Carolus L Tindra Matutino Kinasih
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1511
menyatakan bahwa kalaupun perilaku bisnis dapat dinilai secara moral, maka
hasilnya dan bahkan secara apriori dapat diputuskan akan selalu negatif. Terakhir
“good ethics good business” menyatakan bahwa para pelaku bisnis haruslah
terutama memikirkan keuntungan bersih maksimal masing-masing, agar dengan
begitu maka semua pihak akan sejahtera.
Sebaliknya ada juga dua pandangan yang menyatakan bahwa justru etika itu
relevan bagi dunia bisnis, yakni Good ethics, good business,” dan “Balance
scorecard”. Posisi “Good ethics, good business” membuat etika menjadi “explisit
knowledge” dalam organisasi bisnis. Ia menyatakan bahwa etika harus dirumuskan
dan dibuat efektif dalam bentuk kode etik, diintegrasikan ke dalam budaya
perusahaan, disosialisasikan kepada segenap karyawan (atau “pelanggan internal”),
utamanya oleh pimpinan puncak dan para manajernya, serta diperkenalkan dan
ditampilkan kepada para pelanggan dan publik lebih luas antara lain melalui pada
“frontliners.” Secara strategis, etika harus dirumuskan ke dalam visi dan misi
perusahaan, meresapi rencana-rencana serta pengambilan keputusan, menggerakkan
dan memotivasi serta memberi perspektif pada para karyawan, meyakinkan serta
menjawab ekspektasi pelanggan (yang juga memuat ekspektasi berdimensi etis).
Demikianlah, bagi posisi “Good ethics, good business,” etika merupakan
unsur strategis bagi kesuksesan bisnis, khususnya kesuksesan bisnis yang
berkelanjutan. Memang kinerja etis bukan satu-satunya faktor penentu bagi sukses
bisnis, tetapi kinerja etis merupakan salah satu faktor dominan. Sejalan dengan
“Good ethics, good business,” paham “Balance scorecard” menyatakan bahwa
kesuksesan sebuah organisasi bisnis tidaklah dapat diukur dan juga diprediksi dari
besaran-besaran sosial, seperti kepuasan dan loyalitas karyawan, kepuasan dan
loyalitas pelanggan, serta citra sosial. Bisnis yang punya peluang sukses ialah bisnis
yang melakukan pengukuran pada “sisi keras” (hard measurement) dengan
menggunakan besaran-besaran finansial, maupun “sisi lunak” (soft measurement)
dengan menggunakan besaran-besaran sosial, yakni kualitas interaksi sosial antara
organisasi bisnis itu dengan para pelanggan internal, eksternal, maupun publik yang
lebih luas (Nugroho, 2001).
Kesimpulan
Jauhnya sentuhan etika atas bisnis disebabkan oleh terlalu terfokusnya perhatian,
tanggung jawab dan kewajiban para pelaku bisnis dan manajer untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya. Usaha untuk meraih keuntungan telah menenggelamkan,
mendiamkan, dan mengubur kesadaran para pelaku moral para pelaku bisnis untuk
berbisnis secara baik dan etis, terlepas dari kenyataan bahwa masih banyak juga yang
tetap punya kesadaran moral yang peka.
Dengan demikian, sehubungan dengan dunia bisnis, sebenarnya etika memberi
orientasi bagi manusia sebagai pelaku bisnis untuk bertindak secara baik, orientasinya
terutama dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan, peringatan-peringatan tentang
kendala, kondisi, dan situasi konkret yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan suatu