�Syntax
Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�e-ISSN : 2548-1398
�Vol. 6, No.
4, April 2021
ASESMEN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KARTU IDENTITAS
ANAK SEBAGAI PEMENUHAN HAK ANAK
Khaerul Umam Noer
Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas Muhammadiyah Jakarta
Email: [email protected]
Abstract
Since 2015, the Mayor of Depok has issued an order
for the issuance of Child Identity Cards (CIC) as part of fulfilling children's
basic rights. This policy is important because Law 35/2014 has mandated that
the state must ensure the fulfillment of children's basic rights and needs
through Child Friendly Cities as a child rights-based development system by
integrating commitments and resources from the government, society and the
business sector. After five years, the CIC program in Depok has stagnated, both
in terms of implementation and outcomes. This paper aims to assess the
implementation of the Child Identity Card policy with a focus on two questions:
First, how the Depok City Government ensures the implementation of the policy,
Second, due the CIC is cross-sectoral, then how can the government collaborate
with stakeholders to make this policy a success. By using a descriptive
qualitative method, this study found that there were three obstacles to
implementing CIC: bureaucracy, limited resources, and communication problems
that caused data collection and publication of CIC to be an unsolved problem.
Keywords: child identity card; child rights and protection; policy implementation; depok
Abstrak
Sejak 2015, Wali Kota Depok telah
mengeluarkan perintah untuk penerbitan Kartu Identitas Anak sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar anak.
Kebijakan ini penting sebab UU 35/2014 telah mengamanatkan bahwa negara harus menjamin terpenuhinya hak dan kebutuhan dasar anak melalui
Kota Layak Anak (KLA) sebagai
sistem pembangunan berbasis hak anak
dengan mengintegrasikan komitmen dan sumber daya dari pemerintah,
masyarakat dan sektor bisnis. Persoalannya adalah, setelah lima tahun, program KIA di Depok mengalami
stagnasi, baik dalam pelaksanaan maupun hasil luaran.
Tulisan ini bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap implementasi kebijakan Kartu Identitas Anak dengan fokus pada dua hal: Pertama, bagaimana Pemerintah
Kota Depok memastikan pelaksanaan
kebijakan, Kedua, karena KIA bersifat
lintas sector, maka bagaimana pemerintah menggandeng para pemangku kepentingan untuk mensukseskan kebijakan ini. Dengan menggunakan
metode kualitatif deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa
ada tiga hambatan untuk menerapkan KIA: birokrasi, sumber daya yang terbatas, dan masalah komunikasi yang menyebabkan pengumpulan data dan penerbitan
KIA menjadi problem yang tidak
terselesaikan hingga hari ini.
Kata Kunci: kartu identitas anak; hak dan perlindungan anak; implementasi kebijakan; depok
Pendahuluan
Sejak tahun 1990, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Noer, 2019;
Patilima, 2017), yang diadopsi dari Majelis Umum
PBB tahun 1989, menjelaskan
bahwa setiap anak tanpa memandang
ras, jenis kelamin, asal usul
keturunan, agama maupun bahasa, mempunyai hak hak yang mencakup
empat bidang, yaitu: (1) hak atas kelangsungan hidup, menyangkut hak atas tingkat
hidup yang layak dan pelayanan kesehatan; (2) hak untuk berkembang,
mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, kegiatan seni dan budaya, kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, serta hak anak
berkebutuhan khusus; (3) hak perlindungan, mencakup perlindungan atas segala bentuk
eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana; dan (4) hak partisipasi, meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta hak untuk
ikut serta da lam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.
Ratifikasi ini kemudian diturunkan menjadi UU 23/2002, yang kemudian
direvisi menjadi UU 35/2014
Tentang Perlindungan Anak. Konstitusi dan UU mengamanatkan bahwa Negara harus menjamin pemenuhan hak dan kebutuhan dasar anak, sehingga
anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. UU 35/2014 mengisyaratkan pentingnya pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia untuk
menjadi Kota Layak Anak (selanjutnya disingkat KLA). KLA adalah Kabupaten/Kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui
pengintegrasian komitmen
dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.
Sesuai dengan amanat UU Perlindungan Anak, Pemerintah Kota Depok terus meningkatkan berbagai upaya dalam mewujudkan
salah satu program andalannya
yaitu Depok sebagai KLA. Maka
sejak tahun 2015, melalui Peraturan Wali Kota Nomor 35/2015, Pemerintah Kota Depok mendorong hadirnya Kartu Identitas Anak (selanjutnya disingkat KIA) sebagai bagian dari pemenuhan
hak dasar anak, utamanya hak atas pengakuan
kependudukan. Hal tersebut dilakukan guna memberikan kesadaran akan pentingnya hak-hak yang harus diterima seorang anak dan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi terhadap anak. KIA berfungsi sebagai Kartu Identitas
Diri dan fasilitas kepada anak berupa
keringanan pembayaran terhadap fasilitas yang diberikan oleh pihak pemangku kepentingan.
Tulisan ini
berfokus pada bagaimana implementasi Peraturan Wali Kota 35/2015 Tentang Kartu Identitas Anak. Secara khusus, tulisan ini berfokus pada dua hal: (a) bagaimana
implementasi KIA oleh Dinas
Kependudukan dan Pencatatan
Sipil, dan (b) karena KIA bersifat lintas sektor, bagaimana Pemerintah Kota Depok menggandeng
pemangku kepentingan, mulai dari perbankan,
vendor fasilitas olahraga, toko buku, dan fasilitas kesehatan, untuk terlibat dalam KIA dalam upaya Depok sebagai Kota Layak Anak. Hal ini menarik untuk dilakukan,
seperti yang dikemukakan
oleh Meru, kebijakan KIA muncul
sebagai respon pemerintah Kota Depok atas UU
35/2014 (Meru, 2017), sedangkan KIA sendiri adalah salah satu indikator yang digunakan oleh Pemerintah Depok untuk menyatakan klaimnya bahwa Depok adalah Kota Layak Anak (Widyawati &
Laksmitasari, 2015). Penelitian ini mencoba melakukan sejumlah asesmen, apakah klaim Depok sebagai Kota Layak Anak benar dilakukan, dengan berfokus pada satu hal: Kartu
Identitas Anak.
Pada dasarnya,
Kota Layak Anak sebagai suatu program memiliki banyak indikator yang sudah cukup banyak
dikaji dari berbagai sudut pandang. Dimulai dari proses pembuatan KLA sebagai kebijakan di berbagai daerah dan berbagai prasyarat yang dibutuhkan oleh daerah-daerah tersebut (Adnyani, 2019; Haifulloh, Purnomo, & Salsabila, 2020; Irenes &
Setiamandani, 2019; Taliu & Suranto, 2020; Taufiq, Hadikurniawati,
Muhammadiyah, & Informatika, 2019), bagaimana implementasi KLA dilakukan oleh berbagai dinas dan bidang pelaksana di berbagai pemerintah daerah (Hamudy, 2015; Noer, 2019; Roza & S, 2018; Widyawati &
Laksmitasari, 2015), ketersediaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak sebagai ruang publik
yang dapat diakses oleh semua anak (Faedlulloh, Prasetyanti, & Indrawati, 2017;
Herlina & Nadiroh, 2018; Hernowo & Navastara, 2017),� dan peran serta tanggung jawab pemerintah
dalam mengatasi pelanggaran hak-hak anak
(Fitriani, 2016;
Putri & Noor, 2013).
Sementara itu, kajian mengenai KIA lebih banyak berfokus
pada tiga hal. Pertama, kajian-kajian
yang berfokus pada aspek hukum dalam pelayanan
sektor publik dalam implementasi KIA, dalam hal ini
KIA dilihat sebagai program
yang memiliki payung hukum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah di daerah (Setiawan, 2017;
Simamora, Bahmid, & Martua, 2019; Yudha & Firdausi, 2017), atau KIA sebagai hasil advokasi
kebijakan dalam rangka pemenuhan hak sipil dan legal anak (Sri Hardjanto,
2019). Kedua, kajian mengenai KIA yang berfokus pada implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2/2016 dalam implemetasi KIA di daerah (Adnyani, 2019;
Iswariayti, Parsa, & Suardita, 2016). Ketiga, kajian mengenai implementasi KIA secara birokratis yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di berbagai wilayah (Arista & Suderana, 2019; Meru, 2017; Pasaribu,
2018; Putri & Noor, 2013).
Berbagai penelitian
di atas, meski berfokus pada implementasi tidak melihat dua
hal pokok: bagaimana hambatan dalam implementasi dan bagaimana kerjasama lintas bidang dalam
pelaksanaan KIA di lapangan.
Penelitian ini
secara spesifik mengisi kekosongan kajian-kajian yang ada dengan berfokus pada hambatan yang muncul dalam proses implementasi KIA dan
bagaimana kerjasama lintas bidang, bukan hanya Dinas
Kependudukan dan Pencatatan
Sipil, dalam implementasi KIA di Kota Depok. Implementasi secara sederhana merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh
pelaksana kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai
dengan tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan. Dengan menitikberatkan pada persoalan implementasi, tulisan ini berfokus pada upaya sekaligus memetakan kendala yang dihadapi sekaligus potensi solusi oleh Pemerintah Kota Depok
dalam pelaksanaan program
KIA. Hal ini
menarik sekaligus krusial untuk dikaji,
sebab Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia telah mewajibkan
KIA sebagai salah satu indikator utama Kota Layak Anak, dan Depok menjadi
salah satu pilot
project Kota Layak Anak di Jawa
Barat. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan rekomendasi dalam upaya implementasi KIA sebagai pemenuhan hak dasar anak
sekaligus mendorong percepatan Kota Depok sebagai
Kota Layak Anak di Indonesia
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Depok, Dinas
Pendidikan Kota Depok, Mitra KIA antara lain perbankan, penyedia fasilitas olahraga dan rekreasi, fasilitas kesehatan, dan toko buku. Terdapat dua puluh enam
informan yang menjadi sumber informasi dalam penelitian ini, mencakup Kepala
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Kepala Bidang Kependudukan,
tiga orang operator KIA di kecamatan,
Kepala Dinas Pendidikan, empat orang kepala sekolah, empat orang komite sekolah, empat orang pelajar, manajer operasional bank, manajer operasional toko, dan manajer operasional wahana tirta, dan empat orang masyarakat yang sedang mengurus KIA di kecamatan. Selain wawancara, pengamatan partisipatif juga dilakukan dengan mengunjungi berbagai kelurahan untuk mengamati langsung bagaimana proses perekaman data
KIA, dan pengamatan ke
Mitra KIA, antara toko buku dan sarana olahraga dan rekreasi untuk mengamati bagaimana penggunaan KIA oleh pemegang kartu KIA.
Selain wawancara dan pengamatan, peneliti juga mengumpulkan berbagai data dokumen, seperti perjanjian kerjasama antara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Depok dengan para Mitra KIA, dokumentasi
kegiatan, dan regulasi terkait KIA. Data-data ini kemudian disusun menjadi sejumlah kode untuk kemudian
dianalisis. Melalui teknik trianggulasi, peneliti melakukan pengecekan silang data
yang diperoleh dari informan satu dengan
informan lainnya serta membandingkan data hasil wawancara dengan hasil pengamatan
berkaitan dengan pelaksanaan penerbitan dan pemberian KIA di
Kota Depok. Dengan teknik ini, penelitian mengenai KIA diharapkan mampu memberikan gambaran yang seakurat mungkin untuk menjelaskan
bagaimana KIA dilaksanakan
dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan di lapangan.
Hasil dan Pembahasan
A.
Kebijakan Kartu Identitas
Anak
Dalam rangka pemenuhan
salah satu hak sipil anak dan untuk mewujudkan Depok sebagai Kota Layak Anak sesuai ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf F Peraturan Daerah Kota
Depok Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Kota Layak Anak, Pemerintah Kota Depok memberikan Kartu Identitas Anak (KIA) sampai dengan usia
17 tahun. Untuk melaksanakan tugas tersebut, maka Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut Disdukcapil) adalah Organisasi Perangkat Daerah yang bertanggungjawab penuh dalam implementasi KIA di lapangan.
Pelaksanaan Kartu
Identitas Anak di Kota Depok merupakan
kebijakan yang diimplememtasikan
oleh Disdukcapil Kota Depok sebagai salah satu program untuk mendukung Depok Kota Layak Anak yang dimulai pada Tahun Anggaran Perubahan 2015. Ketika program ini
mulai berjalan di tahun 2016, sebanyak 57.143 anak telah mendapatkan,
dan hingga akhir 2019, sebanyak 140.578 anak yang telah mendapatkan KIA. Sepintas data ini menunjukkan bahwa terdapat progress signifikan dalam perekaman dan penerbitan data KIA, namun jika dihitung, selama periode 2017-2019, hanya terbit 83,435 KIA baru, atau rata-rata tercatat 27,811 KIA di Kota Depok setiap
tahunnya. Hal ini menarik, sebab berdasarkan data jumlah anak di Kota Depok pada tahun
2019 mencapai 501,168 anak,
masih tersisa 360,590 anak yang belum terekam dan mendapatkan KIA.
Pemberian KIA dimaksudkan untuk mendorong terpenuhinya hak sipil anak dan mendorong peningkatan kesejahteraan anak baik secara rohani,
jasmani maupun sosial. Tujuan lain KIA adalah sebagai kartu yang memberikan fasilitasi kepada anak berupa keringanan
pembayaran terhadap fasilitas yang diberikan oleh
Mitra KIA berdasarkan kesepakatan
bersama antara Pemerintah Kota Depok dengan
Mitra. Adapun sasaran pemberian
Kartu Identitas Anak ini adalah anak
yang berdomisili dan terdaftar
dalam Kartu Keluarga di Kota Depok yang berusia
1 (satu) tahun sampai dengan 17 (tujuh belas) tahun
dan belum menikah. Dengan ruang lingkupnya
meliputi pelayanan pendidikan, kesehatan, pariwisata, olah raga, perbankan dan fasilitas lain yang
ditentukan oleh Walikota.
Kartu Identitas Anak diterbitkan oleh Disdukcapil Kota
Depok dan ditanda tangani
oleh Kepala Dinas dengan tidak dipungut
biaya. Kepala Dinas melaksanakan koordinasi dan komunikasi dengan Mitra mulai dari tahap persiapan,
sosialiasasi, penerbitan Kartu Identitas Anak sampai dengan pemanfaatan
Kartu Identitas Anak. Sedangkan Mitra KIA sebagai pihak kedua dalam
pemberian fasilitasi Kartu Identitas Anak wajib memberikan laporan penggunaan Kartu Identitas Anak secara periodik setiap 3 bulan sekali kepada Walikota.
Kebijakan Kartu Identitas Anak digagas dan dilaksanakan oleh Disdukcapil
Kota Depok berdasarkan indikator
Kota Layak Anak di Indonesia melalui
perencanaan yang dilakukan dari tingkat bawah
yaitu adanya kajian dan telaah staf dari Disdukcapil
yang ditujukan kepada Walikota, karena Kartu Identitas Anak merupakan salah satu kebijakan untuk mewujudkan Kota Layak Anak di
Kota Depok. Pemilihan kebijakan
KIA ini merupakan urutan utama program lokal setelah program-program
Nasional E-KTP dan Akta Kelahiran,
karena dengan� KIA diharapkan pemberian Akte Kelahiran anak di Kota Depok dapat terus ditingkatkan sesuai dengan target yang ada, karena pada tahun-tahun sebelumnya masih di bawah standar yaitu 20% dari target 75% dari seluruh jumlah anak yang ada di Kota Depok.
Selanjutnya disusunlah rencana organisasi sampai dengan tingkat
pimpinan tertinggi, yaitu Walikota dan DPRD atas dasar rencana,
kebutuhan, keinginan dan� permasalahan
yang dihadapi, untuk selanjutnya bersama-sama dengan atasan menetapkan
kebijakan atau pengambilan keputusan dan atasan berfungsi sebagai fasilitator. Karena konsep ini membawa
manfaat yang positif bagi anak-anak Kota Depok maka unsur pimpinan
merespon dengan baik dan menyetujui menjadi suatu kebijakan
lokal yang terus dikembangkan. Pada perjalanannya,
pemerintah pusat menjadikan kebijakan KIA sebagai kebijakan nasional, yang dalam beberapa hal memiliki
perbedaan dengan KIA yang diimplementasikan di Depok, maka Pemerintah Kota Depok melakukan sejumlah penyesuaian dengan KIA Nasional karena pada dasarnya antara KIA Kota Depok
dan KIA Nasional mempunyai manfaat
yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam penyusunan
kebijakan merupakan proses
yang sangat strategis di
mana ada ruang untuk memaknai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik yang diutamakan demi kepentingan masyarakat. Sejalan dengan proses perencanaan dalam Peraturan Walikota Depok Tentang Kartu Identitas
Anak di Kota Depok bahwa� terus
berupaya meningkatkan pelayanan administrasi kependudukan kepada masyarakat, khususnya anak-anak di Kota Depok untuk mendukung program Kota Layak� Anak di Kota Depok yang telah
dirintis sejak tahun 2011.
Adapun indikator Kota Layak Anak sesuai dengan Peraturan
Daerah Kota� Depok
Nomor 15/2013 Tentang Penyelenggaraan Kota Layak Anak adalah variabel sebagai ukuran dan nilai dari kenerja
tahunan di dalam pemenuhan hak anak
yang wajib dicapai melalui kebijakan, program, kegiatan dan penanganan untuk mewujudkan Kota Layak Anak. Dijelaskan bahwa indikator Kota Layak Anak yang dimaksud dalam Peraturan Daerah tersebut merupakan turunan dan sesuai dengan indikator yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor
12/2011. Dalam hal ini Pemerintah Kota Depok masih terdapat beberapa permasalahan yang muncul karena adanya
indikator dari Kota Layak Anak yang belum terpenuhi terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan KIA sehingga Disdukcapil harus terus meningkatkan kinerjanya dan menguatkan sisi kelembagaan dan program, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang tepat dalam pelaksanaan KIA di Kota
Depok
B. Persoalan
Birokrasi dan Sumberdaya
Salah satu
titik krusial persoalan KIA terletak pada internal Disdukcapil,
dalam hal ini terletak pada dua hal pokok:
struktur birokrasi dan minimnya fasilitas pelaksana. Disdukcapil Kota Depok
memiliki tiga tujuan utama, yaitu:
(a) tertib administrasi kependudukan, (b) tertib administrasi pencatatan sipil, dan (c) berbasis teknologi informasi. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, maka Disdukcapil membentuk sejumlah misi organisasi,
antara lain: (a) meningkatkan
profesionalisme SDM yang berorientasi
pelayanan berkualitas dengan memberikan pelayanan secara ramah, akurat,� cepat, dan transparan; (b) meningkatkan kualitas database kependudukan
dan pencatatan sipil melalui pengelolaan databerbasis teknologi informasi; dan (c) meningkatkan kualitas pelayanan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil melalui penyediaan pelayanan yang berkualitas untuk memenuhi kepuasan masyarakat. �Persoalannya adalah, dengan ketika tujuan dan misi dilaksanakan di lapangan, masih sangat jauh dari
harapan. Dilihat dari
stuktur birokrasi, pelaksanaan KIA di lapangan memiliki prosedur operasi standar yang jelas, namun dalam
pelaksanaannya, terdapat beberapa masalah yang tidak diatur dalam
kebijakan KIA dan/atau masalah yang muncul karena pengaturan birokrasi yang tidak mempertimbangkan aspek sosiokultural untuk memperoleh KIA.
Secara umum, persyaratan penerbitan KIA baru adalah: (a) mengisi formulir permohonan Kartu Identitas Anak; (b) fotocopi Akta Kelahiran anak; (c) pas photo anak berwarna ukuran
2x3 sebanyak 2 lembar bagi anak usia
1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; (d) rekam photo anak bagi anak
usia diatas 5 tahun, dan (e) fotocopi Kartu Keluarga. Kartu Identitas Anak berlaku bagi semua
anak yang ada di Kota Depok
tanpa terkecuali. Adapun persyaratan Kartu Identitas Anak yang hilang/rusak yaitu: (a) surat keterangan kehilangan dari kepolisian bagi Kartu Identitas Anak yang hilang, (b) Kartu Identitas Anak yang asli bagi yang rusak; (c) pas poto anak berwarna
ukuran 2x3 sebanyak 2 lembar bagi anak
usia 1 (satu) tahun sampai dengan
5 tahun, dan (d) fotocopi Kartu Keluarga orang tua. Persyaratan penerbitan Kartu Identitas Anak yang habis masa berlakunya adalah sebagai berikut: (a) Kartu Identitas Anak Asli; (b) pas photo anak berwarna
ukuran 2x3 sebanyak 2 lembar bagi anak
usia 1 sampai dengan 5 tahun, dan (c) foto copy Kartu Keluarga orang tua.
Jika dilihat sepintas, tidak ada masalah dalam
penerbitan KIA, namun di lapangan, hal yang justru muncul adalah
penolakan dalam perekaman. Secara umum, terdapat dua kelompok yang tidak dapat mengajukan
perekaman KIA. Kelompok pertama adalah mereka yang tidak dapat mengajukan KIA karena merupakan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan. Tidak ada catatan
resmi mengenai jumlah perkawinan yang tidak dicatatkan di Depok, meski demikian, hingga medio 2019 tercatat empat belas permohonan
KIA yang ditangguhkan karena
persoalan ini. Salah satu titik solusi
sebetulnya ada pernah dimunculkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri
9/2016, Pasal 3 Ayat 2 mengenai
pencatatan anak yang tidak diketahui asal usulnya atau
keberadaan orang tuanya dilakukan dengan: a. Melampirkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Kepolisian atau b. Menggunakan Surat Pertanggungjawaban
Mutlak (SPTJM) kebenaran
data kelahiran yang ditandatangani
oleh wali/penanggungjawab. Kartu Identitas Anak dapat diperoleh setelah mengurus Akta Kelahiran di� Kota Depok tanpa
menyertakan identitas dari pihak ayah dan yang tertera di Akta Kelahiran adalah nama ibu.
Meski secara aturan jelas bagaimana
KIA dapat diajukan untuk anak yang lahir dari pernikahan
yang tidak dicatatkan, baik melalui perkawinan
sirri atau kelahiran tanpa ayah, namun secara faktual
hal ini tidak
semudah yang dibayangkan. Dalam wawancara dengan keluarga yang pengajuan KIA anaknya ditolak, yang muncul adalah Surat Pertanggungjawaban Mutlak yang mereka buat ditolak oleh Disdukcapil, karena Disdukcapil merujuk pada poin A, yakni hanya
menerima Berita Acara Pemeriksaan dari kepolisian. Persoalannya adalah, tidak semua
orang memiliki keberanian untuk ke kantor
polisi dan mengajukan BAP untuk menjelaskan status perkawinan mereka yang tidak dicatatkan. Beberapa orang yang diwawancara menjelaskan bahwa polisi menolak BAP mereka karena mereka
tidak dapat membuktikan bahwa mereka telah melalukan
perkawinan meski tidak dicatatkan, salah satu pembuktian yang harus mereka hadirkan
adalah saksi-saksi dari pihak keluarga.
Hal ini tentu saja menyulitkan bagi mereka yang menikah ketika mereka berada di luar negeri sebagai buruh migrant, di mana saksi mereka adalah teman-teman
mereka sendiri, atau ketika saksi-saksi
yang ada telah meninggal dunia. Tidak dicatatkannya perkawinan mereka membawa konsekuensi serius, bahwa anak-anak yang lahir tidak dapat
memperoleh Akta Kelahiran, padahal Akta Kelahiran adalah prasyarat utama KIA.
Kelompok kedua mereka yang tidak mendapatkan KIA adalah anak-anak yang kelahirannya tidak dapat dibuktikan
melalui Akta Kelahiran. Meski terdengar absurd, kondisi ini banyak muncul
di lapangan. Persoalannya terletak pada aturan untuk dikeluarkannya Akta Kelahiran oleh Pemerintah Kota Depok. Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk dikeluarkannya Akta Kelahiran: (a) salinan surat nikah kedua orangtua yang dilegalisir, (b) surat asli dari bidan
dan/atau dokter, dan (c) keharusan untuk menghadirkan dua orang saksi, lengkap dengan salinan kartu identitasnya. Kondisi ini jelas
sangat menyulitkan bagi orangtua miskin yang karena keterbatasan biaya memilih untuk
melahirkan di rumah dengan bantuan dari dukun beranak, hal mana sangat dilarang oleh Dinas Kesehatan
Kota Depok. Dengan lahir di
rumah, tanpa bantuan dari tenaga
medis, baik bidan dan dokter, maka tidak mungkin
ada surat keterangan, yang membuat mustahil dikeluarkannya Akta Kelahiran, meskipun pasangan suami istri tersebut
mencatatkan perkawinan mereka. Kondisi lainnya adalah ketiadaan saksi, apalagi dituntut saksi untuk memberikan
identitas pribadinya, yang secara legal menyatakan bahwa proses kelahiran tersebut benar adanya.
Dengan demikian, kendala implementasi KIA di tingkat Disdukcapil bukan karena tidakjelasnya
standar operasional prosedur, namun karena standar itu sendiri begitu
ideal sehingga sulit tercapai ketika dilaksanakan di lapangan. Kesulitannya tidak hanya dalam memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan
oleh kebijakan, baik itu Akta Kelahiran,
KIA, dan EKTP, namun juga dalam
prosesnya, perekaman data hingga pencetakan kartu, baik KIA maupun EKTP membutuhkan waktu yang sangat panjang. Panjangnya waktu yang dibutuhkan adalah sisi lain dari persoalan di tingkat pelaksana: keterbatasan sumber daya.
Secara umum, sumber
daya dapat dilihat dari dua
sisi: dari sisi manusia dan infrastruktur. Dari sisi manusia, staf dalam
hal ini adalah
operator SIAK, adalah titik
krusial. Keberadaannya tidak sesuai dengan
jumlah dan kemampuan yang ditargetkan. Seluruh operator
SIAK diharuskan untuk merekam E-KTP dan KIA. Model sentralistik
untuk seluruh data kependudukan, ditambah dengan sangat variatifnya
data yang dihasilkan, ditambah
pula dengan terbatasnya
personalia yang ada, baik
di tingkat kelurahan, kecamatan dan kota, menyebabkan proses pendataan, perekaman, dan pencetakan KIA menjadi terhambat.
Di tingkat pelaksaan program KIA misalnya, jumlah operator di setiap kelurahan hanya satu orang, dengan kemampuan khusus sebagai operator SIAK yang telah mendapatkan bimbingan teknis beberapa kali dan sertifikat keahlian sehingga memiliki kemampuan dalam pelayanan administrasi kependudukan. Namun jumlah operator di setiap kelurahan sangat kurang karena tidak
sebanding dengan pelayanan dan jumlah penduduk di masing-masing kelurahan.
Hal ini menyebabkan manakala operator berhalangan hadir maka pelayanan
akan terhenti, idealnya dalam satu kelurahan ada dua operator, sehingga tidak ada pelayanan adaministrasi
yang tertunda seperti yang dikeluhkan oleh masyarakat sebagai Informan bahwa penyelesaian KIA terhambat karena mendahulukan target E-KTP. Jumlah
operator yang hanya satu
orang harus menangani perakaman E-KTP dan KIA untuk satu kelurahan menyebabkan antrian untuk perakaman data E-KTP dan
KIA seringkali tercampur
dan simpangsiur yang menyebabkan
waktu tunggu untuk pendataan menjadi sangat lama, bahkan seringkali masyarakat yang sudah menunggu dari pagi
hingga siang terpaksa kembali keesokan harinya karena antrian yang begitu panjang.
Selain unsur manusia keberhasilan pelaksanaan kebijakan KIA juga harus didukung dengan adanya sarana
dan prasarana yang memadai.
Dalam hal prasarana adalah adanya dukungan koneksi dan jaringan internet antar kelurahan yang belum terintegrasi dengan baik ke
server induk yang ada di kantor Kota Depok. Selain itu, ketersediaan sarana alat cetak,
alat perekam, komputer hanya tersedia satu unit di tiap kelurahan dengan pemeliharaan yang tidak rutin setiap
bulan. Seringkali peralatan rekam mengalami kerusakan, dan butuh waktu lebih
dari satu minggu untuk perbaikan,
dan selama perbaikan maka layanan perekaman
data, baik KIA maupun E-KTP
dihentikan.
Dengan sarana alat
perekam dan alat pencetak yang sangat terbatas, menyebabkan munculnya antrian panjang di setiap kelurahan. Di Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis misalnya, masyarakat yang hendak merekam KIA harus datang sejak subuh,
karena jika mereka datang di atas jam sembilan pagi, bisa dipastikan
mereka akan kehabisan nomor antrian. Bahkan setelah mendapatkan antrian, masyarakat harus menunggu dan bersabar untuk penyelesaian pelayanan E-KTP maupun KIA yang diajukan, terlebih jika koneksi
dengan server utama terjadi hambatan atau alat rekam
yang seringkali mengalami kerusakan.
Berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana, secara faktual terlihat bahwa tidak tersedianya
sarana dan prasarana yang diperlukan guna melaksanakan program-program baru
akan menimbulkan berbagai hambatan terhadap keberhasilan pelaksanaan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Sumber daya bukan hanya
mencakup faktor sumber daya manusia
/ aparat semata melainkan juga mencakup kemampuan sumber daya material lainnya untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, maka keberhasilan
implementasi kebijakan bukan hanya ditunjang
oleh sumber daya manusia saja melainkan
perlu ditunjang degan sarana dan prasarana yang memadai demi kelancaran penyelenggaraannya.
Persoalan lainnya adalah pendeknya masa berlaku KIA. Sejak awal diberlakukan, KIA hanya memiliki masa berlaku sepanjang dua tahun, dan secara otomatis tidak berlaku jika
melewati masa berlaku dan/atau pemilik sudah
berusia 17 tahun. Dengan masa berlaku yang terlalu pendek, menyebabkan masyarakat harus selalu ke
kelurahan untuk memperpanjang KIA dan mengulang kembali proses pengajuan atau perpanjangan KIA yang sangat menyita waktu dan tenaga. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Wali Kota Depok telah mengeluarkan Keputusan Wali Kota
Depok Nomor 12/2017 yang memperpanjang
masa berlaku KIA menjadi 4 tahun, namun pelaksanaannya
baru dimulai pada awal 2019, itupun masih mundur di tingkat pelaksanaan karena ketersediaan blanko yang ada masih mencatat masa berlaku selama dua tahun.
C. Persoalan Komunikasi
dengan Mitra KIA
Peran komunikasi dalam keberhasilan program Kartu Identitas Anak di Kota
Depok sangat penting, karena dalam proses kebijakan publik yang menjadi salah satu kelemahannya adalah komunikasi, di mana seharusnya komunikasi dibangun sejak perencanaan kebijakan sehingga muatan-muatan atau materi yang akan menjadi inti dari kebijakan tersebut dapat diketahui dan disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan. Hal ini dapat dilihat pada pelaksanaan Kartu Identitas Anak terdapat beberapa persoalan komunikasi, baik antara Disdukcapil dengan dinas lain di Kota Depok, maupun antara Disdukcapil
dengan Mitra KIA dan masyarakat
umum.
Berkaitan dengan
komunikasi dengan dinas lain, ada
beberapa persoalan yang muncul, misalnya Disdukcapil Kota Depok seringkali
mengadakan kegiatan yang berbeda namun dengan
target audiens yang sama dengan dinas lain di waktu yang berdekatan dengan alasan ketidaktahuan
bahwa dinas lain menyelenggarakan kegiatan yang relatif sama di daerah tersebut. Disdukcapil juga tidak secara langsung bekerjasama dengan Dinas Pendidikan atau Dinas Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga,
hal ini menyebabkan
sosialisasi dan promosi
program KIA tidak berjalan maksimal. Hal ini muncul disebabkan proses miskomunikasi dan birokrasi panjang yang harus dilalui oleh sebuah program untuk dapat berjalan,
di samping bahwa setiap dinas seringkali
memiliki programnya sendiri yang tidak sejalan dengan dinas lain.
Dalam beberapa kesempatan, Dinas Pendidikan ketika mengadakan sosialisasi tentang Sekolah Ramah Anak (SRA) tidak menyertakan Disdukcapil untuk bicara soal
KIA, padahal KIA dan SRA adalah
bagian tidak terpisahkan dari ketercapaian program KLA. Pada kesempatan
lain, Dinas Perlindungan Anak dan Pemberdayaan
Masyarakat dan Keluarga ketika
melalukan sosialisasi perlindungan perempuan dan anak di masyarakat, juga tidak menyertakan Disdukcapil, padahal salah satu fungsi KIA adalah pemenuhan hak sipil anak.
Hal yang sama juga terjadi ketika Disdukcapil melakukan sosialisasi tentang Kartu Identitas
Anak di lembaga pendidikan tidak melibatkan Dinas Pendidikan, atau ketika sosialisasi di masjid dan majelis taklim tidak melibatkan Dinas Sosial dan Keagamaan. Dalam beberapa kali wawancara, alasan mengapa tidak ada kerjasama
antardinas terkait lebih pada persoalan birokrasi yang bertele-tele dan panjang, yang menyebabkan sebuah program kerjasama seringkali batal dilakukan.
Gejala miskomunikasi antardinas di Kota Depok terus berulang, dan meski Wali Kota Depok sudah memerintahkan agar dinas-dinas di
Kota Depok menyelenggarakan kegiatan
bersama, namun secara faktual di lapangan yang terjadi adalah tumpang-tindih kegiatan. Persoalan miskomunikasi antardinas di Kota
Depok juga berdampak pada implementasi
KIA di lapangan. Pendataan
KIA misalnya, karena Disdukcapil tidak bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, maka Disdukcapil tidak bisa melakukan perekaman data di sekolah, dengan demikian seluruh anak yang akan direkam datanya
harus datang ke kelurahan, padahal
kelurahan sendiri tidak siap dalam
proses perakaman data karena
tertumpuk dengan masyarakat yang akan mereka E-KTP. Contoh lainnya adalah untuk kebutuhan administrasi KIA yang melibatkan Dinas Kesehatan, seringkali Dinas Kesehatan tidak dapat mengeluarkan catatan kelahiran karena data perkawinan orangtua justru tertahan di Disdukcapil. Hal ini yang membuat orangtua yang ingin membuat KIA seringkali harus bolak-balik mengurus administrasi yang seringkali di-ping-pong dari
satu dinas ke dinas lainnya.
Persoalan komunikasi
krusial lainnya terjadi antara Disdukcapil dan Mitra KIA. Meskipun
komunikasi yang ada antara Disdukcapil dan Mitra KIA sudah berjalan sejak 2017, belum ada progress berarti dalam pelaksanaannya. Sejak 2017 hingga medio 2019,
Mitra KIA berjumlah 18 unit
dan belum ada peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari
dua sisi. Pertama, Pemerintah Kota
Depok tidak secara proaktif menjaring Mitra. Mitra
KIA seringkali hanya sebatas diundang untuk mengikuti sosialisasi dan mengadakan MOU,
yang hanya berdasarkan kesadaran untuk mendukung program Pemerintah Kota
Depok dalam pelayanan administrasi kependudukan kepada anak. Dengan
tidak adanya mekanisme yang mengatur kewajiban berbagai pihak seperti perbankan,
toko buku, penyelenggara layanan kesehatan, dan penyelenggara layanan olahraga dan rekreasi untuk bergabung sebagai Mitra KIA,
Mitra KIA yang ada saat ini adalah Mitra yang memang sejak awal
memiliki jaringan dan kerjasama dengan Pemerintah Kota Depok.
Kedua, Disdukcapil
tidak dapat menjelaskan dengan baik keuntungan yang diperoleh Mitra KIA sehingga
Mitra yang ada saat ini tidak secara
aktif bergerak dalam pelaksanaan KIA di lapangan dan/atau tidak ada terobosan
kerjasama, baik itu perluasan ruang
lingkup kerjasama ataupun penambahan benefit bagi penerima KIA. Tidak hanya ketiadaan
benefit bagi Mitra, berbagai
aturan terkait kerjasama dengan Mitra pun tidak berjalan. Misalnya, berdasarkan kesepahaman antara Disdukcapil dan Mitra KIA, Mitra KIA diharuskan
untuk memberikan informasi potongan harga bagi pemilik
KIA, namun di lapangan, tidak ada informasi
apapun terkait dengan hal tersebut.
Contoh lainnya, terdapat aturan bahwa Mitra KIA harus memberikan laporan berkala setiap tiga bulan kepada
Disdukcapil Kota Depok, namun
dalam pelaksanaannya, tidak ada yang melakukan hal itu.
Hampir semua Mitra KIA hanya memberikan laporan tahunan, beberapa Mitra bahkan belum pernah melaporkan
target pencapaian dan penggunaan
KIA ke Disdukcapil sejak 2017.
Hal ini disebabkan
karena Diskdukcapil tidak memiliki mekanisme yang jelas mengenai pelaporan dan evaluasi program KIA oleh Mitra KIA. Terkait
dengan pelaporan, tidak ada kejelasan
tata cara pelaporan maupun laporan seperti apa yang diminta oleh Disdukcapil dari Mitra KIA. Tidak hanya ketidakjelasan cara dan jenis laporan, bahkan Disdukcapil tidak meminta laporan karena dalam Peraturan
Wali Kota tidak jelas kapan dan bagaimana laporan harus dimintakan ke pihak Mitra. Di sisi lain, karena tidak ada kejelasan
mengenai pelaporan, maka pihak Mitra KIA tidak bisa memberikan
laporan sekaligus umpan balik sebagai
evaluasi program KIA, sehingga
Mitra KIA seringkali bertindak
masa bodoh dengan pelaporan pelaksaan KIA, padahal Mitra KIA adalah
stakeholder strategis pelaksanaan
KIA di lapangan.
Karena mekanisme dan benefit
KIA tidak diketahui dengan jelas oleh Mitra KIA, menyebabkan tidak ada satupun Mitra KIA yang memberikan informasi keuntungan KIA bagi masyarakat. Di toko buku yang menjadi Mitra KIA misalnya, kecuali pembeli menunjukkan KIA yang dimiliki, maka tidak ada potongan
harga yang diberikan, bahkan jika yang dibeli adalah buku
pelajaran yang sudah pasti digunakan oleh anak sekolah. Demikian
pula perbankan, tidak ada satupun petunjuk
ataupun mengenai manfaat KIA, terutama untuk anak yang berasal dari keluarga
tidak mampu. Di fasilitas kesehatan pun sama, tidak ada
satupun informasi mengenai KIA, bagaimana manfaat dan penggunaan KIA bagi pengguna layanan
kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa Mitra KIA belum melihat KIA sebagai suatu keharusan
untuk ditampilkan maupun program unggulan yang mampu memberikan manfaat balik bagi
mereka, sehingga Mitra KIA cenderung diam dan tidak memberikan informasi manfaat KIA bagi pelanggan mereka.
Persoalan komunikasi
juga terjadi antara Disdukcapil dengan masyarakat. Dengan jumlah personalia Disdukcapil
yang sangat terbatas menyebabkan proses sosialisasi
KIA di masyarakat menjadi sangat minim. Seringkali di kelurahan tidak dijelaskan apa manfaat KIA bagi pemiliknya, ditambah lagi tidak adanya
petugas yang secara khusus ditugaskan untuk menjelaskan manfaat KIA, sehingga masyarakat hanya mengurus Akta Kelahiran
dan perbaikan Kartu Keluarga tanpa mengurus KIA. Operator di kelurahan
juga tidak meminta masyarakat untuk sekaligus merekam data KIA, dengan dalih bahwa
tugas utama mereka adalah untuk
fokus pada perekaman E-KTP.
Dalam sosialisasi di masyarakat luas, seringkali Disdukcapil lebih memfokuskan pada pembuatan Akta Kelahiran ketimbang KIA, hal ini dapat dilihat
dari berbagai sosialisasi dan media sosialisasi
yang dibagikan di beberapa tempat di Kota Depok, baik berupa reklame maupun pesan singkat
layanan masyarakat. Sosialisasi KIA juga tidak terlihat di lembaga pendidikan, kecuali di beberapa sekolah yang memang sudah menjadi
target dari sosialisasi KIA
itu sendiri. Di tahun 2019, berdasarkan data Disdukcapil, hanya delapan belas sekolah
yang menjadi lokasi sosialisasi KIA. Di luar sekolah-sekolah tersebut, KIA tidak tersosialisasikan dengan baik. Persoalan
komunikasi KIA menjadi persoalan yang tidak pernah terselesaikan sejak awal KIA diluncurkan pada 2016, salah satu
titik permasalahannya adalah tidak ada
komunikasi yang lancer antardinas,
antarmitra, dan dengan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan, jika hingga hari
ini KIA yang beredar di
Kota Depok saat ini baru mencapai kurang
dari tiga puluh persen dari
total anak yang harus dipenuhi hak sipilnya.
Kesimpulan
Proses Penyusunan Kebijakan Kartu
Identitas Anak di Kota Depok telah dilaksanakan oleh Disdukcapil Kota Depok
yang direspon dengan positif oleh Walikota dan DPRD, kebijakan ini bertujuan
untuk mensejahterakan anak-anak di Kota Depok. Untuk Formulasi Kebijakannya
Pemerintah Kota Depok mendukung dan menyetujui usulan dari Disdukcapil
memprioritaskan pelayanan administrasi kependudukan anak yang berkualitas
sebagai salah satu program pendukung mewujudkan KLA. Kebijakan ini juga
mendapatkan respon dari masyarakat dalam pembuatan KIA, karena masyarakat
merasa bahwa dengan adanya KIA yang berfungsi sebagai identitas bagi anak juga
sebagai fasilitas terhadap beberapa sektor di bidang pendidikan, kesehatan,
pariwisata dan perbankan.
Implementasi kebijakan KIA berjalan
relatif lancar meski selalu ada kendala pelaksanannya, baik dari sisi
pelaksanaan KIA maupun Mita KIA. Dari sisi pelaksanaan, persoalan terletak pada
tiga hal: Pertama, persyaratan pengajuan atau perpanjangan KIA yang
sangat menyita waktu, terutama dalam proses persiapan dokumen yang dibutuhkan
dalam pengajuan KIA. Kedua, persoalan ketersediaan operator dan
perlengkapan perakaman data KIA di kelurahan yang masih menjadi satu dengan
perekaman E-KTP menyebabkan perekaman data KIA sangat terhambat. Jumlah
operator SIAK yang ada di masing-masing Kelurahan hanya satu orang sehingga
bila operator berhalangan hadir maka pelayanan akan tertunda. Selain itu juga
kenyataan dilapangan petugas SIAK lebih mengutamakan pembuatan E KTP yang
merupakan program Nasional daripada KIA program lokal Kota Depok sehingga
penyelesaian permohonan KIA masyarakat sering tertunda. Ketiga, karena
terbatasnya personalia Disdukcapil menyebabkan sosialisasi yang dilakukan
kurang merata karena dilaksanakan hanya kepada masyarakat yang ada di
Kecamatan-Kecamatan belum menyeluruh sampai ke tingkat yang lebih rendah.
Selain itu juga sosialisasi tidak dilakukan kepada anak-anak usia sekolah
sehingga banyak dari mereka yang tidak mengetahui adanya KIA. Keempat,
Kurang efektifnya masa berlaku KIA yang hanya 2 (dua) sehingga tidak menghemat
anggaran belanja Pemerintah Kota Depok.
Dari sisi pemilik, KIA nampaknya
belum memberikan potensi yang menguntungkan, hal ini dapat dilihat dari
fasilitas yang didapat dengan KIA masih relatif sedikit karena belum
maksimalnya keikutsertaan mitra pendukung yang memberikan fasilitas bagi
anak-anak. Manfaat KIA tidak maksimal dilihat dari pengurangan harga (diskon)
tidak bisa digabung antara KIA dan promo yang ada di Mitra Pendukung, sehingga
masyarakat kurang merasakan manfaat KIA.
Tidak maksimalnya manfaat KIA dari
sisi terbatasnya Mitra disebabkan bentuk kerjasama antara Pemerintah Kota Depok
dengan Mitra pendukung sebatas menjalin kerjasama biasa yang cenderung non profit� sehingga hanya mengandalkan kesadaran pihak
Mitra pendukung untuk mendukung program pemerintah. Padahal disini diperlukan
komitmen pemerintah yang bisa mempengaruhi keterlibatan Mitra KIA sehingga bisa
memaksimalkan keterlibatan Mitra dalam pelaksanaan KIA.
Dalam pelaksanaan Peraturan
Walikota Nomor 35/2015 tentang Kartu Identitas Anak di Kota Depok,
terdapat beberapa rekomendasi yang diajukan, antara lain: meningkatkan
sosialiasi KIA kepada masyarakat terutama anak usia sekolah yaitu melakukan
kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Depok dan sekolah sekolah baik negeri
maupun swasta sehingga sasaran KIA pada usia anak sekolah dapat tercapai.
Menambah jumlah operator SIAK masing-masing kelurahan sehingga apabila ada yang
berhalangan hadir pelayanan akan tetap berjalan dan target dari masing-masing
program Nasional� yaitu EKTP, Akta
Kelahiran dan KIA yang pelayanannya di Kelurahan dapat dicapai sesuai dengan
standar ketentuan yang ada, dan menambah jumlah alat rekam dan alat cetak E KTP
dan KIA di masing-masing kelurahan yang disesuaikan dengan jumlah penduduk.
Selain itu, penting pula untuk merevisi kembali Perjanjian dengan Mitra Kerja Pendukung untuk manfaat yang diberikan KIA kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat lebih antusias
menggunakan KIA dan merasakan
manfaatnya. Dengan melakukan kajian ulang tentang substansi
kerjasama dengan Mitra Kerja Pendukung supaya pihak-pihak yang belum ikut serta
sebagai Mitra Kerja Pendukung bisa tertarik untuk ikut serta mensukseskan
Progam KIA di Kota Depok. Dengan
terlibatnya berbagai pihak, maka KIA sebagai program yang memang sangat multistakeholder diharapkan
mampu memenuhi hak sipil anak
di Kota Depok, sehingga Depok layak
mengklaim dirinya sebagai Kota Layak Anak.
BIBLIOGRAFI
Adnyani, Ni Ketut Sari. (2019). Pelayanan
Sektor Publik Terkait Pengaturan Administrasi Kependudukan Tentang Identitas
Anak Dengan Pemberlakuan Permendagri Nomor 2 Tahun 2016. Jurnal Ilmiah Ilmu
Sosial, 4(2), 200�203. https://doi.org/10.23887/jiis.v4i2.16536. Google Scholar
Arista, Windi Dwi, & Suderana, Wayan.
(2019). Implementasi Kebijakan Program Kartu Identitas Anak (Kia) Di Dinas
Kependudukan Dan Catatan Sipil Kabupaten Badung. Jurnal Ilmiah Dinamika
Sosial, 3(1), 56. https://doi.org/10.38043/jids.v3i1.1733 Google Scholar
Faedlulloh, Dodi, Prasetyanti, Retnayu,
& Indrawati. (2017). Menggagas Ruang Publik Berbasis Demokrasi Deliberatif:
Studi Dinamika Pengelolaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Jakarta
Utara. Spirit Publik, 12(2), 43�60. Retrieved from
www.news.detik.com, Google Scholar
Fitriani, R. (2016). Peranan Penyelenggara
Perlindungan Anak Dalam Melindungi Dan Memenuhi Hak-Hak Anak. Jurnal Hukum
Samudra Keadilan, 11(2), 250�358. Google Scholar
Haifulloh, Rizky, Purnomo, Eko Priyo, &
Salsabila, Lubna. (2020). Kehadiran Kartu Smart Madani dan Kartu Identitas Anak
sebagai Program Pengembangan Smart City di Kota Pekanbaru. Gorontalo Journal
of Government and Political Studies, 3(1), 038.
https://doi.org/10.32662/gjgops.v3i1.825 Google Scholar
Hamudy, Moh. (2015). Upaya Mewujudkan Kota
Layak Anak di Surakarta dan Makassar. Jurnal Bina Praja, 07(02),
149�160. https://doi.org/10.21787/jbp.07.2015.149-160 Google Scholar
Herlina, Netti, & Nadiroh, Nadiroh.
(2018). Peran Strategis Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (Rptra) Dalam Rangka
Pemenuhan Hak Anak� Terhadap Lingkungan. JPUD
- Jurnal Pendidikan Usia Dini, 12(1), 104�117.
https://doi.org/10.21009//jpud.121.09 Google Scholar
Hernowo, Endy, & Navastara, Ardy
Maulidy. (2017). Karakteristik Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Bahari
di Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan. Jurnal Teknik ITS, 6(2),
4�7. https://doi.org/10.12962/j23373539.v6i2.25293 Google Scholar
Irenes, Maria Melcilin, & Setiamandani,
Emei Dwinanarhati. (2019). Pelayanan Publik Dalam Pembuatan Kartu Identitas
Anak (KIA). Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 8(4), 272�277. Google Scholar
Iswariayti, Ida Ayu, Parsa, I. Wayan, &
Suardita, I. Ketut. (2016). Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam. 1�13. Google Scholar
Meru, Nawang. (2017). Implementation
process of mayor regulation nomor 35 tahun 2015 on kartu identitas anak (kia)
in depok, west java province. Proceeding The 1st International Conference on
Social Sciences, (39), 1�2. Google Scholar
Noer, Khaerul Umam. (2019). Mencegah Tindak
Kekerasan pada Anak di Lembaga Pendidikan. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 14(1),
47. https://doi.org/10.21580/sa.v14i1.2998 Google Scholar
Pasaribu, Ria Ratna Sari. (2018).
Implementasi Kebijakan Dalam Pelayanan Pembuatan Kartu Identitas Anak (Kia) Di
Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Batu. Jisip, 7(2),
158�162. Google Scholar
Patilima, H. (2017). Kabupaten Kota Layak
Anak. Indonesian Journal of Criminology, 13(1), 229091. Google Scholar
Putri, Citra Kunia, & Noor, trisna
insan. (2013). Sosialisasi Program Kartu Identitas Anak Oleh Dinas Kependudukan
Dan Pencatatan Sipil Di Kecamatan Langkaplancar Kabupaten Pangandaran. Jurnal
Ilmiah Ilmu Administrasi Negara, 53(9), 1689�1699. Google Scholar
Roza, Darmini, & S, Laurensius Arliman.
(2018). Peran Pemerintah Daerah Untuk Mewujudkan Kota Layak Anak Di Indonesia. Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, 25(1), 198�215.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss1.art10 Google Scholar
Setiawan, Hari Harjanto. (2017). Akte
Kelahiran Sebagai Hak Identitas Diri Kewarganegaraan Anak. Sosio Informa,
3(1), 26�39. https://doi.org/10.33007/inf.v3i1.520 Google Scholar
Simamora, TJ, Bahmid, B., & Martua, J.
(2019). Status Anak Yang Mendapat Kartu Identitas Anak Berdasarkan Permendagri
Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Kartu Identitas Anak (Kia). Pengaturan Hukum
Status Anak Yang Mendapat Kartu Identitas Anak Berdasarkan Permendagri Nomor 2
Tahun 2016 Tentang Kartu Identitas Anak (Kia), Vol. 1, No(1),
90�94. Retrieved from http://www.jurnal.una.ac.id/index.php/jt/article/view/983.
Google Scholar
Sri Hardjanto, Untung. (2019). Kebijakan
Penerbitan Kartu Identitas Anak di Kota Semarang. Administrative Law and
Governance Journal, 2(2), 301�313.
https://doi.org/10.14710/alj.v2i2.301-313 Google Scholar
Taliu, Sitti Ajeng Nurqarimah, &
Suranto, Suranto. (2020). Efektivitas Penerbitan KIA (Kartu Identitas Anak)
Melalui Aplikasi Dukcapil Smart Kabupaten Bantul Tahun 2019. Jurnal Public
Policy, 6(2), 90. https://doi.org/10.35308/jpp.v6i2.2421 Google Scholar
Taufiq, Rohmat, Hadikurniawati, Wiwien,
Muhammadiyah, Universitas, & Informatika, Teknik. (2019). Analisis dan
Desain Sistem Informasi Pembuatan Kartu Identitas Anak (KIA) Pada Kecamatan
Curug. Proceeding SINTAK 2019, 55�61. Google Scholar
Widyawati, Karya, & Laksmitasari, Rita.
(2015). Penilaian Ruang Bermain Anak di Kota Depok Sebagai Satu Indikator
Tercapainya Kota Layak Anak. Factor Exacta, 8(3), 195�207. Google Scholar
Yudha, Fernandes, & Firdausi, Firman.
(2017). Kualitas Pelayanan Publik Dalam Pembuatan Kartu Indentitas Anak (
KIA ). 6(2), 75�79. Google Scholar
Copyright holder: Khaerul Umam
Noer (2021) |
First publication right: Journal Syntax
Literate |
This article is licensed under: |