Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 1, Januari 2021
PENGARUH EDUKASI FARMASIS
TERHADAP HASIL TERAPI DAN KUALITAS HIDUP PASIEN PROLANIS DIABETES MELITUS TIPE
2
Dewi Laxmi, Shirly
Kumala, Prih Sarnianto
dan Asnah Tarigan
Magister Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected], fskumala@yahoo dan [email protected]
Abstract
Diabetes Mellitus is a chronic disease or
metabolic disorder with multiple etiologies characterized by high blood glucose
levels accompanied by disorders of carbohydrate, protein, and lipid metabolism
as a result of insufficient insulin function. There should be proper, integrated
and sustainable DM management so as to control blood glucose and achieve
optimal quality of life. This study aims to increase knowledge and therapy
compliance of patients with type II diabetes mellitus through the existence of
pharmacist counseling in order to achieve optimal therapy results and quality
of life. This was a quasi-experimental study with a Two Group Pretest-Posttest
design. The results of the study in the intervention group showed that after
Wilcoxon test, there were an increase in the mean value of knowledge, an
increase in the value of compliance, a decrease in fasting blood sugar (FBS)
levels, a decrease in Postprandial Glucose (PPG) levels and a significant
increase in the value of quality of life. Meanwhile in the control group, an
increase in the mean value of knowledge, an increase in the value of
compliance, a decrease in the FBS levels, and an increase in the value of
quality of life were not signifocant, only a decrease
in the PPG levels that was significant. From the results of the Mann Whitney
test, there were significant differences between the intervention group and the
control group on the level of knowledge, compliance, PPG levels, and quality of
life, while there was no significant difference in FBS levels. From the Spearmen's
test, there was evidenced a relationship between knowledge, compliance, blood
glucose levels, and quality of life. It can be concluded that counseling
provided by pharmacists could increase knowledge and compliance of patients
with type II diabetes mellitus in order to achieve optimal therapy results and
quality of life.
Keywords:� knowledge, compliance, FBS, PPG, quality of life,
education
Abstrak
Diabetes Mellitus merupakan
suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah
disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid sebagai
akibat insufiensi fungsi insulin. Penyakit DM memerlukan pengelolaan secara benar, terpadu,
dan berkesinambungan sehingga
glukosa darah dapat terkontrol dan kualitas hidup yang optimal akan tercapai. Tujuan penelitian ini adalah dengan adanya
konseling farmasis dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien diabetes melitus tipe 2 sehingga tercapai hasil terapi kualitas hidup yang optimal. Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan desain Two Group
Pretest-Posttest. Hasil penelitian pada kelompok intervensi setelah diuji Wilcoxon terjadi peningkatan nilai rata-rata pengetahuan, peningkatan nilai kepatuhan, penurunan kadar gula darah puasa (GDP), penurunan kadar Gula Darah
Setelah Makan (GDPP) dan peningkatan nilai kualitas hidup yang signifikan, sedangkan pada kelompok kontrol peningkatan nilai rata-rata pengetahuan, peningkatan nilai kepatuhan, penurunan kadar GDP, dan peningkatan nilai kualitas hidup tidak signifikan,
hanya pada penurunan kadar GDPP yang signifikan. Dari hasil uji Mann Whitney ada perbedaan bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada tingkat pengetahuan, kepatuhan, GDPP, dan
kualitas hidup, sedangkan pada GDP tidak ada perbedaan yang bermakna. Dengan uji Spearmen�s terlihat adanya hubungan antara pengetahuan, kepatuhan, kadar gula darah, dan kualitas hidup. Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
konseling oleh farmasis dapat meningkatkan pengetahuan, dan kepatuhan pasien diabetes melitus tipe II sehingga tercapai hasil terapi dan kualitas hidup yang optimal.
Kata kunci:� pengetahuan, kepatuhan, GDP,
GDPP, kualitas hidup, edukasi
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah
lisensi
Pendahuluan
Pada
tahun 2000, Word Health Organization (WHO) memprediksi sedikitnya
171 juta orang di seluruh dunia menderita diabetes
mellitus (DM), atau sekitar 2,8% dari total populasi,dan pada 2030 angka
ini akan bertambah menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. Benua
Asia dan Afrika merupakan benua yang paling tinggi peningkatan prevalensi DM
sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup, seperti pola
makan �Western-style� yang tidak seimbang (Federation, 2015).
Menurut
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi DM di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar 2,1%, dimana prevalensi
terdiagnosis dokter tertinggi pada daerah Sulawesi Tengah (3,7%) dan� paling�
rendah pada daerah Jawa Barat (0,5%). Untuk daerah Lampung sendiri,
prevalensi DM yang terdiagnosis dokter adalah sebesar 0,8%. Data ini juga menunjukkan
prevalensi DM yang meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, prevalensi DM
yang cenderung lebih tinggi wanita dibanding laki-laki, dan prevalensi yang
lebih tinggi di wilayah perkotaan dibandingkan di pedesaan (Indonesia, 2013).
Kota
Bandar Lampung memiliki 30 puskesmas yang terdiri dari 12 Puskesmas Rawat Inap
dan 18 Puskesmas Rawat Jalan. Puskesmas Satelit dan Puskesmas Kedaton merupakan
dua Puskesmas Rawat Inap yang terakrediasi Utama, dan kedua puskesmas ini
memiliki populasi pasien DM terbanyak di Kota Bandar Lampung. Di Puskesmas
Satelit dan Puskesmas Kedaton, penyakit DM merupakan penyakit dengan urutan ke
7 dari 10 penyakit teratas, dan kedua puskesmas ini melaksanakan Prolanis dengan
baik (Lampung, 2015).
Diabetes mellitus
merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi
yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid sebagai akibat insufiensi fungsi
insulin. Insufisiensi insulin ini disebabkan oleh kurangnya responsif sel-sel
tubuh terhadap insulin, dan disebut juga dengan DM Tipe 2. Penyakit DM memerlukan pengelolaan secara benar,
terpadu, dan berkesinambungan sehingga glukosa darah dapat terkendali dan� kualitas hidup yang optimal tercapai.
Penatalaksanaan DM dipengaruhi beberapa faktor, dan bila faktor-faktor tersebut
tidak dapat terpenuhi dapat menyebabkan kegagalan dalam terapi. Kegagalan
terapi DM terutama disebabkan oleh kurangnya kemampuan pasien dalam melakukan
manajemen diri (self management) seperti mengatur pola makan dan
olahraga, rendahnya tingkat pengetahuan pasien tentang DM, serta ketidakpatuhan
dalam menggunakan obat anti-diabetes (OAD). Konseling singkat (brief counseling) merupakan salah satu
bentuk pendekatan yang dapat digunakan, dimana lebih berfokus pada perubahan
yang diinginkan pasien bukan pada penyebab dari problem pasien. Konseling yang
diberikan secara berkesinambungan, dapat meningkatkan pengetahuan, cara penanganan,
kepatuhan dalam menjalankan keteraturan minum obat oleh pasien, sehingga hal tersebut
akan sangat mempengaruhi kestabilan glukosa dalam darah dan tercapainya
kualitas hidup yang optimal (Creed et al., 2001)
Untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal pada pasien, pemerintah RI, dalam hal ini
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan (BPJS-K), membuat Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis).
Aktivitas Prolanis meliputi konsultasi medis peserta Prolanis, konseling
kelompok peserta Prolanis, remender
melalui SMS Gateway, dan aktivitas
klub. Prolanis biasanya dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama, yaitu
rumah sakit tipe D, klinik, dokter keluarga, dan puskesmas.
Data yang diperoleh dari beberapa puskesmas di Bandar Lampung
dimana pasien DM menempati urutan terbanyak dibandingkan penyakit lainnya, sehingga dipandang perlu dilakukan kajian mendalam terkait konseliing yang dilakukan pada pasien DM agar mereka patuh dan teratur minum obat
sehingga gula darah mereka terkontrol dan stabil serta kualitas
hidup mereka lebih baik. Karena meskipun sudah dilakukan layanan prolanis, edukasi farmasis belum optimal, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh edukasi tersebut terhadap pengetahuan dan kepatuhan pasien. Sebagaimana tujuan penelitian ini adalah dengan
adanya konseling farmasis dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien
diabetes melitus tipe 2 sehingga tercapai hasil terapi dan kualitas hidup yang optimal.
Diabetes tidak hanya menyebabkan
kematian premature di seluruh
dunia. Penyakit ini juga menjadi penyebab utama kebutaan, penyakit jantung dan gagal ginjal. Organisasi
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan
sedikitnya terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita diabetes
pada tahun 2019 atau setara dengan angka
prevalensi sebesar 9,3% dari total penduduk pada usia yang sama. Berdasarkan jenis kelamin, IDF memperkirakan prevalensi diabetes di tahun 2019
yaitu 9%. Pada perempuan
dan 9,65% pada laki-laki. Prevalensi
diabetes diperkirakan meningkat
seiring penambahan umur penduduk menjadi
19,9% atau 111,2 juta orang
pada umur 65-79 tahun.
Angka diprediksi terus meningkat hingga mencapai 578 juta di tahun 2030 dan 700 juta di tahun 2045. (Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 2020)
Mengingat prevalensi diabetes diatas, penulis berharap penelitian ini bermanfaat untuk masyarakat. Karena dengan adanya edukasi
yang dilakukan oleh apoteker
kepada pasien diabetes melitus tipe 2, pasien menjadi lebih tertib, teratur
dan patuh dalam menjalani terapinya. Mereka dapat beraktivitas
normal dengan kualitas hidup yang baik serta tidak ada
komplikasi penyakit lainnya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Konseling
Farmasis terhadap Hasil Terapi dan Kualitas Hidup Pasien Prolanis DM Tipe 2 di Puskesmas
Satelit dan Kedaton Bandar
Lampung.
Metode Penelitian
Desain
penelitian ini adalah quasi eksperimental
dengan desain Two Group Pre Test � Post
Test. Populasi� penelitian adalah
pasien DM tipe 2 peserta Program
Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) di Puskemas Satelit dan Puskesmas
Kedaton Kota Bandar Lampung.Sampel diperoleh dengan
metode purposive sampling pada Puskesmas Satelit sebagai kelompok intervensi sebanyak 40
pasien dan consecutive sampling pada Puskesmas Kedaton sebagai kelompok kontrol sebanyak 40
pasien. Pengumpulan data pre test dengan mengambil data primer
dan sekunder pasien pada pertemuan pertama dan pengumpulan data post test diambil secara prospektif
melalui wawancara tatap muka, kuesioner pada pasien DM tipe 2 peserta Prolanis selama
tiga bulan dengan mengamati pengetahuan tentang penyakit, kepatuhan minum obat,
hasil terapi dan
kualitas hidup.
Alat penelitian yang
digunakan pada penelitian ini adalah pengukur glukosa darah dan kuisioner.
Kusioner yang digunakan adalah ADL Knowledge, MMAS, dan SF 36. Analisis statistik dan
pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 23. Analisis
statistik yang digunakan adalah analisis univariat digunakan untuk mendapatkan
gambaran distribusi frekuensi (proporsi) karakteristik pasien berdasarkan
demografi. Analisa dengan uji
Mann Withney untuk melihat
perbedaan� ADL Knowledge, MMAS, hasil terapi dan SF 36 pada
pasing-masing puskesmas dan antar puskesmas. Analisa dengan uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan skor
ADL Knowledge,
MMAS, hasil terapi dan SF 36
kunjungan pertama (pre) dengan
kunjungan kedua (post) pada masing-masing
puskesmas. Analisa korelasi hubungan antara hasil terapi dan kualitas
hidup dengan confounding factor �menggunakan uji statistik non parametrik Spearmans rho correlation.
Hasil dan
Pembahasan
1. Sosiodemografi
Data sosiodemografi pasien
DM tipe 2 dikelompokkan berdasarkan
usia, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin dan durasi menderita diabetes mellitus sebagaimana
disajikan tabel 1. Karakteristik usia dalam
penelitian ini menunjukkan responden dengan usia 56 � 65 tahun merupakan responden yang paling banyak pada
kelompok kontrol maupun kelompok intervensi yaitu 22 pasien atau 55% pada kelompok kontrol dan 26 pasien atau 65% pada kelompok intervensi, sedangkan responden dengan usia 46-55 tahun merupakan responden yang paling sedikit
pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi, yaitu 3 pasien atau 7,5% pada kelompok kontrol dan 4 pasien atau 10% pada kelompok intervensi. Usia merupakan variabel yang penting dalam penyakit DM karena semakin tinggi usia akan
terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi insulin. Selain
itu pada individu yang lebih tua terdapat
penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin.
Berdasarkan karakteristik pendidikan responden, pendidikan
sekolah dasar merupakan yang paling banyak pada
kelompok kontrol maupun kelompok intervensi yaitu 18 pasien atau 45% pada kelompok kontrol dan 17 pasien atau 42,5% pada kelompok intervensi, sedangkan responden dengan pendidikan perguruan tinggi merupakan responden yang paling sedikit pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi, yaitu 5 pasien atau 12,5% pada kelompok kontrol dan 2 pasien atau 5% pada kelompok intervensi. Tingkat pengetahuan
pada setiap individu salah satunya dapat dipengaruhi
oleh status pendidikan dimana
kemampuan dalam mendapatkan informasi tentang penyakit-penyakit secara umum lebih
banyak. Dengan adanya pengetahuan tersebut orang akan memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang berbanding lurus dengan semakin
tingginya kemampuan orang tersebut untuk mengatur pola hidupnya
agar tetap sehat. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang berbanding lurus dengan semakin
tingginya kemampuan orang tersebut untuk mengatur pola hidupnya
agar tetap sehat. Status pendidikan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan
seseorang. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka kemampuan memperoleh informasi
tentang penyakit umumnya lebih banyak (Mongisidi,
2014).
Tabel 1
Karakteristik Pasien Diabetes mellitus
Variabel |
Kelompok |
|||
Kontrol |
Intervensi |
|||
�n=40 |
% |
n=40 |
% |
|
Usia |
|
|
||
a. 36 - 45 tahun |
3 |
7,5 |
4 |
10 |
b. 46 - 55 tahun |
15 |
37,5 |
10 |
25 |
c. 56 - 65 tahun |
22 |
55 |
26 |
65 |
Pendidikan |
|
|
||
a. Sekolah Dasar |
18 |
45 |
17 |
42,5 |
b. SMP |
10 |
25 |
16 |
40 |
c. SMA |
7 |
17,5 |
5 |
12,5 |
d. Perguruan
Tinggi |
5 |
12,5 |
2 |
5 |
Pekerjaan |
|
|
||
a. Ibu rumah tangga |
24 |
60 |
27 |
67,5 |
b. Swasta |
16 |
40 |
13 |
32,5 |
Jenis kelamin |
|
|
||
a. Laki-laki |
16 |
40 |
13 |
32,5 |
b. Perempuan |
24 |
60 |
27 |
67,5 |
Durasi diabetes mellitus |
|
|
||
a. 1 - 5 tahun |
29 |
72,5 |
27 |
67,5 |
b. 6 - 10 tahun |
7 |
17,5 |
11 |
27,5 |
c. > 10 tahun |
4 |
10 |
2 |
5 |
Karakteristik pekerjaan ibu rumah tangga merupakan yang paling banyak
pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi yaitu 24 pasien atau 60% pada
kelompok kontrol dan 27 pasien atau 67,5% pada kelompok intervensi, sedangkan
responden dengan pekerjaan wiraswasta merupakan yang paling sedikit pada
kelompok kontrol maupun kelompok intervensi, yaitu 16 pasien atau 40% pada
kelompok kontrol dan 13 pasien atau 32,5% pada kelompok intervensi.
Berdasarkan Pusdatin diabetes
mellitus yang dikeluarkan oleh Kemenkes
tahun 2015 pekerjaan ibu rumah tangga
menempati posisi nomor dua tertinggi
yaitu 7,4% setelah pekerjaan lain-lain 9,3%. Menurut
Bentteng R, dkk aktifitas fisik akan membuat kadar
insulin lebih meningkat, sedangkan pekerjaan ibu rumah tangga
hanyalah menyapu, mencuci dan memasak yang tergolong dalam aktifitas ringan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilaksanakan oleh
Blkau et al (2008), pada 13 negara di Eropa disimpulkan bahwa akumulasi aktivitas fisik sehari-hari merupakan faktor utama yang menentukan sensitivitas insulin. Tanpa adanya kombinasi
dengan olahraga yang cukup maka kecenderungan
pekerjaan ibu rumah tangga lebih
banyak dalam populasi diabetes mellitus di masyarakat.
Karakteristik jenis kelamin perempuan merupakan yang paling banyak pada
kelompok kontrol maupun kelompok intervensi yaitu 24 pasien atau 60% pada kelompok kontrol dan 27 pasien atau 67,5% pada kelompok intervensi, sedangkan responden dengan jenis kelamin
laki-laki responden yang
paling sedikit pada kelompok
kontrol maupun kelompok intervensi, yaitu 16 pasien atau 40% pada kelompok kontrol dan 13 pasien atau 32,5% pada kelompok intervensi. Jenis kelamin perempuan lebih beresiko mengidap diabetes
mellitus karena secara fisik perempuan memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndroma), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah
terakumulasi akibat proses
hormonal tersebut sehingga wanita beresiko menderita DM tipe 2 (Irawan, 2010).
Diabetes mellitus merupakan penyakit
menahun yang disandang penderitanya seumur hidup. Pengontrolan kadar glukosa sangat
penting untuk menekan tingkat keparahan penyakit itu sendiri. Dalam penelitian ini durasi diabetes mellitus dibagi menjadi 3 kategori yaitu 1-5 tahun, 6-10 tahun dan lebih dari 10 tahun. Dari data yang ada bahwa kategori
1-5 tahun merupakan durasi DM yang tertinggi pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi yaitu 29 pasien atau 72,5% pada kelompok kontrol dan 27 pasien atau 67,5% pada kelompok intervensi. Lamanya menderita DM berpengaruh terhadap keyakinan pasien dalam perawatan
yang tentunya berpengaruh
pada kualitas hidupnya. Pasien yang lebih lama telah menderita DM memiliki efikasi diri yang baik, hal itu disebabkan
karena pasien telah berpengalaman dalam mengelola penyakitnya.
2. Pengaruh Edukasi
Farmasis terhadap Pengetahuan, Kepatuhan, Kadar Glukosa Darah, dan Kualitas Hidup
Dari hasil uji wilcoxon
test pada kelompok intervensi diperoleh nilai p-value adalah 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan
nilai pengetahuan yang signifikan sebelum dan setelah konseling farmasis,
sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,083
(p>0,05) yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
kelompok kontrol pada hasil pengukuran nilai pengetahuan sebelum dan sesudah dilakukan
penelitian. Dari
hasil uji mann whitney diperoleh signifikansi sebesar 0,000
(p<0,05) yang menunjukkan bahwa
ada perbedaan nilai pengetahuan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Setelah diberikan konseling farmasis selama tiga bulan, sebagian
besar responden kelompok internesi menunjukkan peningkatan pengetahuan, seperti pengertian diabetes melitus,
klasifikasi, faktor resiko, gejala klinik, komplikasi, terapi obat dan non obat, pencegahan, serta pentingnya konsultasi. Peningkatan rata-rata nilai pengetahuan terjadi setelah konseling farmasis dan adanya perbedaan pengetahuan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
tujuan konseling farmasis untuk membimbing dan mendidik pasien sehingga
pengetahuan pasien mengenai capaian tujuan terapi dan mutu pengobatan pasien akan
meningkat sesuai teori dapat direalisasikan.
Tabel 2
Hasil uji beda antara pengetahuan sebelum dan sesudah intervensi farmasis pada kelompok kontrol dan intervensi
Pengetahuan |
Kelompok |
|||||
Kontrol
(n=40) Puskesmas Kedaton |
Intervensi
(n=40) Puskesmas Satelit |
|||||
pre |
post |
Sig |
pre |
post |
Sig |
|
Rata-rata |
27,525 � 4,78 |
27,6 � 4,81 |
0,083 |
26,625 � 4,11 |
31,525 � 3,42 |
0,000 |
50% rata-rata |
13,76 |
13,8 |
13,31 |
15,76 |
||
75% rata-rata |
20,64 |
20,7 |
19,96 |
23,6 |
||
Tinggi (>75% rata-rata) |
37 |
37 |
40 |
40 |
||
Sedang (50%-≤75%
rata-rata) |
3 |
3 |
0 |
0 |
||
Rendah (<50%
rata-rata) |
0 |
0 |
0 |
0 |
Tabel 3
Hasil
perbedaan pengetahuan pada kelompok
kontrol dan
�intervensi dengan
uji Mann Whitney
Variabel |
Kelompok |
Sig |
||
Kontrol
(n=40) Puskesmas Kedaton |
Intervensi
(n=40) Puskesmas Satelit |
|||
Nilai rata-rata ADL (pengetahuan) |
Pre |
27,525 |
26,625 |
|
Post |
27,6 |
31,525 |
|
|
Rata-rata nilai selisih |
0,075 |
4,9 |
0,000 |
Grafik 1
Perbedaan
pengetahuan pasien berdasarkan rerata sebelum dan setelah konseling farmasis
Dari hasil uji wilcoxon test pada kelompok intervensi
diperoleh nilai p-value adalah 0,000 (p<0,05) yang
menunjukkan terdapat perbedaan nilai kepatuhan yang signifikan sebelum dan
setelah pasien diberikan konseling farmasis, sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh
nilai signifikansi sebesar 0,685 (p>0,05) yang menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol pada hasil pengukuran nilai
kepatuhan sebelum dan sesudah dilakukan penelitian. Dari hasil
uji mann whitney diperoleh signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan
bahwa ada perbedaan nilai kepatuhan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Tabel 4
Hasil uji beda antara kepatuhan sebelum dan sesudah intervensi farmasis pada kelompok kontrol dan intervensi
Kepatuhan |
Kelompok |
|||||
Kontrol (n=40) Puskesmas Kedaton |
Intervensi
(n=40) Puskesmas Satelit |
|||||
pre |
post |
Sig |
pre |
post |
Sig |
|
Rata-rata |
5,15 � 1,14 |
5,1 � 0,9 |
0,685 |
5,125 � 1,11 |
6,725 � 0,64 |
0,000 |
Tinggi (≥ 8) |
0 |
0 |
0 |
4 |
||
Sedang (6 -< 8) |
16 |
12 |
14 |
36 |
||
Rendah (< 6) |
24 |
28 |
26 |
0 |
Tabel
5
Hasil perbedaan kepatuhan pada kelompok kontrol dan
intervensi dengan uji Mann Whitney
Variabel |
Kelompok |
Sig |
||
Kontrol |
Intervensi |
|||
Nilai rata-rata MMAS (kepatuhan) |
Pre |
5,15 |
5,125 |
|
Post |
5,1 |
6,725 |
|
|
Rata-rata nilai selisih |
-0,05 |
1,6 |
0,000 |
Perbedaan nilai kepatuhan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol menggambarkan bahwa konseling yang diberikan kepada pasien prolanis
DM tipe 2 dapat meningkatkan kepatuhan pasien tersebut. Peningkatan kepatuhan yang terjadi setelah konseling menunjukkan
bahwa informasi mengenai yang didapatkan setelah konseling yang dilakukan oleh
farmasis dapat berdampak positif terhadap perubahan perilaku yang meningkatkan
kepatuhan. Dengan pasien mengetahui mekanisme kerja obat dan dampak atau resiko
bila minum obat tidak sesuai aturan melalui konseling dengan penjelasan yang
memadai dan adanya tanya jawab akan memotivasi mereka untuk meningkatkan
kepatuhan. MMAS adalah hasil
pengembangan dari MMS yang dapat meningkatkan sensitivitas pengukuran kepatuhan menggunakan obat karena
item pertanyaan dan skala lebih spesifik. MMAS sudah divalidasi dan digunakan untuk penelitian kepatuhan obat pada pasien hipertensi dan pasien diabetes (Morisky,
Ang, Krousel‐Wood, & Ward, 2008).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rifqi R., dkk., di Puskesmas Srandakan Bantul bahwa ada perbedaan yang signifikan
antara kepatuhan pasien dalam penggunaan obat sebelum
dan setelah pelaksanaan home care
pada pasien DM tipe 2� dengan komplikasi
hipertensi (Rifqi
R, Chlara N, 2015) Penelitian
di Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur yang dilakukan oleh Voni N., diperoleh
hasil ada perbedaan yang signifikan sebelum dan setelah pemberian intervensi
farmasi pada kepatuhan minum obat pasien DM tipe 2 (N,
2015).
Pada penelitian di Puskesmas
Bambanglipuro dan Puskesmas
Pundong diperoleh hasil penelitian bahwa terdapat
pengaruh antara pemberian konseling
farmasi dengan tingkat kepatuhan penggunaan obat serta hasil
terapi pasien DM tipe
2. Juga terdapat hubungan
antara tingkat kepatuhan dengan hasil terapi (Zakaria,
Mohamed, Ab Rahid, & Rose, 2017). Hasil penelitian
di Rumah Sakit Mayapada Tanggerang
menyatakan bahwa pemberian booklet
dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan minum obat pada pasien DM Tipe 2 (Merlin, Arozal, Sauriasari, & Keban, 2017).
Grafik 2
Perbedaan
kepatuhan pasien berdasarkan rerata sebelum dan setelah konseling farmasis
Tabel 6
Hasil uji beda antara gula darah
puasa (GDP) sebelum dan sesudah
intervensi farmasis pada kelompok kontrol dan intervensi
GDP |
Kelompok |
|||||
Kontrol
(n=40) Puskesmas Kedaton |
Intervensi
(n=40) Puskesmas Satelit |
|||||
pre |
post |
Sig |
pre |
post |
Sig |
|
Rata-rata |
145,8 � 30,3 |
137,3 � 26,7 |
0,285 |
155,9 � 21,1 |
139,8 � 33,3 |
0,011 |
Terkendali Baik
(80 ->100 mg/dl) |
1 |
1 |
0 |
5 |
||
Terkendali Sedang (100 � 125 mg/dl) |
8 |
14 |
3 |
10 |
||
Terkendali
Buruk (≥ 126 mg/dl) |
31 |
25 |
37 |
25 |
Tabel 7
Hasil perbedaan kadar gula darah puasa (GDP) pada kelompok kontrol dan intervensi dengan uji Mann
Whitney
Variabel |
Kelompok |
Sig |
||
Kontrol |
Intervensi |
|||
Nilai rata-rata GDP (kadar glukosa puasa) |
Pre |
145,85 |
155,925 |
|
Post |
137,325 |
139,875 |
|
|
Rata-rata nilai selisih |
-8,525 |
-16,05 |
0,244 |
Pada grafik 3 terlihat adanya penurunan rata-rata
nilai GDP pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan konseling
yaitu sebesar 16,05, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi penurunan
rata-rata nilai GDP yaitu sebesar 8,52.
Grafik 3
Perbedaan kadar gula darah puasa
(GDP) pasien berdasarkan rerata sebelum dan setelah konseling farmasis
Dari hasil uji wilcoxon
pada kelompok intervensi diperoleh nilai p-value
adalah 0,011 (p<0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan nilai GDP yang
signifikan sebelum dan setelah konseling farmasis, sedangkan pada kelompok
kontrol diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,285 (p>0,05) yang menunjukkan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol pada hasil
pengukuran nilai GDP sebelum dan sesudah dilakukan penelitian. Dari hasil
uji mann whitney diperoleh signifikansi sebesar 0,244 (p<0,05) yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan nilai GDP yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada penelitian ini menggambarkan bahwa konseling yang diberikan farmasis kepada pasien mempunyai
pengaruh terhadap penurunan kadar gula darah puasa, akan
tetapi penurunan nilai GDP pada kelompok intervensi yang diberikan konseling tidak berbeda signifikan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan konseling. Kadar
GDP dapat dijadikan pedoman dalam diagnosis DM. Jika hasil pemeriksaan kadar GDP
≥ 126 mg/dl dan terdapat keluhan khas DM, diagnosis DM dapat ditegakkan (Adnan,
Mulyati, & Isworo, 2013). Juga terdapat penelitian di Puskesmas Kramat Jati
Jakarta dengan hasil ada perbedaan yang bermakna sebelum dan setelah intervensi
farmasi terhadap pengetahuan, kepatuhan dan kadar GDP dan GDPP� (N, 2015).
Dari hasil uji wilcoxon
pada kelompok intervensi diperoleh nilai p-value
adalah 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan nilai GDPP yang
signifikan sebelum dan setelah konseling farmasis, sedangkan pada kelompok kontrol
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,021 (p>0,05) yang menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol pada hasil pengukuran
nilai GDPP sebelum dan sesudah dilakukan penelitian.
Tabel 8
Hasil uji beda GDPP antara sebelum dan sesudah intervensi
GDPP |
Kelompok |
|||||
Kontrol
(n=40) Puskesmas Kedaton |
Intervensi
(n=40) Puskesmas Satelit |
|||||
pre |
post |
Sig |
Pre |
post |
Sig |
|
Rata-rata |
�196,3 �� 33,7 |
182,2 �
33,9 |
0,021 |
191,6 �
22,02 |
154,6 �
30,03 |
0,000 |
Terkendali Baik
(80 � 144 mg/dl) |
1 |
4 |
|
0 |
17 |
|
Terkendala Sedang (145 �
179 mg/dl) |
10 |
18 |
|
13 |
15 |
|
Terkendali buruk (≥ 180 mg/dl) |
29 |
18 |
|
27 |
8 |
|
Tabel
9
Hasil
perbedaan kadar gula darah setelah makan
(GDPP) pada
kelompok kontrol
dan intervensi dengan uji Mann Whitney
Variabel |
Kelompok |
Sig |
||
Kontrol |
Intervensi |
|||
Nilai rata-rata GDPP (kadar glukosa 2 jam pp) |
Pre |
196,3 |
191,6 |
|
Post |
182,275 |
154,625 |
|
|
Rata-rata nilai selisih |
-14,025 |
-36,975 |
0,006 |
Grafik 4
Perbedaan kadar gula darah setelah
makan (GDPP) pasien berdasarkan rerata sebelum dan setelah konseling farmasis
Dari hasil uji mann whitney diperoleh
signifikansi sebesar 0,006
(p<0,05) yang menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan nilai GDPP yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada penelitian ini menggambarkan bahwa baik kelompok intervensi
yang diberikan konseling maupun kelompok kontrol yang tidak diberi konseling terjadi penurunan penurunan yang signifikan, akan tetapi kelompok
intervensi yang diberikan konseling lebih dapat menurunkan kadar GDPP daripada kelompok kontrol.
Dari hasil uji wilcoxon pada kelompok
intervensi diperoleh nilai p-value adalah 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan
terdapat perbedaan nilai kualitas hidup yang signifikan sebelum dan setelah konseling farmasis, sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,397 (p>0,05) yang menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol pada hasil pengukuran nilai kualitas hidup sebelum dan sesudah dilakukan penelitian. Dari hasil uji mann whitney diperoleh
signifikansi sebesar 0,001
(p<0,05) yang menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan nilai kualitas hidup yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Perbedaan nilai kualitas hidup antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol menggambarkan bahwa konseling yang diberikan kepada pasien prolanis tipe 2 dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien tersebut.
Hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian
yang dilakukan di Puskesmas Gedong Tengen dengan hasil yang signifikan antara konseling farmasi
yang dilakukan dengan meningkatnya kualitas
hidup pasien diabetes melitus tipe 2 (Septiar
& Utami, 2015).
Tabel 10
Hasil uji beda antara kualitas hidup sebelum dan sesudah intervensi farmasis pada kelompok kontrol dan intervensi
Kualitas
Hidup |
Kelompok |
|||||
Kontrol (n=40) Puskesmas Kedaton |
Intervensi
(n=40) Puskesmas Satelit |
|||||
pre |
post |
Sig |
pre |
post |
Sig |
|
Rata-rata |
58,5 � 11,2 |
59,1 � 9,84 |
0,397 |
54,8 �
8,89 |
63,8 � 7,9 |
0,000 |
Baik sekali (76 � 100) |
2 |
2 |
0 |
2 |
||
Baik (51 � 75) |
25 |
29 |
27 |
35 |
||
Cukup (26 � 50) |
13 |
9 |
13 |
3 |
||
Kurang (0 � 25) |
0 |
0 |
0 |
0 |
Tabel 11
Hasil
perbedaan kualitas hidup pada kelompok kontrol dan intervensi dengan uji Mann
Whitney
Variabel |
Kelompok |
Sig |
||
Kontrol |
Intervensi |
|||
Nilai Rata-rata Kualitas Hidup |
Pre |
58,575 |
54,8 |
|
Post |
59,15 |
63,8 |
|
|
Rata-rata nilai selisih |
0,575 |
9 |
0,001 |
Grafik 5
Perbedaan kualitas hidup pasien
berdasarkan rerata sebelum dan setelah konseling farmasis
3. Hubungan antara
Tingkat Pengetahuan, Kepatuhan, Kadar Glukosa Darah, dan Kualitas Hidup
Tujuan
selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara tingkat pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa darah, dan kualitas hidup. Confounding factor merupakan variabel yang dapat mengganggu. Confounding factor yang dianalisa
antara lain adalah usia, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, dan DM karena kemungkinan dapat mempengaruhi nilai pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa darah
dan kualitas hidup. Pengaruh confounding
factor dengan pengetahuan,
kepatuhan, kadar glukosa dan kualitas hidup diuji dengan Spearmans rho correlation.
Tabel 12
Nilai signifikansi
antara confounding
factor dan variabel pada kelompok
kontrol
Confounding
factor |
Variabel |
||||
Pengetahuan |
Kepatuhan |
GDP |
GDPP |
Kualitas
Hidup |
|
Usia |
0,977 |
0,505 |
0,814 |
0,561 |
0,055 |
Pendidikan |
0,611 |
0,791 |
0,071 |
0,112 |
0,293 |
Pekerjaan |
0,149 |
0,109 |
0,578 |
0,422 |
0,683 |
Jenis Kelamin |
0,149 |
0,109 |
0,578 |
0,422 |
0,683 |
Durasi
diabetes |
0,285 |
0,326 |
0,297 |
0,886 |
0,762 |
Hasil
uji Spearmans rho correlation pada confounding factor adalah
bila nilai Sig lebih kecil dari
0,05 maka confounding
factor berhubungan dengan
pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa darah
dan kualitas hidup. Bila nilai Sig lebih besar dari 0,05 maka confounding
factor tidak ada hubungan dengan pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa darah
dan kualitas hidup. Pada tabel 12 dan tabel 13. Semua nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 yang menunjukkan bahwa confounding factor yang terdiri dari
usia, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, dan durasi diabetes mellitus tidak ada hubungan dengan pengetahuan, kepatuhan,
kadar glukosa darah dan kualitas hidup. Penelitian ini tidak searah
dengan penelitian-penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa sosiodemografi, faktor perilaku dan gaya hidup serta
keadaan klinis atau mental berpengaruh terhadap kejadian diabetes melitus (25). Adanya perbedaan pada hasil penelitian dapat disebabkan oleh kondisi pasien yang telah mengikuti program prolanis pada umumnya menerima kondisinya sebagai penderita DM dan lebih memiliki keinginan tinggi untuk mempertahankan
kesehatan.
Tabel 13
Nilai signifikansi antara confounding factor dan variabel
pada kelompok intervensi
Confounding
factor |
Variabel |
||||
Pengetahuan |
Kepatuhan |
GDP |
GDPP |
Kualitas
Hidup |
|
Usia |
0,325 |
0,845 |
0,382 |
0,878 |
0,743 |
Pendidikan |
0,270 |
0,616 |
0,842 |
0,070 |
0,114 |
Pekerjaan |
0,920 |
0,688 |
0,304 |
0,887 |
0,943 |
Jenis Kelamin |
0,920 |
0,688 |
0,304 |
0,887 |
0,943 |
Durasi
diabetes |
0,423 |
0,103 |
0,368 |
0,146 |
0,287 |
Tujuan
selanjutnya dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara tingkat pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa darah, dan kualitas hidup. Uji analisa bivariate
dengan metode Spearmans rho correlation dilakukan
untuk melihat korelasi atau hubungan
antara pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa darah, dan kualitas hidup. Di bawah ini dapat
dilihat hasil korelasi antara pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa, dan kualitas hidup pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Nilai
korelasi pada tabel 14 merupakan hasil selisih dari data setelah dengan sebelum intervensi farmasis pada variabel pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa darah,
dan kualitas hidup. Intervensi farmasis adalah dalam bentuk wawancara
dan brief counselling. Pada penelitian
ini menunjukkan bahwa nilai Sig yang dihasilkan pada kelompok kontrol lebih dari 0,05 dengan hasil korelasi
pengetahuan dengan kepatuhan 0,866, korelasi pengetahuan dengan GDP 0,821, korelasi pengetahuan dengan GDPP 0,390, korelasi pengetahuan dengan kualitas hidup 0,309, korelasi kepatuhan dengan kadar GDP 0,469, korelasi kepatuhan dengan kadar GDPP 0,873, dan korelasi kepatuhan dengan kualitas hidup 0,519. Hasil uji korelasi Spearmans rho correlation pada kelompok kontrol ini tidak menggambarkan
adanya korelasi antara pengetahuan, kepatuhan, kadar glukosa darah, dan kualitas hidup.
Pada kelompok intervensi menunjukkan nilai Sig. kurang dari 0,05 dengan hasil korelasi pengetahuan dengan kepatuhan sebesar 0,000, korelasi pengetahuan dengan GDP 0,015, korelasi pengetahuan dengan GDPP 0,000, korelasi pengetahuan dengan kualitas hidup 0,005, korelasi kepatuhan dengan kadar GDP 0,000, korelasi kepatuhan dengan kadar GDPP 0,000, dan korelasi kepatuhan dengan kualitas hidup 0,003. Hasil korelasi pada kelompok intervensi menggambarkan bahwa terdapat korelasi antara pengetahuan dengan kepatuhan, GDP, GDPP, dan kualitas
hidup, serta terdapat korelasi antara kepatuhan dengan GDP, GDPP, dan kualitas hidup.�
Tabel
14
Hasil
korelasi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi dengan menggunakan uji Spearmans rho correlation
Variabel |
Kelompok |
|||
Kontrol |
Intervensi |
|||
Nilai
rata-rata |
Sig |
Nilai
rata-rata |
Sig |
|
Pengetahuan |
27,6 |
0,866 |
31,5 |
0,000 |
Kepatuhan |
5,1 |
6,7 |
||
Pengetahuan |
27,6 |
0,821 |
31,5 |
0,015 |
GDP |
137,3 |
139,8 |
||
Pengetahuan |
27,6 |
0,390 |
31,5 |
0,000 |
GDPP |
182,2 |
154,6 |
||
Pengetahuan |
27,6 |
0,309 |
31,5 |
0,005 |
Kualitas
Hidup |
59,1 |
63,8 |
||
Kepatuhan |
5,1 |
0,469 |
6,7 |
0,000 |
GDP |
137,3 |
139,8 |
||
Kepatuhan |
5,1 |
0,873 |
6,7 |
0,000 |
GDPP |
182,2 |
154,6 |
||
Kepatuhan |
5,1 |
0,519 |
6,7 |
0,003 |
Kualitas
Hidup |
59,1 |
63,8 |
Pada kelompok intervensi dari hasil korelasi
menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan, hasil terapi, dan kualitas hidup. Pengetahuan pasien tentang penyakit, pengobatannya serta efek-efek yang ditimbulkan dari penyakit itu akan
mempengaruhi tingkat kepatuhan, hasil terapi, dan kualitas hidup dari pasien
tersebut. Pengetahuan yang terus meningkat akan membuat level kepatuhan meningkat, sehingga hasil terapi dan kualitas hidup dari pasien
tersebut akan meningkat pula. �Pada penelitian ini walaupun kebanyakan
pasiennya berlatar belakang Sekolah Dasar (SD) tetapi hasil terapi
dan kualitas hidup mereka meningkat. Hal ini menunjukkan pentingnya farmasis ikut berperan aktif
memberikan pelayanan konseling yang optimal sehingga mempengaruhi pengetahuan dan cara pandang mereka
tentang kesehatan khususnya tentang penyakit diabetes mellitus
yang dideritanya dan selanjutnya
meningkatkan kepatuhan, sehingga keberhasilan terapi dan kualitas hidup yang baik pun akan tercapai. Hal ini sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa asuhan kefarmasian dapat meningkatkan
kepatuhan, kualitas hidup dan keterkendalian GDP kualitas hidup pasien DM 2
peserta Prolanis dan non-Prolanis (Yeshi Mayasari, 2020).
Kesimpulan
Konseling farmasis memberikan
pengaruh yang signifikan setelah pasien diberikan konseling terhadap pengetahuan, kepatuhan, GDP, GDPP,
dan kualitas hidup. Hal ini menunjukkan konseling yang diberikan farmasis dapat meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan sehingga tercapai kadar gula darah dan kualitas hidup yang optimal.
Terdapat perbedaan bermakna
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada tingkat pengetahuan, kepatuhan, GDPP, dan
kualitas hidup, sedangkan pada GDP tidak ada perbedaan yang bermakna. Terlihat pula adanya hubungan antara pengetahuan, kepatuhan, kadar gula darah, dan kualitas hidup. Hal ini
membuktikan dengan adanya konseling oleh farmasis dapat meningkatkan pengetahuan, dan kepatuhan pasien diabetes melitus tipe II sehingga tercapai hasil terapi dan kualitas hidup yang optimal.
BIBLIOGRAFI
Adnan, Miftahul, Mulyati,
Tatik, & Isworo, Joko Teguh. (2013). Hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan kadar gula darah penderita diabetes mellitus (DM) tipe 2 rawat jalan di
RS Tugurejo Semarang. Jurnal Gizi, 2(1).
Creed, Francis, Ratcliffe,
Joy, Fernandez, Lakshmi, Tomenson, Barbara, Palmer, Steve, Rigby, Christine,
Guthrie, Elspeth, Read, Nicholas, & Thompson, David. (2001). Health-related
quality of life and health care costs in severe, refractory irritable bowel syndrome.
Annals of Internal Medicine, 134(9_Part_2), 860�868.
Federation, Internasional
Diabetes. (2015). Idf diabetes atlas 2013. Brussels: Belgium.
Indonesia, Kementerian
Kesehatan Republik. (2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar [Internet].
Retrieved from www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil Riskesdas.
Diakses pada tanggal 15 September 2014
Irawan, Dedi. (2010). Prevalensi
dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 di Daerah Urban Indonesia
(Analisa Data Sekunder Riskesdas 2007). Thesis Universitas Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Tetap Produktif, Cegah dan Atasi Diabetes Melitus.
ISSN 2442-7659. Infodatin. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI., Jakarta. Diakses pada tanggal 18 Januari
2021 melalui https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-Diabetes-2018.pdf
Lampung, inas Kesehatan
Kota Bandar. (2015). Profil Kesehatan Kota Bandar Lampung Tahun 2016.
Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung.
Mayasari Yeshi. Prih Sarnianto dan Yusi Anggriani (2020). Pengaruh Asuhan Kefarmasian
terhadap Kualitas Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Dua Puskesmas
Daerah Jakarta Timur. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN:
2541-0849, e-ISSN: 2548-1398. Vol.5, No. 6, Juni 2020. Diakses
melalui http://jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-literate/article/view/1338
pada 18 Januari 2021.
�
Merlin, Radoti, Arozal,
Wawaimuli, Sauriasari, Rani, & Keban, Sesilia. (2017). Evaluasi Penerapan
Booklet dan Edukasi Apoteker pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit
Mayapada Tangerang. Pharmaceutical Sciences and Research (PSR), 4(2),
102�110.
Mongisidi, Gabby. (2014).
Hubungan antara status sosio-ekonomi dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2
di Poliklinik Interna BLU RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Repository Unsrat. Jurnal
Ilmiah (Online)(Http://Fkm. Unsrat. Ac.
Id/Wp-Content/Uploads/2015/02/Januari-Gabby-Mongisidi. Pdf, Diakses Pada
Tanggal 29 Januari 2018).
Morisky, Donald E., Ang,
Alfonso, Krousel‐Wood, Marie, & Ward, Harry J. (2008). Predictive
validity of a medication adherence measure in an outpatient setting. The
Journal of Clinical Hypertension, 10(5), 348�354.
N, Voni. (2015). Pengaruh
edukasi dan homecare oleh farmasis pada pasien diabetes melitus tipe 2 di
Puskesmas Kramat Jati Jakarta Timur periode Oktober � Desember 2015 [tesis]. Fakultas
Farmasi Universitas Pancasila., Jakarta.
Rifqi R, Chlara N, Rakta
R. (2015). Pengaruh pemberian homecare oleh apoketer pada pasien diabetes
melitus. Jurnal Management Dan Pelayanan Farmasi. Universitas Gadjah Mada.
Septiar, Handaka
Ekaningputra, & Utami, Pinasti. (2015). Pengaruh Konseling Farmasis
Terhadap Kualitas Hidup dan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe
2 di Puskesmas Gedong Tengen Periode Maret-Mei 2014. Jurnal Farmasi Sains
Dan Praktis, 1(1), 29�34.
Zakaria, Nurul Husna,
Mohamed, Nik Mohd Zuki Nik, Ab Rahid, Mohd Fadzil Faisae, & Rose, Ahmad
Nasser Mohd. (2017). Lean manufacturing implementation in reducing waste for
electronic assembly line. MATEC Web of Conferences, 90, 1048. EDP
Sciences.