Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 3, Maret 2021
ANALISIS PENYINGKAPAN RAHASIA DI BALIK PENDERITAAN
AYUB DI DALAM KITAB AYUB
Djone Georges Nicolas
STT IKAT Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
This research aims to discover the secret meaning that lies
behind Job's suffering in the Book of Job, so that believers in facing various
problems do not despair or disappoint with God, but remain grateful and keep
waiting for His help.� Suffering is not
only trying to avoid humans because it is painful, but also because in the
midst of the suffering that is experienced, people may be filled with confusion
because they do not understand the cause of Allah allowing such suffering.� It is a mystery that faced Job in his day and
may be a problem for believers today.�
The author uses descriptive qualitative research with a literature analysis
method approach and narrative interpretation by collecting data through
biblical sources, books, journals, digital articles, interviews and other
documents related to the problem being studied.�
There are several results as follows: first, Job's suffering represents
the suffering that may be experienced by humans in general.� Second, Job had an inaccurate heart attitude
which led to the wrong response to suffering.�
The conclusion is that personal knowledge of God is the primary need for
humans, because in it are revealed divine secrets which are mysteries to
mankind, and the suffering that Allah allows for the purpose of bringing good
to His people, namely restoration.
Keywords: �revelation;
secret; �job's suffering.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan
menemukan makna rahasia yang terdapat di balik penderitaan Ayub di dalam Kitab
Ayub, agar orang percaya dalam menghadapi berbagai persoalan tidak putus asa
maupun kecewa dengan Allah, melainkan tetap bersyukur dan tetap menantikan
pertolongan-Nya. Penderitaan bukan saja coba dihindari manusia oleh karena
menyakitkan, tetapi juga karena di tengah penderitaan yang dialami, manusia
mungkin dipenuhi kebinggungan oleh karena tidak memahami penyebab Allah
mengizinkan penderitaan tersebut. Itu adalah misteri yang dihadapi Ayub pada
masanya dan mungkin menjadi suatu persoalan bagi orang-orang percaya di masa
kini. Metode penelitian menggunakan kualitatif
deskriptif dengan pendekatan metode analisis pustaka dan tafsir narasi dengan
pengumpulan data melalui sumber Alkitab, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel
digital, wawancara dan dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Terdapat
beberapa hasil sebagai berikut: pertama, penderitaan Ayub mewakili penderitaan
yang mungkin dialami manusia pada umumnya. Kedua, Ayub mempunyai sikap hati
yang kurang akurat sehingga menyebabkan respon yang salah dalam menghadapi
penderitaan. Kesimpulannya adalah bahwa pengenalan akan Allah secara pribadi
merupakan kebutuhan utama bagi manusia, sebab di dalamnya tersingkap
rahasia-rahasia ilahi yang merupakan misteri bagi manusia, dan penderitaan yang
diizinkan Allah bertujuan mendatangkan kebaikan bagi umat-Nya, yakni pemulihan.
Kata kunci: penyingkapan; rahasia; penderitaan ayub
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pendahuluan
Tidak ada yang terjadi dengan kebetulan di alam semesta ini
seperti dipikirkan banyak orang, sehingga mereka menjadi binggung saat mereka
dihadapkan dengan penderitaan yang melampaui pengertian mereka. Salah satu kecenderungan manusia adalah hampir selalu berusaha
menemukan jawaban melalui pola pikirnya,
seolah harus memahami segala sesuatu dan juga menjawab segala pertanyaan, sehingga kehidupan ini dipandang sebagai
suatu soal yang perlu dan harus dipecahkan. Namun, faktanya adalah bahwa, banyak pertanyaan
yang tidak dapat dijawab oleh manusia sehingga tetap menjadi misteri atau rahasianya Allah Sang sumber, Alfa dan Omega, yang Awal dan yang Akhir.
Berdasarkan data link https://kbbi.web.id/rahasia.html Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah �rahasia� dimaknai sebagai sesuatu yang dengan sengaja disembunyikan dengan tujuan tidak
diketahui oleh orang lain, atau
sesuatu hal yang belum diketahui maupun sukar dipsaahami.
Hal itu menjadi kesusahan tersendiri, apa lagi kalau
itu berkaitan dengan rahasia Allah. Maka menurut Dagpo,
apabila manusia belum dapat mengetahui
maupun mengidentifikasi eksistensinya dengan kebebasan dan berkahnya, manusia itu identik
dengan pribadi yang memiliki batu permata namun tidak menyadari
akan nilainya yang tinggi (Dagpo Rinpoche, 2020). Terdapat dua tingkatan
penderitaan: yaitu penderitaan ringan maupun berat, tergantung
anggapan dan respon secara langsung masing-masing
orang karena tingkat penderitaan itu relatif , oleh karena penderitaan termasuk realita dalam hidup
manusia dan dunia (Mayasari, Chearolina, & Wang, 2020). Menurut (Hidayat, 2016), pandangan terhadap penderitaan tidak dapat dipersepsikan secara sempit, oleh karena penderitaan merupakan suatu misteri sehingga manusia siapapun dia tidak mengetahui
alasan Allah menganugerahkannya
(Hidayat, 2016). Menurut (Sardono, Hermiawan, & Wekin, 2020) dan kawan-kawan dalam penelitian yang mereka telah lakukan, Ayub tetap beriman
sehingga mampu memandang dengan positif semua kemalangan
dan penderitaan yang menimpanya
dan tidak menyalakan Tuhan berdasarkan Ayub 1:1-22 (Eugenius Ervan dkk, 2020). Searah, Kitab Ayub menurut Kalis
dan Stefanus membincangkan penderitaan pribadi dan tidak mempersoalkan penderitaan suatu bangsa dalam rangka
menunjukkan kedaulatan
Allah� dalam mengizinkan orang yang takut akan Allah dan tidak bersalah mengalami penderitaan, tetapi rela menerimanya dengan mempertahankan imannya (Stevanus & Marbun, 2019).
�� Ibu Anita Simamora melalui wawancara Kamis 11 Februari 2021 dengan jujur berkata: �secara manusiawi, saya sulit memahami
dan menerima keadilan Tuhan, karena orang yang setia melayani Dia justru lebih
banyak kesusahannya dari pada kesukaannya�. Menurut (Tanuwidjaja, 2020), di balik peristiwa salib terdapat kemuliaan dan kebangkitan sehingga di balik kesulitan apapun, kemuliaan Allah yang sama sudah dipersiapkan bagi orang yang percaya (Tanuwidjaja, 2020).
Kitab Mazmur 119:17 yang berbunyi: �Bahwa aku tertindas itu
baik bagiku, supaya aku belajar
ketetapan-ketetapan-Mu�. Penderitaan merupakan salah satu tema yang mungkin selalu terhubung dengan kehidupan manusia dari sejak Adam manusia pertama hingga pada hari ini, sehingga penderitaan
apapun model dan tingkatannya
harus dihadapi. Isu penderitaan berulang kali menjadi topik bahasan baik
dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, sehingga tidak sedikit orang yang seperti Ayub meresponi
dengan salah proses penderitaan
sehingga putus asa, kecewa dan bahkan lebih jauh
memikirkan untuk mengakhiri hidupnya, oleh karena tidak menangkap
kehendak dan rencana Allah
yang tersembunyi di balik penderitaan. Mengamati realita yang terjadi saat ini di tengah
pandemi Covid-19 yang masih
berlanjut dimana penderitaan mungkin dirasakan oleh sebagian besar orang, dibutuhkan buah pikiran dan pandangan Alkitabiah, sebab firman Tuhanlah
yang dapat memberi pengertian yang benar tentang penderitaan. Maka, berbeda dengan
Eugenius Ervan dkk� dan Kalis Stevanus, penulis melihat sisi lain dari respon Ayub yang tidak sepenuhnya menerima kemalangan yang dialaminya, dan justru karenanya Allah mengizinkan penderitaan dalam rangka mendidik dan membawanya pada tahap pengenalan akan Allah yang lebih mendalam. Sebab, tanpa pengenalan
yang benar akan Allah, manusia sulit menerima
penderita sebagai suatu kasih karunia,
oleh karena hanya di balik pengenalan akan Allah rahasia-rahasia Allah mungkin dapat tersingkap
sehingga memerdekakan
orang-orang yang menerimanya.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Eugenius Ervan dkk. 2020) yang berjudul Makna Fenomena Kematian Masal di Tengah Pandemi Covid-19 Berdasarkan Refleksi Dari Ayub 1: 11-22, Visio Dei: Jurnal Teologi Kristen dan penelitian (Kalis Stevanus 2019), Memaknai Kisah Ayub Bagi Orang Kristus Dalam Mengalami
Penderitaan, Jurnal Teologi Pentakosta. Maka, penulisan ini bertujuan menemukan
makna atau rahasia yang terdapat di balik penderitaan Ayub di dalam Kitab Ayub dan juga manfaatnya bagi orang percaya masa kini, sehingga dapat melahirkan respon yang akurat dalam memandang dan menghadapi penderitaan apapun tingkatannya.
Manfaat dari penelitian ini bisa belajar
dari penderitaan Ayub yang memberi suatu pelajaran berharga bagi umat
Allah pada masa kini, bahwa
penyertaan Allah bagi orang
percaya adalah pasti, namun penyertaan
Allah tidak dimeniadakan masalah dan pergumulan, melainkan memampukan setiap orang yang percaya kepadaNya untuk bertahan dan pada akhirnya menang atas masalah
yang dihadapi.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif, dengan pendekatan metode
analisis pustaka dan tafsir narasi, dengan pengumpulan data melalui sumber
Alkitab, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel digital, wawancara dan dokumen lain
yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Pendekatan ini digunakan berkaitan
dengan ilmu teologi, oleh karena sumber utama yang dianalisa adalah Alkitab dan
berbagai sumber pendukung lain (Sonny Eli Zaluchu,
2020).
Penulis menggunakan pendekatan pustaka dengan tujuan melihat berbagai pandangan
para pakar dan peneliti terkait penderitaan Ayub dan menemukan makna di
baliknya, agar dengan demikian dapat memberi pemahaman yang komprehensif secara
teologis. Di sisi lain, penulis mengamati realita masa kini dengan menganalisa
berbagai pemberitaan yang relevan dan berhubungan dengan penderitaan, tentu
atas dasar Alkitab sebagai landasan sentral dalam memberi pemahaman yang dapat
diimplementasikan dalam hidup sehari-hari (Katarina &
Darmawan, 2019).
Hasil dan Pembahasan
1.
Penderitaan Ayub Sebagai Gambaran Umum Penderitaan Manusia
�Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur, ia takut akan
Allah dan menjauhi kejahatan�
(Ayub 1:1). Kendati kualitas Ayub dinyatakan
demikian baik dan saleh, Iblis mendapat izin dan kesempatan dari Allah untuk mencobainya. Ayub telah kehilangan segala yang dimilikinya sebagai harta (penderitaan secara ekonomi), ia kehilangan
semua anak-anaknya, dan istrinya berbalik melawannya (penderitaan karena duka), penderitaan
jasmani oleh karena tubuhnya penuh dengan borok, keluarga
dan teman-teman dekatnya
salah menilai dan meninggalkannya
dan warga kota memandangnya rendah sehingga reputasinya yang baik dan terhormat hancur (penderitaan karena ketidakadilan manusia), secara mental ia dalam kebinggungan
yang besar, sangat tertekan secara emosional dimana situasi di sekitarnya tampak seolah tidak
ada harapan, dan di atas semuanya secara
rohani dia merasa Allah berdiam diri.
Tirza Manaroinsong berpendapat bahwa tidak ada
alasan sama sekali yang membuat Ayub layak menerima
penderitaan yang dialaminya,
karena Allah sendiri yang memujinya (Wawancara Jumat 29 Januari 2021). Manusia ada karena
dirancang oleh Allah, diciptakan
oleh Allah dan untuk Allah, sebab
Allah mempunyai tujuan atas hidupnya. Hanya, banyak orang yang memilih untuk menebak,
berteori atau berspekulasi tentang alasan-alasan atau jawaban-jawaban yang mereka butuhkan, tetapi tetap nihil hasil yang diperoleh mereka. Kenapa? Mereka belum memahami sungguh bahwa Allah adalah titik awal
dalam hidup manusia dan bahkan sumber kehidupan itu sendiri. Itulah
kunci yang diceritakan dalam kisah Ayub.
Kelahiran manusia, kematiannya, kota dimana dia tinggal,
ras-nya, pasangan hidupnya, suksesnya, penderitaan dsb. tidak ada yang kebetulan. Maka menurut� (Tripp, 2018), teologi penderitaan menurut Alkitab dirancang sebagai sarana dengan tujuan
pencapaian penghiburan yang
sebenarnya, arahan yang sebenarnya, perlindungan yang sebenarnya, pertobatan yang sebenarnya, dan harapan yang sesungguhnya.� (Heward-Mills, 2015) berkata bahwa penderitaan
mempunyai hubungan erat dengan perjanjian
di dalam Kristus, sehingga merupakan suatu ketidakwajaran apabila di dalam perjalanan iman penderitaan diabaikan.
2.
Sikap Hati Ayub yang Kurang Akurat
Beberapa fakta perlu dicermati
sehingga melalui ujian dan cobaan yang dialami Ayub, kitab dapat menarik beberapa
informasi atau gambaran tentang pribadinya. Ayub mungkin religius dan takut akan Tuhan,
dan bahkan menjauhi kejahatan, tetapi Ayub dengan sadar
atau tidak sadar memiliki kondisi atau sikap
hati yang kurang akurat di hadapan Tuhan. Kondisi atau sikap hati
seseorang sulit untuk dideteksi oleh manusia karena posisinya yang di dalam dan tersembunyi, bahkan termasuk pribadi kita sendiri Itu
alasan kenapa sahabat-sahabatnya Ayub tidak dapat mengoreksi
Ayub selama perdebatan mereka yang begitu panjang dan melelahkan bagi mereka (dari pasal
4 � 32). Itulah wilayahnya Tuhan, maka Alkitab
mencatat dalam Yeremia 17:9-10 �Betapa liciknya hati, lebih licik dari
pada segala sesuatu, hatinya membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, Tuhan, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi
balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.�
Maka Kalis Stevanus berpendapat bahwa pengalaman manusia tentang Allah sangat penting, sebab dibaliknya akan terbentuk suatu pengetahuan yang benar tentang Allah (Kalis, 2019), di dalamnya dapat terungkap banyak hal yang mungkin belum diketahui sebelumnya.
Pertama, Ayub mengasihi Tuhan dan memang berusaha untuk menyenangkan-Nya, tetapi sesungguhnya pada kenyataan Ayub lebih mengasihi
anak-anaknya. Ayub 1: 4-5 bunyinya:
��Anak-anaknya yang lelaki biasa mengadakan
pesta di rumah mereka masing-masing menurut giliran dan ketiga saudara
perempuan mereka diundang untuk makan dan minum bersama-sama mereka. Setiap
kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan
menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu
mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya:
�Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam
hati.� Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa�.
Ayub lebih
memilih mempersembahkan korban bakaran untuk penebusan dosa anak-anaknya terus
menerus dari pada mendisiplinkan anak-anaknya. Bukankah lebih akurat apabila
Ayub mendisiplinkan mereka? Tidak, dia tidak melakukannya sebab mungkin tidak
mau menyakiti mereka dengan teguran, sehingga memilih cara yang mudah
menyelesaikan masalah. Mungkin dalam pandangannya Tuhan pasti maklum karena
kesalehannya.
Evangelist Alfons Abednego Simanjuntak berpendapat bahwa tidak ada yang jahat yang dilakukan
anak-anak Ayub dengan mengadakan pesta (Wawancara Senin 1 Februari 2021).
Menurut Fabianus, Ayub merupakan sosok pria yang melaksanakan tugas kepala
keluarga dengan baik dan menjadi teladan bagi anak-anaknya sehingga menjadi
keluarga bahagia (Eko
Fabianus Cindera, 2010). Tetapi
perlu diingat bahwa Alkitab tidak mencatat anak-anak Ayub sebagai saleh atau
benar, istrinya pun tidak. Bahkan tidak ada satu petunjuk pun dalam kisah di
Kitab Ayub yang mengindikasi bahwa anak-anak Ayub satu kali pun berkumpul untuk
beribadah kepada Tuhan, tetapi justru indikasi sebaliknya yang kelihatan
sehingga perlu dipersembahkan korban oleh ayah mereka terus menerus. Sebagai orang dewasa, seandainya anak-anak Ayub memiliki sisi
rohani yang seperti ayah mereka, seharusnya mereka dapat mempersembahkan korban
bakaran masing-masing bagi dirinya sendiri. Mereka ada indikasi menjadi
anak-anak manja.
Kedua, tanpa
sadar kondisi hati Ayub yang tidak akurat memunculkan kesombongan rohani dalam
hidupnya. Reputasinya sebagai orang yang saleh dan jujur, takut akan Tuhan dan
menjauhi kejahatan, sepertinya memberikan kepada Ayub sebuah otoritas untuk
merasa berhak marah terhadap Tuhan ketika ada hal buruk terjadi. Frans Paillin Rumbi katakan
bahwa ternyata Ayub�
salah memahami penderitaan yang dialaminya, padahal Tuhan menggugat hal
yang jauh lebih tinggi dari keadilan yang dituntut Ayub (Rumbi,
2019). Ayub 36:13-18 berkata bahwa orang fasik mempunyai hati yang menyimpan kemarahan, dan tanpa sadar Ayub menyimpan kemarahan dalam hidup, dan
Alkitab menyebut orang yang menyimpan kemarahan sebagai munafik. Itulah kondisi hati Ayub yang membuatnya tanpa sadar merasa berhak
berdiri di hadapan Tuhan dan mengatakan bahwa Tuhan telah
berlaku tidak adil terhadap dirinya.
Perlu goncangan supaya akar dasar
kondisi hati Ayub mulai diketahui
oleh dirinya sendiri. Penderitaan istri Ayub tidaklah berbeda
dengan apa yang dialami Ayub, hanya
perbedaanya adalah bahwa istri Ayub
mengakui apa yang dirasakannya dengan kehilangan segalan sesuatu yang memberi arti pada kehidupannya, tetapi Ayub menutupi perasaannya
(Marie-Claire
Barth Frommel (2016:42).
Ketiga, rupanya tanpa sadar,
Ayub memiliki kondisi hati yang cenderung mengandalkan kekayaan sebagai jalan keluar dari
seluruh masalahnya. Di pasal 1 sudah tercatat
bahwa Ayub mempersembahkan korban senantiasa
bagi anak-anaknya. Untuk persembahkan korban bakaran itu tidak
murah, apalagi melakakukannya terus menerus. Butuh lembuh, minimal domba. Tetapi untuk Ayub
tidak menjadi masalah sebab dia
adalah orang yang berlimpah-limpah
kekayaan. Kambing dombanya ribuan, sehingga tanpa sadar dia mencoba
menyuap Tuhan (Ayub 36: 16-21 Terjemahan The
Message Bible). Allah lebih menghendaki
hati Ayub dan anak-anak Ayub daripada korban bakaran terus menerus.
Keempat, Ayub ternyata memiliki
pengenalan akan Tuhan yang tidak seimbang. Dia hidup
hanya dari kata orang:
�Maka jawab Ayub
kepada Tuhan: aku tahu, bahwa
Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal. Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita
tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku
dan yang tidak kuketahui. FirmanMu: Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai
engkau, supaya engkau memberitahu Aku. Hanya dari
kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut
perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.� (Ayub 42:1-6).
Karena Ayub hanya mengenal
Tuhan dari kata orang, di saat bencana datang
pertama kali, Ayub berkata bahwa Tuhan
yang telah memberi dan Dia juga yang mengambil kembali, lalu ia
memuji nama Tuhan (Ayub 1:21). Perkataan Ayub walaupun kedengaran rohani, adalah kurang akurat. Karena Tuhan tidak pernah
mengambil, Tuhan mungkin meminta tetapi tidak mengambil.
Sebab kata �mengambil� mempunyai makna atau arti memaksa, dan itu yang sesungguhnya yang Ayub rasakan dengan
semua kejadian yang telah menimpa dirinya
dalam sehari itu. Seolah dirampas
semua yang berharga yang dia miliki begitu
saja.
Di sisi lain, ketika istrinya meminta Ayub menyangkali dan kutuki Tuhan dan mati, Ayub berkata:
�Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita
mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau
menerima yang buruk?� (Ayub 2: 10). Memang Alkitab berkata selanjutnya bahwa Ayub tidak berbuat
dosa dengan bibirnya, yang artinya Ayub tidak mengucapkan
kata-kata yang melawan Tuhan,
tetapi kondisi hatinya yang didasari oleh pengenalan akan Tuhan yang tidak sehat dan akurat, membuat dia berkata
dan meyakini bahwa kalau ada sesuatu
yang baik itu datang dari Tuhan,
tetapi sebaliknya ia juga meyakini bahwa yang buruk datang dari pada Tuhan juga.
Mungkinkah ada sesuatu yang buruk dari pada Tuhan? Timothy (Christianto,
Suria, & Tafonao, 2020) berkata bahwa penderitaan
merupakan sarana perpindahan dari pengetahuan akan Allah yang abstrak pada perjumpaan pribadi yang lebih mendalam sebagai sumber kehidupan. Iblislah si pencuri
yang datang mencuri, membunuh dan membinasakan; tujuan Tuhan adalah
agar manusia mempunyai hidup dalam segala
kelimpahan (Yoh. 10:10). Tuhan
tidak pernah memberi yang buruk. Sebagai akibat pengenalan akan Tuhan yang tidak seimbang, Ayub saat hal yang buruk
datang, memunculkan kepahitan terhadap Tuhan. Ayub 6: 4-9 berbunyi:
��Karena anak panah dari yang Mahakuasa tertancap pada tubuhku, dan racun-nya diisap oleh jiwaku; kedasyatan Allah seperti pasukan melawan aku. Meringkikkah keledai liar di tempat rumput muda, atau
melenguhkah lembuh dekat makanannya? Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa
garam atau apakah putih telur ada
rasanya? Aku tidak sudi menjamahnya,
semuanya itu makanan yang memualkan bagiku. Ah, kiranya terkabul permintaanku dan Allah memberi apa yang aku harapkan! Kiranya
Allah berkenan meremukkan aku, kiranya Ia
melepaskan tanganNya dan menghabisi nyawaku!�.
Ayub menganggap semua yang buruk yang dialaminya merupakan rekayasa tangan Tuhan untuk
menghancurkan hidupnya.
Oleh karena ketidak akuratan-nya dalam pengenalan akan Tuhan. Allah yang kita sembah adalah Allah yang baik, dan tidak pernah merancang hal yang buruk bagi kita. Terpikir
atau tersirat pun tidak pernah dalam
pikiranNya, karena Dia adalah Bapa
yang baik. Alkitab menyatakan dengan jelas dalam ibrani
bahwa walaupun ganjaran itu diterima,
akan menghasilkan buah kebenaran. Dalam Ayub 10: 1-22 pun kita lihat keluhan
Ayub yang begitu menuduh Allah menikmati menyiksa dirinya dan menganggap dirinya tidak layak menerima
semua yang dialaminya. Tuhan bagi Ayub
dahulu adalah baik tetapi sekarang
adalah jahat. Ketidakseimbangan dalam pengenalan akan Tuhan membuat Ayub
mencurigai Tuhan.
Kelima, tanpa sadar Ayub
memiliki dalam hatinya godaan untuk menjalani hidup seperti orang-orang fasik. Dia berpendapat
bahwa nasib orang yang hidup takut akan
Tuhan sia-sia dan tanpa jaminan, dan justru bahwa sebaliknya
orang-orang fasik lebih baik nasib mereka.
Ayub 34: 5-10 mencatat:
��Karena Ayub berkata: aku benar,
tetapi Allah mengambil hakku; kendati aku mempunyai hak
aku dianggap berdusta, sekalipun aku tidak melakukan
pelanggaran, lukaku tidak dapat sembuh
lagi. Siapakah seperti Ayub, yang minum hujatan terhadap
Allah seperti air, yang mencari
persekutuan dengan
orang-orang yang melakukan kejahatan
dan bergaul dengan
orang-orang fasik? Karena dia
telah berkata: tidak berguna bagi
manusia, kalau ia dikenan Allah. Oleh sebab itu, kamu
orang-orang berakal budi, dengarkanlah aku: Jauhlah dari pada Allah untuk melakukan kefasikan, dan dari yang Maha kuasa untuk
berbuat curang.�
Selama ini bagi Ayub
Allah tampak begitu dekat selama semuanya
berjalan lancar dalam keluarganya, usaha-usahanya, kesehatan-nya, hubungan dengan orang sekitarnya, status sosialnya. Tetapi setelah segala sesuatu lenyap, Ayub mengalami
tekanan yang sangat dasyat yang mengakibatkan secara emosional Ayub goncang dan mendekat kepada batas kesabarannya. Memang rasa sakit yang dialami Ayub karena
kesedihan atas kematian anak-anaknya, kebangkrutannya, dan luka-lukanya
punya pengaruh besar dalam penderitaan emosional yang dialaminya, tetapi ada tiga
faktor yang lain yang memperberat
keadaannya sehingga dia putus asa
dan hancur hati sehingga dia menyesali
hari kelahirannya (Ayub 3:1-10), mengharapkan mati ketika dilahirkan
(Ayub 3:11-19) dan ingin mati saat itu
(Ayub 3:20-26).
Di tengah penderitaan seperti yang Ayub alami, keluhan dan kebimbangan sangatlah wajar. Namun melalui
kisah Ayub kita dapat memahami
dan menyadari bahwa kesalehan seseorang belum tentu menjamin
respon yang benar di dalam menghadapi proses penderitaan dan Ayub merupakan salah satu contoh. Oleh karena itu Allah lebih menghendaki pengenalan akan Allah melalui hubungan pribadi, sebab melaluinya terdapat penyingkapan maksud Allah yang dalam (rahasia) yang memampukan seseorang meresponi apapun yang Tuhan izinkan dengan benar dan akurat. Dengan demikian orang-orang yang menderita dapat tetap memposisikan diri sebagai ciptaan
dan tidak menuntut pertanggungjawaban Sang Pencipta Maha Agung atas segala penderitaan yang dialami dan belum dimengerti alasannya.
Maka jika dikorelasikan dengan kehidupan manusia termasuk orang percaya saat ini
di tengah pandemi Covid-19
yang sudah hampir setahun berlangsung, dan tidak ada yang tahu kapan akan
berakhirnya, yang berdampak
luas di dalam segala aspek kehidupan
manusia, dan juga memberi dampak yang kurang baik bagi orang percaya dalam menjalankan
ibadahnya (Dewi Sartika, Irene Silviani, 2020), juga berdampak di dalam elemen sosial politik
maupun ekonomi dan mengakibatkan guncangan secara psikologis sehingga sejumlah besar orang mengalami kepanikan, frustrasi hingga kematian. (Abdon Amtiran,
2020),
orang-orang percaya dipanggil
untuk tetap tegar, bersandar dan berserah sepenuhnya kepada Allah yang punya kendali atas segala sesuatu,
selalu mengucap syukur kepada Allah sebagai bukti iman
di tengah proses ujian dan penderitaan yang dialami apapun bentuk, sebab itulah yang berkenan kepada Allah, sebab apa bila
Allah diam, tidak bisa diartikan sepertinya Allah tidak mau atau
tidak mampu menolong umat-Nya, melainkan melalui iman, orang percaya tetap menaruh kepercayaan
kepada Allah sampai segala sesuatunya menjadi indah sesuai
maksud Allah bagi kebaikan umat-Nya (Arif Wicaksono, 2018). Penderitaan Ayub dapat memberi suatu
pelajaran yang berharga bagi umat Allah pada masa kini, bahwa penyertaan
Allah bagi orang percaya adalah pasti, namun
penyertaan Allah dimeniadakan
masalah dan pergumulan, melainkan memampukan setiap orang yang percaya kepadaNya untuk bertahan dan pada akhirnya menang atas masalah
yang dihadapi. �Oleh karena ada batas-batas yang Allah tetapkan di tengah proses penderitaan yang dialami Ayub, sehingga memberi pengajaran bahwa jika Allah membiarkan umat-Nya mengalami penderitaan, itu tetap di dalam
kendaliNya (Marsi Bombongan, 2020).
Kesimpulan
Pengenalan akan Allah secara pribadi merupakan kehendak Allah dan kebutuhan utama bagi manusia,
sebab di dalamnya tersingkap rahasia-rahasia ilahi yang merupakan misteri bagi manusia,
dan penderitaan yang diizinkan
Allah bertujuan mendatangkan
kebaikan bagi umat-Nya, yakni pemulihan sejati. Respon yang benar di tengah penderitaan bersumber dari pengenalan yang benar akan Allah, dan itulah yang disebut beriman. Maka, orang-orang percaya dipanggil untuk belajar mempercayai Tuhan walaupun di tengah kegelapan yang paling gelap, sekalipun tidak mengerti, sebab iman merupakan
kasih karunia anugerah Allah bagi manusia agar mampu menerima ketidakpastian. Maka, di tengah pandemi Covid-19 yang sudah hampir setahun berlangsung dan tidak ada yang tahu kapan
akan berakhirnya, orang percaya harus tetap
tegar dan penuh pengharapan di tengah proses ujian dan pergumulan hidup, sebab itulah
yang berkenan kepada Allah.
BIBLIOGRAFI
�Amtiran, Abdon (2020). Pandemi Covid-19 dan
Implikasinya Terhadap Polarisasi Mazhab Teologi di Indonesia, Magnum Opus
Jurnal Teologi dan Kepemimpinan Kristen, 1(2), 64-71.
Bombongan,
Marsi, Rantesalu (2020). Penderitaan dari Sudut Pandang Teologi Injili, Jurnal
Ilmiah Religiosity Entity Humanity (JIREH), 2(2), 126-135.
Christianto,
Victor, Suria, Isak, & Tafonao, Talizaro. (2020). Religiositas, olahraga
dan etika belaskasih (hesed): Religiosity, sports and the ethics of mercy
(hesed). Jurnal Teologi Amreta (ISSN: 2599-3100), 3(2).
Eko Fabianus Cindera. (2010). Eko Fabianus Cindera, 2021. Ayub di
Lembah Corona, Surabaya: Cipta Media Nusantara.
Heward-Mills, Dag. (2015). The art of leadership. English: Dag
Heward-Mills.
Hidayat, Elvin Atmaja. (2016). Iman Di Tengah Penderitaan: Suatu Inspirasi
Teologis-Biblis Kristiani. Melintas, 32(3), 285�308.
Katarina, Katarina, & Darmawan, I. Putu Ayub. (2019). Implikasi
Alkitab dalam Formasi Rohani pada Era Reformasi Gereja. Epigraphe: Jurnal
Teologi dan Pelayanan Kristiani, 3(2), 81�93.
Mayasari, Iis Dahlia, Chearolina, Chearolina, & Wang, Suryowati.
(2020). Pendidikan Penderitaan Dalam Kitab Ayub Guna Memberi Solusi
Perkara-Perkara Dunia Pelayan Tuhan. Excelsis Deo: Jurnal Teologi,
Misiologi, dan Pendidikan, 4(2), 59�70.
Rumbi, Frans Paillin. (2019). Babak Akhir Penderitaan, Dosa Dan Teodice
Dalam Epilog Kitab Ayub 42: 7-17. Veritas Lux Mea (Jurnal Teologi dan
Pendidikan Kristen), 1(2), 53�64.
Sardono, Eugenius Ervan, Hermiawan, Nikodemus, & Wekin, Oktavianus
Klido. (2020). Makna Fenomena Kematian Massal di Tengah Pandemi Covid-19
Berdasarkan Refleksi dari Ayub 1: 1-22. Visio Dei: Jurnal Teologi Kristen, 2(2),
265�283.
Sartika Dewi Butar-butar, Irene Silviani (2020). Komunikasi Krisis di Tengah
Pandemi Covid-19 GBI Pondok Toba Deli Serdang, Jurnal Massage Komunikasi,
9(1), 1-5.
Stevanus, Kalis, & Marbun, Stefanus. (2019). Memaknai Kisah Ayub Bagi
Orang Kristen Dalam Menghadapi Penderitaan. LOGIA: Jurnal Teologi Pentakosta,
1(1), 25�43.
Tanuwidjaja, Sundoro. (2020). Pentingnya Kesulitan dan Penderitaan:
Menemukan Nilai dan Makna Kehidupan dalam Perspektif Iman Kristen. Sola Scriptura: Jurnal
Teologi, 1(1), 53�72.
Tripp, Paul David. (2018). Sex in a broken world: How Christ redeems
what sin distorts. Crossway.
Wicaksono,
Arif (2018). Ketika Allah �Diam�: Analisis Retorika Ayub 39:4-15, Evangelikal:
Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, Ketika Allah
"Diam": Analisis Retorika Ayub 39:4-15. Journal Sttsimpson 2(2), 135-146.