Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 4, April 2021

 


INTERVENSI PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENETRASIMUSIK LOKAL KE PASAR GLOBAL MELALUI BADAN EKONOMI KREATIF (BEKRAF)

 

Ferdiansyah R, Indra Tamsyah dan Yuniarsih Manggarsari

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Sriwijaya

Email: [email protected], [email protected] dan [email protected]

 

Abstract

This study aims to find out more about the effectiveness of the role of the Indonesian government through BEKRAF in helping Indonesian music industry products enter the global market. Researchers used a descriptive analytic research approach, with qualitative data obtained through in-depth interviews and documentation studies. Interviews were conducted in September 2019, with representatives of BEKRAF. The results of this study indicate that BEKRAF has taken several ways, namely: strengthening awareness of copyright, improving industrial infrastructure, granting actor certification, and providing support to actors who have the opportunity to perform overseas. It's just that this method is still ineffective, because of a number of procedural rules, and it is also not right on target..

 

Keywords: service trade, music industry, government role, BEKRAF

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh mengenai efektifitas peran pemerintah Indonesia melalui BEKRAF dalam membantu produk industri musik Indonesia memasuki pasar Global. Peneliti menggunakan pendekatan penelitian deskriptif analitik, dengan data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Wawancara dilakukan pada September 2019, dengan perwakilan BEKRAF. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BEKRAF telah menempuh beberapa cara, yaitu: penguatan kesadaran akan hak cipta, perbaikan infrastruktur industri, pemberian sertifikasi aktor, serta pemberian dukungan kepada aktor yang berkesempatan melakukan pertunjukan di luar negeri. Hanya saja cara ini masih kurang efektif, karena sejumlah aturan prosedural, dan juga kurang tepat sasaran.

 

Kata Kunci: perdagangan jasa, industri musik, peran pemerintah, BEKRAF

 

Pendahuluan

Pada 2015, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja industri kreatif. Ini adalah pemerintah non kementerian yang bertugas untuk membantu presiden dalam merumuskan, menetapkan, mengoordinasikan, dan sinkronisasi kebijakan di bidang ekonomi kreatif. Ketika pertama kali berdiri, BEKRAF telah menetapkan Industri Musik sebagai salah satu dari 4 Subsektor prioritas, selain Film, Animasi dan Game Developer.

Industri musik sudah puluhan tahun eksis dan menjadi konsumsi lintas negara (terutama di Asia Tenggara). Namun sayangnya, industri ini belum dikaji secara menyeluruh, terutama dari perspektif ekonomi politik dan perdagangan internasional. Minimnya penelitian ini terlihat dari munculnya kontroversi UU tahun 2019, serta data statistik industri musik yang baru muncul pada tahun 2016. Satu persoalan yang sangat jelas terlihat pada industri musik Indonesia hingga tahun 2015 adalah belum adanya gambaran yang jelas mengenai kondisi nilai ekonomi industri musik Indonesia hari ini.

Sejak tahun 2015 juga, dengan menggandeng Badan Pusat Statistik, BEKRAF secara regular mulai mengeluarkan statistik Industri Musik�walaupun metodologinya masih dipertanyakan beberapa orang- (Malau, 2016). Data yang dikeluarkan oleh BEKRAF pada tahun 2016 menunjukkan bagaimana sektor industri kreatif menyumbang cukup besar pada neraca Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Tahun 2014 industri kreatif menyumbang 784, 82 Triliun. Angka ini terus meningkat, dan pada 2015 menjadi 852, 24 Triliun, lalu di tahun 2017 menjadi 1000 Triliun (Sasongko, 2018). Sementara Industri Musik sendiri menyumbang 0,47 persennya pada tahun 2015 atau sekitar 4 Triliyun Rupiah, dan 1 persen pada tahun 2017 atau sekitar 10 Triliun Rupiah (Kreatif, 2017).

Setidaknya angka statistik di atas didapat berdasarkan 4 kegiatan utama: produksi musik, distribusi musik, pertunjukan musik serta manajemen musisi. Kegiatan produksi melibatkan musisi serta perusahaan rekaman, dengan produknya berupa lagu di dalam piringan hitam, cakram padat (CD), kaset pita, MP3, serta Ring Back Tone (RBT). Kegiatan distribusi melibatkan Toko Musik, Platform/Aplikasi berbasis operating system seluler, serta operator telekomunikasi. Kegiatan pertunjukan musik, melibatkan musisi dan event organizer. Sementara, kegiatan manajemen musisi biasanya dilakukan juga oleh perusahaan rekaman, atau manajemen mandiri. Lalu, yang juga belum banyak disinggung atau belum secara pasti dapat dilihat adalah nilai yang hilang akibat praktek pembajakan produk fisik, maupun belum adanya kerangka legal terkait performing rights.

Sebenarnya di awal tahun 2019, muncul angin segar pada industri musik Indonesia dengan adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan. Sayangnya RUU tersebut memang tidak fokus dan terlalu gemuk. Saat peneliti melakukan analisis pada Naskah Akademik RUU tersebut, peneliti melihat tidak adanya kejelasan apa yang sebenarnya ingin diatur. Ia menyentuh banyak sekali ranah, seperti Hak Cipta, Kebudayaan, Pendidikan, hingga Sertifikasi pelaku industri. Alhasil, karena banyaknya reaksi negatif dari para pelaku industri musik, RUU yang sudah diusulkan menjadi prioritas ini dicabut dari Program Legislasi Nasional.

Semua gejala ini membuat penulis sadar bahwa industri musik merupakan salah satu sektor ekonomi di Indonesia yang belum begitu banyak dikaji dari sudut pandang ekonomi politik, khusunya perdagangan internasional. Padahal, jika saja DPR fokus pada persoalan ini dalam membuat RUU, maka itu akan lebih baik. Karena memang perkara hak ekonomi inilah yang menjadi kendala utama industri musik Indonesia, seperti pembajakan hingga tidak adanya standar upah.

Berdasarkan keterangan dari Anang Hermansyah, anggota DPR RI sekaligus salah satu orang yang mengusulkan, RUU ini memang dimaksudkan untuk melindungi hak ekonomi para pelaku industri musik: seperti pembagian royalti hak cipta, hingga standar upah bagi para pekerja industri musik (Adyatama, 2019). Ini artinya memang sudah ada kesadaran dan niat luhur dari para legislator untuk membuat sebuah payung hukum yang kuat bagi industri musik. Hanya ini tidak diimbangi dengan usaha DPR RI dalam membuat naskah akademik yang paripurna, padahal inilah yang akan menjadi landasan RUU tersebut.

Fakta lain yang juga menarik adalah, produk-produk industri musik Indonesia juga diminati oleh negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Hal ini bahkan terjadi sudah sejak lama. Misalkan, salah satu band terkenal Indonesia Sheila on 7 berhasil menjual 2 album pertamanya sebanyak masing-masing 150.000 ribu kopi di Malaysia (Tahun 1999-2000). Mereka pun hampir setiap tahun selalu menggelar pertunjukan musik di berbagai kota di sana (Ine, 2005). Di tahun itu, harga satu kaset adalah 13RM atau sama dengan RP.130.000. Jika dikali 300 ribu kopi, maka penghasilan kotor yang didapatkan Sheila on 7 dari penjualan kaset bisa mencapai 39 Milyar Rupiah. Ini belum termasuk musisi-musisi lain yang juga sampai hari ini sangat diminati di Malaysia: seperti Padi, Dewa, Peterpan (NOAH), Wali, Rossa, serta Afgan, juga belum termasuk pertunjukan di Negara lain seperti Singapura, Thailand dan Filipina, yang juga menjadi pasar bagi musisi Indonesia.

Selain di mata rantai produksi, mata rantai konsumsi Indonesia juga menjanjikan nilai ekonomi yang menarik. Misalkan, usaha event organizer di bidang pertunjukan musik. 250 juta penduduk Indonesia, selain menjadi pasar yang menarik bagi produk lagu-lagu musisi luar negeri, juga tentu menjadi pasar yang menarik bagi pertunjukan langsung mereka.

Data Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta mencatat, sepanjang 2011, tidak kurang dari 305 pertunjukkan insidental, termasuk konser musik telah digelar, dengan pungutan pajak mencapai Rp 15 miliar, atau sedikit lebih rendah dibandingkan tauhn 2009 yang sebesar Rp 16 miliar. Marjin keuntungan yang bisa diperoleh promotor dalam menyelenggarakan setiap konser musik berkisar antara 10 persen sampai 20 persen, dari biaya yang dikeluarkan. Jika asumsi anggaran sebuah konser musik senilai Rp 270 juta sampai Rp 54 miliar, maka laba yang dapat dihasilkan oleh sebuah promotor berkisar antara Rp 27 juta � Rp 54 juta hingga Rp 5,4 miliar � Rp 10,8 miliar per konser. Di tahun 2012, ada 110 konser artis Internasional yang digelar dengan perputaran uang yang menembus angka Rp 5,940 triliun (Rahman, 2012).

Angka ini tentu sudah sangat lumayan, akan tetapi bisnis pertunjukan musisi internasional di Indonesia masih memiliki persoalan. Antara lain, Pertama, belum banyak gedung pertunjukan yang memang dirancang untuk kebutuhan konser. Kedua, pertunjukan masih terpusat di Jakarta, artinya kota-kota besar lain yang tingkat konsumsi masyarakatnya juga sudah tinggi belum tergarap dengan baik. Selain itu, faktor ketertiban masyarakat dan keamanan sebuah kota/negara juga sangat menentukan (Wisbisono, 2016). Oleh karena beberapa faktor ini, masih banyak musisi luar negeri yang berpikir dua kali untuk tampil di Indonesia. Bahkan, banyak orang Indonesia yang lebih memilih ke luar negeri untuk menonton pertunjukan musisi yang sebenarnya juga tampil di Indonesia. Mereka merasa lebih nyaman menonton di Singapura bahkan London ketimbang di Jakarta.

Statistik menunjukkan, ada sekitar 319 festival musik di Britania Raya pada 2015. Data UK Musik menunjukkan bahwa Britania Raya didatangi oleh sekitar 10,4 juta wisatawan musik. Sekitar 767.000-nya berasal dari luar negeri. Jumlah itu naik sekitar 16 persen dari 2014. Wisatawan musik juga merupakan orang yang royal. Para wisatawan musik dari luar negeri itu, menghabiskan rata-rata �852, atau sekitar Rp14 juta. Itu tidak termasuk pengeluaran untuk tiket konser atau festival. Pengeluaran terbesar bagi para wisatawan musik itu adalah untuk makanan, minuman, tempat tinggal (Wisbisono, 2016). Fakta ini tentu kita dapat melakukan refleksi, bahwa seharusnya Indonesia juga bisa menjadi negara tujuan utama para wisatawan musik di kawasan Asia Tenggara. Hal ini tentu sangat mungkin, mengingat 250 Juta penduduk yang sangat potensial. Tinggal bagaimana pemerintah dan pihak swasta dapat membangun infrastruktur yang dapat membuat wisatawan nyaman.

Sepertiyang sudah diutarakan sebelumnya, bahwa belum banyak penelitian yang mengkaji industri musik dari sudut pandang ekonomi politik, salah satu di antaranya adalah penelitian Ilham Maulana dan Andry Alamsyah mengenai Model Bisnis Kanvas dalam Industri Musik, penelitian ini coba untuk memberikan rekomendasi kepada pelaku industri musik untuk melihat bisnis musik ke dalam 9 elemen, mulai dari partner kunci, aktivitas kunci, hingga segmentasi pasar (Maulana & Alamsyah, 2014). Selain itu ada juga penelitian yang dilakukan oleh Andhika Putra Herzany mengenai peran BEKRAFterhadap perlindungan hukum atas suatu karya cipta lagu di Indonesia (Herzany, 2018). Dua penelitan ini ikut membantu penulis dalam membangun argumen artikel ini, namun tentu saja ada perbedaan. Perbedaan dengan penelitian pertama, terletak pada Objek yang diteliti, dimana penelitian tersebut menjadikan pelaku usaha (korporasi) sebagai obyek, sementara itu penulis menjadikan pemerintah sebagai obyek penelitian (dalam hal ini BEKRAF). Sementara untuk penelitian kedua, perbedaannya terletak pada cakupan penelitian, dimana penelitian yang penulis lakukan menjangkau ke segala aspek baik ekonomi, hukum maupun birokrasi. Penelitian ini mencoba untuk mengisi ruang kosong tersebut, yaitu dengan menyoroti langkah pemerintah dalam memajukan industri musik Indonesia dari beragam aspek, mulai dari peningkatan kapasitas aktor industri, penyediaan payung hukum, hingga bantuan keuangan.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk menelusuri lebih jauh bagaimana peran BEKRAF dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terdapat di dalam industri musik Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada para pengambil keputusan yang terkait (khususnya) dan masyarakat luas, dalam rangka membangun ekosistem industri music Indonesia yang lebih baik.

 

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, ��yaitu suatu penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami suatu gejala atau permasalahan secara mendalam (Ikbar, 2012). Pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah bagaimana peran BEKRAF dalam membantu penetrasi musik lokal ke pasar global. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara mendalam dengan pihak BEKRAF, dan melakukan penelusuran dokumen-dokumen serta berita yang terkait. Data ini kemudian dianalisis dengan meletakkannya pada konteksi intervensi negara pada perdagangan jasa global.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Intervensi Pemerintah dalam Perdagangan Jasa Lintas Negara

Di dalam kajian perdagangan global, umum diketahui bahwa intervensi negara terhadap pasar sudah sangat minimalis. Namun ternyata hal tersebut hanya terjadi pada perdagangan barang, yang diatur dalam General Agreement on Trade and Tariff (GATT). Sementara pada perdagangan jasa yang diatur dalam General Agreement on Trade in Services (GATS), intervensi negara masih sangat besar.

Di dalam Pasal 1 GATS artikel 3(b) disebutkan bahwa �service includes any service in any sector except services supplied in the exercise of governmental authority� jasa mencakup setiap jasa pada setiap sektor kecuali jasa-jasa yang diberikan dalam rangka melaksanakan wewenang pemerintah. Sedangkan pada artikel 3(c) dijelaskan �a service supplied in the exercise of governmental authority� means any service which is supplied neither on a commercial basis, nor in competition with one or more service suppliers�. suatu jasa diberikan dalam rangka untuk melaksanakan wewenang pemerintah, berarti suatu jasa yang diberikan tidak untuk komersial atau tidak berkompetisi dengan satu atau lebih pemberi jasa lain- (Hawin, 2012).

Dari definisi jasa menurut WTO di atas, penting untuk digarisbawahi bahwa jasa yang bisa diperdagangkan dalam kerangka GATS adalah jasa-jasa yang memang dikomersilkan dan bukan merupakan jasa yang menjadi hak monopoli pemerintah. Jasa yang komersil adalah jasa yang praktik perdagangannya memiliki kompetisi dengan minimal satu penyedia jasa sejenis yang lain.

Pengkategorian jasa yang tergolong komersil tentu memiliki perbedaan di masing-masing negara (misalkan jasa listrik di Indonesia adalah monopoli pemerintah, namun di banyak negara adalah jasa komersil). Oleh karena itu, negosiasi liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dalam model initial request dan initial offer. Setiap negara bisa mengirimkan initial request yaitu daftar sektor-sektor jasa yang diinginkan untuk dibuka di negara lain, untuk kemudian ditindaklanjuti oleh negara yang diminta dengan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri (initial offer). Perundingan untuk perluasan perdagangan sektor jasa ini diserahkan oleh WTO untuk dilakukan secara bilateral oleh masing-masing negara, yang apabila kemudian ditemukan kata sepakat akan berlaku secara multilateral (Ennew & Fujia, 2009).

Di Indonesia, Industri Musik adalah sebuah kegiatan ekonomi jasa yang bukan monopoli wewenang pemerintah, dikarenakan di dalamnya sudah terjadi persaingan usaha sejak dulu. Persaingan tersebut dapat dilihat dari bagaimana geliat industri ini bahkan sejak puluhan tahun yang lalu hingga hari ini. Misalkan laporan Nielsen tahun 2005 mengenai World Market Share, menjelaskan 4 perusahaan besar usaha rekaman dan distribusi produk rekaman yang menguasai dunia (multi nasional), termasuk Indonesia: yakni Sony BMG, EMI, Warner Music dan Universal (Nielsen Sound, 2005; dalam (Sumahar, 2014). Perusahaan-perusahaan ini mendominasi industri musik Indonesia bersama juga perusahaan lokal seperti Musica Studio, Nagaswara, Trinity Optima, dan banyak sekali perusahaan rekaman mandiri (Indie Label). Di ranah pertunjukan musik, beberapa pemain pentingnya adalah Java Musikindo, Rajawali Indonesia, dan Berlian Entertainment. Data-data ini menunjukkan pula bahwa industri musik Indonesia adalah ranah persaingan bagi pelaku-pelaku usaha global.

Setelah memahami bagaimana rincian dari bentuk-bentuk perdagangan yang diatur didalam GATS, penting juga untuk memahami bagaimana berlakunya prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment di dalam perjanjian GATS. Prinsip Most Favoured Nation atau prinsip non-diskriminasi dipahami sebagai perlakuan yang �sama� oleh anggota WTO kepada semua anggota WTO lainnya. Sedangkan prinsip National Treatment dipahami sebagai perlakuan yang �sama� antara produk dalam negeri dan produk impor.

Di dalam perjanjian GATS, prinsip Most Favoured Nation beserta ketentuan transparency berlaku secara umum bagi setiap jasa yang dibuka perdagangannya ataupun tidak. Sedangkan prinsip National Treatment beserta ketentuan Market Access- hanya berlaku untuk sektor dan subsektor yang dibuka dan juga harus dinegosiasikan. Negara-negara yang memberi komitmennya juga boleh menetapkan syarat-syarat dan pembatasan-pembatasan berlakunya prinsip National Treatment dan Market Access. Lalu, diperbolehkan juga menentukan �exemptions� untuk Most Favoured Nation (Hawin, 2012).

Penjabaran ini tentu menarik untuk disimak, karena prinsip yang serupa tidak berlaku sama pada perdagangan lain, misalkan perdagangan barang yang diatur di dalam GATT. Di dalam GATT, prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment berlaku secara umum baik untuk barang-barang yang sudah tercantum dalam schedule of commitment maupun barang-barang yang tidak tercantum. Keduanya juga berlaku otomatis tanpa dinegosiasikan.

Perbedaan yang ada antara aturan GATT dan GATS ini kemudian memberikan celah yang begitu besar bagi negara dalam memainkan perannya di percaturan politik perdagangan global. Walaupun negara tidak dapat menghalangi akses bagi masuknya layanan jasa dari luar negeri setelah ia memberikan komitmennya, namun setidaknya negara dapat mengatur sedemikian rupa perbedaan perlakuan antara penyedia jasa-jasa dari luar negeri dan penyedia jasa lokal.

B.     Peran BEKRAF dalam Perlindungan Hak Cipta Musisi

Keuntungan ekonomi yang maksimal adalah tujuan utama perluasan pasar industri musik Indonesia ke ranah global. Dalam proses tersebut, produk-produk industri musik ini tentu harus mendapatkan perlindungan hukum yang jelas, agar ketika produk tersebut digunakan/dikonsumsi oleh publik, royaltinya dapat ditagih. Perlindungan ini yang masih kurang, dimana tampak dari masih banyaknya produk bajakan fisik dan juga portal-portal musik gratis tanpa lisensi yang jelas.

Dalam wawancara yang penulis lakukan, dikatakan bahwa BEKRAF berencana meluncurkan portal musik yang bernama Portamento. Portal ini akan mencakup semua file pemusik, terkoneksi dengan Dirjen Pajak dan Kemenkumham, dan menjadi big data industri musik Indonesia. Database ini kemudian bisa diakses oleh konsumen yang ingin mengggunakan karya tersebut untuk beragam keperluan (Fajriyah, 2019).

Awalnya untuk musik, tetapi ke depan akan diterapkan untuk segala sesuatu yang bisa dijual secara digital. Sistem yang kini sedang dalam tahap kajian ini akan menghubungkan semua pelaku ekosistem musik, mulai investor hingga lembaga negara terkait seperti Ditjen Pajak. Sistem ini akan menggantikan pengaturan hak cipta musisi dan royaltinya yang selama ini dilakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Untuk mengatasi pembajakan, BEKRAF melakukan sosialisasi kepada para musisi untuk mendaftarkan karyanya, seiring dengan sosialisi kepada masyarakat akan pentingnya penghargaan terhadap hak cipta. Pada saat yang sama BEKRAF menggandeng Irama Nusantara untuk pengarsipan dan pendapatan industri rekaman. Berkat kerjasama ini, ribuan judul lagu Indonesia berhasil didata (Fajriyah, 2019).

Ide ini merupakan sebuah langkah yang sangat baik. Seperti yang sudah dijelaskan di latar belakang, ide ini akan mampu mengurangi hilangnya potensi ekonomi yang bisa didapat oleh pelaku industri musik. Hanya saja sampai saat ini Portamento yang dimaksud belum kunjung diluncurkan.

Selain itu, pekerjaan rumah besar di sektor ini adalah  kurangnya kesadaran pelaku Industri Musik atas karya ciptanya, dimana para pelaku ekonomi kreatif itu seharusnya sadar dan tetap terus andil terhadap ciptaan yang dihasilkan (Herzani, 2018). Oleh karena itu, selain pembuatan basis data, diperlukan juga peran pemerintah dalam mensosialisasikan pentingnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual.

C.     Sertifikasi Profesi Musisi Untuk Masuk Ke Pasar Global

Selanjutnya yang juga penting adalah sertifikasi bagi musisi professional. Hal ini agar mereka mudah untuk mendapatkan pekerjaan baik di dalam ataupun di luar negeri. Selain kemampuan yang menjadi jelas dengan adanya sertifikat, sertifikasi juga penting agar musisi Indonesia yang bekerja di luar negeri mendapatkan upah yang layak sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.

BEKRAF memiliki kegiatan sertifikasi bagi profesi musisi, spesifik lagi bagi penyanyi dan pemain musik. Setiap tahun diselenggarakan di tiga kota, dengan kuota masing-masing 100 orang per kota (Fajriyah, 2019). Agar sektor musik berkontribusi maksimal BEKRAF juga aktif mendukung pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi Musik Indonesia (LSPMI) yang bertugas mengelola kompetensi musisi. Salah satunya adalah kegiatan sertifikasi yang secara perdana digelar di Bandung pada pertengahan Mei 2018. Tercatat ada 140 musisi yang mengikuti uji kompetensi itu, yang terdiri dari penyanyi (vokalis) dan pemusik (instrumentalis) seperti pemain gitar, bas, keyboard, dan drum (Fajriyah, 2019).

Ari Juliano, salah satu petinggi BEKRAF mengatakan, manfaat sertifikasi ini adalah kompetensi musisi akan diakui secara nasional dan internasional. Selain kemampuan teknis, perilaku juga menjadi poin penilaian. Sehingga secara tidak langsung, sertifikasi akan meningkatkan pengetahuan dan perilaku para musisi. Sertifikasi ini penting bagi musisi yang bekerja di hotel, restoran, kafe, atau kapal pesiar di luar negeri. Karena dalam banyak kasus, para penyanyi dan musisi yang tidak memiliki sertifikasi tidak diizinkan untuk tampil di luar negeri. Mereka yang diizinkan tampil, bisa dibayar lebih rendah dibanding musisi yang tersertifikasi kompetensinya.

D.    Bantuan Untuk Perbaikan Infrastruktur Pertunjukan Musik

Selanjutnya yang menarik adalah mencari tahu bagaimana peran BEKRAF dalam meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas infrastruktur penunjang pertunjukan musik. Di dalam program kerjanya, BEKRAF turut memberikan anggaran untuk membangun dan memperbaiki gedung pertunjukan, dan juga berencana membangun museum musik Indonesia. BEKRAF juga turut memberikan bantuan hibah infrastruktur seni setiap tahunnya. Hibah ini diberikan kepada pelaku pertunjukan musik yang mengajukan proposal kepada BEKRAF. Hibah dilangsungkan setiap tahunnnya melalui proses seleksi (Fajriyah, 2019).

Di tahun 2018 BEKRAF telah mengucurkan dana sebesar Rp 42 miliar untuk revitalisasi infrastruktur industri kreatif. Sementara di tahun 2017, angkanya sedikit lebih tinggi sebesar Rp 45,5 miliar. Bantuan ini terdiri dari tiga paket, yaitu revitalisasi ruang kreatif, sarana ruang kreatif, dan juga sarana teknologi dan informasi. Infrastruktur merupakan salah satu kunci utama dalam persaingan kreativitas dan pertumbuhan ekonomi (Fajriyah, 2019). Anggaran tersebut dikucurkan antara lain untuk merevitalisasi 35 ruang kreatif, lebih dari 10 ribu jenis sarana, dan lebih dari 1.500 sarana teknologi informasi & komunikasi. Ada 92 lembaga tersebar di seluruh Indonesia yang kemudian menerima manfaat ini (Reily, 2019). BEKRAF menetapkan lima kategori pengusul, yaitu komunitas kreatif, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa, dan lembaga adat. Kegiatan kreatif yang dijalankan setidaknya berlangsung sejak dua tahun sebelum mengajukan proposal.

Langkah yang dilakukan BEKRAF ini merupakan sebuah terobosan yang sangat baik dalam memajukan sektor pertunjukan musik di Indonesia, hanya saja menurut peneliti, hal tersebut masih berkutat pada pertunjukan dengan skala yang kecil. Karena apabila total anggaran di atas kita bagi dengan jumlah penerimanya, maka angka tersebut tidak lebih dari sekitar 1 Milyar. Angka yang sudah cukup banyak untuk industri pertunjukan skala komunitas, namun masih sangat kurang untuk infrastruktur pertunjukan musik yang berskala internasional. Anggaran ini juga tidak secara spesifik diperuntukkan untuk infrastruktur pertunjukan musik, melainkan keseluruhan subsector Industri Kreatif.

Meskipun penyelenggaran pertunjukan musik di Indonesia sepuluh tahun belakangan terus meningkat, akan tetapi hal tersebut sebenarnya belum menjadikan Indonesia sebagai pemain utama di kawasan Asia Tenggara, terutama bila kita membandingkan dengan geliat yang sama yang terjadi di Thailand, dan Singapura. Singapura terutama, adalah Negara yang paling banyak disinggahi oleh musisi-musisi Internasional. Mirisnya, sebagain penonton yang menikmati konser konser musisi-musisi internasional di Singapura ini adalah orang-orang Indonesia.

Beberapa konser musisi ternama di Singapura dapat dijadikan contoh bagaimana tingginya animo masyarakat Indonesia untuk datang ke Singapura sekedar menonton pertunjukan musisi Internasional, misalkan konser Coldplay pada awal tahun 2017. Tingginya minat penonton Indonesia dikonfirmasi oleh Raymond Lim, Area Director Indonesia, Singapore Tourism Board. Menurutnya, penonton yang datang ke Singapura banyak yang berasal dari negara lain di sekitarnya. Dikatakan pada konser Coldplay, 20% penontonnya berasal dari Indonesia (Rafikasari, 2017).

Begitu banyak musisi dunia yang menggelar konser di Singapura dan disambut meriah oleh penonton Indonesia. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tempat yang mumpuni untuk menggelar konser dengan kapasitas puluhan ribu penonton seperti National Stadium, hingga tersedianya teknisi berpengalaman. Selain itu, Singapura sangat mudah dicapai karena banyaknya pilihan penerbangan ke sana dari yang low cost hingga fullservice flight, dan sistem pembelian tiket konser di sana juga cukup memudahkan penonton.

Kalau orang mau nonton konser biasanya memastikan tempatnya mudah dicapai, tiket mudah didapat, membelinya tak sulit. Setelah nonton konser, tutur Raymond, kalau traveler mau pulang ke hotel atau pun lanjut wisata ke tempat lain itu mudah. Transportasi umum di Singapura banyak pilihannya. Lokasi konser pun ada yang berdekatan dengan objek wisata populer di sana. Setelah nonton konser ingin bisa kembali ke hotel. Setelah konser bisa juga mengeksplor kota, transportasi umum juga sangat mudah (Rafikasari, 2017).

Drummer Grup Musik PAS Band, Sandy Andarusman membenarkan hal ini. Menurutnya, Indonesia kekurangan gedung pertunjukan untuk menggelar konser. Yang biasa jadi tempat konser adalah hotel, gedung sewaan, atau semacam hall. Lebih lanjut menurut Sandy, Indonesia membutuhkan area atau bangunan khusus seperti di Singapura. Beberapa lokasi konser terkenal di yaitu National Stadium, Singapore Conference Hall, Victoria Theatre, The Star Performing Arts Center, Singapore Indoor Stadium, dan lain-lainya (Anggraini, 2019). Jakarta sendiri sebelumnya ada gedung pertunjukan musik di kawasan Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara bernama Mata Elang International Stadium (MEIS). Bangunan berkapasitas 200.000 orang ini tutup per 26 Juni 2014 karena konflik terkait perizinan yang melibatkan perseroan serta pengelola Ancol Beach City.

Dari cerita sukses Singapura, tentu Indonesia harus banyak berkaca. Dengan logika sederhana, kita pasti bisa sadar bahwa 250 juta penduduk Indonesia adalah pasar yang sangat besar untuk industri pertunjukan musik. Bayangkan jika perekonomian dan kelas menengah tumbuh merata di seluruh pulau-pulau di Indonesia, maka setidaknya musisi-musisi internasional bisa mengagendakan 8 kali konser di Indonesia. Misalkan di Medan, Palembang, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Denpasar, Makasar dan Ambon.Namun selain peningkatan perekonomian, proyeksi ini tentu membutuhkan dukungan infrastruktur.

Di banyak kota yang disebutkan di atas, konser artis-artis dalam negeri sebenarnya rutin diselenggarakan. Hanya saja tempatnya masih meminjam arena-arena yang sebenarnya kurang representatif, seperti parkiran mall, gedung olahraga, dan sejenisnya, yang sebenarnya tidak diperuntukkan untuk pertunjukan musik. Selain itu seperti Singapura, sudah seharusnya kota-kota di Indonesia juga didesain agar segala seluk beluk ruang publik dapat terintegrasi dan dapat dijangkau dengan mudah. Mulai dari bandara, arena pertunjukan, pusat perbelanjaan, destinasi wisata, seharusnya terkoneksi dengan jalur transportasi umum. Peran BEKRAF belum sampai menjangkau area ini.

E.     Bantuan Biaya Bagi Musisi yang Tampil di Luar Negeri

Salah satu terobosan penting yang dilakukan oleh BEKRAF adalah dianggarkannya pembiayaan bagi musisi Indonesia yang diundang untuk tampil di pertunjukan musik luar negeri. Salah satu musisi yang sempat menjadi sorotan terkait hal ini adalah band Efek Rumah Kaca (ERK). Band ini diundang untuk tampil pada SXSW Festival di Amerika Serikat, dan semula akan didukung pembiayaanya oleh BEKRAF (Abdulsalam, 2018). Namun akhirnya Kerjasama ini batal dikarenakan ERK merasa ada kejangalan di dalam pengalokasian dana.

ERK sebagai sebuah band merasa dana yang dikucurkan oleh BEKRAF mampu mencukupi perjalanan mereka untukanggota band beserta kru yang jumlahnya 10 orang. Hanya saja, BEKRAF hanya memperbolehkan anggaran ini untuk digunakan oleh 5 orang saja. Setelah ditelusuri lebih lanjut, perbedaan persepsi ini muncul akibat ERK yang melihat penggunaan anggaran dengan cara memaksimalkan fungsi (tiket ekonomi paling murah dengan jadwal tetap, penginapan kelas budget), sementara BEKRAF menggunakan anggaran dengan merujuk pada aturan standar baku (tiket dengan jadwal fleksibel, penginapan standar perjalanan dinas). Hal ini tentu memicu perselisihan yang untungnya tidak berkepanjangan. Walaupun ERK akhirnya tetap berangkat ke festival tersebut, namun mereka menggunakan dana sendiri yang didapat melalui konser penggalangan dana, tetap menolak menggunakan dana BEKRAF.

Musisi lain mungkin banyak yang mampu beradaptasi dengan aturan BEKRAF. Akan tetapi kasus ERK ini dapat memperlihatkan bahwa ada jarak yang cukup besar antara cara pikir/cara kerja musisi dan pemerintah. Musisi berfikir dan bekerja dengan cara kreatif agar apa yang ingin mereka tuju dapat berhasil, sementara pemerintah bekerja dengan aturan birokratis yang baku secara berkesinambungan. Dua hal ini tentu saja rentan akan munculnya konflik. Hal yang sama juga terlihat dari komunitas musik yang enggan menggunakan beberapa aset pemerintah karena dianggap terlalu birokratis dan tidak komunikatifnya masalah pembiayaan (Resmadi, Idhar & Bastari, 2020). Maka perlu bagi pemerintah, untuk menyesuaikan diri dalam berbagai upaya kerjasama dengan pelaku industri kreatif, khususnya terkait dengan batasan-batasan biroikrasi yang bisa mengekang cara pikir dan cara kerja pelaku industry kreatif.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa BEKRAF telah melakukan berbagai strategi guna membawa industri musik Indonesia ke pasar global. Strategi tersebut antara lain adalah upaya perlindungan hak cipta musisi, pemberian sertifikasi profesi, bantuan perbaikan infrastruktur, serta bantuan biaya untuk musisi yang tampil di luar negeri.

Terkait dengan payung hukum hak cipta, BEKRAF telah membuat strategi yang tepat dengan rencana pembuatan portal musik bernama Portamento. Sayangnya hal tersebut sejauh ini belum terlaksana. Sementara terkait sertifikasi profesi, sudah berjalan dengan baik, walaupun jangkauannya harus diperluas lagi.

Penulis juga menemukan beberapa hal yang masih kurang efektif, seperti dalam bantuan infrastruktur, yang ternyata masih menyasar pertunjukan skala kecil. Sementara yang sangat dibutuhkan penyelenggara pertunjukan musik Indonesia adalah infrastruktur yang berskala internasional. Indonesia masih kalah bila dibandingkan dengan Singapura yang sampai hari ini masih menjadi pusat utama pertunjukan musik di Asia Tenggara. Padahal Indonesia berpeluang menjadi yang terdepan dalam hal ini, karena pasar penonton pertunjukan musik Indonesia dalam sektor ini sangat besar. Indonesia harus mencontoh Singapura yang berhasil mengintegrasikan transportasi publik, ruang pertunjukan musik dan tempat-tempat pariwisata

Terakhir, terkait dengan bantuan biaya bagi musisi yang tampil di luar negeri, pemerintah harus mengupayakan prosedur yang lebih fleksibel, karena harus diakui ada perbedaan yang sangat mendasar antara pola kerja seniman dengan pola kerja birokrasi. Harus ada jalan tengah agar cara kerja dan cara fikir pemerintah mampu selaras dengan cara kerja dan cara fikir pelaku industri kreatif.

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdulsalam, Husein. (2018). Bagaimana Efek Rumah Kaca Mundur Sebagai Delegasi Bekraf untuk SXSW. Retrieved from https://tirto.id/bagaimana-efek-rumah-kaca-mundur-sebagai-delegasi-bekraf-untuk-sxsw-cFLN diakses 30 Maret 2019. Google Scholar

 

Adyatama, Egi. (2019). Wawancara Eksklusif Anang Hermansyah soal RUU Permusikan. Retrieved from https://nasional.tempo.co/read/1173401/wawancara-eksklusif-anang-hermansyah-soal-ruu-permusikan diakses 23 Maret 2019.

 

Anggraini, Rizka Gusti. (2019). Kontribusi Industri Musik Minim Akibat Kendala Infrastruktur. Retrieved from https://katadata.co.id/berita/2019/02/11/kontribusi-industri-musik-minim-dinilai-karena-infrastruktur-terbatas diakses 1 November 2019

 

Ennew, Christine T., & Fujia, Yang. (2009). Foreign Universities in China: A Case Study. European Journal of Education, 44(1), 21�36. Google Scholar

 

Fajriyah, Atikah Nur. (2019). Wawancara Langsung Dengan Staf Bagian Penelitian dan Pengembangan BEKRAF, September 2019. Google Scholar

 

Hawin, M. (2012). GATS dan Pendidikan. Bahan Kuliah Hukum Perdagangan Internasional, 3�4. Google Scholar

 

Herzani, Andhika Putra. (2018). Peran Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) terhadap perlindungan hukum atas suatu karya cipta lagu di Indonesia. Universitas Tarumanagara. Google Scholar

 

Ikbar, Yanuar. (2012). Metode penelitian sosial kualitatif. Bandung: Refika Aditama. Google Scholar

 

Ine. (2005). Sheila on 7 Konser Keliling Malaysia. Retrieved from https://hot.detik.com/musik/531966/sheila-on-7-konser-keliling-malaysia&nocache=1 diakses 30 Maret 2019.

 

Kreatif, Badan Ekonomi. (2017). Data statistik dan hasil survei ekonomi kreatif. Jakarta: Badan Ekonomi Kreatif. Google Scholar

 

Malau, Robin. (2016). Mengukur Kontribusi Ekonomi Musik Terhadap Negara. Retrieved from http://www.walikotamusik.com/mengukur-ekonomi-musik/ diakses 1 April 2019

 

Maulana, Ilham, & Alamsyah, Andry. (2014). Rekomendasi Model Bisnis Industri Musik Pop dan Rock di Indonesia Berdasarkan Model Business Canvas. Jurnal Manajemen Indonesia, 14(2), 153�162. Google Scholar

 

Rafikasari, Diana. (2017). Alasan Wisatawan Gemar Nonton Konser di Singapura. Retrieved from https://lifestyle.sindonews.com/read/1238057/164/ini-alasannya-wisatawan-gemar-nonton-konser-di-singapura-1504928954 diakses 1 November 2019

 

Rahman, Yanuar. (2012). Indonesia Ladang Emas Konser Internasional. Retrieved from https://www.beritasatu.com/home/38803-indonesia-ladang-emas-konser-internasional.htmldiakses 30 Maret 2019

 

Reily, Michael. (2019). Bekraf Siap Gelontorkan Dana Untuk 26 Ruang Kreatif. Retrieved from https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5e9a51a5cbad9/bekraf-siap-gelontorkan-dana-untuk-26-ruang-kreatif-di-2019 diakses 10 Oktober 2020

 

Resmadi, Idhar & Bastari, Rendy. (2020). Pemetaan Ekologi Sektor Musik Indonesia. Jakarta: British Council Indonesia. Google Scholar

 

Sasongko, Agung. (2018). BEKRAF: Kontribusi Musik ke PDB Kecil. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/18/03/10/p5cb8r313 -bekraf-kontribusi-musik-ke-pdb-kecil diakses 30 Maret 2019. Google Scholar

 

Sumahar, Muarif Pebriansah. (2014). Analisis wacana dominasi major label pada industri musik indonesia dari band efek rumah kaca. Jurnal Komunikasi. Universitas Airlangga Surabaya. Google Scholar

 

Wisbisono, Nuran. (2016). Berburu Konser Hingga Ke Luar Negeri. Retrieved from https://tirto.id/berburu-konser-hingga-ke-luar-negeri-b5Hs diakses 1 April

 

Copyright holder:

Ferdiansyah R, Indra Tamsyah dan Yuniarsih Manggarsari (2021)

 

First publication right:

Journal Syntax Literate

 

This article is licensed under: