Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol.
6, No. 3, Maret 2021
EVALUASI IMPLEMENTASI DAN PENCAPAIAN STANDAR
PELAYANAN MINIMAL PADA PASIEN RAWAT JALAN BPJS KESEHATAN DI INSTALASI FARMASI RSUD Dr.A.DADI TJOKRODIPO KOTA BANDAR LAMPUNG
Septiyana
Lia Armansyah, Shirly Kumala, Prih Sarnianto dan Syarifah Aini
Fakultas
Farmasi Program Studi Magister Ilmu Kefarmasian, Universitas Pancasila, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected] dan [email protected]
Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan gambaran mengenai pelaksanaan SPM Rumah Sakit Bidang Farmasi
menurut Menkes RI No 129 Tahun 2008 di RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo Kota Bandar
Lampung, dan mengukur serta mengevaluasi implementasi pencapaian SPM. Penelitian
bersifat deskriptif. Sampel pada penelitian sebanyak 270 pasien rawat jalan
BPJS yang menebus obat di Instalasi Farmasi RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo.
Instrumen penelitian adalah kuesioner kepuasan pelanggan dan lembar pengamatan
resep. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan SPM Rumah Sakit Bidang Farmasi di RSUD Dr.A.Dadi
Tjokrodipo dipengaruhi oleh faktor input antara lain keterampilan petugas,
sarana prasarana, jenis resep, ketersediaan obat, jenis pasien, peresepan
dokter dan kebijakan yang efektif. Proses pelayanan resep dari tahapan
penerimaan resep telah melalui verifikasi dan dilakukan pengecekan kembali
sebelum penyerahan obat hasil pencapaian pelaksanaan� SPM berdasarkan indikator waktu
tunggu pelayanan obat jadi adalah 13 menit 8 detik dan untuk obat racikan 20
menit 34 detik, tidak adanya kesalahan pemberian obat� sebesar 100%, penulisan resep sesuai
formularium sebesar sebagai 89,26%, kepuasan pelanggan sebesar 91,9%. Dari
hasil pencapaian empat indikator dapat dikatakan untuk waktu tunggu obat, tidak
adanya kejadian kesalahan pemberian obat dan kepuasan pelanggan� memenuhi SPM Bidang Farmasi sedangkan
indikator penulisan resep sesuai formularium tidak memenuhi SPM Bidang Farmasi yang
telah ditetapkan oleh�� Menteri�� Kesehatan. Ada pengaruh antara� mutu pelayanan terhadap pemanfaatan instalasi
farmasi dan variabel paling dominan mempengaruhi mutu pelayanan terhadap
pemanfaatan instalasi farmasi adalah ketanggapan dan kepedulian.
Kata kunci:
implementasi SPM; SPM farmasi; pelayanan farmasi
Coresponden Author
Email: [email protected]
Artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
Pemerintah
mengeluarkan kebijakan dibidang kesehatan untuk masyarakat berupa Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, maka Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dibentuk dan menggantikan lembaga-lembaga
jaminan sosial yang ada di Indonesia (BPJS Kesehatan, 2018). Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
(BPJS Kesehatan) adalah badan hukum yang dibentuk pemerintah untuk
menyelenggarakan program jaminan kesehatan kepada masyarakat yang dilakukan di rumah
sakit dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari tahun 2014 (Undang undang No 12 tahun 2013).
Implementasi
Standar Pelayanan Minimal (SPM)� menjadi
sangat strategis berkaitan dengan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Implementasi SPM ini akan memperkuat dari sisi promotif-preventif. Dengan begitu,
diharapkan akan ber-impact pada menurunnya jumlah kasus kuratif yang harus
ditanggung oleh JKN (Kementrian kesehatan RI, 2018)
Dalam rangka pencapaian suatu SPM
yang berupa masukan, proses, hasil dan atau manfaat pelayanan, maka indikator
SPM dijadikan tolok ukur prestasi kualitataif dan kuantitatif yang akan
memberikan gambaran besaran sasaran yang hendak dipenuhi (Presiden
Republik Indonesia, n.d.).�
Penerapan SPM di RS harus dilakukan di seluruh unit pelayanan rumah sakit, termasuk unit yang
memberikan pelayanan kefarmasian.
Pengaturan mengenai Jenis Pelayanan
Dasar ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah dan tidak didelegasikan lagi kedalam peraturan perundang-undangan lainnya. �Hal
ini
tertuang dalam PP Nomor 2 tahun 2018, yang
menyatakan bahwa Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, penataan
ruang, perumahan
ralgrat dan kawasan permukiman,
ketenteraman, ketertiban umum, perlindungan masyarakat, dan social.
Penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini
sangat berkaitan erat dengan penerapan SPM dibidang kesehatan. JKN dan SPM
bidang kesehatan bersifat saling melengkapi dan sinergisme. Penekanan SPM dibidang
kesehatan difokuskan pada pelayanan promotif dan preventif, sedangkan program
JKN berfokus pada pelayanan kuratif dan rehabilitative (Kemenkes, 2016).
RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo Bandar
Lampung merupakan salah satu rumah sakit rujukan dari 28 puskesmas induk dan 56
puskesmas pembantu yang berada di wilayah Kota Bandar Lampung. Pelayanan obat
di Instalasi Farmasi merupakan unsur penting di RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo,
melayani pelayanan resep dan obat dari rawat jalan, rawat inap dan IGD. Banyaknya
permintaan obat oleh pasien, maka pihak rumah sakit dituntut untuk meningkatkan
pelayanan tertutama pelayanan kefarmasian.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah unit
satu-satunya di rumah sakit yang mempunyai tugas dalam mengadakan barang
farmasi, mengelola dan mendistribusikan barang farmasi kepada pasien. Selain
itu juga bertanggung jawab atas semua barang farmasi yang beredar di rumah
sakit, dan bertanggung jawab atas pengadaan dan penyajian informasi obat siap
pakai bagi semua pihak di rumah sakit (Kemenkes, 2016).
Pelayanan kefarmasian merupakan
salah satu jenis pelayanan di rumah sakit yang minimal wajib disediakan dan tidak
bisa dipisahkan dari sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit dan berorientasi
kepada pelayanan pasien. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Standar
Pelayanan Kefarmasian adalah pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Yang dimaksud pelayanan kefarmasian
adalah suatu pelayanan langsung kepada pasien dan juga bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi untuk mencapai hasil yang pasti dalam
rangka meningkatkan mutu kehidupan pasien (Kemenkes, 2016).
Pelaksanaan implementasi SPM
khususnya bidang farmasi belum diketahui secara tepat apakah indikator yang ada
benar-benar digunakan oleh unit kerja dan organisasi sebagai alat memonitoring
kinerja dan melakukan perbaikan kinerja.
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa tingkat kepuasan pasien rawat jalan sebanyak (60%) tidak memenuhi SPM Rumah Sakit. SPM yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yaitu sebesar ≥80%. Rata-rata waktu tunggu pelayanan obat jadi pasien rawat jalan didapatkan hasil sebesar (46,3 menit) hasil tersebut tidak sesuai dengan standar SPM rumah sakit yaitu sebesar ≤30 menit, rata-rata waktu �tunggu obat racikan didapatkan hasil sebesar (71,3 menit) hasil tersebut tidak sesuai dengan standar SPM rumah sakit karena standar yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yaitu sebesar ≤60 menit untuk obat racikan (Dekaningtyas, Suharsono, FRS, & Setiyadi, 2016).
Berdasarkan data dan hasil pengamatan peneliti di Instalasi Farmasi RSUD dr. A Dadi Tjokrodipo terlihat penumpukan pasien yang akan menebus obat, dan sering didapati adanya
keluhan pasien karena obat yang diresepkan oleh dokter tidak tersedia dan harus menebus obat
di luar yang berakibat merugikan pasien karena harus mengeluarkan
biaya tambahan serta keluhan dari
petugas Instalasi Farmasi
yang mengeluhkan kalau pasien ramai mereka
sangat lelah dan tidak sempat beristirahat.
Sehingga sangat penting kiranya bagi rumah sakit untuk melakukan penilaian yang
tepat dan memenuhi SPM Rumah Sakit serta kesan bahwa pelayanan resep di Instalasi
Farmasi RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo
Kota Bandar Lampung lama, yang berakibat pasien tidak puas terhadap pelayanan
pada RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo sehingga
secara tidak langsung merugikan
juga secara finansial.
Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui bagaimana gambaran faktor-faktor input yang mendukung atau menghambat pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit Bidang Instalasi Farmasi RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar Lampung,� mengetahui proses kegiatan pelayanan resep rawat jalan BPJS di Instalasi Farmasi mulai dari tahap penerimaan resep sampai penyerahan obat kepada pasien, mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan SPM Rumah Sakit Bidang Instalasi Farmasi serta untuk mengetahui pengaruh mutu pelayanan terhadap pemanfaatan instalasi farmasi dan faktor yang paling dominan mempengaruhi mutu pelayanan terhadap pemanfaatan Instalasi Farmasi Rumah� RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung.
Dari hal-hal tersebut
diatas peneliti tertarik untuk melihat bagaimana
pelaksanaan pelayanan pada Instalasi Farmasi RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo apakah telah sesuai dengan SPM Rumah Sakit bidang farmasi yang
telah ditetapkan dan melakukan evaluasi terhadap implementasi Standar Pelayanan
Minimal Rumah Sakit bidang farmasi di RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo Kota Bandar
Lampung sehingga dapat meningkatkan kompetensinya demi terlaksananya pelayanan
kefarmasian yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Metode Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah non eksperimental dengan rancangan deskriptif (penelitian
survei) dan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional, denga
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian dilakukan
di RSUD dr. A
Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung. Penelitian Kuantitatif untuk memperoleh data evaluasi
implementasi pencapaian SPM Bidang Farmasi di�
Instalasi Farmasi RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung. Populasi dalam
penelitian ini adalah 820� lembar resep
pasien. Adapun sampel dalam penelitian ini sebesar 270 sampel menggunakan teknik
pengambilan sampel probability sampling. Data yang diperoleh berupa
pelayanan resep pasien rawat jalan BPJS di Instalasi Farmasi RSUD dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung yang berasal dari poliklinik bulan Januari
sampai Maret Tahun 2018. Pengumpulan data kualitatif menggunakan pedoman
wawancara untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai SDM, jenis pasien,
jenis resep, ketersediaan obat, pola peresepan dokter, sarana dan prasarana,
formularium dan kebijakan RS di Instalasi Farmasi RSUD dr. A. Dadi
Tjokrodipo. Adapun pengumpulan data kuantitatif menggunakan lembar
pengamatan� kuesioner untuk mencatat
kesesuaian resep dengan formularium, kesesuaian antara resep dengan obat yang
diberikan kepada pasien, waktu tunggu pelayanan resep di Instalasi Farmasi RSUD
dr. A. Dadi
Tjokrodipo dari proses penerimaan resep sampai dengan penyerahan obat, baik itu
obat jadi maupun obat racikan. Analisis data yaitu dengan data kualitatif menggunakan analisis non statistik, sedangkan data
kuantitatif menggunakan uji statistik yaitu uji univariat menggunakan distribusi frekuensi, uji bivariat menggunakan uji chi
square dan uji regresi multinominal.
Hasil
dan Pembahasan
1.
Waktu
Tunggu Pelayanan Resep
(Suryana, 2018) menyatakan bahwa waktu
tunggu pelayanan obat meliputi waktu tunggu pelayanan resep obat non racikan dan
waktu tunggu pelayanan resep obat racikan. Menurut Permenkes No 58 tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit dijelaskan bahwa waktu
tunggu pelayanan resep obat non racikan adalah tenggang waktu mulai pasien menyerahkan resep
sampai dengan menerima obat non racikan/ obat jadi. Sedangkan waktu tunggu
pelayanan resep obat racikan adalah tenggang waktu mulai pasien meyerahkan resep sampai dengan menerima obat racikan.
Berdasarkan data yang
diperoleh peneliti dari 270 sampel resep, terdapat 189 resep obat jadi atau
sekitar 70% dan 81 resep obat racikan atau sekitar 30%., maka didapatkan hasil lamanya waktu tunggu pelayanan resep dari tiap jenis resep yang akan disajikan pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1
Total Lama Waktu Tunggu Pelayanan Resep ������������������������������������������������TiapJenis
Resep (dalam menit)
|
Jenis Resep Yang Diamati |
|
Jadi (N= 189) |
Racikan (N=81) |
|
MIN |
3 |
4 |
MAX |
32 |
44 |
Standar SPM-RS |
30 |
60 |
Standar rata-rata |
13�8� |
20�34� |
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel
1, rata-rata waktu tunggu resep obat jadi adalah 13 menit 8 detik. Waktu tunggu paling lama adalah 32 menit dan
yang paling cepat adalah 3
menit. Untuk resep obat racikan rata-rata
waktu tunggu �20 menit 34 detik dengan waktu tunggu
paling lama 44 menit dan
paling cepat 4 menit. Tetapi
dari sejumlah resep obat yang dijadikan sampel penelitian waktu tunggu
pelayanan terdapat persentase jumlah resep dari tiap jenis resep yang tidak
memenuhi standar waktu pelayanan menurut SPM-RS yaitu resep obat jadi maksimal
adalah 30 menit dan resep obat racikan maksimal adalah 60 menit. Secara rinci dapat
dilihat pada tabel 2. berikut ini:
Tabel 2
Persentase Tiap
Jenis Resep Yang Tidak Memenuhi SPM-RS
Jenis Resep Yang Diamati |
Persen |
Jadi |
0,01 |
Racikan |
0,00 |
Dari tabel 2 diketahui bahwa terdapat 0,01
% atau terdapat 2 resep dari 189 resep obat jadi BPJS yang berasal dari
poliklinik yang tidak memenuhi standar waktu pelayanan menurut SPM-RS,
sedangkan untuk resep obat racikan yang berasal dari poliklinik BPJS sejumlah
81 sampel resep semua sudah memenuhi standar SPM RS yaitu dibawah 60 menit.
Dari hasil pengamatan waktu tunggu resep
obat jadi yang tidak memenuhi standar ada 2 resep, dimana waktu yang yang
dipergunakan oleh kedua resep tersebut adalah 31 menit dan 32 menit, kedua
resep tersebut berasal dari poliklinik dalam dan merupakan obat kronis yang
pemberian obatnya untuk satu bulan, untuk obat-obatan kronis atau yang masuk
rujuk balik maka perlakuan terhadap resepnya juga berbeda, dimana resep harus
terlebih dahulu dilakukan verifikasi atau entry data dan melengkapi syarat
sehingga obat yang diberikan bisa di klaim sehingga membutuhkan waktu yang
lebih lama.
Sedikit berbeda dengan hasil penelitian (Puspita, Ulfa, & Chandra, 2018) yang dilakukan di
instalasi farmasi RSIA AMC Metro. Dengan jumlah sampel 110 resep, jumlah sampel
resep racikan sebanyak 40 resep dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan resep selama 15,53 menit, sedangkan jumlah sampel resep obat jadi
sebanyak 70 resep dengan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
resep selama 2,65 menit.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh
Endang Setyowati, Ria Etikasari, Aji Tetuko, 2017 diperoleh jumlah seluruh
waktu tunggu resep racikan adalah 2322 menit, dari 100 lembar resep, rata-rata
waktu tunggu 23,22 menit, nilai minimum waktu tunggu 7 menit, nilai maksimum
waktu tunggu 58 menit, jumlah racikan dalam resep berkisar antara 1-3 racikan.
Selain membutuhkan waktu verifikasi resep
obat kronis BPJS, beberapa hal yang menyebabkan waktu tunggu pelayanan obat
lama dari hasil pengamatan adalah terjadinya penumpukan resep yang datangnya
bersamaan dari beberapa poliklinik, dimana petugas dalam tiap shift dirasa
kurang jumlahnya pada saat hari ramai misalnya hari senin dan pada jam-jam
tertentu sekitar jam 09.00 � 12.00 WIB. Tetapi secara keseluruhan dari hasil
pengamatan dan wawancara mendalam bila kondisi pasien normal jumlah petugas
yang bertugas dalam 1 shift dirasakan
sudah cukup karena pada saat shift dan
hari sibuk ditambahkan tenaga yang bertugas. Dari hasil pengamatan waktu
tunggu pelayanan resep secara keseluruhan berdasarkan hasil sampel penelitian
270 resep dimana terdiri� dari 189 resep
obat jadi didapat waktu pelayanan resepnya adalah 13 menit 8 detik dan 81 resep
obat racikan waktu pelayanan rata-rata resepnya adalah� 20 menit 34 detik maka dapat dikatakan
memenuhi standar waktu tunggu pelayanan resep atau memenuhi SPM RS Bidang
Farmasi.
Penelitian ini sejalan dengan yang
diungkapkan (Miftahudin, 2019) bahwa faktor yang paling
dominan berhubungan dengan waktu pelayanan pengambilan obat di instalasi
farmasi adalah variabel jumlah resep pershift. Oleh karena para dokter
spesialis rata-rata praktek pada saat shift yang sama, sehingga semakin banyak
resep yang dilayani maka akan terjadi penumpukan resep yang mengakibatkan
peningkatan waktu pengambilan obat.
2.
Kejadian
Kesalahan Pemberian Obat
Kesalahan pemberian obat dikenal dengan istilah medication error. Hal ini merupakan kejadian yang merugikan pasien karena adanya human error yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, yang seharusnya dapat dicegah. Secara umum, faktor yang paling sering mempengaruhi medication error adalah faktor individu. Faktor individu dapat berupa persoalan pribadi, pengetahuan tentang obat yang kurang memadai, dan kesalahan perhitungan dosis obat (Hartati, Lolok, Fudholi, & Satibi, 2014).
Faktor
lain yaitu faktor lingkungan tempat kerja yang kurang memadai seperti fasilitas
ruang obat yang tidak dimiliki di salah satu lantai perawatan maupun adanya
pekerjaan tambahan perawat, kurangnya supervise dari pimpinan , panduan yang
kurang jelas serta tidak adanya farmasi klinik, dan diklat yang belum berjalan
serta belum dibentuknya sebuah program diklat merupakan faktor kontributor yang
berperan dalam terjadinya suatu error walaupun pemahaman para karyawan rumah
sakit X mengenai keselamatan pasien sudah cukup baik. Dari hal hal tersebut
terlihat bahwa kegagalan sistem yang ada berpengaruh terhadap timbulnya
kejadian medication error. Kekurangan yang terjadi akibat tidak berfungsinya
sistem pertahanan pada tiap lapisan yang terbentuk sehingga kemungkinan
terjadinya error cukup besar (Tampubolon &
Pujiyanto, 2020).
Setiap
resep sampel, peneliti mengamati dan mencatat
kesesuaian antara resep dengan obat yang diberikan kepada pasien berupa jenis,
jumlah, dan dosis obat serta mencocokkan mengenai nama pasien, nomor rm, tanggal lahir pada
saat penyerahan obat kepada pasien. Hasil pengamatan dan� pencatatan disajikan
pada tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3
Kejadian Kesalahan
Pemberian Obat
Kesalahan Pemberian Obat |
Persentase |
Ada |
0 |
Tidak ada |
100 |
Dari 270 sampel resep yang diamati berupa
jenis, jumlah, dan dosis obat serta nama pasien penerima obat sesuai dengan
yang tertulis di resep obat, didapati tidak adanya kejadian kesalahan pemberian
obat (100%). Hasil pengamatan terhadap kesalahan pemberian obat memang tidak
ditemukan selama penelitian berlangsung, dimana terlihat keterampilan para petugas
dalam pelayanan cukup baik. Petugas juru resep dan TTK, sudah terampil dan cekatan dalam pengerjaan resep ataupun membuat
racikan salep, puyer atau
kapsul. Apoteker juga sangat menguasai pengetahuan tentang obat, dan cara
memberikan informasi kepada pasien cukup terlihat menguasai dan lugas.
Dari aspek pengetahuan,
sebagian besar �Apoteker dan TTK mengetahui kegunaan
dari obat-obatan, cara minum obat,
dan obat pengganti lain yang
memiliki kandungan obat yang sejenis.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas
tentang keterampilan atau pengetahuan yang dibutuhkan dalam pelayanan resep,
sebagian besar menyatakan tergantung dari tugasnya masing- masing. Menurut petugas belum ada pelatihan untuk menambah pengetahuan atau
keterampilan petugas farmasi secara spesifik. Untuk penambahan atau mengupdate ilmu dilakukan dengan mengikuti
kegiatan seperti workshop atau seminar kefarmasian baik itu untuk tenaga
Apoteker atau TTK yang dilaksanakan oleh organisasi profesi yang ada.
Berdasarkan hasil telaah dokumen, sebagian
besar petugas memiliki masa kerja diatas 5 tahun dan 2 orang TTK� masa kerjanya
dibawah 5 tahun. Meski begitu dalam hal pelayanan kefarmasian baik pengetahuan obat-obatan dan keterampilan serta
kecepatan bekerja, mereka tidak tampak
adanya perbedaan.
Berdasarkan hasil telaah dokumen, ada
kebijakan bahwa dalam pelayanan resep
tidak boleh satu resep hanya dilayani oleh
satu orang. Orang yang mengambil obat, yang menulis etiket obat dan yang
menyerahkan obat adalah orang yang
berbeda. Tujuannya untuk menghindari kejadian kesalahan pemberian obat.
Pelaksanaan
dilapangan melalui wawancara dengan petugas farmasi, semuanya mengatakan supaya
tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien, maka pengerjaan resep
tidak boleh dilakukan oleh 1 orang saja. Idealnya dilakukan oleh 3 orang yaitu 1
orang mengambil obat, 1 orang memberi etiket dan 1 orang menyerahkan obat. Dalam
keadaan tertentu terutama pada shift siang, malam� atau hari minggu yang hanya ada 2 orang
petugas, maka orang yang mengambil obat
dan yang mengetiket obat adalah
orang yang berbeda.
3.
Penulisan
Resep Sesuai Formularium
Kesesuaian penulisan resep mengacu pada formularium dengan memperhatikan
pula jumlah obat yang ditulis dalam resep.
Menurut The American
Academy of Manager Care Pharmacy, dalam perawatan pasien yang terintegrasi dapat menghasilkan terapi obat yang efektif dan efisien yang memungkinkan kolaborasi dokter, apoteker serta tenaga kesehatan lain,
membutuhkan
manajemen formularium (Nurfikri &
Sadinanti, 2020). Ketidakpatuhan dokter terhadap formularium dapat menurunkan mutu pelayanan kefarmasian dan tentu akan berdampak
pada mutu
rumah sakit (Nurfikri &
Sadinanti, 2020). Dalam membuat
formularium, rumah sakit harus memperhatikan informasi
obat �yang
valid dan kebutuhan
pasien di rumah sakit. Proses perencanaan, pengadaan
serta pendistribusian perbekalan farmasi
dapat lebih efektif
dan efisien dengan adanya formularium rumah sakit (Nurfikri &
Sadinanti, 2020).
Berdasarkan hasil telaah dokumen dan
wawancara diperoleh informasi bahwa RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo Kota Bandar
Lampung belum memiliki formularium RS sendiri, tetapi mengacu kepada
Formularium Nasional yang terbaru berdasarkan Kepmenkes RI Nomor HK.01.07/Menkes/659/2017
tanggal 28 Desember 2017 yang mengatur penyediaan obat,peresepan dan pemberian
obat. Buku formularium tersebut disosialisaikan dengan cara dibagikan kepada
dokter oleh pihak farmasi.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap para
dokter yang praktek di RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo, seluruhnya sudah menulis
resep yang sesuai dengan formularium. Adapun penyebab adanya dokter menulis
resep diluar formularium adalah jika terdapat indikasi penyakit yang obatnya
tidak bisa diganti. Menurut petugas farmasi,
sebagian besar para dokter patuh terhadap formularium obat yang berlaku.
Akan tetapi seringkali dokter menulis resep tidak sesuai dengan retriksi obat sesuai jaminan yang berlaku dikarenakan dokter tidak tahu atau tidak
hafal terhadap obat-obatan
dan retriksi yang tercantum di formularium obat.Sering
pula obat yang ditulis oleh dokter tidak mau diganti karena menurut dokter jenis atau
khasiatnya tidak sama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas,
jika ada resep yang tidak sesuai
dengan formularium, petugas farmasi menghubungi
dokter untuk konfirmasi obat yang diresepkan
dengan obat yang ada di formularium
atau yang sesuai dengan formularium. Apabila dalam resep tersebut adalah obat generik maka
petugas farmasi akan langsung menggantinya dengan obat generik.
Data hasil pengamatan yang diambil dari
270 sampel resep, kemudian dicatat dan dilakukan perhitungan, dimana dari
setiap lembar resep dihitung item obat yang masuk formularium dan item obat
yang tidak masuk formularium, apabila jumlah item obat dalam tiap lembar resep
yang tidak masuk formularium lebih dari 50% dari total item obat dalam tiap
lembar resep maka lembar resep tersebut dikategorikan tidak masuk dalam
formularium, dari pengamatan terhadap hasil perhitungan penulisan resep sesuai
formularium berdasarkan lembar resep didapatkan hasil yang bisa dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 4
Penulisan Resep
Sesuai Formularium Berdasarkan
Lembar resep
|
Jumlah |
Persentase |
||
Ya |
241 |
89,26 |
||
Tidak |
29 |
10,74 |
Sampel resep rawat jalan BPJS yang
beraasal dari poliklinik rawat jalan, resep berasal dari poliklinik paru, anak,
kebidanan, dalam, bedah, gigi, orthopedi, THT, dan mata diamati dan dicatat kesesuaian antara obat yang ditulis dalam resep dengan daftar formularium obat yang digunakan di rumah
sakit.
Tingginya persentase penulisan resep obat
yang tidak masuk dalam formularium berdasarkan pengamatan dan data yang
didapat, resep terbanyak berasal dari poliklinik mata terdapat 16 lembar resep
atau 55,2% dari total lembar resep yang tidak sesuai formularium, karena
obat-obat mata banyak yang tidak masuk dalam Formularium Nasional misalnya,
xytrol ED, tobroson MD, polidex MD, lentikular MD, cenfresh MD, protagenta MD.
Kemudian terbanyak kedua adalah lembar resep yang berasal dari poliklinik paru
terdapat 7 lembar resep atau 24,1% dari total resep yang tidak sesuai
formularium, karena obat-obat seperti obat batuk tidak ada yang masuk dalam
Formularium Nasional, sedangkan dokter paru banyak meresepkannya seperti
ambroksol dan teosal, kemudian yang terbanyak berikutnya adalah poli anak
karena dokter anak banyak vitamin seperti, curviplex sirup, vitabiol sirup,
lacto B dan juga ambroksol sirup, terdapat juga resep dari poliklinik kandungan
yang meresepkan vitamin siobion.
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa dari
270 sampel resep terdapat 241(89,26%) lembar resep obat yang sesuai dengan
Formularium Nasional atau formularium yang dipergunakan oleh RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo
dan 29 lembar resep (10,74%) yang tidak sesuai. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan
obat pada pasien rawat jalan BPJS belum 100% mengacu kepada Formularium
Nasional.
Penulis memandang perlu adanya sistem
menggunakan teknologi informasi untuk memberikan resep sesuai formularium dengan harapan dapat mengurangi ketidaksesuaian. Adanya sistem tersebut tenaga kesehatan dapat melacak resep lebih
mudah.
Adanya ketentuan penggunaan SPM dan formularium Jamkesmas pada pelayanan
kesehatan pasien Jamkesmas
juga bertujuan untuk meningkatkan penggunaan obat
rasional. Oleh karena itu dilakukannya
evaluasi penggunaan obat pada 10 penyakit
secara keseluruhan dengan menggunakan indikator
penggunaan obat menurut WHO.
Evaluasi penggunaan obat itu secara tidak langsung
bermanfaat untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
kepada pasien (Medisa, Danu, &
Rustamaji, 2015).
�������
4.
Kepuasan
Pelanggan
Kepuasan adalah ungkapan perasaan senang atau kecewa yang muncul setelah membandingkan persepsi antara harapan dan pelayanan yang diterimanya terhadap suatu jasa atau produk.
Salah satu model yang banyak dipakai untuk mengukur kepuasan pelanggan adalah model SERVQUAL (Service
Quality) dengan cara membuat survey penilaian kepuasan pelanggan. Analisis kepuasan pelanggan bisa dilakukan berdasarkan lima dimensi kualitas layanan, yaitu sebagai berikut: tangible (bukti nyata) merupakan fasilitas/ sarana fisik yang dapat dilihat atau
dirasakan pasien terkait pelayanan yang diperolehnya dibandingkan dengan harapannya. Adapun kemudahan akses lokasi apotek, kecukupan tempat duduk di ruang tunggu, kebersihan dan kenyamanan ruang tunggu, serta kelengkapan obat resep yang diterimanya; reliability
(kehandalan) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh tenaga
farmasi dalam memberikan pelayanan resep yang sesuai dengan harapan
pasien. Dalam penelitian ini terkait kemudahan prosedur administrasi pasien BPJS dalam menebus obat; responsiveness (ketanggapan) merupakan dimensi kualitas pelayanan yang paling dinamis, yakni kecepatan tenaga farmasi ketika memberikan pelayanan resep. Dalam penelitian ini yakni kecepatan petugas melayani pasien dan kecepatan peracikan obat resep; assurance (jaminan) merupakan dimensi kualitas yang berkaitan dengan kompetensi tenaga kefarmasian menanamkan kepercayaan serta keyakinan
pada pasien. Dalam penelitian yang dilakukan yakni keterampilan dan kemampuan tenaga kefarmasian dalam���� memberikan informasi obat secara jelas dan lengkap pada pasien; emphaty (empati) merupakan suatu kemampuan emosional tenaga kefarmasian untuk mengerti, menolong, dan merasakan apa yang dirasakan pasien. Adapun dimensi emphaty
adalah keramahan
tenaga kefarmasian dalam
memberikan pelayanan pada pasien dengan tidak memandang status sosialnya (Prihartini, Yuniar, Susyanty, & Raharni, 2020).
Pengukuran kepuasan pasien
pada penelitian ini menggunakan metode pengukuran secara langsung (directly reported satisfaction). Responden
diberi 26 item pertanyaan yang mencakup 5 dimensi mutu layanan. Jawaban responden
dibuat dengan skala dari sangat puas sampai sangat tidak puas. Jawaban
responden dibuat menjadi 2 katagori yaitu puas dan tidak puas. Responden yang
menyatakan sangat puas dan puas dikategorikan puas, sedangkan jawaban responden
yang menyatakan tidak puas dan sangat tidak puas dikategorikan tidak puas.
Responden sebanyak 270
orang dan didapatkan hasil pembagian distribusi responden berdasarkan jenis
kelamin, usia, status peserta, pendidikan terakhir dan pekerjaannya. Variabel
atau dimensi kepuasan pelanggan sebagai variabel bebas terdiri atas bukti fisik (X1), kehandalan (X2),
ketanggapan (X3), empati (X4), jaminan (X5), dan variabel pemanfaatan Instalasi
Farmasi RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung sebagai variabel terikat (Y). Sebelum
kuesioner kepuasan disebarkan atau dibagikan kepada pasien atau keluarga pasien
untuk mengisinya maka dilakukan uji statistik pada 30 orang adapun hasil yang
diperoleh dapat dilihat dari data dan perhitungan berikut ini:
a.
Analisis
Univariat (Distribusi Frekuensi)
Tabel 5�
Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan
Tingkat Kepuasan terhadap Sarana Fisik
|
Frekuensi |
% |
|
Sarana Fisik |
Puas |
177 |
65.6 |
Sangat puas |
93 |
34.4 |
|
Total |
270 |
100.0 |
Tabel 5
adalah distribusi pasien berdasarkan tingkat kepuasan terhadap kehandalan. Dari
Tabel 5, semua pasien puas terhadap kehandalan, yaitu 47% pasien puas, dan 53%
sangat puas.
Tabel 6
Distribusi Frekuensi Pasien
Berdasarkan Tingkat Kepuasan terhadap
Kehandalan
|
Frekuensi |
% |
|
Kehandalan |
Puas |
127 |
47.0 |
Sangat Puas |
143 |
53.0 |
|
Total |
270 |
100.0 |
Tabel
6 adalah distribusi pasien berdasarkan tingkat kepuasan terhadap ketanggapan.
Dari Tabel 6, semua pasien puas terhadap ketanggapan, yaitu 55.9% pasien puas,
dan 44.1% sangat puas.
���
Tabel 7� Distribusi Frekuensi Pasien Berdasarkan Tingkat Kepuasan
Terhadap Ketanggapan
|
Frekuensi |
% |
|
Ketanggapan |
Puas |
151 |
55.9 |
Sangat Puas |
119 |
44.1 |
|
Total |
270 |
100.0 |
Tabel
7 adalah distribusi pasien berdasarkan tingkat kepuasan terhadap keyakinan.
Dari Tabel 7, semua pasien puas terhadap keyakinan, yaitu 49.6% pasien puas,
dan 50.4% merasa sangat puas.
Tabel 8 Distribusi Frekuensi
pasien Berdasarkan Tingkat Kepuasan
terhadap Keyakinan
|
Frekuensi |
% |
|
Keyakinan |
Puas |
134 |
49.6 |
Sangat Puas |
136 |
50.4 |
|
Total |
270 |
100.0 |
Tabel
8 adalah distribusi pasien berdasarkan tingkat kepuasan terhadap kepedulian.
Dari Tabel 8, semua pasien puas terhadap kepedulian, yaitu 61.5% pasien puas,
dan 38.5% sangat puas.
Tabel 9
Distribusi Frekuensi
pasien Berdasarkan Tingkat Kepuasan
terhadap Kepedulian
|
Frekuensi |
% |
|
Kepedulian |
Puas |
166 |
61.5 |
Sangat Puas |
104 |
38.5 |
|
Total |
270 |
100.0 |
Tabel
9 adalah distribusi pasien berdasarkan tingkat kepuasan terhadap Pemanfaatan
instalasi farmasi rumah sakit. Dari Tabel 9, semua pasien puas dalam
memanfaatkan instalasi rumah sakit, yaitu 68.1% pasien puas, dan 31.9% sangat
puas.
Tabel 10
Distribusi
Frekuensi pasien Berdasarkan Tingkat Kepuasan
terhadap
Pemanfaatan
|
Frekuensi |
% |
|
Pemanfaatan |
Puas |
184 |
68.1 |
Sangat�
Puas |
86 |
31.9 |
|
Total |
270 |
100.0 |
Setelah dilakukan
analisis univariat untuk melihat bagaimana distribusi frekuensi pasien terhadap
tingkat kepuasan berdasarkan masing-masing dimensi kepuasan dan bagaimana
kepuasan terhadap pemanfaatan Instalasi Farmasi RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo
Bandar Lampung, kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis bivariat yang
bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh masing-masing dimensi kepuasan
terhadap pemanfaatan Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD Dr.A.Dadi Tjokrodipo
Bandar Lampung.
b.
Analisis
bivariat
Menggunakan Analisis Crosstab/Tabulasi Silang.
Tabel 11 adalah tabulasi silang antara variabel pemanfaatan dengan
variabel sarana fisik, kehandalan, ketanggapan, keyakinan, dan kepedulian. Dari
Tabel 11, sebagian besar pasien yang puas terhadap sarana fisik, juga puas
terhadap pemanfaatan instalasi farmasi rumah sakit (154 orang), dan 23 pasien
lainnya merasa sangat puas. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa sebagian besar
pasien yang sangat puas terhadap sarana fisik juga sangat puas terhadap
pemanfaatan instalasi rumah sakit (63 orang) dan 30 pasien lainnya puas.
Tabel 11 menunjukkan
bahwa sebagian besar pasien yang puas terhadap kehandalan, juga puas terhadap
pemanfaatan instalasi farmasi rumah sakit�
(126 orang), dan 1 pasien lainnya merasa sangat puas. Tabel 11 juga
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang sangat puas terhadap kehandalan
juga sangat puas terhadap pemanfaatan instalasi rumah sakit (85 orang) dan 58
pasien lainnya puas. Dari Tabel 11, semua pasien yang puas terhadap
ketanggapan, juga puas terhadap pemanfaatan instalasi farmasi rumah sakit (151
orang). Tabel 11 juga menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang sangat puas
terhadap ketanggapan juga sangat puas terhadap pemanfaatan instalasi rumah
sakit (86 orang) dan 33 pasien lainnya puas. Tabel 11 memperlihatkan bahwa
sebagian besar pasien yang puas terhadap keyakinan, juga puas terhadap
pemanfaatan instalasi farmasi rumah sakit (132 orang), dan 2 pasien lainnya
merasa sangat puas. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang
sangat puas terhadap keyakinan juga sangat puas terhadap pemanfaatan instalasi
rumah sakit�� (84 orang) dan 52 pasien
lainnya puas. Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang puas
terhadap kepedulian, juga puas terhadap pemanfaatan instalasi farmasi rumah
sakit� (163 orang), dan 3 pasien lainnya
merasa sangat puas. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang
sangat puas terhadap kepedulian juga sangat puas terhadap pemanfaatan instalasi
rumah sakit� (83 orang) dan 21 pasien
lainnya puas.
Tabel 11
�Tabulasi
Silang Variabel Pemanfaatan dengan Variabel Sarana� Fisik, Kehandalan, Ketanggapan, Keyakinan,
dan Kepedulian
|
Pemanfaatan |
Total |
p-value |
||
Puas |
Sangat� Puas |
||||
Sarana_Fisik |
Puas |
154 |
23 |
177 |
0.00 |
Sangat puas |
30 |
63 |
93 |
||
Total |
184 |
86 |
270 |
||
Kehandalan |
Puas |
126 |
1 |
127 |
0.00 |
Sangat Puas |
58 |
85 |
143 |
||
Total |
184 |
86 |
270 |
||
Ketanggapan |
Puas |
151 |
0 |
151 |
0.00 |
Sangat Puas |
33 |
86 |
119 |
||
Total |
184 |
86 |
270 |
||
Keyakinan |
Puas |
132 |
2 |
134 |
0.00 |
Sangat Puas |
52 |
84 |
136 |
||
Total |
184 |
86 |
270 |
||
Kepedulian |
Puas |
163 |
3 |
166 |
0.00 |
Sangat Puas |
21 |
83 |
104 |
||
Total |
184 |
86 |
270 |
Data variabel sarana fisik, kehandalan,
ketanggapan, keyakinan, kepedulian dan pemanfaatan memiliki skala ordinal, yaitu
skala likert dengan skor 1 sampai dengan 4. Hubungan antar data ordinal dianalisis
dengan metode analisis chi-square dan menggunakan statistic p-value. Untuk
tingkat kepercayaan 95%, hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antar
variabel dapat diterima, jika p-value bernilai lebih kecil dari 0.05.
Hasil analisis chi-square ditampilkan pada
Tabel 11 Tabel tersebut memperlihatkan bahwa keseluruhan analisis chi-square
menghasilkan p-value=0.00, hal ini berarti variabel pemanfaatan ada hubungannya
dengan variabel sarana fisik, kehandalan, ketanggapan, keyakinan dan
kepedulian. Kekuatan pengaruh antara variabel sarana fisik, kehandalan,
ketanggapan, keyakinan, dan kepedulian terhadap variabel pemanfaatan, dapat
dilihat menggunakan metode analisis regresi multinomial.
Seteleh dilakukan analisis crosstab atau
tabulasi silang untuk melihat bagaimana pengaruh masing-masing dimensi kepuasan
terhadap pemanfaatan, maka analisis dilanjutkan untuk melihat hal yang paling
berpengaruh secara signifikan terhadap pemanfaatan Instalasi Farmasi RSUD
Dr.A.Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung maka dilakukan analisis regresi
multinominal.
c.
Analisis
Regresi Multinomial
Hasil analisis regresi multinomial
ditampilkan pada Tabel 12 Hasil analisis regresi multinomial menunjukkan bahwa
menurut kriteria statistik Wald, tingkat pemanfaatan instalasi farmasi rumah
sakit memiliki dua variabel yang berpengaruh secara signifikan dengan p-value < 0.05, yaitu ketanggapan dan
kepedulian.
Hal tersebut menunjukkan bahwa ketanggapan
dan kepedulian mempengaruhi pemanfaatan instalasi farmasi rumah sakit. Variabel
sarana fisik memiliki p-value = 0.241, variabel kehandalan memiliki p-value =
0.979, dan variabel keyakinan memiliki p-value = 0.979, yang artinya� variabel sarana fisik, varabel kehandalan,
dan variabel keyakinan tidak dapat diandalkan untuk memprediksi
pengklasifikasian tingkat kepuasan pemanfaatan instalasi rumah sakit.
Tabel 12
Hasil Analisis
Regresi Multinomial
Pemanfaatana |
B |
Std. Error |
Wald |
df |
Sig. |
Exp(B) |
||||
Sangat� Puas |
Intercept |
-114.926 |
6.978 |
271.223 |
1 |
.000 |
|
|
||
Sarana_Fisik |
-.741 |
.633 |
1.372 |
1 |
.241 |
.476 |
|
|||
Kehandalan |
12.325 |
470.900 |
.001 |
1 |
.979 |
225150.197 |
|
|||
Ketanggapan |
26.512 |
.000 |
.000 |
1 |
.000 |
3E +11 |
|
|||
Keyakinan |
-12.123 |
470.900 |
.001 |
1 |
.979 |
5.434E-6 |
|
|||
Kepedulian |
3.090 |
.746 |
17.178 |
1 |
.000 |
21.983 |
||||
Nagelkerke |
.795 |
|
||||||||
Deviance Statistics |
p-value = .597 |
|
||||||||
G-Test |
p-value = .000 |
|
||||||||
Observed |
Predicted |
|
||||||||
Puas |
Sangat� Puas |
Percent
Correct |
|
|||||||
Puas |
165 |
19 |
89.7% |
|
||||||
Sangat� Puas |
3 |
83 |
96.5% |
|
||||||
Overall Percentage |
62.2% |
37.8% |
91.9% |
|
||||||
|
Dengan demikian, dari lima faktor yang
diteliti, hanya ada dua faktor yang menentukan pengklasifikasian tingkat
kepuasan pemanfaatan instalasi rumah sakit, yaitu faktor ketanggapan dan
kepedulian. Faktor ketanggapan dan kepedulian masing-masing memiliki nilai beta
(B) yang positif, artinya apabila tingkat kepedulian dan ketanggapan meningkat,
maka peluang pemanfaatan instalasi rumah sakit juga akan naik. Faktor
ketanggapan memiliki nilai Exp (B) sebesar 3E+11, artinya apabila tingkat
ketanggapan meningkat satu satuan, maka tingkat pemanfaatan akan naik 3E+11
kali lipat. Faktor kepedulian memiliki nilai Exp (B) sebesar 22, maka apabila
tingkat ketanggapan meningkat satu satuan, maka tingkat pemanfaatan instalasi
farmasi rumah sakit akan naik 22 kali lipat.
Nilai Exp (B) variabel ketanggapan lebih
besar dibandingkan Exp (B) kepedulian, maka ketanggapan memiliki pengaruh yang
lebih kuat jika dibandingkan dengan kepedulian terhadap pemanfaatan instalasi
farmasi rumah sakit.
Pada dokumen maupun hasil wawancara dengan
petugas, tidak didapati adanya kebijakan tertulis yang memberikan kepuasan pasien dalam
pelayanan farmasi. Cara RS agar
membuat pasien puas diantaranya adalah dengan cara melayani sesuai dengan motto
rumah sakit: �kepuasan anda adalah senyum kami� seperti ramah, senyum,
menjelaskan kegunaan obat, melayani dengan tepat dan ��cepat.
Dari hasil analisis dan perhitungan
terhadap tingkat kepuasan pasien yang mengambil obat di Instalasi Farmasi RSUD
Dr.A.Dadi Tjokrodipo dapat dikatakan hasilnya baik, dimana tingkat kepuasan
pasien mencapai 91,9% atau sudah diatas 80%, sehingga dapat dikatakan kepuasan
pelanggan memenuhi Standar Pelayanan Minimal RS Bidang Farmasi. Hal ini membuktikan
bahwa Instalasi Farmasi RSUD
Dr.A.Dadi
Tjokrodipo telah berupaya keras untuk meningkatkan
kepuasan pasien agar memenuhi SPM dan diharapkan terus ditingkatkan agar pasien memiliki semangat dalam menjalani terapinya, psikologi pasien juga menjadi lebih tenang
dan� selalu positif terhadap kesehatannya serta menjadi contoh bagi rumah sakit
lainnya dalam meningkatkan kepuasan pasien seiring dengan meningkatkan angka kesehatan masyarakat Indonesia.
Susi
Novaryatiin, Syahrida Dian Ardhany, dan Siti Aliyah, 2018 juga mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa petugas Apotek cepat
tanggap terhadap keluhan pasien, petugas Apotek mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi
pasien, terdapat
komunikasi yang baik antara petugas Apotek dengan pasien dan pasien memperoleh
informasi yang jelas dan mudah difahami tentang resep yang ditebusnya. Indeks
tingkat kepuasan di Instalasi Farmasi RSUD Dr. Murjani Sampit rata-rata sebesar
67,6% yang menunjukkan
puas.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, tenaga kefarmasian mampu
melakukan komunikasi dengan pasien atau keluarga pasien.
Penelitian ini selaras dengan penelitian Nita Prihartini, 2020, yang menyatakan bahwa kepuasan pasien rawat jalan perlu ditingkatkan oleh pihak manajemen RS dan puskesmas dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu ketersediaan fasilitas bagi pasien (obat, brosur, air minum, timbangan badan, atau lainnya), dan ketercukupan tempat duduk pasien PBJS di ruang tunggu.
Kesimpulan�������
Hasil pengamatan waktu tunggu
pelayanan resep secara keseluruhan berdasarkan hasil sampel penelitian 270
resep dimana terdiri dari 189 resep obat jadi didapat waktu pelayanan resepnya
adalah 13 menit 8 detik dan 81 resep obat racikan waktu pelayanan rata-rata
resepnya adalah 20 menit 34 detik maka dapat dikatakan memenuhi standar waktu
tunggu pelayanan resep atau memenuhi SPM RS Bidang Farmasi.
Pengamatan
terhadap kejadian kesalahan pemberian obat tidak terjadi kesalahan dalam
pemberian obat sehingga dapat dikatakan memenuhi Standar Pelayanan Minimal RS
Bidang Farmasi. Hasil analisis
menunjukkan, terlihat bahwa penggunaan obat pada pasien rawat jalan BPJS belum
100% mengacu kepada Formularium Nasional. Ketanggapan
memiliki pengaruh yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kepedulian terhadap
pemanfaatan instalasi farmasi rumah sakit.
Hasil telaah dokumen, peneliti
tidak menemukan adanya kebijakan agar pasien
puas terhadap pelayanan farmasi. Tidak
ada kebijakan tertulis agar pasien puas
terhadap pelayanan farmasi. Namun
cara agar membuat pasien puas diantaranya adalah dengan cara melayani sesuai dengan motto
rumah sakit: �kepuasan anda adalah senyum kami� seperti ramah, senyum,
menjelaskan kegunaan obat, melayani dengan tepat dan ��cepat.
BIBLIOGRAFI
Anonim. (n.d.). BPJS Kesehatan. Http:
Id.m.Wkipedia.Org/Wiki/BPJS-Kesehatan.
Dekaningtyas, Hevi, Suharsono, Apt, FRS, Sp, & Setiyadi, Gunawan.
(2016). Evaluasi Kinerja Instalasi Farmasi Di Rsud Dr. Soehadi Prijonegoro
Sragen Atas Pelayanan Pasien Rawat Jalan Periode Mei-Juli 2016. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Hartati, Hartati, Lolok, Nike Herpianti, Fudholi, Achmad, & Satibi, Satibi.
(2014). Analisis kejadian medication error pada pasien ICU. Jurnal Manajemen
Dan Pelayanan Farmasi (Journal of Management and Pharmacy Practice), 4(2),
125�132.
Kemenkes, R. I. (2016). Profl Kesehatan RI Tahun 2016. Jakarta,
Kementrian Kesehatan RI.
Kementrian kesehatan RI. (2018). Hasil utama riskesdas 2018. 61.
Medisa, Dian, Danu, Sulanto Saleh, & Rustamaji, Rustamaji. (2015).
Kesesuaian Resep Dengan Standar Pelayanan Medis Dan Formularium Jamkesmas Pada
Pasien Rawat Jalan Jamkesmas. Jurnal Ilmiah Farmasi, 11(1),
20�28.
Miftahudin, Miftahudin. (2019). Analisis Waktu Tunggu Pelayanan Resep
Rawat Jalan Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Universitas Kristen Indonesia
Jakarta Tahun 2016. Informatika Kedokteran: Jurnal Ilmiah, 2(1),
16�26.
Nurfikri, Ari, & Sadinanti, Siva Putri. (2020). Tingkat Kepatuhan
Dokter dalam Menuliskan Resep Berdasarkan Formularium Tahun 2019. Jurnal
Kesehatan Vokasional, 5(4), 253�259.
Presiden Republik Indonesia. (n.d.). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan
Minimal. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 65 Tahun 2005 Tentang
Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal).
Prihartini, Nita, Yuniar, Yuyun, Susyanty, Andi Leny, & Raharni,
Raharni. (2020). Kepuasan Pasien Rawat Jalan terhadap Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit dan Puskesmas di 11 Provinsi di Indonesia. Jurnal Kefarmasian
Indonesia, 42�49.
Puspita, Marlia Maya, Ulfa, Ade Maria, & Chandra, Robby. (2018). Waktu
Tunggu Pelayanan Resep BPJS Rawat Jalan di Instalasi Farmasi RSIA Anugrah
Medical Center Metro. Jurnal Farmasi Malahayati, 1(2).
Republik Indonesia. (n.d.). Undang undang No 12 tahun 2013.
(Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2013).
Suryana, Danyel. (2018). Upaya Menurunkan Waktu Tunggu Obat Pasien Rawat
Jalan dengan Analisis Lean Hospital di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RS Atma
Jaya. Jurnal Administrasi Rumah Sakit Indonesia, 4(2).
Tampubolon, Lediana, & Pujiyanto, Pujiyanto. (2020). Analisis
Penerapan Prinsip Keselamatan Pasien Dalam Pemberian Obat Terhadap Terjadinya
Medication Error di Rawat Inap Rumah Sakit X Tahun 2018. Jurnal Administrasi
Rumah Sakit Indonesia, 4(3).