Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������� ������������������������e-ISSN:
2548-1398
��������� ������������������������Vol.
5, No. 11, November
2020
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGAWASAN PENGELOLAAN KEUANGAN DESA PADA
INSPEKTORAT KABUPATEN DEMAK
Sutardi, Hardi Warsono
dan Retno Sunu Astuti
Universitas Diponegoro
(UNDIP) Semarang Jawa Tengah, Indonesia
Email: [email protected], [email protected] dan [email protected]
Abstract
This study is intended to examine the role of the
Inspectorate in supervision of village government administration, monitoring of
follow-up of consultations results, inspection based on community reports, and monitoring
of follow-up of guidance and supervision results. The results, among others,
show the Inspectorate has carried out the function of monitoring and examining
suspected complaints that are planned and supported by the availability of
experienced personnel, giving the examination team the authority to
independently develop the objectives and examination strategies, and simplifying
the supervision procedures through the Desawaskita
application. However, the Inspectorate still faces obstacles, including the
implementation of monitoring of follow-up of the results of consultation, guidance
and supervision that is not documented, so that it cannot be monitored, the
limited number of auditor personnel compared to the number of entities being
examined, and applications� weaknesses that do not yet display the required
information. These problems are identified using supporting and inhibiting
factors, including communication, disposition, sources, and bureaucratic
structures. It was concluded, among others, that the implementation of the
supervisory policy by the Inspectorate runs on the function of monitoring and
examining public complaints, but it has not optimally functioned in monitoring
the follow-up of the results of consultation, guidance and supervision.
Keywords: Policy Implementation; Village Financial Managements;
Communication; Disposition; Bureaucratic Structure; Resources.
Abstrak
Studi ini
dimaksudkan untuk meneliti peran Inspektorat dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa, pemantauan tindaklanjut hasil konsultasi, pemeriksaan berdasarkan laporan masyarakat, dan pemantauan tindaklanjut hasil pembinaan dan pengawasan. Hasilnya antara lain menunjukan bahwa Inspektorat telah menjalankan fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas dugaan pengaduan yang terencana dan didukung ketersediaan personil yang berpengalaman, memberikan kewenangan kepada tim pemeriksa untuk
secara mandiri menyusun tujuan dan strategi pemeriksaan, dan menyederhanakan prosedur pengawasan melalui aplikasi Desawaskita. Namun demikian, Inspektorat masih mengalami kendala, antara lain terkait pelaksanaan pemantauan tindaklanjut hasil konsultasi, pembinaan dan pengawasan yang tidak terdokumentasi, sehingga tidak dapat dipantau, keterbatasan jumlah personil auditor dibanding banyaknya entitas yang diperiksa, dan kelemahan aplikasi yang belum menampilkan informasi yang dibutuhkan. Permasalahan tersebut didentifikasi menggunakan faktor pendukung dan penghambat, meliputi komunikasi, kecenderungan, sumber-sumber, dan
struktur birokrasi. Disimpulkan bahwa implementasi kebijakan pengawasan oleh Inspektorat berjalan pada fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas aduan masyarakat,
namun belum optimal berfungsi pada pemantauan tindaklanjut hasil konsultasi, pembinaan dan pengawasan.
Kata kunci: Implementasi Kebijakan,
Pengelolaan Keuangan Desa, Komunikasi, Kecenderungan, Sumber-Sumber, Struktur Birokrasi.
Pendahuluan
Good governance adalah sebuah kerangka
institusional untuk memperkuat otonomi desa, karena secara
substantif desentralisasi
dan otonomi desa bukan hanya masalah
pembagian kewenangan antar level pemerintahan, melainkan sebagai upaya membawa negara lebih dekat dengan
masyarakat (Subroto, 2009). UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan salah satu bentuk perhatian
pemerintah terhadap keberadaan desa. Meskipun bukan pengaturan yang pertama, UU ini merupakan tonggak
pengelolaan pemerintahan desa yang lebih professional, efisien dan efektif, terbuka serta bertanggung
jawab, mengingat desa atau yang disebut dengan nama lain, telah eksis sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk (Penjelasan Umum UU Nomor 6 Tahun 2014). ���������
Dengan terbitnya UU tersebut, Desa mendapatkan kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul
dan adat istiadat Desa. (Pasal 18 UU Nomor 6 Tahun 2014). Termasuk didalam kewenangan tersebut adalah pengelolaan keuangan desa yang terdiri dari semua
hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang dan menimbulkan pendapatan, belanja pembiayaan dan pengelolaan keuangan desa, yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).
Salah satu
tugas pemerintah daerah dalam hal
pengelolaan keuangan desa, adalah terlibat
dalam kegiatan pengawasan pengelolaan keuangan desa. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, mendefinisikan
pengawasan sebagai usaha, tindakan dan kegiatan yang ditujukan untuk menjamin penyelenggaraan Pemerintah Daerah
berjalan efisien dan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2)). Pengelolaan keuangan Desa tentunya harus
dilakukan dengan manajemen yang baik dan akuntabel karena dana yang masuk ke Desa
bukanlah dana yang kecil, melainkan sangat besar untuk dikelola
oleh sebuah Pemerintahan Desa (Fahri, 2017).
Dalam konteks pengawasan pengelolaan keuangan desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, mengatur fungsi pengawasan desa yang dilakukan oleh Bupati/walikota yang dikoordinasikan
oleh Aparat Pengawas
Internal Pemerintah (APIP), dhi
Inspektorat Kabupaten/Kota.
Tugas pengawasan oleh Inspektorat diperkuat dengan Surat Menteri Dalam Negeri
Nomor 700/1281/A.1/IJ tanggal
22 Desember 2016 tentang Pedoman Pengawasan Dana Desa, sebagai satu
kesatuan dari pengelolaan keuangan desa.
Penerbitan serangkaian regulasi diberbagai tingkatan serta upaya penguatan dibidang pengawasan adalah salah satu upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan
transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan desa. Namun demikian,
pada praktiknya, amat disayangkan dengan masih adanya penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi pada pengelolaan
keuangan desa.
Dari media dapat kita lihat
informasi kasus-kasus penyimpangan tersebut, seperti data yang dirilis Indonesian
Corruption Watch (ICW), peningkatan kasus korupsi dana desa dari Tahun
2015 sampai dengan 2018,
yang dimuat pada harian
cnnindonesia.com tanggal 17 November 2019. Demikian juga data yang dirilis Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) yang merilis adanya 459 laporan soal dana desa selama Januari � Juni 2017, yang dimuat dalam new.detik.com tanggal 9 Agustus 2017.
Kasus-kasus penyimpangan pada tataran regional Provinsi Jawa Tengah, diantaranya adalah dugaan korupsi
dana desa di Kabupaten Brebes yang disidik oleh Kejari Brebes, atas penyimpangan dana desa Tahun 2017, dengan total kerugian diperkirakan lebih dari Rp500 juta. Demikian juga dengan kasus penyalahgunaan keuangan desa Tahun
2019 di Desa Gemulak Kecamatan Sayung Kabupaten Demak, dengan nilai kerugian
mencapai Rp599,14 juta
rupiah.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam berita tanggal 9 Agustus 2017, menyebutkan bahwa selama Bulan
Januari-Juni Tahun 2017 terdapat 459 laporan terkait pengelolaan dana desa. �Jenis penyimpangan berdasarkan laporan tersebut, yaitu tidak adanya pembangunan
desa, pembangunan/pengadaan barang/jasa tidak sesuai
spesifikasi/RAB, dugaan mark up oleh aparat desa, tidak
adanya transparansi, masyarakat tidak dilibatkan, penyelewengan dana untuk kepentingan pribadi dan lemahnya pengawasan oleh Inspektorat (Nurhayati, 2019).
Disamping informasi-informasi yang
bersumber dari media, kelemahan pengawasan yang berujung pada praktik penyimpangan pengelolaan keuangan desa, juga diperoleh berdasarkan sumber informasi dari beberapa hasil
penelitian. Pramesti dalam (Hasniati,
2016) menyebutkan bahwa salah satu fenomena terkait pengelolaan dana desa adalah masih rendahnya
efektivitas Inspektorat daerah dalam melakukan
pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa, tidak terkelolanya
saluran pengaduan masyarakat dengan baik dan belum jelasnya ruang lingkup evaluasi dan pengawasan oleh Camat. Senada dengan hal
tersebut, (Lituhayu, 2019) juga menyimpulkan bahwa tidak jalannya
fungsi pengawasan terhadap penggunaan dana desa sangat memungkinkan
kepala desa melakukan korupsi.
Potensi penyimpangan pengelolaan keuangan desa, juga telah diidentifikasi oleh lembaga
auditor negara dan aparat penegak
hukum. (KPK, 2015) dalam kajiannya menemukan aspek-aspek potensi korupsi keuangan desa, yang salah satunya disebabkan oleh fungsi pengawasan oleh Inspektorat
Daerah yang kurang efektif,
saluran pengaduan masyarakat yang tidak optimal,
dan ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang belum jelas. Demikian
halnya dengan kajian oleh (BPK, n.d.) menyebutkan bahwa salah satu permasalahan dalam pengelolaan keuangan desa adalah terbatasnya
kapasitas Inspektorat/Bawasda untuk pemeriksaan
regular dan sistematis ditingkat
pedesaan.
Munculnya beberapa kasus penyimpangan pengelolaan keuangan desa, menumbuhkan semangat pada tataran Pemerintah Daerah, untuk dapat mengurangi kejadian kasus korupsi dana desa. Demi menjalankan salah satu fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah Daerah mendesain suatu regulasi, yang memungkinkan bagi organisasi perangkat daerah, dapat berperan lebih aktif dalam
rangka pengawasan pengelolaan keuangan desa.
Salah satunya
adalah sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Demak, melalui penerbitan Peraturan Bupati Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan Desa di Kabupaten Demak. Melalui penerbitan perbup tersebut, Pemerintah Kabupaten Demak, menugaskan Inspektorat untuk melakukan pengawasan pengelolaan keuangan desa, dalam bentuk:
1) reviu, 2) monitoring, 3) evaluasi,
4) pemeriksaan, dan 5) bentuk
pengawasan lainnya.
Namun demikian, meskipun telah dilakukan upaya-upaya kontrol yang salah satunya melalui penerbitan Perbup Nomor 34 Tahun 2018, masih ditemukan beberapa permasalahan pengelolaan keuangan desa di Kabupaten Demak. Beberapa permasalahan yang muncul diantaranya kasus penyalahgunaan keuangan desa di Desa Gemulak Kecamatan
Sayung yang ditangani oleh Aparat Penegak Hukum/APH, serta kelemahan praktik dan mekanisme pengelolaan keuangan desa dalam laporan
hasil pemeriksaan BPK maupun Inspektorat Kabupaten Demak.
Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana implementasi kegiatan pengawasan Inspektorat terhadap pengelolaan keuangan desa, sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bupati Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pembinaan dan Pengawasan Desa di Kabupaten Demak. Penekanan pada implementasi fungsi pengawasan ini, memberikan ragam yang berbeda dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Jika (Hasniati,
2016) dan (Lituhayu,
2019) mengidentifikasi factor-faktor penyebab adanya penyimpangan, dalam penelitian ini akan dikaji
lebih lanjut, bagaimana unsur kegiatan pengawasan (sebagai salah satu penyebab penyimpangan), bekerja di tataran organisasi perangkat daerah.
Demikian halnya dengan (Husnurrosyidah
& Suendro, 2018),
yang melihat unsur yang mempengaruhi potensi penyalahgunaan Dana Desa di Kabupaten Demak, yang meliputi faktor sistem akuntansi dan kompetensi akutansi. Hal ini berbeda dengan
penelitian ini dimana, faktor yang berpengaruh terhadap potensi penyalahgunaan keuangan desa, ditinjau dari implementasi
kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh organisasi perangkat daerah di Kabupaten Demak.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, yang
menurut Bogdan dan Biklen, S, 1992 dalam (Fathonah, Kholilatusyahidah, & Anggraini, 2019) disebutkan sebagai salah satu prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif
berupa ucapan atau tulisan dan perilaku
orang-orang yang diamati. Hasil dari
pendekatan kualitatif akan diuraikan secara deskriptif, yang menurut (Nazir, 2003) diartikan sebagai suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia,
suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang.
Lingkup penelitian meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Demak dalam mengimplementasikan Perbup Nomor 34 Tahun 2018 dan faktor-faktor yang
menghambat serta mendorong implementasi kegiatan tersebut. Pemerolehan data primer dan sekunder
dilaksanakan melalui observasi pada obyek yang ditelisi dengan eksplorasi, wawancara dan observasi di lapangan, serta pemanfataan dokumen, arsip, literature, peraturan perundangan, dokumen hasil pemeriksaan
lembaga pengasa dan kajian ilmiah.
Fenomena yang diteliti meliputi kebijakan pengawasan oleh Inspektorat Kab Demak, sesuai
bentuk-bentuk pengawasan sebagaimana diatur dalam Perbup Nomor
34 Tahun 2018, meliputi kegiatan 1) pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa, 2) pemantauan tindaklanjut hasil konsultasi, 3) pemeriksaan atas dugaan penyimpangan
berdasarkan laporan masyarakat, dan 4) pemantauan tindaklanjut hasil pembinaan dan pengawasan. Penelitian akan melihat faktor-fakto pendukung dan pengambat implementasi kebijakan, akan dilihat dari
sisi komunikasi, sumber-sumber daya dalam OPD, kecenderungan-kecenderungan
dan struktur birokrasi yang
berlaku.
Teknik analisa
data menggunakan tahapan pengumpulan data (data
collection), penyajian data (data display), verifikasi data (data verification), dan penarikan kesimpulan (drawing conclusion), merujuk
pada teknis yang dikembangkan
oleh (Anggito &
Setiawan, 2018).
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
1.
Pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan
desa
Pengawasan Desa adalah
upaya pemerintah daerah untuk memastikan
pencapaian hasil untuk menjamin pengelolaan keuangan desa berjalan sesuai
rencana dan peraturan perundangan-undangan. Sesuai dengan Pasal 1 dan Pasal 7 Perbup Nomor 34 Tahun 2018, Inspektorat menjalankan fungsi pengawasan yang meliputi kegiatan; 1) pengujian atas ketaatan pada peraturan perundang-undangan, 2) penilaian efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan desa, 3) pelaksanaan program strategis nasional dan program unggulan Bupati, 4) berakhirnya masa jabatan Kepala Desa; dan 5) pengawasan dalam rangka tujuan tertentu.
Sedangkan bentuk-bentuk pengawasan desa meliputi reviu, monitoring, evaluasi, pemeriksaan, dan bentuk pengawasan lainnya.
Kebijakan pengawasan oleh Inspektorat ditetapkan dalam Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 2019 tentang Penetapan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Berbasis Prioritas dan Risiko Inspektorat Kabupaten Demak Tahun 2019. Berdasarkan kebijakan tersebut, kegiatan pengawasan oleh Inspektorat selama Tahun 2019 dan 2020 meliputi kegiatan pemeriksaan rutin dan pengawasan prioritas nasional berupa reviu penyerapan dana desa.
Kegiatan pemeriksaan rutin diwujudkan dalam bentuk/jenis
pengawasan regular yang dilaksanakan
oleh Inspektorat. Hasil penelitian
menunjukkan, selama Tahun 2019 dan Semester I 2010, seluruh
hasil pengawasan reguler Inspektorat merupakan jenis pemeriksaan yang bersifat pengujian atas ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Inspektorat belum mengembangkan tujuan pemeriksaan yang dikembangkan dalam PKPT, berupa pemeriksaan yang bertujuan untuk Penilaian efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan desa dan Pelaksanaan program unggulan strategis nasional dan program unggulan Bupati.
Pelaksanaan pengawasan dalam rangka berakhirnya
masa jabatan Kepala Desa pada periode yang diteliti, juga tidak dilakukan, mengingat pada periode tersebut. Sedangkan pengawasan dalam rangka tujuan
tertentu, dilakukan khususnya terhadap permasalahan-permasalahan yang bersifat
aduan dari masyarakat dan/atau adanya hasil koordinasi
dengan APH.
2.
Pemantauan
tindaklanjut hasil konsultasi.
Kegiatan konsultasi adalah salah satu bentuk dari aktivitas
pembinaan, yang bertujuan untuk mendapatkan petunjuk, pertimbangan dan/atau pendapat terhadap
permasalahan pengelolaan keuangan desa. Konsultasi oleh Pemerintah Desa dapat dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung
melalui Camat dan dikoordinasikan dengan Tim
Pembina Kabupaten. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Perbup Nomor 34 Tahun 2018, hasil pelaksanaan konsultasi inilah yang selanjutnya menjadi kewajiban Inspektorat untuk memantau tindak lanjutnya oleh Pemerintah Desa.
Sesuai dengan kebijakan pengawasan yang diatur dalam Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 2019, kegiatan pemantauan tindak lanjut oleh Inspektorat, hanya dilakukan atas Tindak Lanjut
Hasil Pemeriksaan oleh APIP dan hasil
pemeriksaan BPK. Dalam PKPT
Tahun 2019 maupun Tahun 2020 tidak ditemukan lebih lanjut aktivitas dan dokumentasi pemantauan terhadap tindaklanjut hasil konsultasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah Desa, baik kepada Tim Pembina Kecamatan, Tim Pembina Kabupaten maupun OPD dilingkungan Pemerintah Kabupaten Demak.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa selama Tahun 2019 dan Semester I Tahun 2020, tidak ditemukan dokumentasi atas kegiatan konsultasi
tersebut. Dengan demikian, baik dalam tataran perencanaan
maupun dalam tataran pelaksanaan, aktivitas pemantauan tindaklanjut pelaksanaan hasil konsultasi tersebut, belum dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten Demak.
3.
Pemeriksaan
atas dugaan penyimpangan berdasarkan laporan masyarakat.
Salah satu kegiatan pengawasan oleh Inspektorat adalah apabila terdapat dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan desa berdasarkan laporan/aduan dari
masyarakat (Pasal 15 Perbup Nomor 34 Tahun 2018). Kegiatan ini terdiri dari
pelaksanaan pemeriksaan dengan berkoordinasi dengan aparat penegak
hukum, bentuk-bentuk koordinasi dengan aparat penegak hukum dan dokumentasi hasil koordinasi.
Koordinasi dilakukan dalam bentuk pemberian
informasi, verifikasi, pengumpulan data dan pemaparan hasil pemeriksaan dan bentuk koordinasi lain berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Hasil koordinasi
tersebut dituangkan dalam bentuk berita
acara koordinasi.
Dokumentasi hasil koordinasi dalam bentuk berita acara hasil koordinasi, dengan dua kondisi,
yaitu, 1) proses lebih lanjut diserahkan kepada Inspektorat, jika hasil pemeriksaan
aduan yang hanya bersifat administrative, dan 2) proses selanjutnya
diserahkan kepada aparat penegak hukum, jika berdasarkan
bukti awal ditemukan penyimpangan bersifat pidana.
Terhadap implementasi Pasal 15 ayat (1) ini, hasil penelitian
menunjukkan bahwa selama Tahun 2019 dan Semester I
2020, Inspektorat telah melakukan beberapa kerjasama dengan aparat penegak hukum, terkait kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi pidana. Koordinasi dilakukan, baik dengan Kejaksaan
Negeri maupun dengan Kepolisian Resort Demak.
Namun demikian, seluruh proses koordinasi tersebut, tidak dapat dipublikasikan secara umum, mengingat
sesuai dengan Pasal 16 Perbup Nomor 34 Tahun 2018, dinyatakan bahwa hasil koordinasi tersebut bersifat rahasia dan tidak boleh diberikan kepada publik, kecuali diatur lain oleh peraturan perundang-undangan.
4.
Pemantauan
tindaklanjut hasil pembinaan dan pengawasan.
Inspektorat melakukan pemantauan tindaklanjut hasil pembinaan dan pengawasan setiap 2 (dua) bulan sekali
(Pasal 18 ayat (1) Perbup Nomor 34 Tahun 2018). Pemantauan dimaksud berupa pengumpulan data dan informasi pelaksanaan pembinaan dan pengawasan desa, identifikasi dan verifikasi hasil-hasil pembinaan dan pengawasan, dan identifikasi rekomendasi yang dihasilkan atas aktivitas pembinaan dan pengawasan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan, pelaksanaan pasal ini belum
dapat diimplementasikan, karena hal-hal sebagai berikut:
a.
Teknis pembinaan dan pengawasan
Sebagaimana
diatur dalam Perbup Nomor 34 Tahun 2018, kegiatan pembinaan dan pengawasan tidak hanya dilaksanakan
oleh Inspektorat, melainkan
juga oleh OPD lain, yaitu Dinpermasdes P2KB dan Kecamatan.
Belum ada upaya untuk mensinkronkan kegiatan pembinaan dan pengawasan oleh masing-masing OPD. Hal ini
menyebabkan Inspektorat tidak dapat memantau
seluruh aktivitas pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan desa.
b.
Dokumentasi kegiatan pembinaan dan pengasan
Kegiatan
pembinaan dan pengawasan tidak seluruhnya didokumentasikan. Bahkan dalam banyak kasus,
dilakukan secara sporadik, berupa konsultasi melalui saluran komunikasi yang paling sederhana (telepon/wa/sms dll),
bahkan secara lisan. Hal tersebut menyulitkan Inspektorat dalam memantau pelaksanan kegiatan ini, bahkan terhadap
aktivitas konsultasi yang dilakukan di OPD Inspektorat itu sendiri
5.
Faktor
Pendukung dan Penghambat
a.
Komunikasi
Pembahasan unsur komunikasi ini dilakukan terhadap variabel transmisi, kejelasan dan konsistensi dalam upaya Upaya
mengkomunikasikan kebijakan
dilakukan oleh Inspektorat
salah satunya dengan menuangkan rencana kegiatan dalam PKPT, yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 2019 tentang Penetapan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Berbasis Prioritas dan Risiko Inspektorat Kabupaten Demak Tahun 2019. PKPT disusun setiap tahun anggaran,
sebagai dasar dalam penyusunan Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA) SKPD dalam rangka penyediaan anggaran.
Sebagai dokumen perencanaan, PKPT telah didesain untuk memudahkan pembagian tugas yang jelas kepada masing-masing Inspektur Pembantu Wilayah (Inspektur Pembantu Wilayah) di Inspektorat.
Kejelasan ini memudahkan masing-masing Irbanwil
dalam mengalokasikan tenaga auditor dibawahnya untuk melaksanakan kegiatan sesuai yang telah direncanakan. Disamping juga terdapat fakta bahwa tugas-tugas
Inspektorat yang bersifat rutin, menghasilkan
auditor-auditor yang berpengalaman menjalankan tugas pengawasan, sesuai dengan tujuan pengawasan.
Namun demikian, dari sisi transmisi,
kejelasan rencana dalam PKPT belum sampai pada tahapan pada upaya untuk memastikan
bahwa PKPT telah menjawab rincian penugasan kepada Inspektorat, terutama kewajiban pemantauan hasil konsultasi dalam rangka pembinaan
dan pengawasan oleh OPD di Pemkab
Demak. Demikian halnya dengan Peraturan
Bupati Nomor 59 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Inspektorat Kabupaten Demak, penugasan personil di Inspektorat belum secara jelas mengatur
fungsi pemantauan tersebut.
Faktor pendukung dalam unsur komunikasi
ini adalah, pertama, kejelasan dokumen perencanaan (PKPT) dalam memuat rencana
kerja, yang memudahkan Irbanwil dalam mengalokasikan sumber daya auditor. Kedua, tugas-tugas Inspektorat bersifat rutin setiap tahun, sehingga
personil Inspektorat sebagai implementator berpengalamana menjalankan fungsi yang ditugaskan, terutama dalam kegiatan pengawasan pengelolaan desa dan pemeriksaan atas dugaan berdasarkan aduan masyarakat.
Faktor-faktor yang menghambat dalam unsur komunikasi
adalah, pertama, informasi mengenai tugas Inspektorat dalam Perbup Nomor
34 Tahun 2018 tidak ditransmisikan secara jelas, sehingga tidak seluruh Irbanwil
dan auditor menangkap pesan
yang disampaikan. Hal ini dapat dilihat bahwa
kegagalan pemantauan hasil konsultasi, bahkan terjadi pada kasus konsultasi oleh aparat pemerintah desa kepada auditor/pihak Inspektorat, karena aktivitas tersebut tidak terdokumentasikan.
Kedua, inkonsistensi pengaturan tugas pokok dan fungsi Inspektorat dalam Peraturan Bupati Nomor 59 Tahun 2019, yang tidak sepenuhnya mendukung peran pengawasan sebagaimana ditugaskan dalam Perbup Nomor
34 Tahun 2018. Hal ini berdampak pada pelaksanaan peran pemantauan hasil kegiatan konsultasi dan pemantauan serta pemutakhiran data hasil pembinaan dan pengawasan tidak dilaksanakan.
b.
Sumber-sumber
Pembahasan unsur sumber-sumber dilakukan terhadap variabel ketersediaan staf, ketersediaan informasi, ketersediaan kewenangan dan ketersediaan fasilitas. bagi para implementator. Pembicaraan tentang staf berkisar pada ketesediaan secara kuantitas maupun kualitas, informasi berkisar pada kejelasana informasi mengenai tugas implementasi yang dibebankan kepada Inspektorat, wewenang berbicara tentang ketersediaan regulasi secara resmi dan fasilitas akan menguji ketersediaan anggaran.
Pada variabel staf, Inspektorat didukung total pegawai sebanyak 43 orang, namun khusus untuk
fungsi pengawasan dibebankan kepada 17 pegawai, yang terdiri dari 10 orang berkualifikasi
auditor dan 7 orang berkualifikasi P2UPD, serta 4 orang Irbanwil. Jumlah tersebut dirasa belum mencukupi
karena tugas Inspektorat, selain pengawasan terhadap 243 desa, yang juga menjalankan fungsi pengawasan terhadap OPD di lingkungan Pemerintah Kabupaten Demak. Kondisi tersebut berdampak pada terbatasnya kemampuan Inspektorat dalam pengawasan kepada pemerintah desa Tahun 2020, yang hanya ditargetkan sebanyak 4 LHP.
Pada variabel informasi, Inspektorat Kabupaten Demak belum menyediakan
informasi yang bersifat teknis untuk personil
di Inspektorat untuk menjalankan tugas dan fungsi Inspektorat dalam mengimplementasikan kegiatan pemantauan hasil konsultasi dan pemantauan tindak lanjut hasil pembinaan
dan pengawasan. Hal ini berdampak pada sebagian besar personil Inspektorat tidak mengetahui fungsi tersebut, meskipun sebagian besar dari personil mengetahui
kegiatan pemantauan terhadap tindak lanjut hasil pemeriksaan
BPK maupun APIP.
Pada variabel wewenang, Inspektorat Kabupaten Demak memberikan kewenangan penuh terhadap Auditor dan P2UPD, yang bekerja
secara tim, untuk melaksanakan fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu
atas dugaan penyimpangan berdasarkan aduan dari masyarakat.
Kewenangan ini diberikan kepada auditor dan
P2UPD dengan control yang dilakukan
secara berjenjang melalui posisi-posisi fungsional dalam tim, meliputi anggota
tim, ketua tim, pengendali teknis dan penanggung jawab.
Faktor pendukung pada variabel sumber-sumber ini, pertama, tingkat sirkulasi personil auditor dan
P2UPD level anggota tim
yang rendah, dengan penugasana yang relative serupa, menghasilkan personil-personil
yang berpengalaman dalam melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan terhadap aduan masyarakat. Pengalaman ini dibutuhkan untuk mensiasati jangka waktu pengawasan yang biasanya pendek (berkisar antara satu sampai dengan
dua minggu dalam masa penugasan), dengan komposisi tim yang berbeda-beda untuk setiap penugasan.
Kedua, personil pengawasan (auditor dan
P2UPD) mempunyai kewenangan
yang cukup besar untuk menjalankan prosedur pengawasan sebagaimana ditetapkan dalam rencana program pengawasan. Tim pemeriksa menggunakan pengalaman dan pembagian tugas yang telah ditentukan secara jelas untuk
melakukan pengawasan dan menuangkan dalam LHP.
Faktor penghambat dalam variabel sumber-sumber ini, pertama jumlah personil auditor dan P2UPD
yang tidak mencukupi jika dibandingkan dengan jumlah entitas
yang harus diperiksa. Meskipun secara pengalaman, para auditor dan P2UPD tersebut,
cukup berpengalaman melakukan pengawasan, namun obyek pengawasan
yang demikian luas, tidak memungkinkan Inspektorat dapat menjangkau seluruh desa, meskipun telah menggunakan pertimbangan risiko dalam menentukan desa yang akan diperiksa.
Kedua, auditor dan P2UPD fokus
pada tugas pokok dan fungsi mereka dalam
melakukan pengawasan, sehingga tidak memungkinkan untuk mencurahkan perhatian yang lebih besar kepada
fungsi lain dari Inspektorat, yaitu peran sebagai konsultan
sekaligus memantau hasil konsultasi. Fungsi pemantauan atas tindak lanjut
rekomendasi hasil pembinaan dan pengawasan juga tidak dilakukann oleh auditor dan
P2UPD, melainkan oleh personil
dibawah Kepala Subagian Evaluasi dan Pelaporan, sebuah jabatan eselon IV dibawah Sekretaris Inspektorat. Dengan demikian terdapat dua fungsi, yaitu
pengawasan dan pemantauan hasil pengawasan yang dilaksanakan oleh dua satuan kerja di organisasi Inspektorat, yaitu Irbanwil dan Sekretariat. Baik dalam regulasi tentang SOTK Inspektorat maupun dalam Perbup
Nomor 34 Tahun 2018, tidak diatur lebih
lanjut ketentuan teknis yang mengatur mekanisme pemantauan, yang melibatkan dua pihak ini.
c.
Kecenderungan-
kecenderungan
Sebagai ujung tombak implementasi kebijakan pengawasan oleh Inspektorat, auditor dan P2UPD menjadi
aktor utama dalam menampilkan kecenderungan penerimaan terhadap tugas implementatif tersebut. Meskipun pada struktur organisasi Inspektorat, terhadap pegawai diluar auditor dan P2UPD, namun
pada praktiknya pegawai tersebut lebih banyak berperan dalam tugas-tugas administrative,
untuk mendukung tugas pokok fungsi
Inspektorat.
Personil auditor dan P2UPD Inspektorat
cenderung untuk hanya menjalankan fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas aduan masyarakat, sebagai tugas pokok
fungsi mereka. Disamping bahwa tugas-tugas pemeriksaan lain yang
menjadi tanggungjawabnya, seperti reviu atas
LKPD, reviu RPJMD, reviu
RKPD, reviu RKA OPD, evaluasi
SPIP, evaluasi LKJIP, dll. Tugas-tugas tersebut dirasakan sangat memberatkan bagi beban kerja pada auditor dan
P2UPD Inspektorat. Dengan demikian, kecenderrungan keengganan untuk melaksanaan tugas diluar pemeriksaan, semata hanya karena
tingginya beban kerja yang sudah ada selama ini.
Faktor pendukung dari variabel kecenderungan
ini adalah personil auditor yang secara umum relative terdidik, dengan rata-rata tingkat pendidikan strata-1, sehingga mempunyai kemampuan penyelesaian masalah yang lebih tinggi. Sedangkan
faktor penghambat nya adalah tingginya
beban kerja yang ada, sehingga tugas
pemantauan dialihkan kepada personil selain auditor, yaitu personil di Sub Bagian Evaluasi
dan Pelaporan, meskipun hal tersebut juga belum optimal dalam menjawab regulasi yang ada.
d.
Struktur
Birokrasi
Sejak Tahun 2018, Inspektorat Kabupaten Demak telah mengembangkan
aplikasi system pengawasan pengelolaan keuangan desa bernama �Desawaskita�
(www.desawaskita.demakkab.go.id). Aplikasi ini disusun sebagai
salah satu upaya untuk mensiasati keterbatasan kemampuan Inspektorat dalam pengawasan pengelolaan keuangan desa, terutama karena keterbatasan jumlah personil. Penggunaan aplikasi system pengawasan ini merupakan penjabaran
langsung sebagaimana diatur dalam Pasal
11 Perbup Nomor 34 Tahun 2018.
Sebagai aplikasi yang bertujuan menyajikan data secara riil time, Desawaskita relative mampu menyediakan fitur informasi yang cukup lengkap mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban. Seluruh fitur tersebut dapat diakses oleh masing-masing desa, dan menyajikan informasi mengenai jumlah anggaran dan persentase realisasi, untuk setiap bidang
pembangunan desa, mulai dari bidang
pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana, keadaan darurat serta mendesak.
Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian terhadap kualitas informasi yang tersaji pada aplikasi dimaksud, per tanggal 21 Juli 2020, menunjukkan belum seluruh informasi
yang seharusnya telah disajikan pihak desa, telah tersaji
pada aplikasi tersebut.
Pada saat diakses persentase desa yang telah melaporkan dokumen: 1) perencanaan sebanyak 13,70%, 2) pelaksanaan sebanyak 8,44%, 3) penatausahaan sebanyak 1,70%, 4) pelaporan Semster I sebanyak 3,50%, dan 5) pertanggungjawaban sebanyak
0,00%. Kondisi tersebut menunjukkan masih lemahnya ketaatan pemerintah desa dalam memenuhi kewajiba pelaporan dokumen pertanggungjawaban melalui aplikasi Desawaskita.
Faktor pendukung variabel struktur birokrasi ini adalah,
pertama, upaya penyediaan prosedur kerja dalam implementasi pengawasan pengelolaan keuangan desa, telah disederhanakan melalui penggunaan aplikasi Desawaskita. Aplikasi tersebut didesain mampu mendeteksi unsur keterlambatan penyampaian laporan melalui aplikasi tersebut, sebagai salah satu dasar dalam penentuan
sampel desa yang akan diperiksa oleh Inspektorat.
Kedua, penggunaan aplikasi Desawaskita bertujuan untuk mengurangi fragmentasi, akibat kegiatan pengawasan yang terbagi pada dua OPD, yaitu Inspektorat dan Kecamatan. Sesuai dengan Pasal 11 Perbup Nomor 34 Tahun 2018, upaya mengurangi fragmentasi dilakukan dengan sinkronisasi antara rencana jadwal kegiatan pengelolaan keuangan desa oleh Kepala Desa, pelaksanaan
monitoring dan evaluasi oleh Camat
kepada Desa, dan verifikasi laporan pemerintah desa oleh Camat, seluruhnya melalui aplikasi Waskita.
Faktor penghambat pada variabel struktur birokrasi ini, pertama, Pemerintah Desa belum sepenuhnya
mentataati ketentuan pelaporan sebagaimana diatur dalam Pasal
11 Perbup Nomor 34 Tahun 2018, yang berakibat pada saat jangka waktu
yang ditentukan, belum seluruh desa melaporkan
kegiataanya melalui aplikasi Desawaskita. Identifikasi beberapa sebab permasalahan tersebut, diantaranya adalah Perangkat Desa cukup disibukkan
dengan system pelaporan
yang sudah ada, yaitu Sistem Keuangan
Desa (Siskuedes), sehingga aplikasi Desawaskita belum mendapat porsi perhatian yang cukup untuk dipenuhi. Disamping itu, kewajiban pelaporan melalui aplikasi Desawaskita belum didukung mekanisme reward and punishment terhadap pemerintah desa yang lalai melaksanakan kewajiban pelaporan tersebut.
Kedua, meskipun secara regulasi, aplikasi Desawaskita didesaian untuk mensinkronkan kegiatan antar OPD (Kecamatan dan Inspektorat), namun pada praktiknya aplikasi belum menyediakan fitur yang memungkinkan untuk menampilkan aktivitas sikronisasi tersebut. Seluruh data yang disajikan pada apalikasi tersebut, tidak dapat diketahui
apakah telah dilakukan verifikasi oleh Camat.
Ketiga, selain aplikasi pengawasan belum ada aplikasi
dan/atau fitur yang menyediakan sarana bagi Pemerintah Desa untuk melakukan
konsultasi, baik kepada Inspektorat maupun OPD lain, berikut hasil konsultasi
pembinaan dan pengawasan beserta monitoring atas tindaklanjutnya. Tidak adanya standar prosedur yang jelas, juga mengakibatkan akitivitas konsultasi, bahkan yang dilakukan Pemerintah Desa kepada Inspektorat,
tidak diatur dengan ketentuan yang baku dan tidak didokumentasikan. Hal tersebut akan menyulitkan ketika akan dilakukan
pemantauan terhadap hasil konsultasi tersebut.
B.
Pembahasan
Menurut (Mulyadi, 2016), implementasi adalah upaya untuk:
1) mengorganisir, 2) mengintepretasikan
dan 3) menetapkan kebijakan
yang telah diseleksi. Dengan pengertian tersebut, implementasi kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang antara lain meliputi pengaturan sumber daya, unit dan/atau metode pelaksanaan, intrepretasi terhadap istilah dan definisi yang berlaku kedalam petunjuk-petunjuk dan penggunaan
instrument-instrumen untuk melaksanakan kebijakan.
Agustino dalam
(Mulyadi, 2016) mengenalkan dua pendekatan implementasi, pertama, pendekatan top
down, yang serupa dengan
pendekatan command
dan control, dan pendekatan bottom up yang seruap dengan
pendekatan the
market approach. Kebijakan Perbup
Nomor 34 Tahun 2018 ini merupakan kebijakan
yang bersifat top
down� dimana tugas implementasi merupakan intepretasi dari tugas pokok dan fungsi Inspektorat sebagaimana diatur dalam Bupati Nomor 59 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi, Kedudukan, Tugas dan Fungsi serta Tata Kerja Inspektorat Kabupaten Demak.
Analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengawasan pengelolaan keuangan desa pada Pemerintah Kabupaten Demak dilakukan dengan menggunakan model implementasi kebijakan menurut George C.
Edward III. George C. Edward III (Winarno, 2016) menjelaskan bahwa terdapat empat faktor yang membantu atau menghambat
implementasi kebijakan, meliputi: 1) komunikasi, 2) sumber-sumber, 3) kecenderungan-kecenderungan,
dan 4) struktur birokrasi. Keempat variable tersebut berpengaruh secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk dalam membantu
dan/atau menghambat implementasi suatu kebijakan.
Komunikasi adalah bagaimana sebuah keputusan kebijakan dan perintah diteruskan dari atas dan dilaksanakan/diikuti oleh bawahan, meliputi variable: 1) bagaimana mentransmisikan informasi, 2) kejelasan informasi, dan 3) konsistensi kandungan informasi. Sumber-sumber membahas faktor sumber daya
yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan,
yang meliputi: 1) ketersediaan
staf, 2) informasi mengenai kebijakan itu sendiri, 3) wewenang, dan 4) fasilitas (dukungan sarana prasarana fisik).
Kecenderungan dalam konteks ini adalah
menggambarkan sikap para pelaksana kebijakan dalam menyikapi suatu kebijakan, yang meliputi tinjauan atas dampak dari
kecenderungan-kecenderungan tersebut
dan kepentingan-kepentingan organisasi
maupun pandangan-pandangan
yang sekiranya mempengarui kecenderungan suatu sikap. Struktur birokrasi, merupakan desain organisasi pelaksana implementasi kebijakan, meliputi desain standar prosedur kerja dan fragmentasi sebagai akibat beragamnya pelaksana kebijakan yang menyebar di satuan kerja-satuan kerja.
Pemilihan model ini, karena beberapa pertimbangan, diantaranya yaitu: pertama model ini menggunakan pendekatan top-down, yang mengandalkan
kejelasan perintah atasan kepada bawahan,
melalui saluran komunikasi yang memadai (Resmawan, 2012) Sebagai sebuah entitas yang berada dibawah struktur Pemerintah Daerah, peran Pemerintah Desa adalah sebagai
pelaksana regulasi yang dikeluarkan tingkatan pemerintah diatasnya. Dengan demikian dibutuhkan kejelasan regulasi terbitan pemerintah pusat dengan regulasi tingkatan pemerintah dibawahnya.
Kedua, di Indonesia sering disebutkan bahwa inefektivitas implementasi kebijakan disebabkan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama antara lembaga-lembaga Negara
dan/atau pemerintah (Ulumudin, Nugroho,
& Yusuf, 2018). Dengan demikian, melalui penggunaan model Edward III ini diharapakan mampu untuk menjawab inefektivitas atas hubungan organisasi perangkat daerah pelaksana implementasi Perbup Nomor 43 tahun 2019, khususnya bidang pengawasan yang meliputi Inspektorat dan Kecamatan.
Kesimpulan
Implementasi kebijakan pengawasan pengelolaan keuangan desa oleh Inspektorat Kabupaten Demak belum berjalan
sebagaimana diatur dalam Perbup Nomor
34 Tahun 2018, terutama
pada Pasal 1 dan 7 (pengawasan),
Pasal 4 (pemantauan tindaklanjut hasil konsultasi), dan Pasal 18 (pemantauan hasil pembinaan dan pengawasan). Pada empat bentuk pengawasan
yang diteliti menunjukkan
masing-masing bentuk pengawasan
mencapai tingkat implementasi yang berbeda-beda.
Inspektorat telah mengimplementasikan fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa, dengan menggunakan personil auditor dan P2UPD yang berpengalaman,
dan dengan perencanaan dalam dokumen PKPT yang jelas. Namun demikian,
hal tersebut belum dibarengi dengan pelaksanaan pengawasan yang bertujuan menilai efektivitas dan efisiensi pengelolaan keuangan desa, dan pengawasan terhadap program unggulan nasional dan/atau Bupati. Hal ini berdampak pada hasil-hasil pengawasan Inspektorat belum mampu memberikan masukan kepada OPD terkait pelaksanaan kegiatan yang ekonomis dan efisien.
Pada kegiatan
pemantauan tindaklanjut hasil konsultasi, Inspektorat belum sepenuhnya menjalankan fungsi tersebut, mengingat permasalahan lemahnya dokumentasi konsultasi serta belum adanya SOP pelaksanaan konsultasi. Personil pemantauan juga selama ini fokus
pada kegiatan pemantauan terhadap tindaklanjut rekomendasi hasil pemeriksaan APIP dan/atau BPK.
Pada implementasi
kegiatan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan
berdasarkan laporan masyarakat, Inspektorat telah menjalankan fungsi tersebut, melalui pemeriksaan yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Namun demikian,
karena sesuai regulasi yang berlaku hasil pemeriksaan tersebut bersifat rahasia, atas pelaksanaa
kegiatan tersebut tidak diinformasikan ke publik.
Pada implementasi kegiatan pemantauan tindaklanjut hasil pembinaan dan pengawasan, Inspektorat terkendala pada beberapa hal teknis,
dimana peran pembinaan dan pengawasan tersebar di beberapa OPD, sehingga tidak seluruh informasi kegiatan dapat diakses oleh Inspektorat. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
prosedur kerja baku, yang mengatur mekanisme pelaporan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, yang menghambat upaya pendokumentasian tindaklanjut atas pelaksanaan kegiatan tersebut.
BIBLIOGRAFI
Anggito, Albi, & Setiawan, Johan. (2018). Metodologi
penelitian kualitatif. Sukabumi: CV Jejak (Jejak Publisher).
BPK. (n.d.). Kajian Penyaluran dan Penggunaan Dana Desa
Serta Alokasi Dana. In 2016. Jakarta: Direktorat Litbang Ditama Revbang.
Fahri, Lutfhi Nur. (2017). Pengaruh Pelaksanaan Kebijakan
Dana Desa terhadap Manajemen Keuangan Desa dalam Meningkatkan Efektivitas
Program Pembangunan Desa. Jurnal Publik: Jurnal Ilmiah Bidang Ilmu
Administrasi Negara, 11(1), 75�88.
Fathonah, Nur Waliya Habibatul, Kholilatusyahidah, Nur, &
Anggraini, Juwita. (2019). Dampak Perubahan Kondisi Geografis Terhadap
Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Sawah Baru. PKM-P, 3(2).
Hasniati, Hasniati. (2016). Model Akuntabilitas Pengelolaan
Dana Desa. JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan & Pelayanan Publik), 15�30.
Husnurrosyidah, Husnurrosyidah, & Suendro, Ginanjar.
(2018). Pengaruh Sistem Akuntansi dan Kompetensi Akuntansi Terhadap Potensi
Penyalahgunaan Dana Desa (Studi Kasus di Kabupaten Demak). AKTSAR: Jurnal
Akuntansi Syariah, 1(1), 41�56.
KPK, Deputi Bidang Pencegahan. (2015). Laporan Hasil
Kajian Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa Dan Dana Desa. Jakarta:
Deputi Bidang Pencegahan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lituhayu, Dyah. (2019). Rawan Korupsi Isu Dalam Implementasi
Dana Desa. GEMA PUBLICA: Jurnal Manajemen Dan Kebijakan Publik, 4(1),
17�25.
Mulyadi, Deddy. (2016). Studi Kebijakan Publik dan
Pelayanan Publik: Konsep dan Aplikasi Proses Kebijakan Publik Berbasis Analisis
Bukti Untuk Pelayanan Publik.
Nazir, Moh. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Nurhayati, Melta Indah. (2019). Peran Camat Sebagai
Fasilitator Dalam Penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Jangkar
Asam. Simbur Cahaya, 25(1), 93�113.
Resmawan, Erwin. (2012). Implementasi Kebijakan
Pembangunan Infrastruktur Transportasi Bandar Udara dan Jalan di Kabupaten Malinau.
Universitas Hasanuddin.
Subroto, Agus. (2009). Akuntabilitas pengelolaan dana desa
(studi kasus pengelolaan alokasi dana desa di desa-desa dalam wilayah Kecamatan
Tlogomulyo Kabupaten Temanggung Tahun 2008). Universitas Diponegoro.
Ulumudin, Ali, Nugroho, Kandung Sapto, & Yusuf, Maulana.
(2018). Evaluasi Pengelolaan Dana Desa di Desa Puser Kecamatan Tirtayasa
Kabupaten Serang Tahun 2016. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Winarno, Budi. (2016). Kebijakan Publik Era Globalisasi. Yogyakarta:
CAPS.