Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������������������������������� e-ISSN: 2548-1398
��������������������������������� Vol. 6, No. 2, Februari 2021
PERILAKU HATE SPEECH DI MEDIA SOSIAL DENGAN POLA ASUH ORANG
TUA DI KALANGAN REMAJA PENGGUNA MEDIA SOSIAL
Endah Sari Purbaningsih
Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan (STIKes) Mahardika
Cirebon, Jawa Barat, Indonesia
Email: e[email protected]
Abstract
Social media is used as a means of self-existence by most
teenagers at this time. Social media makes it easy for teens to connect with
one another. This raises a problem in the form of the fusion of private space
with the public space of its users. This condition can support criminal acts on
social media, one of which is hate speech or hate speech. The purpose of this
study was to see the relationship between hate speech behavior on social media
and parenting styles among adolescent social media users. The design of this
research is descriptive analytic using a survey method with a correlational
approach. The sampling technique used non probability sampling, namely
accidental sampling. The number of samples obtained was 228 teenagers who are
active on social media. The results showed that the level of tendency of
adolescents to behave with hate speech on social media mostly had the type of
authoritarian parenting as many as 121 respondents (53.1%), then those who had
the type of democratic parenting were 57 respondents (25%), and those who had
the type of pattern. permissive foster care as many as 50 respondents (21.9%).
The results of statistical tests using the Chi-Square test by looking at the
Pearson Chi-Square value obtained p = 0.000 (p≤0.05) then H0 = rejected,
meaning that there is a relationship between hate speech behavior on social
media with parenting styles among adolescent users. social media.
Keywords: �social
media; adolescent; hate speech, parenting.
Abstract
Media sosial dijadikan sebagai
sarana eksistensi diri oleh sebagian besar remaja pada masa ini. Media sosial
memudahkan remaja untuk saling terhubung satu sama lain. Hal tersebut
menimbulkan permasalahan berupa peleburan ruang privat dengan ruang publik para
penggunanya. Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya perbuatan kejahatan di
media sosial, salah satunya adalah hate speech atau ujaran kebencian. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui hubungan perilaku hate speech di media sosial dengan pola asuh orang tua di
kalangan remaja pengguna media sosial. Jenis atau rancangan penelitian ini
adalah deskriptif analitik menggunakan metode survey dengan pendekatan
korelasional. Teknik pengambilan sampel menggunakan non probability sampling,
yaitu accidental sampling. Jumlah sampel yang didapatkan sebanyak 228 orang
remaja yang aktif di media sosial. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat
kecenderungan remaja berperilaku hate speech di media sosial sebagian besar memiliki jenis pola
asuh otoriter sebanyak 121 responden (53,1% ), kemudian yang memiliki jenis
pola asuh demokratis sebanyak 57 responden (25%), dan yang memiliki jenis pola
asuh permisif sebanyak 50 responden (21,9%). Hasil uji statistik menggunakan
uji Chi-Square dengan melihat nilai Pearson Chi-Square didapatkan p = 0,000
(p≤0,05) maka H0 = di tolak artinya terdapat hubungan antara perilaku hate
speech di media
sosial dengan pola asuh� orang tua di
kalangan remaja� pengguna media sosial.
Kata Kunci:
media sosial; remaja; perilaku hate speech; pola asuh
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Remaja (adolescent)
memiliki arti tumbuh kearah kematangan. Remaja adalah seseorang
yang memiliki rentang usia 10-24 tahun. Remaja memiliki artian yang sangat luas dari segi
fisik, psikologis, dan sosial. Secara psikologis remaja adalah usia seseorang
yang memasuki proses menuju
usia dewasa.� Masa remaja merupakan masa pencarian jati diri dimana
seorang remaja melakukan segala cara agar dirinya diakui sebagai suatu individu dengan mencoba hal-hal baru (World Health Organization (WHO), 2014).
Menurut (World Health Organization (WHO), 2014) data demografi dunia menunjukan bahwa penduduk di dunia populasi terbesar merupakan remaja. Populasi remaja di dunia berjumlah 1,2 miliar atau 18% dari jumlah
penduduk dunia.�
Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) tahun 2016, penduduk
remaja berusia 10-24 tahun berjumlah 66,3 juta jiwa dari
total penduduk sebesar
258,7 juta sehingga satu di antara empat penduduk adalah remaja.� Jumlah yang cukup besar tersebut
merupakan potensi yang memerlukan pengelolaan secara terencana, terstruktur dan sistematis agar dapat bermanfaat menjadi modal pembangunan di masa
yang akan datang.�
Remaja lebih dikenal dengan
sebutan milenial. Di era
digital ini banyak remaja yang mencoba mengeksistensikan dirinya melalui media sosial. Sebagian besar remaja sekarang
menggunakan media sosial sebagai media untuk eksistensi diri. Media sosial merupakan sekumpulan aplikasi berbasis internet, beralaskan
pada ideologi dan teknologi
web 2.0 sehingga memungkinkan
penciptaan dan pertukaran konten oleh penggunanya.� Pada era digital, tidak
ada lagi batas ruang dan waktu untuk memperoleh
informasi. Media sosial memudahkan remaja untuk saling terhubung
satu sama lain. Bahkan, mereka lebih akrab dengan
dunia digital dibandingkan dengan
dunia nyata. Waktu rerata
yang dihabiskan setiap individu untuk menggunakan media sosial semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Hampir dua pertiga masyarakat
dewasa di Amerika menggunakan
lebih dari satu media sosial. Dewasa muda (18-29 tahun) memiliki rata-rata pengguna media sosial terbesar (90%), dan grup usia lain (remaja dan dewasa) juga mengalami peningkatan jumlah yang signifikan (Akbar, Pilcher, & Perrin, 2015).
Hasil dari survei yang dilakukan oleh
Kementerian Komunikasi dan Informasi
(Kominfo) tahun 2015, menunjukkan lima media sosial terpopuler di Indonesia, yaitu
Facebook (65.000.000 pengguna), Twitter (19.500.000 pengguna), Google+ (3.400.000 pengguna),
LinkedIn (1.000.000 pengguna), dan Path (700.000 pengguna). Permasalahan yang timbul pada penggunaan media sosial antara lain berupa peleburan ruang privat dengan
ruang publik para penggunanya. Hal ini mengakibatkan pergeseran budaya berupa pengguna
tidak lagi segan meng-upload segala kegiatan pribadinya untuk disampaikan kepada teman atau
kolega melalui akun media sosial dalam membentuk identitas diri mereka. Berdasarkan fenomena yang ada, hal ini memungkinkan
terjadinya perbuatan kejahatan di media sosial. Perbuatan kejahatan yang terjadi di kalangan pengguna media sosial saat ini salah satunya yaitu hate speech atau ujaran kebencian.
Council of Europe
hatespeech �(Judhita, 2017) memahami
hate speech sebagai semua bentuk ekspresi yang menyebar, menghasut,
mempromosikan atau membenarkan kebencian rasial, xenophobia, anti-semitisme
atau lainnya dalam bentuk kebencian berdasarkan intoleransi.
Hate speech sendiri merupakan tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam
bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu
atau kelompok yang lain dalam hal berbagai
aspek seperti ras, warna kulit,
gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, perbedaan perspektif dan
lain-lain. Hate speech dapat dilakukan
melalui berbagai media antara lain yaitu melalui orasi kegiatan
kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat dimuka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak maupun elektronik,
dan pamflet (Manusia, 2015).
Berdasarkan data yang dihimpun dari Kominfo
dan Mabes Polri tindak kasus hate speech atau ujaran kebencian
yang dilakukan para remaja tersebut yang terjadi di media sosisal periode Januari�Juni tahun
2019 mengalami peningkatan sebanyak 50% dibandingkan sepanjang tahun 2018. Perkara tindak pidana ujaran kebencian
yang ditangani Polri sekitar 101 perkara. Sementara itu, sepanjang tahun 2018 hanya ada sekitar
255 perkara ujaran kebencian selama setahun penuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku hate speech
pada remaja di media sosial
yaitu faktor psikologis atau kejiwaan pelaku yaitu daya emosional
yang tinggi, serta faktor sarana, fasilitas dan kemajuan teknologi. Dampak yang ditimbulkan dari ujaran kebencian yang diterima oleh korban yaitu dampak psikologis yang berupa emosi negatif
dan emosi positif. Emosi negatif tersebut
diantaranya merasa marah, tidak nyaman,
sedih, tertekan, malu, takut, tidak
percaya diri, dan sakit hati. Sedangkan
emosi positif yaitu merasa semangat
(Astuti, 2019).
Menurut Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tahun
2016, perkembangan teknologi
yang pesat membuat sulit untuk mencegah
seseorang tidak memiliki akun media sosial. Keluarga berperan penting dalam mengajarkan bagaimana menggunakan media sosial yang bijak terutama terhadap remaja. Orang tua perlu mengajarkan mengenai konten apa saja yang bisa
diunggah yang tidak membahayakan diri mereka sendiri. Hampir semua pendidikan
bermula dari pendidikan keluarga termasuk pendidikan dalam menggunakan internet yang bijak. Intinya bukan mencegah seseorang memiliki media sosial, tetapi dengan mengajarkan bagaimana menggunakan media sosial secara tepat.
Keluarga khususnya orang tua dapat memahami
perkembangan teknologi pada
zaman sekarang, dan juga sosial
media yang saat ini telah banyak digunakan
remaja. Oleh karena itu banyak remaja
yang terpengaruh dengan sosial media dan banyak menghabiskan waktunya hanya untuk bermain
sosial media, bahkan bisa berjam-jam. Hal ini jika dibiarkan
terus menerus akan menyebabkan anak kurang bisa
untuk bersosialisasi pada masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh (Permono, 2013), menunjukkan ada hubungan peran orang tua dalam mengoptimalisasi
tumbuh kembang anak untuk membangun
karakter anak. Penelitian lainnya ini didukung oleh (Briawan & Herawati, 2008) peran stimulasi orang tua sangat berarti
bagi perkembangan anak, dengan demikian
peran orang tua memiliki pengaruh terhadap perkembangan anak khususnya remaja.
Orang tua saat ini diasosiasikan
sebagai digital immigrant atau
penduduk pendatang yang masih berusaha beradaptasi di dunia digital sebagai
salah satu hasil dari perkembangan teknologi yang baru, orang tua sebagai digital immigrant
dituntut untuk melakukan adaptasi secara instan terhadap
teknologi yang digunakan
oleh anak remajanya. Kurangnya pengetahuan orang tua terhadap situs jejaring sosial karena perbedaan persepsi yang ada diantara orang tua dan remaja (Jalaludin, 2015).
Selain itu orang tua yakni
ayah dan ibu sebagai penanggung jawab utama atas anak
harus menjalin kerjasama secara baik. Sehingga peran orang tua dalam mendidik anak dapat mencetak
generasi cerdas serta berakhlak mulia di era digital seperti sekarang ini. Pendampingan
ayah dan ibu bagi anak pada saat menggunakan gadgetnya dapat memberikan kesempatan bagi orang tua untuk membantu
anaknya dalam menggunakan gadgetnya secara tepat (Bahri, 2019).
Metode Penelitian
Jenis
atau rancangan penelitian ini adalah deskriptif analitik menggunakan metode
survey dengan pendekatan korelasional yaitu penelitian yang sumber data dan
informasi utamanya diperoleh dari responden sebagai sampel penelitian dengan
menggunakan kuisioner atau angket sebagai instrumen pengumpulan data. Teknik
pengambilan sampel menggunakan non probability sampling. Populasi dalam
penelitian ini tidak diketahui jumlahnya sehingga pengambilan sampel dengan
metode accidental sampling di media sosial. Sampel dalam penelitian ini
sebanyak 228. Penelitian ini telah memenuhi kelayakan etik dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mahardika. Pengambilan data
ini sebelumnya dilakukan persetujuan dengan menandatangani lembar informed
consent. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan kemudian di olah dan
dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat� yaitu analisis chi-square.
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
a.
Usia Responden
Tabel 1
Distribusi
Frekuensi Responden Remaja Pengguna Media Sosial Berdasarkan Umur
Umur |
n |
% |
15 � 18 tahun |
10 |
4,4 |
19 � 21 tahun |
99 |
43,4 |
22 � 23 tahun |
113 |
49,6 |
> 24 tahun |
6 |
2,6 |
Total |
228 |
100 |
Sumber Data Primer, 2020
Dari hasil distribusi tabel 1 karakteristik responden menurut umur sebagian besar
responden berusia 22 � 24 tahun dengan jumlah
responden 113 responden
(49,6%).
b.
Jenis Kelamin Responden
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Remaja
Pengguna Media Sosial Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin |
n |
% |
Perempuan |
176 |
77,2 |
Laki � laki |
52 |
22,8 |
Total |
228 |
100 |
Sumber Data Primer, 2020
Berdasarkan hasil dari distribusi
tabel 2 karakteristik responden menurut jenis kelamin sebagian
besar responden berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 176 responden (77,2%).
c.
Suku Bangsa Responden
Tabel 3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
Suku Bangsa
Suku
Bangsa |
n |
% |
Jawa |
115 |
50,4 |
Sunda |
75 |
4,4 |
Betawi |
10 |
4,4 |
Bugis |
5 |
2,1 |
Batak |
2 |
0,8 |
Melayu |
3 |
1,3 |
Timor |
3 |
1,3 |
Lainnya |
15 |
6,5 |
Total |
228 |
100 |
Sumber Data Primer, 2020
Berdasarkan tabel 3 distribusi karakteristik responden berdasarkan suku bangsa sebagian besar adalah Jawa
dengan jumlah 115 responden (50,4%).
d.
Pekerjaan Orang Tua Responden
Tabel 4
Distribusi Frekuensi Orang Tua Berdasarkan
Pekerjaan
Pekerjaan |
n |
% |
PNS |
18 |
7,9 |
Wiraswata |
206 |
90,4 |
Tidak Bekerja |
4 |
1,8 |
Total |
228 |
100 |
Sumber
Data Primer, 2020
Berdasarkan tabel 4 distribusi karakteristik responden berdasarkan pekerjaan orang tua sebagian besar
adalah wiraswasta dengan jumlah 206 responden (90,4%).
e.
Tingkat Pendidikan Orang Tua Responden
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Orang Tua Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Pendidikan |
n |
% |
SD |
54 |
23,7 |
SMP |
38 |
16,7 |
SMA |
94 |
41,2 |
Perguruan Tinggi |
39 |
17,1 |
Tidak Tamat Sekolah |
3 |
1,3 |
Total |
228 |
100 |
Sumber Data Primer, 2020
Berdasarkan tabel 5 maka dapat
dilihat karakteristik responden tingkat pendidikan orang tua remaja pengguna media sosial sebagian besar adalah SMA dengan jumlah 94 responden (41,2%).
2. Perilaku Hate Speech
di Kalangan Remaja Pengguna Media Sosial
Tabel 6
Distribusi Frekuensi Responden Remaja
Pengguna Media Sosial Berdasarkan Tingkatan Kecenderungan Perilaku Hate Speech
Tingkatan
Kecenderungan Perilaku
Hate Speech |
n |
% |
Rendah |
107 |
46,9 |
Sedang |
81 |
�35,9 |
Tinggi |
40 |
17,5 |
Tinggi |
228 |
100 |
Sumber Data Primer, 2020
Berdasarkan tabel 6 maka dapat
dilihat presentasi dari remaja pengguna
media sosial sebagian besar memiliki tingkat kecenderungan berperilaku hate speech dengan kategori rendah dengan jumlah 107 responden (46,9%).
3.
Pola
Asuh Orang Tua Remaja Pengguna Media Sosial Yang Melakukan Hate Speech di Media
Sosial
Tabel
7
Distribusi
Frekuensi Berdasarkan Jenis Pola Asuh Orang Tua
Pola
Asuh��������������������� |
n |
% |
Otoriter |
121 |
53,1 |
Demokratis |
57 |
25 |
Permisif |
50 |
21,9 |
Total |
228 |
100 |
Sumber
Data Primer, 2020
Berdasarkan tabel 7 maka dapat
dilihat jenis pola asuh orang tua remaja pengguna
media sosial sebagian besar adalah otoriter
dengan jumlah 121 responden (53,1%).
4.
Hubungan
Perilaku Hate Speech Di Media Sosial Dengan Pola Asuh Orang Tua Di Kalangan
Remaja� Pengguna Media Sosial
Tabel 8
Hubungan Perilaku Hate Speech Di Media
Sosial Dengan Pola Asuh Orang Tua Di Kalangan Remaja� Pengguna Media Sosial
Pola Asuh Orang Tua�������������������������� �������������������������� |
|
Nilai |
|||||||
Kecenderungan |
Otoriter |
p |
Permisif� |
Total |
p |
||||
Perilaku Hate
Speech |
n����� |
% |
n |
% |
n |
% |
|
|
|
Rendah |
91��� |
18 |
8 |
7,4 |
8����� |
7,4 |
107 |
0,000 |
|
Sedang |
18 |
22,2 |
45 |
55,5�� |
18���� |
22,2��������� |
81 |
||
Tinggi�� |
12 |
30 |
�� 4����
�� |
10 |
24 |
60 |
40 |
||
Total |
121 |
53,1 |
57 |
25 |
50 |
21,9�� ����� |
228 |
|
|
Berdasarkan tabel 8 tingkat kecenderungan remaja berperilaku hate speech di media sosial
sebagian besar memiliki jenis pola asuh otoriter
sebanyak 121 responden
(53,1%), kemudian yang memiliki
jenis pola asuh demokratis sebanyak 57 responden (25%), dan
yang memiliki jenis pola asuh otoriter
sebanyak 50 responden
(21,9%). Hasil uji statistik menggunakan
uji Chi-Square dengan melihat
nilai Pearson Chi-Square didapatkan
p = 0,000 (p≤0,05) maka H0 = di tolak artinya terdapat
hubungan antara perilaku hate speech di media sosial
dengan pola asuh orang tua di kalangan remaja pengguna media sosial.
B.
Pembahasan
1.
Perilaku Hate Speech
di Kalangan Remaja Pengguna Media Sosial
Berdasarkan analisis data menunjukan responden dengan tingkat kecenderungan berperilaku hate speech kategori rendah sebanyak 107 responden (46,9%), tingkat kecenderungan hate speech kategori
sedang sebanyak 81 responden (35,9%), dan tingkat kecenderungan hate speech kategori
tinggi sebanyak 40 responden (17,5%). Jadi berdasarkan
dari hasil penelitian tersebut maka dapat dilihat
presentasi dari remaja pengguna media sosial sebagian besar memiliki tingkat kecenderungan berperilaku hate speech kategori rendah dengan jumlah
107 responden (46,9%).
Jika dilihat dari tingkatannya berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa responden sebagian besar memiliki tingkat kecenderungn berperilaku hate speech rendah sebanyak 107 responden (46,9%)
dan kategori hate speech tinggi
sebanyak 40 responden
(17,5%). Dilihat dari item kuesioner yang telah diisi oleh semua responden sebagian besar memilih item kuesioner dipoint tentang menghina suatu golongan dengan orientasi seksual yanag berbeda
dengan kelompok mayoritas, yakni menghina golongan homoseksual. Selain itu item yang banyak dipilih reponden yaitu pada bagian tentang aliran keagamaan yang menyimpang.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan (Cahyono, 2016) yang menyatakan bahwa deindividuasi berhubungan signifikan terhadap kecenderungan melakukan hate
speech. Hal ini berarti semakin mewahnya fasilitas teknologi komunikasi di dunia maya di abad
modern ini, ternyata tidak semakin mempermudah
orang untuk meraih kenyamanan dan keamanan dalam berkomunikasi. Berbagai dampak negatif pun bermunculan sebagai imbas dari
proses komunikasi yang terjadi
di media sosial online, diantaranya
yaitu kurangnya penghargaan terhadap sikap empati, simpati
dan toleransi yang berujung
kepada pengabaian terhadap nilai-nilai edukasi dan etika dalam berkomunikasi. Akibatnya dampak-dampak tersebut sangat berpengaruh bagi perkembangan komunikasi akademik mahasiswa dan pengembangan peradaban komunikasi di perguruan tinggi.
2.
Pola Asuh
Orang Tua Remaja Penguna Media Sosial Yang Melakukan Hate Speech Di Media Sosial
Berdasarkan analisis data menunjukan sebagian besar responden remaja pengguna media sosial memiliki jenis pola asuh otoriter
sebanyak 121 responden
(53,1%), kemudian yang memiliki
jenis pola asuh demokratis sebanyak 57 responden (25%), dan
yang memiliki jenis pola asuh permisif
sebanyak 50 responden
(21,9%).
Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Ni Putu Ayu, dkk (2016) tentang hubungan antara kecenderungan pola asuh otoriter dengan
gejala perilaku agresif pada remaja menunjukan bahwa adanya hubungan yang signifikan dan positif antara kecenderungan pola asuh otoriter
dengan gejala perilaku agresif pada remaja, yakni sebagian
besar remaja yang memiliki gejala berperilaku agresif memiliki pola asuh
otoriter.
Pola asuh terdiri dari beberapa
komponen, namun dalam kehidupan sehari-hari orang tua kadang menggunakan pola asuh yang variatif yang bersifat multidimensi. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi orang tua pada saat mendidik anak.
Misalnya orang tua yang demokrasi bisa saja menunjukkan emosinya, mengancam, memberi hukuman dan lain-lain.
Orang tua yang permisif bisa juga menunjukkan sikap restriktif, tidak memberi izin
atau membiarkan anaknya mengambil pilihan semaunya, demikian juga dengan orang tua yang otoriter kadang bisa jadi
lemah lembut, hangat, ramah, membolehkan menentukan pilihannya sendiri. Akan tetapi dengan pola
asuh yang multidimensi ini ada satu
kecenderungan kepada dimensi yang dominan, tergantung pada bagaimana anak atau tanggapan
anak melalui persepsinya berdasarkan pengalaman selama diasuh atau diperlakukan
oleh orang tuanya.
Pada beberapa kondisi sebenarnya orang tua perlu menerapkan
pola asuh yang sesuai dengan kondisi,
tidak selamanya orangtua harus menerapkan pola asuh secara otoriter,
demokratis atau permisif secara terus menerus dan monoton. Hal ini dapat mengakibatkan hal yang tidak diinginkan terhadap anak. Seperti beberapa
kasus yang terjadi pada anak yang yang suka membangkang atau melawan orang tua karena pola
asuh orang tua yang lebih cenderung lembek, membiarkan anak sesuai dengan
kemauannya, membebaskan anak tanpa kontrol,
sehingga pada saat itu pola asuh
otoriter harus diterapkan.
Selain itu banyak faktor
yang mempengaruhi pola asuh orang tua, diantaranya tingkat pendidikan pendidikan orang tua, keyakinan, dan pola asuh yang didapatkan orang tua. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang telah dilakukan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan orang tua responden adalah
SMA sebanyak 94 responden
(41,2%).
3.
Hubungan Perilaku Hate Speech Di Media Sosial
Dengan Pola Asuh Orang Tua Di Kalangan Remaja Pengguna Media Sosial
Berdasarkan analisis data menunjukan sebagian besar responden remaja pengguna media sosial yang memiliki kecenderungan berperilaku hate speech tingkat rendah memiliki jenis pola asuh
otoriter sebanyak 81 responden (85%), yang memiliki kecenderungan berperilaku hate
speech tingkat sedang memiliki jenis pola asuh demokratis
senyak 45 responden
(55,5%), yang memiliki kecenderungan
berperilaku hate speech tingkat
tinggi memiliki jenis pola asuh
permisif sebanyak 24 responden (60%).
Tetapi berdasarkan jumlah keseluruhan sebagian besar menunjukan bahwa pada remaja dengan kecenderungan melakukan perilaku hate speech jenis pola asuh
yang diterapkan sebagian besar adalah pola
asuh otoriter dengan jumlah 121 responden (53,1%).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut artinya ada hubungan antara
perilaku hate speech yang dilakukan
remaja di media sosial dengan pola asuh
remaja tersebut, dimana pola asuh
yang didapatkan akan menentukan bagaimana remaja tersebut berperilaku. Artinya peran orang tua sangat beerpengaruh terhadap pembentukan karakter anak tersebut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian (Ni putu Ayu (2016)) tentang hubungan antara kecenderungan pola asuh otoriter
dengan gejala perilaku agresif pada remaja menunjukan bahwa adanya hubungan
yang signifikan dan positif
antara kecenderungan pola asuh otoriter
dengan gejala perilaku agresif pada remaja, yakni sebagian
besar remaja yang memiliki gejala berperilaku agresif memiliki pol asuh otoriter. Pengasuhan otoriter yang orang tua terapkan dalam mengasuh anak seringkali
menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk
konsekuensi yang harus diterima oleh anak ketika melanggar aturan dan standar yang sudah diterapkan. Anak menganggap bahwa rumah adalah tempat
dimana anak harus patuh akan
standar orang tua, tempat dimana tidak
adanya kesempatan untuk mengutarakan pendapat, dan rumah merupakan tempat resiko hukuman sangat besar diperoleh
sehingga ketika berada di luar rumah lebih cenderung
memunculkan perilaku agresif (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).
Tipe pengasuhan yang menekankan otoritas, membatasi adanya kendala yang penuh terhadap kehidupan anak, tidak memberi peluang
anak untuk berdialog secara verbal, dan pemberian hukuman fisik maupun verbal sebagai bentuk pembelajaran atas kesalahan adalah pola pengasuhan otoritarian (otoriter). Pengasuhan secara otoriter yang membatasi anak dan memberikan hukuman berupa hukuman fisik ketika
tidak mampu memenuhi standar yang orang tua tetapkan akan
membuat anak marah dan kesal kepada orang tua tetapi tidak berani
mengungkapkan kemarahannya sehingga anak akan
melampiaskan kemarahannya tersebut di lingkungan luar (Sarwono & Meinarno, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa secara proporsi sebagian besar responden dengan kecenderungan berperilaku hate
speech dengan tingkatan tinggi memiliki pola asuh permisif
sebanyak 24 responden
(60%). Berdasarkan Jurnal Dinas Kesehatan Republik
Indonesia (2019) menjelaskan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkah laku beresiko yang sering dilakukan remaja adalah faktor predisposisi
lingkungan endogen seperti keadaan efektif mencari sensasi, agresifitas, perkembangan psikologis dan fisiologis yang tidak sinkron, kognisi pemicu perkembangan selama remaja, jenis kelamin,
efek hormon, internalisasi keterlibatan teman sebaya, dan harga diri yang rendah. Faktor lingkungan eksogen seperti faktor keluarga, kurangnya pengetahuan tentang konsekuensi tingkah laku, tingkah laku
teman sebaya, transisi sekolah, penyangkalan sosial dan tidak berespon terhadap lingkungan sekitar. Hal yang diungkapkan
oleh (Zulkarnain (2020)) bahwa salah satu factor yang mempengaruhi perilaku hate speech
adalah factor lingkungan, dimana lingkungan memberikan kesempatan untuk melakukan kejahatan dan lingkungan pergaulan yang memberi contoh dan teladan. Peneliti menambahkan jenis kelamin kedalam kuesioner dan sebagian besar reponden adalah perempuan. Sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan menunjukan bahwa reponden sebagian besar adalah remaja
perempuan sebanyak 176 responden (77,2%). Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian (Duggan & Benner (2013). �bahwa dampak buruk yang ditimbulkan dari penggunaan media sosial ini lebih banyak
menimpa perempuan karena kehidupannya banyak dipengaruhi oleh media sosial dan perempuan lebih aktif di media sosial dibanding laki-laki.
Kesimpulan
Penelitian ini mengidentifikasi
adanya hubungan perilaku hate speech di media sosial
dengan pola asuh orang tua di kalangan remaja pengguna media sosial dengan p value = 0.000. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa pola asuh
otoriter dapat membatasi kebebasan anak dan memberikan hukuman berupa hukuman fisik ketika
tidak mampu memenuhi standar yang orang tua tetapkan akan
membuat anak menjadi marah dan kesal kepada orang tua, tetapi tidak
berani mengungkapkan kemarahannya. Sehingga, anak akan melampiaskan
kemarahannya tersebut di lingkungan luar. Faktor lainnya yang mempengaruhi tingkah laku hate speech diantaranya adalah faktor predisposisi
lingkungan endogen seperti keadaan efektif mencari sensasi, agresifitas, perkembangan psikologis dan fisiologis yang tidak sinkron, kognisi pemicu perkembangan selama remaja, jenis kelamin,
efek hormon, internalisasi keterlibatan teman sebaya, dan harga diri yang rendah. Faktor lingkungan eksogen seperti faktor keluarga, kurangnya pengetahuan tentang konsekuensi tingkah laku, tingkah laku
teman sebaya, transisi sekolah, penyangkalan sosial dan tidak berespon terhadap lingkungan sekitar.
BIBLIOGRAFI
Akbar, Rusdi, Pilcher, Robyn Ann, & Perrin, Brian. (2015).
Implementing performance measurement systems. Qualitative Research in
Accounting & Management.
Astuti Firmaina (2019). Perilaku Hatespeech Pada Remaja
di media Sosial Instagram. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.
Bahri. (2019). Pola
Komunikasi OrangTua dan Anak dalam Keluarga (sebuahperspektif Pendidikan
Islam). Jakarta:
Rineka Cipta.
Briawan, Dodik,
& Herawati, Tin. (2008). Peran stimulasi orangtua terhadap perkembangan
anak balita keluarga miskin. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 1(1),
63�76.
Cahyono, Anang
Sugeng. (2016). Pengaruh media sosial terhadap perubahan sosial masyarakat di
Indonesia. Jurnal Publiciana, 9(1), 140�157.
Duggan M. Brenner
J. (2013). Report, The Demographics of Social Media Users 2012. Washington
DC: Pew
Internet & American Life Project.
Judhita, C.
(2017). Hate speech di Media Online: Kasus Pilkada Dki Jakarta 2017. Jakarta
Rakhmat,
Jalaludin. (2015). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Offset.
Manusia, Komisi
Nasional Hak Asasi. (2015). Buku Saku Penanganan Ujaran Kebencian (Hate
Speech). Jakarta: KOMNAS HAM.
Ni Putu Ayu
Resitha Dewi. (2016). Hubungan Antara Kecenderungan Pola Asuh Otoriter
(Authoritarian Parenting Style) dengan Gejala Perilaku Agresif Pada Remaja. Jurnal
Psikologi Udayana
Permono, Hendarti.
(2013). Peran orangtua dalam optimalisasi tumbuh kembang anak untuk
membangun karakter anak usia dini.
Sarwono, Sarlito
W., & Meinarno, Eko A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta:
Salemba Humanika, 77.
Taylor, S. E.,
Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Social Psychology (Terjemahan:
Tri Wibowo). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
World Health Organization
(WHO). (2014). .https://www.who.int/maternal_child_adolescent/topics/adolescence/development/en/
� Diakses Desember 2019.
Zulkarnain (2020). Ujaran Kebencian (Hate Speech) Di
Masyarakat Dalam Kajian Theologi. Studia Sosia Religia. Volume 3 Nomor 1,
Januari-Juni 2020 E-ISSN;2622-2019 http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ssr