Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

VALIDASI KUESIONER EATING IN THE ABSENCE OF HUNGER VERSI BAHASA INDONESIA

 

Anggita D. Cahyani1,2, Aulia Iskandarsyah1, Surya Cahyadi1, dan Wilis Srisayekti1

1Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung Jawa Barat Indonesia, 2Bina Nusantara University (BINUS) Bandung Jawa Barat Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan validitas konstruk kuesioner Indonesian Eating in the Absence of Hunger (EAH). Skala EAH asli (PEMS) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris untuk mengkonfirmasi kesetaraan konseptual dan linguistik. Skala tersebut diberikan kepada mahasiswa. Analisis faktor konfirmatori menunjukkan bahwa EAH versi Indonesia memiliki validitas dan reabilitas yang baik. Dengan demikian, alat ukur ini dapat digunakan untuk memahami fenomena EAH di Indonesia yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya obesitas. Selain itu, kuesioner ini dapat digunakan untuk memetakan keadaan psikologis masyarakat Indonesia terkait perilaku makan. Dengan demikian akan membantu dalam upaya preventif dan kuratif untuk mengatasi obesitas.

 

Kata Kunci: obesitas; eating in the absence of hunger; validitas

 

Abstract

The purpose of this works is to establish the construct validity of the Indonesian Eating in the Absence of Hunger (EAH) questionnaire. The original EAH scale (PEMS) was translated into Indonesian and back-translated into English to confirm the conceptual and linguistic equivalence. The scale was administered to university students. Confirmatory factor analysis demonstrated that Indonesian version of EAH has a good validity and reability. Thus, this measuring tool can be used to understand the EAH phenomenon in Indonesia, which is suspected to be one of the causes of obesity. In addition, this questionnaire can be used to map the psychological state of Indonesian society related to eating behavior. Thus, it will help in preventive and curative efforts to overcome obesity.

 

Keywords: obesity; eating in the absence of hunger; validity

 

Pendahuluan

Prevalensi obesitas (worldwide) meningkat hampir tiga kali lipat dari 1975 hingga 2016. Secara keseluruhan, 13% dari populasi dewasa (11% pria, 15% wanita) termasuk obesitas (WHO, 2018). Masih menurut WHO, berdasarkan data tahun 2016, 1.9 miliar orang dewasa masuk dalam golongan overweight, dengan 650 juta diantaranya dikategorikan obesitas (WHO, 2018). Sejalan dengan yang terjadi di dunia, di Indonesia, juga terjadi peningkatan tingkat obesitas orang dewasa di Indonesia dari tahun 2013 (14.8%) ke 2018 (21.8%) (Kemenkes, 2018). Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan tersendiri karena obesitas banyak diasosiasikan dengan berbagai macam peningkatan resiko penyakit khususnya penyakit tidak menular (Kemenkes, 2018). Setiap tahunnya, kematian yang disebabkan oleh PTM (secara global) sebesar 71%. Dari usia 30-69 tahun, 15 juta meninggal disebabkan oleh PTM. Lebih dari 85% kematian lebih awal (premature deaths) terjadi di negara low dan middle income (WHO, 2018). Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan kematian (17.9 juta), kemudian kanker (9.0 juta), penyakit pernafasan (3.9 juta) dan diabetes (1.6 juta) (WHO, 2108). Jika tidak ditangani dengan baik, tidak hanya individu yang bersangkutan yang akan mengalami masalah kesehatan, pemerintah sebagai entitas terbesar juga akan mengalami banyak masalah dan kerugian baik dari berkurangnya SDM unggul yang sehat secara utuh dan tentu saja BPJS yang terus membengkak.

Secara sederhana, penambahan berat badan yang berujung pada obesitas disebabkan karena seimbangan energi, dimana intake lebih sedikit daripada output energi yang dikeluarkan. Artinya apa yang dikonsumsi lebih dari jumlah yang dibutuhkan, atau terjadi overeating. Berbagai pendapat dan hasil penelitian diatas menunjukkan, bahwa meskipun tubuh memiliki mekanisme homestatis, perilaku makan ternyata tidak sebatas mekanisme internal dalam tubuh, namun ada interaksi dengan lingkungan. Makan tidak semata-mata karena termotivasi rasa lapar sehingga akan berhenti ketika merasa kenyang. Makan tidak semata-mata untuk menggantikan energi yang hilang, namun makan ternyata juga terdorong sebagai antisipasi atas rasa nikmat yang didapatkan ketika makan (Assanand, Pinel, & Lehman, 1998; Avena, 2015; Gold & Avena, 2013). Hal ini menjelaskan bahwa saat ini, makan tidak �hanya terjadi disaat lapar, namun makan juga diluar rasa lapar atau eating in the absence of hunger (EAH). Makan diluar rasa lapar inilah yang sebenarnya menjadi jawaban atas surplus energi yang bisa mengakibatkan kelebihan berat badan dan bahkan menyebabkan gangguan makan. �(Boutelle et al., 2014; Feig, Piers, Kral, & Lowe, 2018) . Mengetahui lebih dalam mengenai konsep lapar diluar rasa lapar tentu adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam memahami obesitas.

Istilah eating in the absence of hunger atau EAH pertama kali diperkenalkan �oleh Fisher dan Birch pada tahun 1999 (Balantekin, Birch, & Savage, 2017; Galindo et al., 2018)dalam penelitian yang bertujuan mengeksplorasi konsumsi anak-anak dalam kondisi kenyang. Penelitian tersebut dilakukan dalam setting laboratorium, dimana kondisi dari setiap anak dipastikan berada dalam keadaan kenyang, dan selanjutnya disediakan makanan ringan dan diberikan waktu selama 10 menit untuk bebas makan makanan ringan sambal bermain tanpa pengawasan.� EAH kemudian dioperasionalkan sebagai jumlah kilokalori yang dari makanan yang diasup partisipan anak tersebut.. Pada penelitian lain, Eating in the absence of hunger (EAH) didefinisikan sebagai kerentanan untuk makan saat kenyang sebagai respon atas kehadiran makanan yang lezat, misalnya snack, camilan, makan ringan (Balantekin et al., 2017).

Dalam kehidupan sehari-hari, makan diluar rasa lapar ini tentu akan sangat beragam bentuknya. Bisa disebut sebagai ngemil, snacking, mengudap, makan selingan, coffee break, dan segala bentuk aktivitas makan yang tidak disebabkan oleh lapar fisik. Memahaminya tentu akan sangat diperlukan dalam rangka memahami terjadinya obesitas. Oleh karena itu, berbagai usaha untuk memahami ini dilakukan, salah satunya dengan menggunakan instrumen yang tepat untuk memahami EAH. Untuk mengukur EAH, menurut Soltero et al (2015), cara terbaik adalah dengan mengukur intake yang terjadi saat ada kehadiran makanan lezat, pada saat individu dalam keadaan tidak lapar. Walaupun demikian berdasarkan penelusuran literatur, mengukur EAH tidak harus dengan pendekatan laboratorium seperti yang disebutkan. Terdapat cara lain seerti Ecological Momentary Assessment (EMA). Cara ini dianggap memiliki keunggulan karena mampu lebih memahami korelasi proksimal dan konsekuensi dari perilaku EAH (Goldschmidt et al., 2017). EMA sangat ideal untuk mengukur EAH secara natural, dapat menilai faktor dalam dan luar diri yang mendahului dan mengikuti episode EAH karena pengukuran dilakukan secara real time (Goldschmidt et al., 2017). Cara memahami EAH berikutnya adalah dengan kuesioner pelaporan diri (self-report) yang memiliki keunggulan yakni memungkinkan eksplorasi EAH dengan lebih efisien sehingga mampu melibatkan jumlah sampel yang lebih luas (Arnold, Johnston, Lee, & Garza, 2015; Tanofsky-kraff et al., 2009). Salah satu hal yang spesifik yang dihadirkan dalam kuesioner ini �adalah pertanyaan dengan situasi makan saat tidak lapar; dan inilah yang membedakan dengan alat ukur lain yang mengukur perilaku makan berlebihan seperti Dutch Eating Behavior Questionnaire (Bailly, Maitre, Amanda, Herv�, & Alaphilippe, 2012; Strien & Frijters, JER, 1986). Alat ukur ini awalnya dikembangkan untuk anak-anak dan remaja, sehingga diberi nama EAH-Children (Tanofsky-kraff et al., 2009), namun sudah terdapat pula versi dewasa �(Arnold et al., 2015). Jika pada EAH-C ada tiga faktor yang diidentifikasi yakni negative affect, external eating, dan boredom ((Tanofsky-kraff et al., 2009), pada EAH dewasa ditambahkan faktor fisik (Arnold et al., 2015). EAH-C versi dewasa ini juga memiliki validitas kovergen yang baik, dengan Cronbach alpha sebesar 0.82 and 0.8 untuk melanjutkan EAH dan memulai EAH. Dari ketiga alat ukur tersebut bisa disimpulkan bahwa masing-masing memiliki keandalan tersendiri, namun kuesioner pelaporan diri (self report) adalah cara yang paling efisien jika tujuan yang ingin dicapai adalah memahami EAH dalam skala yang luas.

Tersedianya beberapa instrument EAH tersebut tentu akan bermanfaat jika bisa dipergunakan dalam penelitian untuk lebih memahami EAH di Indonesia, khususnya dalam memahami fenomena obesitas. Namun demikian, belum ada versi Indonesia dari instrument tersebut, khususnya kuesioner EAH. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi alat ukur EAH versi Indonesia. Secara spesifik, kuesioner EAH yang akan divalidasi adalah kuesioner EAH yang didaptasi dari Taylor et al (2015). Salah satu alasan mengadaptasi dan memvalidasi alat ukur versi dewasa ini adalah karena di Indonesia, angka obesitas terjadi cukup tinggi pada kelompok usia dewasa (diatas 18 tahun) (Kemenkes, 2018).

 

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yang melibatkan sebanyak 280 mahasiswa usia 18-25 tahun (Mean=19.76 tahun; SD=1.23)� yang terdiri dari 79% perempuan dan 21% laki-laki dengan Indeks Masa Tubuh� rata-rata 22.2; (SD=4.27). Kuesioner disebarkan secara face to face oleh peneliti pada bulan September-Oktober 2019.

Kuesioner yang diadaptasi dan divalidasi adalah kuesioner EAH dewasa yang dikembangkan oleh Taylor et al (2015). Kuesioner ini terdiri dari dua jenis, yakni beginning EAH atau memulai EAH yang didefinisikan sebagai memulai makan saat tidak lapar beberapa jam setelah mengasup makanan dan continuing EAH yang didefinisikan sebagai melanjutkan makan/terus makan sesaaat setelah kenyang atau baru saja selesai makan (Tanofsky-Kraff et al., 2009; Arnold et al., 2015). Kuesione EAH terdiri dari 3 faktor yakni external, emotional, dan physical.

Sebelum kuesioner disebarkan, terlebih dahulu melalui beberapa tahapan adaptasi. Proses adaptasi yang dilakukan mengikuti apa yang dilakukan oleh Guillemin, Bombardier, dan Beaton (1993) mengenai langkah-langkah yang dilakukan untuk proses adaptasi agar tetap ekuivalen secara lintas budaya. Menurut Guillemin et al (1993) Langkah pertama adalah translasi. Pertama-tama alat ukur diterjemahkan oleh tiga orang yang terdiri dari dua orang lulusan psikologi yang menguasai Bahasa Inggris dan satu orang ahli Bahasa, masing-masing bekerja secara independen. Setelah itu hasilnya disintesis menjadi translasi alat ukur dalam Bahasa Indonesia. Tahap kedua, adalah back-translation. Pada tahap ini, dilakukan translasi �alat ukur dalam Bahasa Indonesia yang sudah dilakukan, diterjemahkan kembali dalam Bahasa Inggris dengan melibatkan dua orang penerjemah yang masing-masing bekerja secara independen. Proses ketiga menurut Guillemin et al (1993) adalah committee review. Pada tahap ini, peneliti bersama dengan tim mereview hasil back-translation. Proses review yang dilakukan antara lain melakukan komparasi alat ukur asli dengan alat ukur yang sudah diterjemahkan dan diterjemahkan kembali tersebut, dan melakukan penimbangan bahasa yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Pada tahap ini juga dilakukan penimbangan penggunaan skor yang sudah ditentukan oleh peneliti sebelumnya dan kesesuaian di Indonesia. Setelah itu, kuesioner diberikan pada sebanyak 24 mahasiswa untuk keperluan uji pemahaman dan uji keterbacaan.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan adaptasi dan memvalidasi alat ukur EAH. Validitas secara umum adalah kebenaran dari alat ukur. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Saughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2012). Analisis faktor konfirmatori (CFA) digunakan untuk menyelidiki validitas EAH versi Indonesia pada penelitian ini. Menurut Hair et al (2010), dalam penekatan SEM atau PLS, pengukuran telah memenuhi validitas konvergen jika memuhi beberapa syarat yakni 1) memiliki reabilitas indicator/item minila 0.5, 2) memiliki reabilitas komposit lebih tinggi dari 0.7, 3) rerata varians terekstrasi (AVE) minimal 0.5.

Hasil dan Pembahasan

1.       Beginning EAH

Untuk validitas konstruk nilai loading indikator dianjurkan minimal adalah 0,5 sedangkan untuk nilai AVE yang diharapkan adalah 0,5. Sedangkan untuk Composite Reliability nilai yang diharapkan adalah 0,6 keatas untuk memenuhi reliabilitas kontruk. Dari hasil di atas terlihat bahwa untuk variabel laten EAH untuk emotional dan external validitas dan reabilitas konstruk sudah terpenuhi. Untuk faktor physical item no 7 memiliki loading kurang dari 0,5, maka akan dilakukan CFA ulang dengan membuang item no 7. Berikut hasil analisis setelah item no 7 dibuang.

 

Tabel 1

Hasil Uji Validitas dan Reabilitas variabel Beginning EAH :

 

 

loading

AVE

CR

em

eah1

0.88

0.73

0.90

eah2

0.83

eah3

0.92

eks

eah4

0.79

0.52

0.76

eah5

0.72

eah6

0.75

phis

eah8

0.95

0.77

0.87

eah9

0.86

 

Untuk faktor emotional dan external hasilnya sama dengan sebelumnya. Untuk faktor physical nilai loading factor sudah di atas 0,5. Nilai AVE (>0.5) dan CR (>0.7) sudah di atas ketentuan, maka faktor physical juga sudah memenuhi validitas dan reabilitas konstruk.

2.       Continuing EAH

Hampir sama dengan beginning EAH, untuk validitas konstruk nilai loading indikator dianjurkan minimal adalah 0,5 sedangkan untuk nilai AVE adalah 0,5. Sedangkan untuk reliabilitas konstruk adalah di atas 0,7. Dari hasil di atas terlihat bahwa untuk variabel laten EAH untuk emotional, validitas dan reabilitas konstruk sudah terpenuhi. Untuk faktor external nilai AVE masih di bawah 0,5 namun nilainya mendekati 0,5 dan nilai Composite reliability sudah di atas 0,6 maka validitas konstruk dianggap cukup memadai. Untuk faktor physical, item no 7 memiliki loading kurang dari 0,5, maka akan dilakukan cfa ulang dengan membuang item no 7.

Tabel 2

Hasil Uji Validitas dan Reabilitas variabel Continuing EAH

 

 

loading

AVE

CR

em

eah1

0.781

0.68

0.90

eah2

0.836

eah3

0.944

eks

eah4

0.847

0.49

0.74

eah5

0.62

eah6

0.651

phis

eah8

0.962

0.75

0.86

eah9

0.834

 

Untuk faktor emotional dan external hasilnya sama dengan sebelumnya. Untuk faktor physical nilai loading factor sudah di atas 0,5 dan nilai AVE (>0.5) dan CR (>0.7) sudah diatas ketentuan maka faktor physical juga sudah memenuhi validitas dan reabilitas konstruk.

 

Tabel 3

Hasil akhir kuesioner EAH versi Indonesia (versi lengkap dalam lampiran)

Faktor

Beginning EAH

Continuing EAH

emotional

Sedang merasa cemas atau gugup

Sedang merasa cemas atau gugup

 

Sedang merasa sedih atau depresi

Sedang merasa sedih atau depresi

 

Sedang merasa marah atau frustasi

Sedang merasa marah atau frustasi

external

Orang lain sedang/masih makan

Orang lain sedang/masih makan

 

Tersedia makanan

Tersedia makanan

 

Menikmati aktivitas makan

Menikmati aktivitas makan

physical

Sedang merasa kliyengan

Sedang merasa kliyengan

 

Sedang merasa sakit kepala

Sedang merasa sakit kepala

Hasil analisis menunjukkan bahwa kuesioner EAH versi Indonesia valid dan reliabel. Terdapat satu item yakni item nomor 7 tentang waktunya makan (beginning EAH) dan rasa makanan (continuing EAH) karena keduanya memiliki nilai loading indicator <0.5. Versi EAH Indonesia terdiri dari 8 item yang terbagi dalam tiga faktor. Stuktur ini tidak berbeda dengan EAH versi Bahasa Inggris dari Taylor et al (2015).

 

Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa kuesioner EAH versi Indonesia valid dan reliabel untuk digunakan dalam eksplorasi fenomena makan diluar rasa lapar di Indonesia. Dengan demikian, alat ukur ini bisa dipergunakan untuk memahami fenomena EAH di Indonesia, yang ditengarai menjadi salah satu sebab dari obesitas. Selain itu, kuesioner ini bisa dipergunakan untuk memetakan keadaan psikologis Masyarakat Indonesia terkait perilaku makan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tanja Kral, bahwa dengan memahami EAH maka akan dapat ditemukan behavioral phenotype obesitas sehingga akan membantu dalam usaha preventif dan kuratif mengatasi obesita. EAH yang merupakan bentuk dari overeating dan belum termasuk dalam kelompok eating disorder. Namun EAH sendiri sudah termasuk dalam kategori problematic eating menurut whalter & Hilbert. Selain itu, jika EAH ini disertai dengan hilang control saat makan menjadikannya semakin dengan dengan disorder yang sesungguhnya, dengan EAH, akan membantu� ketika Selain Taylor.

BIBLIOGRAFI

 

Arnold, Taylor A., Johnston, Carol S., Lee, Chong D., & Garza, Andrea M. (2015). Eating in the absence of hunger in college students. Appetite, 92, 51�56. �Google Scholar

 

Assanand, Sunaina, Pinel, John P. J., & Lehman, R. (1998). Personal Theories of Hunger and Eating �. 998�1015.Google Scholar

 

Bailly, Nathalie, Maitre, Isabelle, Amanda, Marion, Herv�, Catherine, & Alaphilippe, Daniel. (2012). The Dutch Eating Behaviour Questionnaire (DEBQ). Assessment of eating behaviour in an aging French population. Appetite, 59(3), 853�858. Google Scholar

 

Balantekin, Katherine N., Birch, Leann L., & Savage, Jennifer S. (2017). Eating Behaviors Eating in the absence of hunger during childhood predicts self-reported binge eating in adolescence. Eating Behaviors, 24, 7�10. �Google Scholar

 

Boutelle, Kerri N., Peterson, Carol B., Crosby, Ross D., Rydell, Sarah A., Zucker, Nancy, & Harnack, Lisa. (2014). Overeating phenotypes in overweight and obese children. Appetite, 76, 95�100. Google Scholar

 

Feig, Emily H., Piers, Amani D., Kral, Tanja V. E., & Lowe, Michael R. (2018). Eating in the absence of hunger is related to loss-of-control eating, hedonic hunger, and short-term weight gain in normal-weight women. Appetite. Google Scholar

 

Galindo, Lionor, Power, Thomas G., Beck, Ashley D., Fisher, Jennifer Orlet, O�Connor, Teresia M., & Hughes, Sheryl O. (2018). Predicting preschool children�s eating in the absence of hunger from maternal pressure to eat: A longitudinal study of low-income, Latina mothers. Appetite, 120, 281�286. Google Scholar

 

Gold, Mark S., & Avena, Nicole M. (2013). Animal Models Lead the Way to Further Understanding Food Addiction as Well as Providing Evidence that Drugs Used Successfully in Addictions Can Be Successful in Treating Overeating. Biological Psychiatry, 74(7), e11-. Google Scholar

 

Goldschmidt, Andrea B., Crosby, Ross D., Cao, Li, Pearson, Carolyn M., Utzinger, Google Scholar

 

Linsey M., Pacanowski, Carly R., Mason, Tyler B., Berner, Laura A., Engel, Scott G., Wonderlich, Stephen A., & Peterson, Carol B. (2017a). Contextual factors associated with eating in the absence of hunger among adults with obesity. Eating Behaviors, 26, 33�39. Google Scholar

 

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Google Scholar

 

Kral, Tanja V. E. (2018). Physiology & Behavior Behavioral phenotypes for childhood obesity : 2017 Alan N . Epstein Research Award. Physiology & Behavior, (November 2017), 0�1. Google Scholar

 

Schyns, Ghislaine, Roefs, Anne, Smulders, Fren T. Y., & Jansen, Anita. (2018). Cue exposure therapy reduces overeating of exposed and non-exposed foods in obese adolescents. Journal of Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, 58, 68�77. �Google Scholar

 

Shaughnessy, J.J., Zechmeister, E.B & Zechmeister, J.S. (2012). Research Methods in Psychology 9th Edition. Singapore: Mc Graw Hill Google Scholar

 

Strien, T. Van, & Frijters, JER, Bergers G. P. a. and Defares P. B. (1986). The Dutch Eating Behavior Questionnaire (DEBQ) for assessment of restrained, emotional, and external eating behavior. � Journal of Eating �, 5(2), 295�315. Google Scholar

 

Tanofsky-kraff, Marian, Ranzenhofer, Lisa M., Yanovski, Susan Z., Natasha, A., Faith, Myles, Gustafson, Jennifer, & Yanovski, Jack A. (2009). NIH Public Access. 51(1), 148�155.

 

Walther, Mireille, & Hilbert, Anja. (2015). Eating Behaviors Emotional Openness , problematic eating behaviours , and overweight in adolescents. Eating Behaviors, 17, 111�114. Google Scholar

�

World Health Organization. (2018, June 1). Noncommunicable diseases. Retrieved November 9, 2018, from World Health Organization: http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/noncommunicable-diseases

 

World Health Organization. (2018, February 16). Obesity and overweight. Retrieved November 6, 2018, from World Health Organization: http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/obesity-and-overweight