Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol.
6, No. 1, Januari 2021
ANALISIS KEJADIAN EFEK SAMPING OBAT PADA PASIEN TB/HIV
KO-INFEKSI DI RUMAH SAKIT UMUM PERSAHABATAN JAKARTA
Dessy
Hera Setiawati, Syamsudin, Hesti Utami dan Heidy Agustin
Universitas Pancasila, Jakarta Selatan, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected] dan [email protected]
Abstract
Tuberculosis is an opportunistic infection that often occurs in
HIV infections TB / HIV co-infection is an infectious agent that causes high
mortality in the world. Comsumption of OAT/ART together will increase the
incidence of side effects of drugs that can be affected by demographic, social,
drugs and disease factors. This study aims to find out the risk factors for
drug side effects with probabilities very likely to occur in TB / HIV
co-infected patients at the Persahabatan Hospital in Jakarta. This study was an
observational study with cross sectional design Purposive sampling methode this
used to collect the sample. There were 42 TB/HIV co-infection patients assessed
during the study. It was found that the side the most common side effects of
the drug were neuropathy (n=30; 69,8%), nausea / vomiting (n=27; 62,8%), skin
rash (n=26; 60.5%), fatigue (n=25; 58,1%) and headache (n=23; 53,3%) Based on
the Naranjo scale the occurrence of side effects with very likely probability
were gynecomastia (n=1; 100%), skin discoloration (n=14; 66,7%), skin rash
(n=15; 65,2%), hearing loss and depression (n=9; 60%).
Keywords: co-infections;
TB/HIV; risk factor; side effects OAT/ART
Abstrak
Tuberkulosis
merupakan infeksi oportunistik yang banyak terjadi pada infeksi HIV. TB/HIV
ko-infeksi merupakan agen infeksius yang menyebabkan mortalitas tinggi di
dunia. Konsumsi OAT/ART secara bersama akan meningkatkan kejadian efek samping
obat yang dipengaruhi oleh faktor demografi, sosial, faktor obat dan penyakit.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor resiko efek samping obat dengan
probabilitasnya. sangat mungkin terjadi pada pasien ko-infeksi TB/HIV di Rumah
Sakit Umum Persahabatan Jakarta yang mengkonsumsi OAT/ART. Metode penelitian
ini menggunakan penelitian observasional dengan design cross sectional metode
purposive sampel digunakan untuk pengumpulan data. Sebanyak 42 pasien TB/HIV
ko-infeksi di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta mengalami efek samping obat yang
paling sering terjadi yaitu neuropati (n=30; 69,8%), mual/muntah (n=27; 62,8%),
ruam kulit (n=26; 60,5%), kelelahan (n=25; 58,1%) dan sakit kepala
(n=23;53,3%). Berdasarkan skala Naranjo dengan kejadian efek samping yang
probabilitasnya sangat mungkin terjadi adalah ginekomastia (n=1; 100%), perubahan
warna kulit (n=14; 66,7%), ruam kulit (n=15; 65,2%), gangguan pendengaran dan
depresi (n=9; 60%).
Kata kunci: ko-infeksi;
tb/hiv; faktor resiko; efek samping obat; oat/art
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Tuberkulosis dan HIV/AIDS merupakan
penyebab utama infeksi penyakit di Negara berkembang yang disebabkan oleh dua
patogen yaitu Mycobaterium tuberculosis dan HIV (Human Immunodeficiency Virus)
dimana saling potensial antara satu dan yang lain, fungsi imunitas menurun dan menyebabkan
kematian apabila tidak terobati secara tepat (Bruchfeld, Correia-Neves, &
Källenius, 2015).
TB-HIV merupakan masalah utama
kesehatan global dan penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Pada
tahun 2015 diperkirakan sebanyak 400 ribu orang mengidap ko-infeksi TB /HIV
yang menyebabkan kematian, dimana pada setiap tahunnya bertambah 1,4 juta orang
yang meninggal yang disebabkan oleh TB itu sendiri dan 800 ribu orang dapat
menyebabkan kematian yang disebabkan oleh HIV itu sendiri. Global tuberculosis
control pada tahun 2015 diperkirakan 10,4 juta kasus baru dengan TB aktif
diseluruh dunia dan tercatat kasus ko-infeksi TB-HIV sebanyak 55% (World Health Organization, 2015).
Prevalensi kejadian ko-infeksi
TB/HIV pada tahun 2015 terjadi di Sub-sahara Afrika sebanyak 295.000 jiwa, Asia
Tenggara 74.300 jiwa, Amerika 5.890 jiwa, Eropa 4.870 jiwa. Secara global pada
tahun 2015 55% pasien TB dengan HIV terbesar berada di wilayah Afrika 81%.
Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Hasil
survei membuktikan bahwa prevalensi HIV
dengan TB di beberapa provinsi pada tahun 2006 sebanyak 2% di Jogyakarta
sedangkan pada tahun 2008 prevalensi TB/HIV 0,8% di Jawa Timur, 3,8% di Bali
dan 14% di Papua (who,
2015), (Getahun,
Gunneberg, Granich, & Nunn, 2010).
Sejalan dengan meningkatnya kasus
TB, WHO mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course). Peningkatan kasus TB pada ODHA akan meningkatkan
risiko penularan TB pada masyarakat dengan atau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan
HIV terkait TB melebihi pelaksanaan sepenuhnya dari DOTS, karena juga mencakup
pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan berkembangnya infeksi TB laten
menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan pengobatan dan perawatan
HIV sehingga penggobatan tersebut dapat menurunkan dan meminimalkan infeksi TB
dan HIV (Getahun,
Gunneberg, Granich, & Nunn, 2008).
Pengobatan HIV dengan menggunakan
ART (NRTI/NNRTI) diterapi kombinasi dengan OAT. Selama pemakaian obat tentu
saja dapat menimbulkan efek samping obat seperti hepatoksisitas (43%), gangguan
pencernaan (31%), reaksi alergi (16,3%), arthragia (19,5%) dan gangguan
neurologi (14,3%). Efek samping obat yang dialami pasien tidak hanya tergantung
pada karakteristik pasien saja tetapi juga tergantung terhadap penyakit
penyerta lainnya karena setiap individu memiliki sensitivitas di dalam tubuhnya
yang berbeda-beda. Efek keparahan dari efek samping obat sangat bervariasi
antara pasien satu dengan yang lainnya. Berbagai faktor dapat mempengaruhi
seperti polifarmasi, faktor usia, faktor penyakit dan faktor genetic (Agustya,
Putra, & Putra, n.d.).
Penelitian ini dilakukan di Rumah
Sakit Umum Persahabatan Jakarta yang merupakan salah satu Rumah Sakit rujukan
Paru pada tahun 2017 penyakit TB itu sendiri termasuk dalam penyakit 3 besar terbanyak
di RSU Persahabatan Jakarta. Penilaian dari efek samping obat yang terjadi
dengan menggunakan skala Naranjo. Sebelumnya penelitian yang dilakukan Natalie
di RSUP dr.Karyadi mengenai Jenis-Jenis Efek Samping OAT dan ART. Diharapkan
dengan diketahuinya efek samping obat pada pasien TB/HIV ko-infeksi yang menggunakan
obat OAT/ART yang dianalisis menggunakan skala Naranjo para tenaga medis
khususnya dokter spesialis menjadi lebih waspada dan sebagai tenaga farmasi
semakin gencar edukasi pasiennya terlebih pasien yang memiliki karakteristik
terhadap TB/HIV ko-infeksi.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional dengan
mencari hubungan antara variabel independen (faktor sosial, faktor obat dan faktor
penyakit) dan variabel dependen (efek samping obat) pada pasien TB/HIV
ko-infeksi di Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta. Efek samping obat dilihat
berdasarkan skala Naranjo. Penilaian efek samping obat dilakukan oleh peneliti,
dokter spesialis paru dan dokter spesialis penyakit dalam di RSU Persahabatan
Jakarta.
Penelitian ini dimulai
dengan penentuan populasi dan sampel secara prospektif pada pasien rawat jalan.
Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan perhitungan sesuai dengan perhitungan
rumus besarnya sampel menggunakan hipotesis studi Cross-sectional (Slovin).
1 + (N x e 2)
Peneliti menetapkan
kriteria inklusi dan ekslusi sampel, kemudian mengumpulkan sampel dengan metode
purposive sampling, dimana metode ini dipilih sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan oleh peneliti. Perlakuan sampel dilakukan penelusuran rekam medik,
melakukan wawancara dan pengisian kuesioner yang berisi beberapa yang telah
dilakukan uji validasi dan reliabilitas.
Penelitian dan pengolahan
data dilakukan selama tiga bulan (Juli 2018- September 2018). Kemudian analisa
data secara bertahap yaitu univariat, bivariat dan multivariat. Data univariat
akan disajikan secara deskriptif dengan penjelasan hasil penelitian yang
ditampilkan dalam bentuk tabel. Sedangkan data bivariat dan multivariat akan
disajikan dari hasil Analisa statistik.
Hasil dan Pembahasan
A.
Karakteristik Sosiodemografi Pasien
Tb/Hiv Ko-Infeksi
Dampak pandemik HIV di dunia akan menambah permasalahan Tuberkulosis.
Ko-infeksi TB dengan HIV merupakan tantangan terbesar dalam menghadapi kedua
infeksi tersebut. Kedua penyakit ini dan penyebabnya saling berinteraksi
begitupula dalam pemberian terapi sehingga diperlukan penelitian untuk
mengetahui kejadian efek samping obat yang terjadi. Untuk melihat karakteristik sosiodemografi
dapat dilihat pada tabel V.1.
Distribusi pasien berdasarkan data sosiodemografi menunjukkan bahwa
sebanyak 42 pasien TB/HIV ko-infeksi yang mengkonsumsi OAT/ART sebanyak 27
orang (62,8%) berjenis kelamin pria dan 15 orang (34,9%) berjenis kelamin
wanita. Beberapa penelitian yang lain juga menunjukkan hasil yang sama seperti
di RSUP. DR. Kariadi Semarang bahwa presentase jenis kelamin pria lebih besar
(71,7%) daripada presentase jenis kelamin wanita (28,9%). Hasil yang sama juga
ditemukan pada penelitian yang dilakukan di RSUD Buleleng presentase berjenis
kelamin pria lebih dominan (68,8%) daripada presentase wanita sebesar (31,4%).
Sedangkan berdasarkan usia pasien TB/HIV ko-infeksi dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu kelompok usia 18-30 tahun sebanyak 8 orang (19%) dan kelompok usia 31-60
sebanyak 34 orang (81%) dengan rata-rata usia adalah 39 tahun. Penelitian di
RSUD buleleng menunjukkan bahwa
presentase terbesar yaitu kelompok usia 35- 60 tahun (80%) (Human
& Virus, 2011),(Natalie,
Kholis, & Ngestiningsih, 2016).
Sosiodemografi berdasarkan tingkat pendidikan pada pasien TB/HIV
ko-infeksi terlihat kelompok yang paling besar adalah dengan tingkat pendidikan
SMA sebanyak 21 orang (48,8%), SMP sebanyak 11 orang (12,6%) kemudian SD dan
Perguruan Tinggi sebanyak 5 orang (11,6%). Presentase dari jenis pekerjaan menunjukkan
pasien dengan pekerjaan buruh sebanyak 15 orang (34,9%), ibu rumah tangga
sebanyak 14 orang (32,6%), pegawai swasta sebanyak 11 orang (25,6%) dan PNS
sebanyak 2 orang (4,7%). Status pernikahan terlihat kelompok yang paling besar
adalah dengan status pernikahan menikah sebanyak 34 orang (79,1%) dan sebanyak
8 orang (18,6%) dengan status pasien belum menikah. Paparan terjadinya HIV
menunjukkan bahwa paparan secara seksual sebanyak 29 orang (67,4%) diikuti
dengan IDU sebanyak 10 orang (23,3%) dan penggunaan jarum suntik dan transmisi
sekual secara bersamaan sebanyak 3 pasien (7,0%). Berdasarkan penelitian VCT
yang dilakukan oleh UGM Yogyakarta menyebutkan
bahwa tingginya kejadian HIV/AIDS disebabkan oleh faktor biologis wanita
yang memiliki risiko terpapar dari suami yang melakukan seks tanpa menggunakan
kondom (No Title, 2012).
Karaktersitik pasien TB/HIV ko-infeksi berdasarkan Jumlah CD4 pada pasien
TB/HIV ko-infeksi di RSU Persahabatan Jakarta menunjukkan sebanyak 11 pasien
(26,19%) mengalami imunodefisiensi berat CD4 < 200 sel/mm3 dimana
mengindikasikan sistem kekebalan tubuh yang menurun sehingga patogen penyebab
infeksi dapat masuk secara bersamaan. 26 pasien (61,9%) dan 5 pasien (11,9%)
mengalami imunodefisiensi sedang (200-349 sel/mm3) – ringan (350-499sel/mm3).
Sebanyak 17 pasien (40,5%) dengan HBsAg positif. Hasil pemeriksaan BTA
menunjukkan bahwa sebanyak 18 responden dengan pemeriksaan BTA positif (41,9%)
dan sebanyak 24 orang responden menunjukkan hasil pemeriksaan BTA negatif
(55,8%). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Saroso menyebutkan bahwa rata-rata pemeriksaan BTA pasien yang
diperoleh adalah negatif ini dapat disebabkan oleh menurunnya imunitas seseorang
sehingga akan mempengaruhi gambaran bakteriologis pada pasien TB/HIV ko-infeksi
(Infeksi
et al., 2015).
Tabel
1
Sosiodemografi
pasien TB/HIV ko-infeksi di RSU Persahabatan Jakarta
No |
Variabel |
n (42) |
Presentase (%) |
1. |
Usia |
|
|
|
18-30
tahun |
8 |
18,6 |
|
31-60
tahun |
34 |
79,1 |
2. |
Jenis kelamin |
|
|
|
Pria |
27 |
62,8 |
|
Wanita |
15 |
34,9 |
3. |
Jenis pekerjaan |
|
|
|
Ibu
rumah tangga |
14 |
32,6 |
|
Buruh
|
15 |
34,9 |
|
Pegawai
swasta |
11 |
25,6 |
|
PNS |
2 |
4,7 |
4. |
Tingkat
Pendidikan |
|
|
|
SD |
5 |
11,6 |
|
SMP |
11 |
25,6 |
|
SMA |
21 |
48,8 |
|
PT |
5 |
11,6 |
5. |
Status
pernikahan |
|
|
|
Menikah
|
34 |
79,1 |
|
Belum
menikah |
8 |
18,6 |
6. |
Hepatitis |
|
|
|
Ya
|
38 |
88,4 |
|
Tidak |
4 |
9,3 |
7. |
BTA |
|
|
|
Positif |
18 |
41,9 |
|
Negatif |
24 |
55,8 |
8. |
Paparan HIV |
|
|
|
Jarum
suntik |
10 |
23,3 |
|
Transmisi
sexual |
29 |
67,4 |
|
Jarum
suntik + transmisi sexual |
3 |
7,0 |
B. Profil Efek Samping Yang Terjadi
Pada Pasien Tb/Hiv Ko-Infeksi
Semua pasien
TB/HIV ko-infeksi mengalami kejadian efek samping obat OAT dan ART. Terdapat
235 kejadian efek samping obat yang paling banyak terjadi adalah neuropati,
kaki terasa panas akibat neuropati perifer sensorik sebanyak 30 orang (69,8%),
diikuti dengan mual/muntah 27 pasien (62,8%) dan kejadian efek samping lainnya
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Kejadian
efek samping obat yang terjadi di RSU Persahabatan Jakarta
No |
Jenis
efek samping |
Jumlah
(n=42) |
Presentase
(%) |
1 |
Neuropati perifer |
30 |
69,8 |
2 |
Mual / muntah |
27 |
62,8 |
3 |
Ruam kulit |
26 |
60,5 |
4 |
Kelelahan |
25 |
58,1 |
5 |
Sakit kepala |
23 |
53,3 |
6 |
Perubahan warna kulit |
21 |
48,8 |
7 |
Pengelihatan kabur |
19 |
44,2 |
8 |
Diare |
18 |
41,9 |
9 |
Anemia |
14 |
32,6 |
10 |
Gangguan pendengaran |
12 |
27,9 |
11 |
Depresi |
11 |
25,6 |
12 |
Gangguan Tidur |
8 |
18,6 |
13 |
Ginekomastia |
1 |
2,3 |
1. Neuropati perifer
Sebanyak
30 pasien (69,8%) pasien mengalami neuropati perifer yang disebabkan oleh
terapi OAT (Isoniazid, Etambutol dan Streptomisin). Penelitian sebelumnya yang
dilakukan di RSUD Dok II Jayapura melaporkan bahwa efek samping obat yang
terjadi sebagian besar yaitu neuropati perifer (20,4%). (Irawati,
Biologi, & Papua, 2017),
(Olowe,
Makanjuola, Adekanmi, & Adefioye, 2017).
Gejala
neuropati perifer adalah mati rasa, kelemahan dan rasa terbakar di ekstremitas
yang disebabkan oleh OAT dan multifaktorial lainnya seperti berat badan yang
rendah, defisiensi nutrisi dan konsumsi alkohol. Neuropati perifer dapat
menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang yang dapat bersifat irreversible
atau permanen dan sebagai penanganan dapat diberikan piridoksin. Mekanisme
patofisiologi terjadinya neuropati perifer pada pasien TB/HIV ko-infeksi menyebabkan
Neurotoksik lainnya disebabkan oleh konsumsi OAT dan ART dimana glikoprotein
mengaktivasi makrofag untuk melepaskan mediator inflamasi seperti TNF alfa dan
IL-1. Glikoprotein juga menginduksi sel Schwann untuk melepaskan RANTES yang
mana pada serabut saraf ganglion memproduksi TNF alfa sehingga menyebabkan
kematian sel saraf/neurotoksik (Mafukidze,
Calnan, & Furin, 2016),
(Robinson-papp,
2013).
2. Gastrointestinal
Efek
samping obat yang paling sering terjadi kedua pada pasien TB/HIV ko-infeksi
yaitu gangguan gastrointestinal (mual, muntah, dispepsia, nyeri abdomen)
sebanyak 27 pasien (62,8%). Kejadian efek samping ini juga terjadi pada
penelitian di Nigeria sebanyak 18 pasien dari 33 pasien (10%) mangalami
gangguan gastrointestinal umumnya karena konsumsi OAT selama 2 bulan pertama
yaitu Pirazinamid. Pada penelitian di Nigeria pasien TB/HIV ko-infeksi yang
menggunakan obat zidovudine membuktikan dapat meningkatkan kejadian efek
samping obat terhadap gastrointestinal (51,85%) pada pemberian OAT/ART selama
6-12 bulan (P=0,03;0R=0,38), Pemberian 12-24 bulan (P=0,005; OR=0,35). Zidovudin
dikaitkan dengan toksisitas hematologis dan juga dapat mengganggu epitel usus
yang berkembang pesat tetapi berdasarkan penelitian zidovudin dapat meningkatkan
berat badan pada pasien TB/HIV ko-infeksi, meningkatkan disfungsi pencernaan
melalui dua mekanisme yaitu Imunitas yang dipulihkan dapat menyebabkan
pembersihan patogen usus sekunder dan efek enteropatogenik dari HIV itu sendiri
dapat diperbaiki.
Terapi
AZT sering dikaitkan dengan anemia dan neutrapia yang mengindikasikan
toksisitas sumsum tulang, sehingga dapat juga memiliki efek buruk pada epitel
usus sebagai kompartemen sel yang berkembang lainnya. Penerima AZT mengalami
penurunan aktivitas alkali fosfatase dibandingkan dengan kontrol. Temuan ini
menunjukkan atrofi hiporegeneratif dari usus kecil dan kejenuhan enterosit yang
terkait dengan infeksi HIV mikroba (Dean
et al., 2002),
(Eluwa,
Badru, & Akpoigbe, 2012).
3. Ruam kulit
Merupakan
kejadian efek samping obat yang terjadi pada pasien TB/HIV ko-infeksi yang
mengkonsumsi obat OAT/ART sebanyak 26 pasien (60,3%) di RSU Persahabatan
Jakarta. Berdasarkan studi didapat bahwa penggunaan obat OAT/ART seperti
Rifampisin, Kotrimoksazol, Pirazinamid, Isoniazid, nevirapin dan efavirens
dapat menyebabkan ruam kulit hingga sindrom Steven-Johnson (Michael,
Sogaolu, Fehintola, Ige, & Falade, 2016).
Reaksi
hipersensitivitas ini dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu paparan obat OAT/ART,
terapi profilaksis kotrimoksazol, faktor genetik, menurunnya sistem imun dimana
distimulasi oleh HLA dan reseptor sel T, sel T infitrasi kulit CD4
mengsekresikan sitokin seperti IL-5, granzime, dan eotaksin sebagai pembentuk,
membangun dan diferensiasi eosinofil. Obat dapat menstimulasi sel T dan
mematikan sel autologous melalui perforin pathway sehingga menyebabkan ruam
kulit (Pacific,
2014).
Penelitian
lain yang dilakukan oleh Dean et al membuktikan bahwa ruam kulit merupakan efek
samping obat masuk dalam tiga besar yang terjadi pada pasien TB/HIV ko-infeksi
31 pasien (17%) pada dua bulan terapi awal. Obat yang menyebabkan ruam kulit terjadi
yang di identifikasi yaitu sebanyak 29 kasus pasien dimana menggunakan terapi
OAT (18 pasien) dan terapi ART (11 pasien). Penelitian lain yang dilakukan di
Nigeria membuktikan bahwa kejadian ruam kulit menduduki tiga besar dalam
kejadian efek samping OAT/ART pada pasien TB/HIV ko-infeksi dimana sebanyak 19
pasien mengalami ruam kulit (Michael
et al., 2016),(Dean
et al., 2002).
C. Kombinasi Obat Oat/Art
Pasien
TB/HIV ko-infeksi yang mendapatkan obat OAT/ART Kejadian efek samping obat yang
terjadi dapat disebabkan karena penggunaan obat OAT dan ART secara bersamaan
sehingga dapat menyebabkan interaksi obat yang potensial. Salah satu obat
golongan OAT yang dapat menyebabkan kejadian interaksi obat potensial adalah
rifampisin dan isoniazid merupakan komponen mayor dari kombinasi OAT yang
diberikan pada pasien TB. Rifampisin dapat meningkatkan hepatotoksisitas dari
INH, kombinasi ini tidak menyebabkan hepatotoksitas pada sebagian besar
penderita akan tetapi tetap diperlukan monitoring hepatotoksisitas terutama
bagi penderita penyakit hati dan penderita dengan asetilator lambat untuk
isoniazid (Ag,
n.d.).
Tabel 3
Jenis terapi OAT/ART yang digunakan
pada pasien TB/HIV ko-infeksi di RSU Persahabatan Jakarta
No |
Jenis terapi |
Presentase (n=42) |
1 |
Terapi OAT |
|
|
RHZE |
23
(53,5%) |
|
RH |
8
(18,6%) |
|
RHZES |
11
(25,6%) |
2 |
Terapi ART |
|
|
Tenofovir+lamivudine+efavirenz |
33
(76,7%) |
|
Lamivudin+zidovudin+nevirapine |
8
(18,6%) |
|
Tenofovir+lamivudine+lopinavir+ritonavir |
1
(2,3%) |
3 |
Terapi
profilaksis |
|
|
Kotrimoksazol |
29
(67,4%) |
Interaksi
obat yang lain yaitu antara rifampisin dengan flukonazol, dimana rifampisin
dapat menginduksi sitokrom P-450 khususnya tipe CYP3A4 yang mengakibatkan
turunnya kosentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme deh isoenzim tersebut.
Interaksi flukonazol dengan rifampisin dapat menurunkan kadar plasma dari flukonazol
sehingga mengurangi aktivitasnya sebagai antifungi (Vadlapatla
et al., 2015).
Pada
prinsipnya pengobatan TB pada pasien ko-infeksi TB HIV harus diberikan segera
sedangkan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB dapat ditoleransi dengan
baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan paling lambat 8 minggu.
Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengkonsumsi OAT < 6
bulan sebanyak 28 pasien (65,1%) dimana konsumsi OAT ynag didapat adalah
rifampisin, pirazinamid, etambutol dan isoniazid. Sedangkan pasien yang
mengkonsumsi ART selama 1-2 tahun sebanyak 27 pasien (62,8%). Hasil lama
konsumsi OAT/ART pada pasien TB/HIV ko-infeksi dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4
lama konsumsi OAT/ART pada pasien
TB/HIV ko-infeksi di RSU Persahabatan Jakarta
No |
Lama
konsumsi obat |
Presentase
|
1 |
OAT |
|
|
<
6 bulan |
28
(65,1%) |
|
6-8
bulan |
14
(32,6%) |
2 |
ART |
|
|
<
1 tahun |
5 (11,6%) |
|
1-2
tahun |
27
(62,8%) |
|
>2 tahun |
10
(23,3%) |
1. Kotrimoksazol
Merupakan
kombinasi dari dua antibiotik (trimetroprim dan sulfametoksazol) yang digunakan
sebagai profilaksis infeksi oportunistik yang paling umum terjadi adalah
Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dimana sebanyak 85% pasien HIV/AIDS pada
akhirnya akan mengidap PCP yang disebabkan oleh berkembangnya jamur yang ada
ditubuhnya (Church,
Fitzgerald, Walker, Gibb, & Prendergast, 2015).
Penggunaan
kotrimoksazol sebagai profilaksis melalui hasil penelitian sangat
menguntungkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kwazulu Natal Afrika
Selatan menunjukkan penggunaan kotrimoksazol sebagai profilaksis menurunkan
angka kematian TB/HIV koinfeksi sebanyak 29% apabila pasien patuh mengkonsumsi
kotrimoksazol karena efek samping kotrimoksazol tersebut tidaklah nyaman
seperti sakit kepala, mual, muntah, ruam kulit, gatal hingga sindrom Stevens
Johnson (Okwera,
2015).
2. Tenovofir/Lamivudine /Evafirens
Merupakan
kombinasi obat 2 NRTI (Tenofovir + Lamivudin) dan 1 NNRTI (Evafirens) diminum
pada waktu tidur di malam hari dan sebaiknya diberikan pada saat perut kosong.
Pada penggunaan obat ini dapat menyebabkan interaksi obat secara farmakokinetik
antara Evafirens dengan OAT terutama Rifampisin karena menginduksi CYP3A4.
Tingginya penggunaan kombinasi obat ini karena evafirens merupakan pilihan
utama dibandingkan dengan nevirapin dimana memiliki efek hepatotoksisitas lebih
ringan dan penurunan kadar obat dalam darah akibat interaksi rifampisin lebih
kecil. Perlu dilakukan monitoring ureum dan kreatinin pasien yang menggunakan
kombinasi obat ini karena tenovofir memiliki efek samping toksisitas pada
ginjal. Keadaan risiko lebih besar pada pasien > 40 tahun, diabetes mellitus
dan berat badan < 50 kg dan penggunaan bersama dengan Protease Inhibitor
(PI) (Post
et al., 2010).
3. Lamivudin/Zidovudin/Nevirapin
Lamivudin
merupakan pilihan pertama golongan NRTI karena memiliki profil yang aman,
efektif untuk terapi hepatitis B dan mudah didapat termasuk kedalam kombinasi
tetap. Pilihan kedua dari golongan NRTI dalah Zidovudin karena efek samping
berupa sakit kepala dan mual pada awal terapi mudah ditoleransi tetapi memerlukan
pemantauan kadar Hemoglobin dalam tubuh karena dapat menimbulkan anemia berat
dan neutropenia. Pilihan obat NNRTI adalah nevirapin dimana memiliki harga lebih
terjangkau daripada efavirens tetapi paling banyak pasien mengalami ruam kulit
mulai dari ringan hingga mengancam jiwa termasuk stevens-Johnsons, memiliki
efek hepatotoksisitas lebih besar terutama pada wanita dengan jumlah CD4
>200 sel/mm3 (Vadlapatla
et al., 2015), (1 Copyright 2010 by the European Respiratory
Society., 2010).
D. Hasil Laboratorium
Pada hasil
pemeriksaan laboratorium sebanyak 42 pasien yang mengkonsumsi OAT/ART
menunjukkan nilai hemoglobin yang rendah <10 g/dl sebanyak 32 pasien
(74,4%). Hasil pemeriksaan laboratorium
dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5
Hasil
pemeriksaan laboratorium pada pasien TB/HIV ko-infeksi di RSU Persahabatan
Jakarta
No |
Jenis
laboratorium |
Hasil
(n=42) |
Presentase |
1 |
Hemoglobin (g/dl) |
|
|
|
<10 |
32 |
74,4% |
|
10-12,5 |
10 |
23,3% |
2 |
CD4 (sel/mm3) |
|
|
|
<200 |
11 |
26,19% |
|
200-349 |
26 |
61,9% |
|
350-500 |
5 |
11,9% |
3 |
SGOT |
|
|
|
Meningkat 2x |
16 |
38.09% |
|
Meningkat 3x |
3 |
7,1% |
4 |
SGPT |
|
|
|
Meningkat 2x |
33 |
78,57% |
|
Meningkat 3x |
9 |
21,42% |
E. Efek Samping Obat Berdasarkan Skala Naranjo
Hasil
penelitian yang diperoleh pada pasien TB/HIV ko-infeksi di RSU Persahabatan
Jakarta bahwa semua pasien yang mengkonsumsi OAT/ART mengalami efek samping
obat dengan probabilitas efek samping yang terjadi yaitu mungkin dan sangat
mungkin. Efek samping dengan probabilitas sangat mungkin terjadi adalah
ginekomastia (100%), perubahan warna kulit (66,7%), ruam (65,2%), gangguan
pendengaran, depresi (60%) dll, yang hasil penelitian dapat dilihat pada tabel
V.4.
Ginekomastia
merupakan pembesaran jinak payudara pada pria yang diakibatkan proliferasi
komponen kelenjar atau meningkatnya jaringan lemak pada dada. Umumnya
ginekomastia terjadi bilateral, 25-30% dapat muncul unilateral. Ginekomastia
memiliki dampak negatif pada rasa percaya diri dan hubungan sosial pada pria. Penelitian
yang pernah dilakukan di Malawi berdasarkan hasil penelitian efavirenz memiliki
hubungan kejadian ginekomastia sehingga efavirenz diganti dengan nevirapin. Efavirenz
memiliki mekanisme kerja mirip estrogen pada payudara ketika sistem imun menurun
estrogen meningkat sehingga terjadilah ketidakseimbangan hormon yang
menyebabkan terjadinya ginekomastia (Njuguna
et al., 2016).
Pemberian
kotrimokzasol sebagai standar pencegahan primer terhadap infeksi toksoplasmosis
dan PCP pada pasien HIV dengan jumlah CD4< 200 sel/mm3 namun pengunaan
kotrimoksazol menyebabkan efek samping obat yang tumpang tindih dengan OAT dan
ART. Kejadian efek samping yang sangat mungkin terjadi di RSU Persahabatan
Jakarta yaitu perubahan warna kulit (66,7%) dan ruam kulit (65,2%) yang
disebabkan oleh pemberian kotrimoksazol dengan nevirapin hal ini dibuktikan berdasarkan
studi di UK dimana pada pasein TB/HIV ko-infeksi diberi kotrimoksasol dan nevirapin dapat menyebabkan
ruam kulit (p=0,001). (Church
et al., 2015).
Efavirenz
dimetabolisme oleh CYP3A4 dan CYP2B6 menjadi metabolit terhidroksilasi yang
tidak aktif. Efavienz berikatan kuat
dengan albumin (99,9%) konsentrasinya dalam cairan serebrospinal 0,3-1,2% dari
konsentrasinya dalam plasma. Polimorfisme gen CYP2B6 dilaporkan berhubungan
dengan peningkatan konsentrasi efavirens dalam plasma menyebabkan gejala
neuropskiatri. (Nightingale
et al., 2015).
Tabel 6
Probabilitas
kejadian efek samping yang sangat mungkin terjadi di RSU Persahabatan Jakarta yang
mengkonsumsi OAT/ART
No |
Jenis efek
samping obat |
Skala Naranjo |
|||
Sangat mungkin
(+9) |
Mungkin (5-8) |
||||
n |
% |
N |
% |
||
1 |
Sakit kepala |
13 |
56,5 |
10 |
43,5 |
2 |
Gangguan pendengaran |
9 |
60 |
6 |
40 |
3 |
Mual/muntah |
15 |
55,6 |
12 |
44,4 |
4 |
Pengelihatan
kabur |
9 |
47,4 |
10 |
52,6 |
5 |
Ruam |
15 |
65,2 |
8 |
34,8 |
6 |
Perubahan
warna kulit |
14 |
66,7 |
7 |
33,3 |
7 |
Kelelahan |
14 |
56 |
11 |
44 |
8 |
Anemia |
7 |
50 |
7 |
50 |
9 |
Gangguan
Tidur |
9 |
52,9 |
8 |
47,1 |
10 |
Depresi |
9 |
60 |
6 |
40 |
11 |
Neuropati |
14 |
46,7 |
16 |
53,3 |
11 |
Ginekomastia |
1 |
100 |
0 |
0 |
12 |
Diare |
8 |
44,4 |
10 |
55,6 |
Ototoksisitas
yang timbul disebabkan oleh golongan aminoglikosida yaitu streptomisin.
Mekanisme kerja golongan antibiotik ini yaitu berikatan langsung dengan RNA 16S
pada subunit 30S pada ribosom bakteri yang menyebabkan mistranslasi pada
sintesis protein. Ototoksisitas berkaitan dengan mutasi genetik 12S r-RNA,
dimana subunit 12S r-RNA berikatan pada mitokondria bakteri dan yeast yang
menyebabkan resisten pada aminoglikosida (Adeyemo,
Oluwatosin, & Omotade, 2016).
E. Hasil Analisis Bivariat
Pada
analisis ini hanya digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan dua
variabel. Dimana peneliti ingin mengetahui hubungan antara faktor resiko yang
ada dengan kejadian efek samping obat yang terjadi yang di ukur berdasarkan
skala Naranjo. Sebanyak 42 responden dengan kriteria inklusi yang diharapkan semua
pasien mengalami kejadian efek samping obat dengan probabilitas kejadian efek
samping yang mungkin terjadi dan sangat mungkin terjadi yang mana hasilnya dapat
dilihat pada tabel V.5.
1. Jenis kelamin
Dari
42 sampel yang diambil didapat 27 orang (62,8%) berjenis kelamin pria dan 15
orang (34,9%) berjenis kelamin wanita. Dari hasil analisa diperoleh bahwa
variabel jenis kelamin tidak berkontribusi bermakna secara statistik terhadap
terjadinya efek samping obat yang terjadi di RSU Persahabatan Jakarta (P=0,231).
Penelitian lain yang dilakukan di RSUP.Dr.Kariadi Semarang juga menunjukkan
bahwa jenis kelamin tidak berkontribusi bermakna secara statistik (P=0,735) (Natalie
et al., 2016).
Dalam
penelitian ini jenis kelamin pria bukan merupakan faktor resiko terjadinya efek
samping obat pada pasien TB/HIV ko-infeksi. Hal ini berbeda dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan di Brazil menyatakan bahwa pasien dengan jenis
kelamin pria merupakan faktor resiko terjadinya efek samping obat pada pasien
TB/HIV ko-infeksi (Teixeira
et al., 2018).
Tabel 7
Analisis variabel yang kemungkinan
berkontribusi terhadap kejadian efek samping obat berdasarkan skala Naranjo
pada pasien TB/HIV ko-infeksi
Variabel |
Skala naranjo |
P value |
OR |
||||
Sangat mungkin (+9) |
Mungkin (5-8) |
||||||
1.Faktor demografi |
|||||||
a. |
Usia |
n |
% |
n |
% |
0,085 |
4,286 |
|
18-30 tahun |
6 |
75 |
2 |
25 |
|
|
|
31-60 tahun |
14 |
41,2 |
20 |
58,8 |
|
|
b. |
Jenis kelamin |
|
|
|
|
0,231 |
0,458 |
|
Pria |
11 |
40,4 |
16 |
59,3 |
|
|
|
Wanita |
9 |
60 |
6 |
40 |
|
|
C |
BMI |
|
|
|
|
|
|
|
Underweight (<18,5
kg/m2) |
14 |
56 |
11 |
44 |
0,187 |
2,333 |
|
Tidak Underweight (18,6-25,71 kg/m2) |
6 |
35,3 |
11 |
64,7 |
|
|
2.Faktor sosial |
|||||||
A |
Merokok |
|
|
|
|
|
|
|
Ya |
11 |
37,9 |
18 |
62,1 |
0,616 |
0,713 |
|
Tidak |
6 |
46,2 |
7 |
53,8 |
|
|
B |
Konsumsi alkohol |
|
|
|
|
|
|
|
Ya |
11 |
50 |
11 |
50 |
0,187 |
2,333 |
|
Tidak |
6 |
30 |
14 |
70 |
|
|
3.Faktor obat |
|||||||
A |
Konsumsi obat lain |
|
|
|
|
|
|
|
Ya |
14 |
60,9 |
9 |
39,1 |
0,059 |
3,370 |
|
Tidak |
6 |
31,6 |
13 |
68,4 |
|
|
B |
Terapi Kotrimoksazol |
|
|
|
|
|
|
|
Ya |
13 |
44,8 |
16 |
55,2 |
0,391 |
1,828 |
|
Tidak |
4 |
30,8 |
9 |
69,2 |
|
|
C |
Lama terapi OAT |
|
|
|
|
|
|
|
< 6 bulan |
9 |
32,1 |
19 |
67,9 |
0,005 |
3,370 |
|
6-8 bulan |
11 |
78,6 |
3 |
21,4 |
|
|
D |
Putus obat |
|
|
|
|
|
|
|
Ya |
13 |
43,3 |
17 |
56,7 |
0,551 |
1,529 |
|
Tidak |
4 |
33,3 |
8 |
66,7 |
|
|
4.Faktor penyakit |
|||||||
A |
Komplikasi penyakit
lain |
|
|
|
|
|
|
|
Ya |
12 |
48 |
13 |
52 |
0,228 |
2,215 |
|
Tidak |
5 |
39,4 |
12 |
70,6 |
|
|
B |
Stadium HIV |
|
|
|
|
|
|
|
Asimptomatis |
1 |
50 |
1 |
50 |
0,927 |
|
|
Mild |
5 |
41,7 |
7 |
58,3 |
|
|
|
Moderat |
8 |
36,4 |
14 |
63,6 |
|
|
Hasil laboratorium |
|||||||
A |
BTA |
|
|
|
|
|
|
|
Positif |
7 |
38,9 |
11 |
61,1 |
0,856 |
0,891 |
|
Negatif |
10 |
41,7 |
14 |
58,3 |
|
|
b. |
Hb (g/dl) |
|
|
|
|
|
|
|
<10 |
13 |
43,8 |
19 |
56,3 |
0,439 |
1,815 |
|
10-12,5 |
3 |
30 |
7 |
70 |
|
|
D |
CD4 (sel/mm3) |
|
|
|
|
|
|
|
<200 |
8 |
72,7 |
3 |
27,3 |
0,020 |
|
|
200-349 |
8 |
30,8 |
18 |
69,2 |
|
|
|
350-500 |
4 |
80 |
1 |
20 |
|
|
E |
SGOT |
|
|
|
|
|
|
|
Normal |
11 |
47,8 |
12 |
52,2 |
0,868 |
|
|
Meningkat 2x |
8 |
50 |
8 |
50 |
|
|
|
Meningkat 3x |
1 |
33,3 |
2 |
66,7 |
|
|
F |
SGPT |
|
|
|
|
|
|
|
Meningkat 2x |
16 |
48,5 |
17 |
51,5 |
0,850 |
1,176 |
|
Meningkat 3x |
4 |
44,4 |
5 |
55,6 |
|
|
2. Usia
Dari
42 pasien sebagai responden didapatkan kelompok usia 18-30 tahun sebanyak 8
orang (18,6%) dan kelompok usia 31-60 tahun sebanyak 34 orang (79,1%). Pada penelitian
ini didapat bahwa variabel usia tidak bermakna secara statistik terhadap
kejadian efek samping obat yang terjadi (P=0,085). Dari hasil analisis diperoleh
pula nilai (OR= 4,286) artinya bahwa kelompok usia 31-60 tahun memiliki resiko
4,286 kali terhadap kejadian efek samping obat yang terjadi dibandingkan dengan
kelompok usia 18-30 tahun. Variabel usia memiliki kecendrungan berhubungan
tetapi tidak bermakna secara statistik dimana hal ini kemungkinan dapat
disebabkan karena distribusi sampel yang tidak homogen.
Penelitian
di RSUP.Dr.Kariadi Semarang memiliki hasil yang sama dimana usia tidak bermakna
secara statistik terhadap kejadian efek samping obat yang terjadi, Akan tetapi
penelitian lain yang dilakukan di Nigeria memiliki hubungan signifikan secara
statistik antara usia dengan kejadian efek samping obat yang terjadi (P=0,025)
dengan rentang usia produktif > 35
tahun (Natalie
et al., 2016),(No Title, 2012).
3. BMI
Hasil
analisis menunjukkan bahwa BMI pada pasien TB/HIV ko-infeksi di Rumah Sakit
Umum Persahabatan Jakarta menunjukkan bahwa sebanyak 25 pasien (59,5%) dalam
BMI underweight (18,5 kg/m2) dan 17 pasien (40,5%) dengan BMI tidak underweight
(18,6-25,71 kg/m2) tidak menunjukkan hubungan secara statistik (P=0,187) akan
tetapi memperoleh nilai (OR=2,333) artinya bahwa pasien denga BMI underweight
memiliki resiko 2,333 kali mengalami kejadian efek samping obat daripada pasien
dengan BMI tidak underweight.
Malnutrisi
pada pasien TB/HIV ko-infeksi terkait dengan gejala klinis pasien tersebut seperti
diare, penurunan berat badan yang drastis akibat gangguan metabolik lainnya.
Dalam penelitian di RS. Dr. Moewardi menyebutkan bahwa pasien dengan nilai IBM
< 18 kg/m2 memiliki prognosis lebih berat 1,5 kalinya dan tingkat kematian
lebih tinggi 1,9 kalinya dibandingkan dengan subjek berat badan normal.
Malnutrisi pada pasien TB/HIV ko-infeksi dapat menyebabkan penurunan limfosit
dan proliferasi sel imun yang dapat mengakibatkan meningkatnya pertumbuhan
mikroorganisme (Infeksi
et al., 2015),(Pengembsngfln,
Keprotesiun, & Tuberkulosis, 2012).
4. Hemoglobin
Pada
penelitian ini hasil analisis menunjukkan bahwa pasien dengan kadar HB < 10
g/dl sebanyak 32 pasien (74,4%) dan pasien dengan kadar HB 10-12,49 g/dl
sebanyak 10 pasien (23,8%) dari hasil analisis tidak menunjukkan kontribusi
bermakna secara statistik terhadap efek samping obat yang terjadi (P= 0,439).
Dari uji statistik juga diperoleh nilai (OR=1,815) dimana pada kelompok HB <
10 g/dl memiliki resiko 1,815 kali terhadap efef samping obat yang terjadi
dibandingkan dengan kelompok HB 10-12,49 g/dl. Pada penelitian di Brazil
membuktikan dengan hasil yang sama yaitu tidak memiliki hubungan bermakna
secara statistik (P=1,00) (Teixeira
et al., 2018).
Hasil
ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan secara
statistik antara kejadian efek samping obat terhadap pasien TB/HIV ko-infeksi
di RSUP Dr.Kariadi Semarang (P=0,001)
dan penelitian lain di Ethiopia menunjukkan bahwa kadar hemoglobin bermakna
secara statistik terhadap terjadinya TB/HIV ko-infeksi karena anemia dikaitkan
dengan malnutrisi yang memperberat kondisi pasien yang dapat memperberat
kondisi imun (Church
et al., 2015).
5. Jumlah CD 4
Sebanyak
42 pasien TB/HIV ko-infeksi yang mendapatkan terapi ART/OAT 11 orang dengan
jumlah CD4 < 200 sebanyak 26 pasien dengan jumlah CD4 200-349 dan pasien
dengan jumlah CD4 350-499 sebanyak 5 orang. Berdasarkan analisa statistik berhubungan
signifikan secara statistik dengan jumlah CD4 (P=0,020). Penelitian yang
dilakukan oleh Lies dkk menunjukkan hal yang berbeda dimana tidak ada hubungan
signifikan secara statistik antara jumlah CD4 dengan kejadian efek samping obat
(P=0,444) dengan jumlah CD4 <100 sel/mm3 begitupula penelitian yang
dilakukan di RSU. Dr. Kariadi Semarang sebanyak 55 (87,30%) pasien CD4 <100
sel/mm3dengan TB/HIV ko-infeksi menunjukkan tidak ada hubungan signifikan
dengan kejadian efek samping obat (P=0,442). Hal ini berbeda dengan beberapa
penelitian sebelumnya dilakukan oleh Dean et al dimana jumlah CD4 berhubungan
signifikan dengan kejadian efek samping obat yang terjadi pada 3 bulan pertama
menggunakan OAT/ART (P=0,036) dan selama 9 bulan menggunakan OAT/ART (P=0,001) (Natalie
et al., 2016),(Dean
et al., 2002).
6. Merokok
Pada
42 pasien sebanyak 29 (69%) pasien memiliki riwayat merokok dan 13 pasien
lainnya tidak merokok. Berdasarkan hasil analisa di dapat bahwa riwayat merokok
tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik terhadap kejadian efek
samping obat yang terjadi (P=0,616). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan
di RS. Kariadi Semarang juga tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara
statistik (P=0,598). Hal ini dapat terjadi karena jumlah pasien sedikit dan
catatan rekam medik yang kurang lengkap (Natalie
et al., 2016).
7. Konsumsi alkohol
Sebanyak
22 (51,2%) responden dari 42 sampel di Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta
memiliki riwayat konsumsi alkohol dimana berdasarkan hasil analisis tidak
ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik (P=0,746) kemungkinan karena
jumlah sampel yang sedikit. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai
(OR=2,333), artinya responden yang memiliki riwayat konsumsi alkohol memiliki
resiko 2,333 kali terhadap efek samping obat yang terjadi dibandingkan dengan
responden yang tidak memiliki riwayat konsumsi alkohol. Pada penelitian ini
peneliti tidak menghitung banyaknya yang diminum, dinilai berdasarkan frekuensi
minum dan didapatkan pasien minum alkohol seminggu dua kali sebanyak 12 orang,
minum alkohol setiap hari 4 orang, minum sebulan sekali 6 orang. Hasil tersebut
dapat dilihat pada tabel 8. Alkohol menimbulkan efek toksik bagi peminumnya
dimana akan terjadi defisiensi mikronutrien dan makronutrien sehingga
menurunnya sistem imun, menurunnya limfosit B dan limfosit T, terjadi ganguan fungsi
makrofag, dan inhibisi dari TNF, NO, IL-2, dan proliferasi CD4 yang menyebabkan
destruksi M.tuberculosis terhambat (Silva
et al., 2018).
Tabel 8
Frekuensi konsumsi alkohol
No |
Frekuensi
konsumsi alkohol |
Jumlah (n=42) |
Presentase |
1 |
Dua
kali seminggu |
13 orang |
31% |
2 |
Setiap
hari |
4 orang |
9,5% |
3 |
Sebulan
sekali |
6 orang |
14,3% |
4 |
Tidak
konsumsi alkohol |
19 orang |
45,2% |
8. Lama terapi OAT
Berdasarkan hasil analisis lama
terapi OAT fase awal sebanyak 28 orang mengkonsumsi OAT fase awal (65,1%) dan
14 orang mengkonsumsi OAT fase lanjutan 32,6%.
Berdasarkan analisis menunjukkan bahwa pada ada hubungan antara lama
terapi OAT dengan kejadian efek samping obat yang terjadi (P=0,005). Sehingga
diduga efek samping yang timbul disebabkan oleh kombinasi OAT yang terdiri dari
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Isoniazid pada fase awal atau fase
intensif. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai (OR=3,370), artinya kelompok
pasien yang mengkonsumsi OAT pada fase awal memiliki resiko 3,370 kali
terjadinya efek samping obat dibandingkan dengan kelompok pasien yang
mengkonsumsi OAT pada fase lanjutan. Banyaknya obat yang dikonsumsi dapat
meningkatkan terjadinya interaksi obat. Hasil ini sama dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan di RSUP DR.Kariadi Semarang bahwa lama terapi OAT bermakna
secara statistik (p=0,001) pada kejadian efek samping obat yang terjadi dan
memiliki peluang 1,471 kali terhadap kejadian efek samping obat. Penelitian
lain yang dilakukan di Nigeria menunjukkan ada hubungan signifikan secara
statistik (P=0,003) pada kejadian efek samping obat terhadap lama terapi OAT (Natalie
et al., 2016),(Teixeira
et al., 2018).
9. BTA
Diantara 42 total pasien yang
memenuhi kriteria inklusi menunjukkan pemeriksaan BTA negatif sebanyak 24
pasien (55,8%) tidak memiliki hubungan secara statistik terhadap probabilitas
efek samping obat yang terjadi (P=0,856) dari hasil tersebut diperoleh nilai
(OR=0,891) dimana pasien dengan nilai BTA negatif memiliki resiko sebesar 0,891
kali terhadap kejadian efek samping obat yang terjadi.
Beberapa kepustakaan menunjukkan
bahwa menurunnya derajat imunosupresi akan mempengaruhi gambaran bakteriologis
pasien TB/HIV ko-infeksi sehingga sering memberikan hasil sputum BTA negatif.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS.Dr. Moewardi mendapatkan hasil
perolehan BTA negatif (73%) pada pasien TB/HIV ko-infeksi lebih besar daripada
pasien dengan BTA positif hanya 4 pasien (11,4%) Sedangkan penelitian yang dilakukan
di RSUD Buleleng menunjukkan bahwa pemerikasaan dengan BTA negatif lebih besar
(32,51%). Penyebab pasien dengan BTA negatif berhubungan dengan mortalitias
tinggi akibat imunosupresi yang berat sehingga tanda dan gejala klinis TB
menjadi tidak spesifik sehingga diagnosis pada TB sering tertunda (Agustya
et al., n.d.),(Infeksi
et al., 2015).
10. Nilai SGOT/SGPT
Dari pemeriksaan fungsi hati yang dilakukan
diperoleh nilai SGOT pada pasien TB/HIV ko-infeksi di RSU Persahabatan Jakarta
terendah adalah 21 IU/L dan nilai tertinggi 104 IU/L dengan rata-rata 43,52
IU/L dari hasil estimasi interval 95% di dapatkan rata-rata nilai SGOT diantara
37,35±49,69 IU/L. Hasil nilai SGPT terendah diperoleh nilai 19 IU/L dan tertinggi
83 UI/L dengan rata-rata 41,89 UI/L
dari hasil estimasi interval 95% diperoleh hasil; 35,83±48,12 UI/L. Hasil yang
diperoleh dari bivariat terhadap kejadian efek samping obat yang terjadi
menunjukkan tidak bermakna secara
statistik untuk nilai SGOT (P=0,868) dan
nilai SGPT (P=0,850). Dari hasil statistik diperoleh hasil untuk nilai SGPT
yaitu (OR=1,170) dimana resiko kejadian efek samping obat 1,170 kali pada nilai
SGPT yang meningkat dua kalinya daripada nilai SGPT dibandingkan dengan nilai
SGOT yang meningkat hingga tiga kali. Nilai SGPT/SGOT meningkat 2-3 kalinya
yang mengindikasikan bahwa ada kejadian hepatotoksisitas imbas obat pada pasien
TB/HIV ko-infeksi.
Penelitian ini serupa yang dilakukan
oleh Lies di RSCM menunjukkan bahwa terjadi peningkatan SGPT di awal yang
meningkat secara bermakna secara statistik (P=0,002; OR=7,5; CI95% 1,72-32,80)
dimana peningkatan nilai SGOT/SGPT beasal dari konsumsi obat lain dan Penelitian
lain yang dilakukan oleh Made di RSUD Buleleng menunjukkan terdapat peningkatan
enzim hati SGOT/SGPT. Kadar SGPT pasien koinfeksi TB-HIV didapatkan nilai
terendah 8 IU/L dan nilai tertinggi 171 IU/L dengan rerata 43,63 ± 44,432 IU/L.
Peningkatan kadar SGPT didapatkan pada 9 pasien (25,7%). Kadar SGOT pasien
koinfeksi TB-HIV didapatkan nilai terendah 17 IU/L dan nilai tertinggi 143 IU/L
dengan rerata 56,51 ± 36,207 IU/L. Mayoritas pasien mengalami peningkatan kadar
SGOT yaitu sebanyak 20 pasien (57,1%) (Penelitian,
n.d.),(Infeksi
et al., 2015).
11. Konsumsi
obat lain
Berdasarkan hasil analisis dari 42
sampel penelitian pada pasien TB/HIV ko-infeksi yang mengkonsumsi obat selain
OAT/ART menunjukkan sebanyak 23 pasien (53,5%). Tetapi tidak bermakna secara
statistik (P=0,059). Obat yang dikonsumsi dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9
Obat lain yang dikonsumsi selain
OAT/ART
No |
Nama obat |
Jumlah
pasien |
1 |
Flukonazole |
7 |
2 |
Candistin drop |
12 |
3 |
Amlodipin |
3 |
4 |
Simvastatin |
5 |
5 |
Metformin |
2 |
6 |
Siproflokasasin |
1 |
7 |
Risperidone |
3 |
8 |
Jamu dan Vitamin |
11 |
Banyaknya pasien TB/HIV ko-infeksi
mengalami infeksi oportunistik dan resiko terbesar apabila jumlah CD4 <200
sel/mm3. Kandidiasis mukosa paling
sering terjadi pada pasien HIV yang disebabkan oleh Candida albican. Golongan azole
sebagai antijamur merupakan pengobatan jamur topical dan sistemik. Flukonazole
merupakan agent potensial inhibitor pada CYP2C9 dan inhibitor moderat pada
CYP3A4 seperti golongan obat Lopinavir/ritronavir. Aktivitas nystatin utama
adalah melawan Candida sp yang mekanisme kerjanya adalah mengadakan ikatan yang
kompleks dengan ergosterol di membran sitoplasma jamur sehingga mengalami
perubahan permeabilitas membran dengan membentuk pori-pori intra membran
sehingga intra sel kehilangan senyawa penting yang menyebabkan kematian sel.
Efek samping yang paling banyak ditemui adalah mual, muntah, diare apabila
nystatin diberikan secara oral (Vadlapatla
et al., 2015).
12. Komplikasi
penyakit lain
Infeksi oportunistik merupakan
mikosis dengan insiden tinggi pada infeksi oportunistik. Hal tersebut
dikarenakan jamur merupakan flora normal yang beradaptasi pada inang manusia
terutama pada saluran cerna, urogenital dan kulit. Pada penelitian yang pernah
dilakukan menunjukkan penderita kandidiasis merupakan infeksi oportunistik yang
paling banyak yang dialami pada pasien TB/HIV ko-infeksi di RSUP Sanglah
Denpasar 43,9 % dengan 18 kasus yang terjadi (Human
& Virus, 2011).
Diabetes Melitus pada pasien TB/HIV
ko-infeksi disebabkan kondisi hiperglikemi pada penderita diabetes tipe 2
sehingga dapat menyebabkan penurunan berat badan yang drastis dan dapat memicu
terjadinya kurang gizi. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan fungsi dari
makrofag dan limfosit yang menyebabkan imunitas menurun sehingga mudah
terserang infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Dinkes Kota Surabaya
melaporkan bahwa kejadian Diabetes mellitus tipe 2 merupakan faktor resiko
terjadinya TB/HIV (p=0,022) (Epidemiologi,
Timur, & Melitus, 2017).
Hasil dari analisis terhadap variabel
diatas membuktikan bahwa variabel yang berkontribusi terhadap kejadian efek
samping obat dengan nilai signifikansi <0,05 adalah lama terapi OAT
(P=0,005) dengan nilai (OR=3,370). Sedangkan variabel yang lain tidak
berhubungan signifikan secara statistik dapat dimasukkan kedalam analisis
multivariat dengan nilai signifikasi <0,25.
F. Hasil
Analisis Multivariat
Dari hasil bivariat variabel yang diduga
memiliki hubungan dengan nilai signifikasi < 0,25 dilanjutkan dengan
analisis multivariat variabel itu adalah umur (P=0,085), jumlah CD4 (P=0,020),
lama terapi OAT (P=0,005) dan konsumsi obat lain (P=0,059) dan diperoleh hasil
multivariat yang dapat dilihat pada tabel 10.
Tabel 10
Hasil analisis multivariat
No |
Variabel |
P value |
OR |
95% CI |
1 |
Umur |
0,010 |
47,289 |
2,520-887,390 |
2 |
Konsumsi
obat lain |
0,010 |
15,367 |
1,934-122,114 |
Dari tabel
diatas menunjukkan bahwa pasien dengan usia > 31-60 tahun secara signifikan
berhubungan dengan kejadian efek samping obat yang sangat mungkin terjadi berdasarkan
skala Naranjo (P=0,010) dan memiliki risiko 47,289 kali (95% CI:
2,520-887,390). Artinya ada hubungan pasien dengan usia >31-60 tahun
mempunyai risiko terjadinya efek samping obat sangat mungkin terjadi 47,289 kali
lebih besar dibandingkan dengan pasien usia 18-30 tahun. Pasien TB/HIV
ko-infeksi yang mengkonsumsi obat lain secara signifikan berhubungan dengan
efek samping obat yang sangat mungkin terjadi berdasarkan skala Naranjo (P=0,010)
dan memiliki resiko 15,367 kali (95% CI: 1,934-122,114). Dimana ada hubungan
antara pasien yang mengkonsumsi obat lain selain OAT/ART terhadap efek samping
obat yang sangat mungkin terjadi. dengan risiko 15,367 kali dibandingakan dengan
pasien yang tidak mengkonsumsi obat lain selain OAT/ART.
Kesimpulan
Sebanyak 42 responden TB/HIV ko-infeksi yang mengkonsumsi
OAT/ART semua pasien mengalami kejadian efek samping obat dengan probabilitas
sangat mungkin dan mungkin. Kejadian efek samping obat yang paling banyak
dialami adalah neuropati perifer, mual/muntah, ruam, kelelahan, sakit kepala.
Probabilitas efek samping yang sangat mungkin terjadi berdasarkan skala Naranjo
adalah ginekomastia, perubahan warna kulit, ruam, gangguan pendengaran dan
depresi. Variabel secara signifikan berhubungan dengan efek samping obat pada pasien
TB/HIV ko-infeksi dengan probabilitas sangat mungkin adalah usia >31-60
tahun dengan risiko 47,289 kalinya dibandingkan dengan usia 18-30 tahun dan
konsumsi obat selain OAT/ART dengan risiko 15,367 kali.
BIBLIOGRAFI
Adeyemo, Adebolajo A., Oluwatosin, Odunayo, &
Omotade, Olayemi O. (2016). Study of Streptomycin‑Induced Ototoxicity: Protocol
For A Longitudinal Study. SpringerPlus.
Agustya, Made, Putra, Darma, & Putra, I. Nyoman
Nama. (n.d.). Profil Pasien Koinfeksi TB – HIV. Indonesian Jurnal Applied
Science. 36(3), 175–181.
Bruchfeld, Judith, Correia-Neves, Margarida, &
Källenius, Gunilla. (2015). Tuberculosis and HIV coinfection. Cold Spring
Harbor Perspectives in Medicine, 5(7), a017871.
Church, James A., Fitzgerald, Felicity, Walker, A.
Sarah, Gibb, Diana M., & Prendergast, Andrew J. (2015). The Expanding Role of
Co-Trimoxazole In Developing Countries. The Lancet Infectious Diseases, 15(3),
327–339. https://doi.org/10.1016/S1473-3099(14)71011-4
Dean, Gillian L., Edwards, Simon G., Ives, Natalie J.,
Matthews, Gail, Fox, Emma F., Navaratne, Lesley, Fisher, Martin, Taylor, Graham
P., Miller, Rob, Taylor, Chris B., Ruiter, Annemiek De, & Pozniak, Anton L.
(2002). Treatment of tuberculosis in HIV-infected persons in the era of
highly active antiretroviral therapy.
Eluwa, George I., Badru, Titilope, & Akpoigbe,
Kesiena J. (2012). Adverse drug reactions to antiretroviral therapy (ARVs):
incidence, type and risk factors in Nigeria. BMC Clinical Pharmacology, 12(1),
7.
Epidemiologi, Departemen, Timur, Jawa, & Melitus,
Diabetes. (2017). Hubungan Sosioekonomi Dan Gizi Dengan Risiko Tuberkulosis
Pada Penderita Dm Tipe 2. (July), 185–194. https://doi.org/10.20473/jbe.v5i2.2017.185-194
Getahun, Haileyesus, Gunneberg, Christian, Granich,
Reuben, & Nunn, Paul. (2008). HIV Infection – Associated Tuberculosis:
The Epidemiology and the Response. 50, 201–207. https://doi.org/10.1086/651492
Getahun, Haileyesus, Gunneberg, Christian, Granich,
Reuben, & Nunn, Paul. (2010). HIV infection—associated tuberculosis: the
epidemiology and the response. Clinical Infectious Diseases, 50(Supplement_3),
S201–S207.
Human, Epidemi, & Virus, Immunodeficiency. (2011).
Studi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien Tb-Hiv / Aids Di Rsup
Sanglah Denpasar Tahun 2009. 14(02).
Infeksi, Penyakit, Prof, Rspi, Saroso, Sulianti,
Suspected, Profile, Patients, Tb hiv, Disease, Infectious, Prof, Hospital,
Murtiani, Farida, Setianingsih, Tri Yuli, Permatasari, Debby, Sakit, Rumah,
Infeksi, Penyakit, Prof, Rspi, & Saroso, Sulianti. (2015). Profil Pasien
Suspek Koinfeksi TB pada HIV di Rumah Sakit. 14–21.
Irawati, Elfride, Biologi, Fakultas, & Papua,
Universitas Cenderawasih. (2017). Profil Pasien Ko-Infeksi Tuberculose-Hiv Tuberculosis-HIV
Co-infection Profile in DOK II Hospital Jayapura. 7, 25–28.
Mafukidze, Arnold T., Calnan, Marianne, & Furin,
Jennifer. (2016). Journal of Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial
Diseases Peripheral neuropathy in persons with tuberculosis. Journal of
Clinical Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases, 2, 5–11.
https://doi.org/10.1016/j.jctube.2015.11.002
Michael, O. S., Sogaolu, O. M., Fehintola, F. A., Ige,
O. M., & Falade, C. O. (2016). Adverse Events To First Line
Anti-Tuberculosis Drugs In Patients Co-Infected With Hiv And Tuberculosis. 14(1),
21–29.
Natalie, Josephine, Kholis, Fathur Nur, &
Ngestiningsih, Dwi. (2016). Jenis– Jenis Efek Samping Pengobatan Oat Dan Art
Pada Pasien Dengan Koinfeksi Tb / Hiv Di Rsup Dr . Kariadi. 5(4),
1134–1145.
Nightingale, Sam, Winsto, Alan, Letendre, Scott,
Michael, Benedict D., Mcarthur, Justin C., Khoo, Saye, & Solomon, Tom.
(2015). Controversies in HIV-associated neurocognitive disorders. 13(11),
1139–1151. https://doi.org/10.1016/S1474-4422(14)70137-1.Controversies
Njuguna, Christine, Swart, Annoesjka, Blockman, Marc,
Maartens, Gary, Chisholm, Briony, & Stewart, Annemie. (2016). Cases of
antiretroviral ‑ associated gynaecomastia reported to the National HIV &
Tuberculosis Health Care Worker Hotline in South Africa. AIDS Research and
Therapy, 1–5. https://doi.org/10.1186/s12981-016-0121-z
Olowe, Olugbenga A., Makanjuola, Olufunmilola B.,
Adekanmi, Adeniyi S., & Adefioye, Olusola J. (2017). Original article Epidemiological
Characteristics And Clinical Outcome Of Hiv-Related Tuberculosis In A
Population Of Tb Patients In South-Western Nigeria. 7, 127–132.
https://doi.org/10.1556/1886.2017.00003
Pacific, Asia. (2014). Asia Pacific allergy.
Penelitian, Laporan. (n.d.). Risk Factors of
Antituberculosis Induced-Hepatotoxicity among HIV / AIDS Patients Faktor Risiko
Terjadinya Hepatotoksisitas Imbas Obat Antituberkulosis pada Pasien HIV / AIDS.
4(1), 23–28.
Pengembsngfln, Artiket, Keprotesiun, Pendidikan, &
Tuberkulosis, Malnutrisi. (2012). No Title.
Post, Frank A., Sa, F. C. P., Moyle, Graeme J., Ju,
Hans, Domingo, Pere, Podzamczer, Daniel, Fisher, Martin, Norden, Anthony G.,
Cavassini, Matthias, Rieger, Armin, Branco, Teresa, Pearce, Helen C., Givens,
Naomi, Vavro, Cindy, & Lim, Michael L. (2010). Randomized Comparison of
Renal Effects, Efficacy, and Safety With Once-Daily Abacavir / Lamivudine
Versus Tenofovir / Emtricitabine, Administered With Efavirenz, in
Antiretroviral-Naive, HIV-1 – Infected Adults: 48-Week Results From the ASSERT
Study. 55(1), 49–57.
Robinson-papp, Jessica. (2013). HIV-related
neuropathy: current perspectives. 243–251.
Silva, Denise Rossato, Muñoz-torrico, Marcela, Duarte,
Raquel, Galvão, Tatiana, Bonini, Eduardo Henrique, & Arbex, Flávio Ferlin.
(2018). Risk factors for tuberculosis: diabete, smoking, alcohol use, and
the use of other drugs. 44(2), 145–152.
Teixeira, Francine, Raboni, Sonia M., Ribeiro, Clea E.
L., França, João C. B., Broska, Anne C., & Souza, Nathalia L. S. (2018). Human
Immunodeficiency Virus and Tuberculosis Coinfection in a Tertiary Hospital in
Southern Brazil: Clinical Profile and Outcomes.
https://doi.org/10.1177/1178636118813367
Vadlapatla, Ramya Krishna, Patel, Mitesh, Paturi,
Durga K., Pal, Dhananjay, City, Kansas, & City, Kansas. (2015). HHS
Public Access. 10(4), 561–580.
World Health Organization. (2015). TB and HIV
co-infection diagnosis, treatment and statistics. retrieved from TBFactstbfacts.org
› tb-hiv.