Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 3, Maret 2021
EVALUASI KEBIJAKAN ASESMEN
TERPADU DALAM UPAYA REHABILITASI PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI KOTA DEPOK
Ela
Bestia dan Palupi Lindiasari Samputra
Sekolah
Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract
The
purpose of this study is to evaluate the existing TAT policies in the Depok
area. Researchers used a� policy
evaluation theory with mapping obstacles in program implementation. The
research method used a qualitative approach with descriptive analysis
techniques. The results showed that the implementation of TAT in Depok City was
not yet practical because it had not reached the target. Apart from technical
constraints, the performance of TAT for narcotics abusers is not, however, an
obligation for law enforcement officials. For this reason, the TAT policy needs
to include statutory regulations that bind all law enforcement officials. So
that rehabilitation efforts for narcotics abusers can run effectively.
Keywords: Policy Evaluation, Integrated Assesment, Narcotics
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kebijakan TAT yang
ada di wilayah Depok. Peneliti menggunakan teori evaluasi kebijakan proses
retrospektif, dengan teknik hambatan dalam implementasi program. Metode
penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan pelaksanaan TAT di Kota Depok belum efektif karena
belum mencapai target. Selain kendala teknis, pelaksanaan TAT bagi penyalahguna narkotika
belum merupakan suatu kewajiban bagi aparat penegak hukum.� Untuk itu kebijakan� TAT perlu dimasukan ke dalam peraturan per
undang-undangan yang mengikat semua aparat penegak hukum. Sehingga upaya
rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dapat berjalan efektif.
Kata kunci: Evaluasi
Kebijakan, Asesmen Terpadu, Narkotika
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Pada
tahun 2015, Presiden Joko Widodo mengeluarkan status bahwa Indonesia kini dalam
kondisi darurat narkoba, setiap harinya 40-50 orang meninggal dunia karena
narkoba. Pada saat itu kampanye tentang Indonesia Darurat Narkoba selalu
digaungkan, namun apakah pesan-pesan tersebut hanya sekedar slogan, apakah ada
arah kebijakan yang
jelas dan berkesinambungan untuk mengatasi status darurat narkoba tersebut.
Berdasarkan laporan BNN di sepanjang
tahun 2019 tercatat sebanyak 30 orang meninggal dunia setiap harinya di
Indonesia akibat narkotika, angka prevalensi penyalahguna narkotika pada tahun
2019 mencapai 1,8% yang artinya terdapat 3,41 juta jiwa penyalahguna narkotika (Pandjaitan,
2020).
Dasar
hukum yang digunakan dalam rangka penanganan
penyalahgunaan narkotika adalah UU No. 35 tahun 2009. Pemerintah menyadari bahwa dalam rangka
menanggulangi kejahatan narkotika, tidak cukup hanya dengan
hukuman penjara, namun dibutuhkan upaya pengobatan kecanduannya yaitu melalui rehabilitasi.� Upaya represif yang diarahkan kepada pecandu atau penyalahguna tanpa disertai upaya rehabilitasi akan membuat potensi
residivisme semakin tinggi (Iskandar & IK, 2019). Terdapat
perubahan paradigma dalam penanganan�
penyalahgunaan narkotika di Indonesia, salah
satunya mewajibkan penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika untuk
menjalankan rehabilitasi berupa medis dan sosial. Rehabilitasi medis merupakan langkah pengobatan untuk melepaskan pecandu atas adiksi yang dialaminya, disisi lain, rehabilitasi sosial dilakukan agar pecandu memiliki kesiapan sosial, sikap mental yang tangguh untuk mengatasi kendala dalam lingkungan
agar ia dapat lebih siap saat
reintegrasi di dalam masyarakat.�
Ketentuan Pidana dalam
Undang-Undang Narkotika
Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 127 disebutkan bahwa dalam memutus perkara
penyalahgunaan narkoba, terdapat
pasal yang perlu diperhatikan, yaitu ketentuan dalam Pasal 54, 55 dan 103.�
Pasal yang berkaitan
menerangkan bahwa masa menjalani program rehabilitasi akan termasuk dalam
masa hukuman, selain itu, hakim tidak hanya terbatas pada pemberian hukuman berupa pemenjaraan, namun terdapat pilihan hukuman rehabilitasi bagi pecandu narkotika (Iskandar & IK, 2019).
�Untuk memenuhi amanat
Undang-undang Narkotika No.35 tahun 2009, pada tahun 2014 pimpinan
tujuh lembaga yang
terdiri dari
Kepala
BNN RI, Ketua
Mahkamah Agung, Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, Menkes,
Mensos menandatangani Kebijakan Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
yang tertuang dalam Peraturan Bersama
No. PERBER/01/III/2014/BNN (Hidayat & Heryanto, 2019).
Terbentuknya Peraturan
Bersama tersebut, menghasilkan terobosan baru yaitu dibentuknya Tim Asesmen
Terpadu (TAT) yang berkedudukan di tingkat Pusat,
Provinsi, Kabupaten/Kota. BNN yang berperan
sebagai koordinator pelaksanaan P4GN bertugas membentuk tim TAT baik di level
pusat maupun daerah. Dari unsur penegakan hukum, terdapat kerjasama antara BNN,
Kepolisian, Kejaksaan serta Kemenkumham.�
Tim hukum TAT memiliki peran menganalisis jejaring narkotika dan
berkomunikasi dengan penyidik perkara. Pada konteks rehabilitasi, terdapat tim
yang terdiri dari dokter, dan psikolog. Mereka akan merekomendasikan terkait
strategi penanganan yang tepat terkait rehabilitasi medis dan sosial pada
pecandu tersebut (Afrizal
& Anggunsuri, 2019). Rekomendasi yang
dikeluarkan tim TAT tersebut dijadikan dasar dalam hal membuktikan apakah
seseorang masuk dalam kelompok pengedar yang akan dilanjutkan pada proses hukum
lebih tinggi atau hanya berperan sebagai pecandu yang dikenakan kewajiban
rehabilitasi.�
�����������
Gambar
1
Mekanisme
Pelaksanaan Asesmen Terpadu dan Penempatan Pecandu Narkotika dalam Proses Hukum
ke dalam Lembaga
Rehabilitasi
(Sumber : BNN RI)
Badan Narkotika Nasional Kota Depok merupakan pelaku kebijakan
TAT di tingkat
kabupaten/kota. BNNK Depok �telah melaksanakan kegiatan Tim Asesmen Terpadu (TAT) di Kota
Depok sejak tahun 2016. Namun di tahun 2020 terjadi penurunan pelaksanaan TAT di Kota Depok. Tapi disisi
lain narapidana kasus narkotika yang berada di Rutan Kelas 1 Depok mengalami
peningkatan hingga menyebabkan rutan over kapasitas.
Berdasarkan data Warga Binaan
Permasyarakatan (WBP)� Rutan Kelas 1
Depok per Juni 2020, terdapat Jumlah WBP jenis pidana Narkotika sebanyak 1086
orang, dimana 9 diantara WBP tersebut dikenai pasal 127 yaitu pasal tentang
penyalahguna narkotika. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat sejumlah
penanganan kasus penyalahguna narkotika di Depok tanpa melibatkan Tim Asesmen
Terpadu. Sehingga penulis merasa perlu untuk melakukan evaluasi terhadap
kebijakan dan program Tim Asesmen Terpadu dengan menggunakan teori analisis
kebijakan.
Tabel 1
Data Warga Binaan Rutan Kelas 1 Depok
Jumlah WBP Jenis
Pidana Narkotika |
||
Jumlah Tahanan |
128 |
orang |
Jumlah
narapidana |
958 |
orang |
Jumlah Total |
1086 |
orang |
(Sumber :
Rutan Kelas 1 Depok)
Tabel 2
Data WBP Kasus Narkotika berdasarkan
Pasal Pidana
Jumlah WBP Jenis Pidana
Narkotika |
|||
No |
Pasal |
Jumlah �����WBP |
|
1 |
127 |
9 |
orang |
2 |
112 |
286 |
orang |
3 |
111 |
77 |
orang |
4 |
114 |
709 |
orang |
5 |
129 |
2 |
orang |
6 |
132 |
3 |
orang |
Jumlah Total |
1086 |
orang |
|
|
|
|
|
(Sumber
: Rutan Kelas 1 Depok)
Lester
dan Steward dalam (Kawengian
& Rares, 2015)
menjelaskan bahwa pada evaluasi kebijakan terutama dalam proses implementasi
perlu dilakukan untuk menemukan pada titik mana kebijakan tidak berjalan.
Mengutip Lester & Stewart dalam (Agustino,
2016) evaluasi
kebijakan dilakukan untuk menilai jalannya kebijakan yang telah dilaksanakan,
baik dari segi keberhasilan maupun kekurangan berdasarkan indikator atau
standar yang telah dibuat.
Dunn mengembangkan tiga pendekatan dalam evaluasi kebijakan
yang terdiri dari: evaluasi semu, evaluasi formal, dan evalusi keputusan teoritis.� Dalam evaluasi formal tujuan programnya diumumkan secara formal, menggunakan metode deskriptif untuk menginformasikan hasil kebijakan. Dalam pendekatan formal ini, penulis menggunakan tipe
evaluasi proses retrospektif dimana pemantauan serta evaluasi program dilakukan paska sebuah program dilaksanakan dalam rentang waktu yang ditentukan. Penilai kebijakan akan melihat hambatan dari implementasi kebijakan dan program yang telah dilaksanakan tersebut. Teknik yang digunakan dalam evaluasi
program ini adalah melalui pemetaan hambatan sehingga dapat diukur keluaran beserta dampak atas kebijakan atau program yang dilaksanakan (Dunn, 2003).
Penelitian
sebelumnya menemukan bahwa: 1) Dalam pelaksanaan� TAT terdapat ketidaksamaan persepsi antara
aparat yang berwenang di bidang hukum dalam penanganan tersangka penyalahguna
narkotika, kekuatan hukum yang mengatur mengenai TAT dinilai masih belum cukup,
berserta minimnya anggaran dalam pelaksanaan TAT tersebut (Hidayat
& Heryanto, 2019); 2) Diperlukan koordinasi
yang terpadu antara aparat penegak hukum dengan pihak lainnya. Diperlukan kesamaan
persepsi dari penyidik, penuntut umum, dan BNN bahwa pemidanaan tidak menjadi
satu-satunya cara untuk menimbulkan penjeraan, namun pecandu perlu menjalani
program rehabilitasi medis dan sosial (Afrizal
& Anggunsuri, 2019), 3) Penelitian TAT di
Jakarta Selatan menyebutkan bahwa terdapat sejumlah hal yang mempengaruhi
program TAT, yaitu sosialisasi, pemahaman, sasaran program, dan hasil akhir
yang ingin dicapai serta pentingnya koordinasi yang terpadu antara pihak yang
terlibat (Supratman,
Nugroho, & Wijayanti, 2020), 4) Tujuan dari asesmen terpadu
sangat bagus namun, kurang efektif
apabila IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) atau Lembaga Rehabilitasi Milik Pemerintah belum siap melaksanakan
program rehabilitasi bagi pecandu narkotika (Huda, Saefuddin, Gumira, & Sumarji, 2020).
Keterbaruan
penelitian ini adalah mengevaluasi�
implementasi kebijakan Tim Asesmen Terpadu� menggunakan teori evaluasi kebijakan melalui
pemetaan hambatan khususnya untuk wilayah Depok. Dari hasil temuan akan
dibandingkan� dengan penelitian yang
sudah pernah ada.
Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme dan evaluasi
pelaksanaan asesmen terpadu yang telah dilakukan di wilayah Depok dilihat dari
ketepatan sasaran dan kendala-kendala yang dihadapi.�
Tujuan
penelitian ini untuk memberikan gambaran tentang mekanisme pelaksanaan asesmen
terpadu dan hasil evaluasi pelaksanaan kebijakan TAT di wilayah Depok agar
dapat memberi sumbangan saran dalam pelaksanaan program TAT ke depannya
sehingga dapat berjalan lebih efektif. Secara umum penelitian ini diharapkan
menjadi solusi dalam penanganan penyalahgunaan narkotika di Kota Depok melalui
upaya rehabilitasi terhadap pecandu baik yang terbukti bersalah atau yang tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Metode Penelitian��
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik analisis
deskriptif. Teori yang digunakan adalah teori analisis kebijakan dengan
pendekatan evaluasi formal. Dalam pendekatan formal ini, penulis menggunakan
tipe evaluasi proses retrospektif dengan teknik evaluasi pemetaan hambatan.
Sedangkan kriteria evaluatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah
efektifitas, dimana efektifitas merupakan kesesuaian hasil dengan target yang
ingin di capai (Dunn,
2003).
Selain
itu efektivitas juga dapat dilihat dari indikator berikut: ketepatan sasaran
program, sosialisasi program, tujuan program, dan pemantauan program (Pertiwi & Nurcahyanto, 2017).
Tahapan
mekanisme pelaksanaan asesmen terpadu yang akan penulis evaluasi dimulai
dari� permohonan asesmen oleh penyidik,
lalu diproses oleh sekretariat atau admin TAT, dilakukannya asesmen oleh tim
medis dan tim hukum hingga dilaksanakannya case
conference oleh seluruh tim TAT hingga dikeluarkannya� hasil rekomendasi tim asesmen terpadu.
Data
yang digunakan dalam penelitian diperoleh melalui sumber primer dan sekunder.
Data primer didapat dengan melakukan wawancara,�
dan data sekunder didapat melalui analisis dokumen dan literatur. Adapun
Informan yang akan di wawancara� terdiri
dari: Kepala BNNK Depok,� Kasie
Rehabilitasi BNNK Depok, penyidik sebagai tim hukum,� dokter sebagai tim medis, petugas
administrasi TAT. �Setelah data terkumpul lalu diolah dan
dianalis untuk mendapatkan jawaban akhir mengenai masalah yang diteliti. Dalam
hal analisis data dilakukan proses penyederhanaan dan interpretasi data (Miles
& Huberman, 2007). Pengujian keabsahan data
dilakukan melalui triangulasi sumber dengan membandingkan informasi yang
didapat dari sumber yang berbeda.
Hasil dan Pembahasan
1.
Mekanisme
Pelaksanaan Asesmen Terpadu
Tahap pertama pelaksanaan
asesmen terpadu yaitu penyidik terlebih dahulu mengajukan permohonan
pelaksanaan TAT ke sekretariat TAT. Berdasarkan Surat Edaran No:
SE/9/II/KA/HK.01.05/2020/BNN tentang Pelaksanaan Asesmen Terpadu TA 2020, pada
poin 3d dinyatakan bahwa �pengajuan permohonan asesmen oleh penyidik kepada Tim
Asesmen Terpadu paling lama 6 (enam) hari sejak dilakukan penangkapan�.
Setelah pengajuan permohonan asesmen
oleh penyidik masuk ke sekretariat TAT, petugas sekretariat (administrasi TAT)
memproses berkas kemudian memberikan surat pemberitahuan untuk dilaksanakan
assessmen kepada pimpinan di instansi masing-masing dari tim pelaksana.�
Tim Asesmen melaksanakan proses
penilaian atau asesmen dalam waktu maksimal 2x24 jam sejak diterimanya berkas
permohonan dari penyidik.� Pada hari ke-4
hasil asesmen dari masing-masing tim asesmen dibahas pada pertemuan pembahasan
kasus (case conference) untuk
menetapkan rekomendasi hasil TAT.�
Selanjutnya dalam jangka waktu paling
lama 6 (enam) hari setelah pengajuan permohonan asesmen, Tim Asesmen Terpadu
memberikan� rekomendasi hasil asesmen
kepada penyidik untuk dilaporkan secara tertulis kepada pengadilan negeri
setempat. Rekomendasi TAT yang ditandatangani oleh ketua TAT menerangkan peran
tersangka/terdakwa dalam tindak pidana, penilaian terhadap level adiksi penyalahguna,
rekomendasi tindak lanjut dari� proses
hukum yang harus dijalani, serta rekomendasi untuk jenis terapi, lokasi, dan
waktu rehabilitasi (Muslikan
& Taufiq, 2019).
Anggota TAT� untuk Wilayah Depok diusulkan oleh Kepala BNN
Kota Depok dan di tetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala BNN Provinsi Jawa
Barat terdiri dari: 1) Ketua Tim TAT yang dijabat oleh Kepala BNNK Depok, 2)
Tim Hukum yang terdiri dari� perwakilan
kejaksaan, kepolisian, dan BNNK Depok, 3) Tim Medis yang terdiri dari: Dokter
Puskemas dan Dokter Klinik Pratama BNNK Depok, 4) Sekretariat yang terdiri dari
admin dan verifikator� BNNK Depok.
2.
Evaluasi
Program Tim Asesmen Terpadu
Berdasarkan hasil wawancara dari pelaksana
kebijakan TAT dan studi dokumentasi didapat data hasil evaluasi proses
retrospektif yang terangkum dalam tabel berikut :
Tabel 3
Hasil
Evaluasi Proses Retrospektif
Evaluasi |
Hasil |
Efektifitas |
Pelaksanaan TAT untuk wilayah
hukum Depok pada tahun 2020 hanya 1 (satu) orang dari 10 (sepuluh) target
yang dianggarkan. Menurut Kepala BNNK Depok,
Pelaksanaan TAT di Kota Depok masih belum efektif� karena belum berjalan maksimal. (Wawancara, 21 Desember 2020). |
Pemetaan
Hambatan |
1) Tahap
Pengajuan Permohonan Asesmen Kendala�� pada tahap pengajuan permohonan asesmen,
dimana� waktu yang ditentukan maksimal
6 hari setelah penangkapan tersangka dirasa kurang oleh penyidik, karena
masih harus melakukan pengembangan kasus (wawancara penyidik, 21 Desember
2020). Selain itu pelaksanaan TAT dianggap belum merupakan suatu kewajiban
yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum (Pandjaitan, 2020). 2) Administrasi
TAT Tidak ada kendala dalam proses
menindaklanjuti permohonan TAT oleh penyidik (Wawancara
Admin TAT, 21 Desember 2020) 3) Asesmen Medis Tidak ada kendala dalam proses
asesmen medis. Tim medis dalam melakukan asesmen
medis menggunakan standar SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) untuk menentukan
seorang tersangka layak untuk direhabilitasi (Wawancara Tim Medis, 21 Desember
2020). 4) Asesmen Hukum Tidak ada kendala dalam proses
asesmen hukum. Dalam melakukan asesmen hukum, tim
hukum meninjau ulang terhadap asumsi yang ditetapkan penyidik terhadap
tersangka apakah sebagai pengedar atau penyalahguna. (Wawancara Tim
Hukum, 21 Desember 2020) . 5) Pelaksanaan case conference (pembahasan kasus) Tidak ada kendala
dalam pelaksanaan case conference. Pelaksanaan case conference
rata-rata hadir semua walaupun ada beberapa yang diwakilkan (Wawancara Admin TAT, 21 Desember
2020). 6) Rekomendasi Hasil Tim Asesmen Terpadu Hasil rekomendasi Tim
Asesmen Terpadu Kota Depok� yang
penulis teliti sudah sesuai prosedur dan sesuai tujuan dari terbentuknya TAT
yaitu menyarankan agar tersangka yang merupakan pecandu narkotika dapat
menjalani terapi rehabilitasi. |
a. Efektivitas
Program Tim Asesmen Terpadu
BNN Kota Depok menjalankan program
Tim Asesmen Terpadu (TAT) di Kota Depok sejak tahun 2016. Pada tahun 2018,
jumlah tersangka yang di TAT tercatat sebanyak 10 (sepuluh) orang dengan target
10 (sepuluh) orang, tahun 2019 jumlah yang di TAT sebanyak 3 (tiga) orang
(target 10 orang), tahun 2020 jumlah yang di TAT sebanyak 1 (satu) orang
(target 10 orang).
Bagan 1 �Pelaksanaan TAT BNN Kota Depok
(Sumber : BNN Kota Depok 2020)
Berdasarkan bagan diatas dapat dilihat
bahwa pada tahun 2020 pelaksanaan program asesmen terpadu belum mencapai target
yang dianggarkan, pelaksanaan TAT untuk wilayah hukum Depok hanya 1 (satu)
orang dari 10 (sepuluh) target yang dianggarkan. Ketika realisasi suatu program
belum mencapai target dan tujuan yang diharapkan dapat dikatakan bahwa program
asesmen terpadu tersebut belum berjalan efektif untuk mencapai tujuan dari
program tersebut. Sedangkan SDM, Anggaran, dan informasi sudah cukup memadai.
Namun menurut penulis rotasi yang begitu cepat dalam keanggotaan TAT dapat
menjadi hambatan efektifitas pelaksanaan TAT itu sendiri.
Untuk indikator sasaran
pelaksanaan program TAT sudah tepat yaitu tersangka
yang tertangkap tangan dengan barang bukti
dibawah ketentuan SEMA, merupakan seorang pecandu atau penyalahguna
dengan hasil tes urin positif,
tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika, dan dijerat pasal 127. Dalam hal sosialiasi program TAT masih tertuju
pada sosialiasi antara pelaksana kebijakan dan belum ada program sosialisasi
formal dari BNN Pusat mengenai prosedur baku TAT. Tujuan pelaksanaan program untuk
menempatkan penyalahguna narkotika ke lembaga rehabilitasi belum tercapai
karena pelaksanaannya masih belum berjalan maksimal. Dalam hal pemantauan
terhadap tersangka yang telah menjalankan TAT belum pernah dilakukan oleh BNNK
Depok karena tugas BNN hanya memberikan rekomendasi hasil TAT, mengenai tindak
lanjut proses hukum ada pada penyidik dan kejaksaan, sedangkan keputusan akhir
ada ditangan hakim. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasie Rehabilitasi BNNK
Depok �memang kelemahan kita selama ini tidak memfollow up hasil TAT
kepada penyidik yang menangani kasus, sehingga kita tidak mengetahui apakah
orang yang kita rekomendasikan untuk rehabilitasi, apakah benar sudah
menjalankan rehabilitasi. Namun untuk kedepannya sudah ada arahan dari BNN
Pusat untuk menindaklanjuti� hasil TAT� (Wawancara Kasie Rehabilitasi,
10 Februari 2021).
Dalam hal sosialisasi program TAT beberapa
dari anggota tim TAT dari BNNK Depok mengaku belum pernah mendapat sosialisasi
secara formal dari pembina fungsi mengenai program TAT, namun mereka hanya
mempelajari sendiri dari dokumen peraturan yang ada. �Untuk sosialisasi ke
anggota tim, kendala utamanya adalah cepatnya perputaran rotasi anggota termasuk
di BNNK Depok sendiri, anggota tim dari
Kejaksaan
Negeri Depok, ataupun anggota tim dari
Satuan
Narkoba Polresta Depok yang menaungi penanganan�
narkotika di Kota Depok. Sehingga dalam waktu satu tahun, bisa dua atau
tiga kali perubahan pengajuan nama anggota tim TAT, karena jika ada satu orang
yang berganti otomatis mengganti surat keputusan keanggotaan TAT yang
ditandatangani oleh Kepala BNN Provinsi Jawa Barat. Selain itu transfer
pengetahuannya juga butuh proses� (Wawancara Admin TAT, 10 Februari
2021).
Dari empat indikator efektivitas yaitu
ketepatan sasaran program, sosialisasi program, tujuan program, dan pemantauan
program, yang baru terpenuhi hanya ketepatan sasaran program. Namun untuk
sosilisasi, pemenuhan tujuan program, dan pemantauan program belum optimal.
b. Analisis
Hambatan Program Tim Asesmen Terpadu
Pelaksanaan asesmen terhadap penyalah guna
narkotika bisa dimulai sejak tahap penyidikan. Penyidikan terhadap kasus tindak
pidana narkotika dapat dilakukan oleh penyidik yang berasal dari instansi BNN
ataupun kepolisian. Baik Penyidik BNN ataupun Penyidik Kepolisian memiliki
wewenang yang sama dalam proses hukum (Muslikan
& Taufiq, 2019). Hambatan terhadap proses
asesmen sering terjadi pada tahap penyidikan. Di Kota Depok sangat sedikit sekali
pengajuan TAT oleh penyidik sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Pasal 9 ayat (2) Peraturan bersama
berbunyi �Tim Asesmen Terpadu sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1),
memiliki kewenangan sebagai berikut:
1) Atas
permintaan penyidik untuk� melakukan
analisis peran seseorang yang ditangkap atau tertangkap tangan sebagai korban
penyalahgunaan Narkotika,� pecandu
narkotika, atau pengedar narkotika.
Menentukan kriteria
tingkat keparahan pengguna narkotika sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi,
situasi dan kondisi ketika ditangkap pada tempat kejadian perkara
2) �Merekomendasikan
rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika sebagaimana dimaksud pada huruf (b)�
(Pandjaitan, 2020) berpendapat bahwa frasa
�atas permintaan penyidik� pada poin (a), membuat sejumlah celah yang
menyebabkan tidak dilibatkannya Tim Asesmen Terpadu dalam sejumlah kasus narkotika.
Karena tidak adanya kewajiban bagi Tim Asesmen Terpadu dalam melakukan asesmen
dan memberikan rekomendasi kepada penegak hukum membuat tim ini menjadi tumpul
dan pasif.
�Saat pengajuan permohonan TAT
oleh penyidik beberapa berkas yang harus dilampirkan sebagai berikut: surat
permohonan asesmen dari Polsek/Polres, surat perintah penyidikan, surat
perintah tugas, surat perintah penangkapan, surat penahanan, surat perintah
penyitaan, surat ketetapan status barang bukti sitaan narkotika, berita acara pemeriksaan, surat hasil pemeriksaan tes urine, kartu keluarga
tersangka,� KTP dan akte kelahiran
tersangka. Pada umumnya tersangka yang dibawa untuk TAT oleh penyidik
disangkakan dengan pasal 111 sd 114 dan pasal 127. Dalam pelaksanaan asemen
terpadu sejauh ini tidak ada kendala mulai dari verifikasi data, asemen medis,
asesmen hukum hingga pembahasan kasus (case
conference). Semuanya sudah sesuai prosedur dan anggaran cukup, saat case conference biasanya hadir semua
walaupun ada beberapa yang diwakilkan. Masalahnya ada pada sedikitnya pengajuan asesmen oleh penyidik. Alasan dari tim
penyidik kepolisian karena rata-rata tersangka yang mereka tangkap terlibat
jaringan atau terindikasi sebagai pengedar sehingga tidak bisa diajukan untuk TAT�
(Wawancara Admin TAT, 21 Desember 2020).
Penulis melihat bahwa terdapat
kendala minimnya waktu yang disediakan untuk menyelesaikan pengajuan permohonan
TAT. Berdasarkan wawancara dengan penyidik BNN, pada tahap proses pengajuan
permohonan asesmen, penyidik mengalami beberapa kendala yaitu mengenai waktu
yang ditentukan maksimal 6 (enam) hari
setelah penangkapan tersangka. Waktu 6 (enam) hari kurang cukup bagi penyidik karena masih harus melakukan pengambangan kasus. Selain itu juga untuk
memeriksa barang bukti di Pusat Laboratorium Narkotika BNN juga membutuhkan
waktu karena dibatasi kuota harian (Wawancara
Penyidik BNN, 21 Desember 2020). Untuk
itu diperlukan perumusan ulang terhadap regulasi mengenai batasan waktu untuk
mengajukan permohonan TAT.
�Untuk TAT kita memang sedikit, namun
penyidik dari kepolisian biasanya mengajukan permohonan asesmen medis atau
dahulunya dikenal dengan Visum Et Repertum ke BNN dikarenakan oleh� kasus P-19 yang merupakan pengembalian berkas
oleh kejaksaan kepada penyidik untuk dilengkapi. Saat Jaksa meminta penyidik
untuk melengkapi asesmen medis, barulah penyidik bersurat ke BNN. Namun asesmen
medis tersebut tidak masuk ke dalam program TAT, karena sudah melewati batas
waktu 6 hari, biasanya sekitar 20 hari setelah penangkapan, namun BNN hanya
menyatakan bahwa orang tersebut pecandu atau bukan, mengenai keputusan akhir
tetap pada vonis pengadilan� (Wawancara Kasie
Rehabilitasi, 10 Februari 2021). Berdasarkan wawancara tersebut penulis
menemukan masih ada opsi lain selain program TAT yaitu pelaksanaan asesmen
medis yang menyatakan bahwa tersangka adalah seorang pecandu. Namun asesmen
medis tersebut� bukan sebagai bukti yang
menguatkan atau suatu rekomendasi yang berkekuatan hukum seperti TAT yang sudah
ada dalam peraturan bersama.
Dalam proses asemen hukum, tim
hukum meninjau ulang terhadap asumsi yang ditetapkan penyidik terhadap tersangka apakah sebagai pengedar atau
penyalahguna. Hal itu dapat dilihat dari jumlah barang buktinya dan tujuan
penggunaannya. Jika barang buktinya sedikit dan penggunaannya hanya untuk
konsumsi pribadi masuk kedalam kategori penyalahguna. Jika penggunaannya untuk
dijual lagi, masuk kedalam kategori pengedar (Wawancara
Perwakilan Tim Hukum,
21 Desember 2020).
Tim medis dalam melakukan
asesmen medis menggunakan standar SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) untuk
menentukan seorang tersangka layak untuk direhabilitasi. Peran tim medis juga
meninjau ulang sejauh mana tingkat kecanduan tersangka apakah dikategori
ringan, sedang, atau berat sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi
rehabilitasi. Namun keputusan rehabilitasi tetap ada dipengadilan� (Wawancara Perwakilan
Tim Dokter, 21 Desember 2020).
Setelah tim dokter dan tim
hukum melakukan tugas nya untuk asesmen, lalu hasil asesmen dibawa ke
pembahasan kasus (case conference).
Dalam pembahasan kasus dihasilkan laporan tertulis mengenai rekomendasi
TAT.� Hasil rekomendasi TAT Kota Depok sejak
tahun 2018 yang penulis teliti sudah sesuai prosedur dan sesuai tujuan dari
terbentuknya TAT, semuanya mengarah pada saran agar tersangka yang merupakan
pecandu narkotika dapat menjalani terapi rehabilitasi.
Menurut Kepala BNNK Depok
�dalam tindak lanjut hasil rekomendasi Tim Asesmen Terpadu, kendala yang
dihadapi ketika seorang tersangka diputuskan untuk mendapat hukuman pidana dan
hukuman rehabilitasi adalah tidak tersedia fasilitas rehabilitasi di rutan. Di
Depok tidak ada fasilitas rehabilitasi rawat inap milik pemerintah yang
memungkinkan untuk merawat baik tersangka ataupun� narapidana yang merupakan pecandu narkotika.
Jika dititipkan di lembaga rehabilitasi seperti Marzuki Mahdi, RSKO, dan Balai
Rehabilitasi BNN Lido harus ada yang bertanggungjawab terhadap pengawasan
tersangka atau terdakwa� (Wawancara Kepala BNNK
Depok, 21 Desember 2020).
Dalam mengatasi
hambatan-hambatan TAT perlunya meninjau ulang regulasi yang sekiranya
memberatkan pelaksanaan program terutama mengenai waktu maksimal pengajuan
permohonan TAT oleh penyidik. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan TAT juga
diperlukan political willingness dari pihak-pihak pelaku kebijakan.
Selain itu fasilitas rehabilitasi dan SDM rehabitasi
perlu disediakan secara layak untuk mendukung tindak lanjut dari pelaksanaan
TAT yang tujuannya agar tersangka yang juga pecandu narkotika mendapatkan
haknya untuk� rehabilitasi.
Kesimpulan
Pelaksanaan
program Tim Asesmen Terpadu untuk wilayah Depok untuk tahun 2020 dapat
dikatakan kurang efektif, karena realisasinya belum mencapai target yang
dianggarkan.� Terdapat beberapa kendala
yaitu : 1)
Pengajuan permohonan
TAT oleh penyidik yang masih rendah sehingga menyebabkan pelaksanaan TAT belum
mencapai target yang dianggarkan, 2) Proses pelaksanaan TAT
bagi penyalahguna di lapangan belum merupakan sebuah kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, 3) Waktu maksimal pengajuan
permohonan TAT dirasa kurang oleh penyidik.
Saran
untuk ke depannya agar regulasi kebijakan Tim Asesmen Terpadu perlu masuk ke
dalam peraturan per-Undang-Undangan seperti Peraturan Pemerintah (PP) sehingga
pidana alternatif berupa rehabilitasi dapat dijalankan dengan optimal dan
mengikat semua� instansi terkait. Dalam
rangka mendukung tindak lanjut dari program TAT agar tersangka yang merupakan
pecandu narkotika mendapatkan pengobatan berupa rehabilitasi, diusulkan agar setiap kabupaten/kota memiliki tempat
rehabilitasi yang memadai dimana terdapat penanganan dan pengawasan yang
khusus terhadap tersangka atau narapidana narkotika yang perlu menjalani proses
rehabilitasi berdasarkan hasil asesmen.
BIBLIOGRAFI
Afrizal,
Riki, & Anggunsuri, Upita. (2019). Optimalisasi Proses Asesmen terhadap
Penyalah Guna Narkotika dalam Rangka Efektivitas Rehabilitasi Medis dan Sosial
Bagi Pecandu Narkotika. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(3),
259�268.
Agustino,
Leo. (2016). Dasar-dasar kebijakan publik (Edisi Revisi). Bandung:
Alfabeta.
Dunn,
William N. (2003). Pengantar analisis kebijakan publik Edisi Kedua. Yogyakarta:
Gajah Mada University.
Hidayat,
Rusman, & Heryanto. (2019). the Effect of Motivation and Compensation on
Employee Performance With Work Satisfaction As Intervening (Case Study in the
Technical Department of Pt Semen Padang). Archives of Business Research,
7(11), 78�90. https://doi.org/10.14738/abr.711.6892
Huda,
Nurul, Saefuddin, Yusuf, Gumira, Seno Wibowo, & Sumarji, Sumarji. (2020).
Asesmen Terpadu: Penerapan Restorative Justice Penanggulangan Kejahatan
Narkotika Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 14(1),
111�124.
Iskandar,
Anang, & IK, S. (2019). Penegakan Hukum Narkotika (Rehabilitatif
terhadap Penyalah Guna dan Pecandu, Represif terhadap Pengedar). Jakarta: Elex Media Komputindo.
Kawengian,
Debby D. V, & Rares, Joyce Jacinta. (2015). Evaluasi Kebijakan Pencegahan
dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) Terutama Perempuan dan Anak
di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Acta Diurna
KomunikasI, 4(5).
Miles,
Matthew B., & Huberman, A. Micheael. (2007). Analisis data Kualitatif
(Tjetjep Rohedi, Pentj). Jakarta: UI Press.
Muslikan,
Muslikan, & Taufiq, Muhammad. (2019). Pelaksanaan Assesmen Tentang
Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari Peraturan
Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah Living Law, 11(1), 61�80.
Pandjaitan,
Hinca IP. (2020). BNN Bubar atau Sangar. Jakarta: RMbooks.
Pertiwi,
Monica, & Nurcahyanto, Herbasuki. (2017). Efektivitas Program Bpjs
Kesehatan Di Kota Semarang (Studi Kasus Pada Pasien Pengguna Jasa Bpjs
Kesehatan Di Puskesmas Srondol). Journal of Public Policy and Management
Review, 6(2), 416�430.
Supratman,
Dindin, Nugroho, Purwoko, & Wijayanti, Retno Dewi. (2020). Asesmen Terpadu
Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Rehabilitasi Penyalah Guna Narkoba. Jurnal
Litbang Sukowati: Media Penelitian Dan Pengembangan, 3(2), 13.