Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
��������������������������������� e-ISSN:
2548-1398
���������� �����������������������Vol. 6, No. 4, April
2021
Eksistensi
Keamanan Siber terhadap
Tindakan Cyberstalking dalam
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Cybercrime
Andi Fadilah, Renda Aranggraeni dan Sri
Reski Putri
Magister Ilmu Hukum
Universitas Airlangga
Email: [email protected], [email protected]
dan [email protected]
Abstract
Crime develops along with the development of human
civilization, and it can be said that crime was born with the birth of human
civilization. The development of crime is also accompanied by the development
of the perpetrator of the crime. Therefore, it is necessary to have proper
criminal responsibility. The demands of change and the 4.0 industrial
revolution have made so many people compete to be able to keep up with the
times, especially in terms of developing information systems and technology,
this shows that internet technology has become a necessity for socializing and
doing business at all levels of society. In addition to the growth of internet
users, there is also a trend of internet crimes (cybercrime) such as cyber
stalking, Indonesia is considered the country most at risk of information technology
security attacks, because the Indonesian criminal law does not specifically
recognize the crime of stalking. As we all know that currently there are many
unsuitable uses of social media, use by irresponsible parties, various crimes
can occur in cyberspace which is currently also known as cybercrime. The method
used in writing is Doctrinal Research, regarding cyber crime if cyber stalking
is a form of cyber crime, the regulations regarding cyber stalking in Indonesia
are still very common and lack enforcement, this is because it is difficult to
find the perpetrators directly because the majority of the perpetrators use accounts
anonymity on social media and unclear limits on the approval limits for the use
of social media accounts in relation to inputting / entering personal data
validly by the account owner.
Keywords: hacking; criminal crime; criminal act; stalking; cyber
crime
Abstrak
Kejahatan
berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dan dapat dikatakan
bahwa kejahatan lahir bersama dengan lahirnya peradaban manusia. Perkembangan
kejahatan juga diiringi dengan perkembangan pelaku tindak pidana. Oleh karena
itu, perlu adanya pertanggungjawaban pidana yang tepat. Tuntutan perubahan
serta adanya revolusi industri 4.0, membuat begitu banyak orang berlomba untuk dapat mengikuti arus zaman,
terutama dalam hal pengembangan sistem informasi dan teknologi hal tersebut
menunjukkan bahwa teknologi internet sudah menjadi keharusan yang digunakan
untuk bersosialisasi dan melakukan bisnis di semua tingkat kalangan. Selain
pertumbuhan pengguna internet ada juga tren kejahatan internet (cybercrime)
seperti cyber stalking, Indonesia dianggap sebagai negara yang paling
berisiko terhadap serangan keamanan teknologi informasi, karena hukum pidana Indonesia
tidak mengenal khusus tindak pidana stalking. Sebagaimana kita ketahui
saat ini banyak penggunaan media sosial yang tidak terarah, penggunaan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, berbagai kejahatan dapat terjadi di
dunia maya yang saat ini juga dikenal istilah cybercrime. Metode yang
digunakan dalam penulisan yaitu Doctrinal Research, mengenai
kejahatan siber jika cyber stalking
merupakan salah satu bentuk kejahatan cyber
crime, pengaturan mengenai cyber
stalking di Indonesia masih sangat awam dan minim penegakan, hal ini
dikarenakan sulitnya ditemukan pelaku secara langsung karena mayoritas dari
pelaku menggunakan akun anonim pada
media sosial serta tidak jelasnya mengenai batasan persetujuan akan penggunaan
akun media sosial berkaitan dengan peng-inputan/memasukkan data pribadi secara
valid oleh pemilik akun.
Kata kunci : peretasan;
kejahatan kriminal; tindak pidana; penguntitan; kejahatan siber
Pendahuluan
Kejahatan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban
manusia, dan dapat dikatakan bahwa kejahatan lahir bersama dengan lahirnya
peradaban manusia. Perkembangan kejahatan juga diiringi dengan perkembangan
pelaku tindak pidana. Dengan adanya revolusi industri 4.0, membuat begitu
banyak seseorang berlomba untuk dapat mengikuti arus zaman, terutama dalam hal
pengembangan sistem informasi dan teknologi. Seiring berjalannya waktu, tren
menunjukkan bahwa teknologi internet salah satunya digunakan untuk
bersosialisasi dan melakukan bisnis di semua tingkat kalangan. Selain
pertumbuhan pengguna internet ada juga tren kejahatan internet (cybercrime)
seperti cyber stalking, Indonesia dianggap sebagai negara yang paling
berisiko terhadap serangan keamanan teknologi informasi, karena hukum pidana
Indonesia tidak mengenal khusus tindak pidana stalking. Sebagaimana kita
ketahui saat ini banyak penggunaan media sosial yang tidak terarah, penggunaan
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, berbagai kejahatan dapat terjadi
di dunia maya yang saat ini juga dikenal istilah cybercrime. Cybercrime
adalah tindakan kriminal yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer
sebagai alat kejahatan utama, kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi
komputer khususnya internet (Perkasa, Nyoman Serikat, & Turisno, 2016). Oleh karena itu, perlu adanya pertanggungjawaban
pidana yang tepat.
Cyber stalking
dapat diterjemahkan sebagai penguntitan melalui dunia maya. Menurut Black's Law Dictionary 11th edition, cyber stalking adalah:
�the act of threatening,
harassing, or annoying someone through multiple e-mail messages, as through the
internet, esp with the intent of placing the recipient in fear that an illegal
act or an injury will be inflicted on the recipient or a member of the
recipient's family or household.�
Terjemahan:
�Tindakan
mengancam, melecehkan, atau mengganggu seseorang melalui berbagai pesan e-mail,
seperti melalui internet, khususnya dengan maksud menempatkan penerima dalam
ketakutan akan terjadinya tindakan ilegal atau tindakan yang dapat menimbulkan
cedera pada penerima atau anggota keluarganya� (Rachmadsyah, 2010).
Dalam hal ini, Indonesia tidak memiliki definisi hukum
untuk kejahatan siber. Sebenarnya, Undang-Undang Nomor 11 (sebelas) Tahun 2008 sebagai
amandemen Undang-Undang Nomor 19 (sembilan
belas) Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang administratif. Namun, legislator
memasukkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana (selanjutnya dalam tulisan
ini, disingkat penyebutannya menjadi UU ITE). Ketentuan mengenai kejahatan
siber dalam UU ITE. Jenis Kejahatan dalam UU ITE, seperti meretas intersepsi illegal, mengotori (defacing),
pencurian
elektonik,
interference,
memfasilitasi
tindak pidana terlarang, pencuri
identitas,
merupakan kejahatan yang targetnya menggunakan internet, komputer dan
teknologi. Sebagaimana kita ketahui, jenis kejahatan tersebut merupakan bentuk
kejahatan baru, dan perkembangan teknologi telah menciptakan media baru untuk
memberikan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, legislator mengatur ulang
kejahatan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebenarnya,
semua jenis kejahatan ini sudah diatur dalam tindakan kriminal lainnya dan ini
menciptakan apa yang disebut Douglas Huzak sebagai kriminalisasi
berlebihan.
Pelanggaran UU ITE didominasi oleh publikasi dan
distribusi kasus konten ilegal. Menurut Divisi Kejahatan Siber Kepolisian
Nasional Indonesia pada tahun 2017, Kepolisian Nasional Indonesia telah menyelidiki
1.763 laporan. Dari jumlah itu, penipuan adalah yang tertinggi dengan 767 kasus
diikuti oleh pencemaran nama baik dengan 528 kasus dan pornografi dengan 100
kasus. Kalau tidak, peretasan adalah yang terendah yang hanya satu kasus (Putra, 2016).
Berbeda dari Indonesia, di negara-negara Asia Tenggara
lainnya seperti Singapura dan Malaysia, publikasi dan distribusi konten ilegal
menggunakan internet, komputer dan teknologi tidak dianggap sebagai bagian dari
kejahatan siber. Di Singapura, kejahatan siber mencakup UU Penyalahgunaan
Komputer yang melarang beberapa jenis kejahatan siber seperti akses tanpa izin,
pengungkapan rahasia, perusakan atau kerusakan sistem komputer atau data
elektronik, dan penipuan komputer.
Konsep kejahatan siber berkembang dari kejahatan
komputer. Ini kembali ke tahun 1970-an ketika komputer hanya digunakan oleh
orang-orang terbatas yang bekerja di bidang keamanan. Jenis kejahatan dunia
maya yang pertama adalah peretasan, perusakan, virus komputer, intrusi komputer,
dan penipuan identitas. Kemudian pada 1980-an dan 1990-an ketika komputer dan
teknologi telah menjadi lebih utama dan karena komputer dan internet menjadi
lebih banyak digunakan, kejahatan komputer menjadi lebih sering.
The Budapest Convention on Cybercrime 2001
memiliki lingkup kejahatan dunia maya yang terbatas, merupakan konvensi
internasional pertama yang membahas kejahatan internet dan komputer. Meskipun
konsep kejahatan siber tidak secara jelas menyatakan, konsep cybercrime
dapat ditemukan dari ruang lingkup cybercrime. Dalam konvensi tersebut,
jenis kejahatan yang akan diklasifikasikan sebagai kejahatan dunia maya
terbatas pada empat kelompok pelanggaran. Pertama, pelanggaran terhadap
kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer dengan
cakupan pelanggaran adalah akses ilegal, intersepsi ilegal, gangguan data,
gangguan sistem, dan penyalahgunaan perangkat. Kedua, pelanggaran
terkait komputer dengan dua lingkup pelanggaran pemalsuan terkait komputer dan
penipuan terkait komputer. Pelanggaran ketiga terkait dengan pelanggaran hak
cipta dan hak terkait, dengan ruang lingkup pelanggaran terkait dengan
pelanggaran hak cipta dan hak terkait. Yang terakhir, pelanggaran terkait
konten yang hanya terbatas pada pelanggaran yang terkait dengan pornografi anak
(Bunga, 2019).
Disimpulkan bahwa kecuali pornografi anak, konsep kejahatan dunia maya di bawah
The Budapest Convention on Cybercrime 2001 tidak mencakup kejahatan lama
dengan penggunaan komputer, internet, dan teknologi sebagai media untuk melakukan
kejahatan sebagai bagian dari kejahatan dunia maya.
Pada akhirnya, UU ITE akan diamandemen. Pada tahun
2016 ketika undang-undang tersebut diamandemen, legislator merevisi beberapa
ketentuan mengenai pelanggaran pidana, namun, mereka tidak merevisi konsep
kejahatan dunia maya itu sendiri. Dengan demikian, amandemen kedua harus dilakukan
dengan membatasi ruang lingkup kejahatan dunia maya yang hanya merupakan
kejahatan yang berakar dari kejahatan komputer dan perkembangannya yang
canggih. Pasal 29 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan
tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pelanggaran terhadap Pasal 27 dan Pasal 29 UU ITE memang dapat dikenakan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU ITE. Di dalam pasal-pasal UU ITE di
atas, disebutkan beberapa unsur delik yang harus dipenuhi untuk menyatakan
bahwa tindakan demikian dapat dikenai akibat hukum yaitu adanya unsur pelanggaran
kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pemerasan dan/ atau
pengancaman, dan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti (Octora, 2019).
Pembentuk undang-undang belum mengakomodasi tindakan penguntitan dalam dunia
maya (cyber stalking), sejauh
tindakan pendistribusian informasi elektronik oleh pelaku, tidak mengandung
unsur pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik,
pemerasan dan/ atau pengancaman, dan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti.
Sosial media dalam hal penggunaan sangat mungkin
terjadi seseorang membuat lebih dari satu akun anonim, dengan identitas yang
sengaja disamarkan, dan akun sosial media tersebut sengaja dibuat untuk
mengikuti seseorang. Pelaku menguntit korban misalnya dengan memantau
keseharian dan rutinitas korban, memperhatikan tempat-tempat yang korban
datangi secara rutin, mengirimkan pesan, meminta (request) pertemanan, dan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan
korban di dunia nyata. Tindakan seperti itu tidak akan menimbulkan masalah
sejauh terdapat persetujuan (consent)
dari orang yang diikuti.
Sebuah permasalahan mengenai kejahatan siber jika cyber stalking merupakan salah satu
bentuk kejahatan cyber crime,
pengaturan mengenai cyber stalking di
Indonesia masih sangat awam dan minim penegakan, hal ini dikarenakan sulitnya
ditemukan pelaku secara langsung karena mayoritas dari pelaku menggunakan akun
anonym pada media sosial serta tidak jelasnya mengenai batasan persetujuan akan
penggunaan akun media sosial berkaitan dengan peng-inputan/memasukkan data
pribadi secara valid oleh pemilik akun. Sebagaimana memahami makna sebuah konsep
yang kemudian daripadanya berawal dari sebuah benda (term), dikemukakan
atau dijelaskan menggunakan konsep yang barulah muncul sebuah norms (aturan
yang dapat diberlakukan) yaitu dengan memahami konsep sebuah jaringan komputer,
data diri, kejahatan siber dan dapat diteliti tentang hukum pidana yang juga bagian dari
hukum publik mengatur tindakan seseorang, menetapkan perbuatan yang dilarang,
dan menetapkan sanksi atas pelanggaran dari perbuatan itu. Berdasarkan asas
legalitas, hukum pidana melalui peraturan tertulis menetapkan tindakan apa saja
yang dilarang, kemudian menetapkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana tersebut. Lain halnya dengan pelaku tindak pidana di
dunia nyata, pelaku tindak pidana di dunia maya melakukan tindakannya dengan
perantaraan sebuah akun atau lebih. Idealnya, sebuah akun haruslah menjadi
wadah atau sarana tersedianya informasi elektronik yang akurat tentang
identitas diri dari pengguna / pemilik akun tersebut. Sebagai contoh, seseorang
membuat akun e-mail, yang dapat dimanfaatkan untuk mengirim dan menerima pesan.
Kemudian, ketika ia akan membuat akun sosial media, dirinya diminta untuk
mendaftarkan alamat e-mailnya, dan melakukan beberapa langkah verifikasi data
sampai akhirnya akun sosial media tersebut dapat ia gunakan.
Kenyataannya
saat ini dengan mudah seseorang dapat membuat akun sosial media secara anonim,
menggunakan nama samaran sehingga segala aktivitas yang dilakukan atas nama
sosial media itu menjadi sulit dipertanggungjawabkan karena tidak jelas, siapa
sebenarnya yang ada di balik akun tersebut. Sampai saat ini, pembuatan akun
media sosial secara anonim di Indonesia masih sulit dicegah. Salah satu
penyebabnya adalah karena platform sosial media hanya menyimpan data alamat e-mail
pengguna, sehingga dalam hal terjadi penyalahgunaan sosial media oleh akun
anonim, penegakan hukum menjadi sulit dilaksanakan.
Pengaturan
mengenai akun anonim di dalam UU ITE, terdapat di dalam Pasal 35 Dengan
demikian, pengaturan tentang larangan pembuatan akun anonim sudah ada di dalam
sistem hukum Indonesia, hanya saja pengenaan pertanggungjawaban hukum bagi pembuat
akun anonim masih sulit dilakukan. Hal ini disebabkan belum terdapat sistem
pendataan pengguna internet yang kredibel, di mana setiap orang dapat membuat
akun media sosial dengan berbekal identitas palsu, dan sistem elektronik dari
aplikasi media sosial saat ini belum menerapkan sistem verifikasi data yang
andal, untuk memastikan keaslian identitas pengguna.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan tiga pendekatan, yaitu,
pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach) (Marzuki, 2016),
yang akan sedikit diuraikan sebagai berikut:
1.
Pendekatan
yang pertama yang digunakan adalah pendekatan perbandingan (comparative
approach), yaitu pendekatan yang dilakukan dengan melakukan dan menelaah terkait
undang-undang dan regulasi di negara lain yang telah menerapkan dengan baik dan
terstruktur permasalahan yang berkaitan dengan tindakan pengaturan cyberstalking.
2.
Pendekatan
kedua yang digunakan pendekatan konsep merupakan pendekatan konseptual beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum, maka akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi penulisan ini dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam
memecahkan isu yang dihadapi berkaitan dengan tindakan cyberstalking (Marzuki,
2011).
Hasil
dan Pembahasan
A.
Tafsir
mengenai batasan pengaturan hukum cybercrime dalam keterikatan
pemidanaan dan pembuktian tindak pidana cyberstalking
Dalam hal ini, Indonesia tidak memiliki
definisi hukum untuk kejahatan siber. Undang-Undang Nomor 11 (sebelas) Tahun 2008 sebagai amandemen
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) adalah undang-undang administratif. Namun, legislator memasukkan
beberapa ketentuan tentang tindak pidana (selanjutnya dalam tulisan ini,
disingkat penyebutannya menjadi UU ITE). Ketentuan mengenai kejahatan siber
dalam UU ITE.
Tabel 1
Kejahatan yang
menargetkan internet, komputer, dan teknologi
Jenis
Kejahatan |
Ketentuan
dalam UU ITE |
Meretas
(Hacking) |
Pasal
30 |
Intersepsi
illegal |
Pasal
31 Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (2) |
Mengotori
(Defacing) |
Pasal
32 |
Pencurian
Elektonik |
Pasal
32 ayat 2 |
Interference |
Pasal
33 |
Memfasilitasi
tindak pidana terlarang |
Pasal
34 |
Pencuri
Identitas |
Pasal
35 |
|
|
Tabel 2
konten ilegal dengan menggunakan internet,
komputer dan teknologi terkait untuk melakukan kejahatan
Jenis
Kejahatan |
Ketentuan
dalam UU ITE |
Ketentuan
dalam UU lain |
Pornografi |
Pasa
27 ayat 1 |
UU
Pornografi dan KUHP |
Judi
|
Pasal
27 ayat 2 |
KUHP |
Fitnah |
Pasal
27 ayat 3 |
KUHP |
Pemerasan |
Pasal
27 ayat 4 |
KUHP |
Penipuan |
Pasal
28 ayat 1 |
UU
Perlindungan Konsumen |
Ujaran
Kebencian |
Pasal
28 ayat 2 |
KUHP |
Harrasment |
Pasal
29 |
KUHP |
Sebagaimana tabel pertama yang menganggap
bentuk kejahatan baru, sedangkan tabel kedua dianggap sebagai kejahatan lama,
tetapi perkembangan teknologi telah menciptakan media baru untuk memberikan
kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, legislator mengatur ulang kejahatan
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebenarnya, semua jenis
kejahatan ini sudah diatur dalam tindakan kriminal lainnya dan ini menciptakan
apa yang disebut Douglas Huzak sebagai kriminalisasi berlebihan.
Dari adanya pendapat di atas bahwasannya
sebuah perlindungan terhadap tindakan penguntitan memiliki nilai ekonomis yang
tinggi, terlebih lagi nantinya berkaitan dengan data pribadi, dengan adanya
aktivitas penguntitan, tidak menutup kemungkinan sebuah tindakan seorang
hacker, yang bisa juga mencoba mencuri data pribadi, salah satu tindakan
seseorang yang terobsesi untuk mengetahui lebih banyak tentang teknologi
komputer, informasi yang ingin digali lebih secara illegal. Selanjutnya yaitu
mengenai seseorang membuat lebih dari satu akun anonim, dengan identitas yang
sengaja disamarkan, dan akun sosial media tersebut sengaja dibuat untuk
mengikuti seseorang, berdasarkan pengaturan di Undang-Undang ITE sendiri tidak
dijelaskan sampai mana dan seperti apa penegakan hukum dapat dilakukan terhadap
pelaku cyber stalking yang menggunakan akun anonim pada media sosial
yang atas tindakannya tersebut menimbulkan gangguan secara tidak transparan.
Terkait dengan kekosongan hukum di atas,
Indonesia dapat melihat pengaturan mengenai hal yang serupa di beberapa negara
lainnya yaitu beberapa negara yang telah secara khusus mengatur regulasi cyber
stalking seperti Amerika Serikat, Alaska, Kanada, Polandia, Spanyol, dan
Inggris. Sama halnya di Amerika (kasus Rebecca Schaeffer 1989), pada tahun 1990
California adalah negara bagian yang pertama memiliki hukum tentang stalking,
dibedakannya aturan dari segi usia pelaku kejahatan siber. Kemudian disusul New
York mengundangkan Code Penal 240.25 tahun 1994 dan Australia yang juga mengundangkan
UU mengenai stalking pada tahun 1998. Sedang, di Indonesia hanya terbatas pada
tindakan pengancaman semata.
Cyber stalking
menjadi kejahatan baru dalam dunia teknologi informasi dan merupakan masalah
serius yang makin berkembang. Di Amerika Serikat, pada tahun 1990 California
adalah Negara bagian yang pertama memiliki hukum tentang stalking.
Undang-undang tersebut dibuat sebagai hasil dari terjadinya pembunuhan terhadap
aktris Rebecca Schaeffer oleh Rober Bardo pada tahun 1989. Kemudian New York
mengundangkan Penal code 240.25 pada tahun 1992 yang telah diubah pada tahun
1994. Kemudian negara-negara bagian di Australia juga membuat undang-undang mengenai
stalking pada tahun 1998
dan Indonesia baru mengatur tentang stalking dalam UU
ITE namun hanya masih terbatas pada tindakan pengancamannya semata. Hukuman di
Indonesia untuk kejahatan serius di dunia maya sepertinya kurang memberi efek
jera (Amanda Lenhart, Michele Ybarra, Kathryn Zickuhr, 2011).
Perbandingan
hukum terhadap Indonesia dan negara lain diharapkan dapat dilakukan reform
mengenai adanya pengaturan yang tidak jelas agar terhadap permasalahan di
Indonesia mengenai pelaku cyber stalking dapat terselesaikan dengan
dilakukannya perbandingan hukum dengan peraturan di negara lain. Maka tujuan
perbandingan hukum yang paling tepat dengan permasalahan yang ada pada
pembahasan ini ialah Legal Reform dimana Legal Reform sendiri
dapat dilakukan karena adanya tiga keadaan yang pertama reform dilakukan ketika
sebuah norma tidak dapat dieksekusi karena memiliki norma yang tidak jelas,
kedua reform akan dilakukan Ketika sebuah norma tumpang tindih dengan norma
yang lain. Ketiga, sebuah reform dilakukan apabila sebuah norma belum diatur
dan karena belum adanya pengaturan norma tersebut sebuah masalah tidak dapat
diselesaikan. Dengan adanya latar belakang yang telah dipaparkan untuk
menyelesaikan masalah mengenai norma yang mengatur tindakan cyberstalking dapat
dilakukan reform karena belum adanya yang mengatur mengenai sanksi yang pasti,
penegakan hukum yang jelas atas tindakan cyber stalking, dimana karena
hal tersebut banyaknya kasus yang mengakibatkan terganggunya seseorang, yang
juga berkaitan data pribadi tanpa persetujuan.
Dari pendapat di atas, dapat ditarik
sebuah kesimpulan mengenai tujuan yang ingin dicapai, yaitu untuk memahami
hukum itu sendiri, terlebih lagi perbandingan yang bertujuan untuk
mengasumsikan persamaan (berbagai sistem hukum sejatinya ada persamaan). Tujuan
yang pasti tentu berkaitan dengan cara memformalkan dalam membangun sistem
(meninjau), terlebih lagi bertujuan untuk menyatukan hukum yang satu, karena
terkait dengan cyber stalking, sejatinya bersifat universal, dapat dijangkau
dari berbagai wilayah, tidak hanya di Indonesia.
UU ITE akan diamandemen. Pada tahun 2016
ketika undang-undang tersebut diamandemen, legislator merevisi beberapa
ketentuan mengenai pelanggaran pidana. Namun, mereka tidak merevisi konsep
kejahatan dunia maya itu sendiri. Dengan demikian, amandemen kedua harus
dilakukan dengan membatasi ruang lingkup kejahatan dunia maya yang hanya
merupakan kejahatan yang berakar dari kejahatan komputer dan perkembangannya
yang canggih. Pasal 29 dinyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja
dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pelanggaran terhadap Pasal 27 dan Pasal 29 UU ITE memang dapat dikenakan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU ITE. Di dalam pasal-pasal UU ITE di
atas, disebutkan beberapa unsur delik yang harus dipenuhi untuk menyatakan
bahwa tindakan demikian dapat dikenai akibat hukum yaitu adanya unsur
pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pemerasan
dan/ atau pengancaman, dan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti. Pembentuk
undang-undang belum mengakomodasi tindakan penguntitan dalam dunia maya (cyber
stalking), sejauh tindakan pendistribusian informasi elektronik oleh
pelaku, tidak mengandung unsur pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran
nama baik, pemerasan dan/ atau pengancaman, dan ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti.
B.
Perlindungan
hukum atas tindak pidana cyberstalking dalam ranah hukum pidana di Indonesia
Dari segi bahasa, kejahatan itu sendiri
berasal dari dasar jahat yang mendapat awalan �ke� dan akhiran �an� yang dalam
kamus umum Bahasa Indonesia,
kejahatan
memiliki makna yakni sifat yang jahat, perbuatan jahat seperti mencuri (Utomo, 2020).
Sampai saat ini, tindakan cyberstalking tanpa adanya unsur pelanggaran
kesusilaan, perjudian, penghinaan/ pencemaran nama baik, pemerasan dan/ atau
pengancaman, dan ancaman kekerasan atau menakut-nakuti, belum dapat dikenai
hukuman. Unsur �mengganggu� belum menjadi dasar yang cukup untuk mengenakan
sanksi pidana bagi pelaku. KUHP tidak mendefinisikan secara jelas dan rinci mengenai
kejahatan. Adapun berkaitan dengan makna kejahatan, KUHP telah mengatur
sejumlah delik kejahatan dalam Pasal 104 sampai dengan Pasal 488
KUHP. Dari beberapa ahli dan/atau pakar hukum pidana mendefinisikan kejahatan
berdasarkan pemikiran mereka masing-masing, salah satunya adalah R.
Soesilo. Definisi atau makna �Kejahatan� menurut R. Soesilo
dalam karya buku yang berjudul �Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta
Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal�, yakni
pandangan untuk membedakan makna dan/atau definisi kejahatan menjadi dua sudut
pandang yaitu sudut pandang secara yuridis dan sudut pandang dari segi
sosiologis. Dilihat dari sudut pandang segi yuridis, menurut
Soesilo, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan dan/atau tingkah
laku yang bertentangan dengan undang-undang ataupun aturan yang telah dibuat
dan diterapkan. Dilihat dari sudut pandang segi sosiologis, definisi kejahatan
adalah serangkaian perbuatan dan/atau tingkah laku yang selain merugikan si
penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban. Sedangkan, pandangan Soedjono
Soekanto dimana kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar atau
bertentangan dengan apa yang telah ditentukan kaidah hukum, secara tegas yakni
perbuatan yang melanggar larangan yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum serta
tidak memenuhi atau melanggar perintah-perintah yang ditetapkan dalam kaidah
hukum yang berlaku di kehidupan bermasyarakat yang bersangkutan bertempat tinggal
dan/atau menetap (Christianto, 2016).
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat
ditarik konklusi bahwa pengertian kejahatan jika dilihat dari sudut pandang
hukum, maka anggapan bahwa adanya kejahatan secara umum yakni terdapat suatu
perbuatan yang jelas bertentangan dengan ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan dan sebagai akibatnya akan dikenai sanksi, hal tersebut juga
dapat dikatakan bahwasannya bagaimanapun jelek dan buruknya suatu perbuatan,
sepanjang perbuatan itu tidak dilarang dalam perundang-undangan.
Jika diteliti lebih lanjut, pelaku
cyberstalking biasanya melakukan tindakan seperti berikut:
1)
Membuat akun sosial media anonim, menggunakan nama samaran, dan
mengoperasikan akun tersebut dengan sengaja untuk menguntit orang lain.
2)
Mengirimkan pesan kepada korban, di mana isi pesan berupa
ajakan untuk berinteraksi atau bahkan bertemu, pernyataan perasaan, dan
sebagainya.
3)
Pelaku mengikuti semua informasi yang ditulis oleh korban /
sasarannya, melalui akun sosial media milik korban.
4)
Pelaku secara berulang-ulang membuat akun anonim yang baru
jika akun sebelumnya terdeteksi/dicurigai melakukan perbuatan yang mengganggu
(misalnya: korban mengirimkan report
/ pengaduan kepada pengelola platform,
korban melakukan block akun pelaku
karena merasa terganggu.)
Pelaku bertujuan membuat korban mau
berinteraksi dengannya, atau apabila korban menolak, pelaku kemudian
melanjutkan tindakan untuk membuat korban merasa kesal, terganggu atau marah
atau bereaksi (Lamintang, 2019).
Di bawah hukum pidana Federal, cyber
bullying dan trolling mungkin ilegal. Ini karena ada undang-undang yang membuat
penggunaan internet untuk mengancam, melecehkan atau menyebabkan pelanggaran,
ilegal [Criminal Code Act 1995 (Cth) s 474.17]. Hukuman maksimum untuk
pelanggaran ini adalah tiga tahun penjara. Di mana penggunaan internet untuk
mengancam, melecehkan atau menyebabkan pelanggaran juga melibatkan berbagi
materi seksual pribadi, hukuman maksimal adalah lima tahun penjara. Meskipun
ada ketentuan undang-undang, penuntutan pelanggaran jenis penguntit sangat
sulit. Tidak hanya harus ada setidaknya dua contoh perilaku yang terbukti
tetapi elemen mental dari niat untuk menyebabkan kerugian atau menciptakan rasa
takut harus ditegakkan oleh jaksa penuntut (dalam setiap kasus diandalkan).
Kebijakan polisi adalah untuk memperingatkan pelaku dalam kasus pertama dan
ini, dalam sebagian besar kasus, adalah cara yang efektif untuk menangani masalah
tersebut.
Pelanggaran kriminal, tuduhan menguntit/cyberstalking
harus dibuktikan tanpa keraguan. Sebaliknya, aplikasi untuk perintah intervensi
hanya mensyaratkan bahwa ada bahaya pada keseimbangan probabilitas. Selain itu,
syarat hukuman penjara untuk menguntit jarang terjadi, perintah intervensi
berpotensi menawarkan periode perlindungan yang lebih lama daripada hukuman
yang dijatuhkan.
Jika kita melihat pengaturan yang
terstruktur dari Alaska, terdapat di dalam The Alaska Network on Domestic Violence
& Sexual Assault. Alaska Stalking Laws at a Glance, Tindakan menguntit
dibebankan sebagai pelanggaran ringan kelas A di Alaska, dihukum hingga satu
tahun penjara dan denda 1000 USD, tetapi menguntit tingkat pertama (faktor yang
memberatkan) jika berkaitan dengan tuduhan kejahatan yang jauh lebih serius
dengan hukuman penjara 5 tahun. Di Alaska juga terdapat ketentuan khusus yang
diatur di dalam Alaska�s Stalking Laws, yang di dalamnya diatur tindakan
pencegahan beserta tindakan pembuktian guna mencari tahu pelaku dari kejahatan
cyberstalking. Sedangkan di Indonesia berkaitan dengan aktivitas pelaku yang
sama sekali tidak mendistribusikan konten melecehkan kesusilaan, menghina atau
mencemarkan nama baik, memeras dan/atau mengancam, ataupun menakut-nakuti.
Maka, pelaku tidak dapat dikenai tindakan hukum karena masih terdapat
ketidakjelasan, apakah tindakan demikian dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hukum. Berbagai kasus cyberstalking terjadi di berbagai elemen,
warga negara, pemerintah, perbankan dan sebagainya yang menimbulkan gangguan di
tengah-tengah masyarakat. Pelaku melaksanakan dengan berbagai modus sehingga
dirinya tidak terkena jerat hukum, khususnya hukum pidana, dan tidak dapat
dipungkiri bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku menimbulkan kerugian bagi
korban.
Perluasan undang-undang memungkinkan
perintah intervensi untuk memberikan alternatif untuk penuntutan. Seperti
halnya pelanggaran kriminal, tuduhan menguntit harus dibuktikan tanpa keraguan,
sehingga dalam hal terjadi penyalahgunaan sosial media oleh akun anonim,
penegakan hukum menjadi sulit dilaksanakan. Larangan pembuatan akun anonim
belum ada dalam sistem hukum Indonesia, dan pengenaan pertanggungjawaban hukum
bagi pembuat akun anonim masih sulit dilakukan. Hal ini disebabkan belum
terdapat sistem pendataan pengguna internet yang kredibel, di mana setiap orang
dapat membuat akun media sosial dengan berbekal identitas palsu, dan sistem
elektronik dari aplikasi media sosial saat ini belum menerapkan sistem
verifikasi data yang andal, untuk memastikan keaslian identitas pengguna. Oleh
karena itu, dengan digunakan comparative approach, conseptual approach agar
memiliki fungsi yang sama terhadap pertanggungjawaban pidana kejahatan
cyberstalking, dengan metode pembanding dikaitkan dengan beberapa konsep yang
ada akan memberikan justifikasi atas dilakukannya perbandingan berkaitan tindakan
preventif dan pertanggungjawaban terhadap pelaku kejahatan cyberstalking yang
ditinjau dari sistem hukum, ekonomi, sosial, budaya. Kebijakan penanggulangan
kejahatan siber yang diharapkan oleh kongres PBB adalah melakukan kriminalisasi
terhadap penyalahgunaan teknologi informasi. Selanjutnya dalam uraian PBB
dikemukakan bahwa ketentuan hukum pidana tersebut hanya boleh dilakukan dalam
kasus-kasus serius, terutama yang berkaitan dengan data yang sangat sensitif
atau informasi rahasia yang dilindungi oleh hukum. Berdasarkan pada penjelasan
dari PBB tersebut dan juga karena kebutuhan bangsa Indonesia untuk membangun,
sejak 21 April 2008, bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam pengaturan
mengenai penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik yaitu adanya
pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 3 (LN Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 58; TLN Republik Indonesia Nomor 4843) dan langkah pemerintah
untuk melindungi keamanan siber suatu negara dengan membuat badan siber sandi
negara (BSSN) pada tahun 2017, guna menanggulangi peningkatan kejahatan siber.
Dalam hal pelajaran yang dapat diambil
dari negara pembanding sebagai bentuk metode pendekatan komparatif.
Bahwasannya, Alaska tidak sekedar tindakan penegakan secara represif, tetapi
juga secara preventif, bahwa di berbagai stakeholder saling berkesinambungan,
dan mendukung. Sebagai contoh, Alaska memasukkan sebuah kurikulum dalam
pembelajaran di sekolah-sekolah, agar warga negaranya turut serta memahami
ruang lingkup siber, dalam hal ini juga memahami adanya kejahatan siber yang
semakin hari semakin berkembang. Oleh sebab itu, Alaska dapat dikenal sebagai
negara maju yang multipower. Semakin hari dunia siber semakin maju, namun juga
sangatlah rawan, banyak diminati, karena kemudahan akses dan kecepatan,
sedangkan di Indonesia tidak diimbangi dengan keamanan siber yang baik, hanya saja
jika terjadi suatu kejahatan siber seperti cyberstalking yang berakibat cyber
harassment barulah tindakan represif berjalan, dan itu masih juga sulit diakomodir,
karena regulasi yang kurang memadai dan mejelaskan secara detail sanksi dan
jenis tindakan seperti apa yang dapat diberi hukuman.
Penetrasi internet melalui cyberspace
telah menyemai adanya deliberasi nilai-nilai demokrasi seperti halnya kesukarelaan
(voluntarism), kesamaan (egalitarian), maupun juga praktik berjejaring
(networking) menyebar dan diterima secara meluas dalam masyarakat.
Masyarakat pun dengan mudah dan cepat dapat membentuk peer group berdasarkan
kesamaan minat maupun isu spesifik tertentu. Selain itu pula, suara minoritas
yang selama ini termarjinalkan dalam praktik majoritarian pada sistem demokrasi
konvensional, mendapatkan tempat untuk mengartikulasikan kepentingan dan
identitasnya. Adanya ruang yang dinamis dan heterogen itulah yang membuat
publik ramai menjadi netizen secara aktif maupun pasif dalam lingkup ruang siber.
Oleh adanya keadaan tersebut hal ini mencerminkan bahwasanya lahirnya norma
mengenai data pribadi dikarenakan adanya pergeseran sarana komunikasi yang
lahir melalui jaringan internet yang menjadi tak terbatas, sehingga dalam dunia
maya tersebut sangatlah mungkin terdapat banyak pihak yang melakukan berbagai
kegiatan tanpa memperhatikan kepentingan orang lain bahkan norma-norma yang ada
yang memicu kerugian bagi pihak lain, oleh karenanya dengan adanya keadaan
tersebut dibutuhkan peraturan guna mengakomodir serta menjadi pagar terhadap
kepentingan masing-masing individu.
Mengenai regulasi terhadap keamanan siber
di Alaska, bahwasannya tindakan yang dilakukan Alaska dengan memberdayakan
departemen dan lembaga federal dengan otoritas hukum yang diperlukan dan sumber
daya untuk mengatasi kejahatan siber. Untuk itu, berkaitan dengan apa yang
sudah dijembatani oleh Pemerintah Alaska, menjadikan warga negaranya paham dan
aware terhadap ruang lingkup kejahatan siber, karena kesadaran dari masyarakat
itu juga yang menajdi kunci utama, mereka berpandangan bahwa ruang siber juga
salah satu tokoh utama adanya campur tangan human, manusia itu sendiri, maka
bagaimana meraka bisa saling mengerti dan menjaga satu sama lain, dan
melindungi data pribadi sendiri, dengan berbagai pemahaman yang mereka ketahui.
a.
�Pengertian Eksistensi
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia
Eksistensi adalah keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan.
Sedangkan secara etimologis, eksistensialisme berasal dari kata eksistensi,
eksistensi berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin existere
yang berarti muncu, ada, timbul, memilih keberadaan aktual. Dari kata ex berarti keluar dan sistere yang berarti muncul atau timbul.
Beberapa pengertian secara terminologi, yaitu
pertama, apa yang ada, kedua, apa yang memiliki aktualitas (ada), dan ketiga
adalah segala sesuatu (apa saja) yang di dalam menekankan bahwa sesuatu itu
ada. Berbeda dengan esensi yang menekankan kealpaan sesuatu (apa sebenarnya
sesuatu itu seseuatu dengan kodrat inherennya (Bagus,
2016). Pemahaman secara umum, eksistensi
berarti keberadaan. Akan tetapi, eksistensi dalam kalangan filsafat
eksistensialisme memiliki arti sebagai cara berada manusia, bukan lagi apa yang
ada, tapi, apa yang memiliki aktualisasi (ada).
b.
�Pertanggungjawaban Pidana Cybercrime
Pengaturan
tindak pidana siber di Indonesia juga dapat dilihat dalam arti luas dan arti
sempit. Secara luas, tindak pidana siber ialah semua tindak pidana yang menggunakan
sarana atau dengan bantuan sistem elektronik. Itu artinya semua tindak pidana
konvensional dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (�KUHP�) sepanjang dengan
menggunakan bantuan atau sarana sistem elektronik seperti pembunuhan,
perdagangan orang, dapat termasuk dalam kategori tindak pidana siber dalam arti
luas. Demikian juga tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011
tentang Transfer Dana (�UU 3/2011�) maupun tindak pidana perbankan serta tindak
pidana pencucian uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (�UU TPPU�).
UU
ITE mengatur tindak pidana siber formil, khususnya dalam bidang penyidikan.
Pasal 42 UU ITE mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ITE
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (�KUHAP�) dan ketentuan dalam UU ITE. Artinya, ketentuan
penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU ITE.
Kekhususan UU ITE dalam penyidikan antara lain : Penyidik yang menangani tindak
pidana siber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI atau Pejabat Pegawai
Negeri Sipil (�PPNS�) Kementerian Komunikasi dan Informatika Penyidikan
dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran
layanan publik, integritas data, atau keutuhan data.
Penggeledahan
dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak
pidana harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. Dalam
melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sistem elektronik, penyidik wajib
menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. Ketentuan penyidikan dalam
UU ITE dan perubahannya berlaku pula terhadap penyidikan tindak pidana siber
dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana perpajakan, sebelum
dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap server bank, penyidik harus
memperhatikan kelancaran layanan publik, dan menjaga terpeliharanya kepentingan
pelayanan umum sebagaimana diatur dalam UU ITE dan perubahannya. Apabila dengan
mematikan server bank akan mengganggu pelayanan publik, tindakan tersebut tidak
boleh dilakukan.
c. �Tindak Pidana Cyberstalking
�� Pentingnya
memahami makna dari tindak pidana. Tindak Pidana menurut kuliah Didik Endro
Purwoleksono yakni suatu aktivitas, perbuatan, tindakan, gerakan yang melanggar
aturan pidana. Istilah tindak pidana, memang dari pandangan ahli para pakar
hukum pidana belum juga adanya keseragaman, penggunaan istilah perbuatan
pidana, tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan kriminil atau delik. Didik
Endro Purwoleksono dalam bukunya Hukum Pidana menggunakan istilah tindak
pidana, beberapa alasan yaitu : semua undang-undang sudah menggunakan istilah
tindak pidana, misalnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Kesehatan pun
dengan tegas dalam Pasal 85 menyebutkan tindak pidana. Tindak pidana merupakan
terjemahan dari Bahasa Belanda �Strafbaar Feit� yang dalam bahasa
Inggris dari kata Criminal Act = Offense (Purwoleksono, 2016). Dengan munculnya internet muncul
jenis dunia yang baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal oleh manusia yaitu
dunia yang disebut �virtual world� atau dunia maya. Disebut dunia maya karena
dunia tersebut tidak seperti dunia dimana kita hidup sekarang ini dan melakukan
kegiatan. Dunia di mana kita sekarang hidup bersifat physical (fisik),
sedangkan virtual world atau dunia maya bersifat non physical
(non fisik). Virtual world ini juga sering disebut pula cyberspace (ruang
siber) (Sitompul,
2018). Dunia maya atau cyber space
merupakan dunia yang tanpa batas atau batas-batasannya tidak dapat terlihat
dengan jelas. Karena sifatnya yang border less atau tanpa batas tersebut tersebut
maka dunia maya kerap kali tidak memberikan perlindungan privasi kepada
penggunanya. Hal ini yang kemudian membuat cyber crime berkembang dengan cepat sejalan
dengan perkembangan teknologi salah satunya adalah cyber crime yang menyangkut kejahatan terhadap
privasi. Kejahatan terhadap privasi yang dilakukan di dunia maya ini disebut cyberstalking. "cyberstalking" adalah:
1. Tindakan mengancam, melecehkan, atau
mengganggu seseorang;
2. Melalui internet, dengan maksud
membuat korban takut akan tindakan ilegal atau luka. Namun seperti halnya
dengan kejahatan-kejahatan komputer pada umumnya, maka definisi cyberstalking belum ada yang sudah diterima secara universal. Stalking
sendiri memiliki arti �harass somebody persistently: to harass somebody
criminally by persistent, inappropriate, and unwanted attention,
e.g. by constantly following, telephoning, e-mailing, or writing to him or her�.
Apabila stalking itu dilakukan dengan menggunakan
internet maka perbuatan stalking tersebut disebut cyberstalking. Cyberstalking juga sering disebut cyber harassement. Pelaku kejahatan cyberstalking disebut cyberstalker. Perbuatan stalking
pada umumnya menyangkut perbuatan harassing (menggangu) dan threatening
(mengancam) yang dilakukan oleh seseorang secara berulang-ulang atau terus
menerus. Gangguan atau harassment melalui internet dapat dilaksanakan
antara lain dalam bentuk pengiriman email yang bersifat abusive,
yaitu kata-kata yang menyerang dengan kasar, berisi ancaman (bersifat threatening)
atau berisi kata-kata cabul (obscene) yang dilakukan oleh seseorang
kepada orang lain. Bahkan dengan berkembangnya situs jejaring sosial seperti
facebook dan twitter hal semacam ini juga dilakukan melalui situs jejaring
sosial tersebut.
Kesimpulan
Dari
pemaparan dalam pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa memahami
hukum itu sendiri, terlebih lagi perbandingan yang bertujuan untuk
mengasumsikan persamaan (berbagai sistem hukum sejatinya ada persamaan). Tujuan
yang pasti tentu berkaitan dengan cara memformalkan dalam membangun sistem
(meninjau), terlebih lagi bertujuan untuk menyatukan hukum yang satu, karena
terkait dengan cyber stalking, sejatinya bersifat universal, dapat
dijangkau dari berbagai wilayah, tidak hanya di Indonesia. Bahwasannya keberadaan data pribadi
di Indonesia belum begitu menjadi urgensi jika dibanding dengan keberadaan data
pribadi di Alaska, hal ini tercermin dari bagaimana suatu regulasi mengatur
mengenai data pribadi tersebut, jika dibandingkan dengan Alaska dalam norma
yang mengatur terhadap data pribadi di Indonesia tidak menjelaskan secara rinci
mengenai batasan perlindungan terhadap data pribadi sehingga dalam penegakannya
seringkali tidak dapat mengakomodir kejahatan maupun pelanggaran yang
melibatkan penggunaan data pribadi sehingga seseorang menjadi korban, lain
halnya dengan Alaska yang dalam penjelasan diatas dijelaskan bahwa batasan
pembolehan terhadap data pribadi menjadi masalah yang serius dalam hal
perlindungannya, hal ini bukan tanpa maksud dan tujuan melainkan banyak hal yang
menggunakan dasar hukum dalam melakukan kegiatan hubungan bisnis maupun
tindakan hukum yang melibatkan data pribadi, karena kejahatan siber fokus utamanya
yaitu pencurian data, baik data negara maupun data perseorangan. Pengaturan di
Indonesia hanya menjelaskan data pribadi berupa ketentuan bahwa penggunaan
setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi
seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan. Dalam norma
tersebut menjadi tidak jelas mengenai dimana batasan data pribadi yang dapat
dilindungi dari adanya pengaturan tersebut. Utamanya terhadap pembuatan
akun-akun anonim, tidak ada batasan yang lebih dan kuat, setiap orang
berhak bebas, selama mereka dapat menjangkaunya. Oleh sebab itu dari adanya
kekosongan norma mengenai batasan pribadi haruslah dilakukan legal reform
guna membuat suatu norma yang dapat mengakomodir sebuah permasalahan hukum yang
sama di dua sistem hukum yang berbeda. Selanjutnya, mengenai pengaturan di
Indonesia berupa tindakan preventif suatu pemerintah dalam kasus kejahatan
siber, karena di Indonesia kesadaran dari warga negara yang kurang akan
pentingnya perlindungan dan keamanan siber, sehingga bentuk-bentuk kejahatan
seperti peretasan sangat mudah dilakukan.
BIBLIOGRAFI
Amanda Lenhart, Michele Ybarra, Kathryn Zickuhr, Myeshia Price Feeney. (2012).
Online Harassment, Digital Abuse, And Cyberstalking in America. Center for
Innovative Public Health Research. https://doi.org/10.1080/21670811.2020.1811743
Bagus, Lorens. (2016). Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. Google Scholar
Bunga, Dewi. (2019). Legal Response to Cybercrime in Global and National
Dimensions. Padjadjaran Journal of Law, 6(1), 69�89. Google Scholar
Christianto, Hwian. (2016). Norma Kesusilaan sebagai batasan penemuan
hukum progresif perkara kesusilaan di Bangkalan Madura. Jurnal Hukum Dan
Pembangunan E Journal, 46(1), 1�22. Google Scholar
Lamintang, P. A. F. (2019). Dasar Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. Google Scholar
Marzuki, Peter Mahmud. (2011). Penelitian Hukum (11th ed.).
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Google Scholar
Marzuki, Peter Mahmud. (2016). Penelitian Hukum, Edisi Revisi,
Cetakan Ke-12. Jakarta: Kencana. Google Scholar
Octora, Rahel. (2019). Problematika Pengaturan Cyberstalking (Penguntitan
Di Dunia Maya) Dengan Menggunakan Annonymous Account Pada Sosial Media. Dialogia
Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 11(1), 77�96. Google Scholar
Perkasa, Roy Eka, Nyoman Serikat, P., & Turisno, Bambang Eko. (2016).
Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual/Beli Online
(E-Commerce) Di Indonesia. Diponegoro Law Journal, 5(4), 1�13. Google Scholar
Purwoleksono, Didik Endro. (2016). Hukum Pidana. Airlangga University
Press. Google Scholar
Putra, M. Andika. (2016). Atasi Masalah Dunia Maya, Polri Kembangkan
Subdit Cyber Crime. Retrieved from cnnindonesia.com/nasional/20161230213242-20-183250/atasi-masalah-dunia-maya-polri-kembangkan-subdit-cyber-crime
Rachmadsyah, Shanti. (2010). Cyber-stalking: kejahatan melakukan
pengintaian melalui penggunaan. Retrieved from https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4bd5f301cea84/cyberstalking/
Sitompul, Josua. (2018). Landasan Hukum Penanganan Cybercrime di
Indonesia. Retrieved from www.hukumonline.com
Utomo, Anandito. (2020). Definisi Kejahatan Dan Jenis � Jenis Kejahatan
Internet. Retrieved from www.hukumonline.com
Copyright holder
: Andi
Fadilah, Renda Aranggraeni dan Sri Reski Putri (2021) |
First
publication right : Journal Syntax Literate |
This article is
licensed under: |