1504 http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v5i12.1874
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia pISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 12, Desember 2020
TANTANGAN ETIKA BISNIS DALAM DUNIA BISNIS SEBUAH REFLEKSI
FILOSOFIS TENTANG PENTINGNYA ETIKA DALAM DUNIA BISNIS
Carolus L Tindra Matutino Kinasih
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Unisadhuguna Business School Jakarta, Indonesia
Abstract
This study aims to philosophically analyze the role of business ethics in business
application. The methods in this study used a phenomenological philosophy
methodology. The purpose of the study of ethics is to critically reflect on the merits of
human behavior or the right and wrong actions of humans as humans. Ethical values
such as mutual benefit and welfare, human rights, justice and environmental
protection, are taken into account in the business decision-making process. The norms
of behavior that guarantee ethical values are poured into legal instruments to fulfill
legal obligations and prohibitions as well as rules of industry association or company
code of ethics. The decisions and concrete actions will be left up to each person
according to the considerations of his conscience. From this research, it can be
concluded as a result of research that ethical thinking is not about sacrificing personal
and company interests for the sake of other parties, nor is it a matter of doing good to
others. But how to achieve the best in the most concrete situations possible for all
parties concerned, which too would be ethically justified.
Keywords: ethics; normative ethics; principles of human action assessment; nature of
business; legalism; utilitarianism; ethics of virtue
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara filosofis mengenai peran etika
bisnis dalam penerapan bisnis. Metode dalam penelitian ini menggunakan metodologi
filsafat fenomenologis. Maksud kajian ilmu etika adalah merefleksi secara kritis baik-
buruknya perilaku manusia atau benar-salahnya tindakan manusia sebagai manusia.
Nilai-nilai etika seperti keuntungan dan kesejahteraan bersama, hak-hak asasi
manusia, keadilan dan pelestarian lingkungan, diperhitungan dalam proses
pengambilan keputusan bisnis. Norma-norma perilaku yang menjamin nilai-nilai etis
itu dituangkan ke dalam perangkat hokum menjai kewajiban dan larangan hukum
serta aturan-aturan asosiasi industri atau pun kode etik perusahaan. Keputusan dan
tindakan konkret akan diserahkan kepada masing-masing orang sesuai dengan
pertimbangan suara hatinya. Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai hasil
penelitian bahwa pemikiran etis bukan soal mengorbankan kepentingan pribadi dan
perusahan demi pihak lain, juga bukan soal berbuat baik kepada pihak lain. Tapi
bagaimana mencapai yang terbaik dalam situasi konkret yang paling mungkin bagi
semua pihak yang terkait, yang secara etis pun akan dibenarkan.
Carolus L Tindra Matutino Kinasih
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1505
Kata kunci: etika; etika normatif; prisnsip penilaian tindakan manusia; hakikat bisnis;
legalisme; utilitarianisme; etika kebajikan
Pendahuluan
Menyoal relevansi etika bagi dunia bisnis sampai sekarang kiranya tetap menjadi
sebuah perdebatan tersendiri. Malahan Thomas I. White mencatat bahwa hingga tahun
1960-an, business ethics masih sering diolok-olok sebagai oxymoron (Thomas I,
1993). Begitu pula pengertian bisnis itu sendiri dilihat bertentangan dengan etika karena
dalam dalam tataran praksis bisnis sering terjadi bahwasanya untuk mencapai
keberhasilan, para pelaku bisnis harus berani melakukan tindakan yang tidak terpuji.
Sebuah usaha dapat diterima dalam masyarakat modern tergantung pada dua hal,
kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Sangat jelas di era kekinian ekonomi menjadi
struktur pemaknaan yang mewarnai pada segala praktik-praktik kehidupan dewasa ini.
Segala sesuatunya cenderung diukur dalam perspektif ekonomi. Masyarakat yang
mendefinisikan diri sepenuhnya dari segi ekonomi menjadikan kegunaan sebagai nilai
tertinggi dan menomorduakan nilai-nilai lain. Perbaikan terus menerus dalam ekonomi
menuntut selalu ada perubahan yang memajukan.
Kontrak terbatas menjadi praktik biasa untuk menghindari membayar jaminan
sosial, biaya kesehatan, pensiun dan supaya tidak direpotkan oleh masalah konflik kerja.
Dalam era ini, pekerja dengan mudah bisa dipindah dari satu tugas ke tugas yang lain.
Kontrak dengan pekerja berubah sesuai dengan perubahan aktivitas perusahaan.
Persaingan antar pekerja dipacu dengan individualisasi hubungan kerja, yaitu target setiap
orang, sistem kenaikan gaji sistem karier, strategi agar masing-masing merasa
bertanggung jawab menerapkan pengawasan diri dalam manajemen partisipatif.
Persaingan akan menumbuhkan perasaan ketidakadilan, terutama ketika persaingan
kian mempertajam polarisasi masyarakat dalam kelompok kelas. Lalu perasaan
ketidakadilan itu melanggengkan ketertutupan yang akhirnya membawa pada perasaan
tidak aman bagi tiap orang. Selain itu juga tumbuh perasaan tak berguna, perasaan ini
akhirnya membawa pada kemarahan dan kebencian. Situasi di atas adalah sekelumit fakta
nyata yang terjadi dalam dunia binis. Dalam konteks kehidupan sosial saat ini penerapan
etika bisnis sangat diperlukan untuk bisa menjalankan kebijakan bisnis. Maka dari itu
penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk memberikan pendasaran pentingnya etika
dalam menjalankan bisnis.
Metode Penelitian
Fenomenologi adalah salah satu pendekatan keilmuan yang menggunakan
metode filsafat (Ningsih & Syafiq, 2014). Filsafat sebagai sebuah ilmu bertujuan untuk
merefleksikan sebuah realita sosial sehingga akhirnya bisa menemukan akar penyebab
mendasar dari permsalahan realita sosial. Edmund Husserl sebagai penggagas
fenomenologi berharap bisa menemukan keilmuan bari dari sebuah refleksi realita sosial.
Fenemonolgi berkembang menjadi semacam metode riset diberbagai penelitian ilmu-
ilmu sosial.
Fenomenologi dalam Metodologi filsafat tidak bisa lepas dari metafisika.
Metafisika sebagai Sejarah Ada. Yang dimaksud dengan sejarah Ada di sini adalah
bagaimana Ada dipahami dalam sejarah filsafat. Pemahaman mengenai Ada ini, menurut
Heidegger, sangat menentukan pemahaman manusia mengenai dirinya sendiri, dunia,
obyek-obyek dan sesama manusia. Heidegger sendiri mengasalkan segala keburukan
Tantangan Etika Bisnis dalam Dunia Bisnis Sebuah Refleksi Filosofis Tentang
Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
1506 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
zaman modern-perang dan kekerasan, ancaman kehancuran bumi dan ekosistem,
penggunaan teknologi yang bahkan telah sampai mengancam kelangsungan spesies
manusia itu sendiri, pesimisme dan nihilisme-dari konsepsi mengenai Ada tersebut.
Sejarah Ada tampak dalam sejarah manusia itu sendiri karena manusia (dalam istilah
Heidegger: Dasein) adalah situs di mana Ada menyingkapkan dirinya.
Jadi Fenomenologi sebagai sebuah metodologi mencoba untuk menyingkapkan
apa yang tersebunyi dari sebuah fenomena yang terlihat (Hasbiansyah, 2008). Kita
mengamati fenomena, kita membuka diri, kita membiarkan fenomena itu tampak pada
kita, lalu kita memahaminya. Kita memahaminya dalam perspetif fenomena itu sendiri,
bagaimana dia “menyingkapkan” diri pada kita. Dalam metodologi penelitian filsafat
fenomenologi, seorang peneliti senang melihat gejala (fenomena). Melihat gejala
merupakan dasar dan syarat untuk semua aktivitas Ilmiah. Ia bukan sebuah ilmu, namun
merupakan sebuah cara pandang dan metode berfikir. Fenomenologi sebagai sebuah
metode ilmiah menunjukan jalan perumusan ilmu pengetahuan melalui tahap-tahap
tertentu, dimana suatu fenomena yang dialami oleh seorang manusia dijadikan menjadi
subjek kajiannya.
Hasil dan Pembahasan
A. Hakekat Bisnis
Pada hakekatnya bisnis (Smith, 2016) merupakan sebuah organisasi yang
bekerja di tengah-tengah masyarakat, sebuah komunitas yang beroperasi di tengah-
tengah komunitas-komunitas lain, sebuah wacana antarpribadi yang berinteraksi
dengan wacana yang lain. Mutu dan daya saing usaha bisnis ikut ditentukan oleh
kualitas lingkungan dunia usaha serta sikap proaktif bisnis terhadap lingkungan
sosialnya itu. Organisasi bisnis yang ingin excellent dalam dalam persaingan global
perlu lebih dulu dan lebih jauh mengenal tata nilai budaya atau etos dari masyarakat
dimana ia beroperasi. Menurut (Nugroho, 2001) Dalam praktiknya, bisnis sebagai
sebuah organisasi menjalankan pertukaran barang dan jasa dalam hubungan tertentu
yang mengandung kewajiban kontraktual. Ada beberapa unsur-unsur legal pokok
yang dapat dirumuskan dalam kaitan dengan dari suatu kontrak, antara lain: (1)
Persetujuan timbal balik (secara lisan, tertulis, atau tersirat dari tindakan pihak-pihak
terlibat, tergantung pada berbagai macam situasi dan kadang-kadang didasarkan pada
aturan tertulis). (2) Kemampuan pihak-pihak terlibat (mereka waras dan dari segi
hukum sudah membuat persetujuan atas nama dirinya sendiri). (3) Barang yang
dipertukarkan (pertukaran barang dan jasa yang mempunyai nilai). Selain itu, supaya
sebuah kontrak dapat benar-benar mengikat pihak-pihak yang terlibat dan secara
legal dapat dipaksakan, harus ada (4) objek hukum. Yang dimaksud adalah bahwa
kewajiban legal tersebut tidak menuntut orang untuk melakukan sesuatu yang
mustahil dilakukan atau bertentangan dengan hukum. Dengan mendasarkan diri pada
pemahaman bisnis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dirinya sendiri bukan
merupakan perwujudan dari “keserakahan”. Keserakahan itu sendiri muncul dalam
kerangka persaingan bisinis yang tidak sehat sebagai wujud dari pemahaman bisnis
Carolus L Tindra Matutino Kinasih
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1507
sebagai suatu kegiatan profit-making semata. (Devine, 1997; Keraf & Imam, 1995)
Keuntungan dianggap sebagai satu-satunya tujuan pokok dari bisnis, (Fahmi, 2013)
yang pada akhirnya mengarah pada prinsip menghalalkan segala cara. Dengan
demikian keserakahan itu tidak berada pada level bisnis itu pada dirinya sendiri tetapi
pada level manusia sebagai para pelaku bisnis. Keserakahan adalah problem
manusia, bukan problem bisnis.
B. Legalisme
Bisnis mengandung salah satu unsur yang cukup penting bagi perkembangan
bisnis itu sendiri yakni objek hukum. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
pelaksanaan hukum yang konsisten dalam dunia bisnis akan mengarahkan bisnis
pada suatu bentuk persaingan yang sehat karena hukum itu mempunyai sifat
mengikat, memiliki sanksi yang tegas, dan juga memiliki efek penjera (detterent
effect) bagi para pelanggarnya. Hukum pada dasarnya merupakan sebuah kodifikasi
dari espektasi sosial. Namun tidak semua kodifikasi itu berhasil. Adanya
pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum itu sendiri menunjulkan bahwa
sebenarnya hukum saja tidak memadai, karena kendati ada hukum tapi jika tida ada
kesadaran moral yang baik selalu saja ada orang yang mencari celah untuk melanggar
hukum.
Demikian pula, hukum belum tentu baik karena hukum bisa sangat tidak baik
dan tidak adil. Bahwasanya, ketika hukum dijalankan secara konsekuen tanpa
perikemanusiaan dan pertimbangan rasional, ia dapat menjadi tidak adil dan tidak
manusiawi. Maka, para pelaku bisnis perlu memperhatikan peranan moralitas dalam
dunia bisnis tidak hanya pada hukum, tidak hanya sistem legal politik dengan
perangkat hukumnya melainkan juga pada sikap batin. Tentu saja dengan tetap
mengakui bahwa yang dibutuhkan bukan hanya yang minimal semacam aturan
hukum atau prinsip no harm, melainkan juga yang maksimal berupa kesadaran moral
atau paling kurang prinsip semacam integritas moral. (De George, 1993), Dengan
demikian terciptanya praktek bisnis yang ideal adalah sikap dan kesadaran moral
yang baik pada pelaku bisnis di satu pihak tetapi di pihak lain ditunjang oleh sistem
sosial politik dengan perangkat hukum yang kondusif.
C. Utilitarianisme (Van Staveren, 2007)
Menurut (A. Sony Keraf, 1991) Utillitarianisme adalah suatu paham filosofis
yang menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari
tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Karena itu paham ini sering disebut juga
sebagai universilsme etis. Universalisme karena menekankan akibat baik yang
berguna bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik.
Dan disebut utilitarianisme karena menilai baik atau buruknya suatu tindakan
berdasarkan kegunaan atau manfaat dari tindakan itu. Paham ini sering dikenal dalam
istilah “The Greatest Good for The Greatest Number.”
1. Penerapan Utilitarianisme dalam Dunia Bisnis (Kayi, 2012)
Motivasi dasar yang mendorong manusia untuk melakukan suatu tindakan
adalah untuk mengejar akaibat baik yang sebesar mungkin. Oleh karena itu
Tantangan Etika Bisnis dalam Dunia Bisnis Sebuah Refleksi Filosofis Tentang
Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
1508 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
utilitariansme menekankan agar kita selalu bertindak untuk mengusahakan nilai
baik bagi sebanyak mungkin orang. Sejalan dengan itu tujuan dari tindakan kita
yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejahteraan manusia sebanyak
mungkin dengan memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat. Suatu
tindakan dipilih dan pada gilirannya dinilai baik karena tindakan itu akan
mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakan lainnya. Dengan
demikian dalam kerangka pengambilan keputusan bisnis akan mengarah pada
kalkulasi keuntungan (profit) atau nilai lebih yang akan diperoleh suatu tindakan
atau kebijakan tertentu. Akibat atau nilai lebih yang hendak dicapai diukur
berdasarkan banyaknya orang yang akan memperoleh manfaat dari nilai lebih itu.
Etika utilitarianisme ini dalam prakteknya mengutamakan kepentingan banyak
orang di atas kepentingan segelintir orang.
2. Keterbatasan Utilitarianisme (Christians, 2007)
Etika utilitarianisme cenderung bersifat pragmatis (Murwadji, 2016) dalam
arti yang negatif. Dalam pengambilan keputusan mengenai tindakan atau
kebijakan tertentu dengan etika utilitarainisme, orang cenderung terlalu
menekankan kegunaan praktis bagi sebanyak mungkin orang, tetapi persoalannya
sebanyak mungkin orang menurut penilaian siapa? Artinya siapa yang berhak
memperoleh kegunaan dari tindakan atau kebijakan itu sering hanya ditentukan
secara sepihak oleh mereka yang mengambil keputusan. Akibatnya etika
utilitarianisme ini cenderung mengorbankan pihak-pihak kecil dan lemah yang
seharusnya juga ikut menikmati kegunaan yang akan dicapai, sehingga hak-hak
kelompok yang lemah terabaikan. Dengan demikian etika utilitarianisme ini juga
dengan sendirinya dalam tataran praksis akan menciptakan bentuk-bentuk
ketidakadilan baru bagi kaum minoritas. Belum lagi kalau soal produksi barang
bagi konsumen yang tidak terjamin mutunya sebagai akibat dari focus mencapai
keuntungan yanga sebesar-besarnya demi sebanyak mungkin orang.
D. Etika Kebajikan (Virtue Ethics)
Secara filosofis, virtue ethics (Athanassoulis, 2013) mengarah pada suatu
sistem etika yang pada dasarnya memfokuskan diri pada persoalan bagaimana
seharusnya seseorang menjadi manusia. Lebih tegasnya berpusat pada pertanyaan
“saya harus menjadi macam apa?” Sasaran yang mau dicapai dalam penerapan virtue
ethics ini adalah adalah untuk mengembangkan kebajikan-kebajikan dalam diri
pribadi seseorang. Jika diperhatikan dengan teliti dan seksama, maka kita dapat
menemukan bahwa etika kebajikan (virtue ethics) ini mengacu kembali kepada
ajaran etika Aristoteles. Etika Aristoteles adalah etika teleologis, yakni etika yang
mengukur benar-salahnya tindakan manusia dari menunjang tidaknya tindakan
tersebut ke arah pencapaian tujuan (telos) akhir yang ditetapkan sebagai tujuan hidup
manusia (Sudarminta, 2013).
Setiap tindakan menurut Aristoteles diarahkan pada suatu tujuan yakni pada
yang baik (agathos). Yang baik adalah apa yang secara kodrati menjadi arah tujuan
akhir (causa finalis) adanya sesuatu. Pertanyaan pokok suatu teori moral adalah
Carolus L Tindra Matutino Kinasih
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1509
manakah yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia dengan segala
kegiatannya. Yang baik yang menjadi tujuan akhir hidup manusia menurut
Aristoteles adalah kebahagiaan atau kesejahteraan (eudaimonia). Aristoteles sadar
bahwa adanya banyak pendapat tentang apa yang membahagiakan: ada yang
menganggap itu kenikmatan, kekayaan, kekuasaan. Masalahnya sekarang adalah
bukan apa yang senyatanya dicari manusia sebagai yang dianggap membahagiakan,
melainkan apa yang semestinya menjadi tujuan hidup manusia. Adakah manusia
mempunyai tujuan yang paling pokok untuk mana tujuan-tujuan lain diarahkan?
Kalau ini diketahui, maka menurut Aristoteles, inilah yang menjadi tujuan akhir
setiap tindakan manusia dan yang akan memberikan kebahagiaan sejati untuknya.
E. Perbedaan Etika Kebajikan dengan Etika Kewajiban (Ethics of Duty)
Etika kewajiban (Segon, 2010) mengarah pada apa yang wajib dilakukan oleh
manusia. Paham ini kurang lebih sepadan dengan paham etika deontologi, karena
menekankan konsep kewajiban (dalam bahasa Yunani berasal dari kata deon) moral
yang wajib ditaati manusia sebagai makhluk rasional.
(Sudarminta, 2013) Etika deontologis ini dipelopori oleh Immanuel Kant
(1724-1804) yang berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlak dan
tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yang
menguntungkan atau tidak. Kaidah etika deontologi ini dapat dirumuskan sebagai
berikut: betul salahnya suatu sikap atau tindakan tidak tergantung dari sikap atau
tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk, melainkan apakah sesuai dengan
norma-norma atau hukum moral atau tidak. Kant sangat menekankan kemurnian
motivasi sebagai ciri pokok tindakan moral dan kemurnian ini nampak dari sikap
mentaati kewajiban moral demi hormat terhadap hukum atau norma yang mengatur
tingkah lakunya bukan demi alasan lain. Pelaksanaan tugas dan kewajiban moral
dianggap menguntungkan dirinya atau orang lain, dianggap tidak ada kaitannya
dengan moralitas. Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika
deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya,
melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk, misalnya
memberikan pelayanan yang prima kepada semua konsumen, untuk mengembalikan
utangnya sesuai dengan janji, untuk menawarkan barang dengan mutu yang terjamin,
dan sebagainya (A. Sony Keraf, 1991).
F. Relevansi Etika Dalam Dunia Bisnis
Menyoal relevansi etika bagi dunia bisnis sampai sekarang kiranya tetap
menjadi sebuah perdebatan tersendiri. Malahan Thomas I. White mencatat bahwa
hingga tahun 1960-an, business ethics masih sering diolok-olok sebagai
“oxymoron”. (Thomas I, 1993) Begitu pula pengertian bisnis itu sendiri dilihat
bertentangan dengan etika karena dalam dalam tataran praksis bisnis sering terjadi
bahwasanya untuk mencapai keberhasilan, para pelaku bisnis harus berani
melakukan tindakan yang tidak terpuji. Namun dewasa ini semakin banyak kalangan
yang menganggap kata etika (Velasquez, 2002) merupakan penyeimbang bagi kata
bisnis sehingga dengan keseimbangan itu bisnis mengarah pada suatu persaingan
Tantangan Etika Bisnis dalam Dunia Bisnis Sebuah Refleksi Filosofis Tentang
Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
1510 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
yang sehat. Beberapa yang lain malah mengobservasi bahwa pengertian etika itu
termuat dalam pengertian bisnis terutama bisnis yang sukses dan bertahan dalam
jangka panjang.
Nilai-nilai etika seperti keuntungan dan kesejahteraan bersama, hak-hak asasi
manusia, keadilan dan pelestarian lingkungan, diperhitungkan dalam proses
pengambilan keputusan bisnis. Norma-norma perilaku yang menjamin nilai-nilai etis
itu dituangkan ke dalam perangkat hukum menjadi kewajiban dan larangan hukum
serta aturan-aturan asosiasi industri atau pun kode etik perusahaan (Nugroho, 2001).
Keputusan dan tindakan konkret akan diserahkan kepada masing-masing
orang sesuai dengan pertimbangan suara hatinya. Jadi, pemikiran etis bukan soal
mengorbankan kepentingan pribadi dan perusahaan demi pihak lain, juga bukan soal
berbuat baik kepada pihak lain. Tapi bagaimana mencapai yang terbaik dalam situasi
konkret yang paling mungkin bagi semua pihak yang terkait, yang secara etis pun
akan dibenarkan. Dan justru inilah sekaligus adalah pemikiran strategis. Secara
konkret itu berarti, dalam kerangka kepentingan bisnis dan kerangka nilai-nilai etis
yang dianut, para pelaku bisnis dituntut untuk berusaha merumuskan dan mencapai
tujuan bisnis sedemikian rupa untuk pada akhirnya tidak adanya menguntungkan diri
dan perusahaan melainkan juga bagi banyak pihak lain. Dengan demikian tidaklah
berlebihan kalau Lynn Sharp Paine, seorang profesor di sekolah manajemen
bergengsi Havard Business School, berkesimpulan bahwa pemikiran moral ataupun
etis sama esensialnya bagi para manejer atau para pelaku bisnis umumnya sama
seperti pemikiran strategis-intrumental bisnis.
Walaupun demikian perkembangan pemikiran etika dan bisnis itu sendiri,
tidaklah sederhana dan mudah bagi kita untuk secara bulat menyimpulkan bahwa
etika itu dengan sendirinya relevan atau tidak bagi dunia bisnis karena dalam
realitasnya tetap ada pro dan kontra persepsi eksistensi etisi dalam penerapan bisnis.
Keberadaan pandangan baik yang menganggap etika itu relevan bagi dunia bisnis,
maupun yang berpandangan bahwa etika tidak relevan dal dunia bisnis justru bisa
saling melengkapi satu sama lain. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa bisnis
tetap bergerak dalam pergulatan relevan dan tidak relavannya etika dalam bisnis itu
sendiri. Paling kurang ada empat pandangan pokok yang menyatakan bahwa etika
tidak relevan, bahkan tidak perlu memberi tempat bagi etika dalam dunia bisnis,
yakni legalisme, mitos bisnis amoral, mitos bisnis immoral, dan “good ethics good
business”.
Legalisme menyatakan bahwa para pelaku bisnis hanya cukup memahami
hukum-hukum bisnis yang ada, tanpa perlu memberi pertimbangan pada etika.
Sedangkan mitos bisnis Amoral yang diprakarsai oleh Richard T. De George di
kalangan bisnis Amerika Serikat, menyatakan bahwa bisnis terutama berurusan
dengan upaya mencari untung, karenanya bisnis tidak perlu peduli terhadap etika.
Tekanan amoral di sini berarti bahwa para pelaku bisnis itu bebas dari kewajiban
mempertimbangkan aspek moral eksplisit dari perilaku mereka dalam organisasi
bisnis yang dijalankannya (De George, 1993). Sementara itu mitos bisnis immoral
Carolus L Tindra Matutino Kinasih
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1511
menyatakan bahwa kalaupun perilaku bisnis dapat dinilai secara moral, maka
hasilnya dan bahkan secara apriori dapat diputuskan akan selalu negatif. Terakhir
“good ethics good business” menyatakan bahwa para pelaku bisnis haruslah
terutama memikirkan keuntungan bersih maksimal masing-masing, agar dengan
begitu maka semua pihak akan sejahtera.
Sebaliknya ada juga dua pandangan yang menyatakan bahwa justru etika itu
relevan bagi dunia bisnis, yakni Good ethics, good business,” dan “Balance
scorecard”. Posisi “Good ethics, good business” membuat etika menjadi “explisit
knowledge” dalam organisasi bisnis. Ia menyatakan bahwa etika harus dirumuskan
dan dibuat efektif dalam bentuk kode etik, diintegrasikan ke dalam budaya
perusahaan, disosialisasikan kepada segenap karyawan (atau “pelanggan internal”),
utamanya oleh pimpinan puncak dan para manajernya, serta diperkenalkan dan
ditampilkan kepada para pelanggan dan publik lebih luas antara lain melalui pada
“frontliners.” Secara strategis, etika harus dirumuskan ke dalam visi dan misi
perusahaan, meresapi rencana-rencana serta pengambilan keputusan, menggerakkan
dan memotivasi serta memberi perspektif pada para karyawan, meyakinkan serta
menjawab ekspektasi pelanggan (yang juga memuat ekspektasi berdimensi etis).
Demikianlah, bagi posisi “Good ethics, good business,” etika merupakan
unsur strategis bagi kesuksesan bisnis, khususnya kesuksesan bisnis yang
berkelanjutan. Memang kinerja etis bukan satu-satunya faktor penentu bagi sukses
bisnis, tetapi kinerja etis merupakan salah satu faktor dominan. Sejalan dengan
“Good ethics, good business,” paham “Balance scorecard” menyatakan bahwa
kesuksesan sebuah organisasi bisnis tidaklah dapat diukur dan juga diprediksi dari
besaran-besaran sosial, seperti kepuasan dan loyalitas karyawan, kepuasan dan
loyalitas pelanggan, serta citra sosial. Bisnis yang punya peluang sukses ialah bisnis
yang melakukan pengukuran pada “sisi keras” (hard measurement) dengan
menggunakan besaran-besaran finansial, maupun “sisi lunak” (soft measurement)
dengan menggunakan besaran-besaran sosial, yakni kualitas interaksi sosial antara
organisasi bisnis itu dengan para pelanggan internal, eksternal, maupun publik yang
lebih luas (Nugroho, 2001).
Kesimpulan
Jauhnya sentuhan etika atas bisnis disebabkan oleh terlalu terfokusnya perhatian,
tanggung jawab dan kewajiban para pelaku bisnis dan manajer untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Usaha untuk meraih keuntungan telah menenggelamkan,
mendiamkan, dan mengubur kesadaran para pelaku moral para pelaku bisnis untuk
berbisnis secara baik dan etis, terlepas dari kenyataan bahwa masih banyak juga yang
tetap punya kesadaran moral yang peka.
Dengan demikian, sehubungan dengan dunia bisnis, sebenarnya etika memberi
orientasi bagi manusia sebagai pelaku bisnis untuk bertindak secara baik, orientasinya
terutama dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan, peringatan-peringatan tentang
kendala, kondisi, dan situasi konkret yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan suatu
Tantangan Etika Bisnis dalam Dunia Bisnis Sebuah Refleksi Filosofis Tentang
Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
1512 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
tindakan, serta apa saja aspek-aspek yang perlu diperhatikan untuk bisa bertindak secara
baik sebagai manusia. Keputusan dan tindakan konkret seperti apa yang akan dilakukan
oleh berbagai pertimbangan yang akan diambil sesuai dengan situasi konkret.
Carolus L Tindra Matutino Kinasih
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1513
BIBLIOGRAFI
A. Sony Keraf. (1991). Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur.
Yogyakarta: Kanisius.
Athanassoulis, Nafsika. (2013). Virtue ethics. Britania Raya: A&C Black.
Christians, Clifford G. (2007). Utilitarianism in Media Ethics and Its Discontents. Journal
of Mass Media Ethics, 22(23), 113131.
De George, Richard T. (1993). Competing With Integrity in International Business.
Oxford: University Press on Demand.
Devine, G. (1997). 101 Tanya Jawab Tentang Etika Bisnis. Jakarta: Obor
Fahmi, Irham. (2013). Etika Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Hasbiansyah, O. (2008). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam
Ilmu Sosial dan Komunikasi. Mediator: Jurnal Komunikasi, 9(1), 163180.
Kayi, Hayriye. (2012). Teaching Speaking: Activities to Promote Speaking in a Second
Language. Новейшие Научные Достижения, 12(2012).
Keraf, A. Sonny, & Imam, Robert Haryono. (1995). Etika Bisnis: Membangun Citra
Bisnis sebagai Profesi Luhur. Yogyakarta: Kanisius.
Murwadji, Tarsisius. (2016). Etika Bisnis sebagai Dasar “Pertanggungjawaban Sosial dan
Lingkungan” Perbankan. Jurnal Hukum Positum, 1(1), 122.
Ningsih, Ekawati Sri Wahyu, & Syafiq, Muhammad. (2014). Pengalaman Menjadi Pria
Transgender: Sebuah Studi Fenomenologi. Jurnal Penelitian Psikologi, 3(2), 16.
Nugroho, Alois A. (2001). Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis. Jakarta: Grasindo.
Segon, Michael. (2010). Managing Organisational Ethics: Professionalism, Duty and HR
Practitioners. Journal of Law and Governance, 5(4), 13-25
Smith, Pamela H. (2016). The Business of Alchemy: Science and Culture in the Holy
Roman Empire. Princeton University Press.
Sudarminta, Justinus. (2013). Etika Umum Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan
Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Thomas I. (1993). White, Business Ethics: A Philosophical Reade. New York: Macmillan.
Van Staveren, Irene. (2007). Beyond Utilitarianism and Deontology: Ethics in
Economics. Review of Political Economy, 19(1), 2135.