�����������
Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849
����������� e-ISSN : 2548-1398
����������� Vol. 2,
No 11 November 2017
KRITERIA
PENDIDIK DALAM SUDUT PANDANG AL QURAN SURAT AL-MUDDATSTIR AYAT 1 - 7�
Marpuah
STAI
PERSIS Bandung
Neuis-Marfuah
@yahoo.com
Abstrak
Banyak ayat-ayat
al-Qur�an yang mengisyaratkan konsep kriteria guru atau pendidik. Diantara
ayat-ayat tersebut tercantum dalam QS. Al-Muddatstsir ayat 1-7. Penelitian yang
berjudul �Kriteria Pendidik (Studi Analisis terhadap QS. Al-Muddatstsir ayat
1-7)� ini bertujuan untuk� mendeskripsikan
kriteria pendidik atau guru yang wajib dipunyai oleh pendidik yang berkaitan
dengan kedisiplinan, keahlian, bersemangat, bijaksana, berpenampilan
jasmani� yang bersih dan menarik, bersih
secara bathiniyah berakhlakul karimah, penyayang, pemaaf, bijaksana dan rendah
hati, ulet tidak mudah menyerah. Penelitian ini memberlakukan Pendekatan
kualitatif dengan metode studi dokumentasi beberapa penafsiran para ahli tafsir
diantaranya; Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maraghi, Jalalain, Al-Furqon dan Quraish
Shihab. Tafsir-Tafsir tersebut telah memberikan penjelasan terkait QS.
Al-Muddatstsir ayat 1-7 sebagai konsep kriteria pendidik atau guru, sehingga
dapat dijadikan sebagai landasan bagi guru-guru terutama guru muslim yang
mengambil spirit dari ayat-ayat dalam Al-Qur�an. Pengambilan konsep ini supaya
dapat dipahami oleh guru-guru muslim sehingga dapat menjalankan tugasnya sesuai
dengan petunjuk Al-Qur�an sebagai pedoman hidup tak terkecuali dalam
melaksanakan peran profesi sebagai pendidik. Hasil dari penelitian ini, bahwa
guru harus memiliki kediplinan dan kode etik dalam menjalankan tugasnya, dan
dapat memenuhi kriteria-kriteria seorang guru, sehingga kriteria-kriteria
tersebut dapat melekat menjadi kepribadian guru yang sesuai Al-Qur�an.
Kata
Kunci: Kriteria Pendidik, Al-Qur�an
Pendahuluan
Pendidikan adalah topik
yang tidak pernah habis� untuk
diperbincangkan� (unfinished agenda).
Bahkan pendidikan selalu menjadi bahan perdebatan. Semua orang mengambil bagian
bila yang dibicarakan adalah pendidikan. Pendidikan memang mudah dipahami.
Karena semua orang berkepentingan dengan pendidikan. Orang yang ingin
memperbaiki seseorang, kelompok, negara hingga dunia, membutuhkan yang namanya
pendidikan. Orang yang akan merusak negara juga akan melakukannya melalui pendidikan.
Jangan dikira para koruptor tidak pernah sekolah, pendidikan mereka umumnya
justru tinggi. Orang yang mengerti pendidikan tentu akan ikut bicara
pendidikan. Orang yang tidak tahu apa-apa juga akan ikut berbicara tentang
pendidikan karena anak dan keturunannya telah dan akan mengikuti pendidikan
(Ahmad Tafsir, 2008:40).
Pendidikan rasanya
belum sempurna jika tidak berkaitan dengan guru. Sebab, dalam kondisi
bagaimanapun, guru tetap mempunyai peran sebagai pengembang pendidikan di
Indonesia. Sebagaimana yang dikutip Irwan safari & Yeni Nopiyanti dari Fuad
hasan dalam Ahmad Rizali (2009), mereka mengatakan bahwa, jangan terlalu
meributkan masalah kurikulum, sarana, dana, serta system, sebab itu semua belum
berarti apa-apa tanpa terlebih dahulu memperhatikan pelaku-pelaku pendidikan
(guru).
Hasan Langgulung dalam bukunya �Manusia dan Pendidikan� (1984:228)
menyampaikan, bahwa dalam sejarah senantiasa menceritakan bagaimana guru
melaksanakan perannya sebagai seorang yang penting�yang berperan sebagai
pendamping kepala negara�memegang peranan-peranan penting dalam menjalankan dan
mengendalikan pimpinan negara dan kerajaan pada zaman dahulu kala. Dalam
sejarah Mesir kuno guru-guru itu adalah filosof-filosof yang menjadi penasihat
raja. Kata-kata guru itu menjadi pedoman dalam memimpin negara. Pada masa
kegemilangan falsafah Yunani seperti Socrates dan lain-lain yang dapat
memengaruhi para pemimpin Yunani. Aristoteles adalah guru daripada Iskandar
Zulkarnain (356-423 S.M.) yang menjadi Kaisar Yunani sampai meninggalnya di
benua Asia dalam usahanya untuk meluaskan kekuasaanya. Oleh sebab itu
Aristoteles disebut oleh filosof-filosof Arab sebagai guru pertama. Sedangkan
al-Farabi (874-950 M), orang yang paling mengetahui tentang falsafah Aristoteles,
digelarnya guru yang kedua.
Ungkapnya lagi, dalam sejarah Islam, guru dan� ulama itu selalu bergandengan. Sedang dalam
pandangan lain, ada pula yang menganggap bahwa ulama itu adalah guru dalam
bentuk lain. Nabi sebagai penerima wahyu mengajarkan wahyu itu kepada
pengikut-pengikunya. Mula-mula di rumahnya sendiri dan di rumah Al Arqam bin Al
Arqam, dan setelah berhijrah ke Madinah mengajarkan wahyu-wahyu itu di beberapa
masjid, yang merupakan institusi sosial yang merangkum berbagai fungsi, tempat
ibadat, pendidikan, mahkamah, tempat latihan tentara, dan lain-lain lagi fungsi
masjid tersebut (Hasan Langgulung, 1984:228).
Untuk mengaktualisasikan tujuan pendidikan�khusus untuk pendidikan
Islam�pendidik memiliki tanggung jawab untuk mengantarkan peserta didik pada
tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh karena hal tersebut, keberadaan pendidikan
memiliki peran yang sangat krusial. Karena pada hakikatnya pendidik tidak hanya
melaksanakan peran sebagai penyampai ilmu pengetahuan, namun dituntut pada arah
yang lebih penting, yakni mengantarkan peserta didik pada nilai-nilai (value). Adapun aplikasi dari nilai itu
sendiri dapat berbentuk; etika, sosial, ekonomi, politik, pengetahuan,
prakmatis, sosial dan Ilahiyah (Ramayulis, 2008:55).
Seorang guru adalah seorang pendidik. Pendidik ialah �orang yang memikul
tanggung jawab untuk membimbing� (Ramayulis, 2008:42). Pendidik tidak sama
dengan pengajar, sebab pengajar itu hanya sekedar menyampaikan materi pelajaran
kepada murid. Prestasi paling tinggi bagi sebuah pendidik adalah bukan pada
tersampainya ilmu pengetahuan pada siswa, namun lebih kepada dikuasainya ilmu
tersebut oleh siswa. Namun di luar daripada itu, pendidik juga diarahkan untuk
membentuk siswanya agar memiliki nilai tinggi (Ramayulis, 1998:36).
Pendidik dalam pendidikan Islam, adalah setiap orang dewasa yang karena
kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. adapun
yang memberikan tanggung jawab�yang di dalamnya termasuk amanat�tidak lain
adalah agama. Wewenang masing-masing pendidik disahkan oleh agama. Adapun yang
menerima tanggung jawab juga amanat, sebagaimana diterangkan di atas, adalah
seseorang yang sudah dewasa (Ramayulis,2008:56).
Penggunaan istilah yang kerap digunakan untuk pendidikan adalah guru. Hanya
istilah guru kerap kali dipergunakan pada wilayah pendidikan formal. Adapun
istilah pendidik sendiri digunakan untuk wilayah lebih luas, termasuk formal,
informal dan non formal. Maka disini pun orang tua disebut sebagai pendidik,
yang bertanggung jawab atas masa depan anak-anaknya (Hamdani Ihsan & Fuad Ihsan, 2007:93).
Guru�yang dalam hal ini juga disamakan dengan pendidik�merupakan komponen
penting dari sebuah usaha pendidikan. Oleh karena hal yang disebutkan di atas,
pembahasan mengenai kurikulum dan sebagainya diproses dan dihasilkan dari
sebuah usaha pendidikan, akan senantiasa bermuara pada guru. Hal ini menunjukan
betapa signifikannya� posisi guru dalam
dunia pendidikan (Muhibin Syah, 2010:222-223).
Dalam ranah pendidikan Islam, pendidik�atau juga guru�memiliki peran yang
amat penting. Hal tersebut dikarenakan pendidik mempunyai tanggung jawab pada
pendidikan. Di sisi lain, pendidiklah yang kemudian menentukan arah pendidikan.
Itulah alasan kenapa Islam amat memberi pengargaan pada siapa pun yang berilmu.
Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang bertugas pada ranah pendidikan. Di
sisi lain, Islam sebagai Agama yang memberi rahmat pada semesta, juga
meningkatkan derajat bagi siapa pun yang memiliki ilmu pengetahuan di atas
mereka yang tidak memilikinya (Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, 2007: 109) Sebagaimana firman Allah dalam Qur�an Surat
Al-Mujadilah ayat 11:
$pkr'��t t���%�!$# (#�q�ZtB#u� #s�) @�% �N�3s9 (#q�s��x�s? �� ���=�yfyJ�9$# (#q�s|���$$s� �x|���t �!$# �N�3s9 ( #s�)ur @�% (#r���S$# (#r���S$$s� ��s���t �!$# t���%�!$# (#q�ZtB#u� �N�3Z�B t���%�!$#ur (#q�?r�& zO�=���9$# ;M�y_uy 4 �!$#ur $yJ�/ tbq�=yJ��s? ���7yz ����
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kedudukan orang alim
dalam Islam dihargai tinggi bila orang�
itu mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu melalui pengajaran adalah
sesuatu yang amat dihargai oleh Islam. Menurut Asma Hasan Fahmi (1979:166) yang
telah mengutip kitab Ihya Al-Ghazali yang menerangkan bahwa, siapa yang
memilih pekerjaan mengajar, maka ia sesungguhnya telah memilih pekerjaan besar
dan penting. Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan
realisasi ajaran Islam itu sendiri
(Ahmad
Tafsir, 2008:76-77).
Guru adalah manusia
yang sangat aktif dan dicintai anak,
yang akan membantu perkembangan kognitif, emosi dan motorik sang anak. Ia juga
merupakan person yang dominan di mata anak-anak. Guru yang baik akan bermanfaat
bagi anak didiknya. Profesi guru�
sebetulnya sangat berat, karena tidak cukup dengan mengajar di kelas
saja, tapi juga harus menjadi panutan di dalam kehidupan sehari-harinya
(Ibrahim Amini, 2006:310-311).
Guru akan menunaikan
tugasnya dengan baik atau dapat bertindak sebagai tenaga yang efektif, jika
pada dirinya terdapat berbagai kompetensi keguruan, dan dapat melaksanakan
fungsinya sebagai guru (Zakiah Daradjat, 2001: 202).
Untuk menjadi seorang
guru yang memiliki kualitas dan diakui akuntabilitasnya, ia hendaknya terlebih
dahulu membuat sebuah pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menghabiskan
masa umurnya dengan menjadi seorang guru. Dengan demikian diharapkan individu
guru yang memang lahir dari kesadaran dan pengakuan dalam lubuk hatinya bahwa
ia adalah manusia yang memiliki tugas dan tangung jawab sebagai seorang guru.
Jika tidak diawali dari pertimbangan seperti itu dikhawatirkan lahirnya
guru-guru yang tidak memiliki etos kerja, bermental kerupuk, yang lebih
ironisnya lagi bergetayangannya guru-guru yang tidak memiliki paradigma baru
terhadap profesinya, tidak memahami bagaimana sesungguhnya bahwa di samping
mengajar gurulah yang harus banyak belajar (Irwan safari & Yeni Nopiyanti,
2010:15).
Maka pemberian kriteria bagi sosok guru atau pendidik itu menjadi sangat
penting
harus di siarkan kembali, dan harus diperjelas. Oleh karena masih �banyak guru yang menyesatkan perkembangan dan
masa depan generasi bangsa ini. Melalui berbagai media kita masih menyaksikan
ada guru yang melakukan tindakan amoral, mempersulit atau bahkan menghambat
perkembangan peserta didik, pilih kasih, dendam terhadap muridnya, dan masih
banyak lagi kasus lain baik yang sudah terekspos ataupun yang belum. Penting
atau tidaknya seorang guru tergantung kepada guru itu sendiri, tidak saja
berkenaan dengan pembelajaran di kelas tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat
(Irwan Safari & Yeni Noviyanti,�
2010:21).
Oleh sebab itu, sebagai
umat Islam yang peduli terhadap dunia pendidikan dan tentu saja figur
pendidiknya, alangkah bijaknya jika kita memperhatikan Firman Allah mengenai
kriteria pendidik yang termaktub di dalam Al-qur�an surat Al-Mudastir ayat 1-7
:
$pkr'��t ���oO��J�9$# ����� �O�% ��Rr's� ����� y7�/uur ��i9s3s� ����� y7t/$u�Our ���dgs�s� ����� t�_�9$#ur ���f�d$$s� ����� wur `�Y�Js? ��Y�3tG��n@ ����� ��h/t��9ur ��9��$$s� �����
(1) Hai orang yang berkemul (berselimut), (2) Bangunlah, lalu
berilah peringatan! (3) Dan Tuhanmu agungkanlah! (4) Dan pakaianmu
bersihkanlah, (5) Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, (6)
Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih
banyak. (7) Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
Berdasarkan ayat di atas, perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan �Kriteria Pendidik dalam Sudut Pandang Quran Surat Al-Muddatsir Ayat 1 �
7�
Metodologi Penelitian
Penelitian ini secara
umum menggunakan metode kualitatif. Metode ini sendiri memiliki landasan berupa
filsaafat postpositivisme, dimana, objek penelitian ini memiliki kondisi
alamiah, peneliti yang berkarakter trianggulasi, analisis data yang induktif,
juga hasil yang cenderung menekankan pada makna general (Sugiyono: 2007). Lebih
lanjut, secara khusus, metode kualitatif yang peneliti gunakan merupakan metode
kualitatif kepustakaan dengan objek penelitian berupa isi buku, karya ilmiah
hingga ayat kitab suci�yang tak lain adalah Al Quran sebagai kitab yang dikaji.
Selanjutnya, guna memudahkan metode di atas, peneliti kemudian menerapkan
metode tafsir muqarran, lengkap
dengan kaidahnya, yang mengharuskan peneliti membandingkan hasil tafsir pada
mufasir di atas.
Jenis data dalam
penelitian berkarakterkan kualitatif, hal itu terjadi karena objek penelitian
yang dipilih karena pendekatan metode dan objek kajian yang dibahas adalah
tafsir� ayat-ayat al-Quran� (Abd Muin Salim, 2005:153). Adapun kitab tafsir
yang digunakan disini adalah; 1) Tafsir fi dzilali al-Qur�an, 2) Tafsir al-Misbah,
3) Tafsir al-Furqan, 4) Tafsir Ibnu Katsir, 5) Tafsir al-Maraghi, 6) Tafsir
Jalalain,� mengenai surat al-Muddatstsir
ayat 1-7.� Kitab-kitab tafsir di
atas�lengkap dengan isi-isinya�merupakan data primer penelitian, adapun untuk
data skunder, peneliti menggunakan buku dan/atau bahan bacaan sejenis yang
memiliki topik dan kajian yang sama.
Analisa data dalam
penelitian kualitatif ini dilakukan sejak sebelum memasuki penelitian, selama
di dalam penelitian, dan setelah selesai dari penelitian. Dalam hal ini
Nasution (1988) yang menyatakan bahwa, Analisis telah mulai sejak merumuskan
dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan dan berlangsung terus
menerus sampai penulisan hasil penelitian.
Secara bertahap,
berikut adalah runtutan penelitian kualitatif ini, sebagaimana telah mengacu
pada buku karya Sugiyono (2007):
1.
Tahap penelitian kualitatif ke-1, adalah
tahap orientasi atau tahap deskripsi, pada tahap ini peneliti� mendeskripsikan apa yang dilihat, didengar,
dirasakan, dan ditayangkan. Data yang diperoleh cukup banyak, bervariasi dan
belum tersusun secara jelas.�� Dalam hal
ini penulis mendeskripsikan ayat al-Qur�an berdasarkan penafsiran beberapa� mufasir yang tercantum dalam kitab tafsirnya
seperti yang telah disebutkan di atas.
2.
Tahap penelitian yang ke-2 disebut tahap
reduksi/fokus. Pada tahap ini peneliti mereduksi segala informasi yang
telah diperoleh pada tahap pertama.
3.
Tahap penelitian kualitatif yang ke-3
adalah tahap selection. Pada tahap� ini
peneliti menguraikan fokus yang telah ditetapkan menjadi lebih rinci. Akhir
dari penelitian kualitatif bukan sekedar menghasilkan data atau informasi yang
sulit dicari melalui metode kuantitatif, tetapi juga harus mampu menghasilkan
informasi-informasi yang bermakna, bahkan hipotesis atau ilmu baru yang dapat
digunakan untuk membantu mengatasi masalah dan atau meningkatkan taraf hidup
manusia. (Sugiono,2007: 19-20).
Dalam tahap ini penulis
dapat menemukan informasi-informasi yang telah direduksi dari beberapa mufasir
di atas, yang kemudian diharapkan dapat menemukan teori baru menurut perspektif
pendidikan yang diusung� dari ayat-ayat
al-Qur�an yang penulis teliti.�
Hasil
dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
1. Analisis Mufradat
المدثر ��:������ Kata
ini terambil dari kata� ��ادّثر��� iddatsara. Kata
ini apa pun bentuknya,
idak ditemukan dalam al-Qur�an kecuali sekali, yaitu:
pada ayat pertama surat ini. Iddatsara berarti mengenakan� دثار� ditsar,
yaitu sejenis kain yang diletakkan di atas baju yang dipakai dengan tujuan
menghangatkan dan atau dipakai sewaktu berbaring tidur (selimut) (Quraish
Shihab, 2010:442., 1992:91). al-Muddatstsir yaitu orang yang berselimut
pakaiannya. Maksudnya menutup diri dengan pakaiannya untuk tidur atau untuk
menghangatkan diri (Al-Maraghi, 1993:212)
قم��
:���������� kata ini terambil dari�
kata� قوم �qawama ������ yang �mempunyai banyak
bentuk. Namun setiap kata dari akar tersebut diartikan
sebagai �melaksanakan sesuatu secara sempurna dalam berbagai seginya� (Quraish
Shihab, 2010:444). Qum dapat diterjemahkan berdirilah. Namun
perspektif lain mengartikan bangkitlah. Dan
secara umum, kata yang tersusun atas qa
wa ma berarti �melaksanakan
sesuatu dengan sempurna dalam berbagai seginya� (Quraish Shihab,
1992:93).
انذر�
:��������� kata ini berasal dari kata� نذر �nadzara yang � mempunyai ���� banyak
arti,
antara lain sedikit, awal sesuatu, dan janji
untuk melaksanakan sesuatu bila terpenuhi syaratnya.� Pada ayat di atas, kata ini biasa
diterjemahkan dengan peringatkanlah (Quraish Shihab, 2010:444).
Peringatkan kaummu akan azab Allah jika mereka tidak beriman (Al-Maraghi,
1993:212).
ربّك��
:� ������ rabbaka (Tuhanmu) pada ayat di atas disebutkan mendahului kata
كبّر �
kabbir (agungkan). Itu, di samping untuk menyesuaikan bunyi akhir ayat, juga�bahkan
�lebih penting�untuk menggambarkan� bahwa perintah takbir (mengagungkan)
hendaknya hanya diperuntukkan bagi-Nya semata-mata, tidak terhadap sesuatu pun
selain Allah (Quraish Shihab, 2010:446).
ثياب��
:������� tsiyab adalah�� bentuk jamak dari kata ثوب tsaub (pakaian). Di samping
makna tersebut, digunakan juga sebagai majaz dengan
makna-makna, antara lain hati, jiwa, usaha, badan, budi, pekerti keluarga,
dan istri (Quraish Shihab, 2010: 447).
طهّر��
:������� thahhir adalah ����������� bentuk ��perintah dari kata� طهّر� thahhara ��yang
berarti membersihkan dari kotoran (Quraish Shihab,
2010:447). فطهّر �bersihkan dirimu dari perbuatan-perbuatan
tercela dan perbaikilah ia dari hal-hal yang buruk� (Al-Maraghi, 1993:212).
Kata ini dapat juga dipahami dalam arti majaz, yaitu menyucikan diri dari dosa
atau pelanggaran (Quraish Shihab, 2010:447).
الرّجز :�������� ar-rujz dengan dhammah pada ra atau الرّجز ar-rijz,
dengan kasrah pada ra,
keduanya merupakan� cara yang benar untuk
membaca ayat ini dan sebagian ulama tidak membedakan arti yang dikandungnya.
Quraish Shihab (2010) menyampaikan bahwa ulama tidak membedakan kedua bentuk
kata tersebut dan mengartikannya dengan dosa, sedangkan ulama yang
membedakannya menyatakan bahwa ar-rujz berarti berhala.� Lanjutnya, pendapat ini dipelopori oleh
�Ubaidah. Sebagian ahli bahasa berkata bahwa huruf ز zay pada
kata ini dapat dibaca dengan س sin dan
dengan demikian kata ar-rijz sama pengertiannya dengan الرّجز ar-rijz
(dosa), dengan demikian, kata yang digunakan ayat ini dapat berarti berhala,
atau siksa atau dosa. Ar-rujz berarti azab, sebagaimana difirmankan
Allah dalam al-A�raf, 7:134. لئن
كشفت عنّا
الرّجز� �sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu dari pada kami...
tinggalkanlah dosa-dosa yang membawa kepada azab� )Al-Maraghi, 1993:212).
فَاهجُر �:������ Fa-uhjur �������� terambil dari kata (هَجّرَ) �hajara �������� yang
�� digunakan
untuk menggambarkan �sikap meninggalkan sesuatu karena
kebencian kepadanya�. Dari kata ini dibentuk kata hijrah, karena Nabi dan
sahabat-sahabatnya meninggalkan Mekkah atas dasar ketidaksenangan beliau
terhadap perlakuan penduduknya. Kata (هَاجِرَة) hajirah berarti tengah hari
karena pada saat itu pemakai bahasa ini meninggalkan pekerjaannya akibat
teriknya panas matahari yang tidak mereka senangi (Quraish Shihab, 2010:451).
تَمنُن ��:������� Tamnun ��������� terambil ��������� dari kata مَنَّ manna� �� yang
dari segi asal
pengertiannya�
berarti memotong. Sesuatu yang rapuh, tali yang rapuh dinamai حَبلُ مَنِين� habl
manin karena kerapuhannya menjadikan ia mudah putus. Pemberian yang banyak
dinamai مَنَّةٌ �minnah karena
ia mengandung arti banyak sehingga seakan-akan ia tidak putus-putus. Makanan
yang diturunkan kepada Bani Isra�il dinamai المنّ al-mann karena
ia turun dalam bentuk kepingan terpotong-potong. Sedangkan, menyebut-nyebut
pemberian dinamai منّ mann karena
ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya (Quraish Shihab,
2010:455).
صبر����������� :��������� shabr (sabar)�� diartikan sebagai menahan, baik ������ secara fisik material,
seperti menahan seseorang dalam tahanan atau
kurungan, maupun non-material, seperti menahan diri atau jiwa dalam menghadapi
sesuatu yang diinginkannya. Akar kata shabr, diperoleh sekian bentuk
kata dengan arti yang beraneka ragam, antara lain shabara bihi yang
berarti menjamin juga shabir dengan arti pemuka masyarakat yang
melindungi kaumnya. Akar kata itu terbentuk pula kata yang berarti gunung
yang tegar dan kukuh atau awan yang berada di atas awan yang lainnya sehingga
menaungi apa yang� ada di bawahnya.
Demikian juga batu-batu yang kukuh atau tanah yang gersang serta sesuatu
yang pahit atau menjadi pahit, dan lain-lain.
ولربك :������� wa li �� Rabbika yang diterjemahkan
����������� dengan� ��karena
Tuhanmu saja.
Kalimat ini menuntut agar kesabaran dilaksanakan oleh
Nabi semata-mata karena Allah swt., bukan karena sesuatu yang lain. Ayat ini
melalui kalimat wa li Rabbika ingin menegaskan bahwa yang dituntut
adalah pelaksanaan perintah Allah dengan penuh ketabahan dan kesabaran, apa pun
hasil yang dapat dicapai akibat ketabahan dan kesabaran tersebut.
2.
Interprestasi: Kriteria Pendidik Menurut QS.
al-Mudatstir Ayat 1 � 7
Ayat ke-1 dalam surat ini
membahas tentang Nabi yang ditunjuk dan diseru oleh Alloh SWT untuk mendidik
dan berdakwah pada umat. Seruan pada ayat tersebut menggunakan kata Qum yang mengkhususkan Nabi agar berdiri dengan tegap memiliki sejumlah kemampuan yang
meliputi kepribadian yang dapat memikul sejumlah tanggungjawab dalam
melaksanakan tugas mulia yang dipikulkan oleh Allah kepadanya. Sebab,
sebagaimana diketahui, Nabi sendiri merupakan pendidik pertama yang sukses
mendidik umatnya, dan tentunya, hal tersebut karena Nabi sendiri memiliki
kriteria sebagai pendidik, seperti; (1) memiliki keahlian, (2) dijalani dengan
hati, (3) memiliki dan/atau menguasai teori, (4) dipraktikkan pada umat luas,
bukan diri sendiri, (5) memiliki otonomi khusus, (6) mempunyai kode etik, (7)
juga melibatkan diri dalam konteks intelektual.
Ayat ke-3 dalam surat ini
lebih menekankan diri Nabi�sebagai seorang pendidik dan pendakwah�yang
senantiasa mengagungkan Alloh SWT. Ini berarti bahwa pendidik dalam
melaksanakan tugasnya harus memiliki mental dan sikap yang kuat, yang
disandarkan pada keagungan Allah sebagai dasar kekuatan bagi dirinya, dimana
tiada sikap yang dilakukan melainkan Allah Yang Mahaagung senantiasa
mengetahuinya dan selalu tertanam dalam jiwanya bahwa tiada yang dapat melakukan
segala sesuatu� melainkan hanyalah bagian
yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan keagungan Allah.
Pada ayat yang ke-4, Nabi saw.
diperintahkan untuk membersihkan pakaian. Sebagai syarat seorang pendidik
selanjutnya dalam melaksanakan tugas, pendidik harus senantiasa menyucikan
diri, tampil bersih, senantiasa menjaga diri. Selain daripada konteks ragawi,
konteks bersih juga berlaku pada konteks batin, dimana seorang guru harus
senantiasa memiliki batin�di dalamnya termasuk budi�yang baik. Hal ini sejalan
dengan pendapat Al Abrasyi (1974:131) bahwa guru sebaiknya memiliki
sifat-sifat; Zuhud, tidak mengutamakan materi, mengajar dilakukan karena
mencari keridaan Allah. Berpenampilan lahiriyah menyenangkan. Berjiwa bersih,
tidak mempunyai dosa besar.
Ayat 7 yang sebagai analisis
ayat yang terakhir,� yang dianjurkan bagi
para pendidik ialah harus memiliki sifat sabar. Sabar atau ketabahan dalam
menghadapi sesuatu yang sulit, berat, pahit, yang harus diterima dan harus
dihadapi dengan penuh rasa tanggungjawab. Sebagaimana Rasul saw. diperintahkan
bershabar atas gangguan yang diterimanya saat melaksanakan tugas dakwah sampai
beliau disakiti dan diancam untuk dibunuh, namun beliau tetap bersabar
bersandar kepada Allah yang akan memberikan pertolongan dan memberikan kekuatan
padanya. Merupakan sifat-sifat guru pula untuk tetap sabar, tidak marah karena
hal-hal kecil, dan pemaaf (Al Abrasyi, 1974:131).
� Demikian dari Analisis yang telah penulis
laksanakan, bahwasanya dalam Surat al-Muddatstsir ini mengandung beberapa
kriteria pendidik yang harus diperhatikan sebagai pembekalan yang harus
terlebih dahulu dipersiapkan bagi para guru atau pendidik yang akan
melaksanakan tugas kependidikannya, atau sebagai� bahan acuan serta tandzir bagi para pendidik
yang telah melakukan tugas kependidikannya.
B.
Pembahasan
Berbekal dari kriteria Rasulullah
sebagai pendidik di atas marilah kita ambil pelajaran di masa sekarang ini,
pendidik harus percaya diri dengan sejumlah kompetensi yang harus
dimilikinya,� yang sesuai dengan standar
pendidik, sebagai pemenuhan kriteria-kriteria yang layak dimiliki seorang
pendidik. Sebagaimana tercantum dalam Sisdiknas dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 bagian Kesatu Pendidik pasal 28:
1)Pendidik
harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, 2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik
yang dibuktikan dengan Ijazah dan/atau sertifikasi keahlian yang relevan sesuai
ketentuan penrundang-undangan yang berlaku, 3) Kompetensi sebagai agen
pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak
usia dini meliputi: Kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, Kompetensi sosial (Undang-Undang Sisdiknas:77-78).
Pertama, kompetensi pedagodik, memberikan arti bahwa seorang guru� harus memahami ilmu mengajar sebagai bekal
dalam melakasanakan tugas mengajar, kemudian menguasai bahan ajar yang akan
disampaikannya, sehingga memiliki kinerja yang cukup baik sehingga menjadi
pendukung bagi profesinya. Kinerja itu dapat dibuktikan melalui sejumlah
dokumen kerja yang harus dibuktikan dengan adanya administrasi yang dibuat dan
disusun oleh seorang guru. Kinerja guru yang mampu dibuktikan antara lain:��
(1)Menyusun
rencana pembelajaran; (2) melaksanakan interaksi pembelajaran; (3) menilai
prestasi belajar peserta didik; (4) melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian
prestasi belajar peserta didik; (5) mengembangkan profesi; (6) memahami wawasan
pendidikan; (7) menguasai bahan kajian akademik (Direktorat Tenaga Kependidikan
Depdiknas 2003 dalam Supardi. 2013: 259).
Seorang guru harus menunjukkan
kinerjanya, karena �dalam tingkatan operasional, guru merupakan� penentu keberhasilan pendidikan melalui
kinerjanya pada tingkat institusional, intruksional dan ekperensial� Demikian
Surya mengungkapkan dalam Supardi (2013: 259)
Kedua, kompetensi kepribadian guru. Guru merupakan salah satu pekerjaan
(karier) yang menantang, bahkan banyak yang menyebutnya sebagai profesi yang
sangat� penting, tanpa guru tidak ada profesi
lain. Guru membentuk dan membangun pondasi bagi anak-anak, siswa-siswa,
murid-murid yang kelak� di masa depan
mereka akan membangun� sebuah kehidupan
dan peradaban. Guru tidak hanya memengaruhi masa depan anak didik tetapi
berpengaruh pada� hidup dan kehidupan
manusia, masyarakat, apakah kita masih sempat melihat perwujudannya ataupun
tidak, yang jelas keyakinan itu harus tertanam kuat agar apa yang
dilakukan� dalam menjalankan peran dan
tugas sebagai guru dapat terus-menerus diperbaiki dengan suatu tampilan pribadi
dan kepribadian yang baik. Ini berarti pilihan (baik atau buruk)� guru untuk menjalankan peran� dan tugas sebagai pendidik/pengajar akan
menjadi amat menentukan bagi pembentukan dan pembangunan masa depan bangsa,
masa depan anak-anak, siswa-siswa, murid-murid semua.
Kompetensi Kepribadian: �(1) arif
dfan bijaksana, (2) demokratis, (3) mantap, (4) berwibawa, (5) stabil, (6)
dewasa, (7) jujur (8) sportif, (8) menjadi teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, (9) secara objektif mengevaluasi diri (10) mengembangkan diri
secara mandiri dan berkelanjutan� (PP No 74 tahun 2008 dalam Uhar Suharsaputra
(2013: 35) .
Ketiga, kompetensi Profesional. Profesi identik dengan keahlian (expertise),
seorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai seorang ahli (expert).
Profesi juga mempunyai pengertian seorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan
keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berdasarkan intelektualitas.
Seorang guru tentu dikatakan sebagai
seorang yang profesional bila dalam melaksanakan tugas-tugas memiliki
kaidah-kaidah profesional sebagaimana profesi lain seperti dokter atau
akuntansi, dimana hal itu dapat menunjukkan pada suatu pekerjaan atau jabatan
yang menuntut keahlian, tanggung jawab, kesetiaan terhadap profesi. Lebih
lanjut lagi bahwa profesi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak
dilatih atau disiapkan untuk itu.
Keempat, kompetensi sosial. Kemampuan untuk berinteraksi sosial di lingkungan
sekitar,� melakukan komunikasi yang menyenangkan
dengan peserta didik, teman sejawat, terhadap atasan, atau terhadap lingkungan
masyarakat sekitar. Seorang guru akan menjadi pandangan dan perhatian dari
mulai penampilan cara berbapakaian sampai tutur katanya sangat diperhatikan,
sehingga dalam lapisan masyarakat tertentu guru dipandang sebagai seorang yang
intelek dan cakap dalam segala hal. Pandai bergaul dan supel di masyarakat
adalah sebagai suatu keberhasilan dalam melakukan pembinaan dan pendekatan
untuk memberikan motivasi kepada masyarakat terutama orang tua sehingga apa
yang menjadi tujuan sekolah dapat dilakukan secara bersama dan bekerjasama
dengan masyarakat dan orang tua, itu dapat dijembatani dengan kecerdasan sosial
yang harus dilakukan seorang guru.
Demikianlah begitu menyeluruh apa
yang tersirat dari hanya beberapa ayat Al-Qur�an yang Allah sampaikan melalui
wahyu-Nya kepada Nabi Muhammad sebagai utusan Allah dan sebagai pemberi
pelajaran yang diterimanya untuk disampaikan kepada umatnya.
Nyatalah sesuai dengan kriteria yang
terkandung dalam Undang-Undang Sisdiknas yang meliputi semua kompetensi,
meskipun tidak secara� tekstual
disampaikan, namun secara kontekstual merujuk dan sejalan dengan apa yang
seharusnya menjadi kriteria seorang guru; (1) seorang pendidik yang punya
keahlian; dijalani sepenuh hati, memiliki teori-teori yang baku, dipraktikkan
pada masyarakat luas bukan hanya untuk dirinya sendiri, otonomi dalam
profesinya, memiliki kode etik, melibatkan intelektualnya, (2) Sifat guru harus
bijaksana, rendah hati, tidak menyombongkan diri, merasa paling benar, (3)
Berpenampilan bersih, performa yang menyenangkan, bersih secara batiniyah,
menjaga diri dari sikap dan tindakan yang tidak sesuai dengan profesi, bersikap
terpuji dan menjauhkan diri dari sikap-sikap yang tercela yang dapat mencemari
bahkan menodai keprofesiannya. Bersih secara lahir, menampilkan seorang yang
selalu teratur rapi, bersih dan menyenangkan orang yang memandang, baik dari
cara berpakaian, penampilan rambut atau tutur kata, (4) Profesional. Disiplin
dalam menjalankan tugas, ulet dan setia, (5) Penyayang, penyabar, pemaaf, dan
tidak mudah putus asa.
Kesimpulan
Ayat
tersebut membekali guru dengan berbagai kriteria, seumpama Nabi Muhammad yang
harus bangkit untuk menyeru umat menyampaikan risalah Allah. Memiliki keahlian
adalah sebuah keniscayaan bagi seorang guru, ditunjang dengan disiplin yang
tinggi, bekerja dengan ikhlas dan sepenuh hati, mengerti dan memahami
teori-teori pendidikan dan pembelajaran, intelektualitas, mempraktikkan bagi
dirinya sendiri dan masyarakat luas. Bersifat bijaksana, rendah hati,
berpenampilan bersih, performa yang menarik menampakkan bersih secara bathin
yang berakhlakul karimah, profesional, menjadi penyayang, guru sebagai pengayom
dan pembimbing, ulet dan tidak pantang menyerah.� Kriteria tersebut harus melekat sehingga
menjadi kepribadian seorang guru. Betapa penting keribadian guru. Kepribadian
dapat memengaruhi secara signifikan pada proses pendidikan/pembelajaran,
sebagaimana Rasulullah SAW menjadi suri tauladan bagi umatnya. Sebaliknya
kegagalan dalam mengembangkan prestasi siswa tentu salah satunya dapat
diakibatkan oleh keribadian guru.
BIBLIOGRAFI
Ahmad
Tafsir. 2008. Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Rosda Karya
Amini,
Ibrahim. 2006. Agar Tak Salah Mendidik. Jakarta:
Al-Huda.
Athiyyah Al-Abrasyi, M. 1974. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Dradjat,
Zakiah. 2001. Metode Khusus Pengajaran
Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasan Fahmi, Asma. 1979. Mahadiut Tarbiyatil Islamiyah. Terjemahan
Ibrahim Husein, Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Ihsan,
Hamdani dan Fuad Hasan. 2007. Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Langgulung,
Hasan. 1984. Kreativitas dan Pendidikan
Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Muin
Salim, Abd. 2005. Metodologi Ilmu Tafsir.
Yogyakarta: Teras.
Musthafa
Al-Maraghi, Ahmad. 1993. Tafsir
Al-Maraghi. Semarang: Karya Toha Putra.
Nasution,
S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik
Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Quraish
Shihab, M. 1992. Tafsir Al-Amanah. Jakarta:
Pustaka Kartini.
�����_____________,
M. 2010. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta:
Lentera Hati
Ramayulis.
1998. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
_________.
2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
Rizali,
Ahmad dkk. 2009. Dari Guru Konvensional
Menuju Guru Profesional. Jakarta: Gramedia.
Safari,
Irwan dan Yeni Nopiyanti. 2010. Paradigma
Baru Profesi Guru. Bandung: Mujahid Press.
Sugiyono.
2007. Metode Penelitian Kualitatif,
Kuantitatif dan R & D. Jakarta: Alfabeta.
Suharsaputra,
Uhar. 2013. Menjadi Guru Berkarakter. Bandung:
Refika Aditama.
Supardi.
2013. Kinerja Guru. Depok: Raja
Grafindo Persada.
Syah,
Muhibin. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung:
Rosdakarya.