Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������������������������������� e-ISSN: 2548-1398
��������������������������������� Vol. 6, No. 1, Januari 2021
OPTIMALISASI PERAN BALAI
PEMASYARAKATAN DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
YANG DIBEBASKAN DIMASA PANDEMI COVID 19
Yohana Damayanti Br Kaban
dan Beniharmoni Harefa
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract
During the Covid-19 pandemic, the
government through the Ministry of Law and Human Rights reviewed the policy
through Permenkumham No 10 in 2020 regarding the
release of assimilation and the executive order making the child the
perpetrator of this crime many were released. This makes bapas
must improve the implementation of the development of the freed child. The
problem in this study is how to optimize BAPAS in the implementation of child
development as the perpetrator of crimes that are released because of Covid-19
and the obstacles faced by bapas in the
implementation of the construction. The purpose of this study is to know how to
optimize BAPAS in the development of children as perpetrators of crimes that
are released because of Covid-19 and know the obstacles faced by bapas in the implementation of the construction of children
as perpetrators of the crime struck. The research method used is normative
juridical using secondary data obtained through literature studies such as
scientific books, journals, laws. From this research it can be concluded that
due to the human resources that are not proportional to the number of child
prisoners who are released so that the performance is not optimal, the
Correctional Center works together and empowers the community in the
environment where the child prisoners live concerned to ensure assimilation and
integration. This makes it possible to ensure reintegration of children and
increase children's confidence in their original communities and ensure their
future.
Keywords: correctional
center; child; covid-19
Abstrak
Dimasa pandemi Covid-19, pemerintah
melalui Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan melalui
Permenkumham No. 10 tahun 2020 terkait pembebasan dan asimilasi membuat anak
sebagai pelaku tindak pidana ini banyak yang dibebaskan. Hal tersebut membuat
pihak Balai Pemasyarakatan harus meningkatkan pelaksanaan pembinaan terhadap
anak yang dibebaskan tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana optimalisasi Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan anak
sebagai pelaku tindak pidana yang dibebaskan karena Covid-19 dan
kendala yang dihadapi pihak Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan
tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana optimalisasi Balai
Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan anak sebagai pelaku tindak pidana
yang dibebaskan karena Covid-19 dan mengetahui kendala-kendala yang dihadapi
pihak Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana yang dibebaskan tersebut. Metode penelitian yang digunakan
adalah yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui
studi kepustakaan seperti buku-buku ilmiah, jurnal, undang-undang. Dari penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa dikarenakan sumder daya manusia yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana
anak yang dibebaskan sehingga membuat kinerja menjadi tidak maksimal maka dari pihak
Balai Pemasyarakatan bekerja sama dan memberdayakan masyarakat di
lingkungan tempat tinggal narapidana anak terkait untuk menjamin asimilasi dan
integrasi yang dilakukan. Hal itu memungkinkan
terjaminnya reintegrasi anak dan menambah kepercayaan
diri anak ke dalam
masyarakat asal serta menjamin masa depan mereka.
Kata kunci: balai pemasyarakatan; anak; covid-19
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Anak-anak
memang harus dijaga dengan baik, karena merekalah yang akan meneruskan masa
depan bangsa Indonesia. Dalam Konstitusi Indonesia, anak memiliki
peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap
anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak
bermaksud untuk melindungi berbagai kepentingan yang menyangkut dengan
kesejahteraan anak bahkan masa depan anak. Salah satu bentuk perlindungan hukum
bagi hak asasi anak, yaitu perlindungan hukum terhadap anak yang berada dalam
sistem peradilan pidana anak.
Menurut data yang dilansir
dari CNN Indonesia tahun
2020, masalah anak yang berkonflik dengan hukum mempunyai
kecenderungan semakin meningkat. Catatan kriminalitas terkait anak di
Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan
Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan, menunjukkan data bahwa anak-anak
yang berada di lingkungan Rutan Tahanan Negara (Rutan) dan Layanan
Pemasyarakatan berjumlah 3.812 orang. Anak-anak yang diversi sebanyak 5.229
orang, dan total sekitar 10 ribu anak termasuk mereka yang sedang menjalani
asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti jelang bebas.
Balai Pemasyarakatan adalah salah satu pihak yang terlibat selama proses peradilan anak yang berkonflik dengan hukum dari awal anak ditangkap hingga anak menyelesaikan masa hukumannya. Misi atau tugas mulia yang diemban Balai Pemasyarakatan tersebut belum dapat berjalan dengan optimal, disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan pelayanan dan pembinaan pemasyarakatan yaitu wilayah kerja Balai Pemasyarakatan yang terlampau luas dan letak geografis. Sementara, jumlah sumber daya manusia Pembimbing Kemasyarakatan (PK), sarana dan prasarana serta daya dukung operasional lainnya sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang harus dilayani. Jumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pemasyarakatan yang ada ternyata masih jauh dari ideal. Sebagai perbandingan, saat ini Balai Pemasyarakatan di seluruh Indonesia berjumlah 71 UPT dengan klasifikasi I berjumlah 17 satuan kerja dan klasifikasi II berjumlah 54 satuan kerja, sedangkan jumlah Kabupaten/Kota saat ini berjumlah 539, yang terdiri atas 34 provinsi, 412 kabupaten, dan 93 kota (tidak termasuk 5 (lima) kota administratif dan 1 (satu) kabupaten administratif di Provinsi DKI Jakarta) (Trisapto, 2020)
Dimasa pandemi Covid-19 ini pemerintah mengeluarkan
kebijakan Permenkumham No. 10 tahun 2020 tentang Asimilasi dan Integrasi
sehingga pihak Balai Pemasyarakatan membebaskan anak bimbingannya demi mencegah
penyebaran Covid-19.
Dilansir dari berita CNN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)
membebaskan 13.430 narapidana dan
anak melalui program asimilasi dan integrasi. Langkah itu sebagai upaya
mengantisipasi penyebaran Covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan dan
Rumah Tahanan yang kapasitasnya meledak. Anak-anak yang dibebaskan tersebut
tetap diawasi oleh pihak Balai
Pemasyarakatan hanya dengan sistem daring seperti melakukan videoconference atau
sejenisnya. Pengawasan dan pembinaan dilakukan secara berkala selama waktu yang
sudah ditentukan sebelumnya. Kemudian, para petugas akan mencatat dan mengirim laporan
segala perkembangan mereka.
Hal ini menjadi koreksi penting pihak Balai Pemasyarakatan karena jumlah sumber daya yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana yang dibebaskan karena covid-19. Permasalahan yang diangkat oleh penulis adalah bagaimana optimalisasi dari Balai Pemasyarakatan dalam pelaksaan pembinaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang dibebaskan dimasa Covid-19 dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang dibebaskan dimasa Covid-19. Pada penelitian terdahulu yang berjudul Peran Balai Pemasyarakatan Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Di Tinjau Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Okky, 2017) dengan hasil peran Balai Pemasyarakatan belum maksimal dalam penanganan pembimbingan dan pendampingan narapidana anak. Sedangkan dalam penelitian ini memfokuskasn untuk mengetahui optimalilasi peran Balai Pemasyarakatan dalam pembebasan narapidana anak dimasa Covid-19. Pentingnya penelitian ini supaya mengetahui langkah atau strategi yang harus dilakukan pihak Balai Pemasyarakatan terkait kebijakan asilasi dan integrasi demi masa depan anak yang lebih baik.
Penulis
mengangkat penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Balai Pemasyarakatan
dalam peningkatan pembinaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang
dibebaskan dimasa Covid-19 dan mengetahui kendala-kendala apa saja yang
dihadapi pihak Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pembinaan dimasa Covid-19
terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana yang dibebaskan tersebut.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yakni metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian
hukum ini berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti
bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Data sekunder sebagai
bahan dasar dalam penelitian ini, dapat berupa berbagai bahan hukum, baik bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan khususnya perundangan-undangan terkait perlindungan anak dan
sistem peradilan pidana anak. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku teks,
jurnal-jurnal hukum, khususnya buku dan jurnal terkait sistem pelaksanaan
pembinaan BAPAS dan terkait Covid-19. Teknik pengumpulan data berupa studi
pustaka, observasi dan dokumentasi.
Hasil dan Pembahasan
Dalam konteks
pandemi Covid-19 di lingkungan lembaga pemasyarakatan, Scott (2020) fokus
melihat bagaimana lingkungan lembaga pemasyarakatan terpengaruh oleh pandemi
Covid-19 dan seberapa tinggi risiko penularan virus berlangsung. Scott melihat
bila pada dasarnya, kondisi lembaga pemasyarakatan di seluruh dunia yang kebanyakan
mengalami persoalan seperti kepadatan populasi tahanan yang tinggi, sirkulasi
udara yang buruk, serta standar sanitasi dan makanan yang rendah, menjadikan
lembaga pemasyarakatan sebagai tempat terburuk sepanjang pandemi berlangsung,
menjadikan narapidana secara keseluruhan menghadapi risiko kesehatan yang
sangat besar. Melihat dari perspektif antropologi, Scott menilai penting bagi
pemangku kebijakan untuk menerapkan kebijakan yang didasarkan pada inklusi
sosial, rehabilitasi berbasis komunitas, serta berasaskan kebebasan bergerak (freedom of movement) (Scott, 2020).
Masih dalam bahasan
serupa, Simpson & Butler (2020) dan Barnert et al. (2020) turut melihat
risiko besar penyebaran virus di dalam fasilitas lembaga pemasyarakatan selama
berlangsungnya pandemi Covid-19. Simpson & Butler menggarisbawahi bila lembaga
pemasyarakatan telah lama diakui sebagai ruang inkubator bagi penyakit menular,
di mana telah terjadi berbagai kasus sebelum Covid-19 di mana pelepasan tahanan
justru mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat sekitar. Kasus tifus di
Inggris abad ke-16 dan amnesti di Rusia pada 1997 dan 2001 yang ditujukan untuk
mengurangi dampak dan penyebaran tuberkulosis di penjara-penjara yang terlalu
padat, di mana kedua kasus tersebut justru berakibat tersebarnya penyakit
menular terkait ke masyarakat (Simpson & Butler,
2020). Barnert et al. melihat bila kondisi lembaga pemasyarakatan
yang sering kali terlalu padat, ventilasi dan sanitasi yang buruk, serta
standar kebersihan yang rendah, berujung pada tingginya risiko Covid-19 (Elizabeth Barnert, Ahalt,
& Williams, 2020). Kedua artikel merekomendasikan pentingnya untuk
mengurangi populasi penjara melalui pembebasan tahanan yang didasarkan pada
analisa risiko dari individu terkait terhadap komunitas serta ancaman terhadap
Covid-19.
Hal yang sama turut
dibahas oleh Sulhin (2020), di mana ia fokus membahas persoalan yang ada dalam
lembaga pemasyarakatan di lingkup Indonesia. Sebelum pandemi berlangsung,
seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah mengalami persoalan besar
terkait overcrowding dan pemenuhan hak minimum bagi tahanan dan narapidana.
Lebih spesifik dalam konteks� kesehatan,
saranan dan prasarana layanan kesehatan, termasuk ketersediaan obat-obatan dan
tenaga kesehatan, sering kali tidak mencapai standar yang telah ditentukan
dalam UU No. 12 tahun 1995. Dengan adanya fenomena pemenjaraan berlebihan yang
berlangsung di Indonesia, penting untuk kemudian adanya penerapan kebijakan
yang lebih manusiawi dan realistis dengan fakta overcrowding
di penjara, termasuk kebijakan
seperti pembebasan serta penerapan community-based
corrections sedari awal (Sulhin, 2020).
Dalam bahasan
dampak pandemi Covid-19 terhadap narapidana anak, Bateman (2020) melihat bila
narapidana anak telah mengalami pembatasan kebebasan yang sangat besar di dalam
lembaga pemasyarakatan. Dengan penerapan berbagai kebijakan seperti isolasi
tahanan, narapidana anak kemudian harus menjalani kehidupan sehari-hari dengan
sedikit atau tanpa kontak sosial. Lebih lanjut, isolasi yang berlangsung turut
dibarengi dengan pemberhentian total kunjungan personal ataupun profesional,
berakibat pada total ketiadaan kontak sosial yang dilakukan oleh tiap
narapidana anak. Dengan perlakuan terhadap narapidana anak sepanjang Covid-19
yang dianggap tidak manusiawi, Bateman menilai bila penting untuk menerapkan
kebijakan yang lebih manusiawi, seperti pembebasan narapidana anak ke tempat
tinggal mereka masing-masing (Bateman, 2020).
Serupa dengan
bahasan Bateman, Buchanan et al. (2020) secara fokus membahas dampak dari
Covid-19 terhadap narapidana anak yang ada dalam sistem peradilan. Serupa
dengan berbagai bahasan di atas, Buchanan et al. menemukan bila Covid-19 secara
fundamental memberikan tantangan bagi tiap lembaga pemasyarakatan, menekankan
pentingnya upaya untuk mengurangi populasi tahanan dalam penjara. Walau
demikian,� Buchanan et al. turut menyadari
bila upaya untuk mendesain sistem yang sesuai dengan panduan kesehatan dan
kebijakan social-distancing
dalam tiap lembaga pemasyarakatan akan sulit untuk dilakukan, mengingat
banyak dari lembaga pemasyarakatan yang mengalami keterbatasan sumber daya,
baik modal ataupun manusia (Buchanan, Castro, Kushner, & Krohn, 2020). Lebih lanjut
dalam bahasan tersebut, Barnert (2020) menemukan bila selain berbagai
permasalahan yang ada dalam tiap lembaga pemasyarakatan seperti yang telah
dibahas oleh berbagai tulisan di atas, hal-hal seperti persoalan emosional,
kekerasan seksual, dan tekanan-tekanan lainnya yang berlangsung dalam penjara
memberikan tiap tahanan, terutama narapidana anak, tekanan tambahan yang
dianggap memperlemah sistem imun mereka, memperburuk kemungkinan transmisi
Covid-19 (Elizabeth S. Barnert, 2020).�
Masuk ke dalam
konteks kebijakan Asimilasi dan Integrasi yang diterapkan oleh Kemenkumham,
terdapat berbagai tulisan yang secara spesifik membahas implementasi dan dampak
dari kebijakan tersebut, masing-masing dari berbagai perspektif dan fokus yang
berbeda. Trisnawati (2020) dalam tulisannya memberikan pembahasan terkait overview kebijakan
asimilasi dan integrasi narapidana dan anak. Di luar urgensi dan alasan
mengenai penerapan kebijakan ini, Trisnawati menemukan bila terdapat tiga
hambatan utama dalam penerapan kebijakan asimilasi dan integrasi terkait
Covid-19. Ketiga hambatan tersebut antara lain adalah adanya ketidakjelasan
alamat tujuan warga binaan lembaga pemasyarakatan, adanya pemanfaatan kebijakan
oleh narapidana yang dibebaskan demi kepentingan pribadi, serta keraguan dari
masyarakat luas untuk menerima kedatangan narapidana dan anak yang dibebaskan (Trisnawati, 2020).
Jufri &
Anisariza (2017) melakukan pembahasan atas asimilasi narapidana yang dilakukan
oleh lembaga pemasyarakatan Terbuka Jakarta sebelum pandemi Covid-19. Sebagai
salah satu kebijakan untuk mengurangi overcrowding di
fasilitas lembaga pemasyarakatan, kebijakan asimilasi dianggap memberikan baik
dampak positif dan negatif. Dampak positif yang terlihat jelas dapat dilihat
dari sisi narapidana, di mana kebijakan asimilasi memberikan narapidana
kesempatan untuk membaur dengan publik serta menjadi sumber pendapatan selama
mereka menjalani masa hukuman. Di sisi lain, kebijakan ini dianggap mengalami
berbagai kendala, di mana keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh lembaga
pemasyarakatan mengartikan SDM yang ada harus bekerja lebih ekstra, serta sulit
untuk menemukan mitra ketiga bagi proses asimilasi narapidana (Jufri & Anisariza, 2017).
Lebih lanjut
dalam konteks Covid-19, Tirtakusuma (2020), Rizky (2020),� Appludnopsanji & Disemadi (2020), serta
Khoirunnisa� (2020) memberikan pembahasan
atas dampak serta persoalan terkait penerapan kebijakan asimilasi dan
pembebasan narapidana. Tirtakusuma (2020) menggarisbawahi pembahasan pada
bagaimana kemudian kebijakan asimilasi dan pembebasan narapidana memodifikasi
hukuman yang telah diputuskan oleh sistem peradilan. Dengan pengkajian
kebijakan asimilasi melalui aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis,
Tirtakusuma menilai bila kebijakan asimilasi, setidaknya melalui perspektif
aspek filosofis, tetap sesuai dengan tujuan dasar proses pemidanaan. Kebijakan
asimilasi dinilai Tirtakusuma mampu mengurangi kemungkinan overpunishment,
di mana narapidana harus menjalani hukuman penuh bersamaan dengan tekanan
psikologis yang ditimbulkan oleh risiko pandemi Covid-19 (Tirtakusuma, 2020).
Rizky (2020)
melakukan pembahasan terkait dampak positif yang diberikan oleh kebijakan
asimilasi dan integrasi bagi narapidana semasa pandemi Covid-19. Rizky secara
garis besar menemukan dua dampak positif utama dari penerapan kebijakan ini
terutama terkait dengan fenomena overcrowded di fasilitas lembaga
pemasyarakatan, yaitu penghematan anggaran negara serta peningkatan
produktivitas narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Perihal penghematan
anggaran negara, kalkulasi anggaran yang dilakukan berdasarkan laporan rerata
biaya hidup narapidana per hari menunjukkan penghematan anggaran negara sebesar
lebih dari Rp340 miliar, di mana anggaran tersebut dapat kemudian dialokasikan
pada upaya penyediaan sarana dan prasarana kesehatan di dalam tiap fasilitas
lembaga pemasyarakatan. Perihal produktivitas, pembatasan aktivitas di tiap
lembaga pemasyarakatan mengartikan adanya waktu lebih bagi narapidana untuk
bekerja di UPT permasyarakatan yang memiliki industri produktif sendiri (Rizky, 2020).
Appludnopsanji
& Disemadi (2020) memberikan bahasan terkait permasalahan yang muncul dari
kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana. Secara sederhana, permasalahan
yang berpotensi timbul banyak terkait pada hubungan antar narapidana di dalam
lembaga pemasyarakatan. Dengan adanya persyaratan pembebasan bersyarat yang
diatur, Appludnopsanji & Disemadi menilai bila akan timbul kecemburuan
narapidana yang tidak memeroleh kesempatan untuk bebas, berujung pada
peningkatan kriminalitas dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan. Lebih lanjut,
narapidana yang dibebaskan turut dikhawatirkan akan melalukan tindak kejahatan,
menghilangkan esensi dari upaya pengintegrasian narapidana ke dalam masyarakat (Appludnopsanji & Disemadi, 2020).�� Dalam pembahasan serupa, Khoirunnisa (2020)
menemukan bila terdapat kemungkinan bila narapidana yang dibebaskan kemudian
akan menjadi polemik baru di masyarakat, di mana terdapat kesulitan bagi tiap
lembaga pemasyarakatan untuk menjamin seluruh narapidana yang dibebaskan
bersyarat melalui kebijakan ini akan berkelakuan baik setelah dibebaskan dan
diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat (Khoirunnisa, 2020).
Dalam konteks
program asimilasi dan integrasi masa Covid-19 bagi narapidana anak, Umronah
(2020) dan Saimima & Noviansyah (2020) masing-masing memberikan analisis
terkait proses pelaksanaan kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana anak di
masa Covid-19. Umronah (2020) dalam tulisannya membahas bagaimana proses
pengawasan asimilasi dan integrasi bagi narapidana dan anak berlangsung. Dalam
proses tersebut, Umronah melihat bila terdapat berbagai faktor yang kemudian
mempengaruhi pengawasan kebijakan ini, mulai dari ketersediaan klien (baik
jumlah petugas ataupun kesiapan menjalani pengawasan, keterbatasan SDM,
pemanfaatan teknologi dan informasi, serta pengelolaan administrasi terutama
terkait penyebaran Covid-19 di luar lingkungan lembaga pemasyarakatan (Umronah, 2020). Saimima &
Noviansyah (2020) dalam tulisannya memberikan model untuk memberdayakan dan
melibatkan masyarakat di lingkungan tempat tinggal narapidana anak terkait
untuk menjamin asimilasi dan integrasi yang dilakukan. Selain untuk menjamin
keberhasilan proses reintegrasi narapidana anak ke dalam masyarakat, model ini
ditujukan untuk dapat membangun kepercayaan diri narapidana anak, menjamin
perolehan pendidikan, membangun dan mendorong perubahan diri, sikap serta
kedisiplinan anak, serta membangun jiwa pengabdian pada negara (Saimima & Noviansyah, 2020). Inovasi
dalam penelitian ini adalah dapat
memberi kebijakan yang lebih baik terkait
asimilasi dan integrasi
pada narapidana anak pada
masa Covid-19 ini demi masa depan
anak yang berkualitas.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang dilakukan di atas, pada dasarnya terlihat apabila fasilitas
lembaga pemasyarakatan, baik di level global ataupun di Indonesia, sama-sama
mengalami persoalan seperti overcrowded dan keterbatasan sumber daya, yang mana
permasalahan ini memberikan tantangan bagi pencegahan transmisi virus Covid-19
dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan. Dalam konteks kebijakan asimilasi dan
integrasi narapidana dan anak yang diambil oleh Kemenkumham sebagai upaya
kontrol dan penanggulangan transmisi Covid-19 dalam lingkungan lembaga
pemasyarakatan, dapat dikatakan bila kebijakan ini memiliki dampak, baik
positif dan negatif. Fokus pada bahasan narapidana anak, kebijakan ini
memungkinkan terjaminnya reintegrasi anak ke dalam masyarakat asal serta menjamin
masa depan mereka, seperti akses pada pendidikan melalui berbagai layanan
sosial yang ada. Walau demikian, terdapat keterbatasan dalam menemukan bahasan
yang secara spesifik melihat kendala teknis yang dialami oleh lembaga
pemasyarakatan dalam pelaksanaan kebijakan ini, selain temuan seperti
keterbatasan sumber daya modal dan manusia.
BIBLIOGRAFI
Appludnopsanji, & Disemadi, Hari Sutra. (2020).
Problematika Kebijakan Pembebasan Narapidana sebagai Upaya Penanggulangan
COVID-19 di Indonesia. Wawasan Yuridika, 4(2), 131�148.
https://doi.org/10.25072/jwy.v4i2.369
Barnert, Elizabeth, Ahalt, Cyrus, & Williams,
Brie. (2020). Prisons: Amplifier of the COVID-19 Pandemic Hiding in Plain
Sight. American Journal of Public Health, 110(7).
https://doi.org/10.2105/AJPH.2020.305713
Barnert, Elizabeth S. (2020). COVID-19 and
youth impacted by juvenile and adult criminal justice systems. Pediatrics
Perspective, 146(2). https://doi.org/10.1542/peds.2020-1299
Bateman, Tim. (2020). Unjust pains: the
impact of COVID-19 on children in prison. Journal of Children�s Services,
(September), 1�14. https://doi.org/10.1108/JCS-07-2020-0045
Buchanan, Molly, Castro, Erin D., Kushner,
Mackenzie, & Krohn, Marvin D. (2020). It�s F**ing Chaos: COVID-19�s Impact
on Juvenile Delinquency and Juvenile Justice. American Journal of Criminal
Justice, 45(4), 578�600. https://doi.org/10.1007/s12103-020-09549-x
Gadis Vitayanty Noor (2016). Optimalisasi peran Balai Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 Studi Di Balai Pemasyarakatan Kelas
II Pekalongan. Jurnal Diponegoro Law Review, Vol. 5 No. 2
Jufri, Ely Alawiyah, & Anisariza, Nelly
Ulfah. (2017). Pelaksanaan Asimilasi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Terbuka Jakarta. ADIL: Jurnal Hukum, 1�26.
https://doi.org/10.33476/ajl.v8i1.452
Khoirunnisa, Nurul Aulia. (2020). Dampak
Pembebasan Narapidana pada Lingkungan Masyarakat di Tengah Wabah Virus
COVID-19. Jurnal Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Sosial Keagamaan,
20(1), 112�129.
Margie G. Sopacua (2015).
Peran Balai Pemasyarakatan Dalam Proses Penyelesaian Tindak Pidana Yang
Dilakukan Anak Berbasis Restoratif Justice. Jurnal Sasi, Vol. 21 No. 2
Okky Chahyo Nugroho (2017).
Peran Balai Pemasyarakatan Pada Sistem Peradilan Pidana Anak Di Tinjau Dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal HAM, Vol. 8 No. 2
Rizky, Bayu. (2020). Dampak Positif Bagi
Narapidana Dalam Pencegahan Dan Penaggulangan Covid-19. JUSTITIA :
Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 7(3), 655�665.
Saimima, Ika Dewi Sartika, &
Noviansyah. (2020). Model Persuasif Edukatif Bagi Masyarakat Untuk Mendukung
Program Asimilasi Dan Integrasi Bagi Narapidana Anak Pada Masa Pandemi
Covid-19. Res Judicata, 3(1), 51�65.
Scott, Jason Bartholomew. (2020). A pandemic
in prisons. Social Anthropology, 28(2), 352�353.
https://doi.org/10.1111/1469-8676.12857
Setiadi,
Wicipto, Satino, Surahmad (2018). Sosialisasi Hukum Perlindungan Anak
Dilingkungan Karang Taruna RT. 07 RW.14 Kelurahan Bahagia Kecamatan Babelan
Kab. Bekasi. Jurnal UPNVJ.
Simpson, Paul L., & Butler, Tony G.
(2020). Covid-19, prison crowding, and release policies. The BMJ, 369(April),
1�2. https://doi.org/10.1136/bmj.m1551
Sulhin, Iqrak. (2020). Covid-19,
Pemenjaraan Berlebihan, Dan Potensi Katastrofe Kemanusiaan. Jurnal Hukum
& Pembangunan, 50(2), 400.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol50.no2.2588
Tirtakusuma, Andreas Eno. (2020).
Modifikasi Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Kajian Pengeluaran dan Pembebasan
Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan Penyebaran Covid-19). Selisik, 6(1), 15�29.
Trisapto Wahyudi Agung
Nugroho (2019). Analisa Kebutuhan Pembimbing Kemasyarakatan Balai
Pemasyarakatan (Bapas) Bandung. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 13
No. 1 Maret 2019.
Trisnawati, Niyan Ati. (2020). Pemberian
Asimilasi dan Integrasi terhadap Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan
dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 (Studi di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Malang). Dinamika, 26, 1765�1774.
Umronah, Enny. (2020). Analisis Yuridis
Pengawasan Asimilasi dan Integrasi bagi Narapidana dan Anak Ketika Pandemi
COVID-19 (Studi di Balai Pemasyarakatan Kelas I Malang). Legal Spirit, 4(1).
https://doi.org/10.31328/ls.v4i1.1554