleh �Arab Spring� di
negara-negara tetangga. Aksi damai ini ditanggapi oleh Assad dengan menggunakan
kekerasan dan sejata sehingga terjadi kerusuhan. Kerusuhan ini memicu protes
nasional yang menuntut pengunduran diri Presiden Assad. Penggunaan kekuatan
pemerintah untuk menghancurkan perbedaan pendapat hanya mengeraskan tekad para
protestan. Protestan menuntut pengunduran diri Presiden Assad, sementara itu
kerusuhan terus menyebar dan penumpasan semakin meningkat. Pendukung oposisi
mengangkat senjata, pertama untuk membela diri dan kemudian untuk membersihkan
daerah pasukan keamanan mereka. Hal inilah yang memicu terjadinya perang sipil
Suriah yang tidak kunjung usai hingga mengakibatkan banyak pihak asing yang
ikut campur dan memiliki tujuannya sendiri.
Menurut
data yang dilansir oleh (BBC, 2018), dampak
dari perang tersebut mengakibatkan 6,5 juta orang secara internal mengungsi di
Suriah, 1,2 juta diusir dari rumah mereka pada tahun 2015. PBB menyebutkan
bahwa butuh setidaknya $3,2 milyar untuk membantu 13,5 juta orang, termasuk 6
juta anak-anak yang akan memerlukan beberapa bentuk bantuan kemanusiaan di
dalam wilayah Suriah pada 2016. Sekitar 70% populasi tidak memiliki akses ke
air minum yang memadai, satu dari tiga orang tidak dapat memenuhi kebutuhan
makanan pokok mereka, dan lebih dari 2 juta anak tidak bersekolah, dan empat
dari lima orang hidup dalam kemiskinan (Council,
2016). Pihak-pihak
yang bertikai telah memperparah masalah dengan menolak akses lembaga
kemanusiaan kepada warga sipil yang membutuhkan.
Krisis
internal yang semakin parah kemudian berdampak cukup signifikan terhadap kaum
perempuan. Kaum perempuan yang mayoritas hidup dalam lingkungan domestik
menjadi terabaikan. Sehingga, memunculkan kasus-kasus berbasis gender terhadap
perempuan maupun anak-anak. Konstruksi sosial masyarakat yang patriarki juga
semakin mendukung adanya kekerasan tersebut.
A.
Eksploitasi Perempuan di Suriah
Kekerasan seksual dan berbasis gender
terutama terhadap perempuan dan anak perempuan telah menjadi masalah yang
terus-menerus terjadi di Suriah sejak awal pemberontakan bermula. Kekerasan
seksual dijadikan sebagai alat untuk menanamkan rasa takut, menghina dan
menghukum atau sebagai bagian dari ketertiban sosial. Kekerasan seksual ini
dilakukan oleh kelompok utusan pemerintah atau milisi dengan melakukan
pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan selama
operasi darat, penggerebekan rumah untuk menangkap pengunjuk rasa dan yang
dianggap pendukung oposisi, dan di pos pemeriksaan � (European Asylum Support Office (EASO),
2020) Para pelaku menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksa
pengakuan, mengekstraksi informasi, sebagai hukuman, serta meneror komunitas
oposisi. Pemerkosaan dan tindakan kekerasan seksual lainnya yang dilakukan oleh
kelompok utusan pemerintah atau milisi terjadi selama operasi darat,
penggerebekan rumah, di pos pemeriksaan dan selama penahanan merupakan bagian
dari serangan yang meluas dan sistematis yang ditujukan terhadap penduduk
sipil.
Grafik
1
Jenis-Jenis
Kekerasan Seksual (UNFPA, Voices From Syria 2018, 2018)
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
salah satu jenis kekerasan berbasis gender yang paling umum disebutkan yang
mempengaruhi perempuan (Alifa, 2013). Pernikahan anak dan kekerasan dalam rumah tangga bukanlah isu baru di
Suriah dimana hal ini sering dinormalisasi dan tertanam dalam budaya mereka.
Namun peningkatan kekerasan dalam rumah tangga sejak awal krisis yang telah
membawa perubahan dalam dinamika keluarga dengan perempuan yang bekerja di luar
rumah untuk berkontribusi atau menjadi penyedia tunggal pendapatan keluarga.
Beberapa perubahan yang keluarga hadapi karena krisis bersifat struktural,
seperti kemiskinan, kenaikan harga, pengangguran, dan pemindahan, sementara
yang lain bersifat psikologis juga tekanan-tekanannya. Baik laki-laki maupun
perempuan mendiskusikan bagaimana korban yang berkelanjutan dari
masalah-masalah ini pada peran kekuasaan tradisional telah mengikis kapasitas
laki-laki untuk mengelola kemarahan mereka. Tekanan yang mereka rasakan telah
menurunkan ambang batas di mana mereka melakukan kekerasan.
Sekitar satu setengah juta orang tinggal
di kota terbesar kedua di Suriah tersebut sebelum krisis terjadi. Setelah
perang terjadi, hanya sekitar 100 ribu hingga 300 ribu orang yang tersisa.
Dampak dari perang ini sangat berpengaruh terhadap perempuan Suriah karena
banyak dari mereka yang kehilangan ayah maupun suami mereka. Dua dari setiap
lima keluarga, perempuan berperan sebagai satu-satunya pencari nafkah. Para
perempuan ini tidak memiliki tempat kerja atau sumber pendapatan selain bantuan
yang mereka terima dari kelompok bantuan internasional. Sebagian besar keluarga
tidak memiliki listrik atau air bersih, dan harus membeli listrik dengan biaya
tinggi dari pemilik generator, dan air galon dari penjual air. Beberapa
keluarga cukup beruntung karena mereka memiliki anggota keluarga yang bertugas
di militer Suriah dan mereka menerima beberapa gaji.
Sementara itu kondisi para ibu tunggal
lebih baik bila dibandingkan dengan perempuan yang harus menjual tubuhnya untuk
mendapatkan bantuan dari kelompok amal. Bantuan didistribusikan oleh para
pekerja lokal, yang memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan kesenangan
seksual dengan imbalan makanan. Seorang perempuan mengatakan bahwa seorang
petugas organisasi tersebut mengusulkan pernikahan sementara kepadanya sebagai
imbalan atas janji persediaan makanan yang terus berlanjut (Mart�nez & Eng, 2016). Ketika ia menolak, petugas tersebut mengatakan kepadanya bahwa ia tidak
akan lagi menerima bantuan. Berdasarkan sumber yang sama perempuan lain
disebutkan bahwa mereka menghindari pusat distribusi karena takut akan
pelecehan, penghinaan bahkan pemerkosaan. Hubungan antara makanan dan seks
telah menjadi sangat umum, sehingga perempuan tidak pergi ke pusat distribusi
karena takut tetangga mereka memandang mereka sebagai pelacur.
Sebuah laporan penelitian yang
diterbitkan oleh Relief Web atau Pusat Krisis dan Bencana Global PBB yang berjudul �Suara dari
Suriah 2018� menyebutkan sejumlah data dan kesaksian mengenai kekerasan,
pelecehan, dan serangan seksual terhadap perempuan dewasa, remaja perempuan,
dan gadis-gadis muda di instalasi dan kamp pengungsian rezim tersebut. Kamp ini
merupakan tempat yang paling tidak aman bagi perempuan Suriah. Bantuan jarang
diterima secara gratis, sebagian besar bantuan tersebut didistribusikan dengan
imbalan uang atau dengan imbalan layanan seksual untuk menerima makanan. Tetapi
banyak perempuan tidak melaporkan hal ini karena ketergantungan mereka pada
paket bantuan dan untuk menghindari rasa malu (UNFPA, 2019).
Hambatan sosial pergerakan bagi
perempuan dan anak perempuan merupakan sebuah masalah keamanan seperti
penculikan dan kekerasan seksual, perempuan dan anak perempuan juga menyatakan
keprihatinan yang sama tentang stigma dan kerusakan pada reputasi mereka yang
mereka hadapi oleh keluarga dan masyarakat jika mereka ke luar rumah (Alifa, 2013). Perempuan di Suriah telah menghadapi beberapa pembatasan gerakan sebelum
krisis karena tradisi dan norma budaya yang menekankan kehormatan perempuan,
banyak perempuan dan anak perempuan menarik perhatian pada perbedaan yang
mencolok antara kebebasan bergerak mereka sebelum dan sesudah krisis untuk
budaya, bukan keselamatan misal seperti pentingnya menghindari skandal dan
gosip. Di beberapa daerah, kelompok ekstremis memberlakukan aturan yang lebih
ketat untuk perempuan dan anak perempuan dibandingkan sebelum krisis (Cook, 2016).
Perempuan yang bercerai dan perempuan
sebagai orangtua tunggal dianggap memiliki risiko khusus terhadap kekerasan
seksual, emosional dan pelecehan verbal. Pernikahan paksa, poligami dan
pernikahan sementara, pembatasan gerakan, kekerasan ekonomi dan eksploitasi
juga termasuk di dalamnya. Para janda dan perempuan yang bercerai merasa takut
anak-anak mereka akan diambil atau dibawa paksa bahkan dipisahkan dengan
anak-anak mereka untuk dipekerjakan. Alasan mengapa anak-anak itu akan
dipisahkan atau ditinggalkan di masyarakat, kematian pengasuh itu paling sering
disebutkan dan diikuti oleh pernikahan kembali orang tua, khususnya ibu dan
perceraian ketiga (Cook, 2016). Kekurangan atau hilangnya dokumentasi
sipil atau dokumen terkait properti juga memiliki implikasi besar bagi para
janda yang dipisahkan atau perempuan yang sudah bercerai.
Dilansir oleh media BBC pada tahun 2018,
pelecehan seksual dan eksploitasi seksual terjadi dalam konteks distribusi
secara signifikan. Adanya oknum-oknum yang mengatasnamakan PBB yang ingin
memberikan bantuan dengan menukar fasilitas yang berupa makanan dan kebutuhan
rumah tangga dengan �kepuasan seksual� yang tentunya disanggupi oleh mereka
agar dapat bertahan hidup. Paksaan seperti ini termasuk ke dalam pelecehan
seksual berat dan melanggar hak-hak kemanusiaan. Perempuan hanya bisa pergi
untuk distribusi dengan pendamping, kebanyakan remaja perempuan terhalang untuk
pergi ke situs distribusi karena kurangnya pendamping laki-laki. Beberapa
perempuan pergi ke pusat distribusi bantuan dengan saudara laki-laki atau
saudara mereka dan kadang-kadang mengirim seseorang untuk menerima bantuan.
Beberapa perempuan menolak pergi ke pusat bantuan dan menerima bantuan karena
takut akan pelecehan, dan beberapa perempuan berhenti menerima bantuan karena
perlakuan provokatif yang mereka terima dari distributor.
Sebagai contoh seorang gubernur di
Suriah, perempuan atau anak perempuan dinikahkan sementara dengan jangka waktu
yang singkat dengan pejabat untuk layanan seksual hanya demi menerima makanan.
Distributor meminta nomor telepon perempuan atau anak perempuan tersebut,
memberi mereka tumpangan ke rumah mereka kemudian mengambil sesuatu sebagai
imbalan (Kompas, n.d.). Ada pula perempuan yang diperas oleh distributor dengan kedok meminta
bantuan dari perempuan dengan imbalan layanan untuk memperoleh distribusi dalam
pertukaran untuk kunjungan ke rumahnya atau dalam pertukaran layanan seperti
dipaksa untuk �menemani� para distributor tersebut. Perempuan tanpa pelindung
laki-laki, seorang janda dan perempuan yang telah bercerai,s serta para pengungsi perempuan dianggap sangat rentan terhadap
eksploitasi seksual.
Dikarenakan fenomena tersebut, maka
penulis menggunakan Teori Feminis Radikal dalam membentu menganalisa masalah. Teori
feminis radikal hadir untuk mengkritik dan menuntut akan kesetaraan gender (Andestend, 2020). Yang dimaksud kesetaraan gender disini bukan berarti menuntut persamaan
atas atanomi biologis, gender menjelaskan kepentingan atau pengertian sosial
yang ditujukan terhadap perbedaan-perbedaan itu. Teori Feminis Radikal memandang bahwa isu kesetaraan gender ini terjadi
karena adanya ketimpangan struktur sosial yang berkesinambungan dengan tujuan
politis negara. Dalam hal ini negara sudah gagal dalam melindungi warga
negaranya sendiri dan tidak dapat memberikan rasa aman yang seharusnya itu
sudah menjadi hak tiap individu warga negara.
Dalam hal ini, Negara Suriah memiliki
rancangan dan penegakan hukum yang buruk untuk kekerasan terhadap perempuan.
Bahkan kebanyakan dari mereka adalah politisi yang menggunakan perempuan hanya
untuk kepuasan mereka saja. Sangat jelas bahwa disini perempuan bukan hanya
diabaikan hak-haknya sebagai perempuan tetapi juga melanggar hak-hak sebagai
individu dan anggota negara.
Negara Suriah juga memiliki budaya
patriarki yang sangat kental, pemerintah maupun pejabat setempat dianggap tidak
bisa mengakomodir hak-hak kaum perempuan. Hal ini termasuk ke dalam kritik teori
feminis radikal terhadap teori tradisional dimana power menjadi senjata utama yang mengatasnamakan segalanya termasuk
merusak dan tidak memandang hak-hak kemanusiaan. Power disini dimaksudkan dengan kapabilitas pemerintah dalam
mengintervensi rakyatnya dalam hal ini berkenaan dengan isu kemanusiaan.
Munculnya intervensi kemanusiaan dan
bantuan kemanusiaan dalam praktek-praktek Hubungan Internasional menjadi bukti
bahwa ada masalah-masalah kemanusiaan yang muncul bersamaan dengan pendekatan
negara dalam penyelesaian konflik dan penanggulangan bencana yang terjadi dalam
suatu negara. Isu ini sudah diangkat ke tingkat atau kancah internasional
mengingat Konflik Suriah sudah banyak campur tangan internasional. PBB juga
mengangkat kasus ini karena laporan tak henti yang kunjung diadukan kepada
lembaga tersebut. Dus, isu mengenai kekerasan berbasis gender di Suriah ini
harus mendapatkan perhatian penting, mengingat konflik yang masih berlangsung
dan dikhawatirkan akan menambahkan kasus berbasis gender lainnya.
Kesimpulan
Perspektif
feminisme telah membantu menyuarakan agenda atau isu yang selama ini terpendam
atau tidak diperhatikan oleh pendekatan-pendekatan tradisional atau klasik
dengan metode berpikir yang positivis. Konflik tidak lagi dilihat dari masalah
perang terbuka antar negara dengan aktor negara dan kekuatan militernya.
Jangkauan konflik meluas ke arah yang lebih luas seperti konflik etnis, agama
dan sosial yang terjadi dalam suatu negara atau ketegangan batas wilayah antar
negara. Selain itu, konflik tidak lagi dilihat dari sudut pandang negara saja
tetapi meluas kepada masalah kemanusian.
Kekerasan
berbasis gender, khususnya pelecehan verbal, kekerasan dalam rumah tangga,
pernikahan anak-anak dan ketakutan akan kekerasan seksual terus berkembang.
Kasus Suriah merupakan isu penting yang patut untuk mendapat perhatian khusus
dalam dunia internasional mengingat bagaimana Negara Suriah mengabaikan hak-hak
perempuan bahkan dimanfaatkan oleh pejabat-pejabat negara itu sendiri dan juga
mengabaikan hak-hak perempuan sebagai manusia. Kasus Suriah adalah salah satu
dari banyak kasus mengenai pelecehan perempuan di dunia ini. Hak-hak perempuan
harus diperjuangkan agar tidak ada lagi ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum
perempuan.
BIBLIOGRAFI
Alifa, Nurvina. (2013). Antara Perlindungan dan
Pembatasan: Seksualitas dan Perempuan dalam Pandangan KPI. Jakarta:
Remotivi
Andestend, Andestend. (2020). Feminisme Sosialis Di Dalam
Novel Mencari Perempuan Yang Hilang Karya Imad Zaki. Jurnal Ilmiah Korpus,
4(2), 138�147.
BBC. (2018). Konflik Suriah: Perempuan �dieksploitasi
secara seksual dengan imbalan bantuan kemanusiaan. Retrieved from
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-43207848 diakses pada 20 Juni 2020
Cook, Sam. (2016). The �woman-in-conflict�at the UN Security
Council: a subject of practice. International Affairs, 92(2),
353�372.
Council, Human Rights. (2016). Women�s International
League for Peace and Freedom. Violations against women in Syria and the
disproportionate impact of the conflict on them. Universal Periodic Review
of the Syrian Arab Republic.
European Asylum Support Office (EASO). (2020). Easo
Country Of Origin Report: Syria �The Situation Of Women.
https://doi.org/doi: 10.2847/419604
Hamdani, Ahmad. (2017). Eksploitasi Perempuan Di Media Massa
Perspektif Alquran. Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 13(1),
104�115.
Haryanto, Tri, & Wahyudin, Didin. (2017). Eksploitasi
Perempuan Dalam Media Massa Dan Tinjauan Islam. Martabat: Jurnal Perempuan
Dan Anak, 1(2), 279�300.
Human Rights Council. (2018). �I lost my dignity�: Sexual
and gender-based violence in the Syrian Arab Republic. https://reliefweb.int/report/syrian-arab-republic/i-lost-my-dignity-sexual-and-gender-based-violence-syrian-arab-republic
Kompas. (n.d.). Demi Bantuan, Perempuan Suriah
Dieksploitasi secara Seksual. https://internasional.kompas.com/read/2018/02/27/15594551/demibantuan-perempuan-suriah-dieksploitasi-secara-seksual?page=all
diakses pada 25 Juni 2020.
Mart�nez, Jos� Ciro, & Eng, Brent. (2016). The unintended
consequences of emergency food aid: neutrality, sovereignty and politics in the
Syrian civil war, 2012�15. International Affairs, 92(1), 153�173.
Nassif, Hicham Bou. (2015). Inside Syria: The Backstory of
Their Civil War and What the World Can Expect. Political Science Quarterly,
130(4), 771�774.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif
Dan R&D (12th, Cetaka ed.). Bandung: CV Alfabeta.
Syafrini, Delmira. (2014). Perempuan dalam Jeratan
Eksploitasi Media Massa. Humanus, 13(1), 20�27.
UNFPA. (2019). Voices From Syria 2nd Edition.
Retrieved from https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/voices_from_syria_2019.pdf
diakses pada 9 Agustus 2020