Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������������������������������� e-ISSN: 2548-1398
��������������������������������� Vol. 6, No. 2, Februari 2021
ANALISIS LAJU PERTUMBUHAN PAJAK HIBURAN DAN KONTRIBUSINYA
TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH PROVINSI DKI JAKARTA
Faisal Reza dan Achmad Lutfi
Universitas Indonesia,
Depok, Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected] dan
[email protected]
Abstract
The
busy city of DKI Jakarta makes it necessary for
entertainment for the people in the
city, so that the entertainment
industry tends to increase. This
encourages local governments to further explore the potential for
entertainment tax revenue in DKI Jakarta. The realization
of entertainment tax revenue in DKI Jakarta from 2015 to 2019 tends to increase
every year. The purpose of this
study is to determine the growth
rate of entertainment
tax in DKI Jakarta from
2015 to 2019 and also to find
out how much
entertainment tax contributes to local revenue in DKI Jakarta. This research uses
a quantitative descriptive research approach. The results of this
study show that the growth rate
of entertainment tax revenue in DKI Jakarta tends to increase
every year and the contribution
of entertainment tax in DKI Jakarta is still very insufficient,
so that entertainment
tax cannot be considered a significant component in the contribution of locally-generated revenue in DKI Jakarta Province which is used
for the interests
of Regional Government Administration.
Keywords: �Entertainment
Tax; Growth Rate; Contribution; Locally-Generated Revenue
Abstract
Sibuknya kota DKI Jakarta membuat
dibutuhkannya suatu hiburan untuk masyarakat di kota tersebut, sehingga
industri hiburan cenderung meningkat. Hal tersebut mendorong Pemerintah Daerah
untuk semakin menggali potensi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta.
Realisasi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta dalam kurun waktu tahun 2015
sampai dengan 2019 cenderung meningkat setiap tahunnya. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui laju pertumbuhan pajak hiburan di DKI Jakarta tahun
2015 sampai dengan tahun 2019 dan juga untuk mengetahui sebesar apa kontribusi
pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah di DKI Jakarta. Penelitian ini
menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kuantitatif. Hasil dari penelitian
ini diketahui bahwa laju pertumbuhan penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta
cenderung meningkat setiap tahunnya dan kontribusi pajak hiburan di DKI Jakarta
masih sangat kurang, sehingga pajak hiburan belum dapat dianggap komponen yang
signifikan dalam penyumbang Pendapatan Asli Daerah di Provinsi DKI Jakarta yang
digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kata Kunci:
Pajak Hiburan; Laju Pertumbuhan; Kontribusi; Pendapatan Asli Daerah
Pendahuluan
Seiiring dengan semakin
berkembangnya teknologi informasi telah membuat setiap orang semakin mudah
memperoleh informasi dan menikmati hiburan. Hiburan dianggap suatu hal yang
dapat menciptakan rasa kebahagiaan kepada seseorang dan dianggap sebagai salah
satu cara untuk mengurangi rasa sedih atau stres yang dialami seseorang, namun
setiap orang mempunyai sudut pandang masing-masing mengenai hiburan untuk
mereka. Definisi hiburan
memiliki sifat subjektif karena masing-masing individu mungkin memiliki penafsiran yang berbeda dalam merasakan
suatu hiburan. ( Siahaan (2005:197), menyebutkan bahwa hiburan merupakan
seluruh jenis permainan ketangkasan, permainan yang ditonton orang, pertunjukkan yang dipungut bayaran, namun tidak termasuk fasilitas berolahraga. Sedangkan (Soekarno, Kitri, & Utomo, 2016) menjelaskan bahwa hiburan merupakan
sesuatu yang bersifat menyenangkan pribadi yang menikmati atau mengkonsumsinya. Dari definisi tersebut, maka secara umum hiburan
merupakan semua kegiatan atau perbuatan
yang mempunyai tujuan untuk menghibur hati seseorang untuk menjadi senang.
Dengan demikian, segala
sesuatu yang bersifat menyenangkan dan membuat rileks secara subjektif termasuk
sebagai hiburan.
����������� Berbagai
bentuk hiburan yang dapat dinikmati diantaranya
adalah tontonan, permainan, pertunjukan, atau keramaian yang dinikmati pada
umumnya dengan dipungut bayaran dan sebagian terkadang dapat dinikmati secara
gratis. Kategori hiburan menurut (Siagian, 2012) adalah pertunjukkan atau keramaian, seperti
pertunjukan sandiwara, wayang, pasar malam, kabaret, pameran, olahraga, musik,
dan lain-lain yang dipungut bayaran. (Suharsono &
Harahap, 2018) membedakan hiburan menjadi 2, yaitu:
1.
Hiburan Permanen,
yaitu hiburan yang penyelenggaraannya bersifat tetap karena diselenggarakan
pada waktu dan tempat yang tetap, sehingga konsumen dapat mengunjungi lokasi hiburan itu kembali
pada waktu dan tempat yang sama. Contoh hiburan
permanen diantaranya adalah bioskop, panti pijat, diskotek,
dll.;
2.
Hiburan Insidental,
yaitu hiburan yang yang diselenggarakan dalam jangka waktu
terbatas dan tempat yang tidak tetap. Dalam
hiburan insindental, konsumen tidak dapat kembali sewaktu-waktu
sesuai yang mereka inginkan, namun harus menyesuaikan waktu yang telah ditentukan oleh penyelenggara hiburan. Contoh hiburan insidental diantaranya adalah konser musik.
����������� Industri hiburan belakangan ini memang berkembang pesat
terutama di kota-kota besar seperti DKI Jakarta. Kesibukan di DKI Jakarta
membuat dibutuhkannya suatu hiburan untuk masyarakat di kota tersebut, sehingga
industri hiburan cenderung meningkat. Hal tersebut mendorong Pemerintah Daerah
untuk semakin menggali potensi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta. Pajak hiburan merupakan pajak yang dikenakan
terhadap penyelenggaraan hiburan. Bayaran yang dipungut atas beberapa jenis
hiburan harus dipungut pajak hiburan. (Widiartini, 2012) menyebutkan bahwa hiburan tidak dianggap sebagai
konsumsi yang penting, dan bahwa mereka yang dihibur layak untuk membayar mahal
untuk hiburan tersebut dan untuk mendukung dana publik. Awalnya pajak hiburan
hanya sebatas pada pajak tontonan saja, namun seiiring
dengan perjalanan waktu dan berkembangnya zaman membuat pajak hiburan tidak
hanya pajak tontonan saja, namun diperluas. Pengertian pajak hiburan menurut (Putri &
Iskandar, 2014) yaitu merupakan suatu pajak yang diselenggarakan di
suatu daerah yang dikenakan terhadap semua jasa hiburan dengan memungut
bayaran. Berdasarkan definisi tersebut maka dengan kata lain hiburan yang
tidak dipungut bayaran tidak dikenakan pajak hiburan oleh Pemerintah Daerah,
contohnya seperti pertunjukkan layar tancep dimana semua semua lapisan
masyarakat dapat menikmati hiburan tersebut tanpa dipungut bayaran, walaupun
saat ini hiburan yang tidak dipungut bayaran seperti itu sudah jarang ditemui
terutama di kota-kota besar.
Menurut (Block et al., 2009) menyebutkan bahwa pajak hiburan sesuai apabila
dimasukkan kedalam kategori Pajak Daerah karena
lokasi hiburan mudah diketahui, sehingga penentuan Pemerintah Daerah sebagai
pemungut pajak tidak sulit dilakukan. Selain itu, kewajiban pajak hiburan yang
dilakukan oleh pengusaha hiburan membuat biaya pemungutan pajak hiburan menjadi
lebih efisien.
Undang-undang otonomi
daerah yang diberlakukan membuat sejumlah daerah memiliki kewenangan dan
tanggung jawab sendiri untuk membiayai pengeluaran daerah tersebut dan mencari
sumber penghasilan dari Pendapatan Asli Daerah tersebut. Diterbitkannya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah membuat Peraturan Daerah mengenai pajak daerah mengacu pada Undang-Undang tersebut. Kemudian pada tahun 2010
diterbitkanlah Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak
Daerah dan Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2010 tentang Pajak Hiburan yang
mengatur mengenai pemungutan pajak hiburan di DKI Jakarta, kemudian pada tahun
2015 diterbitkan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2015 tentang Pajak Hiburan
sebagai pengganti Peraturan Daerah No. 13 Tahun 2010.
Pada Peraturan Daerah No.
3 Tahun 2015 terdapat beberapa perubahan tarif pajak sebagai upaya Pemerintah
Daerah untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta.
Realisasi penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta sejak diterbitkannya Peraturan
Daerah No. 3 Tahun 2015 cenderung meningkat dari tahun 2015 sampai dengan 2019,
seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1
Penerimaan Pajak Hiburan di DKI Jakarta
Tahun |
Realisasi |
2015 |
Rp. 608.548.867.617 |
2016 |
Rp. 769.540.465.131 |
2017 |
Rp. 755.043.772.182 |
2018 |
Rp. 833.995.184.987 |
2019 |
Rp. 859.007.050.478 |
Sumber: Badan Pendapatan
Daerah Provinsi DKI Jakarta
����������� Meningkatnya
realisasi pajak hiburan tersebut tidak serta merta menunjukkan bahwa pemungutan
pajak hiburan sudah efektif dan efisien, ada banyak faktor yang menentukan
apakah pemungutan pajak hiburan sudah efektif. Selain itu, karena sistem
pemungutan pajak hiburan bersifat self assessment maka fiskus juga
harus melakukan pengawasan lebih mendalam terhadap kepatuhan Wajib Pajak,
karena menurut penelitian (Diamastuti (2016)) menyebutkan
bahwa sistem self assessment
dapat mengakibatkan terjadinya penghindaran pajak, penggelapan pajak dan tunggakan
pajak. Hal-hal tersebut tentu saja dapat menghambat realisasi penerimaan pajak
hiburan yang mengakibatkan pertumbuhan pajak hiburan terganggun.
����������� Naiknya tarif pajak beberapa jenis
hiburan sejak diterbitkannya Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2015 diharapkan dapat membuat
laju pertumbuhan pajak hiburan juga meningkat. (Astuti & Yudea,
2016) menyebutkan bahwa diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen
sumber pendapatan dan pengeluaran dapat digunakan untuk mengevaluasi
potensi-potensi yang perlu mendapat perhatian. Penelitian mengenai analisis
laju pertumbuhan pajak daerah dilakukan oleh (Astuti & Yudea,
2016) yang meneliti mengenai Analisis Laju Pertumbuhan Pajak Bumi Dan Bangunan
Perdesaan Dan Perkotaan Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota
Balikpapan. Hasil penelitiannya menyebutkan jika laju pertumbuhan Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sangat meningkat di Pamekasan
setiap tahunnya. Namun, pada penelitian ini yang akan diukur laju
pertumbuhannya adalah pajak hiburan di DKI Jakarta.
����������� Kenaikan tarif pajak
hiburan juga diharapkan dapat semakin meningkatkan kontribusi penerimaan pajak
terhadap Pendapatan Asli Daerah di DKI Jakarta, menurut (Cindoswari, 2016) menyebutkan bahwa kontribusi merupakan bentuk iuran
dana atau uang, bantuan pemikiran, tenaga, materi, dan segala bentuk bantuan
lainnya yang dapat membantu mensukseskan kegiatan
pada suatu forum, perkumpulan dan lain-lain. Sedangkan tujuan adanya Pendapatan
Asli Daerah adalah untuk memberi kewenangan setiap daerah masing-masing dapat
membiayai pelaksanaan otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi. Menurut (Nurcholis, 2013) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan
yang didapatkan setiap daerah dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah,
laba perusahaan daerah dan yang sah. Sedangkan menurut Undang-Undang
No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengertian
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu merupakan sumber keuangan daerah yang digali
dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah,
hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Sehingga secara umum pengertian
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari usaha dan kinerja
Pemerintah Daerah dalam menggali dan memanfaatkan sumber keuangan daerahnya
dalam membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah tersebut.
����������� Diskresi
suatu daerah dalam menggunakan Pendapatan Asli Daerah akan semakin tinggi
apabila kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan Pendapatan Asli Daerah
juga meningkat sehingga aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan dapat
segera dilaksanakan. Selain itu, tingkat kemandirian keuangan suatu daerah akan
semakin baik dan kemampuan daerah dalam membiayai kegiatan pembangunan daerah
oleh Pemerintah Daerah juga akan semakin meningkat apabila proporsi Pendapatan
Asli Daerah terhadap penerimaan daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah juga meningkat. Pajak Daerah merupakan penyumbang terbesar Pendapatan
Asli Daerah, sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Sipakoly, 2018) yang menjelaskan bahwa pajak daerah memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah.
����������� Kontribusi
pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah merupakan seberapa besar
sumbangsih atau peran pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah secara
keseluruhan. Semakin besar potensi penerimaan pajak hiburan, maka seharusnya
semakin besar juga target dan realisasi penerimaan pajak hiburan tersebut dimana hal tersebut dapat mendorong berkurangnya
ketergantungan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat.
����������� Penelitian
sebelumnya mengenai kontribusi pajak hiburan dilakukan oleh (Rahmawati &
Fajar, 2017) dengan
penelitian mengenai Kontribusi Pajak Hiburan Dalam Meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Pada Dinas Pendapatan Kabupaten Pamekasan. Penelitian tersebut
bertujuan untuk mengetahui besarnya kontribusi pajak hiburan terhadap
Pendapatan Asli Daerah dan berapa besar efektifitas
pajak hiburan di Kabupaten Pamekasan. Tingkat efektifitas
tersebut menunjukkan bahwa pemungutan pajak hiburan oleh Pemerintah Kabupaten
Pamekasan berjalan sangat efektif.
����������� Untuk
mengetahui kontribusi suatu pajak daerah dapat dilakukan dengan membandingkan
penerimaan pajak daerah pada periode tertentu dengan penerimaan Pendapatan Asli
Daerah pada periode tertentu pula. Semakin besar hasilnya berarti semakin besar
pula peranan pajak daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah, begitu pula
sebaliknya jika hasil perbandingannya terlalu kecil berarti peranan pajak
daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah juga kecil.
Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju
pertumbuhan pajak hiburan di DKI Jakarta dan juga untuk mengetahui sebesar apa
kontribusi pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah di DKI Jakarta paa periode tahun 2015 sampai dengan tahun 2019.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
deskriptif kuantitatif, yaitu dimana data yang
diperoleh dalam proses penelitian ini diolah dan selanjutnya dianalisis untuk
mendapatkan hasil penelitian. (Watuseke &
Pangemanan, 2016) menyebutkan bahwa data kuantitatif merupakan suatu
data yang dapat dinyatakan dalam bentuk angka-angka. Sedangkan penelitian
deskriptif menurut (Sekaran &
Shawis, 2009) dilakukan untuk memastikan kemampuan mendeskripsikan karakteristik
variabel yang diteliti dalam suatu situasi. Sehingga penelitian deskriptif
kuantitatif adalah suatu metode untuk menganalisis data yang menggunakan
angka-angka dalam menarik kesimpulan dari kejadian-kejadian yang dapat diukur.
Dalam penelitian ini adalah dengan melakukan perbandingan terhadap hasil
perhitungan penelitian. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data kuantitatif karena peneliti menggunakan data-data yang berhubungan dengan
angka-angka.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
dengan metode dokumentasi dan wawancara. Metode dokumentasi adalah suatu metode
pengumpulan data dengan mengumpulkan data-data atau informasi dari buku atau
laporan-laporan yang berhubungan dengan penelitian ini agar didapatkan hasil penelitian akuntabel.
Selain itu, juga melakukan metode wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada
pihak informan yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini yaitu analisis deskriptif kuantitatif, yaitu dengan menyajikan dan
mendeskripsikan data-data yang diperoleh dengan menggambarkan secara apa adanya
sesuai dengan realita yang ada. Pada penelitian ini
langkahnya sebagai berikut:
1.
Laju Pertumbuhan
Pajak Hiburan
Menghitung
laju pertumbuhan penerimaan dari pajak
hiburan menggunakan rumus sebagai berikut:
GX = |
= |
Xt - X (t-1) |
� x 100% |
X(t-1) |
Sumber: Abdul Halim dalam Astuti dan Widea (2016)
Keterangan:
Xt - X (t-1)
GX = x 100%
X(t-1)
Gx = Laju pertumbuhan pajak hiburan/tahun
Xt = Tahun realisasi penerimaan pajak hiburan
t X(t-1) = Realisasi penerimaan pajak hiburan pada
tahun sebelumnya
2.
Kontribusi Pajak
Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menghitung kontribusi penerimaan pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka
rumus yang digunakan yaitu:
Kontribusi Pajak
Hiburan |
= |
Realisasi Penerimaan Pajak Hiburan |
x 100% |
Realisasi Penerimaan PAD |
Sumber:
Abdul Halim dalam Astuti dan Widea (2016)
�����������
(Halim, 2017) juga
menyebutkan klasifikasi kriteria kontribusi pajak hiburan sebagai berikut:
Tabel 2
Klasifikasi Kriteria Nilai Kontribusi
Pajak Hiburan
Prosentase |
Kriteria |
≥ 50 |
Sangat baik |
40 � 50 |
Baik |
30 � 40 |
Sedang |
20 � 30 |
Cukup |
10 � 20 |
Kurang |
≤ 10 |
Sangat kurang |
Sumber: Halim dalam Fajar (2017)
����������� Permasalahan
pada penelitian ini hanya akan difokuskan pada Analisis Laju Pertumbuhan Pajak
Hiburan dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Hasil dan Pembahasan
1.
Laju Pertumbuhan Pajak Hiburan DKI Jakarta
Pemerintah Daerah tentunya
mengharapkan pertumbuhan pajak hiburan dapat terus meningkat setiap tahunnya.
Karena hal tersebut juga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang
digunakan untuk membiayai kegiatan Pemerintah Daerah untuk kepentingan bersama.
Namun jika pertumbuhan pajak hiburan tidak meningkat atau mengalami penurunan
dapat membuat citra yang negatif terhadap kinerja Pemerintah Daerah dalam
menggali potensi penerimaan pajak hiburan, namun hal tersebut tidak serta merta
dapat menyalahkan Pemerintah Daerah karena terdapat faktor-faktor lain yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan pajak hiburan, seperti misalkan ondisi ekonomi yang sedang lesu atau bahkan wabah atau
pandemi penyakit yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak daerah.
Laju pertumbuhan pajak hiburan di
DKI Jakarta dari tahun 2015 sampai dengan 2019 dapat dilihat pada tabel 2,
dengan menggunakan data target penerimaan dan realisasi pajak hiburan yang
didapat peneliti (sumber: Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta) dan
rumus Halim dalam (Astuti & Yudea,
2016), maka laju pertumbuhan pajak hiburan di DKI Jakarta sebagai berikut:
Tabel 3
Laju Pertumbuhan Pajak Hiburan DKI
Jakarta
Tahun |
Target |
Realisasi |
Xt - X (t-1) (%) |
GX (%) |
2015 |
Rp550.000.000.000 |
Rp.608.548.867.617 |
Rp107.174.409.314 |
18% |
2016 |
Rp750.000.000.000 |
Rp.769.540.465.131 |
Rp160.991.597.514 |
21% |
2017 |
Rp800.000.000.000 |
Rp.755.043.772.182 |
-Rp14.496.692.949 |
-2% |
2018 |
Rp900.000.000.000 |
Rp.833.995.184.987 |
Rp78.951.412.805 |
9% |
2019 |
Rp850.000.000.000 |
Rp.859.007.050.478 |
Rp25.011.865.491 |
3% |
Sumber: Diolah Peneliti
Dari tabel 3 tersebut terlihat jika
laju pertumbuhan Pajak Hiburan dari tahun 2015 sampai dengan 2019 mengalami
pertumbuhan yang cukup stabil sejak diberlakukannya Peraturan Daerah Provinsi
DKI Jakarta No. 3 Tahun 2015 tentang Pajak Hiburan. Pada tahun 2015 laju
pertumbuhan pajak hiburan mengalami pertumbuhan sebesar 18 % dibandingkan tahun
2014 dan selanjutnya penerimaan pajak hiburan pada tahun 2016 juga tetap stabil
dengan mengalami pertumbuhan sebesar 21% dibandingkan penerimaan pajak hiburan
tahun 2015. Namun, pada tahun 2017 terjadi penurunan realisasi penerimaan pajak
dibandingkan penerimaan pajak hiburan tahun 2016 dengan persentase sebesar -2%.
Pada tahun 2018 dan 2019 laju pertumbuhan penerimaan pajak hiburan juga
meningkat sebesar 9% dan 3%, walaupun laju pertumbuhan tersebut tidak sebesar
laju pertumbuhan pada tahun 2015 dan 2015, namun jika dilihat secara umum, maka
laju pertumbuhan pajak hiburan di DKI Jakarta dari tahun 2015 sampai dengan
tahun 2015 cenderung cukup stabil walaupun sempat mengalami penurunan pada
tahun 2017. Menurut hasil wawancara dengan Devri Prawitra
selaku staf Bidang Perencanaan dan Pengembangan Badan Pendapatan Daerah
Provinsi DKI Jakarta, menjelaskan alasan mengapa penerimaan pajak hiburan di
DKI Jakarta menurun pada tahun 2017, yaitu:
�jadi untuk pajak daerah
di tahun 2017 itu fokusnya lebih banyak terkait dengan bumi dan bangunan antara
lain PBB dan BPHTB, dimana penerimaan BPHTB termasuk
yang paling tinggi untuk tahun 2017, sehingga akhirnya fokus utamanya lebih
banyak tertuju pada PBB dan BPHTB, walaupun kami juga melakukan usaha di jenis
pajak-pajak lainnya, sehingga akhirnya 2 (dua) jenis pajak tersebut yang
menjadi primadona penerimaan DKI Jakarta tahun 2017. Selain itu, untuk tahun
2017 terkait dengan penagihan, kami belum terlalu masif untuk melakukan
penagihan pajak dengan surat paksa. karena masih belum maksimalnya peran dari
juru sita dalam melakukan penagihan pajak dengan surat paksa. Selain itu, belum
adanya sistem pembayaran elektronik yang baik membuat pertambahan penerimaan
pajak dari tempat hiburan tidak terdata dengan baik.�
Menurut Devri Prawitra
selaku narasumber menjelaskan bahwa terjadinya penurunan penerimaan pajak
hiburan di DKI Jakarta tahun 2017 diantaranya adalah
karena di tahun 2017 tersebut Badan Pendapatan Daerah sebagai satuan kerja yang
mengurusi terkait pajak daerah lebih fokus terhadap penerimaan PBB-P2 dan BPHTB
namun tetap berusaha untuk mengoptimalkan penerimaan jenis pajak daerah
lainnya, selain itu peran juru sita pajak pada tahun tersebut belum optimal,
dan juga belum adanya sistem pembayaran elektronik juga mempengaruhi penerimaan
pajak hiburan tahun 2017.
2. Kontribusi
Pajak Hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta
Mengukur atau menghitung sumbangsih
atau kontribusi pajak hiburan di DKI Jakarta dapat dilakukan dengan melakukan
analisis kontribusi pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu
dengan melakukan perbandingan hasil analisis kontribusi tersebut dari tahun
2015 sampai dengan 2019 dimana dari hasil analisis
tersebut akan terlihat kontribusi pajak hiburan dari yang terbesar sampai yang
terkecil dari tahun ke tahun dalam jangka waktu 2015 sampai dengan 2019.
Sehingga seberapa besar peran pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah di
Provinsi DKI Jakarta dapat diketahui dengan menggunakan kriteria-kriteria yang
sudah ditentukan. Pada tabel 4 terlihat realisasi penerimaan pajak hiburan dan
Pendapatan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta (sumber: Badan Pendapatan Daerah),
yang kemudian diolah untuk mendapatkan hasil analisis kontribusinya.
Tabel 4
Kontribusi Penerimaan Pajak Hiburan
Terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta
Tahun |
Realisasi Pajak
Hiburan |
Pendapatan Asli Daerah |
Kontribusi |
Kriteria |
||
2015 |
Rp.608.548.867.617 |
Rp.33.686.176.815.708 |
1,81% |
Sangat Kurang |
||
2016 |
Rp.769.540.465.131 |
Rp.36.888.017.587.716 |
2,09% |
Sangat Kurang |
||
2017 |
Rp.755.043.772.182 |
Rp.43.901.488.807.743 |
1,72% |
Sangat Kurang |
||
2018 |
Rp.833.995.184.987 |
Rp.43.327.136.602.811 |
1,92% |
Sangat Kurang |
||
2019 |
Rp.859.007.050.478 |
Rp.45.707.400.003.802 |
1,88% |
Sangat Kurang |
||
Rata-Rata |
1,88% |
Sangat Kurang |
|
|||
Sumber: Diolah Peneliti
Pada analisis yang terlihat di
tabel 4, dapat dilihat bahwa kontribusi pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli
Daerah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2015 masuk kriteria sangat kurang dengan
kontribusi sebesar 1,81%, kemudian pada tahun 2016 persentase kontribusinya
meningkat menjadi 2,09% dibandingkan dengan tahun 2015, namun kriterianya tetap
sangat kurang. Tahun 2017 persentase kontribusinya sedikit menurun jika
dibandingkan tahun 2016 dengan kontribusi sebesar 1,72% dengan kriteria sangat
kurang, selanjutnya pada tahun 2018 persentase kontribusi sedikit meningkat
dibandingkan tahun 2017 menjadi 1,92% dengan kriteria sangat kurang. Pada tahun
2019, persentase kontribusi apabila dibandingkan dengan tahun 2018 agak sedikit
mengalami penurunan menjadi 1,88% dan tetap masuk pada kriteria sangat kurang.
Sehingga dalam kurun waktu tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 rata-rata
kontribusi realisasi penerimaan pajak hiburan terhadap realisasi Pendapatan
Asli Daerah Provinis DKI Jakarta adalah sebesar 1,88%
dan termasuk kedalam kriteria sangat kurang.
Dari analisis tersebut, dapat
terlihat bahwa kontribusi realisasi pajak hiburan terhadap realisasi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta sedikit fluktuatif dimana
persentase kontribusinya mengalami naik turun dalam jangka waktu tahun 2015
sampai dengan tahun 2019. Selain itu, kontribusi realisasi pajak hiburan
terhadap realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta dalam
jangka waktu tersebut selalu masuk dalam kriteria sangat kurang, sehingga terlihat
bahwa pajak hiburan belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi DKI Jakarta. Wawancara dengan Devri Prawitra selaku staf Bidang Perencanaan dan Pengembangan
Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta menjelaskan beberapa alasan
mengapa penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta belum terlalu signifikan
terhadap Pendapatan Asli Daerah, yaitu:
�ketika kita berbicara potensi maka
berhubungan dengan jumlah dari objek itu sendiri, jumlah objek pajak hiburan
yang ada di Jakarta itu ya kalau dibandingkan dengan pajak restoran dan pajak
hotel itu tidak lebih banyak dari dua jenis pajak tersebut dan itu juga yang
membuat potensi mereka nggak terlalu banyak
dibandingkan jumlah pajak yang saya sebutkan sebelumnya, sehingga potensi pajak
hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah DKI Jakarta tidak terlalu signifikan.
Selain itu, walaupun tarif pajak mengalami kenaikan, namun yang berubah itu
untuk untuk beberapa jenis hiburan saja, sehingga
belum secara signifikan meningkatkan penerimaan pajak hiburan.�
Menurut
Devri Prawitra selaku narasumber menjelaskan beberapa
penyebab mengapa penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta belum terlalu
signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah, yaitu diantaranya
dikarenakan jumlah objek pajak hiburan yang tidak sebanyak restoran ataupun
hotel dan juga kenaikan tarif pajak hiburan untuk beberapa jenis hiburan tidak
mempengaruhi secara signifikan penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta karena
kenaikan pajak hiburan tersebut hanya untuk beberapa jenis hiburan dikarenakan
tarif pajak hiburan di DKI Jakarta bervariasi tidak hanya satu tarif saja.
Kesimpulan
Sesuai dengan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan
hal-hal berikut: pertama, laju pertumbuhan pajak hiburan Provinsi DKI Jakarta dalam kurun� waktu
tahun 2015 sampai dengan 2019 cenderung mengalami kenaikan, namun terjadi anomali
pada tahun 2017 dimana laju pertumbuhan menurun karena terjadi penurunan realisasi penerimaan pajak yaitu sebesar
-2% apabila dibandingkan dengan penerimaan pajak hiburan tahun
2016. Sehingga dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa laju pertumbuhan penerimaan pajak hiburan di DKI Jakarta cenderung meningkat setiap tahunnya.
Kedua kontribusi penerimaan pajak hiburan terhadap realisasi Pendapatan Asli Daerah masih sangat kurang,
dimana kontribusi pajak hiburan terhadap
Pendapatan Asli Daerah dalam
jangka waktu tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 rata-rata adalah sebesar 1,88%. Selain itu, kontribusi
pajak hiburan terhadap Pendapatan Asli Daerah
di Provinsi DKI Jakarta masih
fluktuatif atau masih naik turun. Hal tersebut menunjukkan bahwa kontribusi pajak hiburan di DKI Jakarta masih sangat kurang,
sehingga pajak hiburan belum dapat
dianggap komponen yang signifikan dalam penyumbang Pendapatan Asli Daerah
di Provinsi DKI Jakarta yang digunakan
untuk kepentingan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
BIBLIOGRAFI
Astuti,
Wigi, & Yudea, Yudea. (2016). Analisis Laju Pertumbuhan Pajak Bumi Dan
Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan Dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli
Daerah Kota Balikpapan. Forum Ekonomi, 18(1).
Block,
Keith I., Block, Penny B., Reynolds Fox, Susan, Stouffer Birris, Jamie, Feng,
April Y., De La Torre, Michael, Nathan, Deva, Tothy, Peter, Maki, Amanda K.,
& Gyllenhaal, Charlotte. (2009). Making Circadian Cancer Therapy Practical.
Integrative Cancer Therapies, 8(4), 371�386.
Cindoswari,
Ageng Rara. (2016). Perilaku Komunikasi Etnis Sunda Pendatang Dalam Adaptasi
Ekonomi, Sosial Dan Budaya Pada Majelis Ta�lim Paguyuban Babul Akhirat Di Kota
Batam. Jurnal Komunikasi Islam, 6(2), 44�66.
Halim,
Totok Eko Nur. (2017). Strategi Komunikasi Dakwah Kyai Aminoto Di Kecamatan
Ngebel Kabupaten Ponorogo. Iain Ponorogo.
Nurcholis,
Moch. (2013). Reorientasi Jih�d F� Sab�lillah; Menimbang Kebodohan Dan
Kemiskinan Sebagai Musuh Bersama. Taf�qquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian
Keislaman, 1(2), 22�38.
Putri,
Noventi Ersa, & Iskandar, Dadang. (2014). Analisis Preferensi Konsumen
Dalam Penggunaan Social Messenger Di Kota Bandung Tahun 2014 (Studi Kasus:
Line, Kakaotalk, Wechat, Whatsapp). Jurnal Manajemen Indonesia, 14(2),
110�126.
Rahmawati,
Masayu, & Fajar, Catur Martian. (2017). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan
Dana Perimbangan Terhadap Belanja Daerah Kota Bandung. Jurnal Kajian
Akuntansi, 1(1).
Sekaran,
Prabhu, & Shawis, Rang. (2009). Perineal Groove: A Rare Congenital
Abnormality Of Failure Of Fusion Of The Perineal Raphe And Discussion Of Its
Embryological Origin. Clinical Anatomy: The Official Journal Of The American
Association Of Clinical Anatomists And The British Association Of Clinical
Anatomists, 22(7), 823�825.
Siagian,
Sahat. (2012). Pengaruh Strategi Pembelajaran Dan Gaya Belajar Terhadap Hasil
Belajar Ipa. Jurnal Teknologi Pendidikan, 5(01), 193�208.
Sipakoly,
Selly. (2018). Analisis Pengaruh Serta Pertumbuhan Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Ambon. Jurnal Maneksi, 5(1),
32�43.
Soekarno,
Subiakto, Kitri, Mandra Lazuardi, & Utomo, Suryo. (2016). Capital Structure
Determinants And The Speed Of Adjustment Towards Capital Structure Target:
Evidence From Indonesian State-Owned Enterprises. International Journal Of
Monetary Economics And Finance, 9(4), 388�400.
Suharsono,
Agus, & Harahap, Burhanudin. (2018). The Development Of Tax Law Application
Formula In Indonesia From Irac Into Ireac. Shs Web Of Conferences, 54,
6006. Edp Sciences.
Watuseke,
Chlief, & Pangemanan, Sifrid S. (2016). Analisis Potensi Pajak Hiburan Di
Kota Manado. Jurnal Emba: Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan
Akuntansi, 4(1).
Widiartini,
Ni Ketut. (2012). Umpan Balik Model Pembelajaran Pada Materi Membuat Pola
Busana. Jurnal Evaluasi Pendidikan, 3(2), 188�200.