1682 http://dx.doi.org/10.36418/syntax-literate.v5i12.1922
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia pISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 12, Desember 2020
EDUKASI APOTEKER DALAM MENGUBAH PENGETAHUAN, PERSEPSI
DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP ANTIBIOTIK DI JAKARTA
SELATAN
Setiyarini dan Shirly Kumala
Magister Kefarmasian Universitas Pancasila Jakarta, Indonesia
Abstract
This study aims to measure public knowledge before and after counseling and
analyze the influence of antibiotic use counseling on the level of public knowledge.
This study used quasi-experimental studies with the Nonrandomized control Group
Pretest Postest Design experiment. Sampling was done by Convenient Sampling
technique with Slovin formula on health cadre mothers in Jati Padang Pasar
Minggu Village, South Jakarta. In the control group of 47 people were not given
counseling and the treatment group of 47 people who were given counseling on
antibiotics. research instruments in the form of questionnaires by Huang. et al.
which contains 17 questions about antibiotics. To analyze sociodemographic
picture, knowledge, perception and attitude, used frequency test that showed no
difference in sociodemographic condition between two groups, different mean
knowledge, perception and attitude before and after counseling used Mann Whitney
test, Wilcoxon test to analyze different mean knowledge, perception and attitude
control group with treatment group and Spearman test to know the relationship
between knowledge, perception and attitude. The results showed that the knowledge,
perception and attitude of the two groups before counseling was no different.
However, after counseling there was an increase in the percentage of respondents
who answered appropriately in the treatment group. After counseling there were
significant differences in knowledge, perception and attitudes between treatment
and control groups (P<0.05). Knowledge value increased by 43.9% in treatment
group and 18% on control, perception by 100% in treatment group and 14.4% on
control, attitude by 22.5% in treatment group and 9.40% on control. The results
showed that knowledge and age have a close relationship with attitudes (P<0.05).
So it is concluded that the higher the level of knowledge of respondents, the better
attitude.
Keywords: knowledge; perception; attitude; antibiotics; resistance
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengetahuan masyarakat sebelum dan
sesudah penyuluhan serta menganalisis pengaruh penyuluhan penggunaan
antibiotika terhadap tingkat pengetahuan masyarakat. Penelitian ini menggunakan
studi quasi-experimental dengan percobaan Nonrandomized control Group Pretest
Postest Design. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Convenient Sampling
dengan rumus Slovin pada ibu-ibu kader kesehatan di Kelurahan Jati Padang Pasar
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1683
Minggu Jakarta Selatan. Pada kelompok kontrol berjumlah 47 orang tidak diberikan
penyuluhan dan kelompok perlakuan 47 orang yang diberikan penyuluhan tentang
antibiotik. Instrumen penelitian berupa kuisioner yang berisi 17 pertanyaan
mengenai antibiotik. Untuk menganalisis gambaran sosiodemografi, pengetahuan,
persepsi dan sikap, digunakan uji frekuensi yang menunjukkan tidak ada perbedaan
kondisi sosiodemografi diantara dua kelompok, beda mean pengetahuan, persepsi
dan sikap sebelum dan sesudah penyuluhan digunakan uji Mann Whitney, uji
Wilcoxon untuk menganalisis beda mean pengetahuan, persepsi dan sikap kelompok
kontrol dengan kelompok perlakuan dan uji Spearman untuk mengetahui hubungan
antara pengetahuan, persepsi dan sikap. Hasil penelitian menunjukkan gambaran
pengetahuan, persepsi dan sikap kedua kelompok sebelum dilakukan penyuluhan
tidak berbeda maknanya. Namun setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan
persentase responden yang menjawab dengan tepat pada kelompok perlakuan.
Setelah penyuluhan terjadi perbedaan bermakna pada pengetahuan, persepsi dan
sikap antara kelompok perlakuan dan kontrol (P<0,05). Peningkatan nilai
pengetahuan sebesar 43,9% pada kelompok perlakuan dan 18% pada kontrol,
persepsi sebesar 100% pada kelompok perlakuan dan 14,4% pada kontrol, sikap
sebesar 22,5% pada kelompok perlakuan dan 9.40% pada kontrol. Hasil analisis
menunjukan pengetahuan dan usia mempunyai hubungan yang erat dengan sikap
(P<0,05). Sehingga disimpulkan semakin tinggi tingkat pengetahuan responden
maka sikap semakin baik.
Kata kunci: pengetahuan; persepsi; sikap; antibiotik; resistensi
Pendahuluan
Antibiotik merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba terutama
fungi, yang dapat menghambat ataupun membasmi mikroba jenis lain, agar dapat efektif
maka antibiotik harus bersifat toksisitas selektif. Antibiotik tersebut haruslah bersifat
sangat toksik untuk mikroba, tetapi tidak toksik untuk hospes (Gunawan, 2007).
Masyarakat umumnya mendapatkan antibiotik dari dokter setelah dilakukan
pemeriksaan, selain itu antibiotik juga dapat diperoleh dengan mudah di toko obat,
warung dan juga kios kaki lima. Pemerintah telah mengeluarkan aturan untuk penjualan
obat keras termasuk antibiotik. Namun hal ini tetap dilakukan oleh pedagang, apotek,
toko obat sehingga masyrakat mendapatkan antibiotik dengan bebas. Contohnya
banyaknya permintaan antibiotika tanpa resep dokter dilayani dengan terbuka oleh
petugas apotek. Perilaku masyarakat dalam penggunaan antibiotika secara luas ini
sangat dimungkinkan akibat mudahnya akses masyarakat dalam memperoleh antibiotika
(Abdulhak et al., 2011).
Pemakaian antibiotik yang bebas akan berakibat pada resistensi. Resistensi
antibiotika akan menimbulkan permasalahan dalam penanganan penyakit infeksi yang
berakibat pada kegagalan terapi dan berujung pada meningkatnya morbiditas dan
mortalitas (Holloway & Van Dijk, 2011). Umumnya pasien yang memperoleh antibiotik
perlu diberikan informasi melalui edukasi, pelayanan informasi obat atau konseling.
Akan tetapi, karena obat diberi dengan bebas tanpa resep dokter maka tentunya
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1684 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
informasi tersebut tidak diperoleh pasien (Puspitasari, Faturrohmah, & Hermansyah,
2011).
Masalah penggunaan antibiotika yang tidak rasional dan cenderung tidak
terkontrol terjadi di negara berkembang dan di negara maju (Utami, 2011). Hal ini dapat
dilihat untuk kawasan Asia Tenggara, penggunaan antibiotik sangat tinggi bahkan lebih
dari 80% di banyak provinsi di Indonesia. Beberapa contoh kasus di negara berkembang
menunjukan bahwa 40% anak-anak yang terkena diare akut, selain mendapatkan oralit
juga antibiotik yang tidak semestinya diberikan dan 60% penderita ISPA
mengkonsumsi antibiotik dengan tidak tepat (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Menurut Briceland et al., obat yang diresepkan yang mempunyai frekuensi
kesalahan terbanyak adalah betalaktam (46%), diikuti aminoglikosida (12%), makrolida
(6%) dan anti fungi (5%). Masalah penggunaan yang tidak tepat dari antibiotika
merupakan masalah peresepan yang tidak rasional yang paling besar di dunia, dari
dahulu sampai sekarang, di rumah sakit maupun di komunitas (HMS, 1996). Tak
mengherankan kalau salah satu indikator penggunaan obat yang tidak rasional di suatu
pelayanan kesehatan adalah angka penggunaan antibiotika (Hardon, Brudon-
Jakobowicz, Reeler, & Organization, 1992).
Penggunaan antibiotika di Indonesia kerap diberikan pada kasus-kasus infeksi
yang tidak memerlukan antibiotika, seperti infeksi pernafasan atas dan infeksi saluran
cerna yang diakibatkan oleh virus (Muras, Krajewski, Nocun, & Godycki-Cwirko,
2013).
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada penggunaan antibiotika di
kalangan masyarakat diperlukan edukasi dan berbagai aspek yang berkaitan dengan
penggunaan antibiotika agar tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
penggunaan antibiotika dapat mencapai tahap yang diinginkan, sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan antibiotika di kalangan masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi ketepatan penggunaan antibiotik pada masyarakat
salah satunya adalah tingkat pengetahuan mengenai antibiotik. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan tersebut seperti tingkat pendidikan dari masyarakat,
penjelasan oleh dokter serta anggapan-anggapan lain yang menimbulkan adanya
kesalahan saat mengonsumsi antibiotik. Tingkat pengetahuan masyarakat dalam
penggunaan antibiotik telah diteliti diberbagai daerah antara lain di Putrajaya, Malaysia
dan di Yogyakarta (Lim & Teh, 2012; Widayati, Suryawati, de Crespigny, & Hiller,
2012).
Apoteker merupakan tenaga kesehatan yang memiliki dasar pendidikan dan
keterampilan di bidang farmasi serta diberi wewenang dan tanggung jawab untuk
melaksanakan pekerjaan kefarmasian yang berorientasi pada pasien. Hal ini menuntut
apoteker untuk memiliki pengetahuan yang luas dalam melaksanakan pelayanan
kefarmasian di bidang farmasi klinis tersebut. Apoteker mempunyai peranan penting
dalam pengaplikasian langsung terhadap masyarakat berupa pemberian informasi obat
lewat konseling dan memonitoring penggunaannya. Untuk penggunaan antibiotik tidak
bisa diawasi langsung karena membutuhkan proses dan waktu yang berkesinambungan.
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1685
Hal ini memungkinkan penggunaan yang tidak semestinya (Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006).
Peran apoteker dalam edukasi/informasi yang berkaitan dengan penggunaan
antibiotika yang tepat dimaksudkan agar tingkat pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang penggunaan antibiotika yang tepat dapat mencapai tahap yang
diinginkan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyalahgunaan antibiotika di
kalangan masyarakat.
Penyuluhan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menambah
pengetahuan/informasi bagi masyarakat. Keefektifan dari penyuluhan dapat diketahui
dengan melakukan pengukuran tingkat pengetahuan yang dilakukan sebelum dan
sesudah penyuluhan sehingga dapat diketahui perubahan tingkat pengetahuan
masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Chalvy et, al (2013) menunjukkan bahwa
penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang antibiotik di kota
Manado (Wowiling, Goenawi, & Citraningtyas, 2013).
Selain pengetahuan, juga dilakukan pengukuran terhadap sikap dan persepsi
masyarakat mengenai antibiotik seperti penelitian yang dilakukan oleh Nurafni (2015)
yang menunjukan bahwa penyuluhan dapat meningkatkan nilai pengetahuan, persepsi,
sikap dan perilaku kelompok perlakuan pada masyarakat di Kelurahan Srengseng
Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan (Silvi, 2015). Penelitian di Selandia Baru terkait
pengetahuan para guru sekolah dasar terhadap penggunaan antibiotik membuktikan
bahwa mayoritas guru (79%) dari 266 responden mengetahui penggunaan antibiotik.
Hal ini mempunyai efek pada berbagai aspek karena pendidikan disana berpengaruh
besar dan guru pun menjadi mediator yang berperan penting untuk menerapkan
pengetahuannya kepada muridnya (Norris et al., 2010).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan
menganalisis pengaruh intervensi Apoteker melalui penyuluhan terhadap tingkat
pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat mengenai antibiotik. Dalam upaya
menekan tingginya angka kejadian resistensi terhadap antibiotik, edukasi mengenai
penggunaan antibiotik secara tepat merupakan hal yang penting untuk mencegah
resistensi (Organisation, 1985).
Berdasarkan penelitian pendahuluan dengan menyebar kuesioner tentang
pengetahuan, sikap dan persepsi yang digunakan pada penelitian Huang et. al (2013),
kepada 10 responden dan didapatkan hasil bahwa 70% responden dalam hal
pengetahuan belum banyak mengetahui resistensi antibiotik dan bahaya resistensi, serta
80% memperoleh antibiotik dengan cara yang tidak benar (Huang et al., 2013).
Penelitian yang berkaitan dengan persepsi menunjukan belum banyak sumber informasi
untuk mengetahui tentang antibiotik 30% dan sikap terhadap penyalahgunaan antibiotik
dan penyebabnya sebesar 40%. Selain itu juga banyak ditemukan oleh peneliti di
beberapa warung terdekat disekitar wilayah penelitian (5 dari 8 warung) menjual
antibiotik secara bebas. Hal ini tentu akan meningkatkan resiko masyarakat terhadap
akibat buruk dari penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau rasional peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian melalui penyuluhan terkait masalah yang terjadi.
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1686 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
Dengan demikian peneliti dapat memberikan informasi kepada masyarakat agar
lebih selektif dalam menggunakan antibiotik. Lokasi ini dipilih sebagai tempat
penelitian karena belum pernah dilakukan penyuluhan tentang antibiotik di Kelurahan
Jati Padang Pasar Minggu Jakarta Selatan. Subyek penelitian dibagi menjadi 2
kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada kedua kelompok
tersebut dilakukan pengukuran pengetahuan, persepsi dan sikap dengan menggunakan
kuesioner.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan studi quasi-experimental dengan percobaan
Nonrandomized control Group Pretest Postest Design pada ibu-ibu kader kesehatan
warga RW di Kelurahan Jati Padang Pasar Minggu Jakarta Selatan. Pengambilan
sampel dengan teknik Convenient sampling menggunakan rumus Slovin pada ibu-ibu
kader kesehatan warga RW di Kelurahan Jati Padang Pasar Minggu Jakarta Selatan
yang pernah mengetahui atau menggunakan antibiotik. Pengumpulan data dengan
menggunakan lembaran pengumpul data dan kuesioner yang berisi pertanyaan tentang
pengetahuan, persepsi dan sikap yang dilakukan dengan wawancara bebas terpimpin
berdasarkan kuesioner yang telah valid dan reliabel. Kemudian lembaran data ini
dijadikan sebagai lembaran penelitian.
Penelitian ini menganalisa pengaruh antara variabel independen 1 yaitu pemberian
edukasi mengenai antibiotik, variabel perancu yang meliputi usia, pendidikan dan
pekerjaan dan variabel independen 2 yaitu pengetahuan tentang antibiotik, variabel
antara tentang persepsi tentang sumber antibiotik, terhadap variabel dependen yaitu
sikap terhadap penyalahgunaan antibiotik. Data yang diambil meliputi data sosio
demografi yang diperoleh dengan menggunakan formulir pengumpul data, sedangkan
pengetahuan, persepsi dan sikap diperoleh dengan menggunakan kuisioner yang disusun
oleh Huang et al., (2013). Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan program
pengolah data statistika.
Hasil dan Pembahasan
A. Karakteristik Sosio Demografi Responden
Penelitian ini bertujuan mengukur pengetahuan, persepsi dan sikap
responden. Sebelum hal itu dapat dilakukan perlu dipastikan bahwa responden yang
digunakan memiliki kondisi sosiodemografi yang sama. Oleh karena itu dilakukan
uji beda mean antara kelompok kontrol dan perlakuan.
Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara kondisi
sosiodemografi pada kedua kelompok tersebut (p>0,05). Data karakteristik dan uji
beda mean pada kelompok responden dapat dilihat pada tabel 1
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1687
Tabel 1
Distribusi Karakteristik Sosio Demografi Responden pada
Kelompok Perlakuan dan Kontrol
Variabel
Kelompok
Signifikansi
(P)*
Perlakuan
Kontrol
Kategori Usia Ibu
N (%)
N (%)
a. 28 - 38
10 (21,3%)
10 (21,3%)
0,467
b. 39 - 49
26 (55,3%)
22 (46,8%)
c. 50 - 60
10 (21,3%)
11 (23,4%)
d. 61>
1 (2,1%)
4 (8,5%)
Pendidikan
N (%)
N (%)
a. Tamat SD
4 (8,5%)
7 (0,9%)
0,987
b. Tamat SMP
14 (29,8%)
11 (23,4%)
c. Tamat SMA\
27 (57,4%)
25 (53,2%)
d. Tamat Perguruan Tinggi
2 (4,3%)
4 (8,5%)
Pekerjaan
N (%)
N (%)
a. Ibu Rumah Tangga
47 (100%)
47(100%)
1
*Uji Mann Whitney
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa usia, pendidikan dan pekerjaan dibagi
ke dalam beberapa kategori. Berdasarkan kategori usia terbanyak pada kelompok
perlakuan maupun kelompok kontrol berada pada rentang usia 39-49 tahun,
sedangkan kategori usia paling sedikit berada pada rentang usia > 61 tahun.
Berdasarkan tingkat pendidikan pada kelompok perlakuan maupun kontrol
kategori terbanyak ada pada tingkat SMA, sedangkan kategori pendidikan paling
sedikit ada pada tingkat tamat SD dan tamat Perguruan Tinggi. Sedangkan
pekerjaan ibu pada kelompok perlakuan dan kontrol adalah ibu rumah tangga.
B. Gambaran Pengetahuan Responden pada Penelitian Awal dan Akhir terhadap
Antibiotik
Pengukuran pengetahuan responden dilakukan dengan menggunakan
kuesioner. Berikut adalah tabel gambaran pengetahuan responden (tabel 2) yang
dijelaskan dalam bentuk jumlah responden (%) yang mengetahui hal terkait dengan
bakteri, manfaat antibiotik, sumber perolehan antibiotik, resistensi antibiotik,
identifikasi jenis antibiotik dan efek samping antibiotik.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa sebelum penyuluhan persentase responden
yang menjawab pertanyaan dengan benar pada semua klasifikasi pertanyaan yang
diberikan kepada kelompok perlakuan rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Pengetahuan terkait manfaat antibiotik untuk mengobati infeksi
karena bakteri pada kelompok perlakuan terjadi sedikit peningkatan (dari 91,48%
menjadi 95,74%) dan antibiotik tidak dapat mengobati infeksi karena virus pada
kelompok kontrol memiliki pengetahuan yang lebih baik dari kelompok perlakuan,
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1688 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
tetapi setelah penyuluhan terjadi peningkatan (dari 10,63 % menjadi 85,10%) pada
kelompok perlakuan. Terjadi pula peningkatan dalam menjawab pertanyaan tentang
manfaat antibiotik dapat mempercepat pemulihan penyakit pada kelompok
perlakuan (dari 19,14% menjadi 29,78%).
Tabel 2
Gambaran Pengetahuan Responden Sebelum dan Setelah
Penyuluhan Mengenai Antibiotik
Penelitian Awal
Penelitian Akhir
Perlakuan
Kontrol
Perlakuan
Kontrol
89,36%
a
100%
a
96,80%
a
100%
a
91,48%
a
10,63%
a
19,14%
a
22,91%
a
68,75%
a
68,75%
a
95,74%
a
85,10%
a
29,78%
a
61,45%
a
49,26%
a
97,91%
a
41,71%
a
20,83%
a
63, 7%
a
90,62%
a
19,14%
a
68,75%
a
91,40%
a
23,95%
a
45,38%
b
93,61
34,04
8,51
56,24%
b
93,75
58,33
16,66
86,87%
b
100
94,68
65,95
77,07%
b
100
93,745
37,49
31,38
b
36,45
b
65,24
b
50,77
b
a
Persentase Responden Yang Menjawab Pertanyaan dengan Benar
b
Persentase Responden Yang Mampu Mengidentifikasi Jenis Antibiotika
dan memberikan Pendapat mengenai Efek Samping
Sebelum penyuluhan, presentase responden yang menjawab benar paling
banyak baik di kelompok perlakuan maupun di kelompok kontrol ada pada
klasifikasi pertanyaan tentang bakteri yaitu ada tidaknya bakteri yang baik terhadap
kesehatan. Sedangkan presentase responden yang menjawab benar paling sedikit di
kelompok perlakuan maupun di kelompok kontrol ada pada klasifikasi pertanyaan
tentang manfaat antibiotik untuk mengobati infeksi virus. Hal ini menunjukkan
bahwa responden selama ini menggunakan antibiotik untuk mengobati infeksi virus
yang seharusnya tidak membutuhkan antibiotik. Mungkin juga disebabkan karena
responden tidak mengetahui penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus.
Penelitian yang dilakukan oleh (Nuraini, 2015) di Kelurahan Srengseng
Sawah Jagakarsa pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 83% responden menjawab
bahwa antibiotik dapat mengobati infeksi virus. Penelitian yang dilakukan oleh
(Lim & Teh, 2012) di Putrajaya, Malaysia, menyebutkan bahwa 83% responden
tidak mengetahui bahwa antibiotik tidak bekerja untuk melawan infeksi virus dan
82% responden tidak mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat mengobati batuk dan
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1689
flu, sementara 82,5% responden terlihat sangat berhati-hati dengan penggunaan
antibiotik yang dapat menyebabkan alergi. Penelitian tersebut juga menyatakan
bahwa sekitar setengah dari mereka 52,1% tidak mengetahui bahwa antibiotik dapat
menimbulkan banyak efek samping (Lim & Teh, 2012; S, 2015)
Pertanyaan yang berkaitan dengan pembelian antibiotik tanpa resep dokter,
hampir semua responden menjawab bahwa antibiotika dapat dibeli tanpa resep
dokter di apotek atau toko obat. Hasil survei kesehatan masyarakat menunjukkan
bahwa 27,8% rumah tangga menyimpan antibiotik. Penjualan antibiotik di apotek
sebagian diperjual belikan tanpa resep dokter. Masyarakat sering membeli sendiri
antibiotik tanpa anjuran dari dokter dan apotik meluluskan permintaan pembeli
tanpa resep dokter (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Penelitian di Yogyakarta
menunjukkan pembelian antibiotik tanpa resep dokter adalah (7%). Amoksisilin
merupakan antibiotik paling banyak dibeli secara swamedikasi atau sebesar (77%)
selain ampisilin, tetrasiklin, fradiomisin-gramisidin dan ciprofloksasin. Antibiotika
tersebut rata-rata dibeli untuk mengobati gejala flu, demam, batuk, sakit
tenggorokan, sakit kepala, dan gejala sakit ringan lainnya dengan lama penggunaan
sebagian besar kurang dari lima hari (Widayati et al., 2012). Selain itu penelitian
yang dilakukan oleh Yarza dkk (2015) diketahui bahwa persentase sikap
masyarakat yang positif tentang penggunaan antibiotik tanpa resep dokter mencapai
112 responden 73,3% dan responden yang bersikap negatif ada 40 responden
26,3% (Yarza, Yanwirasti, & Irawati, 2015).
Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan
meningkatkan kejadian resistensi (Indonesia, 2013). Khusus untuk kawasan Asia
Tenggara, penggunaan antibiotik sangat tinggi bahkan lebih dari 80% dibanyak
provinsi di Indonesia. Beberapa fakta di negara berkembang menunjukan 40%
anak-anak yang terkena diare akut, selain mendapatkan oralit juga antibiotik yang
tidak semestinya diberikan. Pada penyakit pneumonia sekitar 50-70% yang secara
tepat diterapi dengan antibiotik dan 60% penderita ISPA mengkonsumsi antibiotik
dengan tidak tepat (Dodya Pradana, Purwanti, Ns, & Kep, 2016). Menurut
penelitian Utami, 92% masyarakat Indonesia tidak menggunakan antibiotik secara
tepat (Utami E., 2012). Hal ini menunjukkan mudahnya untuk mendapatkan
antibiotik di kalangan masyarakat padahal dalam undangundang sudah diatur
tentang distribusi antibiotika dalam UndangUndang Obat Keras St.1937 No. 541
Pasal 3 ayat 1 (Setiabudy R, 2008).
Responden dalam mengidentifikasi nama antibiotik sebagian besar hanya
dapat menyebutkan satu nama antibiotik yaitu amoksisilin, bahkan ada beberapa
responden yang tidak dapat mengetahui nama antibiotik tersebut. Setelah dilakukan
penyuluhan terjadi peningkatan kemampuan responden dalam mengidentifikasi
jenisjenis antibiotik yang terlihat dari peningkatan persentase responden yang
menjawab penisilin dan tetrasiklin sebagai antibiotik. Menurut (Widayati et al.,
2012) amoksilin adalah antibiotik yang paling popular di kalangan masyarakat
untuk swamedikasi selain ampisilin dan tetrasiklin. Sebanyak 559 responden di
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1690 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
Kota Yogyakarta, sebesar 7,3% responden menggunakan antibiotik untuk
swamedikasi dalam kurun waktu 1 bulan. Amoksisilin juga berperan sebagai
antibiotik lini pertama yang paling banyak digunakan dalam swamedikasi untuk
mengatasi gejala common cold, seperti batuk, radang tenggorokan, sakit kepala, dan
gejala-gejala lainnya dengan waktu penggunaan kurang dari 5 hari. Alasan
responden menggunakan antibiotik dalam pengobatan sendiri antara lain adalah
karena penggunaan antibiotik sebelumnya yang sudah terbukti berkhasiat (Widayati
et al., 2012).
Pengukuran pengetahuan responden dilakukan setiap 2 minggu sekali selama
1,5 bulan. Gambaran tentang pengetahuan responden telah dijelaskan di atas,
namun ada tidaknya perbedaan pengetahuan antara kelompok kontrol dan
perlakuan sebelum dan sesudah penyuluhan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan Responden
pada Pre-test dan Post-test
Variabel
Kelompok
Pre-test
X
Nilai ± SD
Post-test
X
Nilai ± SD
P
Pengetahuan
Kontrol
70 ± 7,012
83 ± 4,98
0,000
Perlakuan
5,9 ± 7,67
86 ± 3,84
Rerata nilai pengetahuan responden pada awal penyuluhan berbeda pada
kedua kelompok. Setelah satu bulan penyuluhan skor pengetahuan responden lebih
tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol.
C. Gambaran Persepsi Responden pada Penelitian Awal dan Akhir terhadap
Antibiotik
Persepsi adalah proses yang digunakan individu mengelola dan menafsirkan
kesan indra mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka.
Meski demikian apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan
yang objektif (Notoatmodjo, 2007). Responden akan dikenalkan pada sumber
informasi antibiotik yang meliputi tiga pertanyaan tentang darimana responden
mendapatkan informasi tentang antibiotik, darimana responden mendapatkan
sumber informasi mengenai antibiotik dan perlu atau tidaknya dilakukan
penyuluhan tentang antibiotik sebagai sumber informasi. Setelah responden
dikenalkan terhadap sumber informasi diharapkan responden dapat memilih
berbagai sumber yang sudah dikenalkan sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil. Ringkasan gambaran tentang persepsi responden mengenai antibiotik
dapat dilihat pada Tabel 4.
Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa sebelum penyuluhan distribusi presentasi
persepsi terhadap sumber informasi mengenai antibiotik pada kelompok perlakuan
dan kontrol memiliki perbedaan jauh pada jawaban untuk apoteker, apotek, orang-
orang sekitar dan petunjuk obat. Persentase tertinggi sumber informasi tentang
antibiotik yaitu diperoleh dari dokter, kemudian dari apotek dan petunjuk obat
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1691
setelah itu baru dari apoteker dan internet, hal ini menunjukkan bahwa kurangnya
peran apoteker dalam memberikan sumber informasi obat khususnya antibiotik di
kalangan masyarakat.
Namun setelah dilakukan penyuluhan, persentase responden yang memilih
dokter sebagai sumber informasi tetap tinggi pada kelompok perlakuan dan pada
kelompok kontrol terdapat sedikit peningkatan. Sedangkan persentase responden
yang memilih apoteker sebagai sumber informasi antibiotik terjadi banyak
peningkatan pada kelompok perlakuan dan pada kelompok kontrol terjadi sedikit
peningkatan.
Persentase responden yang mendapatkan informasi melalui apoteker dan
internet sebelum dilakukan penyuluhan paling rendah, namun setelah dilakukan
penyuluhan terjadi peningkatan persentase yang lebih tinggi dari persentase
responden yang mendapat informasi dari apotek dan orang-orang sekitar. Hal ini
menunjukkan bahwa persepsi responden yang tadinya meragukan sumber informasi
dari internet ternyata berubah dan menganggap sumber informasi dari internet lebih
baik karena internet merupakan salah satu media elektronik yang digunakan dalam
penyuluhan kesehatan masyarakat 64%, dibandingkan jika responden mendapatkan
sumber informasi dari orang-orang sekitar yang mungkin tidak paham tentang
antibiotik.
Tabel 4
Ringkasan Gambaran Persepsi Responden pada Penelitian Awal dan
Penelitian Akhir Mengenai Antibiotik
Pertanyaan
Penelitian Awal (%)
Penelitian Akhir (%)
Perlakuan
Kontrol
Perlakuan
Kontrol
Sumber informasi
- Dokter
- Apoteker
- Apotek
- Orang-orang sekitar
- Petunjuk obat
- Internet
89%
2,1%
6,4%
6%
9%
6,4%
90%
35%
48%
19%
38%
10%
100%
96%
34%
38%
68%
64%
87,5%
54%
71%
71%
46%
18,8%
Harapan mendapatkan sumber
informasi
a. Tenaga Medis
b. Orang-orang sekitar
c. Buku proffesional
d. Petunjuk obat
e. kegiatan penyuluhan antibiotik
40%
2,1%
2.1%
60%
13%
100%
27%
10%
75%
2,1%
87%
68%
62%
89%
23%
100%
50%
14,6 %
91,7%
4,2%
Perlu tidaknya penyuluhan
antibiotik pada masyarakat
100%
a
100%
a
100%
a
100%
a
a
persentase Responden yang menjawab perlu dilakukan pemyuluhan antibiotik
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1692 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
Ketika ditanyakan apakah diperlukan penyuluhan tentang penggunaan
antibiotik yang rasional di kalangan masyarakat, hampir semua responden
menjawab perlu dilakukan penyuluhan. Hal ini menunjukan pentingnya bagi
responden mengenai penyuluhan antibiotik dari para ahli terutama apoteker.
Pengukuran persepsi responden dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 1,5
bulan. Pada akhir penyuluhan dapat dilihat bahwa rerata skor persepsi responden
pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan lebih tinggi dibandingkan kontrol
pada akhir penyuluhan.
Tabel 5
Perbedaan Rerata Nilai Persepsi Responden pada Pre-test dan Post-test
Variabel
Kelompok
Pre-test
X
Nilai ± SD
Post-test
X
Nilai ± SD
P
Persepsi
Kontrol
51 ± 9,2
59 ± 7,55
0,000
Perlakuan
34 ±6,93
72 ± 7,903
Rerata nilai persepsi responden pada awal penyuluhan tidak jauh berbeda
pada kedua kelompok. Setelah satu setengah bulan penyuluhan skor persepsi
responden lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol.
D. Gambaran Sikap Responden pada Penelitian Awal dan Akhir terhadap
Antibiotik
Ringkasan gambaran tentang sikap responden sebelum dan sesudah
penyuluhan mengenai antibiotik dapat dilihat pada Tabel 6.
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebelum penyuluhan distribusi presentasi
responden yang menjawab pertanyaan dengan benar pada kelompk perlakuan lebih
rendah daripada kelompok kontrol. Namun setelah dilakukan penyuluhan,
persentase responden mengalami peningkatan sikap yang lebih baik pada kelompok
perlakuan yang ditunjukkan dengan menjawab benar pertanyaan, sedangkan pada
kelompok kontrol presentasenya sedikit mengalami perubahan.
Tabel 6
Ringkasan Gambaran Sikap Responden pada Penelitian Awal
dan Penelitian Akhir
Pertanyaan
Penelitian Awal (%)
Penelitian Akhir (%)
Perlakuan
Kontrol
Perlakuan
Kontrol
Penyalahgunaan antibiotik
83%
a
81,3%
a
94,7%
a
100%
a
Penyebab penyalahgunaan
3,32%
b
41,1%
b
57,98%
b
61,22%
b
Resistensi menjadi masalah di
Indonesia
87,2%
a
96%
a
100%
a
98%
a
Penyalahgunaan penyebab resistensi
91,5%
a
95,8%
a
95,5%
a
100%
a
Resistensi mempengaruhi kesehatan
93,6%
a
95,8%
a
97,78%
a
100%
a
a
Persentase Responden yang menjawab pertanyaan dengan benar
b
Persentase Responden yang memberikan pernyataan tentang
penyebabpenyalahgunaan
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1693
Sebagian besar responden baik pada kelompok perlakuan dan kontrol
menjawab bahwa banyak terjadi penyalahgunaan antibiotik saat ini. Hasil survei
kesehatan masyarakat menunjukkan bahwa 27,8% rumah tangga menyimpan
antibiotik. Penjualan antibiotik di Apotek sebagian diperjual belikan tanpa resep
dokter. Masyarakat sering membeli sendiri antibiotik tanpa anjuran dari dokter dan
apotik meluluskan permintaan pembeli tanpa resep dokter (Yarza et al., 2015).
Penelitian di Yogyakarta menunjukkan pembelian antibiotik tanpa resep
dokter adalah 7%. Adanya penggunaan dan penyimpanan antibiotika untuk
swamedikasi ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyalahgunaan antibiotik
(Widayati et al., 2012). Setelah dilakukan penyuluhan semakin menyadari bahwa
telah terjadi penyalahgunaan antibiotika dikalangan masyarakat saat ini.
Dalam hal penyebab penyalahgunaan antibiotik hampir sebagian besar
responden kurang mengetahui sebab dari penyalahgunaan antibiotik tersebut. Hal
ini mungkin dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang antibiotika terkait
penyebab terjadinya penyalahgunaan antibiotik saat ini.
Hampir semua responden baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok
kontrol menjawab bahwa resistensi bakteri menjadi masalah di Indonesia.
Penggunaan antibiotik akan mengguntungkan dan memberikan efek bila diresepkan
dan dikonsumsi sesuai dengan aturan.
Namun, sekarang ini antibiotik telah digunakan secara bebas dan luas oleh
masyarakat tanpa mengetahui dampak dari pemakaian tanpa aturan. Penggunaan
tanpa aturan mengakibatkan keefektifan dari antibiotik akan berkurang (Holloway
& Van Dijk, 2011). Penelitian pada tahun 2002 di Rumah Sakit Dr Karyadi juga
menghadapi masalah resistensi antibiotik. Menurut hasil penelitian semua isolat
dari darah memiliki tingkat multiresistensi tinggi terhadap antibiotik dan 45-56%
penggunaan antibiotik irasional. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62%
antiobiotik digunakan secara tidak tepat untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya
tidak membutuhkan antibiotik. Di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30-80%
tidak berdasarkan indikasi (Muras et al., 2013).
Hampir semua responden baik dikelompok perlakuan dan kelompok kontrol
menjawab bahwa penyalahgunaan antibiotik merupakan penyebab terjadinya
resistensi dan resistensi dapat mempengaruhi kesehatan. Dampak resistensi
terhadap antibiotik dapat menurunkan respon terhadap pengobatan yang artinya
makin panjangnya periode infeksi, makin panjangnya masa perawatan di rumah
sakit, dan meningkatnya jumlah orang yang menderita infeksi oleh bakteri yang
multiresisten dalam suatu komunitas akibat meningkatnya resiko terpapar oleh
bakteri resisten (Indonesia, 2013).
Skor penilaian responden yang diukur setiap 2 minggu selama satu setengah
bulan, dan pada akhir penyuluhan dapat dilihat bahwa rerata nilai sikap responden
pada kelompok pelakuan lebih tinggi dibandingkan control.
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1694 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
Tabel 7
Perbedaan Rerata Nilai Sikap Responden pada Pre-test dan Post-test
Variabel
Kelompok
Pre-test
X
Nilai ± SD
Post-test
X
Nilai ± SD
P
Sikap
Kontrol
78 ± 7,99
86 ± 5,79
0,000
Perlakuan
73 ± 7,67
89 ± 6,331
Rerata nilai sikap responden pada awal penyuluhan sedikit berbeda pada
kedua kelompok, namun tidak signifikan. Setelah satu setengah bulan penyuluhan,
peningkatan skor nilai sikap responden lebih tinggi pada kelompok perlakuan
dibandingkan kontrol.
Tabel 8 dapat dilihat selisih rerata skor pengetahuan pada awal sampai akhir
penyuluhan lebih tinggi pada kelompok perlakuan, tetapi untuk persepsi
peningkatan rerata skor sedikit lebih tinggi pada kelompok kontrol sedangkan sikap
pada kelompok perlakuan selisih rerata lebih tinggi.
Tabel 8
Selisih Rerata Skor Pengetahuan, Persepsi Dan Sikap (± SD)
Kelompok Kontrol dan Perlakuan Pada Penelitian Awal dan
Akhir
Kelompok
Kisaran selisih rerata skor
Pengetahuan
Persepsi
Sikap
Kontrol
10,968 15,032
6,35 9,65
5,88 10,2
Perlakuan
23,17 30,18
5,35 8,65
11,63 20,369
Tabel 9
Signifikansi Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Kontrol dan
Perlakuan pada Penelitian Awal dan Akhir
Variabel
Signifikansi
Kelompok Kontrol
Signifikansi
Kelompok
Perlakuan
Pengetahuan 3
Pengetahuan 1
0,000
0,000
Persepsi 3 Persepsi 1
0,000
0,000
Sikap 3 Sikap 1
0,000
0,000
Selisih rerata skor pada awal sampai akhir penyuluhan pada kelompok
kontrol dan perlakuan mengalami peningkatan secara bermakna pada pengetahuan,
persepsi dan sikap yang dilihat dari nilai signifikansi (P = 0,000), hal ini dapat
dilihat pada tabel 9.
Skor nilai pengetahuan pada kelompok kontrol pada kondisi awal lebih baik
70 (±7,012) dibandingkan kelompok perlakuan 59 (±7,67), tetapi setelah
penyuluhan skor pada kelompok perlakuan mengalami banyak peningkatan
menjadi 86 (±4,98). Pengukuran pada persepsi kondisi awal pada kelompok kontrol
rerata skor lebih tinggi yaitu 51(± 9,3) dibandingkan dengan perlakuan, tetapi
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1695
setelah melewati akhir penyuluhan, perolehan nilai pada kelompok perlakuan
terjadi peningkatan skor lebih tinggi yaitu 86 (±3,86). Kondisi awal rerata skor
untuk sikap kelompok kontrol lebih baik dibandingkan kelompok perlakuan, tetapi
pada akhir penyuluhan skor rerata meningkat pada kelompok perlakuan.
E. Analisis Perbandingan Pengetahuan, Persepsi dan Sikap pada Penelitian Awal
dan Penelitian Akhir
Tabel 10 dapat dilihat pada pre-test ke post-test 1, kelompok perlakuan terjadi
peningkatan secara bermakna pada pengetahuan, persepsi dan sikap yang dapat
dilihat dari nilai P<0,000 untuk pengetahuan, sikap dan persepsi,
Pada post-test 1 ke post-test II, kelompok perlakuan juga terjadi peningkatan
secara bermakna pada pengetahuan, persepsi dan sikap yang terlihat pada nilai
p=0,000. Sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan pada pengetahuan
dan sikap p=0,000 dan persepsi dengan p=0,750 yang secara statistik tidak
bermakna.
Pada pre-test ke post-test II, kelompok perlakuan terjadi peningkatan secara
bermakna untuk pengetahuan, sikap dan persepsi yang terlihat dari p=0,000. Begitu
pula sama terhadap kelompok kontrol.
Penelitian yang dilakukan oleh Wowiling et al di kota Manado pada tahun
2013 menunjukan jumlah responden berpengetahuan kurang baik mengalami
penurunan sebesar 17,3% setelah dilakukan penyuluhan, dan terjadi peningkatan
bagi responden yang berpengetahuan cukup baik dari 37,3% menjadi 42,7% dan
responden berpengetahuan baik menjadi 40%, 40% sesudah mengikuti penyuluhan
yang sebelumnya hanya 9,3% (Chalvy Wowiling, Lily Ranti Goenawi GC., 2013).
F. Analisis Perbandingan Pengetahuan, Persepsi dan Sikap pada Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Untuk menganalisa perbandingan pengetahuan, persepsi dan sikap antara
kelompok kontrol dan perlakuan digunakan uji Mann Whitney karena data tidak
terdistribusi normal. Perbandingan pengetahuan, sikap dan persepsi pada kelompok
kontrol dan perlakuan ditampilkan pada Tabel 10.
Tabel 10
Perbandingan Pengetahuan, Persepsi dan Sikap
Pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol
Variabel
Kelompok
P
Perlakuan Rerata
+ SB
Kontrol Rerata +
SB
Pengetahuan; Rerata (SB)
- Pretest
12,40±1,542
14,71±1,501
0,000
- Postest I
15,87±1,941
16,63±0,733
0,034
- Posttest II
17,85±1,000
17,38±1,044
0,032
Persepsi; Rerata (SB)
- Pretest
4,40±0,901
6,63±1,178
0,000
- Postest I
7,51±0,975
7,67±0,953
0,347
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1696 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
- Posttest II
9,34±1,027
7,60±0,970
0,000
Sikap; Rerata (SB)
- Pretest
8,70±1,284
9,38±0,959
0,010
- Postest I
9,74±1,052
10,98±1,041
0,000
- Posttest II
10,66±0,760
10,27±0,574
0,009
Pada tabel 10 terlihat bahwa pada kelompok perlakuan rerata pengetahuan,
persepsi dan sikap lebih rendah daripada kelompok kontrol pada saat prê-test.
Perbedaan tersebut terlihat bermakna yang dapat dilihat dari nilai p=0,000 pada
pengetahuan dan persepsi, untuk sikap p=0,010.
Pada kelompok perlakuan rerata pengetahuan, persepsi dan sikap mulai
terjadi peningkatan pada post-test I. Perbedaan tersebut bermakna, dapat dilihat dari
nilai p=0,034 untuk pengetahuan, untuk persepsi p=0,034 dan untuk sikap p=0,000.
Pada kelompok perlakuan rerata pengetahuan, sikap dan persepsi pada post-
test II terjadi peningkatan. Perbedaan tersebut bermakna, dapat dilihat dari nilai
p=0,032 untuk pengetahuan, p=0,000 untuk persepsi dan p=0,009 untuk sikap.
Hasil penelitian ini didapat bahwa kelompok yang mendapat penyuluhan
Kesehatan, terjadi peningkatan pengetahuan, persepsi dan sikap yang ditunjukkan
dengan perubahan skor yang semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian
terdahulu yang menyebutkan bahwa penyuluhan kesehatan berpengaruh besar
terhadap pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku dalam menggunakan antibiotika
(Rossetyowati, 2012).
G. Analisis Perbandingan Presentase Selisih Pengetahuan, Persepsi dan Sikap
pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Perbandingan persentase selisih pengetahuan, persepsi dan sikap pada
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah penyuluhan
ditampilkan pada tabel 11.
Pada tabel 11 terlihat bahwa ada perbedaan pada pengetahuan, persepsi dan
sikap antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah
penyuluhan kedua. Perbedaan tersebut bermakna, dapat dilihat dari nilai p = 0,00
pada pengetahuan, persepsi dan sikap.
Tabel 11
Perbandingan Persentase Selisih Nilai Pretest dan Postest II
Pengetahuan, Control, Persepsi dan Sikap Kelompok Perlakuan
Variabel
Kelompok
P
Perlakuan
Kontrol
Pengetahuan
43,9%
18 %
0,000
Persepsi
100%
14,4 %
0,000
Sikap
22,5%
9,40 %
0,000
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1697
Pada gambar 1 terlihat bahwa setelah satu setengah bulan rerata selisih
skor pengetahuan, persepsi dan sikap responden pada kelompok perlakuan yang
diberi edukasi lebih tinggi dari kelompok kontrol.
Gambar 1
Diagram perbandingan Persentase Selisih Pengetahuan, Persepsi dan
Sikap pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
H. Hubungan Antara Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, persepsi dan sikap
dilakukan analisa dengan menggunakan uji Spearman, dari data yang diperoleh
dapat dilihat bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan persepsi yang dibuktikan
dengan nilai signifikansi 0,025 (<0,05), selain itu ada juga hubungan antara
pengetahuan dan sikap yang dibuktikan dengan nilai signifikansi 0,041 (<0,05).
Dan tidak ada hubungan antara persepsi dan sikap yang dibuktikan dengan nilai
signifikansi 0,501 (>0,05). Hubungan tersebut dapat dilihat pada tabel 12.
Pengetahuan terhadap antibiotik memiliki korelasi positif dengan sikap dan
tindakan penggunaan antibiotik tanpa resep dokter. Pengetahuan dan tindakan
memiliki korelasi cukup, berdasarkan teori Azwar bahwa pengetahuan dapat
menjadi motivator seseorang dalam bersikap dan berperilaku sehingga dapat pula
menjadi dasar dari terbentuknya suatu tindakan yang dilakukan seseorang (Azwar,
2011).
Tabel 12
Hubungan Antara Pengetahuan, Persepsi dan sikap Masyarakat
Hubungan variable
Koefisien korelasi
Signifikansi (P)
Pengetahuan Sikap
0,300
0,041
Pengetahuan - Persepsi
0,327
0,025
Sikap Persepsi
0,154
0,301
I. Hubungan Antara Confounding Variable dengan Pengetahuan
Untuk mengetahui hubungan antara confounding variable dengan
pengetahuan dilakukan analisa dengan menggunakan uji Spearman, dari data yang
diperoleh dapat dilihat bahwa ada hubungan antara confounding variable yaitu usia
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1698 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
dengan pengetahuan yang dibuktikan dengan nilai signifikansi 0,037 (< 0,05).
Namun semakin tua usia responden perilaku semakin buruk. Menurut Lawrence
dan Green yang dikutif oleh Notoatmodjo menyebut bahwa pengetahuan dan usia
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku individu
maupun kelompok (Notoatmodjo, 2007). Sedangakan untuk pendidikan dan
pengetahuan tidak terdapat hubungan yang signifikan (nilai signifikansi 0,700).
Dan untuk pengukuran hubungan antara pekerjaan dengan pengetahuan tidak
terlihat nilai signifikansinya, karena dari responden yang mengikuti penelitian ini
memiliki latar belakang pekerjaan yang sama yaitu ibu rumah tangga. Hubungan
tersebut dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13
Hubungan antaran Confounding Variable Dengan Pengetahuan
Hubungan confounding
variable
Koefisien korelasi
Signifikansi (P)
Usia-Pengetahuan
-0,305
0,037
Pendidikan-Pengetahuan
-0,508
0,700
Pekerjaan-Pengetahuan
-
-
Kesimpulan
Gambaran pengetahuan, persepsi dan sikap responden sebelum dilakukan
penyuluhan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan
bermakna. Setelah penyuluhan terjadi perbedaan bermakna pada pengetahuan, persepsi
dan sikap responden antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Hal ini dilihat
dari nilai p<0,001 untuk pengetahuan, persepsi dan sikap. Peningkatan nilai
pengetahuan sebesar 43,9% pada kelompok perlakuan dan 18% pada kelompok kontrol.
Peningkatan nilai persepsi sebesar 100% pada kelompok perlakuan dan 14,4% pada
kelompok kontrol. Peningkatan nilai sikap sebesar 22,5 % pada kelompok perlakuan
dan 9,4% pada kelompok kontrol. Dari hasil analisis hubungan antara pengetahuan,
persepsi dan sikap dilakukan analisa dengan menggunakan uji Spearman, dapat dilihat
bahwa ada hubungan antara pengetahuan dan persepsi yang dibuktikan dengan nilai
signifikansi 0,025 (< 0,05), selain itu ada juga hubungan antara pengetahuan dan sikap
yang dibuktikan dengan nilai signifikansi 0,041 (<0,05). Dan tidak ada hubungan antara
persepsi dan sikap yang dibuktikan dengan nilai signifikansi 0,501 (>0,05).
Penelitian ini perlu dilakukan lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar
sehingga dapat terlihat perbedaan yang signifikan adanya pengaruh peranan apoteker
dalam peningkatan pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat mengenai antibiotik
sehingga diharapkan mampu mengurangi tingkat resistensi di Indonesia.Waktu edukasi
yang diberikan oleh apoteker lebih lama lagi sehingga pengetahuan, persepsi dan sikap
masyarakat lebih meningkat dengan disertai adanya perubahan perilaku khususnya
dalam penggunaan antibiotik secara signifikan.
Setiyarini dan Shirly Kumala
Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020 1699
BIBLIOGRAFI
Abdulhak, Aref A. Bin, Al Tannir, Mohamad A., Almansor, Mohammed A., Almohaya,
Mohammed S., Onazi, Atallah S., Marei, Mohammed A., Aldossary, Oweida F.,
Obeidat, Sadek A., Obeidat, Mustafa A., & Riaz, Muhammad S. (2011). Non
prescribed sale of antibiotics in Riyadh, Saudi Arabia: A Cross Sectional Study.
BMC Public Health, 11(1), 15.
Azwar, S. (2011). Sikap dan Perilaku, dalam: Sikap Manusia Teori dan
Pengembangannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dodya Pradana, Mahardika, Purwanti, Okti Sri, Ns, M. Kep, & Kep, Ns S. P. (2016).
Upaya Peningkatan Mobilitas Fisik pada Pasien Stroke Nonhemoragik Di RSUD
dr. Soehadi Prijonegoro. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Gunawan, S. G. (2007). Farmakologi dan Terapi (Edisi Keli). Jakarta: Penerbit
Departemen Farmakologi dan Therapeutik FKUI.
Hardon, Anita, Brudon-Jakobowicz, Pascale, Reeler, Anne, & Organization, World
Health. (1992). How to Investigate Drug Use in Communities: Guidelines for
Social Science Research. England: World Health Organization.
HMS, Noer. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Holloway, Kathleen, & Van Dijk, Liset. (2011). The World Medicines Situation 2011.
Rational Use of Medicines. Geneva: WHO.
Huang, Ying, Gu, Jiarui, Zhang, Mingyu, Ren, Zheng, Yang, Weidong, Chen, Yang, Fu,
Yingmei, Chen, Xiaobei, Cals, Jochen W. L., & Zhang, Fengmin. (2013).
Knowledge, Attitude and Practice of Antibiotics: A Questionnaire Study Among
2500 Chinese Students. BMC Medical Education, 13(1), 19.
Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Lim, Ka Keat, & Teh, Chew Charn. (2012). A Cross Sectional Study of Public
Knowledge and Attitude Towards Antibiotics in Putrajaya, Malaysia. Southern
Med Review, 5(2), 26-33
Muras, Magdalena, Krajewski, Jacek, Nocun, Marek, & Godycki-Cwirko, Maciek.
(2013). A Survey of Patient Behaviours and Beliefs Regarding Antibiotic self-
Medication for Respiratory Tract Infections in Poland. Archives of Medical
Science: AMS, 9(5), 854-857.
Norris, Pauline, Ng, Lye Funn, Kershaw, Victoria, Hanna, Fady, Wong, Angela,
Talekar, Meghna, Oh, Jin, Azer, Maryam, & Cheong, Lynn. (2010). Knowledge
and Reported Use of Antibiotics Amongst Immigrant Ethnic Groups in New
Zealand. Journal of Immigrant and Minority Health, 12(1), 107-112.
Edukasi Apoteker dalam Mengubah Pengetahuan, Persepsi dan Sikap Masyarakat
terhadap Antibiotik di Jakarta Selatan
1700 Syntax Literate, Vol. 5, No. 12, Desember 2020
Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta.
Puspitasari, H. P., Faturrohmah, A., & Hermansyah, Andi. (2011). Do Indonesian
Community Pharmacy Workers Respond to Antibiotics Requests Appropriately?
Tropical Medicine & International Health, 16(7), 840846.
RI, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan.
(2006). Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah Sakit Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004.
RI, Kementerian Kesehatan. (2011). Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi
Antibiotika. Jakarta: Direktorat Bina Kefarmasan Dan Alat Kesehatan.
RI, Kementrian Kesehatan. (2011). Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi
Antibiotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Rossetyowati, Diyan Ajeng. (2012). Meningkatkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
Penggunaan Antibiotika dengan Metode Cara Belajar Ibu Aktif (CBIA) Di
Kabupaten Jember. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
S, Nuraini. (2015). Intervensi Farmasis dalam Merubah Pengetahuan, Sikap dan
Perilaku Masyarakat Di Kelurahan Srengseng Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan.
Setiabudy R. (2008). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Utami, Eka Rahayu. (2011). Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Sainstis.
Widayati, Aris, Suryawati, Sri, de Crespigny, Charlotte, & Hiller, Janet E. (2012).
Knowledge and Beliefs About Antibiotics Among People in Yogyakarta City
Indonesia: A Cross Sectional Population-Based Survey. Antimicrobial Resistance
and Infection Control, 1(1), 1-38.
Wowiling, Chalvy, Goenawi, Lily Ranti, & Citraningtyas, Gayatri. (2013). Pengaruh
Penyuluhan Penggunaan Antibiotika terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat di
Kota Manado. Pharmacon, 2(3). 24-28.
Yarza, Hasnal Laily, Yanwirasti, Yanwirasti, & Irawati, Lili. (2015). Hubungan Tingkat
Pengetahuan dan Sikap dengan Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Dokter.
Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1).151-156