Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 2, Februari 2022

PERBANDINGAN KUALITAS HIDUP PASIEN EPILEPSI YANG MENDAPAT MONOTERAPI DAN POLITERAPI

 

Pande Ayu Naya Kasih Permatananda

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Warmadewa, Denpasar, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Tujuan utama penanganan epilepsi adalah mengontrol kejang tanpa efek samping dengan kualitas hidup yang optimal. Dalam penatalaksaannya, monoterapi hingga saat ini masih menjadi pilihan farmakoterapi yang terbaik dan sangat disarankan ketika memulai terapi antiepilepsi, namun seringkali monoterapi ini tidak efektif, sehingga politerapi lebih menjadi pilihan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas hidup pada pasien epilepsi yang mendapatkan monoterapi dan politerapi.� Metode yang digunakan adalah metode potong lintang dengan memanfaatkan data demografis dan data terapi pasien epilepsi yang dikumpulkan melalui rekam medis. Kualitas hidup dinilai melalui prosedur wawancara dengan menggunakan kuisioner QOLIE-31 versi Bahasa Indonesia. Melalui penelitian ini, didapatkan bahwa kualitas hidup pasien epilepsi yang mendapat monoterapi lebih baik daripada politerapi dan berbeda bermakna pada total nilai dan wilayah energi (nilai P < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah obat anti epilepsi yang digunakan mempengaruhi kualitas hidup pada pasien epilepsi.

 

Kata Kunci: epilepsy: monoterapi; politerapi; kualitas hidup

 

Abstract

The main goal of epilepsy management is controlling seizures without side effects with optimal quality of life. In its management, monotherapy is still the best pharmacotherapy option and highly recommended when starting antiepileptic therapy, however, monotherapy is often ineffective, so sometimes polytherapy is more preferred. This study was aimed to compare the quality of life in epilepsy patients who receive monotherapy and polytherapy. The method used is a cross-sectional by utilizing demographic and therapy data of epilepsy patients that collected through medical records. Quality of life was assessed through an interview procedure using the Indonesian version of the QOLIE-31 questionnaire. Through this study, it was found that the quality of life of epilepsy patients who received monotherapy was better than polytherapy and differed significantly in the total value and energy area (P value <0.05). Therefore, it can be concluded that the number of anti-epileptic drugs used affects the quality of life in epileptic patients.

 

Keywords: epilepsy; monotherapy; polytherapy; quality of life

 

Received: 2022-01-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-02-20

 

Pendahuluan

Secara konseptual, epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial, di mana definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik (Kusumastuti, Gunadharma, & Kustiowati, 2014).� Epilepsi ini merupakan gangguan neurologis terbanyak kedua setelah nyeri kepala, yang ditandai dengan kejadian kejang berulang pada wilayah cerebral (George, Kulkarni, & Sarma, 2015). Epilepsi menyusun sekitar 1 % dari total beban semua penyakit yang ada di dunia (Global Burden of Disease), sama dengan keganasan payudara pada perempuan dan keganasan paru pada pria, di mana 80% dari beban ini ada di negara berkembang, termasuk di Indonesia (Wieser & Silfvenius, 2000). Tujuan utama penanganan epilepsi adalah mengontrol kejang tanpa efek samping dengan kualitas hidup yang optimal, sedangkan epilepsi sendiri merupakan suatu penyakit kronis yang membutuhkan terapi jangka panjang, dan penyakit ini sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan penderitanya meskipun kejadian kejang sudah mampu dikontrol (Piperidou et al., 2008); (George et al., 2015).

Dalam praktek pelayanan kesehatan, setiap pasien yang baru terdiagnosa dengan epilepsi harus mendapatkan terapi berdasarkan jenis epilepsinya. Monoterapi hingga saat ini masih menjadi pilihan farmakoterapi yang terbaik dalam penatalaksaan epilepsi. Jika monoterapi dengan suatu Obat Anti Epilepsi (OAE) tidak efektif, yang harus dilakukan berikutnya adalah menggantinya dengan OAE lain atau menambah obat lain dalam kombinasi (Sander, 2004). Langkah ini jelas beralasan karena Sekitar 50 hingga 75% pasien epilepsi yang menggunakan monoterapi memberikan hasil bahwa kejang terkendali setidaknya 1 tahun namun diketahui pula bahwa ada hampir 40% pasien tidak mencapai kontrol kejang dengan obat antiepilepsi tunggal atau monoterapi, sehingga dipikirkan untuk pemberian politerapi dengan menggunakan obat-obat antiepilepsi lainnya (Vasquez, 2004); (Lee & Dworetzky, 2010). Jika monoterapi tersebut tidak bisa diberikan dalam dosis penuh karena reaksi idiosinkrasi, monoterapi alternatif dapat digunakan. Lain halnya jika obat monoterapi pertama tersebut gagal mengontrol kejang, ada banyak strategi yang bisa dilakukan. Survei yang dilakukan pada dokter di Eropa, 23 sampai 67% lebih suka untuk menambah obat antiepilepsi. Namun survei pada epileptologist di Amerika, 100% lebih suka untuk menggunakan monoterapi alternatif (Mani, 2013). Sampai saat ini masih banyak perdebatan antara menambah obat atau substitusi antara bebas kejang dan efek samping yang sulit ditoleransi, membuat ke dua hal ini masih sulit ditetapkan (Beghi et al., 2003); (Mani, 2013). Di antara 780 pasien epilepsi yang baru terdiagnosis, 47% mencapai bebas kejang dengan obat monoterapi yang pertama, 10% berespons terhadap monoterapi yang kedua, dan hanya 2,3% yang berespons terhadap monoterapi yang ke tiga (Mohanraj & Brodie, 2006). Penelitian tersebut menyampaikan bahwa apabila dua monoterapi gagal, kemungkinan sukses dengan monoterapi yang ketiga sangat kecil, sehingga politerapi harus dipikirkan ketika dua monoterapi tidak berhasil.

Kombinasi obat dengan mekanisme aksi yang berbeda merupakan salah satu strategi dalam penatalaksanaan medis, tidak hanya epilepsi. Namun interaksi obat yang tidak diinginkan dan sulitnya mengevaluasi efek farmakologis menjadikan politerapi sedikit dilematis. Obat-obat antiepilepsi terutama golongan lama seperti karbamazepin, asam valproat, fenitoin, dan fenobarbital dikenal akan interaksi farmakokinetiknya melalui enzim hepatik, yang akhirnya kombinasi dengan obat antiepilepsi golongan lama bukannya meningkatkan kontrol kejang, tetapi menimbulkan banyak efek samping. Sebuah studi prospektif dan retrospektif menyebutkan pasien yang beralih dari politerapi menjadi monoterapi mengalami efek samping yang lebih sedikit dan kontrol kejang yang lebih baik (Patsalos & Perucca, 2003); (Mani, 2013). Hal ini berubah ketika ditemukannya obat antiepilepsi golongan baru dalam dua dekade terakhir ini. Obat antiepilepsi golongan baru menunjukkan profil efek samping yang lebih sedikit daripada obat antiepilepsi golongan lama sehingga dinilai lebih aman untuk dikombinasi (Mani, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan kualitas hidup pada pasien epilepsi yang mendapatkan monoterapi dan politerapi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu jembatan untuk menjawab permasalahan penatalaksaan epilepsi, terkait jumlah obat antiepilepsi yang digunakan.�

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah metode observasional dengan menggunakan rancangan cross sectional. Rancangan ini digunakan untuk mengetahui perbandingan rerata kualitas hidup pasien epilepsi yang mendapat politerapi dibandingkan monoterapi. Monoterapi didefinisikan sebagai penggunaan hanya satu jenis obat anti epilepsi dan politerapi dimaksudkan untuk penggunaan lebih dari satu jenis obat anti epilepsi. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien epilepsi yang menjalani terapi di poliklinik saraf RSUD Wangaya Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan dua jenis data yaitu data primer yang langsung diperoleh dari responden dengan menggunakan kuisioner yang telah sesuai dengan tujuan penelitian dan diisi langsung oleh responden dan data sekunder yang didapatkan dari rekam medis mengenai kondisi klinis dan terapi pasien.

Kriteria inklusi yang ditetapkan meliputi: pasien epilepsi berusia minimal 18 tahun, tidak memiliki gangguan komunikasi, telah menjalani pengobatan epilepsi minimal 1 tahun, memiliki data rekam medis yang jelas dan lengkap, serta bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani lembar persetujuan. Pasien epilepsi dengan penyakit penyerta seperti gangguan psikotik, retardasi mental, demensia pada usia lanjut, depresi, riwayat stroke, cedera kepala, neuroinfeksi, keganasan otak, penyakit metabolik seperti gagal ginjal, gagal jantung, penyakit hati kronis, dan yang pernah menjalani brain surgery dikeluarkan dari penelitian ini. Pemilihan subjek penelitian pada penelitian ini menggunakan metode total sampling, sehingga semua pasien epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan sebagai subjek penelitian.

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa kuisioner, yang terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama berisi lembar penjelasan dan lembar persetujuan subjek penelitian. Bagian kedua merupakan lembar pengumpulan data subjek penelitian, meliputi data demografis dan data terapi pasien. Bagian ketiga merupakan lembar pengukuran kualitas hidup. Pengukuran kualitas hidup pada penelitian ini menggunakan kuisioner Quality of Life in Epilepsi Inventory-31 (QOLIE-31) versi Bahasa Indonesia. QOLIE-31 merupakan indikator status kesehatan penderita epilepsi yang terdiri atas 31 butir pertanyaan yang mengukur 7 wilayah kesehatan yaitu: kekhawatiran terhadap kejang, kualitas hidup secara umum, emosi/perasaan, tenaga, kognitif, efek pengobatan, dan fungsi sosial (Pamungkas, 2007). Penelitian ini sesuai dengan protokol yang telah mendapatkan persetujuan oleh Komisi Etik Fakultas Kedokteran, Keperawatan, dan Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Data yang terkumpul kemudian diberi kode, ditabulasi, dan dimasukkan ke komputer untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS. Analisis yang pertama dilakukan adalah analisis deskriptif untuk melihat karakteristik responden. Data yang bersifat kategorikal akan dinyatakan dalam bentuk distribusi frekuensi dan proporsi, sedangkan data yang bersifat kontinyu seperti kualitas hidup akan ditampilkan dalam bentuk rerata dan simpang baku atau nilai tengah apabila berdistribusi tidak normal. Untuk membandingkan kualitas hidup di antara variabel bebas dan terikat digunakan uji t-test tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal.� Uji normalitas data dilakukan dengan uji statistik Kolmogorov Smirnov karena jumlah subyek penelitian lebih dari 50, apabila data tidak terdistribusi normal uji yang digunakan adalah mann-whitney.

��������

Hasil dan Pembahasan

Proses pengumpulan data dan wawancara dilakukan di Poliklinik Saraf di RSUD Wangaya selama kurun waktu satu bulan. Pasien epilepsi yang menjadi subyek dalam penelitian ini sebanyak 83 pasien dengan karakteristik pasien dijabarkan pada tabel 1. Sebanyak 13 pasien epilepsi dikeluarkan dari penelitian ini karena tidak memenuhi kriteria inklusi.

 

Tabel 1

Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik

Jumlah (%)

(n=83)

1

Umur

�- <50 tahun

�- ≥50 tahun

 

67 (80.7)

16 (19.3)

2

Jenis Kelamin

- Laki-laki

- Perempuan

 

45 (54,2)

38 (45,8)

3

Pendidikan

- Di bawah SMA

Tidak sekolah

SD

SMP

- Di atas atau setingkat SMA

SMA

Akademi

S1

 

30 (36,1)

3 (3,6)

14 (16,9)

12 (14,5)

54 (65,1)

39 (47,0)

4 (4,8)

11 (11,3)

4

Pekerjaan

- Tidak bekerja

- Bekerja

Mahasiswa

Guru

Petani

Swasta

Wiraswasta

PNS

 

44 (53,0)

39 (47,0)

7 (8,4)

1 (1,2)

1 (1,2)

13 (15,7)

8 (9,6)

9 (10,8)

5.

Status Pernikahan

- Belum menikah

- Menikah

 

42 (50,6)

41 (49,4)

 

Dari 83 subjek penelitian yang merupakan pasien epilepsi ditemukan 59% di antaranya berumur kurang dari 50 tahun. Usia diketahui merupakan komponen yang mempengaruhi kualitas hidup, di mana usia terbagi menjadi anak-anak, remaja, dewasa dan usia lanjut yang memiliki kualitas hidup yang berbeda. Berdasarkan insidensinya, epilepsi terjadi meningkat pada usia kurang dari 2 tahun dan di atas 65 tahun (Shih-Hui, 2004). Terdapat perbedaan rerata kualitas hidup pada pasien epilepsi yang berusia di bawah 40 tahun dan di atas 40 tahun, namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Anu et al pada tahun 2015 di India, perbedaan tersebut tidak signifikan (Anu, Suresh, & Basavanna, 2016).

Jumlah subyek penelitian berjenis kelamin laki-laki (54,2%) lebih banyak daripada yang berjenis kelamin perempuan (45,8%). Berdasarkan salah satu studi epidemiologi, perempuan memiliki angka insidensi epilepsi yang lebih rendah daripada pria, begitu pula dengan insidensi status epileptikus yang juga lebih banyak terjadi pada pria (McHugh & Delanty, 2008), namun insidensi sudden unexpected death (SUDEP) pada epilepsi lebih banyak dilaporkan pada perempuan dibandingkan pria (Kusumastuti et al., 2014).

Pada penelitian di India disebutkan bahwa pasien epilepsi yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari SMA memiliki rerata kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan yang di bawah SMA, dengan hasil yang bermakna signifikan. Tingkat pendidikan yang tinggi memberikan efek yang positif terhadap terapi dan kepada penyakit secara keseluruhan, pendidikan dapat menghapus stigma dan meningkatkan kepatuhan pengobatan (Anu et al., 2016). Sebagian besar subyek penelitian ini (65,1%) memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi atau setara SMA.

Terhitung dalam sebuah penelitian, 36 % pasien epilepsi tidak bekerja atau pengangguran, meskipun persentasenya cukup rendah pada usia produktif (George et al., 2015). Pada penelitian ini didapatkan subyek penelitian yang tidak bekerja (53%) lebih banyak daripada subyek penelitian yang bekerja (47%). Pada penelitian yang dilakukan di Kenya sebanyak 46,39% pasien epilepsi tidak bekerja, disebutkan bahwa pasien epilepsi seringkali merasa tidak puas dalam kapasitas pekerjaan, tidak mampu berkonsentrasi, dan memerlukan dukungan atau bantuan dari orang lain untuk bekerja. Perilaku masyarakat yang tidak menyenangkan akibat stigma kepada pasien epilepsi mempengaruhi kualitas hidup pasien epilepsi. Diperlukan proses destigmatisasi terhadap epilepsi melalui media massa ataupun forum-forum dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan, meningkatkan peluang pekerjaan, dan menurunkan stigma terhadap pekerja epilepsi (Kinyanjui, Kathuku, & Mburu, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 60 pasien epilepsi pada tahun 2013 didapatkan bahwa jumlah pasien epilepsi yang menikah lebih banyak daripada yang tidak menikah, dan status pernikahan menurut penelitian tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup pasien epilepsi (Viteva, 2013). Pada penelitian ini, jumlah pasien epilepsi yang menikah dan tidak menikah tidak terlalu berbeda.

����������� Melalui hasil telaah rekam medis yaitu 83 pasien epilepsi yang menjadi subyek penelitian, didapatkan sebanyak 37 pasien menggunakan monoterapi dan 46 pasien mendapatkan politerapi, seperti yang dapat dilihat pada tabel 2. Jenis monoterapi yang paling banyak digunakan adalah fenitoin, sedangkan kombinasi atau politerapi terbanyak adalah fenitoin dan klobazam. Penatalaksanaan epilepsi merupakan terapi jangka panjang sehingga konsep dari tata laksana ini adalah mengontrol kejang secara optimal dengan efek samping minimal, sehingga kualitas hidup pasien dapat tercapai.

 

Tabel 2

Jenis Obat Antiepilepsi (OAE) yang Digunakan oleh Subyek Penelitian

No

Jenis Obat Antiepilepsi

Jumlah (%)

n=83

1

Monoterapi

Fenitoin

Karbamazepin

Asam Valproat

37 (44,6)

24 (28,9)

3 (3,6)

10 (12,0)

2

Politerapi

Fenitoin + klobazam

Karbamazepin + klobazam

Asam valproat + klobazam

Karbamazepin + Asam valproat + klobazam

Fenitoin + topiramat + klobazam

46 (55,4)

35 (42,1)

3 (3,6)

2 (2,4)

4 (4,8)

2 (2,4)

 

Kualitas hidup meliputi kesejahteraan secara umum baik pada individu maupun masyarakat, yang menggambarkan fitur negatif dan positif dalam hidup. Kualitas hidup mencakup akan kepuasan hidup, termasuk segala hal mulai dari kesehatan fisik, keluarga, pendidikan, pekerjaan, kekayaan, kepercayaan agama, keuangan dan lingkungan. Kualitas hidup mencakup berbagai macam konteks baik itu hubungan internasional, perawatan kesehatan, politik, dan pekerjaan (Bottomley, 2002). World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks sistem budaya, dan nilai di mana dia tinggal dan dalam kaitannya dengan tujuan, standar, dan konsentrasinya. Penilaian kualitas hidup dipengaruhi oleh keadaan fisik, mental, sosial dan emosional (Anu et al., 2016). Hasil pengukuran kualitas hidup pada pasien epilepsi yang mendapat monoterapi dan politerapi dapat dilihat pada tabel 3. 

Seperti yang dapat dilihat pada tabel 3, pada penelitian ini didapatkan bahwa kualitas hidup pasien epilepsi yang mendapat monoterapi lebih tinggi daripada politerapi, baik pada total skor dan semua wilayah. Rerata total skor pasien epilepsi yang mendapat monoterapi lebih tinggi daripada pasien epilepsi yang mendapat politerapi dan perbedaan tersebut bermakna signifikan dengan nilai P 0,028. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di India oleh (Pimpalkhute et al., 2015), rerata total skor pasien epilepsi yang mendapat monoterapi lebih tinggi daripada politerapi. Pasien epilepsi yang mendapat obat antiepilepsi lebih dari satu biasanya memiliki kontrol kejang atau keparahan kejang yang lebih buruk daripada pasien epilepsi yang mendapat monoterapi. Politerapi juga diketahui memicu munculnya lebih banyak efek samping daripada monoterapi (Pimpalkhute et al., 2015); (Permatananda, Apsari, & Harkitasari, 2019).

 

Tabel 3

Kualitas Hidup Pasien Epilepsi yang Mendapat Monoterapi Dan Politerapi

Wilayah QOLIE-31

Monoterapi (n=37)

(Rerata � Simpang Baku)

Politerapi (n=46)

(Rerata � Simpang Baku)

Nilai p

Kekhawatiran kejang##

66,55 � 22,19

66,04 � 20,65

0,949

Kesejahteraan emosional#

70,91 � 13,97

66,52 � 16,31

0,197

Energi/kelelahan##

60,74 � 15,71

50,38 � 17,95

0,010*

Efek obat##

69,38 � 18,77

64,17 � 25,11

0,232

Fungsi Sosial##

83,13 � 14,22

78,43 � 17,19

0,246

Keseluruhan Kualitas Hidup##

88,58 � 9,67

84,40 � 12,21

0,119

Kognitif##

68,67 � 18,47

59,27 � 23,41

0,054

Total Skor QOL#

73,75 � 10,93

67,50 � 13,90

0,028*

Uji statistik menggunakan uji t tidak berpasangan# dan uji man whitney##, perbedaan bermakna signifikan*

 

Kuisioner QOLIE-31 juga menilai kualitas hidup menjadi tujuh wilayah berbeda dan penelitian ini didapatkan bahwa pasien epilepsi yang mendapat monoterapi memiliki rerata skor lebih tinggi daripada pasien epilepsi yang mendapat politerapi pada semua wilayah, meskipun yang bermakna signifikan hanya pada satu wilayah yaitu energi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan pada penelitian oleh (Piperidou et al., 2008) pada tahun 2008 di Yunani, perbedaan bermakna signifikan antara pasien epilepsi yang mendapat monoterapi dibanding politerapi ada pada semua wilayah, kecuali pada wilayah efek medikasi. Hasil tersebut disebabkan akibat kuisioner QOLIE-31 yang dinilai tidak mampu secara akurat mendeteksi permasalahan efek samping yang diakibatkan oleh obat-obatan antiepilepsi (Piperidou et al., 2008).

Selain rerata total skor, domain yang bermakna signifikan adalah energi. Pada pasien epilepsi yang mendapat monoterapi rerata skor domain energi lebih tinggi daripada pasien epilepsi yang mendapat politerapi. Hal ini dapat diakibatkan karena penggunaan klobazam sebagai kombinasi pada pasien epilepsi yang mendapat politerapi. Efek samping klobazam yang merupakan golongan benzodiazepin di antaranya adalah kelelahan, mengantuk, gangguan kepribadian, dan gangguan fungsi kognitif (Permatananda et al., 2019).

Hampir semua obat-obatan antiepilepsi yang diberikan secara kombinasi atau politerapi perlu untuk mendapat perhatian lebih dibandingkan yang hanya mendapat satu jenis obat antiepilepsi, terutama menyangkut interaksi obatnya yang tinggi. Ketika monoterapi dinilai gagal mengontrol kejang, penambahan obat antiepilepsi atau substitusi adalah langkah selanjutnya yang dapat dilakukan. Meskipun belum ada penelitian sebelumnya yang dapat menjelaskan monoterapi jauh lebih baik dari politerapi kecuali pada kasus dengan reaksi idiosinkrasi yang berat, substitusi jelas merupakan jelas pilihan yang lebih baik, terkadang mengevaluasi kombinasi obat pertama dan menurunkan secara perlahan dan kemudian menghentikan obat yang pertama dapat menjadi pilihan dengan alasan untuk mencegah kemungkinan mengganti obat dengan efikasi tinggi dengan obat yang justru tidak berefek. Penggunaan obat antiepilepsi golongan baru yang tidak berinteraksi dengan obat-obatan lainnya dapat memberikan hasil yang jauh lebih baik. Keuntungan monoterapi dibandingkan kombinasi adalah dapat mengobservasi efek klinis dengan lebih jelas dan mudah, menghindari terapi yang berlebihan, tidak ada interaksi obat yang tidak diinginkan, serta tidak ada efek samping spesifik kombinasi obat seperti peningkatan risiko teratogenisitas (Schmidt, 2009).� Selain jumlah OAE yang diberikan, kepatuhan terapi juga dinilai mempengaruhi kualitas hidup pada pasien epilepsi (Permatananda et al., 2019).

 

Kesimpulan

Jumlah jenis OAE yang digunakan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien epilepsi. Kualitas hidup pasien epilepsi yang mendapat monoterapi lebih baik dibandingkan pasien epilepsi yang mendapatkan politerapi. Penatalaksanaan epilepsi sedapat mungkin tidak hanya bertujuan untuk mengontrol kejang namun juga harus tetap memperhatikan efek samping yang seringkali membebani pasien. Kualitas hidup pasien epilepsi yang optimal dapat diwujudkan melalui kontrol kejang yang baik dengan efek samping yang minimal.

 

BIBLIOGRAFI

 

Anu, M., Suresh, K., & Basavanna, P. L. (2016). A cross-sectional study of quality of life among subjects with epilepsy attending a tertiary care hospital. Journal of Clinical and Diagnostic Research: JCDR, 10(12), OC13. Google Scholar

 

Beghi, Ettore, Gatti, Giuliana, Tonini, Clara, Ben-Menachem, Elinor, Chadwick, David W., Nikanorova, Marina, Gromov, Sergei A., Smith, Philip E. M., Specchio, Luigi M., & Perucca, Emilio. (2003). Adjunctive therapy versus alternative monotherapy in patients with partial epilepsy failing on a single drug: a multicentre, randomised, pragmatic controlled trial. Epilepsy Research, 57(1), 1�13. Google Scholar

 

Bottomley, Andrew. (2002). The cancer patient and quality of life. The Oncologist, 7(2), 120�125. Google Scholar

 

George, Jesso, Kulkarni, Chanda, & Sarma, G. R. K. (2015). Antiepileptic drugs and quality of life in patients with epilepsy: a tertiary care hospital-based study. Value in Health Regional Issues, 6, 1�6. Google Scholar

 

Kinyanjui, Daniel W. C., Kathuku, Dammas M., & Mburu, John M. (2013). Quality of life among patients living with epilepsy attending the neurology clinic at Kenyatta National Hospital, Nairobi, Kenya: a comparative study. Health and Quality of Life Outcomes, 11(1), 1�9. Google Scholar

 

Kusumastuti, K., Gunadharma, S., & Kustiowati, E. (2014). Pedoman tatalaksana epilepsi, kelompok studi epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University Press. Google Scholar

 

Lee, Jong Woo, & Dworetzky, Barbara. (2010). Rational polytherapy with antiepileptic drugs. Pharmaceuticals, 3(8), 2362�2379. Google Scholar

 

Mani, Jayanti. (2013). Combination therapy in epilepsy: what, when, how and what not! The Journal of the Association of Physicians of India, 61(8 Suppl), 40�44. Google Scholar

 

McHugh, John C., & Delanty, Norman. (2008). Epidemiology and classification of epilepsy: gender comparisons. International Review of Neurobiology, 83, 11�26. Google Scholar

 

Mohanraj, Rajiv, & Brodie, Martin J. (2006). Diagnosing refractory epilepsy: response to sequential treatment schedules. European Journal of Neurology, 13(3), 277�282. Google Scholar

 

Pamungkas, Muhammad Tri Wahyu. (2007). Keterlibatan terapi obat anti epilepsi sebagai faktor prediktor kualitas hidup penderita epilepsi. Universitas Gadjah Mada. Google Scholar

 

Patsalos, Philip N., & Perucca, Emilio. (2003). Clinically important drug interactions in epilepsy: general features and interactions between antiepileptic drugs. The Lancet Neurology, 2(6), 347�356. Google Scholar

 

Permatananda, Pande Ayu Naya Kasih, Apsari, Putu Indah Budi, & Harkitasari, Saktivi. (2019). Medication adherence and quality of life among epilepsy patients: A cross sectional study. International Journal of Research�Granthaalayah, 7, 1�10.

 

Pimpalkhute, Sonali A., Bajait, Chaitali S., Dakhale, Ganesh N., Sontakke, Smita D., Jaiswal, Kavita M., & Kinge, Parag. (2015). Assessment of quality of life in epilepsy patients receiving anti-epileptic drugs in a tertiary care teaching hospital. Indian Journal of Pharmacology, 47(5), 551. Google Scholar

 

Piperidou, Charitomeni, Karlovasitou, Anna, Triantafyllou, Nikolaos, Dimitrakoudi, Evagelia, Terzoudi, Aikaterini, Mavraki, Eleni, Trypsianis, Grigorios, Vadikolias, Konstantinos, Heliopoulos, Ioannis, & Vassilopoulos, Dimitrios. (2008). Association of demographic, clinical and treatment variables with quality of life of patients with epilepsy in Greece. Quality of Life Research, 17(7), 987�996.

 

Sander, Josemir W. (2004). The use of antiepileptic drugs�principles and practice. Epilepsia, 45, 28�34. Google Scholar

 

Schmidt, Dieter. (2009). Drug treatment of epilepsy: options and limitations. Epilepsy & Behavior, 15(1), 56�65. Google Scholar

 

Shih-Hui, L. I. M. (2004). Epidemiology and etiology of seizures and epilepsy in the elderly in Asia. Neurology Asia, 9(Supplement 1), 31�32. Google Scholar

 

Vasquez, B. (2004). Monotherapy in Epilepsy. Arch. Neurol, 62, 1361�1365. Google Scholar

 

Viteva, E. (2013). Impact of social factors on the quality of life of patients with refractory epilepsy. Acta Neurol Taiwan, 22(2), 51�58. Google Scholar

 

Wieser, Heinz‐Gregor, & Silfvenius, Herbert. (2000). Overview: epilepsy surgery in developing countries. Epilepsia, 41, S3�S9. Google Scholar

 

Copyright holder:

Pande Ayu Naya Kasih Permatananda (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: