http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v5i12.1844 1618
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia pISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 12, Desember 2020
ANALISIS YURIDIS PENGATURAN KEWENANGAN TNI SELAKU
PENEGAK KEDAULATAN NKRI DALAM MENGATASI AKSI TERORISME
Juwita
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Abstract
Terrorism has now become a global problem and if allowed to terrorize it will be
very dangerous for the integrity of the nation and state, therefore the responsibility
and authority to overcome terrorist crimes is not only with the Indonesian National
Police, but the Indonesian National Army is included in overcoming these crimes. In
this regard, the purpose of this study is to find out and analyze the implementation
arrangements and strengthening the authority of the TNI in overcoming acts of
errorism in order to uphold state sovereignty. This research method uses a type of
normative legal research, namely legal research which aims to describe findings,
norms, positive legal principles, legal systematics that have been available
regarding the authority of the TNI in overcoming acts of terrorism. The results of
this study are that the regulation of the implementation and strengthening of the
TNI's authority to overcome acts of terrorism in order to enforce state sovereignty is
contained in the regulations, namely in article 7 of Law No. 34 of 2004 concerning
TNI and article 43 I of Law Number 5 of 2018 concerning Eradication of Criminal
Acts of Terrorism. The conclusion is that strengthening the authority of the TNI in
overcoming acts of terrorism lies in the ratification of the draft Presidential
Regulation concerning the Duties of the Indonesian National Army in Overcoming
Terrorism Actions with all its pros and cons and if there are obstacles that are
finally canceled the bill, the Government can issue a Presidential Decree for article
7 of Law No. 34 of 2004 concerning the TNI.
Keywords: upholding of the sovereignty of the republic of indonesia; action theorists
Abstrak
Terorisme saat ini telah menjadi masalah global dan Jika dibiarkan para terorisme
akan sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara, oleh sebab itu
tanggungjawab dan wewenang mengatasi kejahatan teroris bukan hanya pada
Kepolisian Republik Indonesia saja tetapi Tentara Nasional Indonesia termasuk
kedalam bagian dalam mengatasi kejahatan tersebut. Berkaitan hal tersebut maka
tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa pengaturan
pelaksanaan dan penguatan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme dalam
rangka menegakkan kedaulatan negara. Metode Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang bertujuan untuk
menggambarkan tentang penemuan-penemuan, norma-norma, asas-asas hukum
positif, sistematika hukum yang telah tersedia mengenai kewenangan TNI dalam
mengatasi aksi terorisme. Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa pengaturan
Juwita
1619 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
pelaksanaan dan Penguatan kewenangan TNI untuk mengatasi aksi terorisme dalam
rangka menegakkan kedaulatan negara terdapat pada regulasi yaitu pada pasal 7
Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI dan pasal 43 I Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kesimpulannya bahwa penguatan wewenang TNI dalam mengatasi aksi terorisme
terletak pada pengesahan rancangan Peraturan Presiden Tentang Tugas Tentara
Nasional Indonesia dalam Mengatasi Aksi Terorisme dengan segala pro dan
kontranya dan apabila terdapat kendala yang akhirnya dibatalkan RUU tersebut,
Pemerintah dapat menerbitkan Pepres untuk pasal 7 Undang-Undang No. 34 Tahun
2004 tentang TNI.
Kata kunci: penegak kedaulatan NKRI; aksi terorisme
Pendahuluan
Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama
untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap
negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common
good, common wealth). Suatu negara dikatakan kuat pertahanan negaranya apabila
bangsa tersebut bersatu padu untuk selalu mempertahankan dan memperjuangkan serta
melindungi hak-hak warga negaranya. Indonesia pun akan disegani oleh negara lain
apabila seluruh elemen bangsa Indonesia bersatu padu pada pertahanan negara. Terlebih
lagi di Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki sumber daya alam serta
manusia yang besar, tentu pertahanan negara menjadi hal yang mutlak untuk dijalankan
dan harus diatur secara tepat menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan negara menegaskan bahwa: Segala usaha untuk mempertahankan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara”.
Sejarah membuktikan bahwa tidak ada satupun bangsa dan negara didunia ini yang
mampu bebas sepenuhnya dari ancaman, gangguan dan bahaya. Ancaman, gangguan
dan bahaya memiliki bentuk yang beragam serta jumlah yang sangat banyak. Ancaman,
gangguan dan bahaya juga berasal dari sumber bermacam-macam yang seringkali sulit
diduga, diperkirakan dan diantisipasi (Akhmad Zamroni, 2015 : 16), salah satu ancaman
tersebut adalah terorisme.
Terorisme saat ini telah menjadi masalah global. Untuk menghadapinya diperlukan
sebuah sikap kebersamaan yang bersifat global pula. Terorisme dapat dikatakan sebagai
suatu tindakan atau aktivitas simbolik yang bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku
politik dengan menggunakan cara-cara yang tidak normal. Seringkali yang digunakan
adalah ancaman dan kekerasan yang terutama ditujukan untuk menimbulkan ketakutan
di kalangan masyarakat yang menjadi sasarannya. Terorisme seringkali dijadikan taktik
oleh mereka yang tidak mempunyai kekuasaan.
Pada pembukaan UUD 1945 tersirat bahwa pemerintah Repubik Indonesia
memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan
baik bersifat nasional maupun internasional dan berkewajiban untuk mempertahankan
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1620
kedaulatan negara serta memulihkan keutuhan dan integritas nasional dari ancaman yang
datang dari dalam maupun luar negeri.
Kejahatan teroris bukan hanya mengganggu stabilitas keamanan negara saja tetapi
sudah menyangkut stabilitas pertahanan Negara. Jika dibiarkan masyarakat akan resah
dan pemaksaan kehendak para terorisme akan sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa
dan negara, oleh sebab itu tanggungjawab dan wewenang mengatasi kejahatan teroris
bukan hanya pada Kepolisian Republik Indonesia saja tetapi Tentara Nasional Indonesia
termasuk kedalam bagian dalam mengatasi kejahatan tersebut sebagaimana diatur pada
pasal 7 Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menyatakan :
(1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan
terhadap keutuhan bangsa dan negara.
(2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. operasi militer untuk perang;
b. operasi militer selain perang, yaitu untuk:
1. mengatasi gerakan separatis bersenjata;
2. mengatasi pemberontakan bersenjata;
3. mengatasi aksi terorisme;
4. mengamankan wilayah perbatasan;
5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis;
6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar
negeri;
7. mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya;
8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini
sesuai dengan system pertahanan semesta;
9. membantu tugas pemerintahan di daerah;
10. membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas
keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang;
11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala negara dan
perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;
12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian
bantuan kemanusiaan;
13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue);
serta
14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan
terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No.15 Tahun
2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang mengatur pula tentang peran militer dalam
Juwita
1621 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
mengatasi aksi terorisme sebagaimana diatur pada pasal 43 I, yang menyatakan sebagai
berikut :
(1) Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi Terorisme merupakan
bagian dari operasi militer selain perang.
(2) Dalam mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi Terorisme sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
Intinya aturan yang termaksud dalam Undang-Undang teroris tersebut
mengamanatkan TNI melaksanakan tugas pokok dan fungsi TNI sebagai penangkal
terhadap setiap bentuk ancaman dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan negara,
penindak terhadap setiap bentuk ancaman, dan pemulih terhadap kondisi keamanan
negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
TNI sebenarnya telah lama memegang peranan penting dalam sejarah
penanggulangan terorisme. Sejumlah insiden teror berhasil ditangani oleh TNI, seperti
operasi pembebasan sandera pembajakan pesawat Garuda Indonesia "Woyla" tahun
1981 oleh Pasukan Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha), operasi pembebasan
sandera di Mapenduma, Irian Jaya tahun 1996 dan operasi pembebasan sandera kapal
MV Sinar Kudus tahun 2011. Selain itu, jaringan intelijen teritorial TNI selama ini telah
banyak berperan dalam deteksi dini di daerah daerah kantong terorisme.
Terkait dengan keterlibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme pada
pelaksanaanya saat ini posisi TNI masih dalam rangka perbantuan atau dapat dikatakan
BKO (Bawah Kendali Operasi) Polri, untuk dapat melaksanakan tugas, wewenang dan
fungsinya 2 (dua payung hukum yaitu Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang tidak sertamerta dapat dilaksanakan
begitu saja tanpa adanya aturan pelaksanaannya berupa peraturan presiden atau dapat
dikatakan pula bahwa meskipun telah ada pengaturannya, antara das sollen dan das sein
belum terdapat kesesuaian, maksudnya antara apa yang seharusnya (das sollen) secara
normatif tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta yang terjadi (das sein).
Berdasarkan latar belakang tersebut yang telah dijelaskan diatas menjadi topik
yang menarik untuk dibahas dan menjadi tema sentral dalam jurnal ini yaitu : 1)
Bagaimana Pengaturan pelaksanaan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme
dalam rangka menegakkan kedaulatan negara?, 2) Bagaimana penguatan kewenangan
TNI dalam mengatasi aksi Terorisme dalam rangka menegakkan kedaulatan negara?.
Adapun Tujuan Penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa
Pengaturan pelaksanaan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme dalam
rangka menegakkan kedaulatan negara dan untuk mengetahui dan menganalisasi
penguatan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme dalam rangka menegakkan
kedaulatan negara.
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1622
Selanjutnya sehubungan dengan uraian diatas, maka penulis menindaklanjuti
dengan mengkaji lebih lanjut ke dalam bentuk jurnal, hal ini dikarenakan bahwa
sepengetahuan penulis belum ada karya ilmiah yang membahas tentang kewenangan
TNI dalam mengatasi aksi teroris ditinjau dari kajian yuridis, namun berdasarkan hasil
pemantauan dan pengamatan ada beberapa hal yang mengupas masalah tentang
kejahatan teroris yaitu:
1. Optimalisasi Sinergitas TNI-Polri-Sipil Dalam Menghadapi Ancaman Radikalisme
Dan Terorisme Di Indonesia. Penelitian Tesis pada Universitas Pertahanan. Dalam
Penelitian ini permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah :
a. Pentingnya mengoptimalkan sinergi antara TNI-Polri-Masyarakat Sipil untuk
melawan semua tindakan teror dan radikal.
b. Pentingnya meningkatkan dan mengevaluasi program deradikalisasi untuk
memutus rantai ideologi radikalisme di Indonesia.
c. Menganalisis urgensi Keamanan Nasional melalui pembentukan peraturan
perundang-undangan dan Dewan Keamanan Nasional di masa mendatang.
2. Peranan TNI Dalam Pemberantasan Terorisme Perspektif Pertahanan Keamanan
Negara. Dalam Penelitian ini permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah:
a. Identifikasi peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan terorisme
oleh TNI.
b. Mengkaji bagaimana politik hukum yang dibangun pemerintah tentang kebijakan
pemberantasan terorisme oleh TNI ditinjau dari aspek pertahanan dan keamanan
Negara.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini masih orisinil /baru karena belum pernah ada yang membahas dengan
alasan :
1. Penelitian yang telah ada sebelumnya tidak membahas secara komperehensif
mengenai kewenangan TNI dalam mengatasi aksi teroris.
2. Penelitian yang telah ada sebelumnya masih menggunakan peraturan perundang-
undangan yang lama yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang, saat ini
Undang-Undang terbaru tentang pemberantasan Tindak pidana Terorisme adalah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang.
3. Pada Penelitian ini penulis menggunakan teori kewenangan H.D.Stout, yang
mengatakan bahwa wewenangan adalah “bevoegheid wet kan worden omscrevenals
het geheel van bestuurechttelijke bevoegheden door publiekrechtelijke
rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer” bahwa wewenang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik
Juwita
1623 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
(H.D.Stout, 2004 : 4), Selain itu Kewenangan didalamnya terkandung hak dan
kewajiban, merupakan kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang
dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul
dan lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu (Syaiful Ahmad Dinar, 2012:72).
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yaitu penelitian
hukum yang bertujuan untuk menggambarkan tentang penemuan-penemuan, norma-
norma, asas-asas hukum positif, sistematika hukum yang telah tersedia dan terkandung
di dalam data sekunder (Soerjono Soekamto, 2014 : 51) dan yang menjadi fokusnya
adalah mengenai kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Dengan tipe
penelitian yaitu Deskriptif analitis, merupakan suatu penelitian yang menggambarkan
atau melukiskan tentang suatu hal yang sudah terjadi atau yang sedang berlangsung pada
tempat tertentu dan pada saat tertentu, yaitu yang terkait dengan kewenangan TNI dalam
mengatasi aksi terorisme dan Preskriftif Analistis yaitu merupakan suatu penelitian
yang memproyeksikan keadaan sekarang dan kedepan terkait dengan kewenangan TNI
dalam mengatasi aksi terorisme. (Peter Mahmud Marzuki, 2014:4). Sedangkan
Pendekatan Penelitian dengan Pendekatan Undang-undang, Pendekatan Konseptual, dan
Pendekatan Empiris , secara terbatas terutama yang terkait dengan kewenangan TNI
dalam mengatasi aksi terorisme. Secara terbatas adalah melalui wawancara dengan
pejabat dan para ahli yang terkait dengan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi
terorisme.
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber dari mana data dapat diperoleh.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu Sumber Data Primer
yaitu melakukan wawancara dengan ahli atau pejabat berwenang yang terkait dengan
kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme dan Sumber Data Sekunder, terdiri
dari Bahan hukum primer dan Bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari
norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum
yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum yang berkaitan
dengan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Sedangkan Bahan hukum
sekunder berupa pendapat hukum yang meliputi buku-buku dan tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme dan Bahan hukum
Tertier yaitu berupa kamus hukum, kamus bahasa dan naskah tertulis lainnya yang
dapat memperjelas, melengkapi, dan menopang bahan hukum primer dan sekunder
mengenai kewenangan TNI dalam mengatasi aksi teroris. Dan Analisa data penelitian
bersifat Diskriftif Analitis, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan
tentang suatu hal yang sudah terjadi atau yang sedang berlangsung pada tempat tertentu
dan pada saat tertentu yang terkait dengan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi
terorisme. Dan bersifat Preskriptif analitis, yaitu merupakan suatu penelitian yang
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1624
memproyeksikan keadaan sekarang dan kedepan terkait dengan kewenangan TNI dalam
mengatasi aksi terorisme.
Hasil dan Pembahasan
A. Pengaturan Pelaksanaan Kewenangan Tni Dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Dalam Rangka Menegakkan Kedaulatan Negara.
Terorisme dan aksi teror sesungguhnya telah ada dan digunakan sejak ribuan
tahun silam. Dalam perkembangannya, terorisme mengalami perubahan baik dari
segi motif maupun pola aksi. Pada tabel 1 di bawah ini penulis akan menguraikan
mengenai perkembangan aksi teroris di Indonesia.
Tabel 1
Perkembangan Aksi Teroris di Indonesia
No.
Era
Uraian
1
Era Orde Lama
Pada masa Orde Lama, bentuk dan pola aksi
teror didominasi oleh gerakan separatis. Aksi-
aksi ini dilakukan oleh organisasi seperti
PRRI/Permesta, PKI, dan DI/TII. Aksi-aksi
yang dilakukan berorientasi pada
penggulingan pemerintahan yang sah,
mengingat masih labilnya kondisi politik di
masa itu (Damayanti, Hemay, Aziz, &
Pranawati, 2013).
2
Orde Baru
Pada masa Orde Baru banyak dilakukan oleh
gerakan-gerakan Islam radikal yang melawan
kekuasaan Soeharto. Jenis teror yang
mendominasi pada masa ini adalah ancaman
pemboman, dengan beberapa insiden
pembajakan pesawat
pada era ini aksi teror masih tetap terjadi. Aksi
terror tersebut terutama terjadi pada saat
konflik Poso dan Maluku yang meletus pada
akhir tahun 1990an. Awalnya, konflik ini
disebabkan oleh adanya gap ekonomi antar
masyarakat dan perebutan kekuasaan politik,
tetapi kemudian berkembang menjadi konflik
yang menggunakan atribut agama antara
kelompok Islam dan Kristen. Di samping itu,
terdapat juga ancaman dan aksi teror yang
dilakukan oleh gerakan separatis seperti GAM,
dan kelompok radikal Islam seperti Jemaah
Islamiyah
Juwita
1625 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
No.
Era
Uraian
1
Era Orde Lama
Pada masa Orde Lama, bentuk dan pola aksi
teror didominasi oleh gerakan separatis. Aksi-
aksi ini dilakukan oleh organisasi seperti
PRRI/Permesta, PKI, dan DI/TII. Aksi-aksi
yang dilakukan berorientasi pada
penggulingan pemerintahan yang sah,
mengingat masih labilnya kondisi politik di
masa itu (Damayanti, Hemay, Aziz, &
Pranawati, 2013).
3
Era Reformasi
Aksi teror yang terjadi pada Era Reformasi,
103 aksi teror yang terjadi, 41% di antaranya
ditujukan ke rumah ibadah, terutama gereja dan
institusi Kristen, 43% aksi diarahkan ke
tempat-tempat umum seperti mal, restoran,
café, hotel, gedung perkantoran, dan pasar,
sedangkan sisanya ditujukan ke kantor-kantor
pemerintahan dan kantor asing seperti kantor
kedutaan besar di Indonesia. Meskipun gereja
menjadi sasaran aksi teror yang cukup tinggi di
era reformasi, namun ada juga beberapa bom
yang diledakkan di mesjid, seperti Mesjid
Istiqlal, Jakarta pada tahun 1978 dan 1999 serta
Mesjid Polresta, Cirebon pada tahun 2011.
Berdasarkan Tabel 1 diatas penjelasan mengenai bentuk dan aksi teror di
Indonesia yang terjadi sejak masa Orde Lama sampai Era Reformasi,dapat
disimpulkan bahwa motivasi dan pola aksi teror di Indonesia berubah-ubah.
Penjelasan aksi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Peledakan bom di tempat-tempat ibadah dan tempat umum seperti mal, café,
restoran serta hotel. Peledakan bom adalah cara yang paling sering digunakan
oleh kelompok teroris. Hal itu dilakukan mulai dari pelemparan granat, bom
plastik, bom rakitan yang diletakkan di dalam tas atau kantong plastik kemudian
sengaja diletakkan di tempat sasaran, bom mobil, dan bom bunuh diri dimana
pelakunya memasang bom di tubuhnya sendiri.
b. Serangan dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam. Cara ini
digunakan terutama karena kelompok-kelompok pemberontak, separatis dan
teroris umumnya telah mendapat pelatihan militer serta memperoleh pasokan
senjata baik dari luar maupun dalam negeri. Serangan mereka biasanya
ditujukan kepada aparat pemerintah seperti polisi, tentara, pemimpin politik dan
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1626
pemimpin masyarakat serta merusak sarana prasarana yang dibangun oleh
pemerintah. Namun tidak jarang serangan ini juga diarahkan kepada warga sipil.
c. Pembajakan kendaraan atau pesawat terbang. Di Indonesia pernah beberapa kali
terjadi pembajakan terhadap pesawat komersil dan umumnya disertai dengan
tuntutan uang tebusan seperti yang terjadi pada pesawat Garuda, PK- GNJ
“Woyla” GA 206 rute Jakarta-Palembang-Medan. Pelaku saat itu menuntut
pemerintah memberikan uang sejumlah 1,5 juta USD.
d. Pembunuhan yang biasanya dilakukan terhadap pejabat pemerintah, pengusaha,
tokoh politik, tokoh masyarakat dan aparat keamanan. Cara seperti ini sering
dilakukan oleh gerakan separatis dan juga kerap terjadi pada konflik Poso dan
Ambon.
e. Penghadangan. Umumnya aksi penghadangan dilakukan oleh kelompok
separatis seperti GAM dan OPM terhadap aparat keamanan pemerintah RI.
Karena jumlah mereka yang tidak banyak, kelompok separatis sering
menggunakan taktik gerilya semacam ini.
f. Penculikan, yang biasanya disertai juga dengan tuntutan uang tebusan atau
berakhir dengan pembunuhan. Hal ini dialami oleh 2 orang polisi yang hilang di
desa Masani, Poso, Sulawesi Tengah. Beberapa hari kemudian, kedua polisi
tersebut ditemukan telah meninggal dan dikubur dalam satu lubang.
g. Penyanderaan. Aksi penyanderaan manusia di tempat umum sering dilakukan
kelompok teroris ketika mereka berhadapan dengan aparat pemerintah. Aksi ini
kemudian biasanya dilanjutkan dengan permintaan uang tebusan. Penyanderaan
juga bisa dilakukan bersamaan dengan pembajakan pesawat, seperti dalam kasus
Pembajakan pesawat Garuda PK-GNJ “Woyla.”
h. Perampokan. Kelompok teroris menyebut cara ini dengan istilah fa’i, yaitu
perampokan harta yang orang-orang kafir untuk membiayai aksi jihad.
Perampokan dengan istilah fa’i yang pernah terjadi di Indonesia misalnya
perampokan toko emas Elita Indah di Serang, perampokan toko ponsel di
Pekalongan, perampokan Bank CIMB Niaga Medan dan perampokan toko emas
di Tambora, Jakarta Barat.
i. Ancaman/intimidasi yang sengaja dilakukan untuk memberikan tanda atau
peringatan mengenai suatu kejadian atau keadaan yang dapat menimbulkan
ketakutan terhadap masyarakat luas. Petugas Traffic Management Centre (TMC)
Polda Metro Jaya pernah menerima telepon yang menginformasikan ancaman
bom, di sebuah restoran cepat saji, Terminal 2F Bandara Soekarno Hatta
(Soetta), pada bulan April 2013. Tetapi ternyata ancaman itu hanya kabar
bohong.
j. Penggunaan zat-zat kimia, biologi, zat radioaktif dan senjata nuklir (CBRN).
Bahan Paket bom dalam buku yang ditemukan di 8 tempat berbeda pada bulan
Maret 2011 di Jakarta terbukti mengandung zat kimia berupa potasium dan
alumunium. Potasium ini bisa larut dalam air dan bisa meledak jika disimpan
dalam suhu 120 derajat Celcius. Meskipun penggunaan CBRN masih jarang di
Juwita
1627 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
Indonesia, namun kelompok teroris di beberapa negara banyak yang
menggunakan cara ini. Misalnya penggunaan gas Sarin oleh Aum Shinrikiyo di
jalur kereta bawah tanah Tokyo yang menewaskan 13 orang, 54 orang luka
parah dan 980 orang luka ringan.
k. Sabotase seperti yang terjadi pada pesawat Garuda GA 482, rute Jakarta-
Surabaya. Pelaku mencoba melakukan pembakaran di kompartemen bagasi
pesawat dengan menggunakan bahan bakar pertamax 98.
l. Pengiriman bom berbentuk paket, seperti yang terjadi di stasiun bus Idi Aceh
Timur, dan paket bom buku yang dikirim ke pemimpin Jaringan Islam Liberal,
Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Dani, dll.
m. Penggunaan racun. Sejauh ini penggunaan racun pada makanan dan minuman
baru sebatas ancaman di kantin-kantin kantor kepolisian, bukan berarti hal itu
tidak akan terjadi di kemudian hari. Mengenai penggunaan racun dalam aksi
terorisme, Center for Disease Control (Pusat Pengendalian Penyakit) Amerika
telah mengklasifikasikan virus, bakteri dan racun yang dapat digunakan untuk
penyerangan terorisme, diantaranya adalah virus antraks.
n. Cyberterrorism, yaitu penggunaan komputer dan jaringan internet oleh
kelompok teroris dalam melakukan aksinya. Misalnya, seperti menggunakan
media internet untuk proses radikalisasi, membobol sistem keuangan, sistem
pengendalian alat transportasi seperti kereta api atau pesawat terbang. Kelompok
Aum Shinrikyo dan Macan Tamil biasanya menggunakan pola seperti ini.
o. Narco-Terrorism. Kelompok teroris di Indonesia juga disinyalir melakukan
penjualan narkotika untuk membiayai operasi mereka atau mendukung jaringan
terorisme di sejumlah negara.
p. Perkembangan terorisme terkini juga menunjukkan bahwa pelaku aksi terror
bergerak secara individual dan tidak tergabung dalam kelompok/jaringan
terorisme yang sudah ada.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) adalah yang memiliki wewenang tertinggi saat ini dalam menghadapi
maraknya aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Peran keduanya saat ini lebih
terlihat dibandingkan peran dari instansi lainnya seperti Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), ketentuan yuridis yang mengamanatkan
penanggulangan terorisme di Indonesia melalui prosedur penegakan hukum (pro
justitia), mengindikasikan makna bahwa institusi kepolisian adalah aktor utama
yang berwenang menangani gerakan terorisme di Indonesia, namun di sisi lain,
keberadaan TNI telah lebih dulu disiapkan sebagai pasukan antiteror, yang berperan
dengan syarat kondisi tertentu.
B. Penguatan Kewenangan TNI Dalam Mengatasi Aksi Terorisme Dalam
Rangka Menegakkan Kedaulatan Negara.
Bahwa berdasarkan hasil penelitian penulis bahwasanyanya penguatan hukum
kewenangan TNI dalam mengatasi aksi Teroris adalah sebagai berikut:
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1628
1. Undang-undang Dasar Negara RI 1945
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 30 ayat (2) dan (3) menyatakan
bahwa :
(2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan umum, dan rakyat
sebagai kekuatan pendukung. (Republik Indonesia, n.d.-a)
(3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan,
melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Ketentuan tersebut diatas jelas menegaskan bahwa usaha pertahanan dan
keamanan negara Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh Warga Negara
Indonesia. Dengan kata lain, pertahanan dan keamanan negara tidak hanya
menjadi tanggung jawab TNI dan POLRI saja, tetapi masyarakat sipil juga
sangat bertanggung jawab terhadap pertahanan dan kemanan negara, sehingga
TNI dan POLRI manunggal bersama masyarakat sipil dalam menjaga keutuhan
NKRI. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikan
gambaran bahwa usaha pertahanan dan kemanan negara dilaksanakan dengan
menggunakan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata).
Sistem pertahanan dan kemanan rakyat semesta pada hakikatnya merupakan
segala upaya menjaga pertahanan dan keamanan negara yang seluruh rakyat dan
segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh
wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh.
Dengan kata lain, Sishankamrata penyelenggaraannya didasarkan pada
kesadaran akan hak dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan akan
kekuatan sendiri untuk mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Sistem pertahanan dan keamanan yang bersifat semesta merupakan pilihan
yang paling tepat bagi pertahanan Indonesia yang diselenggarakan dengan
keyakinan pada kekuatan sendiri serta berdasarkan atas hak dan kewajiban
warga negara dalam usaha pertahanan negara. Meskipun Indonesia telah
mencapai tingkat kemajuan yang cukup tinggi nantinya, model tersebut tetap
menjadi pilihan strategis untuk dikembangkan, dengan menempatkan warga
negara sebagai subjek pertahanan negara sesuai dengan perannya masing-
masing.
Peran disini jelas bahwa TNI adalah sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara
salah satunya dalam mengatasi aksi teroris, sehingga hal yang sah menurut
penulis apabila TNI dapat turut serta mengatasi aksi teroris tersebut.
Juwita
1629 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
2. Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Peran Tentara Nasional Indonesia dalam menangani terorisme, sebenarnya,
telah disebutkan dalam Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia. Pada pasal 7 Ayat (2) khususnya tentang tugas pokok TNI
dalam mengatasi aksi terorisme dengan melaksanakan Operasi Militer Selain
Perang (OMSP) dan pada pasal 6 khususnya tentang fungsi TNI dalam
pertahanan negara, Salah satu dari OMSP adalah menanggulangi aksi terorisme
yang harus didasarkan pada keputusan presiden.
Dalam kaitan terdapatnya dua jenis operasi yaitu operasi yang
menempatkan TNI di bawah kendali operasi kepolisian dengan pertimbangan
bahwa jenis dan tingkat ancaman terorisme dihadapi dengan operasi penegakkan
hukum (law enforcement approach). Perbantuan hanya terjadi ketika polisi
membutuhkan penguatan baik secara kuantitas atau pun karena adanya
keperluan untuk menggunakan kemampuan tertentu dari TNI untuk tugas-tugas
yang berada di bawah kendali kepolisian. Situasi Perbantuan baik untuk
penguatan maupun untuk penggunaan kemampuan tertentu TNI harus dilihat
sebagai situasi yang belum memerlukan pendekatan militer yaitu situasi
keamanan dalam kerangka penegakkan ketertiban masyarakat dan penegakan
hukum. Dalam situasi ini polisi masih mempunyai hak diskresi untuk bertindak
di lapangan. (Wulansari, 2017)
Operasi penindakan yang kedua adalah operasi penindakan di mana TNI
mengambil alih operasi karena jenis dan gradasi ancaman terorisme yang sedang
terjadi dilihat telah melebihi ancaman terhadap Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat (Kamtibmas). Aksi terorisme yang terjadi dianggap sebagai
ancaman bersenjata terhadap negara dan keselamatan seluruh bangsa. Dalam
kaitan ini diperlukan keputusan presiden untuk menetapkan tingkat ancaman
terorisme dan penetapan situasi keamanan yang akan ditanggulangi oleh
kekuatan TNI. Sepanjang semua ini dilakukan melalui keputusan presiden maka
TNI sah digunakan untuk memberantas terorisme. Jenis dan pendekatan
operasinya adalah operasi militer, bukan operasi Kamtibmas atau operasi
penindakan/penegakan hukum.
Keterlibatan ataupun pendekatan militer biasanya banyak digunakan
negara-negara hanya apabila aksi terorisme itu sudah berkembang menjadi
suatu ancaman eksistensial terhadap negara, seperti aksi terorisme yang
disponsori negara lain (state sponsored terrorism) atau menggunakan bahan-
bahan nuklir, kimia dan biologi. Apabila hal ini terjadi di Indonesia pun,
keterlibatan Tentara Nasional Indonesia sudah dapat diakomodasi melalui
undang-undang Tentara Nasional Indonesia dengan adanya keputusan presiden .
Keputusan presiden ini merupakan pokok yang krusial, karena di dalamnya
akan menyangkut terhadap pertimbangan konteks eskalasi ancaman dan
bagaimana Tentara Nasional Indonesia dapat secara efektif berkontribusi
terhadap penanganan aksi teror tersebut. Di luar itu, keputusan presiden ini juga
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1630
penting karena menyangkut pada prinsip civil supremacy yang dianut pada
negara-negara demokratis. (Mengko, 2017)
Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan tindakan
terorisme mengacu pada Undang-undang Tentara Nasional Indonesia itu sendiri
dengan memperhatikan prinsip dasar Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Pelibatan itu perlu didasarkan atas keputusan presiden; pelibatan atas dasar
permintaan kepolisian atau pemerintah; pelibatan dilakukan dalam konteks
ancaman terorisme yang sudah mengancam kedaulatan negara atau tidak dapat
ditangani lagi oleh kepolisian; pelibatan bersifat proporsional dan dalam jangka
waktu tertentu (sementara); serta menggunakan mekanisme pertanggung
jawaban yang tunduk pada sistem peradilan umum. Kalaupun mekanisme
pelibatan yang diatur dalam Undang-undang Tentara Nasional Indonesia ini
masih dipandang kurang komprehensif, maka jalan keluarnya bukan melalui
revisi Undang-undang Terorisme atau menggunakan paradigma war-model
(model perang), melainkan perlunya dibentuk Undang-undang Tugas Perbantuan
sebagaimana yang sudah dimandatkan oleh Undang- undang Tentara Nasional
Indonesia dan Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam hal perbantuan
terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebenarnya secara
empiris TNI sudah melakukan beberapa tugas perbantuan kepada polisi yang
didasarkan kepada protap (prosedur tetap). Masalahnya adalah Protap bukanlah
bagian dari tata peraturan perundang-undangan sehingga status hukumnya lemah
dan tidak memiliki kekuatan mengikat (legaly binding). Dalam praktiknya,
kadangkala justru terjadi rivalitas (pertentangan) dan kurangnya koordinasi
akibat kelemahan pengaturan tentang tugas perbantuan itu. Namun persoalan ini
tentu bukan dijawab dengan mengatur pelibatan TNI secara permanen melalui
revisi UU Terorisme, apalagi melalui pembagian target atau pembagian lokasi
karena hal ini justru akan semakin mempersulit kedua aktor keamanan ini untuk
saling bekerjasama. Pada dasarnya yang diperlukan adalah UU Perbantuan
sebagaimana amanat UU TNI itu sendiri, tapi Rancangan Undang-Undang
(RUU) Perbantuan hingga ini belum dibahas oleh pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), walaupun sudah menjadi mandat dari Undang-
Undang TNI dan Undang-undang Polri itu sendiri.
Sebagai salah satu contoh Tugas perbantuan pelibatan Tentara Nasional
Indonesia terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu kasus terorisme
yang terjadi pada tahun 2016 di Poso Sulawesi Tengah, dalam kasus terorisme
tersebut Tentara Nasional Indonesia terlibat dalam penanganan terorisme
berdasarkan permintaan Kepolisian Republik Indonesia karena dianggap tidak
mampu dalam menangani kasus tersebut. Keterlibatan TNI tersebut tetap dalam
koridor sebagai kekuatan perbantuan dan kekuatan utama tetap menjadi tugas
polri. Pelibatan TNI tersebut berdasarkan Operasi yang menempatkan TNI di
bawah kendali operasi kepolisian (BKO) dan operasi penindakan dimana tingkat
Juwita
1631 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
ancaman tersebut dianggap mengancam kesalamatan dan ketertiban masyarakat.
Pengggunaan kekuatan TNI tersebut dilakukan dalam keadaan mendesak dan
atas pertimbangan panglima tertinggi dan atas persetujuan presiden untuk
melibatkan TNI dalam penanganan tindakan terorisme karena kasus tersebut
merupakan ancaman bersenjata yang dapat mengancam kedaulatan dan
keselamatan negara.
Kasus tindakan terorisme tersebut yang melibatkan Tentara Nasional
Indonesia dikatakan operasi tinombala yang dimana operasi tinombala
merupakan operasi yang dilancarkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri ), operasi ini melibatkan satuan
Brimob, Kostrad, Marinir, Raider, dan kopassus.
Dengan demikian dalam pelibatan pihak-pihak dalam penanganan
masalah tindakan terorisme, pemerintah melalui Badan Penanggulangan
Terorisme (BNPT) melakukan deradikalisasi atau harmonisasi dengan
melibatkan banyak pihak mulai dari kementerian dan lembaga, Kepolisian
Republik Indonesia (POLRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI), perguruan
tinggi, hingga masyarakat sipil seperti organisasi masyarakat dan lembaga
swadaya masyarakat. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
adalah sebuah lembaga pemerintah nonkementerian Indonesia yang bertugas
melaksanakan tugas pemerintah di bidang penaggulangan terorisme. BNPT
dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada presiden melalui
koordinasi Menteri koordinator Bidang politik, hukum, dan keamanan. (Yeni
Handayani, 2016)
Di sisi lain, kerjasama antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam deradikalisasi merupakan suatu
keniscayaan untuk mensukseskan program tersebut dalam rangka peringatan
dini, deteksi dini, pencegahan dan menangkal perkembangan terorisme di
Indonesia. TNI memiliki kemampuan intelijen dan kemampuan teritorial
sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 serta
memiliki rantai komando (chain of command) sampai tingkat desa melalui
Babinsa (Bintara Pembina Desa). Demikian halnya dengan Polri yang selama
ini menjadi tumpuan dalam penegakan hukum pemberantasan terorisme serta
melakukan tindakan pre-emtif, preventif dan represif terhadap ancaman
terorisme. Baik TNI maupun Polri, tidak dapat menjalankan tugas secara
institusional tunggal. Dengan sinergi antara TNI dengan Polri dalam
deradikalisasi perkembangan terorisme diharapkan mampu mengelimanisir
perkembangan terorisme di Indonesia. Sinergi merupakan kebersamaan dalam
berpikir dan bertindak untuk mencapai tujuan bersama dengan hasil yang
diperoleh merupakan hasil bersama, dan lebih efektif, efisien serta optimal
dibandingkan melaksanakan secara parsial atau sendiri-sendiri. (Prasetyo, 2016)
Bentuk kerjasama TNI-Polri dalam penanggulangan terorisme oleh
pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1632
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagaimana telah di revisi
pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme. Landasan hukum ini merupakan payung sinergi
bagi TNI-Polri selain melakukan penanggulangan terorisme secara
komprehensif dan integral juga secara husus melakukan program deradikalisasi
terhadap ancaman terorisme yang terus berkembang.
Sinergi TNI-Polri dalam deradikalisasi perkembangan terorisme guna
memantapkan stabilitas keamanan dapat terwujud dan ketahanan ideologi
bangsa serta ketahanan nasional semakin tangguh. Permasalahan terorisme di
Indonesia memang masih menjadi ancaman yang berpotensi mengganggu
stabilitas keamanan nasional. Tidak menutup kemungkinan bahwa aksi-aksi
terorisme tersebut berkaitan dengan jaringan terorisme asing. Sehingga sangat
mungkin di masa depan aksi-aksi terorisme akan selalu berulang kembali. Akar
masalah yang ditengarai menjadi media tumbuh suburnya jaringan terorisme di
Indonesia di antaranya adalah kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang
rendah, sehingga sangat mudah didogma dan direkrut menjadi anggota jaringan.
Meski demikian, sesuai dengan prinsip dasar Operasi Militer Selain
Perang (OMPS) di berbagai negara, TNI tidak dapat serta merta langsung
terlibat di dalam pelaksanaan tugas-tugas OMSP. Dalam hal ini TNI baru dapat
terlibat jika ada keputusan presiden sebagaimana yang ditegaskan di dalam
Pasal 7 ayat 3 UU TNI. (Republik Indonesia, n.d.-b) Pasal ini menjadi landasan
pelibatan TNI dalam bentuk operasional penindakan terorisme. Pada tingkat
internasional, PBB juga telah membuka ruang bagi negara-negara untuk
menggunakan kekuatan militer dalam melawan terorisme. (Rohmy, Suratman, &
Nihayaty, 2020).
Oleh karena itu jelaslah bahwa secara hukum, jika mengacu kepada
Undang-undang No 34 Tahun 2004, maka keterlibatan Tentara Nasional
Indonesia dalam mengatasi aksi terorisme, yaitu dengan menggunakan operasi
militer (selain perang) menurut penulis adalah sah tetapi untuk lebih
memperkuat lagi Pemerintah dapat membuat Peraturan Presiden sebagai aturan
pelaksanaan terkait pasal 7 Undang-undang No. 34 tahun 2004 tentang TNI.
3. Undang-undang No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
Menurut Undang-undang No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
disebutkan pula bahwa dalam menghadapi ancaman yang bersifat militer,
Tentara Nasional Indonesia merupakan komponen utama dalam system
pertahanan nasional, sedangkan komponen-komponen lain merupakan
komponen pendukung. Undang-Undang No 3 Tahun 2002 ini menurut penulis
berpeluang menjadi landasan hukum bagi Tentara Nasional Indonesia untuk
mengatasi aksi terorisme. (Republik Indonesia, n.d.-c).
Juwita
1633 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang
Pada Pasal 43 I yang mengatur tentang pelibatan Tentara Nasional
Indonesia dalam undang-undang No 5 tahun 2018 tentang tindak pidana
terorisme yang berbunyi:
1. Tugas Tentara Negara Indonesia (TNI) dalam mengatasi aksi terorisme
merupakan bagian dari operasi militer selain perang
2. Dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden
(perpres) (Republik Indonesia, n.d.-d).
Berdasarkan Undang-undang tersebut menurut penulis bahwasanya
terorisme merupakan kejahatan lintas negara, terorganisasi, dan mempunyai
jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun
international. Oleh karena itu teroris dikategorikan sebagai ancaman nasional
yang layak dihadapi dengan pendekatan militer. Namun demikian, pada
kenyataannya, bangsa Indonesia telah memilih pendekatan justitia (keadilan)
sebagai pendekatan utama dalam menangani aksi terorisme. Ketentuan
perundang-undangan terkait terorisme telah menempatkan Tentara Nasional
Indonesia yang berafiliasi (mempunyai pertalian dan hubungan sebagai anggota)
ke dalam Badan Intelejen Negara (BIN) dan Badan Intelejen Strategis (BAIS)
sebagai unsur pendeteksi dan pencegah dini aksi terorisme. Terorisme di
Indonesia menjadi sangat berbahaya, meskipun sel-sel anggota jaringan teroris
berhasil dilumpuhkan dan ditangkap, bukan berarti aktivitas jaringan kelompok
teroris mengalami kelemahan. Atas dasar itu, peran Tentara Nasional Indonesia,
dalam mengatasi aksi terorisme di Indonesia yang menurut Undang-undang
diposisikan sebagai unsur pencegah aksi terror.
Negara seharusnya mempunyai keleluasaan dalam mengembangkan
kebijakan, menentukan strategi, dan mengerahkan kekuatan dalam
penanggulangan terorisme sebagai salah satu upaya pengamanan negara.
Instrumen koersif dan non-koersif bisa digunakan melalui kebijakan/keputusan
yang absah. Ini sekaligus untuk menegaskan bahwa pengamanan negara,
terutama dari ancaman terorisme, tidak bisa diklaim sebagai monopoli
kewenangan dari suatu institusi. Situasi keamanan yang ditimbulkan oleh
ancaman terorisme dan upaya untuk menanggulangi ancaman terorisme harus
diletakkan dalam suatu opsi kebijakan dan keputusan yang terbuka. Hal ini
disebabkan karena karakter ancaman terorisme yang multi-dimensional dan
multi-sektoral. (Wulansari, 2017) Dalam hal negara melihat ancaman terorisme
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1634
sebagai ancaman terhadap negara dan ketertiban umum negara bisa
mengerahkan kekuatan militer melalui keputusan presiden yang diputuskan
melalui berbagai mekanisme yang tersedia.
Sementara itu secara politik, pengerahan kekuatan militer dalam
penanggulangan aksi terorisme merupakan suatu keputusan presiden yang
diambil berdasarkan penilaian gradasi ancaman yang terjadi. Dalam hubungan
antar bangsa pun, penggunaan kekuatan militer untuk menanggulangi aksi
terorisme bukan suatu praktik yang tidak lazim, bahkan di negara yang sistem
dan praktik demokrasinya telah mapan. PBB juga telah membuka ruang bagi
negara untuk menggunakan kekuatan militer untuk melawan terorisme.
Kesimpulan
Pengaturan pelaksanaan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme
dalam rangka menegakkan kedaulatan negara adalah Undang-undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-
Undang.
Terorisme di Indonesia menjadi sangat berbahaya, meskipun sel-sel anggota
jaringan teroris berhasil dilumpuhkan dan ditangkap, bukan berarti aktivitas jaringan
kelompok teroris mengalami kelemahan. Atas dasar itu, peran Tentara Nasional
Indonesia, dalam mengatasi aksi terorisme di Indonesia yang menurut Undang-undang
diposisikan sebagai unsur pencegah aksi terror maka negara mempunyai keleluasaan
dalam mengembangkan kebijakan, menentukan strategi, dan mengerahkan kekuatan
dalam penanggulangan terorisme sebagai salah satu upaya pengamanan negara
berkaitan hal tersebut penguatan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme
dalam rangka menegakkan kedaulatan negara Pemerintah berencana mengensyahkan
rancangan Peraturan Presiden Tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia Dalam
Mengatasi Aksi Terorisme, namun demikian RUU tersebut menjadi perdebatan hangat
hingga saat ini, ada yang sependapat dan ada yang berbeda pendapat dan saat ini RUU
tersebut masih di DPR dan membutuhkan waktu dan pemikiran terkait dapat atau
tidaknya RUU tersebut disahkan.
Juwita
1635 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
BIBLIOGRAFI
Damayanti, Angel, Hemay, Idris, Aziz, Sholehudin A., & Pranawati, Rita. (2013).
Perkembangan Terorisme di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) Republik Indonesia Jakarta.
Mengko, Diandra M. (2017). Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme di Indonesia.
Jurnal Penelitian Politik, 14(2), 193204.
Marzuki, Peter Mahmud. (2014). Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.
Prasetyo, Dedi. (2016). Sinergi TNI-Polri dalam Deradikalisasi Terorisme di Indonesia.
Jurnal Keamanan Nasional, 2(1), 3558.
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 30 ayat (2).
Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia
Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara
Republik Indonesia. (2018). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang LN Nomor 92
Tahun.
Rohmy, Atikah Mardhiya, Suratman, Teguh, & Nihayaty, Arini Indah. (2020). Peranan
Tentara Nasional Indonesia dalam Penindakan Terorisme Berbasis Agama. AT-
TURAS: Jurnal Studi Keislaman, 7(1), 86112.
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 2014,
51
Syaiful Ahmad Dinar, (2012). KPK dan Korupsi (dalam Studi Kasus), Jakarta: Cintya
Press, 72.
Stout H.D, De Betekenissen Van De Wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan
Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004,
4
Wulansari, Eka Martiana. (2017). Urgensi Keterlibatan Tentara Nasional Indonesia
(Tni) Dalam Penanggulangan Aksi Terorisme. Jurnal Proceedings Universitas
Pamulang, 2(1).
Yeni Handayani. (2016). Peranan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
dalam Penanggulangan Terorisme. jurnal Rechtsvinding Media pembinaan Hukum
Analisis Yuridis Pengaturan Kewenangan TNI Selaku Penegak Kedaulatan NKRI
dalam Mengatasi Aksi Terorisme
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1636
Nasional, Juni di akses pada tanggal 24 Juli 2020 pukul 20.00 WIB
Zamroni Akhmad (2015). Partisipasi dalam UpaSya Bela Negara. Bandung: Yrama
Widya.