Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 2, Februari 2021
ANALISIS PEMERIKSAAN PAJAK DENGAN MODEL COMPLIANCE RISK MANAGEMENT (CRM) DALAM MENINGKATKAN
PENERIMAAN PAJAK PADA KPP PRATAMA SENEN
Tri Puji Astuti dan Gunadi
Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
dan [email protected]
Abstract
The Directorate General of Taxes in order to increase tax
revenue issued a regulation, namely SE-24 / PJ / 2019 regarding the
Implementation of Compliance Risk Management (CRM), one of which regulates tax
supervision and audit activities. Compliance Risk Management is a Taxpayer
compliance risk management process that is carried out systematically by the
Directorate General of Taxes by making treatment choices that can be used to
increase compliance effectively while preventing non-compliance based on the
behavior of the Taxpayer and the capacity of its resources. This study aims to
analyze the implementation and evaluation of tax audits with Compliance Risk
Management in increasing tax revenue at KPP Pratama Senen. The research method
used is a descriptive qualitative approach with literature study and in-depth
interviews. The results showed that the tax audit with Compliance Risk
Management resulted in the achievement of tax revenue at KPP Pratama Senen
amounting to 1,599,611,317,526 or an achievement of 118.50% and an increase in
individual taxpayer compliance to 101% and corporate taxpayers to 83%. and
evaluation of the implementation of Compliance Risk Management using six
indicators according to William Dunn, namely: effectiveness, efficiency,
leveling, adequacy, responsiveness, and accuracy.
Keywords: �Compliance
Risk Management, Supervision and Audit Tax
Abstract
Direktorat Jenderal Pajak dalam
rangka meningkatkan penerimaan pajak mengeluarkan aturan yaitu SE-24/PJ/2019 mengenai Implementasi Compliance
Risk Management (CRM), dimana salah satu nya mengatur mengenai kegiatan
pengawasan dan pemeriksaan pajak. Compliance Risk Management merupakan sebuah
proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak yang dilakukan secara
sistematis oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan membuat pilihan perlakuan yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan secara efektif sekaligus mencegah
ketidakpatuhan berdasarkan perilaku Wajib Pajak dan kapasitas sumber daya yang
dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
penerapan dan evaluasi pemeriksaan pajak dengan Compliance Risk Management
dalam meningkatkan penerimaan pajak pada KPP Pratama Senen. Metode
penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi
kepustakaan dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan pemeriksaan
pajak dengan Compliance Risk Management itu menghasilkan pada tahun 2020
tercapainya penerimaan pajak pada KPP Pratama Senen sebesar 1.599.611.317.526 atau capaian 118,50 % dan meningkatnya
kepatuhan wajib pajak orang pribadi menjadi 101% dan wajib pajak badan menjadi
83%. �dan evaluasi penerapan Compliance Risk
Management dengan menggunakan enam indikator menurut William Dunn yaitu : efektivitas,
efisiensi, perataan, kecukupan, responsivitas, dan ketepatan. �
Kata Kunci:
Compliance Risk Management, Pengawasan
dan Pemeriksaan Pajak.
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Tantangan utama yang dihadapi pemerintah dan otoritas pajak adalah ketidakpatuhan
terhadap peraturan dan regulasi perpajakan (OECD, 2001).
Kepatuhan selalu, dan hampir pasti akan
selalu, menjadi, masalah utama dalam
administrasi perpajakan (Mason, 2008). Menurut (Leviner, 2008), penelitian telah membuktikan bahwa �ketidakpatuhan pajak adalah masalah yang serius dan kompleks, tergantung pada berbagai penyebab�. Ketidakpatuhan pajak juga merupakan masalah universal yang dihadapi
oleh setiap negara dalam menyelenggarakan kebijakan pajak.
Ketidakpatuhan pajak merupakan salah satu risiko yang harus dikelola oleh administrasi perpajakan untuk memenuhi tujuannya dalam mengumpulkan penerimaan untuk pembangunan negara. Sejalan dengan sudut pandang yang dikemukakan oleh peneliti, otoritas pajak juga mengakui fakta bahwa tidak semua
wajib pajak bersedia melaporkan penghasilannya dan membayar pajak. Faktanya, penelitian telah membuktikan bahwa ada wajib pajak
yang bersedia melakukan apa saja untuk
menghindari kepatuhan terhadap undang-undang perpajakan (Braithwaite et al, 2005; Ayres dan Braithwaite, 1992;
Kirchler et al., 2003). Dengan memahami kepatuhan pajak, akan mudah bagi
otoritas pajak untuk menemukan cara untuk mengatasi
masalah ini dan merencanakan strategi untuk mengelolanya.
Ketidakpatuhan pajak dapat dibedakan menjadi penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan
pajak (tax evasion). Kedua
aktivitas ini berbeda dari��� segi legalitasnya. Penghindaran pajak merupakan usaha mengurangi kewajiban pajak dengan menggunakan aturan pajak yang ada, sedangkan penggelapan pajak merupakan pelanggaran terhadap aturan pajak. Untuk mengurangi
perilaku penghindaran pajak, pembuat kebijakan dapat menggunakan hukum dengan menjadikan modus penghindaran pajak sebagai suatu yang ilegal sehingga upaya penegakan hukum (legal enforcement) dapat digunakan (Blaufus Et al., 2016).
(Nurmantu (2005)) menyatakan bahwa kepatuhan Wajib
Pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi
semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Nurmantu
kemudian membedakan kepatuhan tersebut menjadi dua yaitu kepatuhan formal dan
kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak
memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Perpajakan. Di sisi lain, kepatuhan material adalah suatu keadaan
dimana Wajib Pajak secara substanstif memenuhi serangkaian ketentuan material
perpajakan sesuai dengan isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan.
Upaya meningkatkan kepatuhan (tax
compliance) pada wajib pajak
berkaitan erat dengan pelaksanaan fungsi pemeriksaan. Keterbukaan dan kejujuran dari wajib pajak
dalam melaporkan pajak terutang memberikan kemudahan bagi petugas pemeriksa
pajak dalam melakukan pemeriksaaan. Namun, jumlah wajib
pajak jauh lebih banyak dibandingkan
dengan petugas pemeriksaan pajak, maka mustahil pemeriksaan
dilakukan terhadap seluruh wajib pajak.
Menurut (Birskyte, 2008), dengan terungkapnya� kasus penggelapan pajak dari wajib pajak
dapat meningkatkan penerimaan negara,�
dan� pemeriksaan
itu bisa dijadikan alat pengintai sebagai efek� pencegahan.
Pemeriksaan
pajak merupakan proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti yang
dilakukan oleh orang yang kompeten. Pemeriksaan pajak cenderung kepada audit
ketaatan (compliance audit), karena salah satu tujuan dari pemeriksaan
pajak adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan (Kurniawan, 2011). Untuk menguji kepatuhan wajib pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, maka Direktur Jenderal Pajak dapat
melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Dari pelaksanaan pemeriksaan
tersebut diharapkan adanya peningkatan kepatuhan tidak hanya dari Wajib Pajak
yang diperiksa, melainkan dapat meluas yaitu dari Wajib Pajak lainnya (deterrent
effect) maupun masyarakat yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak (Gunadi,
2004). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menetapkan peraturan tentang
standar pemeriksaan yang digunakan untuk mengukur kualitas pemeriksaan yaitu
capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan pemeriksaan.
Pemeriksaan pajak diperioritaskan kepada wajib pajak
yang beresiko penghindaran pajak. Penegakan hukum (law enforcement) dibutuhkan
untuk mencegah hilangnya penerimaan negara dari segi pajak.
Wujud dari penegakan hukum melalui pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan peraturan berlaku. Namun, dalam praktiknya
kegiatan penegakan hukum masih sangat
rendah.
Mencapai
target penerimaan bukan sesuai yang mudah, banyak sekali faktor yang
mempengaruhi secara internal maupun eksternal dalam menghimpun penerimaan
pajak. Sistem self assessmentyang diterapkan di Indonesia tentunya mewajibkan
setiap Wajib untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kewajiban perpajakannya sesuai
kondisi yang sebenarnya dan DJP sebagai otoritas perpajakan mempunyai tugas
melayani, menyuluh, mengawasi dan melakukan pemeriksaan sebagai upaya penegakan
hukum kepada Wajib Pajak apabila kewajiban perpajakan tidak dilaksanakan sesuai
kondisi yang sebenarnya.
Penelitian
yang dilakukan Gunarso menunjukkan bahwa pemeriksaan pajak dan sanksi
perpajakan berpengaruh terhadap perilaku patuh Wajib Pajak (Gunarso, 2016). Namun demikian, kepatuhan ini belum
secara langsung berdampak kepada kenaikan penerimaan pajak, karena sebagian
besar surat ketetapan pajak sebagai hasil pemeriksaan diajukan upaya hukum
keberatan dan banding oleh Wajib pajak. Pemeriksan pajak tidak efektif dalam
meningkatkan penerimaan pajak. Penelitian ini difokuskan pada jumlah penerbitan
Surat Perintan Pemeriksaan (SP2) dengan jumlah surat ketetapan pajak yang
diterbitkan ternyata tidak mampu mencapai target penerimaan.
Pada 11 September 2019, Direktorat
Jenderal Pajak telah mengeluarkan SE-24/PJ/2019 mengenai Implementasi Compliance
Risk Management (CRM), dimana salah satu nya mengatur
mengenai kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pajak. Peraturan tersebut sebagai pengganti SE-40/PJ/2012 tentang
Benchmark Behavioral Model. Compliance Risk Management itu merupakan suatu pengelolaan yang sistematis terhadap risiko kepatuhan yang ditimbulkan dari Wajib Pajak.
Dalam Surat Edaran tersebut, CRM memfokuskan pada risiko dasar yang memengaruhi kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan WP. Risiko kepatuhan mencakup risiko dalam proses pendaftaran (registration),
pelaporan (filling), dan pembayaran
pajak (payment).
Menurut OECD (2004), Pengertian Compliance Risk Management �is a systemic
approach to managing taxpayer compliance, advocating that risk treatments
should vary according to risk severity and nature of the underlying behaviors, and should be designed to influence both current
and future behaviors�. Selain OECD, Pengertian Compliance
Risk Management juga dijelaskan dalam European Commission (EC) (2010) �a� systematic�
process� in� which�
a� tax� administration� makes�
deliberate� choices� on which treatment� instruments could be used to effectively
stimulate compliance and prevent non-compliance, based on the knowledge of all
(taxpayers� behaviour) and related to the available capacity�.
Dari
pengertian itu CRM merupakan suatu metode pengelolaan kepatuhan yang terdapat
risiko dan perilaku wajib pajak. CRM itu bukan hanya mengenai pemeriksaan
tetapi pendekatan yang komprehensif dalam mengelolah kepatuhan untuk
meningkatkan penerimaan pajak. CRM juga merupakan suatu proses yang sistematis
dalam administrasi pajak yang dapat digunakan secara efektif dalam kepatuhan
maupun ketidakpatuhan pajak berdasarkan pengetahuan dari Wajib Pajak.
Direktorat Jenderal Pajak dalam mencapai target penerimaan pajak didukung melalui unit pelayanan dibidang perpajakan disebut Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Salah satu tantangan yang dihadapi oleh KPP adalah tidak tercapainya penerimaan pajak pada tiap tahunnya. Biasanya, tidak tercapainya diakibatnya wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan yang melaporkan SPT Tahunan nya tidak secara
sukarela melaporkan utang pajaknya secara keseluruhan, melakukan tindak penggelapan pajak dan tindak penghindaran pajak. Risiko yang dihadapi oleh AR menjadi beban yang ditanggung untuk dilakukan pemeriksaaan pajak. Pada tahun 2013-2019, KPP Pratama Senen tidak mencapai target penerimaan pajak,
padahal terdapat empat KPP Pratama di Jakarta Pusat yang tercapai penerimaan
pajak yaitu Pratama Gambir Satu, Pratama Sawah Besar Dua, Menteng Tiga, dan
Tanah Abang Satu.� Tidak tercapai nya
target penerimaan menyebabkan kehilangan pajak.
Atas dasar tersebut, peneliti melakukan penelitian mengenai penerapan
Compliance Risk Management dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis penerapan dan evaluasi pemeriksaan pajak dengan Compliance Risk
Management dalam meningkatkan penerimaan pajak pada KPP Pratama Senen. Penelitian
ini Mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian pertama yang
dilakukan oleh (Arifanda Purba, 2012) menjelaskan dari
hasil pemeriksaan di KPP Pratama Palmerah terdapat pola wajib pajak badan
yang sektor usaha berpotensial yang dalam bidang usaha. Penelitian kedua yang
dilakukan oleh (Muhammad Iqbal, 2013) menjelaskan
pelaksanaan pemeriksaan pajak dengan metode Benchmark Behavioral Model ini terdapat
beberapa kelemahan dari segi pelaksanaan, dan�
pengawasan sehingga kurang bisa dimanfaatkan dengan optimal pada setiap
KPP. Penelitian ketiga dilakukan oleh (Muhammad Febran Nurdin, 2017) menjelaskan
�Penggunaan
metode Benchamrk Behavioral Model tidak berjalan efektif dalam
mengindentifiksai risiko kepatuhan di KPP dilingkungan Kanwil DJP Jakarta
Selatan II dan pemilihan Benford�s Law dalam mendeteksi ketidakpatuhan dapat
digunakan secara mandiri di masing-masing. Fokus utama dalam penelitian ini
adalah pemeriksaan pajak dengan model Compliance Risk Management, sehingga
penelitian ini akan memberikan hasil yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Model
Compliance Risk Management ini sebagai kebaharuan dari Benchamrk Behavioral
Model.
Metode Penelitian
(Hamidi (2007) menjelaskan mengenai Metode
Peneletian yaitu suatu perangkat yang disusun secara sistematis, logis dan
rasioanal. Biasanya, digunakan oleh peneliti dalam membuat perencanaan,
mengumpulkan, menganalisis dan menghasilkan suatu kesimpulan.Pendekatan
penelitian yang mendukung dalam penyusunan adalah pendekatan kualitatif.
menyatakan:
�Qualitative approach is one in which the inquirer
ofter makes knowledge claims based primarily on constructivist persperctives
(i.e., the multiple enings of individual experiences meanings socially and
historically constructed, with an intent of developing a theoryor pattern) or
advocacy/participatory perspective (i.e., political, issue-oriented,
collaborative, or change oriented) or both.�
Dari
definisi tersebut dapat dijelaskan pendekatan kualitatif itu suatu proses
penelitian ilmiah berdasarkan masalah-masalah sosial yang digambarkan secara
holistik dengan didukung informasi dari para informan. Infomasi yang diperoleh
bisa berupa data berbentuk gambar, angka dan kata-kata.
Dalam
penyusunan penelitian dilakukan secara deskriptif yaitu adanya data yang
menggambarkan secara detail mengenai fenomena yang terjadi. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan� (Neuman, 2000:30)
penelitian deskriptif adalah�
�Descriptive research presents pictures of specific
details of situation, social setting, or relationship. The outcome of
descriptive study is a detailed picture of the subject.�
Penelitian
ini merupakan penelitian deskriftif kualitaif yang bertujuan untuk
menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, situasi, atau berbagai fenomena
realitas sosial yang terjadi di masyarakat khususnya dalam melaksanakan
pemeriksaan pajak ( Burhan Bungin, 2011).
Pemilihan
pendekatan yang akan digunakan akan memberikan pemahaman secara mendalam
terhadap penerapan model Compliance Risk Management sebagai pembaharuan dari
Benchmark Behavioral Model di KPP Senen .
Hasil dan Pembahasan
A. Analisis Penerapan Pemeriksaan Pajak
dengan Model compliance Risk Management di KPP Pratama Senen
Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) akhirnya menerapkan pengawasan kepatuhan berbasis risiko
atau compliance risk management (CRM). Penerapan CRM merupakan bagian dari
program reformasi perpajakan. Program ini merupakan kelanjutan dari amnesti
pajak dan transparansi informasi keuangan. Tujuannya, untuk membangun profil
risiko wajib pajak secara lebih canggih dan akurat. Sebelum, adanya CRM yang
diberlakukan adalah Benchmark Behavioral Model (BBM), dimana alat bantu ini
digunakan dalam mengindentifikasi risiko ketidakpatuhan yang dilakukan oleh
wajib pajak badan. Hasil dari metode BBM ini adalah daftar prioritas wajib
pajak yang perlu didalami kewajaran dalam penyampaian SPT.
Sebelum
dikeluarkan kebijakan melalui SE-24/PJ/2019 ini, Dirjen Jenderal Pajak (DJP)
mengadaptasi metode ini dari International Best Practice dan melalui Knowladge
Sharing administrasi dari negara lain serta forum pengembangan Compliance Risk
Management. Sebelumnya berbagai metode dan alat telah diciptakan oleh DJP untuk
meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan menginstruksikan instansi vertikal
dibawahnya agar lebih terukur secara kualitatif dan kuantitatif dalam metode
pengawasan terhadap wajib pajak. Metode dan alat yang diciptakan oleh DJP
selama ini masih terfokus kepada pemeriksaan dengan menggunakan rasio keuangan
dengan pemetaan wilayah wajib pajak sebagai pembedanya. Oleh karena itu
dikembangkan suatu metode identifikasi dan pengawasan terhadap kegiatan usaha
wajib pajak yang dimulai Compliance Risk Management.
Penerapan
analisis risiko dalam pengawasan terhadap wajib pajak berisiko mutlak
dilakukan. Pada tahap identifikasi wajib pajak perlu ada mekanisme yang dapat
memetakan Wajib pajak berdasarkan tingkat risikonya. Hal ini terkait dengan
jumlah Wajib pajak yang sangat besar tetapi dengan terbatasnya jumlah pegawai
yang mengawasi langsung Wajib pajak yaitu Account Representative. Dengan adanya
model Compliance Risk Management ini DJP memiliki acuan untuk mengidentifikasi
Wajib pajak Badan mana saja yang kepatuhan membayar pajaknya relatif rendah
atau diluar kelaziman (undertax). Melalui model ini, diharapkan dapat
membantu kerja dari Account Representative dalam melihat dan mengawasi Wajib
pajak badan berisiko untuk selanjutnya ditindaklanjuti dengan strategi yang tepat.
KPP
Pratama Senen telah menerapkan model Compliance Risk Management selama 1 tahun
sejak diberlakukan pada tahun 2019. Model ini disediakan oleh Direktorat Jenderal
Pajak melalui sistem basis data. Sistem ini sudah diberlakukan ke seluruh KPP
di Indonesia. DJP telah melakukan sosialiasi mengenai model Compliance Risk Management
agar kepatuhan wajib pajak meningkat yang secara langsung akan berdampak pada
penerimaan pajak di setiap KPP di Indonesia.
Sejak
penggunaan model Compliance Risk Management ini, KPP Pratama Senen pada tahun
2020 telah mencapai target penerimaan pajak sebesar
1.599.611.317.526 atau capaian 118,50 %. Padahal pada tahun 2013-2019,
realisasi penerimaan pajak yang dihimpun oleh KPP Pratama Senen tidak tercapai
atau rata-rata capaian hanya 80% dari target penerimaan pajak. Namun, dari
tercapainya masih terdapat masalah yaitu hasil penerimaan CRM hanya
berkontribusi 30 % dari total kenaikan�
realisasi penerimaan pajak tahun 2020 dikurangi realisasi penerimaan
pajak 2019 . Angka 30 % dari kontribusi tersebut terlihat rendah mengingat CRM
ini hanya sebagai alat bantu yang digunakan oleh pihak AR dalam meningkatkan penerimaan
pajak.
Realisasi
penerimaan pajak yang telah mencapai target penerimaan pada tahun 2020, hal
tersebut dipengaruhi kepatuhan dari wajib pajak yang meningkat. Peningkatan
kepatuhan itu dijelaskan dari rasio kepatuhan WPOP menjadi 101% apabila dibandingkan
pada tahun 2019 hanya 84% dan rasio kepatuhan WP Badan menjadi 83% dibandingkan
pada tahun 2019 sebesar 70%. Kenaikan rasio kepatuhan didukung dengan patuhnya
wajib pajak dalam melaporkan SPT pada KPP Pratama Senen. Penggunaan model
Compliance Risk Management berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Tidak
tercapainya penerimaan pajak pada 2019, AR melakukan penelitian awal dengan
database yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebelum dilakukan
pemeriksaaan pajak yaitu dalam matriks risiko ditemukan sebanyak 50 wajib pajak
yang beresiko. Matriks risiko menjelaskan ketidakpatuhan tinggi dengan dampak
fiskal yang tinggi ditunjukkan pada sumbu X3Y3 sebanyak 35 WP dan pada sumbu
X3Y2 dengan dampak fiskal menengah sebanyak 1 WP. Ketidakpatuhan yang tinggi
dibutuhkan pemeriksaan dan pengawasan secara berkelanjutan dari AR maupun
Jabatan Fungsional. Berdasarkan hasil wawancara dari Tedhy sebagai AR, Wajib
pajak yang telah selesai dilakukan pemeriksaan berdasarkan CRM sebanyak 19
Wajib Pajak.
Gambar 1 Matrik Risiko
Sumber: KPP Pratama Senen
Proses Compliance Risk Management
1. Identifikasi
Risiko
����� Proses identifikasi awal ini melalui hasil
database CRM yang dikeluarkan oleh DJP. Database dipergunakan oleh AR untuk mengindentifikasi tingkat risiko. Setelah melakukan identifikasi awal, AR mengkelompokan wajib pajak berdasarkan tingkat risiko yang ditimbulkan. Berdasarkan matriks risiko menunjukkan terdapat 50 wajib pajak yang wajib dilakukan pemeriksaan karena memiliki rentang tingkat risiko dari menengah hingga
tinggi. Matriks risiko didukung dengan hasil wawancara
Kepala KPP Senen yaitu �Matriks risiko itu dipergunakan
oleh AR untuk bukti penunjang untuk mengeluarkan SP2DK yang ditujukan
kepada wajib pajak yang berpotensial�.
2. Penilaian
Risiko
Setelah melakukan identifikasi risiko, langkah selajantnya adalah Penilaian Risiko. Penilaian tersebut berdasarkan matriks risiko dari 50 wajib pajak
yang wajib dilakukan pemeriksaan, terdapat tingkat risiko yaitu: X3Y3 itu memiliki risiko yang tinggi, X2Y2 itu memiliki risiko yang menengah dan X1Y1 itu risiko yang rendah. Risiko yang tinggi itu yang menjadi prioritas untuk dilakukan pemeriksaan pajak.
3. Analisis
Risiko
Setelah dilakukan oleh penilaian risiko, AR bertugas melakukan menganalisis risiko berdasarkan hasil database CRM.
Hasil analisis tersebut menunjukkan adanya ketidakpatuhan yang dilakukan oleh
Wajib Pajak.Ketidakpatuhan
yang tinggi disebabkan adanya risiko yang besar, namun wajib
pajak tidak ingin melaksanakan kewajibannya.
Dalam penelitian ini, dari 50 wajib pajak
harus dilakukan pemeriksaan hanya 6 wajib pajak PT yang dijadikan contoh wajib pajka berisiko.
Contoh yang diambil dari Wajib Pajak PT. A ini terdapat nilai data kehilangan akibat ketidakpatuhan dari wajib pajak paling besar pada KPP Pratama Senen adalah -4,005,589,036 terkait ekualisasi biaya bunga. Lalu Ekualisasi Bukti Potong PPh 4 (2) Jasa Konstruksi terhadap Penghasilan Final SPT Tahunan sebesar -1,443,193,187. Wajib Pajak PT. A itu merupakan salah satu wajib pajak
yang harus dilakukan dikarenakan terdapat risiko tinggi yang ditimbulkan. Level risiko pada WP
A memiliki tingkat risiko sebesar 46,68 % dari tingkat risiko
tinggi secara Setelah memperoleh data risiko yang dimiliki oleh setiap wajib pajak, langkah
selanjutnya yang dilakukan adalah menganalisis risiko tersebut lalu AR memberikan penyelesaian berdasarkan risiko tersebut.
4. Pemeriksaan
dan Pengawasan
Dalam menetapkan wajib pajak yang
berisiko, Direktorat Potensi, Kepatuhan,
dan Penerimaan menyusun
dan menyampaikan usulan daftar Wajib
Pajak untuk setiap KPP Pratama
melalui Nota Dinas Usulan Daftar Wajib Pajak. Lalu Kepala
Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Kanwil DJP melakukan pembahasan
dengan KPP mengenai usulan daftar Wajib Pajak Strategis dengan mempertimbangkan
kriteria, jumlah, dan mekanisme penentuan Wajib Pajak berdasarkan nota dinas
Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan. Lalu Kepala Kanwil DJP menetapkan
Wajib Pajak untuk setiap KPP Pratama paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
setelah tanggal Nota Dinas.
Setelah dilakukan penetapan wajib
pajak untuk setiap KPP Pratama oleh DJP. Langkah selanjutnya yang dilakukan
oleh DJP adalah Assignment Wajib Pajak. Proses ini dilakukan oleh Kepala KPP
Pratama dengan menerbitkan nota dinas tentang Assignment Wajib Pajak Strategis
pada Seksi Pengawasan dan Konsultasi II. Lalu Kepala KPP Pratama menugaskan Kepala
Seksi Pengolahan Data dan lnformasi untuk memproses Assignment Wajib Pajak
dalam Sistem lnformasi Direktorat Jenderal Pajak dengan jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal Surat Keputusan Penetapan Wajib Pajak.
Setelah dilakukan assignment, KPP
Pratama akan melakukan penelitian terkait wajib pajak yang berisiko. Penelitian
untuk Tahun Pajak berjalan dapat dilakukan untuk satu atau beberapa jenis pajak
berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki dan/atau diperoleh DJP sesuai
dengan SE-39/2015,SE-49/20 dan/atau SE-14/2018. Penelitian Untuk Tahun Pajak
Sebelum Tahun Pajak Berjalan,dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Berdasarkan OPP, Kepala KPP
Pratama menerbitkan Nota Dinas Penugasan kepada Supervisor untuk melakukan
kegiatan penelitian, permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan,
dan/atau konseling kepada Wajib Pajak Strategis, kecuali terhadap Wajib Pajak
lnstansi Pemerintah, Wajib Pajak Kerja Sama Operasi (Joint Operation), Wajib
Pajak PPJK dan Wajib Pajak cabang tanpa pusat.
2.
Berdasarkan Nota Dinas,
Supervisor sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya bersama
dengan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi dan Account Representative
melakukan penelitian, permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan,
dan/atau konseling kepada Wajib Pajak.
Hasil penelitian dituangkan dalam
LHPt yang ditandatangani oleh Kepala KPP Pratama, Supervisor, Kepala Seksi
Pengawasan dan Konsultasi, dan Account Representative. LHPt berisi kesimpulan
hasil penelitian berupa Wajib Pajak telah atau belum memenuhi kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan sehingga Wajib Pajak diusulkan
untuk dilakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan. LHPt yang
dilengkapi dengan KKPt dibuat dalam aplikasi Approweb,
Dalam hal setelah penetapan Wajib
Pajak telah masuk dalam DSPP, maka terhadap Wajib Pajak yang belum diterbitkan
NP2 untuk suatu Tahun Pajak, tetapi dilakukan penelitian dan Wajib Pajak
dimasukkan dalam OPP sesuai dengan SE-24/2019 atau terhadap Wajib Pajak yang
telah diterbitkan NP2 untuk suatu Tahun Pajak maka proses pemeriksaan tetap
dilanjutkan tanpa penelitian. Tindak Lanjut atas Hasil Penelitian Wajib Pajak
pada KPP Pratama untuk Tahun Pajak Berjalan berdasarkan hasil penelitian dilakukan
tindak lanjut berupa penyampaian permintaan penjelasan atas data dan/atau
keterangan kepada Wajib Pajak sesuai dengan SE-39/2015, SE-49/2016, dan/atau
SE-14/2018; dan penyampaian usulan pemeriksaan untuk Tahun Pajak berjalan dapat
diajukan setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh untuk
Tahun Pajak telah dilakukan penelitian atas seluruh jenis pajak (all taxes).
Untuk Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak Berjalan berdasarkan hasil penelitian
atas pemenuhan kewajiban seluruh jenis pajak (all taxes) untuk suatu Tahun
Pajak dilakukan tindak lanjut seperti Penyampaian permintaan penjelasan atas
datadan/atau keterangan kepada Wajib Pajak,sebagai berikut penerbitan 1 (satu)
SP2DK, dalam hal diketahui Wajib Pajak belum memenuhi kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan perpajakan, pembahasan dengan Wajib Pajak dan pembuatan
Berita Acara Pelaksanakaan Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan.
Berdasarkan SP2DK yang telah disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau tanggapan
Wajib Pajak atas SP2DK yang telah disampaikan maka diterbitkan LHP2DK dalam jangka waktu
14 (empat belas)� dibuat dalam aplikasi Approweb.
Dalam hal LHP2DK telah
diterbitkan tetapi Wajib Pajak tidak menyampaikan dan membetulkan SPT dalam
jangka waktu 14 hari ,maka Kepala KPP harus mengusulkan pemeriksaan atau
memberikan tambahan waktu penyampaian/pembetulan SPT. Apabila dalam penelitian
ditemukan data baru yang mengakibatkan jumlah pajak terutang menjadi lebih
besar daripada hasil penelitian yang tercantum dalam SP2DK maka dapat
diterbitkan SP2DK baru sepanjang terhadap Wajib Pajak tersebut belum diusulkan
untuk dilakukan pemeriksaan.
��� �Penyampaian
usulan pemeriksaan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Komite Perencanaan Pemeriksaan
Tingkat Kanwil DJP melakukan penelitian riwayat atau proses pemeriksaan bukti
permulaan dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan terhadap Wajib
Pajak yang diusulkan pemeriksaan dalam DSPP.
2.
Lalu Kepala Kanwil DJP, setelah
melakukan pembahasan dengan Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Kanwil DJP,
memberikan persetujuan terhadap usulan pemeriksaan dengan jangka waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kalender sejak usulan pemeriksaan diterima.
Dalam hal diusulkan sebagai
Pemeriksaan Khusus untuk seluruh jenis pajak (all taxes), dilakukan
langkah-langkah sebagai berikuti :
1. LHP2DK
sebagai dokumen Analisis Risiko atau usulan pemeriksaan.
2. �Lalu Kepala KPP Pratama menyusun daftar Wajib
Pajak yang diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan dan menetapkannya masuk dalam
DSPP.
3. Lalu Kepala
KPP Pratama mengirimkan DSPP Wajib Pajak untuk dilakukan pemeriksaan langsung
kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan secara periodik, yaitu setiap akhir
bulan.
4. Lalu
Komite Perencanaan PemeriksaanTingkat Pusat melakukan penelitian riwayat
dan/atau proses pemeriksaan bukti permulaan terhadap Wajib Pajak yang diusulkan
pemeriksaan dalam DSPP.
5. Lalu
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menerbitkan instruksi pemeriksaan khusus
untuk semua jenis pajak (all taxes),setelah dilakukan pembahasan bersama Komite
Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat, paling lama akhir bulan berikutnya
setelah usulan pemeriksaan diterima.
Kegiatan�� pengawasan��
dan�� pemeriksaan�� dilakukan berdasarkan segmentasi Wajib Pajak
dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Wajib� Pajak� Strategis,� yang�
dilaksanakan� melalui kegiatan
penelitian secara komprehensif.
2. Wajib� Pajak�
Lainnya,� yang� dilaksanakan�
berbasis kewilayahan,�� kecuali
Wajib Pajak yang sudah masuk dalam segmentasi Wajib Pajak Strategis.
Pengawasan�
dan� pemeriksaan� Wajib�
Pajak� Strategis dilakukan
penelitian secara komprehensif sebagai berikut: penelitian� untuk�
Tahun� Pajak� berjalan�
dilakukan� oleh Kepala� Seksi�
Pengawasan� dan� Konsultasi�
dan Account Representative��
terhadap�� kepatuhan�� pemenuhan kewajiban� perpajakan�
atas� satu� atau�
beberapa� jenis pajak dan
penelitian� untuk� Tahun�
Pajak� sebelum� Tahun�
Pajak berjalan� dilakukan� oleh�
Kepala� Seksi� Pengawasan�
dan Konsultasi dan Account Representative bersama dengan Supervisor
Fungsional Pemeriksa (Supervisor) terhadap kepatuhan� pemenuhan�
kewajiban� perpajakan� atas seluruh jenis pajak (all taxes).
Pengawasan itu penting dilakukan sebagai monitoring
dalam kepatuhan wajib pajak. Pengawasan terhadap Wajib Pajak lainnya itu
difokuskan pada kontribusi penerimaan pajak yang besar. Pengawasan ini pada
prinsipnya dilakukan dengan� berbasis
kewilayahan, maka pengawasan harus�
dilakukan secara lebih intensif. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh
Account Representative berdasarkan pertimbangan Kepala KPP.
Dalam� pelaksanaan�
pengawasan� dan/atau� pemeriksaan dapat dilakukan permintaan
bantuan penilaian kepada Fungsional Penilai sesuai dengan SE-05/2020, antara
lain:
1.
Terdapat� transaksi�
yang menjelaskan nilai� hasil� penilaian�
yang dilakukan oleh DJP dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang� Pengampunan�
Pajak,� harga/nilai� pasar�
wajar,dan/atau harga limit,
2.
Terdapat��� data���
lain��� yang��� mengindikasikan ketidakwajaran� nilai�
yang� dilaporkan� Wajib�
Pajak,
3.
Terdapat� objek�
Pajak� Bumi� dan� Bangunan� sektor perkebunan,� pertambangan,�
perhutanan,� dan� sektor lainnya yang dibutuhkan penilaian
lapangan.
Kriteria,� jumlah,�
dan� mekanisme� penentuan�
Wajib� Pajak Strategis pada KPP
Pratama serta target penyelesaian LHPt diatur dengan Nota Dinas Direktur
Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan. Wajib�
Pajak� Strategis� merupakan Wajib Pajak� yang termasuk�
dalam� DSP3� yang�
selanjutnya� ditentukan
prioritasnya untuk dilakukan penelitian secara komprehensif untuk menjadi OPP.
OPP oleh Kepala KPP melalui�
Komite� Kepatuhan� Wajib�
Pajak sebagaimana� diatur� dalam�
SE-24/2019 berdasarkan� risiko ketidakpatuhan� Wajib�
Pajak� Strategis,� yang�
antara lain
menggunakan� Compliance� Risk�
Management� (CRM),� data internal, dan data eksternal.
Dalam� rangka�
menjamin� efektivitas� pelaksanaan�
kegiatan pengawasan� dan pemeriksaan
Wajib� Pajak,� Kepala�
KPP bertanggung jawab yaitu mengoordinasikan dan mengawasi��
pelaksanaan kegiatan�
pengawasan� dan� pemeriksaan�
Wajib� Pajak serta tindak lanjutnya.
Kefektivitas itu sebagai tanda keberhasilan model compliance Risk Management
yang dilakukan dalam pengawasan dan pemeriksaan wajib pajak.
B.
Evaluasi Terhadap Penerapan Pemeriksaan Pajak Dengan Model compliance Risk Management (CRM) Dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak
Dalam membangun kepatuhan wajib pajak DJP menyediakan fasilitas memadai untuk setiap
petugas pajak dengan CRM dan membuat standarisasi data. Hal ini merupakan modal utama berjalannya CRM agar manajemen
data dapat dilakukan secara lebih efektif
dan efisien. Selain dapat memperbaiki administrasi pajak, CRM juga mendukung intensifikasi, ekstensifikasi, pengembalian pajak, dan penagihan yang mengarah pada peningkatan kinerja pengumpulan pajak sambil menjaga
perekonomian.
Dengan perlakuan yang tepat, moral pajak masyarakat bisa semakin meningkat.
Sebab, tidak semua wajib pajak
diberikan perlakuan yang sama. Selain mengarahkan
pemeriksaan kepada wajib pajak yang tidak patuh, peningkatan
penerimaan pajak menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai. Untuk mengukur keberhasilan program atau kebijakan tersebut yang perlu dilakukan adalah mengevaluasi suatu program dengan kriteria. Mengenai kinerja kebijakan dalam menghasilkan informasi terdapat kriteria evaluasi menurut William Dunn sebagai berikut:
1.
Efektivitas
Pemahaman efektivitas itu berkenanan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil yang diharapkan. Hal yang ingin dituju adalah hasil
tercapainya realisasi penerimaan pajak dan meningkatknya kepatuhan wajib
pajak. Realisasi penerimaan pajak pada KPP Pratama Senen pada tahun 2020 tercapai sebesar
1.599.611.317.526 atau capaian
nya 118,50 %. Realisasi penerimaan pajak yang tercapai itu
dipengaruhi dengan meningkatnya rasio kepatuhan wajib pajak orang pribadi
sebesar 17% dan rasio wajib badan sebesar 7% dalam melaporkan SPT pada KPP
Pratama Senen. �Hal tersebut menujukkan penerapan Compliance Risk Management efektif
digunakan dalam mencapai target penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak.�
2.
Efisiensi
Pemahaman efisiensi itu berkenaan
dengan seberapa usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil yang di inginkan. Pemahaman ini tidak
terlepas dari adanya hubungan mengenai efektivitas. Tercapaimya penerimaan pajak pada tahun 2020 di KPP Pratama Senen ini
dibantu alat bantu berupa Compliance Risk Management yang disediakan
oleh Direktorat Jenderal Pajak. Penerapan CRM ini efisien karena
tidak membutuhkan biaya yang besar. Hal itu dikarenakan dikelola secara nasional oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan data Tax
Amnesty yang dilaporkan sukarela
oleh wajib pajak pada tahun 2015 sebagai bahan dasar CRM tersebut, sehingga pihak KPP hanya perlu analisa dalam
penentuan risiko kepada wajib pajak.
3.
Perataan
Perataan pada penerapan pemeriksaan pajak Compliance Risk Management dengan
tujuan meningkatkan penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak yang dimaksud adalah ketentuan mengenai manfaat yang didistribusikan secara merata kepada stakeholder atau pemangku kepentingan.
Stakeholder dalam penerapan
Compliance Risk Management adalah wajib
pajak dan pegawai jabatan fungsional.
Dari sisi wajib pajak perataan
ini ditunjukan dengan meningkatnya kepatuhan dalam pelaporan SPT tahunan oleh wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan.� Dalam pemeriksaan pajak terdapat perbedaan wajib pajak dari tingkat
risiko kepatuhannya melalui Peta Kepatuhan Wajib Pajak sesuai
SE-24/PJ/2019. Hal tersebut menegaskan
bahwa regulasi tersebut secara merata sudah diterapkan.
Regulasi tersebut didukung dengan adanya matriks risiko yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak terdapat data 50 wajib pajak yang harus dilakukan pemeriksaan secara terperinci oleh AR karena memiliki risiko yang wajib diperiksa kembali dan sudah 37 wajib pajak yang telah selesai dilakukan
pemeriksaan pajaknya.
Selain, dari sisi wajib
pajak perataan ini juga ditujukan kepada AR maupun Pemeriksa pelaksana. Pemberian tunjangan kinerja ini apabila
KPP tersebut tercapai dalam penerimaan pajak pada tiap tahunnya berdasarkan Perpres No. 37 Tahun 2015 mengenai tunjangan kinerja pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Tunjangan kinerja ini dibayarkan apabila 100% pada tahun berikutnya selama satu tahun dalam
hal realisasi penerimaan pajak yang dihimpun sebesar 95% atau lebih dari
target penerimaan pajak.
Pada KPP Pratama Senen pada
tahun 2020 sudah tercapai 118,50%, hal tersebut menjelaskan adanya pembayaran tunjangan kinerja sebesar 100%.
4.
Kecukupan
Pemahamaan mengenai kecukupan ini berkenaan sejauh
mana hasil (output) dapat memecahkan masalah. Masalah yang dimaksud adalah tidak tercapainya
penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak. Asumsi nya bahwa
penerapan pemeriksaan pajak dengan model Compliance Risk Management dapat dikatakan mencapai suatu kecukupan apabila hasil penerimaan pajak dapat memecahkan
permasalahan tersebut.
Masalah yang dihadapi adalah tidak tercapainya penerimaan pajak pada KPP Pratama Senen pada tahun 2013-2019. Namun, masalah tersebut dapat diatasi dengan
adanya output atau hasil yang memenuhi tingkat kecukupan setelah diberlakukan model
Compliance Risk Management. Kenaikan penerimaan pajak yang cukup siginifikan sebesar 6 % pada tahun 2019 yang semula sebesar 82 % menjadi 118,50% pada tahun
2020.�� Namun, dari tercapainya masih terdapat masalah yaitu hasil
penerimaan CRM hanya berkontribusi 30 % dari total kenaikan realisasi penerimaan pajak tahun 2020 dikurangi realisasi penerimaan pajak tahun 2019. Persentase 30 % menunjukan belum cukup dalam
meningkatkan penerimaan pajak.
Selain, masalah tidak tercapainya
penerimaan pajak juga terdapat masalah dalam kepatuhan wajib pajak. Namun,
masalah tersebut dapat diatasi dengan
adanya output atau hasil yang memenuhi tingkat kecukupan setelah diberlakukan model
Compliance Risk Management. Kenaikan rasio kepatuhan dari wajib pajak
orang pribadi sebesar 17%
dan wajib badan sebesar 7% dalam melaporkan SPT pada KPP Pratama Senen. Kenaikan rasio kepatuhan tersebut belum cukup dalam
meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
5.
�Responsivitas
�Penerapan Compliance Risk Management sebagai
alat bantu Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan pengawasan kepatuhan Wajib pajak Badan juga tidak lepas dari
kendala dan permasalahan. Model ini dikeluarkan oleh DJP melalui
Surat Edaran SE-24/PJ/2019 pada September 2019. Sampai dengan penelitian
ini dilakukan, model CRM ini masih dalam penggunaan
sepanjang tahun 2020 ini, dan hasil evaluasi dari Compliance Risk
Management ini baru akan muncul di tahun 2021. Selama pelaksanaannya, terdapat respon dari masyarakat
khusunya wajib pajak yaitu;
a. Ketidakpatuhan
pembayaran dan penyampaian SPT.
b. Wajib
pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang lingkup seluruh jenis
pajak selama 3 tahun terakhir.
c. Analisis
CTTOR, Gross Profit Margin (GPM), Nett Profit Margin (NPM) dibandingkan dengan hasil
benchmarking industri sejenis di kanwil terkait. Risiko ketidakpatuhan dianggap
tinggi apabila selisih antara analisis tersebut dengan rata-rata industri lebih
besar dari 20%.
d. Ketidaksesuaian
antara profit SPT dengan profil ekonomi WP (usaha dan kekayaan) sesungguhnya
berdasarkan fakta di lapangan.
e. Memiliki
transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, berkedudukan di negara
dengan tarif pajak lebih rendah dari Indonesia.
f. Memiliki
transaksi afiliasi dalam negeri (intragroup transaction) dengan nilai transaksi
lebih 50% dari total nilai transaksi.
g. Memiliki
transaksi afiliasi dalam negeri dengan anggota grup usaha yang memiliki
kompensasi kerugian.
h. Wajib
pajak yang menerbitkan faktur pajak kepada pembeli dengan NPWP 000 lebih dari
25%, dari total faktur pajak yang diterbitkan dalam satu masa pajak.
i. Terdapat
hasil analisis IDLP dan/atau CTA untuk wajib pajak tersebut.
Selain respon dari wajib
pajak yang dijelaskan diatas, terdapatnya kurangnya kesadaran dari wajib pajak
dalam merespon dan menanggapi selama proses pemeriksaan pajak berlangsung. Selama dilakukan pemeriksaan, tidak semua wajib
pajak secara sukarela melaporan pendapatan yang diperoleh. Hal tersebut menujukan adanya respon negatif
dari wajib pajak yaitu pada tahun 2018, sebanyak 668 wajib pajak yang tidak menanggapi surat SP2DK, lalu pada tahun 2029 sebanyak 800 wajib pajak yang tidak menanggapi surat SP2DK dan pada tahun
2020 sebanyak 1083 yang tidak
menanggapi.
6.
Ketepatan
Pemahaman ketepatan ini dapat
dipahami berkaitan dengan apakah hasil
atau output yang diinginkan
benar-benar tercapai atau bernilai. Penekanan berguna atau bernilai tersebut
merupakan manfaat yang dirasakan oleh KPP Pratama Senen setelah diberlakukan
penerapan Compliance Risk Management yaitu ketepatan dari hasil realisasi penerimaan pemeriksaan pajak dengan SP2DK dalam meningkatkan penerimaan pajak
dan kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SP2DK. Pada tahun
2020, dari segi penerimaan pajak tercapai pada KPP Pratama Senen sebesar 1.599.611.317.526 atau capaian sebesar
118,50%. Namun dari realisasi penerimaan SP2DK pada tahun 2020 sebesar
947.584.669.143 hanya memberikan
kontribusi sebesar 59,2 %. Kontribusi sebesar 59,2 % belum tepat untuk
meningkatkan penerimaan pajak.
Pada
tahun 2020, dari segi rasio kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SP2DK
sebesar 47%. Namun dari rasio kepatuhan SP2DK hanya berkontribusi 50% dimana
kontribusi belum tepat untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak karena masih
terdapat wajib pajak tidak patuh dalam menanggapi laporan SP2DK. Penyampaian
SP2DK pada tahun 2020 oleh wasakon II,III, dan IV sebanyak 2265 wajib pajak,
namun yang memberikan tanggapan tertulis sebesar 697 wajib pajak, melakukan
konseling sebesar 569 wajib pajak dan yang tidak menanggapi laporan SP2DK
sebesar 1083 wajib pajak.�
Kesimpulan
Penerapan
Pemeriksaan Pajak dengan model Compliance Risk Management pada KPP Pratama
Senen telah mencapai target dalam penerimaan pajak. Hal tersebut dapat
ditunjukan bahwa realisasi penerimaan pajak pada tahun 2020 yang telah tercapai
target sebesar Rp. 1.599.611.317.526 atau capaian 118,50 % . Namun,
dari tercapainya masih terdapat masalah yaitu hasil penerimaan CRM hanya
berkontribusi 30 % dimana kontribusi tersebut terlihat rendah mengingat CRM ini
hanya sebagai alat bantu yang digunakan oleh pihak AR dalam meningkatkan penerimaan
pajak. Realisasi penerimaan pajak
yang tercapai itu dipengaruhi dengan meningkatnya rasio kepatuhan wajib pajak
orang pribadi sebesar 17% dan rasio wajib badan sebesar 7% dalam melaporkan SPT
pada KPP Pratama Senen. Sehingga penggunaan model Compliance Risk
Management berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Evaluasi
penerapan pemeriksaan pajak dengan model Compliance Risk Management pada KPP
Pratama dalam penerimaan pajak Senen dengan enam kriteria evaluasi yaitu Efektivitas
yaitu penerapan Compliance Risk Management ini efektif dalam hal tercapai
penerimaan pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, Efisiensi yaitu
penerapan Compliance Risk Management ini efisien dalam pengeluaran biaya karena
penggunaan database disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak berupa database
Tax Amnesty pada tahun 2016 yang dijadikan bahan untuk dilakukan pemeriksaan
pajak, Perataaan yaitu penerapan Compliance Risk Management ini dapat
meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan para stakeholder menerima pembayaran
tunjangan kinerja sebesar 100% apabila hal realisasi penerimaan pajak
yang dihimpun� sebesar 95% atau lebih
dari target penerimaan pajak, Kecukupan yaitu penerapan Compliance Risk Management
belum cukup untuk meningkatkan realisasi penerimaan pajak dan kenaikan rasio
kepatuhan tersebut belum cukup dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak pada
KPP Pratama Senen, Responsivitas yaitu selama dilakukan pemeriksaan
dengan Compliance Risk Management ini terdapat dari respon negatif dari wajib
pajak yaitu adanya kurangnya kesadaran dan sukarela dalam melaporkan
keseluruhan pendapatan yang diperoleh, Ketepatan
yaitu hasil
pemeriksaan pajak dengan SP2DK belum tepat dalam meningkatkan penerimaan pajak
dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Sehingga dapat dikatakan meningkatnya realiasasi penerimaan
pajak tercapai dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak bukan disebabkan model
Compliance Risk Management. �
BIBLIOGRAFI
Birskyte, Liucija. (2008). The effects of IRS audit rates on state
individual income tax compliance. Indiana University.
BunginH.M. Burhan, (2011), Penelitian Kualitatif, Edisi kedua. Jakarta:Prenada
Media Group
European Commission (EC) (2010). Compliance Risk Management. Guide for Tax Administrations.
Fiscalis Risk Management Platform Group.
Elim, Inggriani; Panga, Ricky Billy, (2015). Analisis Efektifitas
Pemeriksaan Pajak dalam Upaya Meningkatkan Penerimaan Pajak pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Bitung. Universitas Sam Ratulangi
Gunadi, (2004). Bunga Rampai Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak.
Jakarta: MUC Publishing
Gunarso, Pujo, (2016). Pemeriksaan Pajak dan Sanksi Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak badan Pada KPP Kepajen Kabupaten Malang, Malang;
Universitas Merdeka Malang.
Hamidi.�� 2004. Metode�� Penelitian��
Kualitatif:�� Aplikasi�� Praktis��
Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press.
Iqbal,Muhammad. (2013). Analisis Penerapan Metode Benchmark Behavioral
Model dalam Pemeriksaan Pajak (Tinjauan Kritis terhadap SE-40/PJ/2012). Tesis
FIA, Universitas Indonesia.
Kurniawan, Anang Mury, (2011). Upaya Hukum Terkait dengan Pemeriksaan,
Penyidikan dan Penagihan Pajak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Leviner, Sagit. (2008). A new era of tax enforcement: From big stick to
responsive regulation. U. Mich. JL Reform, 42, 381.
Mason, Mark. (2008). Complexity theory and the philosophy of education. Educational
Philosophy and Theory, 40(1), 4�18.
Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan. Edisi Ke-3. Jakarta:
Granit.
Nurdin, Muhammad Febran. (2017). Analisis Benford�s Law Model sebagai
alternatif metode benchmark behavioral model dalam pengawasan kepatuhan wajib
pajak (studi kasus: Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II). Tesis FIA, Universitas
Indonesia.
Purba, Arifanda. (2012). Analisis Hasil Pemeriksaan Pajak
Tahun 2008-2011 Untuk Menentukan Pola Profil Wajib Badan yang Potensial di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Palmerah. Tesis FIA,Universitas Indonesia.
Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD).(2004).
Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax
Compliance. Paris: OECD Forum on Tax Administration.