Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

� e-ISSN: 2548-1398

�Vol. 6, No.1, Januari 2021

�

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA TERHADAP PELAKU PIDANA YANG MENGALAMNI GANGGUAN JIWA

 

Triandy Gunawan, Tifany Kartika Octafian, Chezaria Crescendo Vionita, Siswoko Andianto dan Dennia Gracia Angelica

Universitas Narotama Surabaya Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected] dan [email protected]

 

 

Abstract

This jurnal aims to analyze the process of evidencing and examination criminal case done by defendant who suffered mental disorder and to determine who has the authority to examine, evidencing and produce verdict judgement. The type of this research is normative legal research with case and legislation approach. This study concludes that process of evidencing and examination of criminal case involving defendant who suffered mental disorder is not far different than the process of common criminal prosecution with the only exception of requirement of expert witness to observe and give� expert statement as comprehensive method legal test for insanity to verify that an accused lacks of the necessary capacitites and thus can�t be held to account for his or her actions in the context of criminal trial and conviction

 

Keywords: Insanity; Criminal Liability

 

Abstrak

Jurnal ini bertujuan untuk menganalisa tentang proses pembuktian pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana yang mengalami gangguan kejiwaan dan untuk mengetahui siapakah yang berwenang untuk memeriksa, membuktikan dan memutus perkara pidana. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normative dengan metode pendekatan kasus dan pendekatan Perundang � undangan. Dari hasil ini disimpulkan bawa pembuktian dan pemeriksaan perkara pidana terhadap pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan tidak jauh berbeda dengan penanganan perkara pidana pada umumnya, namun ada kekhususan dimana pemeriksan kondisi kejiwaan dan kemampuan bertanggung jawab pelaku pidana perlu memerlukan pemeriksaan dari ahli untuk mengobservasi dan memberi keterangan ahli dalam menentukan pengambilan keputusan tentang pemidanaan dan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana.

 

Kata kunci: Gangguan Jiwa; Pertanggungjawaban Pidana;

Coresponden Author

Email: [email protected]

Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi

Pendahuluan

Pidana dan pemidanaan dari dulu selalu mendapatkan perhatian dikarenakan hukum pidana berfungsi untuk mewujudkan ketertiban umum. Hukum pidana dalam perkembangannya selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan manusia, oleh karenanya selaras dengan pendapat van Bemmelan dan van Hattum yang menyatakan bahwa hukum pidana saat ini telah mencapai suatu tahap tertentu di dalam sejarah perkembangannya, meskipun titik akhirnya itu jelas belum tercapai (Bemmelen & van Hattum, 1953). Hukum pidana dimaksudkan sebagai hukuman terhadap seseorang yang melanggar kepentingan hukum. Mengenai maksud dan tujuan dibentuknya hukum pidana terdapat dua sekolah yaitu sekolah klasikal dan sekolah modern. Atas dasar mazhab klasik, pembentukan hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan seseorang dari pengaruh kekuasaan negara, sebaliknya, mazhab modern mengajarkan bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menghapuskan kejahatan dan melindungi masyarakat (Dewi, 2019).

Salah satu aspek dalam hukum pidana yang sangat sering dibahas adalah menengenai kesalahan dan pertanggung jawaban pidana. Hal ini karena aspek tentang kesalahan dan pertanggungjawaban pidana masih memiliki permasalahan baik dalam bidang teoritis, maupun dalam praktik hukum. Salah satu bukti bahwa adanya permasalahan dalam hukum pidana tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana adalah adanya ketidak konsistensian atau perbedaan pola dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

Terdapat beberapa peristiwa pidana yang diduga dilakukan oleh seseorang yang gila atau cacat mental. Diantaranya yaitu kasus pembunuhan keluarga polisi oleh Petrus Bakus dan kasus seorang wanita mengendong seekor anjing yang kemudian masuk ke dalam Masjid di Bogor dan melepaskan anjingnya di dalam area masjid. Perkara tersebut kemudian diproses secara pidana hingga sampai pada tingkat peradilan, kemudian dalam putusan terdakwa dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan penodaan agama, akan tetapi kondisi terdakwa mengidap penyakit jiwa yakni skizofrenia sehingga tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut (Ali, 2021).

Alasan dari proses pemidanaan bagi orang yang diduga gila menjadi sangat menyedot perhatian publik adalah selain dari perbuatannya pidananya yang biasanya dipandang publik sangat mengganggu ketertiban umum, misalkan pembunuhan orang-orang yang berpengaruh, juga adanya sorotan bahwa para pelaku kejahatan tersebut diduga pura-pura sakit, atau juga dikenal dengan modus malingering yaitu suatu modus yang sedemikian rupa dipakai sebagai cara terdakwa untuk menghindari tanggung jawab pidana. Malingering adalah istilah dari kedokteran yang artinya seseorang berpura-pura sakit dengan tujuan menghindari tanggung jawab pemidanaan (Ozora et al., 2020).

Pengaturan-pengaturan tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana dalam berbagai Undang-Undang, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) maupun dalam peraturan perundang undangan lainnya tidak banyak yang memberikan porsi yang cukup tentang pemidanaan bagi orang gila. Masalah pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana dalam KUH Pidana sangat berhubungan dengan alasan-alasan penghapus pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUH Pidana dan juga dapat ditemukan dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya sebatas membahas perlunya menemukan kesalahan untuk dapat mempertanggungjawabkan pidana.

Hukum pidana Indonesia mengenal suatu asas yaitu untuk seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, harus ada mens rea. Adapun mens rea adalah guilty of mind atau vicious will. Hal ini kemudian dikenal dengan ajaran dualistis yang membedakan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pola penentuan bagaimana pertanggungjawaban pidana dan dihubungkan dengan pemidanaan terhadap orang gila, dapat ditemukan dengan melakukan pendalaman tidak hanya terhadap hukum materiil, tetapi juga pada hukum pidana formil, karena hal tersebut selalu dikaitkan dalam praktik hukum beracara (Eddy OS, 2016).

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai tentang apa pembuktian tindak pidana bagi orang yang mengalami gangguan kejiwaan berupa gila. Adapun tujuan dari penulis untuk mengkaji dan membuat penelitian ini adalah untuk �mengetahui dan melakukan analisis terhadap pembuktian tindak pidana bagi orang yang mengalami gangguan kejiwaan berupa gila.

 

Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (legal research) yang mencoba menemukan dan mengidentifikasi masalah hukum yang sedang terjadi dan kemudian melakukan kajian, analisa masalah, dan pada akhirnya menggali, mempelajari adakah aturan hukum sesuai norma hukum yang dapat digunakan untuk memberikan pemecahan atas masalah tersebut dan berkoherensi dengan prinsip-prinsip kebenaran hukum yang sesuai dengan cita-cita hidup masyarakat.

Penulis menggunakan sumber data utama dan data penolong yang data utamanya bersumber dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Pidana Nomor 73 Tahun 1958 yang mengatur tentang diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945. 1946. Peraturan perundang-undangan di seluruh wilayah Republik Indonesia, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 465 / Pid.B / 2019 / PN Cbi tanggal 5 Februari 2020. Putusan Mahkamah Agung Nomor 456 K / PID / 2020 tanggal 16 Juni 2020 dan Putusan Pengadilan Negeri Xintang Nomor 135 / Pid.B / 2016 / PN.Stg tanggal 1 Desember 2016. Pada tanggal 8 Februari 2017, Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat No. 7 / PID / 2017 / Putusan No. 377 K / PID / 2017 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung PT KALBAR pada tanggal 5 Juli 2017. Data sekunder adalah bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian dan menjelaskan bahan hukum pokok yang dapat berasal dari penelitian, jurnal, buku hukum atau artikel penelitian yang mengandung pertanggungjawaban pidana kepada masyarakat. Bentuk psikosis yang gila.

 

 

Hasil dan Pembahasan

Apabila pelaku tindak pidana diduga memiliki gangguan kejiwaan, maka dokter ahli jiwa (psikiater) harus dilibatkan sejak awal pemeriksaan di kepolisian guna menentukan kondisi jiwa pelaku. Kondisi kejiwaan pelaku dapat diketahui melalui observasi klinis kejiwaan biasanya untuk jangka waktu 14 (empat belas) hari, ataupun lebih tergantung dengan lamanya masa penahanan dan tanpa pemberian obat. Observasi itu berguna untuk menentukan apakah pelaku tersebut mengalami sakit jiwa atau sehat serta hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Hasil dari obervasi itu biasanya berbentuk Surat autentik dikenal dengan Visum Et Repertum Psychiatricum (VeRP) yang digunakan sebagai alat bukti pengadilan (Irawati, 2016).

Istilah psikiatri forensik merupakan istilah yang umum digunakan dan merupakan terjemahan dari forensic psychiatry. Istilah psikiatri forensik sering diartikan sebagai gabungan dua cabang keilmuan, yaitu ilmu psikiatri dan ilmu forensik. Psikiatri forensik adalah bagian spesialisasi ilmu kedokteran untuk mentelaah keadaan kejiwaan atau psikologi seseorang yang berfungsi membantu hukum dan peradilan. Kedokteran forensik merupakan ilmu yang berkaitan dengan ilmu hukum dan ilmu kedokteran. Perbedaan antara ilmu forensik dan ilmu hukum kedokteran yaitu ilmu forensik berfungsi membantu ilmu hukum dan peradilan secara aktif, sedangkan ilmu kedokteran merupaan obyek pasif dari telaah ilmu hukum (Westheimer & Taguchi, 1971).

Psikiatri forensik selama ini hanya terpaku untuk meneliti dan menyimpulkan apakah seseorang memiliki gangguan jiwa atau tidak. Diperlukan perkembangan yang �bersifat lebih maju agar dapat menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat yang pada umumnya didasari oleh dua pandangan yaitu pandangan yang realisitis bahwa diperlukan penerapan hukum yang adil sesuai dengan kondisi kejiwaan seorang terdakwa yang memiliki gangguan jiwa namun sebaliknya terdapat pandangan oportunistik bahwa seseorang yang dinyatakan memiliki gangguan jiwa, akan mendapatkan keringanan hukuman atau bahkan menghindari pertanggung jawaban pidana atau di pengadilan dibandingkan apabila kejiwaannya dinyatakan sehat (Zimmerman, 1966).

Dasar hukum mengenai VeRP diatur pada Staaatsblad 350 tahun 1937 yaitu:

Visa Reperta dari dokter-dokter, yang dibuat diatas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia atau atas sumpah khusus, sebagai dimaksud Pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter-dokter pada benda yang diperiksa.

Penjelasan tentang VeRP juga dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat (3) �Peraturan Menteri Kesehatan RI 1993 / Kdj / U / 1970 tentang Perawatan Penderita Jiwa�, repertum Psikiatri bersifat pidana / perdata. perkara Kesaksian tertulis, atas permintaan hakim ketua sidang dan mengingat sumpah dokter� (Price, 1965).

Terdapat dua jenis keterangan ahli, yaitu secara lisan yang disampaikan ahli pada persidangan di pengadilan dan keterangan tertulis disebut Visum et Repertum. Visum et Repertum adalah hasil obeservasi yang dilakukan oleh dokter untuk dijadikan sebagai alat bukti kepentingan persidangan. Visum et Repertum dibuat sesuai hasil observasi penglihatan medis terhadap obyek (orang) yang diperiksa. Hasil tersebut kemudian dibuat dalam bentuk laporan, yang dikenal dengan istilah Visum et Repertum yaitu penglihatan dan laporan. Visum et Repertum sesungguhnya merupakan hasil penglihatan dan penjelasan dari obyek yaitu manusia. Visum et Repertum merupakan gabungan antara fakta dengan pendapat. Visum et Repertum untuk bidang pisikiatri disebut Visum et Repertum Psychiactricum (Corey & Venkateswarlu, 1972).

Salah satu kendala yang dihadapi dokter psikiater dalam menjalankan tugasnya, adalah dokter psikiater seringkali harus berhadapan dengan profesi lain yang tentunya memiliki perbedaan bahasa dan pola kerja, sehingga sering terjadi missinterpretasi dengan profesi lainnya. Psikiatri forensik ditujukan untuk membantu menjembatani komunikasi antara dokter dan penegak hukum. Hal tersebut agar keterangan dan informasi kondisi kejiwaan seorang terdakwa dapat dipahami oleh hakim secara baik dan benar serta dapat dimanfaatkan secara tepat. Seorang yang memiliki gangguan jiwa diharapkan bisa mendapatkan perlakuan dan vonis yang adil saat dihadapkan dimuka� peradilan. Vonis hakim juga tetap harus menjunjung nilai � nilai honesty and striving for objectivity (Zimmerman, 1966).

Visum et Repertum disusun berdasarkan pendapat dokter dari segi medis sehinga tidak selalu eksak atau pasti, namun juga terdapat peluang atau kemungkinan � kemungkinan maka dari itu tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Kepastian hukum sepenuhnya tergantung hakim yang memeriksa dan menjatuhkan putusan peradilan, sedangkan Visum et Repertum hanyalah keterangan ahli sebagai bukti tertulis yang merupakan sumber informasi penting untuk dasar hakim menjatuhkan putusan.

Pihak yang berhak meminta Visum et Repertum Psychiatricum adalah penegak hukum yaitu termasuk kepolisian, jaksa dan hakim dan yang bersangkutan (diantaranya pelaku, korban, atau walinya). Sesuai dengan ketentuan dalam SK Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 / Menkeas/ SK/II/1986 tentang Pedoman VeRP, orang � orang yang berhak meminta keterangan VeRP secara tertulis adalah :

1.      Penyidik (berdasarkan Pasal 120 KUHAP);

2.      Penuntut umum dalam hal tindak pidana khusus (berdasarkan Pasal 120, 284 KUHAP);

3.      Hakim pengadilan (berdasarkan Pasal 180 ayat (1) KUHAP);

4.      Tersangka atau terdakwa melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses pemeriksaan (berdasarkan Pasal 180 ayat (1), (2), (3) dan (4));

5.      tersangka atau Korban melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses pemeriksaan (berdasarkan Pasal 65 KUHAP); dan

6.      Penasihat hukum atau pengacara melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses pemeriksaan (berdasarkan Pasal 80 ayat (1), dan (2) KUHAP) (Brown et al., 1973).

Visum et Repertum Psychiatricum memiliki bentuk standard yang pasti sesuai dengan pedoman pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan. VeRP merupakan dokumen hukum, untuk itu ditulis seperti layaknya produk hukum lainnya. Oleh karena ini bukan produk kedokteran medis melainkan merupakan produk hukum, tata bahasa kedokterannya haruslah di sesuaikan menjadi bahasa umum atau bahasa sehari � hari agar lebih mudah dimengerti oleh ahli hukum.

Bagian yang terpenting dalam VeRP adalah bagian kesimpulan dimana biasanya dibahas mengenai bagaimanakah keadaan mental terperiksa dan bagaimanakah kemampuan bertanggung jawab dari terperiksa, dapatkah seseorang diajukan sebagai saksi dalam sidang pengadilan atau apakah terperiksa cakap atau kompeten untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang memiliki konsekuensi hukum. Hasil dari kesimpulan pemeriksan selalu harus ada, namun kadang masih dimungkinkan tidak dapat ditarik suatu kesimpulan karena kondisi terperiksa yang tidak tetap (permanen) (Corey & Venkateswarlu, 1972).

Dokter psikiater yang menyusun VeRP akan mengadakan observasi terhadap seorang yang perlu diperiksa, dan hasil VeRP tersebut memberikan kesimpulan dan �menentukan :

1.    Ada atau tidaknya penyakit kejiwaan pada terperiksa;

2.    Ada atau tidaknya hubungan kausalitas diantara penyakit kejiwaan dengan perbuataan tindak pidana;

3.    Keadaan dan kemampuan bertanggung jawab terperiksa (Kornau et al., 1995).

Dalam proses peninjauan tindakan ilegal, ada pepatah terkenal bahwa testis tidak berdokumen, yang berarti bahwa satu alat bukti saja tidak cukup untuk membuktikan kejahatan dan kesalahan terdakwa. Bukti yang diperoleh melalui psikiatri forensik dimasukkan dalam surat atau bukti yang disampaikan oleh ahli, tergantung cara penyajiannya. Pasal 183 KUHAP melarang hakim untuk menjatuhkan hukuman kepada seseorang tanpa didasari oleh dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim terhadap terdakwa. Setelah mendengar dan menganalisa bukti dan keterangan saksi di persidangan, hakim bebas menentukan nilai atau nilai barang bukti dan alat bukti tersebut, termasuk keterangan ahli termasuk psikiater, dan surat atau keterangan VRERP sebagai alat bukti yang benar. Unsur subyektivitas dan tingginya kebebasan hakim (Judicial Independence), dapat menyebabkan VeRP maupun keterangan ahli psikiatri tidak dinilai secara maksimal. Pada akhirnya Hakim memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan seorang terdakwa bersalah dan dapat dimintai pertanggung jawaban pidana (Aoyama et al., 1988).

Hakim dalam memutus perkara tidak hanya harus menggunakan keterangan ahli psikiatri melainkan hakim juga memiliki kebebasan termasuk tidak terbatas meminta keterangan dari rumah sakit, dokter perawat terdakwa (apabila terdakwa memiliki rekam jejak perawatan oleh seorang dokter), maupun dari tetangga di lingkungan terdakwa tanggal. Tentunya bobot penilaian dari masing-masing keterangan saksi tersebut mutlak adalah wewenang hakim.

 

Kesimpulan

Saat ini tidak Semua perkara yang pelakunya diduga memiliki gangguan kejiwaan dimintakan saksi ahli dokter pisikiatri, Semua ini tergantung dari pengalaman dan preferensi para penegak hukum yang menangani kasus pidana tersebut, menyebabkan timbulnya standard ganda dalam penanganan perkara yang melibatkan terdakwa yang gila. Bagian terpenting dalam VeRP adalah kesimpulan yang membantu penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan khususnya hakim untuk meneliti dan memutus perkara pidana tersebut dengan mengacu pada setidaknya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Sayangnya VeRP sendiri formatnya tidak standard dan akibatnya sering menimbulkan multitafsir diantara penegak hukum. Selain menggunakan keterangan saksi ahli dokter psikiatri yang didengar dan diminta menuangkan Analisanya terkait kondisi kejiwaan terdakwa dalam bentuk tertulis VeRP, Hakim pengadilan dapat juga menggunakan keterangan dari Rumah sakit jiwa, Kepala Rumah Sakit Jiwa, maupun dari dokter perawat terdakwa untuk menggali kondisi kejiwaan dan hubungan kausalitas antara kondisi kejiwaan dan perbuatan pidananya untuk menentukan apakah terdakwa sehat atau sakit jiwa, sehingga dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Bahwa kendala utama seorang dokter psikiater, adalah perbedaan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mana berakibat timbulnya multitafsir dalam penggunaaan Bahasa yang digunakan dokter psikiater dengan profesi lain. Seorang yang memiliki gangguan jiwa tetap harus diproses pidana, baik dari tahap penyidikan dan penuntutan di Pengadilan. Bahwa seorang penyidik maupun penuntut umum tidak boleh menghentikan perkara pidana yang tersangkanya diduga gila, karena keadaan jiwa yang sakit bukan merupakan alasan penghentian penyidikan. Adapun jika dalam penyidikan, terdakwa susah dimintai keterangan, maka penyidik dapat menggunakan keterangan dan alat bukti lainnya. Penyidik juga dapat meminta keterangan saksi ahli psikiatri yang dituangkan dalam bentuk VeRP untuk mengetahui tentang keadaan kondisi kejiwaan dan hubungannya dengan perbuatan pidana untuk menjadi bukti petunjuk bagi hakim Pengadilan dalam mengadili perkara tersebut. Apabila dalam proses pembuktian dan penelitian perkara di Pengadilan terdakwa atau kuasa hukumnya dapat membuktikan bahwa terdakwa memiliki gangguan jiwa, sehingga dalam proses pembuat pidana tidak dapat menginsyafi perbuatannya, maka hakim akan memutuskan bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya dikarenakan kondisi jiwanya memili gangguan baik gangguan dalam pertumbuhannya atau gangguan karena penyakit.

BIBLIOGRAFI

 

Ali, C. R. (2021). Penegakan Hukum Terhadap Penipuan Investasi Dengan Menerapkan Skema Ponzi Menurut Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam: Studi Kasus Di Reserse Kriminal Khusus Polisi Daerah Jawa Timur, Surabaya. Uin Sunan Ampel Surabaya.

 

Aoyama, Y., Tanaka, Y., Toi, H., & Ogoshi, H. (1988). Polar Host-Guest Interaction. Binding Of Nonionic Polar Compounds With A Resorcinol-Aldehyde Cyclooligomer As A Lipophilic Polar Host. Journal Of The American Chemical Society, 110(2), 634�635.

 

Bemmelen, J. M., & Van Hattum, W. C. F. (1953). Hand-En Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht. Martinus Nijhoff.

 

Brown, H. C., Hamaoka, T., & Ravindran, N. (1973). Stereospecific Conversion Of Alkenylboronic Acids Into Alkenyl Bromides With Inversion Of Configuration. Striking Differences In The Stereochemistry Of The Replacement Of The Boronic Acid Substituent By Bromine And Iodine And Its Significance In Terms Of The Reaction Mechanism. Journal Of The American Chemical Society, 95(19), 6456�6457.

 

Corey, E. J., & Venkateswarlu, A. (1972). Protection Of Hydroxyl Groups As Tert-Butyldimethylsilyl Derivatives. Journal Of The American Chemical Society, 94(17), 6190�6191.

 

Dewi, A. M. (2019). Wanprestasi Pada Penjanjian Utang Piutang Dalam Perspektif Hukum Perikatan Islam (Studi Kasus Panglong Kayu Di Desa Sritejokencono Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah). Iain Metro.

 

Eddy Os, H. (2016). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Cahaya Atma Pustaka.

 

Irawati, D. (2016). Rekonstruksi Pasal 44 Kuhp Dan Verp Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Prioris, 2(2), 84�105.

 

Kornau, H.-C., Schenker, L. T., Kennedy, M. B., & Seeburg, P. H. (1995). Domain Interaction Between Nmda Receptor Subunits And The Postsynaptic Density Protein Psd-95. Science, 269(5231), 1737�1740.

 

Ozora, N., Turatmiyah, S., & Afrilia, D. (2020). Analisis Hukum Batas Umur Untuk Melangsungkan Perkawinan Dalam Perspektif Uu No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sriwijaya University.

 

Price, D. J. D. S. (1965). Networks Of Scientific Papers. Science, 510�515.

 

Westheimer, F. H., & Taguchi, K. (1971). Catalysis By Molecular Sieves In The Preparation Of Ketimines And Enamines. The Journal Of Organic Chemistry, 36(11), 1570�1572.

 

Zimmerman, H. E. (1966). On Molecular Orbital Correlation Diagrams, The Occurrence Of M�bius Systems In Cyclization Reactions, And Factors Controlling Ground-And Excited-State Reactions. I. Journal Of The American Chemical Society, 88(7), 1564�1565.