Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������������������������������� �e-ISSN: 2548-1398
��������������������������������� �Vol. 6, No. 4, April 2021
ANALISIS POTENSI KEHILANGAN PENERIMAAN
PAJAK DI INDONESIA
(TAHUN 2010-2017)���������������������������������������
Btari Mutia
Anggraeni
Universitas Bakrie Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
This research is aimed to determine the potential tax loss in Indonesia
due to the existence of underground economy activities and the realization of
tax revenue in Indonesia. The result of the calculation of potential tax loss
based on those two methods will be analysed using the tax regulation published
by Government in 2010-2017. The underground
economy method is conducted using quantitative approach, namely economic
variables, namely currency demand, interest rates, Gross Domestic Product,
banking financial innovation, inflation, tax burden and corruption. The
potential tax loss in Indonesia during 2010 - 2017 showing a fluctuating trend
in the amount of IDR33.82 trillion to IDR92.50 trillion in 2010 and IDR163.22
trillion to IDR180.91 trillion in 2017.
The realization of tax
revenue method is conducted using income variance which is calculating the
difference between the state revenue target from the tax sector and the
realization of tax revenue during 2010 - 2017. The potential tax loss in
Indonesia from 2010 to 2017 showing a potential of IDR 33.61 trillion in 2010
and IDR 132.54 trillion in 2017. The
results of this study indicate that there are differences in the potential tax
loss using the two methods which is caused by each tax regulation issued by the
government in terms of underground economic�s subject
and the realization of taxes obtained in current year.
Keywords: underground economy; income variance; potential tax loss; tax regulation
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kehilangan penerimaan pajak di Indonesia menggunakan metode underground economy dan realisasi penerimaan pajak di Indonesia. Hasil perhitungan
potensi kehilangan penerimaan pajak berdasarkan kedua metode tersebut selanjutnya akan dianalisa menggunakan penerbitan regulasi perpajakan oleh Pemerintah pada tahun 2010-2017. Metode underground economy menggunakan pendekatan kuantitatif yakni variabel ekonomi meliputi permintaan uang kartal, suku bunga, Produk
Domestik Bruto, inovasi keuangan perbankan, inflasi, beban pajak dan korupsi. Potensi kehilangan peneriman pajak di Indonesia selama tahun 2010-2017 menggunakan metode ini menunjukkan
kecenderungan fluktuatif yakni sebesar Rp33,82 triliun hingga Rp 92,50 triliun pada tahun 2010 dan sebesar Rp163,22 triliun hingga Rp180,91 triliun pada tahun 2017. Metode realisasi
penerimaan pajak menggunakan varians pendapatan yakni dihitung dari selisih antara target penerimaan negara dari sektor pajak dengan
realisasi penerimaan pajak selama periode
2010-2017. Potensi kehilangan penerimaan pajak di Indonesia tahun 2010-2017 menggunakan metode ini menunjukkan
potensi sebesar Rp33,61 triliun pada tahun 2010 dan
Rp132,54 triliun pada tahun
2017. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan kedua metode tersebut yang disebabkan
oleh setiap regulasi perpajakan yang diterbitkan pemerintah ditinjau dari respon para pelaku underground
economy maupun realisasi
pajak yang tercapai pada tahun berjalan.
Kata kunci: underground economy; varians pendapatan; kehilangan penerimaan pajak; regulasi perpajakan
Pendahuluan
Perekonomian
Indonesia saat ini mulai menunjukkan keadaan yang semakin membaik. Hal ini
terlihat dari meningkatnya pendapatan nasional yang merupakan
gambaran perekonomian dari suatu negara. Dengan meningkatnya pendapatan nasional,
dapat dikatakan bahwa perekonomian suatu negara juga ikut
membaik. Sumber dana terbesar bagi pendapatan nasional di Indonesia berasal
dari penerimaan pajak.
Unsur penerimaan pajak terbesar di Indonesia didapat dari penerimaan pajak. Penerimaan pajak digunakan untuk membangun infrastuktur ekonomi masyarakat guna menuju kehidupan sejahtera bagi masyarakat Indonesia (Arfin,
2018).
Realisasi penerimaan pajak di Indonesia tahun 2016 mencapai Rp.1.105,81 triliun atau 81.60% dari target tahun APBN-P 2016 sebesar Rp.1.355,20 triliun (Direktorat Jenderal Perpajakan, 2016), sedangkan realisasi penerimaan sektor perpajakan tahun 2017 mencapai Rp.1.339,8 triliun atau 91% dari APBN-P (Detikfinance, 2018).
Terdapat beberapa hambatan dalam mencapai target penerimaan pajak diantaranya masalah perekonomian nasional dan internasional hingga korupsi yang terjadi di sektor pajak.
Selain itu, Presiden Jokowi menuturkan bahwa pemerintah mengidentifikasi tidak tercapainya target pajak selama ini
diakibatkan adanya underground economy yang sengaja dilakukan untuk menghindari kewajiban administratif dan perpajakan. Beliau mengutip penelitian yang menyatakan bahwa underground economy di negara berkembang seperti Indonesia bisa memberikan kontribusi sebesar 30-40 persen untuk Produk
Domestik Bruto (PDB). Persentase tersebut merupakan cerminan potensi kerugian negara dari sektor pajak
yang diakibatkan adanya underground economy (CNN, 2018).
Data atau statistik penerimaan pajak memiliki peranan besar dalam penyusunan
strategi pengamanan penerimaan
pajak terutama sebagai bahan untuk
analisis komprehensif atas kinerja penerimaan,
tolak ukur efektivitas pemungutan pajak, pengukuran dampak perubahan kebijakan, serta penyusunan prakiraan penerimaan. Interpretasi yang tepat atas data atau statistik memungkinkan kita untuk menggali informasi berharga yang dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan strategis. Selama tahun 2010 sampe dengan tahun
2017 kenaikan target penerimaan
pajak berkisar antara 4% sampai dengan 20%. Tentunya bukan hal yang mudah bagi Direktorat
Jenderal Pajak untuk mencapai target tersebut. Berkaca pada penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya, penerimaan pajak tidak pernah mencapai
target. Ketidaktercapaian tersebut
disebabkan salah satunya
oleh regulasi perpajakan
yang diterbitkan oleh Pemerintah.
Penerbitan regulasi perpajakan pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas dalam pengumpulan pajak, meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak, serta mendukung program atau kebijakan yang dilaksanakan pemerintah. Berdasarkan batasan kewenangan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan dalam proses penerbitan regulasi perpajakan dalam tahapan perumusan, pembahasan, dan/atau pengesahan. Dalam melaksanakan kewenangan diatas, Direktorat Jenderal Pajak melakukan upaya harmonisasi peraturan yang dibutuhkan dalam penyusunan regulasi perpajakan. Upaya harmonisasi tersebut meliputi kegiatan identifikasi, pembahasan, dan pemberian rekomendasi. Pada kegiatan pembahasan, Direktorat Jenderal Pajak melibatkan para pemangku kepentingan seperti asosiasi dan ahli ekonomi untuk
mendapatkan pandangan perekonomian saat ini atau masa mendatang.
Penelitian
terdahulu mengenai potensi kehilangan penerimaan pajak di beberapa negara telah
beberapa kali dilakukan, diantaranya di Amerika Serikat (Gutmann, 1977), (Tanzi, 1983), Guyana (Faal, 2003), Kolombia (Schneider & Hametner, 2014), Indonesia (Purnomo, 2010), (Sapardi, 2017), (Samuda, 2016). Menurut (Gunadi, 2004), Penelitian-penelitian
tersebut berkaitan dengan potensi kehilangan penerimaan pajak akibat aktivitas underground economy. Peningkatan
nilai underground
economy akan mengurangi
penerimaan negara dari sektor pajak yang pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas barang dan jasa publik yang bisa disediakan oleh Pemerintah. Hal itu diperkuat oleh pernyataan Presiden Jokowi dalam Nota Keuangan beserta RAPBN 2019 di
Gedung MPR/DPR bahwa tidak tercapainya target penerimaan
negara dari sektor pajak akibat adanya
kegiatan underground
economy sehingga Pemerintah
perlu bersikap hati-hati dalam menghimpun penerimaan pajak (CNN, 2019).
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk menyajikan penelitian mengenai potensi kehilangan penerimaan pajak di Indonesia selama delapan tahun (periode 2010-2017). Penelitian dilakukan dengan mengukur besaran potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan dua metode. Pertama, menghitung
potensi kehilangan penerimaan pajak akibat aktivitas underground economy melalui
pendekatan moneter yaitu dengan melihat
elastisitas permintaan uang
kartal terhadap beban pajak yang
diperkenalkan (Tanzi, 1983). Kedua, menghitung potensi kehilangan penerimaan pajak atas dasar
realisasi penerimaan pajak selama tahun
2010-2017. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian (Samuda, 2016) yang
mengukur potensi kehilangan penerimaan pajak berdasarkan aktivitas underground
economy di Indonesia melalui analisa
permintaan uang kartal yang
dipengaruhi oleh inflasi, beban pajak, tingkat
suku bunga dan Produk Domestik Bruto. Penelitian oleh (Samuda, 2016) dilakukan di Indonesia
selama kurun waktu 2001-2013 dengan hasil penelitian bahwa besaran aktivitas
underground economy di Indonesia sebesar 8,33% dari PDB dan
rata-rata potensi kehilangan
penerimaan pajak selama periode tersebut sebesar Rp11,712.86 milyar atau sekitar
1% dari rata-rata PDB Indonesia per triwulan.�
Factor-faktor yang akan diuji kembali dalam
penelitian ini adalah inflasi, beban pajak, tingkat
suku bunga dan Produk Domestik Bruto. Penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu mengitung besaran underground economy untuk
selanjutnya dilakukan estimasi perhitungan potensi kehilangan penerimaan pajak atas aktivitas underground economy selama
periode tersebut. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah penambahan variabel independen yaitu korupsi, inovasi keuangan perbankan yang diwakili oleh jumlah kantor cabang bank umum dan perubahan variabel yang mewakili
tingkat suku bunga yaitu BI rate dan BI 7 days repo rate. Penambahan variabel
inovasi keuangan perbankan sejalan dengan hasil penelitian oleh (Purnomo, 2010), (Sapardi, 2017) dan (Iskandar & Mulyawan, 2017) bahwa
perkembangan jasa perbankan turut berpengaruh terhadap permintaan uang kartal.
Sedangkan, penambahan variabel korupsi yang diwakili oleh besaran kerugian
keuangan negara dinilai berpengaruh terhadap permintaan uang kartal dikarenakan
para pelaku korupsi lebih gemar mempergunakan transaksi secara tunai agar sulit
dilacak dan terbebas dari kewajiban membayar pajak. Selain itu, ditambahkan
juga dengan perhitungan potensi kehilangan pajak atas dasar realisasi penerimaan
pajak selama tahun 2010-2017 yang dilakukan dengan menghitung selisih dari
target dan realisasi penerimaan pajak di Indonesia. Hasil perhitungan dari
kedua metode diatas kemudian akan dianalisa hubungannya ditinjau dari
penerbitan regulasi perpajakan oleh Pemerintah dalam tahun tersebut. Berdasarkan
seluruh penjabaran diatas, maka judul penelitian ini adalah �Analisis Potensi
Kehilangan Penerimaan Pajak di Indonesia (Tahun 2010-2017)�.
Penelitian ini
penting dilakukan untuk mengetahui bahwa setiap regulasi
perpajakan yang diterbitkan
oleh Pemerintah sedikit banyak akan berdampak
pada penerimaan perpajakan
pada tahun berjalan. Selain itu tujuan
dari penelitian ini yaitu���� mengetahui potensi kehilangan penerimaan pajak di Indonesia menggunakan metode underground economy dan metode realisasi penerimaan pajak periode 2010
� 2017 serta menganalisis perbedaan potensi kehilangan penerimaan pajak di Indonesia ditinjau dari penerbitan regulasi perpajakan periode 2010 � 2017.
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif, yang memiliki aspek
pengukuran secara obyektif terhadap fenomena sosial yang dijabarkan kedalam
beberapa komponen masalah, variabel dan indikator untuk kemudian menghasilkan
pemecahan masalah yang dapat terukur secara numerik.
Jenis data yang
dipergunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, yaitu berupa data yang dimiliki oleh
beberapa pihak. Data yang digunakan adalah data sekunder berdasarkan runtut
waktu (time series) dalam rentang
waktu 2010 - 2017. Sumber data dari penelitian berasal dari Badan Pusat
Statistik (BPS), ICW, Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Adapun teknik
pengumpulan data menggunakan archival research atau riset arsip.
Hasil dan Pembahasan
1.
Perhitungan Potensi Kehilangan Penerimaan Pajak Menggunakan Metode Underground Economy
Perhitungan potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode underground economy dilakukan
pertama-tama dengan menghitung nilai underground economy melalui
pendekatan moneter. Pendekatan moneter yang dimaksud adalah melalui model persamaan regresi yang dikonstruksikan oleh (Tanzi, 1983) dan (Faal, 2003) melalui pengukuran
sensitivitas permintaan
uang kartal. Model
yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengukuran sensitivitas permintaan uang kartal adalah
regresi linier berganda. Agar hasil regresi sahih sehingga harus terpenuhi
asumsi klasik, yaitu: normalitas,
autokorelasi, multikolinieritas, heteroskedasititas.
a. Uji Normalitas
Hasil analisis terhadap asumsi normalitas Kolmogorov-Smirnov terhadap nilai residual dari persamaan regresi,
menunjukkan bahwa nilai probabilitas sebesar 0,987. Hal ini menunjukkan bahwa
0,987 > 0,05, berarti dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi normal.
Tabel 1
Hasil
Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov
|
Unstandardized Residual |
Kesimpulan |
Kolmogorov-Smirnov Z |
0.452 |
Bebas Normalitas |
Asymp. Sig.
(2-tailed) |
0.987 |
Bebas Normalitas |
a. Test distribution is normal. |
Sumber:
Lampiran 4
b. Uji Multikolinieritas
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai VIF variabel independen� dibawah nilai 10 dan tolerance value diatas 0,10. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi multikolinieritas dalam model regresi. Hasil yang diperoleh dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2
Hasil Uji Multikolinieritas
Variabel |
Tolerance |
VIF |
Kesimpulan |
SUKU BUNGA (R) |
0.188 |
5.329 |
Bebas Multikolinieritas |
PDB (Y) |
0.242 |
3.663 |
Bebas Multikolinieritas |
INOVASI BANK (F) |
0.165 |
5.355 |
Bebas Multikolinieritas |
INFLASI (I) |
0.507 |
1.972 |
Bebas Multikolinieritas |
BEBAN PAJAK (T) |
0.266 |
5.041 |
Bebas Multikolinieritas |
KORUPSI (C) |
0.672 |
1.488 |
Bebas Multikolinieritas |
a. Dependent Variable: UANG KARTAL (M) |
|
��������� Sumber:
Lampiran 5
c. Uji Heteroskedastisitas
Hasil pengujian heteroskedastisitas diperoleh nilai variabel independen
sebesar (Sig.) >0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi gejala
heteroskedastisitas dalam model.
Tabel 3
Hasil Uji Heteroskedastisitas
Variabel |
Sig. |
Kesimpulan |
|
||
SUKU BUNGA (R) |
0.772 |
Bebas Heteroskedastisitas |
|
||
PDB (Y) |
0.539 |
Bebas Heteroskedastisitas |
|
||
INOVASI BANK (F) |
0.756 |
Bebas Heteroskedastisitas |
|
||
INFLASI (I) |
0.863 |
Bebas Heteroskedastisitas |
|
||
BEBAN PAJAK (T) |
0.991 |
Bebas Heteroskedastisitas |
|
||
KORUPSI (C) |
0.829 |
Bebas Heteroskedastisitas |
|
||
a. Dependent Variable: RES2 |
|
|
|||
�������� ���Sumber: Lampiran 6
d. Uji Autokorelasi
Untuk mendeteksi adanya autokorelasi,
dapat dilihat dari nilai Durbin Watson (DW). Dengan nilai DW sebesar 2.446 dimana angka
tersebut lebih besar dari (4-du) yakni 2.1813 dan kurang dari (4-dl) yakni
2.8908. Artinya model yang digunakan dalam penelitian ini tidak mengalami
autokorelasi namun juga tidak bebas dari autokorelasi.
Tabel 4
Hasil Uji Autokorelasi
Model
|
DW |
dl |
du |
4-dl |
�4-du |
Keterangan |
Regresi |
2.446 |
1.1092 |
1.8187 |
2.8908 |
2.1813 |
inkonklusif |
a. Predictors: (Constant), TAX, INTEREST, BANK,
INFLASI, INCOME, KORUPSI |
|
|||||
b. Dependent Variable: MONEY |
|
Sumber: Lampiran 7
e. Regresi Linear Berganda
Model yang digunakan dalam
melakukan estimasi adalah sensitivitas dari permintaan uang kartal terhadap adanya beban pajak.
Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa uang kartal menjadi alat transaksi yang sering dipergunakan oleh para pelaku kegiatan underground economy karena
sifatnya yang tidak mudah dilacak oleh otoritas pajak. Peningkatan permintaan uang kartal menjadi salah satu indikator adanya peningkatan underground economy. Model tersebut mengukur apakah perubahan beban pajak akan
merubah permintaan uang kartal.
Oleh karena uang kartal
merupakan bagian dari permintaan uang, maka model ini menggunakan model standar permintaan uang dengan menambahkan variabel pajak. Variabel ini ditambahkan karena pajak dapat
memengaruhi permintaan uang
kartal dengan menciptakan �insentif� menghindari pajak yaitu dengan menggunakan
lebih banyak uang kartal untuk melakukan
transaksi.
Berdasarkan apa yang telah disampaikan, maka dengan menggunakan metode analisis regresi linear berganda melalui program SPSS disajikan hasil regresi berganda untuk menguji pengaruh dari
tingkat suku bunga, tingkat pendapatan, inovasi keuangan perbankan, dan tingkat
inflasi, beban
pajak dan korupsi pada tabel berikut:
Tabel 5
Hasil Uji Regresi Linear Berganda
Variabel |
Koefisien |
t hitung |
Sign |
t tabel |
Konstanta |
1.122 |
|
|
|
SUKU BUNGA (R) |
-0.021 |
-0.532 |
0.597 |
2.0595 |
PDB (Y) |
0.743 |
10.301 |
0.542 |
2.0595 |
INOVASI BANK (F) |
-0.088 |
-1.925 |
0.0625 |
2.0595 |
INFLASI (I) |
0.007 |
1.417 |
0.1654 |
2.0595 |
BEBAN PAJAK (T) |
0.008 |
3.932 |
0,0003 |
2.0595 |
KORUPSI |
0.09 |
0.975 |
0.339 |
2.0595 |
Adjust R� |
0.922 |
|
|
|
���� Sumber: Lampiran 8
f. Uji t-statistik
Pengujian t-statistik digunakan untuk menguji pengaruh parsial dari
variabel variabel bebas terhadap variabel tidak bebasnya. Uji ini dilakukan
dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel. Hipotesis dalam uji
ini adalah sebagai berikut:
H0 :�� βi�
= 0� ; variabel
bebas mempunyai pengaruh signifikan
������������������������ terhadap variabel terikat
H1 :�
βi� > 0� ; variabel bebas tidak mempunyai
pengaruh signifikan
����������������������� terhadap variabel terikat
Dengan ketentuan bahwa bila diperoleh:
Jika t-hitung > t-tabel
maka H0 ditolak, artinya tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel bebas terhadap variabel terikat.
Jika t-hitung < t-tabel maka H0 tidak
ditolak, artinya terdapat pengaruh signifikan antara variabel bebas terhadap variabel terikat.
Tabel 6
Hasil Uji T-statistik
Variabel |
t hitung |
t tabel |
Keterangan |
SUKU BUNGA (R) |
-0.532 |
2.0595 |
Ho diterima |
PDB (Y) |
4.301 |
2.0595 |
Ho ditolak |
INOVASI BANK (F) |
-1.925 |
2.0595 |
Ho diterima |
INFLASI (I) |
1.417 |
2.0595 |
Ho diterima |
BEBAN PAJAK (T) |
1.932 |
2.0595 |
Ho diterima |
KORUPSI |
0.975 |
2.0595 |
Ho diterima |
�Sumber : Lampiran 8 (telah diolah kembali)
Berdasarkan
hasil uji t-statistik diperoleh kesimpulan bahwa variabel suku bunga, inovasi
keuangan perbankan, inflasi, beban pajak dan korupsi berpengaruh signifikan
terhadap permintaan uang kartal. Sedangkan variabel pendapatan tidak
berpengaruh signifikan terhadap permintaan uang kartal.
g.
Koefisien
Determinasi (R�)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang
diberikan variabel independen terhadap variabel dependen yang ditunjukkan dalam
persentase dari hasil analisis data diperoleh angka koefisien determinasi yang
disesuaikan (adjusted R�) sebesar
0.922. Hal ini berarti 92,2 persen variasi perubahan permintaan uang kartal
dijelaskan oleh variasi tingkat suku bunga (b1), tingkat pendapatan (b2),
inovasi keuangan perbankan (b3), tingkat inflasi (b4), beban pajak (b5) dan korupsi (b6) Sementara
sisanya sebesar 7,8 persen diterangkan oleh variabel lain yang tidak terdapat
dalam model atas penulis teliti.
2.
Mengukur Besaran Underground
Economy
Hasil regresi linear berganda
pada tabel tersebut menunjukkan persamaan regresi sebagai berikut:
C = 1,122 � 0,021 b1 + 0,743 b2 � 0,088 b3 + 0,007 b4 + 0,008 b5
������������� + 0,09 b6 + e
Hasil estimasi persamaan
regresi berdasarkan tabel tersebut menunjukkan besarnya permintaan uang kartal secara keseluruhan baik yang digunakan untuk transaksi dalam aktifitas official economy (MOE) maupun underground
economy (MUE). Sementara besarnya
uang kartal riil yang digunakan dalam official economy (MOE) diperoleh dari hasil regresi berdasarkan
tabel 5.6 dengan mengeluarkan variabel beban pajak (T) dari persamaan itu. Selisih antara
kedua hasil estimasi tersebut menunjukkan besarnya uang kartal pada underground
economy (MUE). Perhitungan jumlah
uang kartal tersebut dapat dilihat pada lampiran 9.
Hasil perhitungan per triwulan
dalam periode tahun 2010 � 2017 pada lampiran 8
menunjukkan bahwa jumlah uang kartal yang digunakan dalam perekonomian secara keseluruhan berkisar antara Rp2.144,32 triliun sampai dengan
Rp3.938,21 triliun atau
rata-rata sekitar Rp3.039,26 triliun
per triwulan. Dengan kisaran jumlah uang kartal sebesar itu, rata-rata sekitar 74% per triwulan diantaranya merupakan jumlah uang kartal yang digunakan dalam kegiatan official economy. Dengan
demikian, jumlah uang kartal yang digunakan dalam kegiatan underground economy (riil)
berkisar antara Rp198,80 miliar sampai Rp1.653,40 triliun atau rata-rata sebesar Rp790,09 miliar per triwulan. Nilai ini setara dengan 26% dari total jumlah uang kartal yang beredar dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil perhitungan jumlah uang kartal dalam underground
economy tersebut lebih lanjut dapat ditentukan
nilai underground
economy dengan mengasumsikan
bahwa kecepatan perputaran uang pada underground
economy sama dengan
yang ada pada official
economy (VUE = VOE).
Hasil perhitungan besaran
nilai underground
economy di Indonesia periode 2010-2017 pada lampiran 9 menunjukkan bahwa nilai underground economy nominal per triwulan dalam periode tersebut
berkisar antara Rp25.435,64
triliun sampai Rp202.193,73
triliun. Secara rata-rata dalam periode tersebut
nilai underground
economy nominal mencapai Rp91.997,88 triliun atau setara
dengan 40,21% terhadap PDB
nominal. Bila dibandingkan dengan hasil studi
Scheiner dan Enster (2002)
yang memperkirakan underground economy di negara-negara berkembang
sekitar 35% - 44% serta sinyalemen Chatib Basri dan Faisal Basri (Gunadi, 2004) tentang kegiatan
underground economy di Indonesia, maka hasil temuan
dalam studi ini mendukung penelitian
tersebut.
3.
Mengukur Potensi Kehilangan Penerimaan Pajak
Berdasarkan hasil perhitungan estimasi potensi pajak pada lampiran 10, nilai potensi pajak
yang tidak dilaporkan karena adanya kegiatan
underground economy dalam periode 2010-2017 secara triwulanan menunjukkan kecenderungan yang berfluktuatif. Jika dalam awal tahun 2010 potensi pajak yang hilang diperkirakan mencapai Rp33,82 triliun hingga Rp92,50 triliun, maka memasuki tahun
2017 mencapai nilai sekitar Rp163,22 triliun hingga Rp180,91 triliun. Secara rata-rata dalam periode studi, potensi pajak dari
kegiatan underground
economy tumbuh sekitar
12,07% per triwulan dengan nilai berkisar sebesar Rp24,42 triliun hingga Rp180,91 triliun dengan rata-rata mencapai Rp89,84
triliun. Berikut disajikan tabel perhitungan potensi kehilangan pajak periode tahunan untuk tahun 2010 � tahun 2017.
Tabel 7
Kehilangan Penerimaan Pajak-Underground Economy
Tahun |
Potensi Kehilangan Penerimaan
Pajak (triliun rupiah) |
2010 |
273.89 |
2011 |
382.45 |
2012 |
294.51 |
2013 |
152.52 |
2014 |
191.75 |
2015 |
452.05 |
2016 |
443.09 |
2017 |
684.65 |
Sumber: Lampiran 10 (telah
diolah kembali)
Kecenderungan meningkatnya potensi
kehilangan pajak akibat aktivitas underground economy diduga
turut dipengaruhi oleh kebijakan perpajakan yang diterapkan oleh Pemerintah. Salah
satu contohnya adalah penerapan tarif pengenaan Penghasilan Kena Pajak pada Wajib Pajak Badan sebesar 25%. Tarif PPh Badan di Indonesia sebesar
25% dari Penghasilan Kena Pajak (PKP) saat ini masih
lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Seperti di Malaysia, tarif PPh badan berada di level 24%. Sementara Thailand
dan Vietnam masing-masing berada di tarif 22% dan 20% (CNN, 2019).
Pemerintah telah melakukan beberapa kebijakan untuk menarik para pelaku underground
economy ini untuk membayar pajak, diantaranya dengan diberlakukan tax
amnesty yang dibagi menjadi
tiga periode selama tahun 2016 dan 2017 dengan total realisasi uang tebusan pajak sebesar
Rp114,54 triliun (DJP, 2017). Namun,
hal ini nyatanya
tidak turut membuat penurunan potensi kehilangan penerimaan pajak akibat aktivitas underground economy.
4.
Perhitungan Potensi Kehilangan Penerimaan Pajak Menggunakan Metode Realisasi Penerimaan Pajak
Hasil perhitungan potensi
kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode realisasi penerimaan pajak dihitung dari selisih
antara target penerimaan
negara dari sektor pajak dengan realisasi
penerimaan pajak selama periode 2010 � 2017 yang dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 8
Kehilangan Penerimaan Pajak-Realisasi Penerimaan Pajak
Tahun |
Target |
Realisasi |
Kehilangan Penerimaan Pajak |
2010 |
661.49 |
627.88 |
33.61 |
2011 |
763.67 |
742.71 |
20.96 |
2012 |
885.02 |
835.87 |
49.15 |
2013 |
995.21 |
921.39 |
73.82 |
2014 |
1,072.37 |
985.12 |
87.25 |
2015 |
1,294.25 |
1,060.86 |
233.39 |
2016 |
1,355.20 |
1,105,97 |
249,23 |
2017 |
1,283.56 |
1,151.02 |
132.54 |
Sumber: Dirjen Perpajakan RI
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa
terdapat kehilangan penerimaan pajak berkisar antara Rp 20,96 triliun sampai dengan Rp 141,08 triliun rupiah. Beberapa hal yang mempengaruhi besaran kehilangan penerimaan pajak akibat tercapai
atau tidak tercapainya target penerimaan serta pertumbuhan realisasi penerimaan beberapa jenis pajak selama periode
tahun 2010-2017, antara
lain sebagai berikut:
Selama tahun 2010 realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp627,88 triliun atau 94,92% dari target penerimaan pajak sebesar Rp661,49 triliun. Kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp33,61 triliun rupiah yang disebabkan
oleh kenaikan tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp13.200.000 menjadi
Rp15.840.000 yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009. Selain itu, hal
lain yang turut menjadi penyebab kehilangan penerimaan pajak pada tahun 2010 merupakan akibat dari kebijakan
sunset policy yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada tahun 2009. Sunset
policy merupakan program penghapusan
sanksi administrasi Pajak Penghasilan sebagai bentuk pemberian fasilitas perpajakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 66/PMK.03/2008
dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 2008.
Selama tahun 2011 realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp742,74 triliun atau 97,26% dari target penerimaan pajak sebesar Rp763,67 triliun. Kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 20,96 triliun disebabkan oleh banyaknya permohonan Surat Keterangan Bebas PPh
Pasal 22 atas impor barang modal. Berdasarkan data BPS, impor barang modal
(golongan mesin) ke Indonesia meningkat cukup signifikan sebesar US$24,68
miliar (BPS, 2011). Selain itu, rendahnya penyerapan anggaran 2011, meningkatnya pertumbuhan restitusi
yang mencapai 21,31%, dari semula Rp26.594,10 miliar di tahun 2010 menjadi
Rp32.262,07 miliar pada tahun 2011, dan meningkatnya pertumbuhan ekspor sebesar
29,05% dari semula US$157,78 miliar menjadi US$203,62 miliar.
Selama tahun 2012 realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp835,82 triliun atau 94,44% dari target penerimaan pajak sebesar Rp885,02 triliun. Kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 49,15 triliun disebabkan realisasi yang tidak optimal dari penerimaan PBB karena adanya perubahan
mekanisme pengenaan areal on shore berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 15/PMK.03/2012 tentang Penatausahaan dan Pemindahbukuan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi dan Panas Bumi. Selain
itu menurunnya kegiatan produksi pada sektor pertambangan dan penggalian, sehingga beberapa Wajib Pajak menurunkan
pembayaran PPh Pasal 26.
Selama tahun 2013 realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp921,39 triliun atau 92,58% dari target penerimaan pajak sebesar Rp995,21 triliun. Kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 73,82 triliun disebabkan kenaikan tarif Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp15.840.000 menjadi Rp24.300.000
yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dan mulai berlaku tanggal
1 Januari 2013. Selain itu, tidak
tercapainya target realisasi diakibatkan oleh kinerja Wajib Pajak sektor pertambangan yang
masih kurang meyakinkan sehingga berdampak pada menurunnya penggunaan jasa dari objek PPh Pasal
23, serta keputusan perusahaan-perusahaan besar di sektor pertambangan untuk
tidak melakukan pembagian dividen.
Selama tahun 2014 realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp985,12 triliun atau 91,86% dari target penerimaan pajak sebesar Rp1072,37 triliun. Kehilangan penerimaan pajak sebesar sebesar
Rp 87,25 triliun disebabkan
antara lain oleh
melemahnya kinerja perusahaan-perusahaan yang berada di sektor pertambangan
yang masih belum pulih akibat dari menurunnya permintaan dunia terhadap barang
komoditi yang berimbas pada penurunan harga komoditi. Imbas dari penurunan
kinerja perusahaan di sektor pertambangan selama tahun 2013 mengakibatkan
beberapa perusahaan besar tidak membagi dividen di tahun 2014 sehingga
memberikan dampak yang kurang baik terhadap realisasi penerimaan PPh Pasal 23. Selain itu, tidak tercapainya
target realisasi diakibatkan
adanya kebijakan pemberian insentif pembebasan
PPnBM terhadap mobil murah Low Cost Green
Car (LCGC) yang menggeser selera dan konsumsi masyarakat terhadap mobil
mewah yang diatur dalam
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor: No.33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
Selama tahun 2015 realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp1.060,86 triliun atau 81,97% dari target penerimaan pajak sebesar Rp1.294,25 triliun. Kehilangan penerimaan pajak sebesar sebesar
Rp 233,39 triliun disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya, kebijakan Pemerintah menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp24.300.000 menjadi
Rp36.000.000 sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak
dan penerimaan PPN Impor
yang dipengaruhi harga migas baik minyak mentah (CPO) maupun minyak olahan yang tengah
turun ditambah rendahnya nilai impor tahun 2015 akibat rendahnya aktivitas
industri domestik. Menurunnya aktivitas industri domestik tentu saja
mempengaruhi nilai impor sebagai faktor input produksi yang secara langsung
berkorelasi terhadap kinerja penerimaan PPN Impor. Selain itu, tidak tercapainya target realisasi diakibatkan pemebasan PPnBM pada beberapa jenis barang tertentu yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 106/PMK.010/2015 tentang Jenis Barang Kena
pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan
Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Selama tahun 2016 realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp1.105,97 triliun atau 81,12% dari target penerimaan pajak sebesar Rp1.355,20 triliun. Kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 249,23 triliun disebabkan oleh kebijakan Pemerintah menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp36.000.000 menjadi
Rp54.000.000 sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak,
adanya kebijakan tersebut mengakibatkan jumlah Wajib Pajak
orang pribadi yang membayar
pajak tahun 2016 menjadi berkurang.
Selama tahun 2017 realisasi
penerimaan pajak sebesar Rp1.151,02 triliun atau 89,67% dari target penerimaan pajak sebesar Rp1.283,56 triliun. Kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 132,54 triliun disebabkan naiknya batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) pada bulan Juli 2016 menyebabkan perlambatan PPh Pasal 21 di semester 1 2017. Selain itu, terdapatnya
penurunan tarif PPh Final atas pengalihan hak atas tanah/bangunan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta
Perubahannya, dimana tarif berlaku secara
umum turun dari 5% menjadi 2,5% sehingga pada tahun 2017 realisasinya tumbuh negatif sebesar 18,1%.
5.
Analisis Potensi Kehilangan Pajak di Indonesia Ditinjau dari Penerbitan Regulasi Perpajakan oleh Pemerintah Tahun 2010 � 2017
Definisi dari �Potensi Kehilangan Pajak� adalah membandingkan perhitungan potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode underground
economy dan perhitungan potensi
kehilangan penerimaan pajak atas dasar
realisasi penerimaan pajak ditinjau dari penerbitan regulasi perpajakan.
Pajak merupakan salah satu
penerimaan negara yang penting
bagi pelaksanaan dan pembangunan nasional serta bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Selama tahun 2010 sampai dengan tahun 2017 kenaikan target penerimaan pajak berkisar antara 4% sampai dengan 20%. Tentunya bukan hal yang mudah bagi Direktorat
Jenderal Pajak untuk mencapai target tersebut. Berkaca pada penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya, penerimaan pajak tidak pernah mencapai
target. Ketidaktercapaian tersebut
disebabkan salah satunya
oleh regulasi perpajakan
yang diterbitkan oleh Pemerintah.
Penerbitan regulasi perpajakan
pada dasarnya dilaksanakan dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas dalam pengumpulan pajak, meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak, serta mendukung program/kebijakan yang dilaksanakan pemerintah. Berdasarkan batasan kewenangan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, Direktorat Jenderal Pajak memiliki kewenangan dalam proses penerbitan regulasi perpajakan dalam tahapan perumusan,
pembahasan, dan/atau pengesahan. Dalam melaksanakan kewenangan di atas, Direktorat Jenderal Pajak melakukan upaya harmonisasi peraturan yang dibutuhkan dalam penyusunan regulasi perpajakan. Upaya harmonisasi tersebut meliputi kegiatan identifikasi, pembahasan, dan pemberian rekomendasi. Pada kegiatan pembahasan, Direktorat Jenderal Pajak melibatkan para pemangku kepentingan seperti asosiasi dan ahli ekonomi untuk
mendapatkan pandangan perekonomian saat ini atau masa mendatang.
Hasil perhitungan potensi
kehilangan penerimaan pajak di Indonesia tahun 2010 sampai dengan tahun
2017 menggunakan metode underground economy dan metode realisasi penerimaan pajak secara singkat dapat digambarkan dalam grafik sebagai
berikut:
������������
Gambar 1
Potensi Kehilangan Penerimaan Pajak
Sumber: Data yang diolah
Dari data grafik diatas
terdapat perbedaan naik dan
turun potensi penerimaan pajak baik menggunakan metode perhitungan underground economy dan metode realisasi penerimaan pajak. Pada tahun 2011 terdapat kenaikan potensi penerimaan pajak menggunakan metode underground economy menjadi
Rp382,45 triliun, sedangkan
potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode realisasi penerimaan pajak turun dari
tahun sebelumnya menjadi Rp20,96 triliun. Pada tahun 2012 terdapat penurunan potensi penerimaan pajak menggunakan metode underground economy menjadi
Rp294,52 triliun, sedangkan
potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode penerbitan realisasi penerimaan pajak naik dari tahun sebelumnya
menjadi Rp49,15 triliun.
Pada tahun 2013 terdapat penurunan potensi penerimaan pajak menggunakan metode underground economy menjadi
Rp152,52 triliun, sedangkan
potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode realisasi penerimaan pajak naik dari tahun sebelumnya menjadi Rp73,82 triliun. Pada tahun 2016 terdapat penurunan potensi penerimaan pajak menggunakan metode underground economy menjadi
Rp443,09 triliun, sedangkan
potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode realisasi penerimaan pajak naik dari tahun sebelumnya menjadi Rp248,98 triliun. Pada tahun 2017 terdapat kenaikan potensi penerimaan pajak menggunakan metode underground economy menjadi
Rp684,64 triliun, sedangkan potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode realisasi penerimaan pajak turun dari tahun
sebelumnya menjadi Rp132,54
triliun.
Perbedaan naik dan turun potensi
penerimaan pajak yang dihitung berdasarkan kedua metode diatas
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya:
1)
Kenaikan potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode underground economy turut
disebabkan oleh adanya regulasi perpajakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, terutama apabila regulasi tersebut menyebabkan jumlah pajak yang dibebankan ke masyarakat lebih
besar daripada sebelumnya. Sebagai contoh pada tahun 2011 terbit regulasi perpajakan berupa Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER-64/PJ/2010 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan yang mengatur tentang kenaikan NJOP Sektor Perkebunan sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan untuk Objek Pajak Sektor
Perkebunan dan mulai berlaku
tanggal 1 Januari 2011. Naiknya tarif NJOP akan menimbulkan keengganan para pelaku underground economy untuk
membayar pajak dan mengganggap lebih baik menyimpan uang untuk memenuhi kebutuhan daripada menyetorkan ke negara sehingga akan meningkatkan
kegiatan underground
economy dan turut meningkatkan
potensi kehilangan penerimaan pajaknya. Namun, di sisi lain jumlah pajak yang dapat ditarik oleh Pemerintah lebih banyak akibat naiknya
tarif NJOP ini yang kemudian akan meningkatkan
realisasi penerimaan pajak pada tahun 2011 dan menurunnya kehilangan penerimaan pajak pada tahun tersebut menjadi Rp20,96 triliun, turut mempengaruhi kehilangan penerimaan pajak tahun 2011.
2)
Pada tahun 2012 terdapat kebijakan insentif fiskal yang diberikan Pemerintah kepada pelaku industri minyak goreng melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-12/PJ/2011 tentang Tata Cara Penatausahaan Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah atas Penyerahan Minyak Goreng Kemasan Sederhana dan/atau Minyak Goreng Sawit Curah di dalam Negeri. Insentif yang diterima berupa PPN terutang atas penyerahan
Minyak Goreng Kemasan Sederhana dan/atau Minyak Goreng Sawit Curah ditanggung oleh Pemerintah. Terbitnya regulasi perpajakan ini diharapkan dapat menarik minat para pelaku underground
economy untuk masuk ke dalam official economy sehingga potensi kehilangan
penerimaan pajak dari underground
economy dapat turun, hal ini tercermin
dari turunnya potensi kehilangan penerimaan pajak tahun tersebut menjadi Rp294,52 triliun. Namun, seperti halnya mata uang yang mempunyai dua sisi,
terbitnya regulasi perpajakan ini menimbulkan meningkatnya kehilangan penerimaan pajak dari pos penerimaan pajak dari Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) sehingga pada tahun
2012 kehilangan penerimaan pajak meningkat menjadi Rp49,15 triliun. Kebijakan insentif fiskal memang sering
dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan mendukung
daya beli masyarakat, terutama untuk kebutuhan rumah tangga.
3)
Pada tahun 2013 diterbitkan beberapa regulasi perpajakan mengenai insentif fiskal yang diberikan oleh Pemerintah yaitu Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor:
120/PMK.04/2013 tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan menteri Keuangan Nomor: 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat dan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor: 121/PMK.011/2013 tentang Jenis Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan
Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Merah. Dalam regulasi perpajakan mengenai kawasan berikat, Pemerintah memberikan kelonggaran kewajiban ekspor untuk meningkatkan
produksi dan menguntungkan masyarakat karena produk dalam negeri akan diisi oleh produk kualitas ekspor karena dalam
ketetapan sebelumnya di kawasan berikat alokasi penjualan produk dalam negeri sebesar 25% sedangkan 75% merupakan ekspor. Sekarang, alokasi penjualan produk dalam negeri naik menjadi 50%. Sedangkan, regulasi perpajakan mengenai produk barang yang dihapuskan dari pengenaan PPnBM terdiri dari enam
kategori yaitu peralatan rumah tangga dengan batasan
harga di bawah Rp5.000.000 atau Rp10.000.000, televisi dengan harga dan ukuran masing-masing dibawah Rp10.000.000
dan 40 inch, lemari pendingin
dengan harga dibawah Rp10.000.000. mesin pengatur suhu ruangan
(AC) dengan harga dibawah Rp8.000.000, pemanas air dengan harga dibawah
Rp5.000.000 dan proyektor serta
produk saniter dengan harga dibawah
Rp10.000.000. Kebijakan ini
diterbitkan dengan tujuan untuk meningkatkan
kinerja produk domestik dalam rangka bersaing dengan produk impor.
Terbitnya regulasi perpajakan ini diharapkan dapat menarik minat
para pelaku underground
economy untuk masuk ke dalam official economy sehingga potensi kehilangan penerimaan pajak dari underground
economy dapat turun. Selama tahun 2013 terjadi penurunan potensi kehilangan penerimaan pajak menjadi Rp152,52 triliun. Namun, terbitnya regulasi perpajakan ini menimbulkan meningkatnya kehilangan penerimaan pajak dari pos penerimaan pajak dari PPN dan PPnBM sehingga pada tahun 2013 kehilangan penerimaan pajak meningkat menjadi Rp73,82 triliun.
4)
Pemerintah mengeluarkan regulasi perpajakan yaitu Undang-Undang Nomor: 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak berpengaruh terhadap potensi kehilangan penerimaan pajak tahun 2016 dan 2017. Pengampunan pajak adalah program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak meliputi
penghapusan pajak yang seharusnya terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, dengan cara melunasi
seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan. Pemberian insentif fiskal oleh Pemerintah berupa pengampunan pajak merupakan salah satu cara untuk
menarik pajak dari para pelaku underground economy yang sebelumnya tidak melakukan pelaporan pajak. Hal ini dicerminkan dari turunnya potensi kehilangan penerimaan pajak dari underground economy sebesar Rp443,09 triliun. Namun, seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya bahwa kebijakan insentif fiskal yang dikeluarkan Pemerintah disatu sisi akan
menimbulkan kehilangan penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh oleh Negara.
Hal ini dapat terlihat dari tidak
tercapainya target realisasi
penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp248,96 triliun.
5)
Pengampunan pajak yang berlangsung sampai tahun 2017 berhasil meningkatkan realisasi penerimaan pajak tahun 2017 serta mengurangi kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp132,54 triliun. Namun, ditahun yang sama terdapat kenaikan potensi penerimaan pajak dari kegiatan
underground economy sebesar Rp684,64 triliun meskipun pada tahun tersebut program pengampunan pajak masih
berjalan. Hal ini dapat menjelaskan bahwa adanya insentif
fiskal yang diberikan oleh Pemerintah nyatanya tidak dapat meningkatkan
rasa kepercayaan masyarakat
terhadap Pemerintah.
Masyarakat secara umum dan
para pelaku underground
economy menganggap institusi
perpajakan sarat dengan korupsi, sehingga ada kekhawatiran
bahwa pajak yang disetorkan hanya akan dikorupsi oleh para pegawai pajak. Salah satu kasus penggelapan
pajak yang didalangi oleh Gayus Tambunan-seorang pegawai pajak dengan
rekening bernilai milyaran rupiah yang tidak mungkin bisa diperoleh
dari penghasilan sebagai pegawai negeri sipil � semakin mengurangi kepercayaan publik terhadap Pemerintah, khususnya institusi pajak.
Setiap regulasi perpajakan yang diterbitkan oleh Pemerintah, nyatanya berdampak pada potensi kehilangan penerimaan pajak ditinjau dari respon para pelaku underground
economy maupun realisasi
pajak yang tercapai pada tahun berjalan.
Kesimpulan
Penelitian ini dilakukan untuk
mengukur besarnya potensi kehilangan penerimaan pajak di Indonesia menggunakan metode underground economy di Indonesia dan metode potensi kehilangan pajak atas dasar realisasi
penerimaan pajak periode 2010-2017 untuk kemudian dilakukan analisis ditinjau dari penerbitan regulasi perpajakan nasional. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang telah dilakukan, maka simpulan yang dapat diambil dari penelitian
ini adalah sebagai berikut: 1) Potensi kehilangan penerimaan pajak karena adanya kegiatan
underground economy dalam periode 2010-2017 menunjukkan kecenderungan yang berfluktuatif. Jika dalam awal tahun 2010 potensi pajak yang hilang diperkirakan mencapai Rp33,82 triliun hingga Rp92,50 triliun, maka memasuki tahun
2017 mencapai nilai sekitar Rp163,22 triliun hingga Rp180,91 triliun. 2) Berdasarkan metode realisasi penerimaan pajak di Indonesia periode 2010-2017 berkisar antara Rp 20,96 triliun sampai dengan Rp 141,08 triliun rupiah. Selama tahun 2010-2017 terdapat kecenderuangan naiknya kehilangan penerimaan pajak kecuali pada tahun 2011 dan tahun 2017 yang disebabkan oleh keadaan ekonomi Indonesia pada tahun berjalan. 3) Terdapat perbedaan potensi kehilangan penerimaan pajak dengan menggunakan kedua metode diatas.
Secara umum, potensi kehilangan penerimaan pajak menggunakan metode perhitungan aktivitas underground economy lebih
tinggi daripada potensi kehilangan pajak atas realisasi
penerimaan pajak di
Indonesia. Selain itu, setelah dilakukan analisis perbedaan dari perhitungan potensi kehilangan penerimaan pajak dari kedua metode
tersebut ditinjau dari penerbitan regulasi perpajakan oleh Pemerintah diperoleh kesimpulan bahwa penerbitan regulasi perpajakan mempengaruhi naik dan turunnya penerimaan pajak di Indonesia. Pada dasarnya
penerbitan regulasi perpajakan dilakukan dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektivitas dalam pengumpulan pajak, meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak, serta mendukung program yang dilaksanakan pemerintah. Namun, dalam setiap
regulasi perpajakan yang diterbitkan terdapat efek samping yang dialami dalam penerimaan
perpajakan Indonesia pada tahun
berjalan. Contohnya seperti penerbitan regulasi terkait kebijakan fiskal bagi kebutuhan pokok yang sering dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan mendukung
daya beli masyarakat namun adanya kebijakan insentif tersebut dapat meningkatnya kehilangan penerimaan pajak dari pos penerimaan pajak dari Pajak Pertambahan
Nilai (PPN).
BIBLIOGRAFI
Achmadi, Geri. (2007). Mengenal
seluk beluk uang. Yudhistira Ghalia Indonesia. Google
Scholar
Arfin. (2018). Risiko dan Peluang
Terjadinya Korupsi di Sektor Pajak. In Simposium Nasional Keuangan Negara.
CNN. (2019). Benahi Sistem Dahulu,
Turunkan Tarif PPh Badan Kemudian. Retrieved fromhttps://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190109115636-532
359526/benahi-sistem-dahulu-turunkan-tarif-pph-badan-kemudian� [ 11 Agustus 2019 ].
Direktorat Jenderal Perpajakan. (2016). Analisis
Potensi Kehilangan Penerimaan Pajak Di Indonesia (Tahun 2010�2017). Universitas
Bakrie.
Faal, Ebrima. (2003). Currency demand,
the underground economy, and tax evasion: The case of Guyana. Google Scholar
Gunadi, Aloysius. (2004). Krisis dan
Underground Economy di Indonesia. Badan Perencanaan Dan Pembangunan Nasional.
Google Scholar
Gutmann, Peter M. (1977). The subterranean
economy. Financial Analysts Journal, 33(6), 26�27. Google Scholar
Indonesia, Bank. (2018). BI 7-day
(Reverse) Repo Rate (p. 23 November 2018). p. 23 November 2018. Retrieved
from
https://www.bi.go.id/id/moneter/bi-7day-RR/penjelasan/Contents/Default.aspx
Iskandar, Azwar, & Mulyawan, Andi
Wawan. (2017). Analisis Underground Economy Indonesia dan Potensi Penerimaan
Pajak (Analysis of Underground Economy of Indonesia and Tax Revenue Potential).
Jurnal Info Artha PKN-STAN, 1. Google Scholar
Kusuma, Hendra. (2018). Penerimaan
Perpajakan 2017 Capai Rp 1.339 Triliun, 91% dari Target. Detik. Finance,
2. Google Scholar
Mankiw, G. (2007). Makroekonomi. In Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Nizar, Muhammad Afdi, & Purnomo,
Kuntarto. (2011). Potensi Penerimaan Pajak. Kajian Ekonomi Dan Keuangan,
15(2), 1�36. Google Scholar
Purnomo, Kuntarto. (2010). Estimasi
Underground Economy di Indonesia Periode 2000-2009 Melalui Pendekatan Moneter. Skripsi
S1 Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Google Scholar
Samuda, Sri Juli Asdiyanti. (2016).
Underground economy in Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan,
19(1), 39�56. Google Scholar
Sapardi, Tenang. (2017). Estimasi Potential
Loss Penerimaan Pajak dari Kegiatan Underground Economy dengan Pendekatan
Moneter. Media Ekonomi, 21(1), 71�86. Google Scholar
Schneider, Friedrich, & Hametner,
Bettina. (2014). The shadow economy in Colombia: Size and effects on economic
growth. Peace Economics, Peace Science and Public Policy, 20(2),
293�325. Google Scholar
Tanzi, Vito. (1983). The underground economy
in the United States: annual estimates, 1930-80. Staff Papers, 30(2),
283�305. Google Scholar
Btari Mutia Anggraeni
(2021) |
First publication right: Journal Syntax Literate |
This article is licensed under: |