�����������
Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849
����������� e-ISSN : 2548-1398
����������� Vol. 2,
No 9 September 2017
TINJAUAN
POLITIK HUKUM ATAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBENTUKAN BADAN USAHA MILIK DESA
Harmono
Universitas Swadaya Gunung Jati
[email protected] ������
Abstrak
Usaha menyejahterakan
masyarakat desa sebagai pemilik otonomi desa terus dilaksanakan melalui program
yang bersifat sektoral melalui kementrian, sampai pada upaya pembentukan
kelembagaan yang memperoleh legitimasi dalam peraturan perundang-undangan. Salah
satunya adalah diberinya ruang yang cukup strategi bagi pembentukan
Bumdes��Badan Usaha Milik Desa��yakni suatu lembaga yang bergelut di ranah sosial
dan ekonomi serta sebagai layanan atas masyarakat desa terkait badan usaha.
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan guna memperoleh gambaran realita dari
pembentukan dan keberadaan BumDes. Menggunakan metode penelitian kualitatif melalui
pendekatan deskriptif, penulis mencoba menemukan jawaban dengan
memfokuskan� penelitian pada:� (1) Analisis terhadap pembentukan� Badan Usaha Milik Desa (2) Kontribusi keberadaan badan terkait dalam penguatan ekonomi
desa dan (3) Faktor-faktor penghambat bagi berfungsinya Badan Usaha Milik Desa.
Dari penelitian yang dilakukan mendapatkan kenyataan bahwa keberadaan Badan
Usaha Milik Desa di Desa Gintung Kidul Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon
baik dari tata cara pembentukan sampai pada keberadannya belum selaras dengan
perundang-undangan sehingga belum terlalu efektif dalam peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Pembentukan �Badan Usaha Milik Desa di desa ini lebih pada
tuntutan formalitas� dan keberadannya
hanya �sebatas pada papan nama belaka, hal ini disebabkan
karena terlalu dominannya peran kepala desa serta rendahnya kesadaran/budaya
hukum dari masyarakat desa sendiri.�
Kata
Kunci: Otonomi
Desa, Badan Usaha Milik Desa, Kepatuhan Pada Regulasi
Pendahuluan
�
Pelaksaan otonomi
daerah selain berdasarkan pada acuan hukum, juga sebagai tuntutan dunia global,
dimana pemberdayaan dan pembukaan daerah otonomi menjadi lebih luas, lebih
nyata dan bertangung jawab, khususnya mengenai pengaturan dan pengelolaan
sumber potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Salah satu bentuk
implementasi dari otonomi daerah atau lebih tepatnya otonomi desa adalah
dibuatnya regulasi tentang pembentukan Badan Usaha Milik Desa.
Badan Usaha Milik Desa,
selanjutnya disebut BUMDesa merupakan badan usaha, dimana badan yang dimaksud,
merupakan badan dengan modal yang seluruh maupun sebagiannya milik desa. Pada
pelaksanaannya badan yang dimaksud merupakan badan dengan pengadaan pengelolaan
asset, jasa pelayanan, serta badan usaha lain, yang dimana, segala hal yang
dimaksud di atas bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Dalam
Permendagri No. 39 tahun 2010 mengenai BUMDes, tujuan berdirinya Bumdes adalah
untuk meningkatkan kemampuan keuangan desa dan pendapatan masyarakat.�
BUMDesa ini sebenarnya
telah lama digaungkan oleh pemerintah, namun kiprahnya sedikit kurang efektif.
Jauh sebelum terbentuknya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi, pemerintah telah mengamanatkan pembentukan BUMDesa dalam pasal
108 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang berbunyi; �Desa dapat memiliki badan
usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.� Kemudian pemerintah
mengamanatkan lagi dalam pasal 213 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berbunyi: (1)
Desa mampu membentuk BUMDes dengan berorientasi pada kebutuhan desa. (2) BUMDes
sebagaimana ayat (1) berorientasi pada perundang-undangan. (3) BUMDes
sebagaimana ayat (1) dipersilahkan melakukan proses peminjaman sebagaimana
perundang-undangan.
Keberadaan Badan Usaha
Milik Desa semakin mendapatkan legitimasinya setelah diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dimana Undang-Undang ini memberikan kewenangan
bagi pemerintah desa untuk menggunakan sebagian dana alokasi desa sebagai modal
awal bagi berdiri dan beroperasinya Badan Usaha Milik Desa. Kontan saja semua
desa berlomba-lomba membentuk lembaga ini dengan tujuan mengelola dana desa.
Hal ini kemudia menarik perhatian banyak peneliti agar peluang mendirikan
lembaga baru tersebut tidak menjadi beban baru untuk pemerintah dan masyarakat
desa itu sendiri.�
Berdasarkan uraian
tersebut penulis mencoba mengungkap fakta pembentukan Badan Usaha Milik Desa di
Desa Gintung Kidul Kecamatan Ciwaringin Kabupaten Cirebon dengan harapan� kedepannya BUMDesa dapat berjalan sebagaimana
mestinya sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Desa yang
menegaskan komitmen politik dan konstitusional bahwa Negara melindungi dan
memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis sehingga
dapat menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Metode
Penelitian
Penelitian yang dipakai di dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif deskriptif. Secara umum kulitatif deskriptif adalah metode
penelitian yang dilakukan untuk membuat deskripsi, gambaran, dan analisis
tertulis terkait fenomena, peristiwa, kegiatan sosial, persepsi, sikap
kepercayaan, serta pemikiran orang �baik secara individu maupun kelompok (Syaodih
Nana: 2007).� Adapun objek dalam
penelitian ini adalah implementasi pembentukan Badan Usaha Milik Desa atau
BUMDes dan subjek penelitian adalah aktor yang mendukung� kebijakan pembentukan BUMDes.
Penelitian ini dilakukan di Desa Gintung Kidul Kecamatan
Ciwaringin Kabupaten Cirebon. Penulis memilih lokasi tersebut adalah karena
adanya penyimpangan dalam pembentukan BUMdes Gindung Kidul.
�Hasil dan Pembahasan
Gerakan membangun Badan
Usaha Milik Desa atau disebut juga dengan BUMDesa, atau nama lain, sebenarnya
bukan hal baru meskipun nomenklatur itu baru diperkenalkan oleh pemerintah
dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Sutoro Eko (2014: 248-257) dari dulu
kita telah mengenal berbagai institusi sosial dan institusi keuangan mikro yang
dibentuk pemerintah: BKD, BINMAS, KUPEDES, KIK, KCK, BUUD, KUD, UEDSP, LPD di
Bali sejak 1985. Belakangan juga hadir berbagai nama dana bergulir yang
dikelola kelompok-kelompok masyarakat yang diarahkan pada beberapa proyek
sektoral kementerian sebagaimana �UPK dan
Simpan Pinjam untuk Perempuan (SPP) dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Semua ini
adalah LKM korparatis atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dibentuk oleh
pemerintah. Berbagai LKM ini dibentuk oleh pemerintah karena komitmen
pemerintah menolong rakyat desa �termasuk didalamnya rakyat miskin� dari
jeratan rentenir dan sekaligus membuka akses kredit bagi rakyat desa mengingat
bank-bank komersial tidak begitu pro
poor.
��
��������BUM Desa lahir dari kebijakan di satu
sisi dan gerakan lokal di sisi lain. Dimulai dari lahirnya UU No. 32/2004
beserta PP No. 72/2005 dan Permendagri No. 39/2010 merupakan kebijakan yang
telah memberikan kesempatan/ruang (enabling),
petunjuk maupun �payung hukum� terhadap kehadiran BUM Desa. Selanjutnya UU No.
6/2014 juga melembagakan dan memperkuat BUM Desa, baik BUM Desa dalam satu desa
maupun BUMDes antardesa. Dalam UU mengenai Desa, BUMDes merupakan badan kegiatan
usaha yang seluruh dan/atau mayoritas modalnya dimiliki desa. Pada
pelaksanaanya modal yang dimaksud bersumber dari kekayaan desa, yang pada
prosesnya, kekayaan-kekayaan yang dimaksud dipisahkan dengan tujuan pengelolaan
�aset, jasa pelayanan, serta usaha-usaha
lain untuk kemaslahatan masyarakat desa. �������
Implementasi kebijakan,
menurut Grindle (1980) hasil implementasi kebijakan dipengaruhi oleh konten dan konteks kebijakan.
Pembahasan mengenai konten kebijakan yang pertama adalah
kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi kebijakan. Guna menghindari hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan yang berujung pada kerugian, maka di dalam
pembentukan BUMDes harus dilakukan berdasarkan Musyawarah Desa yang dihadiri
masyarakat dan juga pemerintah desa. Melalui kegiatan tersebut, perumusan dan
pembentukan BUMDes akan lebih terbuka, demokratif, dan berorientasi pada
aspirasi warga. Konten yang kedua, Manfaat Kebijakan. BUMDes, sebagaimana yang
diatur oleh Perda nomor 9 tahun 2010, memiliki tujuan untuk meningkatkan sumber
Pendapatan Asli Desa, meningkatkan pengelolaan potensi desa, dimana pengelolaan
yang dimaksud disini merupakan pengelolaan yang berorientasi pada kebutuhan
masyarakat desa. Di sisi lain, hal yang sebagaimana disampaikan di atas, juga
memiliki peran sebagai pembuka��bahkan penambah�� lapangan-lapangan kerja
masyarakat. Sehingga, tahap akhir dari proses ini adalah, masyarakat desa mampu
diberdayakan dan dimaksimalkan��baik tenaga maupun potensi��untuk mengolah dan
mengelola potensi desa.
Manfaat kebijakan sebagaimana
di atas bersinggungan dengan konten kebijakan yang ketiga, yakni skala
perubahan yang hendak dituju. Perubahan yang ingin dicapai dengan adanya
kebijakan BUMDes ini adalah untuk mendorong pemerintah desa untuk sama-sama
menggali dan mengolah potensi desa, yang mana hal ini akan berdampak kepada
pemasukan PADes serta ekonomi masyarakat. Adanya pemasukan untuk pendapatan
asli desa tersebut akan menghindari ketergantungan pemerintah desa terhadap
dana bantuan dari pemerintah guna melaksanakan program pembangunan. Kemandirian
desa dalam mencari sumber pemasukan merupakan perubahan yang hendak digapai
sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan desa.
BUMDes merupakan
lembaga ekonomi yang berdirinya harus didasari oleh adanya potensi ekonomi,
sehingga sumber daya menjadi penting dalam mendorong pelaksanaan kebijakan. Hal
tersebut juga telah tercantum pada Perda bahwa syarat pendirian BUMDes harus
berdasarkan adanya sumber daya atau potensi yang belum dikelola secara maksimal
oleh desa. Terkait dengan fokus pembahasan ini akan lebih mengarah kepada
dimensi konteks kebijakan, karena dalam pelaksanaan kebijakan BUMDes tersebut
telah diatur dalam Perda nomor 34 tahun 2010 telah mencangkup dimensi konten
kebijakan. Kekuasaan dan Kepentingan Aktor Pendorong BUMDes Konteks kebijakan
yang pertama berkaitan dengan kepentingan, kekuasaan dan strategi aktor dalam
kebijakan. Implementasi� kebijakan senantiasa
bersentuhan aktor, yang mana intensitas keterlibatan tersebut tergantung dari
seberapa besar kepentingan aktor tersebut di dalam kebijakan. Penggerak atau
pendorong pendirian Badan Usaha Milik Desa di Desa� Gintung Kidul adalah Kepala Desa. Proses
pendirian BUMDes� tidak melalu musyawarah
desa sebagai mana diatur dalam Permendagri maupun Permendesa tapi hanya dengan
cara penununjukan dimana yang ditunjuk sudah barang tentu adalah kerabatnya
sendiri.� Dalam pelaksanaan kebijakan BUMDes,
faktor yang menghambat hasil implementasi adalah adanya benturan kepentingan
pelaksana kebijakan, karena setiap implementasi kebijakan senantiasa
menggandeng aktor. Sehingga, pada pelaksanaannya, kebijakan akan cenderung
bergelut dengan kepentingan aktor tersebut. Hal sebagaimana demikian terjadi
pada BUMDes Desa Gintung Kidul.
BUMDes di desa tersebut
berdiri mulai tahun 2004 sebagai respon adanya kebijakan Perda BUMDes di� Kabupaten Cirebon. Sedang jenis usaha yang
digeluti merupakan usaha simpa pinjam. Namun, sejak berdiri sampai dengan tahun
2017, berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan keberadaan
BUMDes pemasukan kepada KAS desa. Keuangan BUMDes Desa Gintung Kidul pada awal
berdiri disuntik permodalan yang diambil dari Dana Alokasi Desa sejumlah
Rp.100.000.000,- dan kemudian pada tahun 2015 ditambah kembali sebesar Rp.
100.000,- dalam pembukuan yang ada saat ini hanya tersisa uang sebesar
27.000.000.- saja. Penyebab BUMDes tidak memberikan pemasukan pada pendapatan
asli desa dikarenakan adanya kepentingan individu terkait dengan pengelolaan
potensi ekonomi yang terjadi di Desa Gintung Kidul� membuat implementasi Badan Usaha Milik Desa
di desa tersebut tidak bisa berjalan dengan semestinya.
Seperti yang dialami oleh Desa Gintung Kidul, Badan Usaha
Milik Desa ini awalnya dapat meminjamkan biaya kepada masyarakat desanya yang
ingin mempunyai usaha. Karena memang awal berdirinya Badan Usaha Milik Desa ini
mendapatkan sumbangan dari pemerintah daerah yaitu Kabupaten Cirebon. Akan
tetapi, dari berjalanannya waktu, modal BUMDes kemudian merosot. Bahkan, pada
kondisi yang paling parah, antusias masyarakat dalam meminjam dana semakin
berkurang.
Sebagaimana diketahui memang desa sangatlah minim anggaran.
Keberadaan BUMDes Desa Gintung Kidul pada awalnya diharapkan dapat mendukung
munculnya kembali demokrasi sosial di desa melalui peningkatan kapasitas
masyarakat desa mengenai tata kelola BUMDes secara keseluruhan. Pada kondisi
yang berlainan, pemerindah desa diharapkan mampu mendominasi, berpikir kreatif
serta inovatif, dalam kegiatan ekonomi desa, yang dimana, setiap kegiatan yang
disebut di atas ditata dan dilaksanakan dengan BUMDes sebagai alatnya.
Kemudian, pada kondisi ini, BUMDes diharapkan dapat mengangkat perekonomian
daerah��khususnya desa��yang kemudian, pengangkatan perekonomian tersebut dapat
mengarah pada pembukaan lapangan kerja untuk warga, mulainya desa dalam
memproduksi barang dan jasa berkualitas, serta memunculkan perdagangan di
tingkat daerah. Selanjutnya, BUMDes kemudian dapat muncul sebagai agen
pembangunan daerah dan desa, yang menjadi motor penggerak di sektor koperasi,
namun tidak melibatkan pihak lain dalam proses pembiayaan. Sebab, sebagaimana
pemaparan di atas, pembentukkan, pengelolaan, dan setiap proses yang melibatkan
keuangan dilaksanakan dengan mandiri. Sehingga, hingga tahap ini, BUMDes
seyogyanya mampu merencanakan biaya dengan lebih efisien, namun dengan
keuntungan yang lebih optimal
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas peneliti mendapat beberapa
kesimpulan yang dipaparkan melalui uraian berikut:
1.
Dalam
proses pembentukan BUMDes Gintung Kidul terdapat ketidaksesuaian dengan
regulasi terkait. Pembentukan BUMDes tidak melalui musyawarah, melainkan
penunjukkan sepihak;
2.
Dalam
konteks kebijakan, BUMDes Gintung Kidul masih melibatkan aktor, dimana aktor
yang terlibat disini adalah mereka yang memiliki kepentingan atas setiap
kebijakan yang ada;
3.
Karena baik proses pembentukan maupun
kapasitas pengurus yang tidak selaras dengan garis dasar yuridis pembentukan
BUMDes, maka keberadaan BUMDes Gintung Kidul jauh dari harapan;
4.
BUMDes
Gintung Kidul tidak dapat menjadi pendapatan asli desa akibat
pelaksanaan BUMDes yang tidak sesuai dengan regulasi dan dasar yuridis;
BIBLIOGRAFI
Eko,
Sutoro. 2014. Desa Membangun Indonesia. Yogyakarta:
Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) dan ACCES.
Grindle,
Merille S. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. New
jersey: Princeton University Press
Republik
Indonesia. 1999. Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Lembara Negara Republik Indonesia
Nomor 60 Tahun 1999. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
________________.
2004. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125
Tahun 2004. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
________________.
2005. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun
2005 tentang Desa. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2005.
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
________________.
2010. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. Berita Negara Nomor 316
Tahun 2010. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
________________.
2014. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014.
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.