�����������
Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849
����������� e-ISSN : 2548-1398
����������� Vol. 2,
No 11 November 2017
PERANAN
WALI NIKAH SIRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM �DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Encep Ahmad Yani
Universitas Pasundan
Abstrak
Nikah siri adalah jenis pernikahan yang
pada beberapa kalangan, hal tersebut dianggap tabu, bahkan tidak dianggap
sebagai suatu pernikahan yang sah. Akan tetapi, terlepas dari hal tersebut,
pernikahan siri sendiri merupakan pernikahan yang banyak dilakukan oleh banyak
kalangan. Secara umum, pernikahan siri memiliki tata cara yang hampir mirip
dengan pernikahan biasa, hanya saja, pernikahan siri tidak memungkinkan sang
pengantin untuk memiliki buku nikah. Kesamaan-kesamaan antara pernikahan siri
dengan pernikahan umum terletak pada beberapa hal�termasuk syarat dan
rukum�salah satunya adalah adanya wali pada sebuah pernikahan. Pada penelitian
ini peneliti mencoba mengaji peran wali pada nikah siri menurut perspektif
hukum islam dan hukum positif di Indonesia. Secara umum, penelitian ini
dilakukan dengan bermetodekan deskriptip analitis dengan pendekatan yuridis
normatif. Adapun hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa; (1) syarat
sah-nya nikah�baik umum maupun siri�ditentukan oleh lima hal, dan dari kelima
hal tersebut, salah satunya adalah keberadaan wali, (2) terdapat dua pandangan
terkait peran wali pada pernikahan siri, (3) suami�maupun istri�yang tidak
memenuhi kewajibannya dalam pernikahan siri, tidak dapat mengajukan jalur hukum
formal, akan tetapi, mereka dapat melakukan pinta pendapat atau fatwa, pada
pemangku kebijakan hukum Islam�yang dimana pemangku kebijakan tersebut tidak
lain adalah yang menikahkan kedua pasangan tersebut secara siri.
Kata Kunci: Nikah Siri,
Peran Wali Nikah
Pendahuluan
Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri,
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 undang-undang� Perkawinan. Berkaitan dengan pengertian
perkawinan, al-Qur�an juga menyebut dalam surat an-Nisa (4): 21, bahwa perkawinan
sebagai mitsaqan galidhan, yakni
sebuah ikatan yang kokoh.
Nikah atau kawin
menurut arti sebenarnya adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti Majazi
(methaporik) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan
seksual sebagai suami-istri antara seorang pria dengan wanita (Ramulyo, I.
Mohd: 1999).
Uraian di atas
menegaskan bahwa baik secara yuridis formal maupun menurut hukum Islam tidak
ada perbedaan pengertian perkawinan yang mendasar, justru baik dalam kontek
hukum positif maupun dalam ketentuan ajaran Islam keduanya saling menguatkan,
yang secara utuh dapat disimpulkan bahwa, pengertian perkawinan lebih
menekankan kepada ikatan yang kokoh, artinya bukan ikatan sementara atau ikatan
yang hanya sekedar memenuhi kebutuhan tertentu saja.
Rumusan� di atas telah mendasari praktik perkawinan
pada masyarakat kita, tidak sepenuhnya mengacu kepada Undang-undang. Karena ada
juga masyarakat yang melakukan proses perkawinan mengacu pada landasan
keagamaan. Fakta ini tidak bisa dipungkiri karena pengakuan Negara terhadap
pluralisme hukum di Indonesia tidak bisa diabaikan. Konsekuensinya melahirkan
dualisme model pelaksanaan perkawinan.
Di masyarakat muslim
Indonesia kita mengenal dua model perkawinan, pertama perkawinan dengan surat nikah
yang diterbitkan oleh Petugas� Pencatat
Nikah (PPN), yang kedua perkawinan tanpa surat nikah yang dilaksanakan atas
bantuan seseorang yang secara keilmuan hukum perkawinan Islam mempunyai
kompetensi.
Perlu ditegaskan disini
bahwa kedua perkawinan tersebut� dianggap
sah apabila dipenuhi syarat syahnya sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut: Untuk melaksanakan
perkawinan harus ada : 1. Calon Suami; 2. Calon Istri; 3.Wali nikah; 4. Dua
orang saksi dan; 5. Ijab dan Kabul.
Terdapat distorted pemaham dalam praktek perkawinan
model kedua, masyarakat awam beranggapan bahwa selama lima rukun perkawinan
tersebut dipenuhi maka perkawinan dianggap syah, padahal dari kelima rukun di
atas terdapat syarat-syarat tertentu yg tidak dapat diabaikan begitu saja,
contoh syarat wali, wali tidak sekedar ada dalam perkawinan, wali harus
memenuhi kriterianya sebagaimana diatur dalam KHI pasal 20 dan 21 yang
esensinya wali terdapat dua kelompok besar, yang pertama wali nasab, yaitu wali yang ada hubungan
darah, baik dalam garis keturunan ke atas, ke samping maupun ke bawah, yang
kedua wali hakim, yaitu wali yang bisa melakukan perkawinan apabila benar-benar
wali nasabnya tidak ada atau tidak mau menikahkan.
Dalam praktek karena
pihak wali perempuan tidak setuju atau tidak mau menikahkan, sehingga
perkawinan menggunakan wali yang ditunjuk oleh calon istri yang disepakati oleh
pihak calon suami, oleh karena itu�
perkawinan ini pelaksanaannya dirahasiahkan (siri).
Terdapat beberapa
pengertian perkawinan sirri, salah satunya dikemukakan oleh Nasiri sebagaimana
dalam kutipan di bawah ini:
Nikah sirri
adalah perkawinan yang dilakukan oleh sepasang kekasih tanpa ada pemberitahuan
(dicatatkan) di Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi perkawinan ini sudah memenuhi
unsur-unsur perkawinan dalam Islam, yang meliputi dua mempelai, dua orang
saksi, wali, ijab-qabul dan juga mas kawin. Kawin sirri ini hukumnya sah
menurut agama, tetapi tidak sah menurut�
hukum positif
(Nasiri: 2010).
Berdasarkan
uraian yang telah dipaparkan di atas, peneliti merasa perlu untuk melakukan
pengkajian lebih lanjut terhadap beberapa hal tersebut di bawah ini; (1) Bagaimana
Hukum Islam dan hukum positif mengatur syarat syah perkawinan? (2) Bagaimanakah
wali nikah diatur dalam hukum Islam dan hukum positif di Indnesia? (3) Bagaimanakah
perlindungan hukum bagi istri siri apabila suami sirrinya tidak
bertanggungjawab?
Metodologi
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metoda deskriptif�
analitis, �ialah menggambarkan masalah yang kemudian menganalisa
permasalahan yang ada melalui data yang telah dikumpulkan kemudian diolah serta
disusun dengan berlandaskan kepada teori-teori dan konsep-konsep yang digunakan
(Soerjono: 1986)�� .
Adapun
pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yakni dengan mempelajari dan
mengkaji data hukum primer, data hukum sekunder dan data hukum tersier
(Soerjono: 1986) atau penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka dan data sekunder (Amiruddin: 2004).
Hasil
dan Pembahasan
A.
Syarat
Sah Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
Terdapat
beberapa hal yang termasuk dalam rukun perkawinan. Hal-hal tersebut adalah
yaitu :
a. Pihak-pihak
yang akan melaksanakan perkawinan yaitu calon suami dan calon isteri;
b. Wali
nikah;
c. Dua
orang saksi, dan
d. Ijab
dan qabul
Pendapat
di atas menjelaskan bahwa, dalam hukum Islam sahnya perkawinan akan ditentukan
oleh 5 hal, yaitu; (1) calon suami, (2) Calon Istri, (3) Wali nilah, (4) Saksi
Nikah dan Ijab qabul. Apabila dalam
perkawinan lima hal tersebut dipenuhi maka perkawinannya sah.
Hal
ini sejalan dengan bunyi Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan
bahwa: �Untuk melaksanakan perkawinan harus ada; (1) Calon Suami, (2) Calon
Isteri (3) Wali nikah� (4) Dua orang
saksi dan, (5) Ijab dan Kabul.
Dua
ketentuan di atas mengisayaratkan secara tektual, bahwa syarat sah nikah baik
hukum Islam maupun hukum positif tidak ada perbedaan secara materil. Perbedaan
hanya pada masalah hukum formalnya, seperti pada uraian di bawah ini. Sebagaimana
dijelaskan dalam Pasal 7 ayat 1 KHI bahwa, perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah�. Kesimpulannya
perkawinan tanpa surat nikah tidak diartikan tidak sah, hanya diartikan tidak
ada ada bukti tertulis saja.
B.
Wali
Nikah Menurut Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam
Kedudukan
wali dalam nikah menurut hukum positif seperti dijelaskan dalam Pasal 14
Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa, yang untuk melaksanakan perkawinan harus
ada; (1) Calon Suami, (2) Calon Isteri, (3) Wali nikah, (4) Dua orang saksi dan
(5) Ijab dan Kabul. Pasal ini menjelaskan bahwa, apabila perkawinan tidak
menghadirkan wali maka perkawinan itu dianggap tidak sah.
Sementara
kedudukan wali dalam nikah menurut hukum Islam ada dua pendapat, yang pertama
menurut Madzhab Hanafi seperti yang dijelaskan oleh Al Syarkhosyi� dalam karyanya menyebutkan
pandangan-pandangan Hanafi tentang wali nikah dan disebutkan sesungguhnya Imam
Hanafi berpendapat bahwa pernikahan seorang gadis atau janda baik pernikahanya
dilaksanakan secara kafa�ah atau tidak
memakai wali maka nikahnya sah, tapi manakala pernikahan dilangsungkan dengan
tidak kafaah maka bagi seorang wali
mempunyai hak untuk memisahkanya (Al Syarkosyi: 1978).
Dalam
kitab al-Muhalla disebutkan bahwa Imam Hanafi menyatakan bahwa, bagi perempuan
diperbolehkan untuk mengawinkan dirinya sendiri dalam keadaan kufu dan walinya tidak menentang.
Apabila pernikahannya tanpa kufu maka
pernikahannya masih dianggap sah namun bagi wali mempunyai hak untuk memisahkan
(menfasid-kan) pernikahannya dan bagi
wali diharuskan untuk mengembalikan mahar miysil
(Al Syakir: Tanpa Tahun).
Uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa mernurut Imam Hanafi wali itu bukan merupakan
rukun nikah akan tetapi hanya merupakan syarat dengan ketentuan jika, apabila
pernikahan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang sudah dewasa dan berakal,
baik itu gadis maupun janda. Wali nikah tetap berlaku bagi perkawinan yang
tidak kafa�ah dan perkawinan di bawah
umur.
Pendapat
Imam Hanafi ini boleh dikatakan cukup kuat, karena beliau beralasan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 232, sebagaimana ditegaskan oleh �Imam al-Syayyid Sabiq, beliau berpendapat
bahwa firman Allah swt dalam surat Al baqarah ayat 232 khitob-nya bukan kepada wali nikah akan tetapi ditujukan kepada
suami yang mentalak istrinya (Al Syakir: Tanpa Tahun).
Apa
yang disampaikan oleh Imam Hanafi sangat berdeda dengan pendapat muridnya yang
bernama Imam Syafi�i. Dalam Idris AL-Syafi�i (Tanpa Tahun), beliau menerangkan
bahwa, setiap pernikahan tanpa wali maka nikahnya batal. Adapun yang dijadikan
penopang pendapatnya adalah firman Allah dan beberapa sabda Nabi, diantaranya:
�apabila kamu
menceriakan perempuan, kemudian telah habis masa idah-nya, maka janganlah kamu (para wali)
melarangnya perempuan itu mengawini bekas suaminya kembali, jika mereka itu
suka sama suka secara ma�ruf� (QS. 2:232).
Menurut
Imam Syafi�i (Dalam Abdun Al-Zaziri: Tanpa Tahun), ayat ini merupakan dalil dan
alasan yang jelas tentang kedudukan wali dalam nikah.
�Asbab al-nuzul
ayat ini dan dijelaskan bahwa :�Menurut Ma�qil bin Yasar ayat ini turun
berkenaan dengan dirinya, beliau berkta : �saya menikahkan salah seorang
saudara perempuanku dengan seorang pria tetapi kemudian diceraikannya, ketika
iddahnya habis, ia datang lagi meminangnya. Maka saya jawab,: dulu kamu saya
jodohkan, saya nikahkan dan� saya
muliakan, tetapi kemudian kamu ceraikan dan kini kamu datang untuk meminangnya
lagi. Demi Allah kamu tidak dapat kembali padanya lagi untuk selamanya.
Laki-laki ini tak berbicara apa-apa setelah mendengar jawaban tersebut tetapi
bekas istrinya bersikeras ingin kembali padanya. Lalu Allah menurunkan ayat
�Maka kamu jangan haling-halangi mereka�. Kemudian saya berkata : sekarang saya
menerima wahai Rasulullah dengan ucapannya:�sekarang aku nikahkan saudaraku
kepadanya.�
Dengan
demikian cukup jelas mengenai kedudukan wali dalam nikah, asbab al-nuzul ayat di atas telah mempertegas bahwa wali nikah itu
ada sekalipun terhadap seorang janda. Dan wali nikah harus memberikan ijin
ketika anaknya menikah.
Adapun
sabda-sabda Nabi yang di jadikan landasan oleh imam Syafi�i adalah :
Artinya
:�Menceritakan Abu bakar Bin Haris, sesugguhnya Ali bin umar telah berkata
kepada abu bakar, Yunus bin Abdul Al�ala, ibnu wahab dan telah menceritakan
pula umar bin harits dan dari baqi bin al usja, sesungguhnya telah mendengar
syaid bin al musayyab dari umar bin khotob r.a. telah bersabda Rasulullah saw
�tidaklah dikawinkan seorang perempuan kecuali dengan izin walinya, keluarganya
atau Sulthan�
(Abdu Daud Sulaeman: Tanpa Tahun).
Hadits
di atas selain mensyaratkan sah nikahnya seorang perempuan dengan wali, juga
menyebutkan wali pengganti yaitu dari kalangan keluarga terdekat dan penguasa.
C.
Perlindungan
Hukum Bagi Istri Siri Apabila Suami Sirinya Tidak Bertanggung Jawab
Nikah
siri dalam pengertian yuridis di Indonesia adalah pernikahan yang dilakukan
secara syar‟i dengan diketahui orang banyak, namun tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama. Oleh karena itu, yang membedakan antara nikah siri dan
bukan adalah Akta Nikah.
Pelaksanaan
nikah siri dimaksud dalam penelitian ini, yaitu suatu akad nikah yang pada
pelaksanaannya melibatkan wali nasab dan disaksikan oleh dua orang saksi serta
tokoh agama yang mumpuni dalam bidang hukum perkawinan Islam. bedanya dengan
perkawinan biasa, yaitu tidak dihadiri oleh penghulu atau petugas pencatat
nikah (PPN) sehingga tidak memiliki surat nikah.
Perkawinan
di atas secara nyata telah memenuhi unsur pasal 2� Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyatakan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya. Dan unsur yang tertuang dalam pasal 14 KHI dan juga
ketentuan syarat sah nikah menurut Hukum Islam, Oleh karenanya secara yuridis
dan menurut hukum Islam perkawinan siri model ini adalah sah.
Apabila
diteliti lebih lanjut, baik dalam Undang-undang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam maupun PP No.9 tahun 1975 tentang Penjelasan terhadap UU No.1 th 1974
apabila perkawinan telah memenuhi rukunnya, yaitu: calon suami, calon istri,
wali, dua orang saksi dan ijab qabul,
maka perkawinannya dianggap syah, dan tidak ditemukan satu kata-pun yang
menyebutkan dalam peraturan-peraturan di atas, apabila suatu perkawinan tidak
dicatat atau tidak mempunyai buku nikah, maka perkawinannya tidak sah.
Karena
perkawinan siri ini dianggap sah, maka semua akibat hukum yang ditimbulkan dari
perkawinan siri model ini adalah tetap berlaku, misalnya dalam hal anak yang
dilahirkan mereka adalah keturunan yang sah, baik istri dan juga keturunannya
mempunyai hak nafkah dari suami, hak harta�
bersama dan harta waris, sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
Terhadap
suami yang tidak memenuhi kewajiban sebagai suami siri memang tidak dapat
menempuh jalur hukum formal di Indonesia, namun sebenarnya dapat dimintakan
fatwa kepada para pemangku kebijakan dalam Hukum Islam (Ulama) yang dahulu
menikahkannya.
Sesuai
dengan kaidah ushul yang menyebutkan
bahwa kemadharatan itu harus
dihilangkan, hal ini dikemukakan oleh al-Zarqa dalam Syarh Al-Qawaid
Al-Fiqhiyyah (Al-Zarqa: Tanpa Tahun). Selain itu perkawinan siri juga harus
berlandaskan pada asas hukum Islam, yaitu Asas-asas umum hukum Islam yang
meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum islam adalah (1) asas keadilan,
(2) asas kepastian kepastian hukum, dan (3) asas kemanfaatan (Mohammad: 2009).
Dengan
demikian selama perkawinan siri ini di dasarkan kepada kaidah ushul serta asa-asas hukum Islam seperti
tersebut di atas, maka selama itu pula tujuan perkawinan relatif mudah untuk
dicapai, sakinah, mawaddah dan warohmah. Namun tetap sedapat mungkin perkawinan
dilakukan sesuai dengan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, didapati beberapa kesimpulan sebagaimana yang diuraikan
dalam penjabaran berikut:
1.
Menurut�
hukum Islam syahnya perkawinan akan ditentukan oleh 5 hal, yaitu: 1.
calon suami, 2. Calon Istri, 3. Wali nilah, 4. Duan�� orang saksi dan Ijab qabul. Apabila dalam
perkawinan lima hal tersebut dipenuhi maka perkawinannya syah. Namun demikian
apabila salah satu dari lima syarat ini tidak terpenuhi, maka nikahnya tidak
syah.
2.
Kedudukan wali nikah menurut hukum Islam
ada dua pendapat yang pertama menurut Madzhab Hanafi berpendapat bahwa
pernikahan seorang gadis atau janda baik pernikahanya dilaksanakan secara
kafa�ah atau tidak memakai wali maka nikahnya syah, tapi manakala pernikahan
dilangsungkan dengan tidak kafa�ah maka bagi seorang wali mempunyai hak untuk
memisahkanya. �Apa yang disampaikan oleh
Imam Hanafi sangat berdeda dengan pendapat muridnya yang bernama Imam
Syafi�i��� beliau mengatakan bahwa �
setiap pernikahan tanpa wali maka nikahnya batal�.
3. Terhadap
suami yang tidak memenuhi kewajiban sebagai suami sirri memang tidak dapat
menempuh jalur hukum formal di Indonesia, namun sebenarnya dapat dimintakan
fatwa kepada para pemangku kebijakan dalam Hukum Islam (Ulama) yang dahulu
menikahkannya.
BIBLIOGRAFI
Abdun
al- Rahman al-Zaziri. Tanpa Tahun.
Madzaahib al-A�rbaah, juz IV. Beirut: Dar al-Fikri. hlm :47.
Abi
Daud Sulaeman. Tanpa Tahun. Sunan Abi
Daud Juz I dan II. Beirut: Dar al-Fikri. hlm: 229
Al-Zarqa,
Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah,
Maktabah Al-Syamilah,� hlm. 48
Amiruddin
dan Zainal Asikin, 2004. Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. hlm. :118-119
Imam
Al Syarkhosyi, 1978. Al-Mabsyuth li
Syamsiddin, Juz V. Mesir: Dar al-Fikri. Hlm.: 20.
Mohd
Idris Ramulyo. 1999. Hukum Perkawinan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm: 1
Muhammad
bin Idris Al-Syafi�i. Tanpa Tahun. al-Umm.
Kairo: Dar al-Sa�ba, Kairo. Hlm.:
234.
Nasiri.
2010. Praktik Prostitusi Gigolo ala Yusuf
Al-Qardawi (Tinjauan Hukum Islam). Surabaya: Khalista. Hlm: 45-46
Daud
Ali, Mohammad. 2009. Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo. Hlm: 114-116
Soekanto,
Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian
Hukum. Jakarta: UI Press. Hlm.: 3
Syeh
Ahmad Al-syakir. Tanpa Tahun. al-Muhalla,
Juz IX. Beirut: Dar al-Fikri. Hlm.:�
455