Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������������������������������� e-ISSN:
2548-1398
��������������������������������� Vol.
5, No. 11, November
2020
FAKTOR-FAKTOR
PENUNJANG TERKENDALINYA KADAR HEMOGLOBIN �TARGET PADA PASIEN HEMODIALISIA DENGAN TERAPI
ERYTROPOIETIN
Nurhasanah dan Hesty Utami
Universitas Pancasila Jakarta, Jawa
Barat, Indonesia
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract
This study used a prospective study of chronic
renal failure patients who performed hemodialysis in the outpatient room of the
Usada Insani Hospital
Tangerang during 2017, with a population of 217 people. The research instrument was derived from primary
data from laboratory tests of hemoglobin levels at the beginning of each month
or after 4 weeks of erythropoietin administration. Secondary data using medical
record data collection and data collection formshemodialysis
patients. The dependent variable hemoglobin levels collected data from the
average Hb with at least 3 points and the independent was age, gender, length
of hemodialysis and supplementary drugs that affect Hb production. These five
independent variables are assumed to affect the dependent variable. The
statistical analysis to be used is descriptive statistics and the Spearman
test, s rho correlation. The
results showed sig age 0.882>0.05, sig long hemodialysis 0.819>0.05, sig
supplement 0.24>0.05 which has the meaning of static data processing test
i.e. no relationship between age, length of hemoglobin (Hb) with hemoglobin (Hb)
value. Based on the results of the study in the hemodialysis room at Usada Insani Tangerang
Hospital, all patients with chronic kidney disease experienced a decrease in
Hb.
Keywords: Effectiveness; Hemoglobin Levels; Hemoglobin
Levels (Hb)
Abstrak
Tujuan dalam penelitian ini adalah melihat hubungan antara usia, jenis kelamin,
lama menjalani hemodialisa,
obat-obatan dengan kadar hemoglobin pada pasien yang
menjalankan hemodialisa. Penelitian ini menggunakan studi prospektif pada pasien gagal ginjal
kronik yang melakukan tindakan hemodialisa di ruang rawat jalan
Rumah Sakit Usada Insani Tangerang selama tahun 2017, dengan jumlah populasi
217 orang. Instrumen penelitian
berasal dari data primer hasil laboratorium pemeriksaan kadar hemoglobin setiap awal bulan
atau setelah 4 minggu pemberian eritropoietin. Data sekunder menggunakan pengambilan data rekam medik dan formulir pengumpulan data pasien hemodialisa. Variabel dependen kadar hemoglobin mengambilan data dari Hb
rata-rata dengan pengambilan
minimal 3 titik dan independen
adalah usia, jenis kelamin, lama hemodialisa dan obat-obat
suplemen yang mempengaruhi produksi Hb. Kelima variabel independen ini diasumsikan mempengaruhi variabel dependen. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dan uji Spearmans rho
correlation. Hasil penelitian menunjukkan
sig usia 0.882>0.05, sig lama hemodialisa
0.819>0.05, sig suplemen 0.24>0.05 yang mempunyai arti secara uji pengolahan data statistik yaitu tidak ada
hubungan antara usia, lama hemodialisa dan suplemen, Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya
hubungan antara usia, jenis kelamin,
lama menjalani hemodialisa
dan suplemen yang mempengaruhi target
Hemoglobin dengan nilai hemoglobin. Berdasarkan hasil penelitian
di ruangan hemodialisis di
RS Usada Insani Tangerang didapatkan semua pasien penyakit ginjal kronik mengalami
penurunan Hb.
Kata kunci: Efektivitas; Hemodialisa; Kadar
hemoglobin (Hb)
Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik adalah penurunan
faal ginjal yang menahun, yang umumnya tidak reversible dan cukup lanjut Penyakit ginjal
kronik merupakan suatu proses
yang patologis dengan etiologi yang beragam mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya akan berakhir dengan
gagal ginjal. Penyakit gagal ginjal ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible
dengan waktu > 3 bulan disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60ml / menit / 1.72m2. Pada keadaan tertentu memerlukan terapi tindakan hemodialisa (Silviani,
Dwianasari, & Soedirman, 2010).
Berdasarkan data dari Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (Pernefri), yang menyatakan bahwa pada tahun
2015 di Indonesia terdapat 70.000 penderita gagal ginjal kronik. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat sebesar 10% tiap tahunnya. Dari 70.000 penderita
gagal ginjal
kronik, terdapat sekitar 4000-5000 orang �menjalani hemodialisa (Martono,
2015).
Akibat penyakit gagal ginjal kronik adalah �cairan elektrolit dan sisa-sisa
metabolisme yang tidak dapat dikeluarkan dari tubuh secara otomatis,
sehingga pasien harus mendapatkan terapi pengganti ginjal (TPG) agar dapat terus menjalankan aktifitas. Terapi pengganti ginjal ada 3 yaitu: 1. hemodialisis, pada pasien yang melakukan hemodialisa agar dapat menurunkan kadar ureum dan kreatinin menjadi normal kembali harus dilakukan
secara rutin satu sampai dua
kali perminggu untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien, 2. peritoneal dialysis
dan 3. transplantasi ginjal
(Nurani
& Mariyanti, 2013).
Mayoritas pasien gagal ginjal kronik seringkali
mengalami anemia. Hal ini disebabkan oleh kekurangan produksi erithropoietin yang dihasilkan
oleh ginjal. Menurut Persatuan Nephrologi
Indonesia ((PERNEFRI)
P.N., 2011), pasien gagal ginjal kronik
dinyatakan mengalami anemia
bila kadar hemoglobin (Hb)
<10gr/dl dan hematocrit ≤ 30% (Hervinda,
Novadian, & Tjekyan, 2014). Selain kekurangan hormon eritropoietin. Anemia
juga dapat disebabkan oleh kekurangan zat besi, asam folat,
ferritin, vitamin B6, Vitamin B12 serta penyakit kronis lainnya. Penanganan anemia pada pasien gagal ginjal
kronik yang menjalankan hemodialisa dapat dilakukan melalui pemberian transfusi darah dan penggunaan
erythropoietin (Silviani et al.,
2010), Penelitian
oleh (Fiocchi et al., 2017) menunjukkan beberapa efek samping yang muncul setelah pemberian Darbepoetin alfa pada anjing
penderita penyakit ginjal kronis. Efek samping paling banyak ditemukan adalah peningkatan tekanan darah sistolik.
Dua puluh lima anjing yang diperiksa tekanan darahnya, 24 anjing mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dan efek samping pada
gastrointestinal yang berupa diare
ditemukan pada 1 anjing.
Seorang apoteker dalam penanganan pasien gagal
ginjal kronik� memiliki peran terkait dengan� pengaturan dosis dan cara pemberian erytropoietin.� Hal ini menjadi perhatian apoteker karena sekitar 10% pasien yang diberikan erytropoietin akan mengalami hiporesponsive terhadap penggunaan erytropoietin. Respon pasien yang menjalani hemodialisa terhadap pemberian erithropoietin tergantung pada beratnya kegagalan ginjal (B.G katzung). Selain itu
juga karena defisiensi zat besi, obat-obatan
(ACE inhibitor, ARB, renin inhibitor) dengan dosis tinggi dan lamanya menjalankan hemodialisa (Hervinda et al.,
2014). Penelitian lain
menyatakan terapi anemia dengan epoetin
alfa dosis 3000 IU paling banyak
digunakan, selama 2 bulan penelitian terdapat 542 kali pemakaian dari total 662 kali pemakaian, dengan obat anemia tambahan yang paling banyak digunakan adalah asam folat. Interaksi
obat potensial dengan epoetin yang paling banyak
terjadi adalah Angiotensin
II Receptor Blocker (ARB) (96%) dengan signifikansi 3. Efek samping yang paling banyak terjadi adalah efek samping pada sistem kardiovaskuler yang terjadi pada 20 (40%) pasien, berupa udem dan kenaikan tekanan darah, kategori efek samping masing-masingnya adalah probable (kemungkinan besar efek samping). Efek samping dengan
kategori definite (pasti efek samping) terjadi
pada satu orang pasien dengan gejala pusing
setiap kali setelah penggunaan epoeti (Andayani, 2016)
Sepanjang penulis mengamati hasil penelitian sebelumnya yang juga meneliti kadar hemoglobin pada pasien hemodialisis, beberapa jurnal memaparkan terkait efek samping yang
muncul setelah pemberian erythropoietin pada penderima
anemia pasien hemodialisis.
Namun sejauh ini belum ditemukan
penelitian tentang faktor-faktor
penunjang terkendalinya kadar hemoglobin target
pada pasien hemodialisia dengan terapi erytropoietin, sehingga penulis tertarik
melakukan penelitian tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang
dipaparkan diatas, penulis melakukan penelitian awal di RS Usada Insani
Tangerang dimana ada sekitar 90% dari 217 pasien gagal ginjal memiliki hasil laboratorium dengan kadar hemoglobin <10 gr/dl, sehingga
dinyatakan mengalami anemia
dan membutuhkan pemberian terapi erythropoietin. Dari hasil tersebut penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan melihat faktor-faktor yang menyebabkan penurunan kadar hemoglobin pada pasien yang melakukan hemodialisa� setelah mendapatkan terapi EPO di ruang� tindakan hemodialisis rutin di RS Usada Insani Tangerang. Diharapkan penelitian ini
menjadi acuan dalam upaya pencegahan penurunan hemoglobin pada pasien pasca
hemodialisa dengan memperhatikan fakto-faktor yang mempengaruhinya.
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan studi prospektif. Penelitian ini dilakukan pada pasien gagal ginjal
kronik yang melakukan tindakan hemodialisa di rawat jalan Rumah
Sakit Usada Insani Tangerang selama tahun 2017. Instrumen penelitian berasal dari data primer hasil laboratorium pemeriksaan kadar hemoglobin setiap awal bulan atau
setelah 4 minggu pemberian eritropoietin. Data sekunder menggunakan pengambilan data rekam medik dan formulir pengumpulan data pasien hemodialisa. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel
dependent dan independent. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kadar hemoglobin (Hb). Pengambilan data dari Hb
rata-rata dengan pengambilan
minimal 3 titik. Variabel independent meliputi usia, jenis kelamin, lama hemodialisa, obat-obat suplemen yang mempengaruhi
produksi Hb dan
penyakit penyerta.
Kelima variabel independen ini diasumsikan mempengaruhi variabel dependen. Analisis statistik
yang akan digunakan adalah statistik deskriptif dan uji Spearman,s rho correlation.��
Hasil dan Pembahasan
A. Data Sosiodemografi
Data sosiodemografi
pasien hemodialisa yang digunakan sebagai sampel diperoleh dari status rekam medis dan pengisian biodata yang dilakukan
oleh pasien itu sendiri. Data sosiodemografi
meliputi usia, jenis kelamin, lama menjalani hemodialisa, suplemen yang mempengaruhi produksi Hb yang digunakan
dan penyakit penyerta. Data sosiodemografi
pasien hemodialisa dapat dilihat pada tabel 1
Tabel
1
Karakteristik Sosio-Demografi
Pasien Hemodialisa
Karakteristik pasien Hemodialisa |
Jumlah |
�Persentase % |
Berdasarkan jenis kelamin |
||
Laki-laki |
113 |
56,50% |
Perempuan |
87 |
43,50% |
Berdasarkan usia |
||
17-25 tahun |
3 |
1,50% |
26-35 tahun |
12 |
6% |
36-45 tahun |
40 |
20% |
46-55 tahun |
69 |
34,50% |
56-65 tahun |
59 |
29,50% |
>65 tahun |
17 |
8,50% |
Berdasarkan lama menjalani
Hemodialisa |
|
|
1-24 bulan |
152 |
76% |
25-48bulan |
37 |
18,50% |
>48 bulan |
11 |
5,50% |
Berdasarkan jumlah obat-obatan |
||
1 obat |
91 |
45,50% |
2 obat |
40 |
20% |
3 obat |
39 |
19,50% |
4 obat |
25 |
12,50% |
5 obat |
3 |
1,50% |
6 obat |
2 |
1% |
Berdasarkan kadar HD |
||
Target Hemoglobin (Hb) tercapai |
12 |
6% |
Target Hemoglobin (Hb) tidaktercapai |
188 |
94% |
Berdasarkan Penyakit Penyerta |
|
|
1 Penyakit |
137 |
68,5% |
2 Penyakit |
52 |
26% |
3 Penyakit |
10 |
5% |
4 Penyakit |
1 |
0,5% |
Berdasarkan data
sosiodemografi yang disajikan pada tabel 1, diketahui bahwa berdasarkan jenis kelamin kebanyakan berjenis kelamin laki-laki�
yaitu 113 orang atau
56,5%� dan 87 orang perempuan
atau 43,5% dari total populasi pasien hemodialisa. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Rikesdas) pada tahun 2015 menyatakan bahwa jumlah penderita laki-laki lebih tinggi dari perempuan
0,2% yang menjalani hemodialisa
(Kementrian
RI, 2017). Besarnya
angka kejadian gagal ginjal kronis yang dialami laki-laki karena pengaruh
perbedaan hormon reproduksi dan gaya hidup yang kurang baik seperti
mengkonsumsi alkohol, garam dan rokok yang merupakan faktor yang dapat
menyebabkan kerusakan ginjal.
Pasien hemodialisa di RS Usada
Insani Tangerang berdasarkan
usia dimana kategori lansia awal (46-55 tahun) 69 sampel (34,9%) dan lansia akhir (56-65 tahun) sebanyak 59 sampel (29,5%) dari total populasi sampel pasien hemodialisa.
Sedangkan untuk kategori usia yang paling kecil adalah remaja
akhir (17-25 tahun) dengan total pasien sebanyak 3 orang (1,5%) sedangkan
usia masa manula
(>65tahun) 17 sampel (8,5%). Hasil ini sesuai dengan pernyataan
bahwa prevalensi PGK akan meningkat dengan seiring bertambahnya umur �(Indonesia Renal
Registry (IRR), 2015). Juga sejalan dengan hasil penelitian di RS Bethesda bahwa
terjadi peningkatan jumlah pasien seiring bertambahnya umur (Fauziah, Wahyono,
& Budiarti, 2015).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin bertambahnya
usia, maka organ ginjal mengalami penurunan massa ginjal sebagai akibat kehilangan beberapa nefron sehingga terjadi penurunan laju filtrat glomerulus.� Penurunan laju filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) berdampak pada klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Kemudian akan berlanjut dengan kegagalan ginjal secara progresif.
lansia terjadi penurunan jumlah nefron sebesar 5�7% setiap dekade mulai
usia 25 tahun (Martono, 2015).
Berbeda dengan hasil penelitian (Hervinda
et al., 2014) bahwa pasien yang melakukan
hemodialisa lebih banyak perempuan dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki
(53% dan 47%). Jenis kelamin
bukanlah merupakan faktor resiko utama
terjadinya penyakit ginjal kronik karena
hal ini juga berhubungan dengan ras, faktor genetik
dan lingkungan. Untuk jenis kelamin tidak
menjadi faktor utama pasien mengalami
gagal ginjal stage V dan hemodilisa akan tetapi berdasarkan sampel pada lokasi penelitian (Neng
Herawati, 2009).
Berdasarkan tabel 1, lama menjalani
hemodialisa dengan waktu 1 - 24 bulan yaitu
sebanyak 156 orang atau (76%),
25-48 bulan sebanyak 37 sampel (18,5%), >48 bulan sebanyak 11 sampel (5,5%). Prevalensi antara pasien hemodialisa dengan obat-obatan yang digunakan terbanyak pasien konsumsi dengan 1 jenis obat yaitu 91 sampel
atau 45,5%, 2 jenis obat dengan 40 sampel (20%), 3 jenis obat dengan 39 sampel (19,5%), 4 jenis obat dengan 25 sampel (12,5%), 5 jenis obat 3 sampel (1,5%) dan 6 jenis obat 2 sampel
atau (1 %).
Pada tabel 1 pun kita dapati
bahwa pasien hemodialisa selain menderita gagal ginjal kronik
stage V, juga adanya penyakit penyerta yang diderita oleh pasien hemodialisa tersebut. Dari data pada tabel 1 menggambarkan 1 penyakit penyerta sebanyak 137 orang atau (68,5%),
2 penyakit penyerta 52 sampel atau (26%), 3 penyakit penyerta 10 orang atau (5%) dan 4 penyakit penyerta 1 orang (0,5%). Untuk penyakit penyerta yang diderita oleh pasien hemodialisa adalah hipertensi, diabetes
mellitus, jantung, kolesterol
dan asam urat, dan penyakit tunggal terbanyak yaitu hipertensi.
Data sumber� Indonesia renal registry (IRR) tahun 2015 penyatakan bahwa penyebab penyakit ginjal kronik terbesar
adalah diabetes mellitus. Di Indonesia sampai dengan tahun
2000 penyebab terbanyak adalah glomerulonephritis, namun beberapa tahun terakhir penyebab terbanyak hipertensi berdasarkan
data IRR. Namaun belum dapat dipastikan apakah memang hipertensi
merupakan penyebab PGK atau hipertensi akibat penyakit ginjal tahap akhir karena data IRR didapatkan
dari pasien hemodialisa yang sebagian merupakan pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir
(Kementrian
RI, 2017).
2. Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, Lama Menjalani Hemodialisa, Obat-Obatan dengan Kadar Hemoglobin (Hb).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara variabel� independent (jenis kelamin, usia, lama menjalani hemodialisa dan obat-obat suplemen yang mempengaruhi target Hemoglobin (Hb)) dengan variabel dependent
yaitu nilai kadar hemoglobin (Hb). Diharapkan dengan melakukan uji statistik berupa uji hubungan/korelasi ini dapat diketahui faktor-faktor yang paling dominan
berhubungan dengan terjadinya penyakit ginjal kronik dengan
hemodialisa. Sebelum melakukan uji statistikini, maka perlu dilakukan uji pendahuluan
terlebih dahulu diantaranya uji
normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk menentukan uji statistik selanjunya.
Kaidah keputusan hasil uji normalitas adalah apabila data tersebut
berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji statistik parametrik.
Sebaliknya apabila hasil uji� normalitas
data tidak berdistribusi normal, maka uji selanjutnya menggunakan uji
nonparametrik. Hasil uji normalitas diperoleh bahwa data tidak terdistribusi normal, sehingga
selanjutnay dilakukan uji nonparametrik.
Data
yang digunakan dalam penelitian ini berskala ordinal untuk usia, lama menjalani hemodialisa, suplemen yang meningkatkan kadar hemoglobin (Hb)
dan target kadar hemoglobin (Hb). Oleh karena itu
uji statistik yang digunakan adalah analisa correlate
bivariate dengan menggunakan
uji Spearman,s
rho correlation. Hasil uji Spearman,s rho correlation disajikan pada
tabel 2.�
Tabel 2
Hasil
korelasi antara usia, lama menjalani hemodialisa, dengan kadar hemoglobin (Hb)
variabel
dependent |
variabel
independent |
Sig.
(2-tailed) |
koefisien korelasi |
kadar
Hemoglobin (Hb) |
Usia |
0.882 |
-0.011 |
lama HD |
0.189 |
0.093 |
|
Suplemen |
0.240 |
-0.08 |
Hasil yang disajikan pada� tabel 2 dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil uji Spearman,s� rho correlation antara usia, lama menjalani
hemodialisa, suplemen yang mempengaruhi
target hemoglobin (Hb) dengan target kadar hemoglobin (Hb) diperoleh nilai
sig > 0,05. Ini artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara usia, lama menjalani
hemodialisa, Suplemen yang mempengaruhi target hemoglobin (Hb) dengan
target kadar hemoglobin (Hb). Namun bila dilihat secara teori, akan terlihat adanya hubungan antara usia, jenis kelamin,
lama menjalani hemodialisa,
seplemen dan penyakit dengan target kadar hemoglobin (Hb) melalui perbandingan data-data
variabel-variabel tersebut.
Untuk jenis kelamin, tidak dapat dilakukan uji
Spearman,s rho correlation namun
hubungan antara jenis kelamin dengan kadar hemoglobin
(Hb) dapat dilihat secara
deskriptif seperti yang disajikan pada tabel 3
Tabel 3
Hasil distribusi jenis kelamin dengan kadar Hemoglobin
(Hb)
variabel
independent������ ���(jenis kelamin) |
Nilai target
Hemoglobin (Hb) |
|
Tidak tercapai |
Tercapai |
|
<10g/dl |
10-13g/dl |
|
laki-laki |
104 |
10 |
Perempuan |
84 |
2 |
Berdasarkan hasil pada tabel 3, terlihat bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin (Hb). Pasien laki-laki
lebih banyak dibanding pasien perempuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian (Setiyowati
& Hastuti, 2014) bahwa pasien paling banyak untuk menjalani hemodialisa adalah laki-laki (Setyowati,2014). Juga sesuai dengan pendapat yang disampaikan
(United States Renal Data System/ USRDS). yang menjelaskan bahwa jenis kelamin laki
laki sangat beresiko terjadinya gangguan fungsi ginjal, hal ini
disebabkan struktur dan anatomi saluran perkemihan yang panjang dan juga aliran urine yang lama, sehingga beresiko menempelnya sampah atau sisa
metabolisme pada saluran kemih. Kondisi tersebut memicu terjadinya obstruksi pada salurah kemih sehingga
terjadi refluks fan resiko infeksi pada ginjal. Hal tersebut memungkinkan resiko tinggi terjadinya pengendapan zat-zat yang terkandung dalam urin lebih banyak
dibanding perempuan. Pengendapan dengan proses yang
lama dapat membentuk batu baik pada saluran kemih maupun pada ginjal. Bila gangguan
fungsi ginjal tersebut berlangsungsecara progresif dapat menimbulkan gagal ginjal pada tahap terminal (Martono, 2015).
Distribusi usia
penderita penyakit ginjal kronis dengan kadar Hemoglobin (Hb) disajikan pada
tabel 4.
Tabel 4
Hasil distribusi usia dengan kadar
Hemoglobin (Hb)
variabel
independent������ ���(Usia) |
Nilai target
Hemoglobin (Hb) |
|
Tidak tercapai |
Tercapai |
|
<10g/dL |
10-13g/dL |
|
17-25 |
3 |
0 |
26-35 |
12 |
0 |
36-45 |
38 |
2 |
46-55 |
64 |
5 |
56-65 |
56 |
3 |
>65 |
16 |
1 |
Berdasarkan hasil
yang disajikan pada tabel 4,terlihat bahwa usia tidak berhubungan
dengan rendahnya kadar hemoglobin (Hb). Hubungan secara teoritis, kondisi fisik
semakin tua maka untuk faktor
fisiologis akan semakin menurun sehingga pengendalian kadar hemoglobin (Hb) menjadi lebih sulit. Akan tetapi pada pasien penyakit gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa hal ini berlaku
untuk semua usia.
Pada tabel 4 diperoleh hasil data perbandingan usia dengan kadar hemoglobin (Hb). Data terbanyak pada usia
masa lansia awal dan lansia akhir dengan
kadar hemoglobin antara
7-10g/dL. Pada usia remaja akhir (7-25 tahun) juga terdapat kadar hemoglobin (Hb) antara
7-10g/dL serta terdapat 1 sampel dengan nilai
hemoglobin <7g/dL ini. Hal ini
dapt disimpulkan tidak adanya hubungan
antara usia dengan nilai hemoglobin (Hb). Data mengenai
penyakit ginjal diperoleh dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas)
Indonesia Renal Regystri (IRR) bahwa
umur >15 tahun terdiagnosa sebesar 0.2% (Kementrian
Kesehatan Repunlik Indonesia., 2014).
Untuk perbandingan data antara lama menjalani hemodialisa dengan nilai hemoglobin (Hb) dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5
Hasil
data perbandingan lama menjalani
Hemodialisa dengan kadar Hemoglobin (Hb)
variabel independent������ ���(Lama menjalani hemodialisa) |
Nilai target Hemoglobin (Hb) |
|
Tidak tercapai |
Tercapai |
|
<10g/dL |
10-13g/dL |
|
1-24 bulan |
144 |
8 |
25-48 bulan |
34 |
4 |
> 48 bulan |
9 |
1 |
Lamanya pasien menjalani hemodialisa terbanyak yaitu 1-24 bulan
dengan nilai hemoglobin
(Hb) <7 g/dL sebanyak 36 sampel,
nilai kadar hemoglobin
7-10g/dL sebanyak 108 sampel
dan nilai hemoglobin (Hb) >10g/dL sebanyak 8 sampel. Dari data perbandingan ini terlihat bahwa tidak adanya hubungan
lama menjalani hemodialisa dengan nilai hemoglobin (Hb). Penelitian ini sesuai (Silviani et al., 2010). menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara lama hemodilisis dengan status
hemoglobin, dikarenakan banyak
beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai status
hemoglobin (Silviani et al., 2010).
Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa seringkali mendapatkan tambahan suplemen vitamin berupa
folic acid, Fe+vitamin, vitamin B6 dan vitamin B12. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
sebagaimana disajikan pada tabel 6.
Tabel 6
Hasil distribusi penggunaan suplemen dengan kadar
hemoglobin (Hb)
Kombi nasi suplemen |
Jenis suplemen |
Jumlah pemberian suplemen |
|
<10g/dL (tidak
tercapai) |
>10-13g/dL (Tercapai) |
||
Tunggal |
Folic acid 1 mg��� |
26 |
1 |
Hemobion |
18 |
3 |
|
Sangobion |
17 |
6 |
|
Vitamin B6 10mg |
59 |
5 |
|
Vitamin B12 50mg |
5 |
0 |
|
kombinasi 2 obat suplemen |
Folic acid, Vitamin B6 |
10 |
1 |
Folic acid, vitamin B12 |
19 |
2 |
|
Sangobion, Hemafort |
3 |
0 |
|
Sangobion, Vitamin B6 |
5 |
0 |
|
kombinasi 3 obat
suplemen |
Sangobion, folic acid, vitamin B6 |
2 |
0 |
Hasil pada tabel 6 terlihat bahwa penggunaan suplemen baik tunggal maupun
kombinasi belum efektif dalam mencapai target kadar hemoglobin (Hb). Pasien penyakit gagal ginjal kronik
dengan melakukan hemodialisis akan dberikan asam folat.
Asam folat berperan dalam pemulihan dan pemeliharaan
hematopoiesis normal (H.j Deglin AHV, 2005). Pasien yang
menderita gagal ginjal kronik mengalami
kerusakan pada ginjal yang mengindikasikan bahwa ginjal tidak mampu
menjalankan fungsinya dengan baik sehingga
erytropoietin tidak akan diproduksi (Schiffl
& Lang, 2006).
Kadar nilai
hemoglobin normal untuk perempuan
10gr/dL dan untuk laki-laki
14g/dL, anemia dapat terjadi
bila kadar hemoglobin (Hb) mengalami penunrunan di bawah batas normal dikarenakan tubuh kita tidak
membuat sel darah merah sesuai
dengan dibutuhkan oleh tubuh. Proses ini membutuhkan vitamin B12 dan asam folat. Eruythropoietin adalah hormone yang merangsang pembuatan sel darah
merah dan diproduksi oleh ginjal (Neng
Herawati, 2009).
Hasil target hemoglobin (Hb) dengan menggunakan obat suplemen terbanyak bila dilihat pada tabel 6 adalah suplemen
folic acid. Namun demikian pemberian suplemen folic acid tidak menunjukan peningkatan target kadar
hemoglobin ke nilai normal. Hasil target hemoglobin setelah diberikan
suplemen folic acid masih dibawah normal yaitu
<10g/dL.
Meski demikian, pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa tetap menerima konsumsi suplemen� untuk mengatasi anemia yang dideritanya. Data dari tabel 6 pun memperlihatkan
adanya data
perbandingan antara suplemen�
dengan nilai kadar hemoglobin(Hb). Data penggunaan suplemen dengan nilai
hemoglobin <10g/dL (tidak tercapai)
lebih banyak dibandingkan dengan data
hemoglobin >10g/dL (tercapai).
Hasil perbandingan
penggunaan obat-obatan suplemen dengan nilai kadar hemoglobin (Hb) dapat asumsikan bahwa penggunaan 1 suplemen yaitu asam folat
dengan hasil� tertinggi pengukuran kadar hemoglobin menunjukkan adanya
peningkatan kadar hemoglobin setelah dilakukan terapi dengan asam folat
terhadap pasien dengan persentase sebanyak 85% dengan pemberian 27 kali. Apabila dilihat dari persentasenya
maka dapat dikatakan bahwa asam folat memberikan
pengaruh terhadap kadar hemoglobin dari pasien (Alvionita,
Ayu, & Masruhim, 2016).
Berdasarkan ketentuan nilai normal kadar hemoglobin apabila dilihat pada tabel 6 nilai kadar
hemoglobin yang didapatkan pada suplemen
tidak menjadikan kadar hemoglobin pasien menjadi normal. Hal ini dapat dilihat dari
kadar rata-rata hemoglobin pasien
setelah terapi yaitu <10 g/dL yang mana kadar
ini masih di bawah batas kadar
normal hemoglobin.
Pasien hemodialisa
pada tabel 6 menunjukan bahwa penggunaan obat-obatan tanpa adanya suplemen penambah darah menunjukan penurunan target
hemoglobin (Hb) semua pasien
dengan nilai target
hemoglobin < 10 g/dL. dari jumlah
sampel hanya di dapatkan nilai target hemoglobin
(Hb) > 10 � 13 g/dL dengan sampel
sejumlah 6 sampel pada penggunaan amlodipine (tunggal),
dan 2 sampel pada penggunaan
amlodipine dan paracetamol. Semakin banyak
pasien hemodialisa menggunakan jumlah obat yang dikonsumsi pada tabel 6 bahwa target nilai
kadar hemoglobin (Hb) <10g/dL.
Ketersediaan obat erytropoietin dipergunakan untuk terapi pasien
yang mengalami anemia pada pasien
gagal ginjal kronik, selain pemberian erytropoietin diberikan juga suplemen oral seperti folic acid, Vitamin B6 dan Vitamin B12 dipergunakan untuk memperbaiki kadar hemoglobin
(Hb). Pada kondisi pasien
normal terdapat suatu hubungan terbalik antara kadarhemoglobin (Hb) dengan kadar erytropoietin
dikecualikan pada pasien gagal ginjal kronik
karena ginjal sudah tidak optimal dalam
memproduksi erotropoietin sehingga terjadinya anemia. Hal ini dapat dilihat
tidak adanya efektivitas pemberian erytropoietin terhadap kadar hemoglobin (Hb) (Katzung, 2001).
Analisa hubungan antara perbandingan jumlah penyakit penyerta yang diderita pasien gagal ginjal kronis dengan nilai kadar hemoglobin (Hb) terlihat
pada tabel 7.
Tabel 7
Hasil perbandingan
lama Hemodialisa dengan kadar Hemoglobin
(Hb)
variabel independent������ ���(Penyakit penyerta) |
Nilai target Hemoglobin (Hb) |
|
Tidak tercapai |
Tercapai |
|
<10g/dL |
10-13g/dL |
|
1
Penyakit |
129 |
8 |
2 Penyakit |
46 |
4 |
3 Penyakit |
9 |
1 |
4 Penyakit |
1 |
0 |
Berdasarkan data pada tabel 7,
bahwa 1 penyakit merupakan jumlah pasien terbanyak dengan nilai hemoglobin <7g/dL
sebanyak 29 sampel, nilai hemoglobin (Hb) antara
7-9g/dL sebanyak 100 sampel
dan nilai hemoglobin >10g/dL sebanyak
8 sampel. Jumlah penyakit penyerta terbanyak yaitu 4 penyakit penyerta dengan nilai kadar
hemoglobin (Hb) <7g/dL sebanyak 1 sampel. Dari data tersebut bahwa semakin banyaknya penyakit penyerta dapat memperlihatkan nilai hemoglobin (Hb)
yang rendah.
Kesimpulan
�Pasien hemodialisa yang mencapai target
hemoglobin (Hb) sebanyak 12 sampel dengan
persentase 6% dibandingkan dengan pasien tidak
mencapai target 188 sampel dengan persentase 94%. Faktor-faktor usia, jenis kelamin, lama hemodialisa, obat-obatan serta penyakit penyerta tidak mempunyai hubungan atau korelasi dengan
nilai hemoglobin (Hb) pasien
yang melakukan hemodialisa. Pemberian eritropoietin
kepada pasien gagal ginjal kronik
dengan hemodialisa belum memberikan efektivitas pencapaian kadar hemoglobin (Hb) normal >10-13g/dL.
BIBLIOGRAFI
(PERNEFRI)
P.N. (2011). Konsensus Manajemen Anemia Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik. https://kpcdi.org/2016/05/19/managemen-anemia-pada-pasien-gagal‑ginjal-kronik/
Alvionita, Alvionita, Ayu, Welinda Dyah, & Masruhim,
Muhammad Amir. (2016). Pengaruh Penggunaan Asam Folat terhadap Kadar Hemoglobin
Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie. Journal of Tropical Pharmacy and Chemistry, 3(3),
179�184.
Andayani, Ramadhela Anindya dan Tri Murti. (2016). Kajian
Efek Samping dan Interaksi penggunaan Epoetin sebagai Terapi Pasien Gagal
Ginjal Kronis dengan Anemia. Skripsi. Universitas Gajah Mada.
Fauziah, Fauziah, Wahyono, Djoko, & Budiarti, L. Endang.
(2015). Cost of illness dari chronic kidney disease dengan tindakan
hemodialisis. Jurnal Manajemen Dan Pelayanan Farmasi (Journal of Management
and Pharmacy Practice), 5(3), 143�151.
Fiocchi, E. H., Cowgill, Larry D., Brown, D. C., Markovich,
J. E., Tucker, S., Labato, M. A., & Callan, M. B. (2017). The use of
Darbepoetin to stimulate erythropoiesis in the treatment of Anemia of chronic
kidney disease in dogs. Journal of Veterinary Internal Medicine, 31(2),
476�485.
H.j Deglin AHV. (2005). Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hervinda, Sundari, Novadian, Novadian, & Tjekyan, R. M.
Suryadi. (2014). Prevalensi dan Faktor Risiko Penyakit Ginjal Kronik di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2012. Majalah Kedokteran Sriwijaya, 46(4),
275�281.
Indonesia Renal Registry (IRR). (2015). 8th Report of
Indonesia Renal Registry. Jakarta: Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(PERFERNI).
Katzung, B. G. (2001). Farmakologi Dasar dan Klinik: Obat
Antijamur. Edisi, 5, 23�24.
Kementrian Kesehatan Repunlik Indonesia. (2014). Pusat
Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Indonesia.
Kementrian RI. (2017). Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI. ISSN 2442-, 1�12. Kemenkes RI.
Martono, Martono. (2015). Penurunan Resiko Henti Jantung Pada
Asuhan Keperawatan Pasien Yang Dilakukan Hemodialisa Melalui Pengendalian
Overload Cairan Kalium Serum. Interest: Jurnal Ilmu Kesehatan, 4(1).
Neng Herawati. (2009). Mengenal Anemia dan Peran
Erithropoietin Bio Trends. 4(1), 35�9.
Nurani, Vika Maris, & Mariyanti, Sulis. (2013). Gambaran
makna hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. Jurnal
Psikologi Esa Unggul, 11(01), 127032.
Schiffl, Helmut, & Lang, Susanne M. (2006). Folic acid
deficiency modifies the haematopoietic response to recombinant human
erythropoietin in maintenance dialysis patients. Nephrology Dialysis
Transplantation, 21(1), 133�137.
Setiyowati, Andaru, & Hastuti, Weni. (2014). Hubungan
Tingkat Pengetahuan Dengan Kecemasan Pasien Hemodialisa Di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Surakarta. Profesi (Profesional Islam): Media Publikasi
Penelitian, 11(01).
Setiyowati, Andaru, Hastuti, Weni, & Surakarta, Kadipiro
Banjarsari. (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan kecemasan pasien. Profesi
11, 5�8.
Silviani, Dewi, Dwianasari, L., & Soedirman, U. J.
(2010). Hubungan Lama Periode Hemodialisis Dengan Status Albumin Penderita
Gagal Ginjal Kronik Di Unit Hemodialisis RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto Tahun, 5, 361�363.