Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849
� e-ISSN: 2548-1398
�Vol. 6, No.1, Januari 2021
�
TINJAUAN
YURIDIS PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA TERHADAP
PELAKU PIDANA YANG MENGALAMNI GANGGUAN JIWA
Triandy Gunawan, Tifany Kartika Octafian,
Chezaria Crescendo Vionita, Siswoko Andianto dan
Dennia Gracia Angelica
Universitas
Narotama Surabaya Jawa
Timur, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected], [email protected], [email protected] dan
[email protected]
Abstract
This jurnal aims to analyze the process of evidencing and
examination criminal case done by defendant who suffered mental disorder and to
determine who has the authority to examine, evidencing and produce verdict
judgement. The type of this research is normative legal research with case and
legislation approach. This study concludes that process of evidencing and
examination of criminal case involving defendant who suffered mental disorder
is not far different than the process of common criminal prosecution with the
only exception of requirement of expert witness to observe and give� expert statement as comprehensive method
legal test for insanity to verify that an accused lacks of the necessary capacitites and thus can�t be held to account for his or
her actions in the context of criminal trial and conviction
Keywords: Insanity; Criminal Liability
Abstrak
Jurnal ini bertujuan untuk menganalisa tentang proses
pembuktian pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana yang
mengalami gangguan kejiwaan dan untuk mengetahui siapakah yang berwenang untuk memeriksa,
membuktikan dan memutus perkara pidana. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normative dengan metode pendekatan kasus dan pendekatan Perundang � undangan. Dari hasil ini disimpulkan bawa pembuktian dan pemeriksaan perkara pidana terhadap pelaku yang diduga mengalami gangguan kejiwaan tidak jauh berbeda dengan
penanganan perkara pidana pada umumnya, namun ada kekhususan
dimana pemeriksan kondisi kejiwaan dan kemampuan bertanggung jawab pelaku pidana
perlu memerlukan pemeriksaan dari ahli untuk mengobservasi
dan memberi keterangan ahli dalam menentukan
pengambilan keputusan tentang pemidanaan dan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana.
Kata kunci: Gangguan Jiwa; Pertanggungjawaban Pidana;
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka
dibawah lisensi
Pendahuluan
Pidana dan pemidanaan dari dulu selalu mendapatkan
perhatian dikarenakan hukum pidana berfungsi
untuk mewujudkan ketertiban umum. Hukum pidana dalam perkembangannya
selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan manusia, oleh karenanya selaras dengan pendapat van Bemmelan dan van Hattum yang menyatakan bahwa hukum pidana
saat ini telah mencapai suatu tahap tertentu
di dalam sejarah perkembangannya, meskipun titik akhirnya itu jelas belum
tercapai (Bemmelen & van Hattum, 1953). Hukum pidana
dimaksudkan sebagai hukuman
terhadap seseorang yang melanggar kepentingan hukum. Mengenai maksud dan tujuan dibentuknya hukum pidana terdapat dua sekolah yaitu
sekolah klasikal dan sekolah modern. Atas dasar mazhab klasik, pembentukan hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan seseorang dari pengaruh kekuasaan
negara, sebaliknya, mazhab
modern mengajarkan bahwa tujuan hukum pidana
adalah untuk menghapuskan kejahatan dan melindungi masyarakat (Dewi, 2019).
Salah
satu aspek dalam hukum pidana
yang sangat sering dibahas adalah menengenai kesalahan dan pertanggung jawaban pidana. Hal ini karena aspek
tentang kesalahan dan pertanggungjawaban pidana masih memiliki permasalahan baik dalam bidang teoritis,
maupun dalam praktik hukum. Salah satu bukti bahwa
adanya permasalahan dalam hukum pidana
tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana adalah adanya
ketidak konsistensian atau perbedaan pola dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Terdapat beberapa peristiwa
pidana yang diduga
dilakukan oleh seseorang yang gila
atau cacat mental. Diantaranya yaitu kasus pembunuhan keluarga
polisi oleh Petrus Bakus
dan kasus seorang wanita mengendong seekor anjing yang kemudian
masuk ke dalam Masjid di Bogor dan melepaskan
anjingnya di dalam area
masjid. Perkara tersebut kemudian diproses secara pidana hingga
sampai pada tingkat peradilan, kemudian dalam putusan terdakwa
dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan penodaan agama, akan tetapi kondisi
terdakwa mengidap penyakit jiwa yakni
skizofrenia sehingga tidak dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya tersebut (Ali, 2021).
Alasan
dari proses pemidanaan bagi orang yang diduga gila menjadi sangat menyedot perhatian publik adalah selain
dari perbuatannya pidananya yang biasanya dipandang publik sangat mengganggu ketertiban umum, misalkan pembunuhan orang-orang yang berpengaruh,
juga adanya sorotan bahwa para pelaku kejahatan tersebut diduga pura-pura sakit, atau juga dikenal dengan modus malingering yaitu suatu modus yang sedemikian rupa dipakai sebagai cara terdakwa untuk
menghindari tanggung jawab pidana. Malingering adalah istilah dari kedokteran yang artinya seseorang berpura-pura sakit dengan tujuan menghindari
tanggung jawab pemidanaan (Ozora et al., 2020).
Pengaturan-pengaturan
tentang kesalahan dan pertanggung jawaban pidana dalam berbagai
Undang-Undang, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) maupun dalam peraturan
perundang undangan lainnya tidak banyak
yang memberikan porsi yang cukup tentang pemidanaan
bagi orang gila. Masalah pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana dalam KUH Pidana sangat berhubungan dengan alasan-alasan penghapus pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUH Pidana dan juga dapat ditemukan dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 8 Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman hanya sebatas membahas
perlunya menemukan kesalahan untuk dapat mempertanggungjawabkan pidana.
Hukum
pidana Indonesia mengenal suatu asas yaitu
untuk seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, harus ada
mens rea. Adapun mens
rea adalah guilty
of mind atau vicious
will. Hal ini kemudian dikenal dengan ajaran dualistis yang membedakan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pola penentuan bagaimana pertanggungjawaban pidana dan
dihubungkan dengan pemidanaan terhadap orang gila, dapat ditemukan dengan
melakukan pendalaman tidak hanya terhadap hukum materiil, tetapi juga pada
hukum pidana formil, karena hal tersebut selalu dikaitkan dalam praktik hukum
beracara (Eddy OS, 2016).
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai tentang apa pembuktian tindak pidana bagi
orang yang mengalami gangguan
kejiwaan berupa gila. Adapun tujuan dari penulis untuk
mengkaji dan membuat penelitian ini adalah untuk �mengetahui dan melakukan analisis terhadap
pembuktian tindak pidana bagi orang yang mengalami gangguan kejiwaan berupa
gila.
Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (legal
research) yang mencoba menemukan
dan mengidentifikasi masalah
hukum yang sedang terjadi dan kemudian melakukan kajian, analisa masalah, dan pada akhirnya menggali, mempelajari adakah aturan hukum sesuai
norma hukum yang dapat digunakan untuk memberikan pemecahan atas masalah tersebut dan berkoherensi dengan prinsip-prinsip kebenaran hukum yang sesuai dengan cita-cita hidup masyarakat.
Hasil
dan Pembahasan
Apabila pelaku tindak pidana diduga memiliki gangguan
kejiwaan, maka dokter ahli jiwa (psikiater) harus dilibatkan sejak awal
pemeriksaan di kepolisian guna menentukan kondisi jiwa pelaku. Kondisi kejiwaan
pelaku dapat diketahui melalui observasi klinis kejiwaan biasanya untuk jangka
waktu 14 (empat belas) hari, ataupun lebih tergantung dengan lamanya masa
penahanan dan tanpa pemberian obat. Observasi itu berguna
untuk
menentukan apakah pelaku tersebut mengalami
sakit jiwa atau sehat
serta hasilnya dapat dipertanggung jawabkan. Hasil
dari obervasi itu biasanya berbentuk
Surat autentik dikenal dengan Visum Et Repertum Psychiatricum (VeRP) yang digunakan sebagai
alat bukti pengadilan (Irawati, 2016).
Istilah
psikiatri forensik merupakan istilah yang umum
digunakan dan
merupakan terjemahan
dari forensic
psychiatry. Istilah psikiatri forensik
sering diartikan sebagai gabungan dua cabang keilmuan,
yaitu ilmu psikiatri dan ilmu forensik.
Psikiatri forensik adalah
bagian spesialisasi
ilmu kedokteran untuk mentelaah
keadaan kejiwaan atau psikologi seseorang yang berfungsi
membantu hukum dan peradilan. Kedokteran forensik merupakan ilmu yang berkaitan dengan ilmu
hukum dan ilmu kedokteran. Perbedaan antara ilmu forensik dan ilmu hukum kedokteran
yaitu ilmu forensik berfungsi membantu ilmu hukum dan peradilan secara aktif,
sedangkan ilmu kedokteran merupaan obyek pasif dari telaah ilmu hukum
(Westheimer & Taguchi, 1971).
Psikiatri forensik selama ini hanya terpaku untuk meneliti
dan menyimpulkan apakah seseorang memiliki
gangguan jiwa atau tidak. Diperlukan perkembangan yang �bersifat lebih maju agar dapat menumbuhkan
kesadaran hukum masyarakat yang pada umumnya didasari oleh dua pandangan yaitu pandangan
yang realisitis bahwa diperlukan penerapan hukum yang adil sesuai dengan
kondisi kejiwaan seorang terdakwa yang memiliki gangguan jiwa namun sebaliknya terdapat
pandangan oportunistik bahwa seseorang yang dinyatakan memiliki gangguan jiwa,
akan mendapatkan keringanan hukuman atau bahkan menghindari pertanggung jawaban
pidana atau di pengadilan dibandingkan apabila kejiwaannya dinyatakan sehat
(Zimmerman, 1966).
Dasar
hukum mengenai VeRP
diatur pada Staaatsblad
350 tahun 1937 yaitu:
Visa Reperta dari dokter-dokter, yang dibuat diatas sumpah jabatan yang
diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau
di Indonesia atau atas sumpah khusus, sebagai dimaksud Pasal 2, mempunyai daya
bukti dalam perkara-perkara pidana, sejauh itu
mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter-dokter pada benda yang diperiksa.
Penjelasan
tentang VeRP juga dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat (3) �Peraturan Menteri Kesehatan RI 1993 / Kdj
/ U / 1970 tentang Perawatan
Penderita Jiwa�, repertum Psikiatri bersifat pidana / perdata. perkara Kesaksian tertulis, atas permintaan hakim ketua sidang dan mengingat sumpah dokter� (Price, 1965).
Terdapat dua
jenis keterangan ahli, yaitu secara lisan
yang disampaikan ahli pada persidangan di pengadilan
dan keterangan tertulis disebut
Visum et Repertum. Visum et Repertum adalah hasil obeservasi
yang dilakukan oleh dokter untuk
dijadikan sebagai alat bukti kepentingan persidangan. Visum et Repertum dibuat sesuai
hasil observasi penglihatan
medis terhadap obyek (orang) yang diperiksa. Hasil tersebut kemudian dibuat
dalam bentuk laporan, yang dikenal
dengan istilah Visum et Repertum yaitu penglihatan dan laporan. Visum et Repertum sesungguhnya merupakan hasil penglihatan dan penjelasan dari obyek yaitu manusia.
Visum et Repertum merupakan gabungan antara fakta
dengan pendapat. Visum et Repertum untuk bidang pisikiatri
disebut Visum et Repertum Psychiactricum (Corey & Venkateswarlu, 1972).
Salah satu kendala yang dihadapi dokter
psikiater dalam menjalankan tugasnya, adalah dokter psikiater seringkali harus
berhadapan dengan profesi lain yang tentunya memiliki perbedaan bahasa dan pola
kerja, sehingga sering terjadi missinterpretasi dengan profesi lainnya. Psikiatri
forensik ditujukan untuk membantu menjembatani komunikasi antara dokter dan penegak hukum. Hal tersebut agar keterangan dan informasi
kondisi kejiwaan seorang terdakwa dapat dipahami oleh hakim secara baik dan benar serta dapat dimanfaatkan secara
tepat. Seorang yang memiliki gangguan jiwa diharapkan bisa mendapatkan perlakuan
dan vonis yang adil saat dihadapkan dimuka� peradilan. Vonis hakim juga tetap harus
menjunjung nilai � nilai honesty and
striving for objectivity (Zimmerman, 1966).
Visum et Repertum disusun berdasarkan pendapat dokter dari
segi medis sehinga tidak selalu eksak atau pasti, namun juga terdapat peluang atau
kemungkinan � kemungkinan maka dari itu tidak dapat memberikan jawaban yang
pasti. Kepastian hukum sepenuhnya
tergantung hakim yang memeriksa
dan menjatuhkan putusan peradilan, sedangkan Visum et Repertum hanyalah keterangan ahli sebagai
bukti tertulis yang merupakan sumber
informasi penting untuk dasar hakim menjatuhkan
putusan.
Pihak yang berhak meminta
Visum et Repertum Psychiatricum adalah penegak hukum yaitu termasuk kepolisian, jaksa
dan hakim dan yang bersangkutan (diantaranya pelaku, korban, atau walinya). Sesuai dengan ketentuan dalam SK Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 / Menkeas/ SK/II/1986 tentang Pedoman VeRP, orang �
orang yang berhak meminta keterangan VeRP secara tertulis
adalah :
1.
Penyidik (berdasarkan Pasal
120 KUHAP);
2.
Penuntut umum dalam hal tindak pidana
khusus (berdasarkan Pasal 120, 284 KUHAP);
3.
Hakim pengadilan (berdasarkan Pasal 180 ayat (1)
KUHAP);
4.
Tersangka
atau terdakwa melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses pemeriksaan (berdasarkan Pasal
180 ayat (1), (2), (3) dan (4));
5.
tersangka
atau Korban melalui pejabat
sesuai dengan tingkatan proses pemeriksaan (berdasarkan Pasal 65
KUHAP); dan
6.
Penasihat hukum atau pengacara melalui pejabat sesuai dengan tingkatan proses pemeriksaan (berdasarkan Pasal 80 ayat (1),
dan (2) KUHAP) (Brown et al., 1973).
Visum et Repertum Psychiatricum memiliki
bentuk standard yang pasti sesuai dengan pedoman
pembuatan Visum et Repertum Psychiatricum Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen
Kesehatan. VeRP
merupakan dokumen hukum, untuk itu ditulis seperti layaknya produk hukum lainnya. Oleh karena ini bukan
produk kedokteran medis melainkan merupakan produk hukum, tata bahasa kedokterannya haruslah di sesuaikan menjadi bahasa umum atau bahasa
sehari � hari agar lebih mudah
dimengerti oleh ahli hukum.
Bagian yang terpenting dalam VeRP adalah bagian
kesimpulan dimana biasanya dibahas mengenai bagaimanakah keadaan mental terperiksa dan bagaimanakah kemampuan bertanggung jawab dari terperiksa, dapatkah seseorang diajukan sebagai saksi dalam sidang pengadilan atau apakah terperiksa
cakap atau kompeten untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang memiliki konsekuensi hukum. Hasil dari kesimpulan
pemeriksan selalu harus ada, namun
kadang masih dimungkinkan tidak dapat ditarik suatu
kesimpulan karena kondisi terperiksa yang tidak tetap (permanen)
(Corey & Venkateswarlu, 1972).
Dokter
psikiater yang menyusun VeRP akan
mengadakan observasi terhadap seorang yang perlu diperiksa, dan hasil
VeRP tersebut memberikan kesimpulan dan �menentukan :
1.
Ada atau tidaknya penyakit kejiwaan pada terperiksa;
2.
Ada atau tidaknya hubungan kausalitas diantara penyakit kejiwaan dengan perbuataan tindak pidana;
3.
Keadaan
dan kemampuan bertanggung jawab terperiksa (Kornau et al., 1995).
Dalam
proses peninjauan tindakan ilegal, ada pepatah terkenal bahwa testis tidak
berdokumen, yang berarti bahwa satu alat bukti saja tidak cukup untuk membuktikan
kejahatan dan kesalahan terdakwa. Bukti yang diperoleh melalui psikiatri
forensik dimasukkan dalam surat atau bukti yang disampaikan oleh ahli,
tergantung cara penyajiannya. Pasal 183 KUHAP melarang hakim untuk menjatuhkan
hukuman kepada seseorang tanpa didasari oleh dua alat bukti yang sah dan
keyakinan hakim terhadap terdakwa. Setelah mendengar dan menganalisa bukti dan
keterangan saksi di persidangan, hakim bebas menentukan nilai atau nilai barang
bukti dan alat bukti tersebut, termasuk keterangan ahli termasuk psikiater, dan
surat atau keterangan VRERP sebagai alat bukti yang benar. Unsur subyektivitas dan tingginya kebebasan
hakim (Judicial
Independence), dapat menyebabkan VeRP
maupun keterangan ahli
psikiatri tidak dinilai secara maksimal. Pada akhirnya Hakim memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan seorang terdakwa bersalah dan dapat dimintai pertanggung jawaban pidana (Aoyama et al., 1988).
Hakim dalam memutus
perkara tidak hanya harus menggunakan keterangan ahli psikiatri melainkan hakim juga memiliki kebebasan
termasuk tidak terbatas meminta keterangan dari rumah sakit, dokter
perawat terdakwa (apabila terdakwa memiliki rekam jejak perawatan oleh seorang dokter), maupun dari tetangga
di lingkungan terdakwa tanggal. Tentunya bobot penilaian dari masing-masing keterangan saksi tersebut mutlak adalah wewenang
hakim.
Kesimpulan
Saat ini tidak Semua perkara yang pelakunya diduga memiliki gangguan
kejiwaan dimintakan saksi ahli dokter pisikiatri, Semua ini tergantung dari
pengalaman dan preferensi para penegak hukum yang menangani kasus pidana
tersebut, menyebabkan timbulnya standard ganda dalam penanganan perkara yang
melibatkan terdakwa yang gila. Bagian terpenting dalam VeRP adalah kesimpulan
yang membantu penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan khususnya hakim untuk
meneliti dan memutus perkara pidana tersebut dengan mengacu pada setidaknya dua
alat bukti dan keyakinan hakim. Sayangnya VeRP sendiri formatnya
tidak standard dan akibatnya
sering menimbulkan multitafsir diantara penegak hukum. Selain menggunakan keterangan saksi ahli dokter psikiatri
yang didengar dan diminta menuangkan Analisanya terkait kondisi kejiwaan terdakwa dalam bentuk tertulis VeRP, Hakim pengadilan dapat juga
menggunakan keterangan dari Rumah sakit
jiwa, Kepala Rumah Sakit Jiwa, maupun dari dokter
perawat terdakwa untuk menggali kondisi kejiwaan dan hubungan kausalitas antara kondisi kejiwaan dan perbuatan pidananya untuk menentukan apakah terdakwa sehat atau sakit jiwa, sehingga
dapat diminta pertanggungjawaban
pidana. Bahwa kendala utama seorang
dokter psikiater, adalah perbedaan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mana berakibat timbulnya multitafsir dalam penggunaaan Bahasa yang digunakan dokter psikiater dengan profesi lain. Seorang yang memiliki gangguan jiwa tetap harus
diproses pidana, baik dari tahap
penyidikan dan penuntutan
di Pengadilan. Bahwa seorang penyidik maupun penuntut umum tidak boleh
menghentikan perkara pidana yang tersangkanya diduga gila, karena
keadaan jiwa yang sakit bukan merupakan alasan penghentian penyidikan. Adapun jika dalam penyidikan, terdakwa susah dimintai keterangan, maka penyidik dapat menggunakan keterangan dan alat bukti lainnya. Penyidik juga dapat meminta keterangan saksi ahli psikiatri yang dituangkan dalam bentuk VeRP untuk
mengetahui tentang keadaan kondisi kejiwaan dan hubungannya dengan perbuatan pidana untuk menjadi
bukti petunjuk bagi hakim Pengadilan dalam mengadili perkara tersebut. Apabila dalam proses pembuktian dan penelitian perkara di Pengadilan terdakwa atau kuasa hukumnya dapat membuktikan bahwa terdakwa memiliki gangguan jiwa, sehingga dalam proses pembuat pidana tidak dapat menginsyafi perbuatannya, maka hakim akan memutuskan bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
dikarenakan kondisi jiwanya memili
gangguan baik gangguan dalam pertumbuhannya atau gangguan karena penyakit.
BIBLIOGRAFI
Ali, C. R. (2021). Penegakan Hukum Terhadap Penipuan
Investasi Dengan Menerapkan Skema Ponzi Menurut Perspektif Hukum Positif Dan
Hukum Pidana Islam: Studi Kasus Di Reserse Kriminal Khusus Polisi Daerah Jawa
Timur, Surabaya. Uin Sunan Ampel Surabaya.
Aoyama, Y., Tanaka, Y., Toi, H., & Ogoshi, H. (1988).
Polar Host-Guest Interaction. Binding Of Nonionic Polar Compounds With A
Resorcinol-Aldehyde Cyclooligomer As A Lipophilic Polar Host. Journal Of The
American Chemical Society, 110(2), 634�635.
Bemmelen, J. M., & Van Hattum, W. C. F. (1953). Hand-En
Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht. Martinus Nijhoff.
Brown, H. C., Hamaoka, T., & Ravindran, N. (1973).
Stereospecific Conversion Of Alkenylboronic Acids Into Alkenyl Bromides With
Inversion Of Configuration. Striking Differences In The Stereochemistry Of The
Replacement Of The Boronic Acid Substituent By Bromine And Iodine And Its
Significance In Terms Of The Reaction Mechanism. Journal Of The American
Chemical Society, 95(19), 6456�6457.
Corey, E. J., & Venkateswarlu, A. (1972). Protection Of
Hydroxyl Groups As Tert-Butyldimethylsilyl Derivatives. Journal Of The
American Chemical Society, 94(17), 6190�6191.
Dewi, A. M. (2019). Wanprestasi Pada Penjanjian Utang
Piutang Dalam Perspektif Hukum Perikatan Islam (Studi Kasus Panglong Kayu Di
Desa Sritejokencono Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah). Iain
Metro.
Eddy Os, H. (2016). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana.
Cahaya Atma Pustaka.
Irawati, D. (2016). Rekonstruksi Pasal 44 Kuhp Dan Verp Dalam
Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum Prioris, 2(2), 84�105.
Kornau, H.-C., Schenker, L. T., Kennedy, M. B., &
Seeburg, P. H. (1995). Domain Interaction Between Nmda Receptor Subunits And
The Postsynaptic Density Protein Psd-95. Science, 269(5231),
1737�1740.
Ozora, N., Turatmiyah, S., & Afrilia, D. (2020). Analisis
Hukum Batas Umur Untuk Melangsungkan Perkawinan Dalam Perspektif Uu No. 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Sriwijaya University.
Price, D. J. D. S. (1965). Networks Of Scientific Papers. Science,
510�515.
Westheimer, F. H., & Taguchi, K. (1971). Catalysis By
Molecular Sieves In The Preparation Of Ketimines And Enamines. The Journal
Of Organic Chemistry, 36(11), 1570�1572.
Zimmerman, H. E. (1966). On Molecular Orbital Correlation
Diagrams, The Occurrence Of M�bius Systems In Cyclization Reactions, And
Factors Controlling Ground-And Excited-State Reactions. I. Journal Of The
American Chemical Society, 88(7), 1564�1565.