Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 6, No. 12, Desember 2021

 

ANALISIS PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE, FINANCIAL INDICATORS DAN FAKTOR MAKRO-EKONOMI TERHADAP FINANCIAL DISTRESS

 

Amanda Ratri Yasmin, Harjum Muharam

Magister Manajemen Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Jawa Tengah Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji pengaruh corporate governance (managerial ownership dan institutional ownership), financial indicators (leverage dengan proksi DAR, liquidity dengan proksi current ratio dan profitability dengan proksi ROA) dan faktor makro-ekonomi (sensitivitas nilai inflasi) terhadap financial distress. Metode penelitian menggunakan regresi logistik dengan bantuan program SPSS 22. Populasi penelitian ini meliputi seluruh perusahaan non-keuangan yang terdaftar di Indonesia (IHSG), Malaysia (KLSE), dan Thailand (SET) periode tahun 2013-2017). Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi dengan kreteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, meliputi perusahaan non-keuangan yang terdaftar dalam IHSG, KLSE dan SET yang menerbitkan annual report atau laporan tahunan yang lengkap selama periode 2013 � 2017. Hasil temuan penelitian ini terhadap financial distress di Indonesia adalah liquidity dan firm size berpengaruh negatif secara signifikan terhadap kemungkinan financial distress. Lalu hasil temuan penelitian ini terhadap financial distress di Malaysia adalah firm size berpengaruh negatif signifikan terhadap kemungkinan financial distress. Selanjutnya hasil temuan penelitian ini terhadap financial distress di Thailand adalah profitability dan firm size berpengaruh negatif signifikan terhadap kemungkinan financial distress.������ Setelah itu hasil temuan penelitian ini terhadap financial distress di gabungan tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah liquidity dan firm size berpengaruh negatif signifikan terhadap kemungkinan financial distress.

Kata Kunci:�� financial distress; corporate governance; leverage; profitabilitas; likuiditas; sensitivitas nilai inflasi

 

Abstract

This study aimed at examining the effects of corporate governance (managerial ownership dan institutional ownership), financial indicators (leverage with DAR as the proxy, liquidity with current ratio as the proxy and profitability with ROA as the proxy) and macro-economic factor (inflation sensitivity) towards financial distress.

The research method used logistic regression with the help of the SPSS 21 program. The population of this study included all non-financial companies listed in Indonesia (IHSG), Malaysia (KLSE), and Thailand (SET) for the period 2013-2017). The sample of this study is part of the population with certain predetermined criteria, including non-financial companies listed in the IHSG, KLSE and SET that publish complete annual reports during the 2013 - 2017 period. The findings of this study on financial distress in Indonesia is that liquidity and firm size have a significant negative effect on the possibility of financial distress. Then the findings of this study on financial distress in Malaysia is that firm size has a significant negative effect on the possibility of financial distress. In Thailand, the findings of this study on financial distress are that profitability and firm size have a significant negative effect on the possibility of financial distress. After that, the findings of this study on financial distress in a combination of three countries, namely Indonesia, Malaysia and Thailand, is liquidity and firm size has a significant negative effect on the possibility of financial distress.

 

Keywords: financial distress; corporate governance; leverage; liquidity; profitability; inflation sensitivity

 

Received: 2021-11-20; Accepted: 2021-12-05; Published: 2021-12-20

 

Pendahuluan

Pada tahun 2018, isu mengenai siklus krisis ekonomi sepuluh tahunan mulai kembali diperbincangkan oleh berbagai pihak. Meskipun belum ada bukti pasti mengenai kebenaran apakah siklus ini memang terjadi setiap sepuluh tahun sekali atau hanya suatu kebetulan saja. Namun, krisis ekonomi pada tahun 1998 dan juga tahun 2008 lalu merupakan krisis yang memberikan dampak yang buruk baik bagi perekonomian nasional maupun global.

Menurut data yang dipublikasikan oleh pihak Bank Indonesia, exchange rate �rupiah terhadap dolar AS pada tahun 1998 adalah senilai 16.950 per satu dolar AS. Lalu pada tahun 2008 nilai tukar rupiah bernilai 12.675 per satu dolar AS, dan per bulan November 2018 kurs rupiah mencapai nilai 15.267 per satu dolar AS. Sedangkan data publikasi terkait inflasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk tahun 1998 dan 2008 berturut-turut adalah 82,40% dan 12,14%. Lalu per bulan November 2018 tingkat inflasi di Indonesia adalah sebesar 3,41%.

 

Tabel 1

Indikator dari Krisis Ekonomi

Faktor Krisis Ekonomi

1998

2008

2018

Nilai Tukar IDR - USD

16.950

12.675

15.253

Inflasi

82,40%

12,14%

3,20%

(Sumber: Publikasi Bank Indonesia yang diolah)

��

Menurut (Iramani, 2007), variabel makro-ekonomi merupakan faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kondisi financial distress. Indikator dari faktor makro-ekonomi dapat diukur dari nilai sensitivitas nilai tukar dan nilai sensitivitas inflasi. Sensitivitas perusahaan terhadap variabel makro-ekonomi dapat memperlihatkan bagaimana tingkat perubahan variabel makro-ekonomi akan mempengaruhi perusahaan. Apabila tingkat sensitivitas bernilai semakin tinggi terhadap variabel makro-ekonomi di suatu perusahaan, dapat dikatakan bahwa risiko perusahaan tersebut untuk mengalami kesulitan keuangan atau financial distress menjadi semakin tinggi pula.

Literatur empiris terkait corporate governance dan kinerja keuangan perusahaan di negara berkembang ataupun di negara maju sudah tersedia secara luas. Namun, ketersediaan literatur dapat dikatakan terbatas untuk yang berkaitan dengan hubungan antara corporate governance dan kemungkinan keadaan financial distress perusahaan. Keterkaitan antara struktur corporate governance dan kemungkinan financial distress telah menjadi isu inti dalam studi corporate governance saat ini, setelah krisis keuangan pada tahun 1998 lalu pada tahun 2008 serta masalah keuangan perusahaan-perusahaan ternama di seluruh dunia seperti Lehman Brothers, World COM, dan Enron).

Dari sisi faktor finansial, penggunaan indikator finansial perusahaan dalam memprediksi keadaan keuangan perusahaan di kemudian hari dapat sangat berguna sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan yang tepat (Almilia, 2004). Terdapat beberapa macam indikator finansial diantaranya adalah leverage, rasio likuiditas dan profitabilitas (Jimming L., 2011). Financial indicators tersebut didapatkan dari analisis berbagai rasio finansial yang telah dilampirkan pada laporan keuangan tahunan (annual report) yang diterbitkan suatu perusahaan. Berdasarkan pernyataan Altman (1968) bahwa �berbagai rasio keuangan yang ada dapat bermanfaat untuk melakukan prediksi atas kondisi kesulitan keuangan (financial distress) suatu perusahaan dengan tingkat ketepatan prediksi yang cukup tinggi� (Hanifah, 2013).

 

Gambar 1

Grafik Jumlah Perusahaan dengan Nilai Earning Per Share Negatif pada Sektor Non Keuangan di Indonesia, Malaysia dan Thailand

�(Sumber: Bloomberg data terminal, 2018)

 

Pada Gambar 1 dapat menunjukkan bahwa jumlah perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai EPS (Earning Per Share) yang negatif pada sektor non keuangan di Indonesia, Malaysia dan Thailand mulai tahun 2013 hingga 2017. Berdasarakan data yang diperoleh dari Bloomberg data terminal, perusahaan pada sektor non keuangan di ketiga negara yang memiliki nilai EPS negatif cenderung mengalami kenaikan. Hal ini lah yang menjadikan alasan nilai EPS perusahaan sebagai proksi untuk menentukan apakah suatu perusahaan mengalami kondisi financial distressi atau kesulitan keuangan.

Berdasarkan penelitian yang diteliti oleh (Kristanti, Rahayu, & Huda, 2016) serta (Al-Khatib & Al-Horani, 2012) perusahaan dinyatakan mengalami kesulitan keuangan dengan memberikan kriteria bahwa perusahaan berada pada kondisi dimana pendapatan per lembar saham �atau EPS perusahaan bernilai negatif di akhir periode (Elloumi & Gueyi�, 2001). Hal ini didukung oleh hasil temuan penelitian-penelitian terdahulu yaitu bahwa perusahaan dengan corporate governance yang baik memiliki EPS yang tinggi.

Pendapatan per lembar saham atau EPS digunakan sebagai alat ukur kondisi kemungkinan financial distress dari suatu perusahaan karena melalui nilai EPS dari akhir periode, dapat diketahui seperti apa kinerja perusahaan pada periode sebelumnya dan perkembangan kedepannya secara implisit (Wicaksana, Muharam, & Mawardi, 2017). Penelitian ini akan membahas secara lebih menyeluruh mengenai pengaruh tata kelola perusahaan (managerial ownership dan institutional ownership) serta indikator-indikator finansial (leverage, rasio likuiditas dan profitabilitas) serta faktor makro-ekonomi (sensitivitas nilai inflasi) pada perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan mengunakan kriteria pengukuran EPS (earning per share).

Tujuan dari riset ini adalah untuk melakukan analisis tentang bagaimana corporate governance, financial indicator dan faktor makro-ekonomi akan mempengaruhi financial distress yang diproksikan menggunakan nilai EPS negatif.��������������

A.    Agency Theory

Asumsi dari teori agensi atau teori keagenan adalah setiap individu yang berkaitan dengan perusahaan akan bertindak atas kepentingan masing-masing yang tentunya mereka akan melakukan hal yang menguntungkan untuk mereka sendiri. Shareholder yang bertindak sebgai pihak prinsipal dianggap hanya akan memperhatikan return (hasil keuangan) yang meningkat atau terhadap investasi miliknya di perusahaan tersebut� karena hal-hal itulah yang menguntungkan untuk mereka. Sedangkan agen yaitu pihak manajemen dianggap akan mendapatkan kepuasan dalam bentuk kompensasi finansual beserta syarat-syarat yang terkait dengan hubungan tersebut.

Dengan adanya pemisahan diantara pengelolaan dan kepemilikan perusahaan, hal ini dapat memunculkan suatu konflik yang biasa disebut dengan konflik kepentinga atau agency conflict. Terjadinya agency conflict disebabkan oleh adanya kepentingan yang saling bertentangan antara pihak yang berkaitan dengan perusahaan yakni pihak prinsipal selaku pemberi kontrak (shareholders) dengan pihak agen yang merupakan penerima kontrak dan pengelola dana yang dimiliki oleh pihak prinsipal.

(Jensen & Meckling, 1976), merumuskan tiga tipe konflik kepentingan yaitu: konflik yang pertama adalah konflik diantara pemegang saham (shareholders) dan pengelola. Konflik kepentingan yang kedua adalah antara kreditor dan pemegang saham (shareholders). Konflik kepentingan yang ketiga terjadi antara shareholders mayoritas dan minoritas. Teori keagenan memberikan pandangan bahwa dengan adanya pemisahan pihak agen dengan pihak prinsipal, hal ini lah yang menyebabkan timbulnya kemungkinan probabilitas dari terjadinya konflik kepentingan yang akan berdampak kondisi finansial suatu perusahaan. Bersamaan dengan munculnya agency conflict, pihak pemilik suatu perusahaan terpaksa harus membayarkan biaya tambahan yang dikenal dengan biaya agensi. Biaya agensi dapat pula dianggap sebagai biaya non-esensial, namun biaya ini perlu dikeluarkan oleh pemilik suatu perusahaan dengan tujuan untuk mengurangi tindakan-tindakan atau hal-hal yang mungkin dapat merugikan bagi perusahaan yang dilakukan oleh para pengelola perusahaan.

Maka, dalam suatu perusahaan dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat berupa sistem atau teknik untuk mengendalikan dan mampu mensejajarkan kepentingan yang dimiliki baik pihak prinsipal maupun pihak agen. Hal ini lah yang menjadikan agency theory atau teori keagenan sebagai landasan teoritis yang mempengaruhi dan berkontribusi untuk penerapan konsep good corporate governance di berbagai perusahaan. Mekanisme dari tata kelola perusahaan bertujuan untuk menciptakan suatu value-added atau nilai tambah untuk seluruh pihak-pihak yang berkepentingan, maka perusahaan mampu untuk mengurangi masalah keagenan beserta konflik kepentingan yang timbul diantara pihak-pihak terkait seperti pihak prinsipal dan pihak manajemen sehingga terjadi persamaan kepentingan antara kedua belah pihak.

B.     Pecking Order Theory

Teori pecking order adalah teori yang berbicara tentang dasar dari keputusan pendanaan perusahaan. Teori ini berasumsi bahwa perusahaan yang berprofitabilitas tinggi berkecenderungan menggunakan hutang dalam jumlah kecil. Pada umumnya, pecking order theory ini menjelaskan alasan-alasan kenapa perusahaan yang profitable menggunakan utang dengan jumlah yang tidak banyak atau sedikit. Sebab dari hal itu bukanlah karena perusahaan tersebut membutuhkan pendanaan eksternal yang sedikit ataupun karena mempunyai target rasio utang yang rendah, akan tetapi untuk perusahaan yang dinilai kurang profitable karena perusahaan tersbut tidak memiliki dana internal yang mencukupi akan cenderung menggunakan utang dengan jumlah yang lebih tinggi, sehingga utang adalah sumber dana eksternal yang biasanya dipilih oleh perusahaan karena utang merupakan jenis sumber dana eksternal yang lebih disukai oleh perusahaan yang kurang profitable. Pernyataan ini kemudian diperjelas oleh (Brealey et all, 2001) dimana, �kebanyakan perusahaan yang menguntungkan lebih sedikit menggunakan hutang karena perusahaan menguntungkan dianggap memiliki pendanaan internal yang memadai.�

C.    Managerial Ownership dan Financial Distress

Menurut (Jensen & Meckling, 1976), kepentingan pihak manajemen harus sejalan dengan kepentingan shareholders lainnya. Dengan adanya perbedaan kepentingan antara shareholders dan pihak manajemen, hal ini dapat mengakibatkan munculnya agency conflict. Misalnya, apabila managerial ownership di suatu perusahaan itu kecil maka utang yang dimiliki perusahaan mungkin akan tinggi karena pihak manajerial memiliki kewajiban untuk membayar bunga. Tentunya hal ini tidak sejalan dengan kepentingan pemegang saham yang menginginkan perusahaannya memiliki tingkat utang yang rendah. Managerial ownership lebih terlihat hanya sebagai suatu simbol yang meningkatkan nilai suatu perusahaan untuk menarik minat investor. Apabila suatu perusahaan memiliki persentase managerial ownership yang cukup tinggi, maka anggapan yang akan dimiliki oleh para investor adalah nilai perusahaan yang meningkat karena dalah kepemilikan saham oleh pihak pengelola perusahaan. Penelitian (Triwahyuningtias & Muharam, 2012) menyatakan bahwa managerial ownership berpengaruh negatif terhadap kesulitan keuangan atau financial distress. Berdasarkan penjabaran terkait hubungan antara managerial ownership dan financial distress, maka dibentuk hipotesis yang berbunyi:

H1: Managerial ownership berpengaruh negatif terhadap probabilitas terjadinya financial distress.

D.    Institutional Ownership dan Financial Distress

Dengan asumsi yang berdasarkan dari agency theory memberikan pandangan bahwa institutional ownership merupakan pihak prinsipal yang dikarenakan mereka adalah pihak yang menginvestasikan dananya untuk dikelola oleh pihak agen atau manajemen. Pihak prinsipal akan melakukan pengawasan terhadap fungsi pengelolaan dari agen terkait yang mengelola dana yang diinvestasikan, sehingga dana yang diinvestasikan mampu dikelola dengan baik oleh pihak manajemen. Menurut (Parulian, 2012), institutional ownership atau kepemilikan saham oleh pihak institusi keuangan dapat mengawasi pihak manajemen agar berhati-hati dalam mengambil sikap dalam melaksanakan operasional usahanya sehingga dapat terhindar dari kondisi financial distress atau kesulitan keuangan. Penelitian Udin et al. (2017) dalam (Suntraruk, 2010) menunjukkan bahwa institutional ownership atau kepemilikan saham oleh pihak institusi berpengaruh negatif terhadap kesulitan keuangan (financial distress). Berdasarkan penjabaran terkait hubungan antara institutional ownership dan financial distress, maka dibentuk hipotesis yang berbunyi:

H2: Institutional ownership berpengaruh negatif terhadap probabilitas terjadinya financial distress.

E.     Leverage dan Financial Distress

Leverage dapat dijelaskan sebagai indikator keuangan yang dapat memperlihatkan kemampuan keuangan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya, baik kewajiban untuk jangka panjang ataupun kewajiban untuk jangka pendek. Menurut Van Horne dan Wachowicz (2011), semakin tinggi leverage yang dimiliki perusahaan maka akan semakin tinggi financial risk yang akan dihadapi oleh perusahaan tersebut.

(Brigham, E.F., 2003) menjelaskan bahwa perusahaan mungkin menghadapi risiko kebangkrutan jika rasio hutang meningkat yang diakibatkan oleh pinjaman tambahan dana. Risiko kebangkrutan perusahaan pada tahap awal dapat diketahui dari kondisi perusahaan, yaitu jika perusahaan tersebut mengalami keadaan financial distress. Jika perusahaan memiliki leverage yang tinggi, hal ini dapat membuat perusahaan tersebut dalam bahaya karena jika utang yang dimiliki semakin banyak tentunya hal ini akan menyulitkan perusahaan tersebut untuk melunasi kewajibannya. Dengan memiliki nilai leverage yang tinggi dapat dinyatakan bahwa perusahaan tersebut �belum mampu untuk mendanai usahanya dengan hanya menggunakan dana perusahaan itu sendiri. Sebagaimana asumsi dari pecking order theory dimana perusahaan akan memilih untuk melakukan internal financing jika mampu. Sebab dengan memilih pendanaan eksternal yang biasanya berbentuk utang akan menyebabkan leverage yang dimiliki suatu perusahaan semakin besar.

Berdasarkan penelitian (Miglani, Ahmed, & Henry, 2015) serta (Triwahyuningtias & Muharam, 2012) didapatkan hasil dimana leverage terbukti berpengaruh secara positif terhadap kesulitan keuangan atau financial distress. Hal ini mengindikasi bahwa indikator leverage dapat digunakan untuk memperkirakan probabilitas kondisi kesulitan keuangan (financial distress). Berdasarkan penjabaran terkait hubungan antara leverage dan financial distress, maka dibentuk hipotesis yang berbunyi:

H3: Leverage berpengaruh positif terhadap probabilitas terjadinya financial distress.

F.     Liquidity dan Financial Distress

Likuiditas merupakan indikator finansial yang memperlihatkan bagaimana suatu perusahaan memiliki kemampuan untuk melunasi kewajiban-kewajiban finansialnya yang harus dipenuhi dengan segera oleh perusahaan tersebut, atau dapat juga dikatakan sebagai kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya disaat jatuh tempo atau ditagih. Jika nilai likuiditas yang dimiliki suatu perusahaan bernilai baik, perusahaan akan mengirimkan sinyal positif melalui laporan keuangan yang diterbitkan terhadap pihak eksternal. Menurut agency theory, keputusan atas utang piutang suatu perusahaan berada di bawah kendali pihak manajemen. Maka jika pada saat ini terdapat kewajiban keuangan perusahaan yang jatuh tempo, hal ini merupakan akibat dari keputusan manajemen. Pihak manajemen mungkin mengambil keputusan untuk melakukan kredit atau pinjaman pada pihak eksternal perusahaan di masa lalu. Apabila suatu perusahaan memiliki kewajiban-kewajiban yang telah jatuh tempo dengan total jumlah yang terlalu banyak, maka perusahaan perlu untuk melakukan penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui apakah terjadi kesalahan atas pengelolaan perusahaan yang dilakukan oleh manajemen. Hal ini dapat meningkatkan probabilitas dan risiko perusahaan untuk mengalami kondisi kesulitan keuangan jika keadaan tersebut berlanjut karena tidak cepat ditangani oleh perusahaan. Maka dari itu, apabila perusahaan memiliki kemampuan untuk membiayai dan melunasi kewajiban-kewajiban terutama kewajiban jangka pendeknya dengan baik maka probabilitas untuk terjadinya kondisi financial distress atau kesulitan keuangan akan menjadi semakin kecil untuk perusahaan tersebut.

Menurut (Nindita & Moeljadi, 2014) yang telah melakukan penelitian sebelumnya, didapatkan hasil temuan bahwa liquidity memiliki pengaruh secara negatif terhadap kesulitan keuangan. Sehingga rumusan hipotesis berdasarkan penjabaran terkait hubungan antara liquidity dan financial distress, berbunyi:

H4: Liquidity berpengaruh negatif terhadap probabilitas terjadinya financial distress.

G.    Profitability dan Financial Distress�������

Profitabilitas digunakan sebagai indikator yang memperlihatkan kemampuan perusahaan dalam mendapatkan profit dari setiap penjualan yang dihasilkan atau bisa dikatakan sebagai hasil akhir yang bersih dari berbagai keputusan dan kebijakan yang ada (Mas�ud dan Srengga, 2012). Menurut agency theory, kegiatan operasional suatu perusahaan merupakan tugas dari pihak manajemen atau agent. Maka dari itu, pihak manajemen dapat dikatakan berhasil dalam melakukan pengambilan keputusan terbaik dalam mengelola perusahaan tersebut jika perusahaan tersebut berhasil memiliki laba yang tinggi. Sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi nilai dari rasio profitabilitas ini seharusnya mengurangi probabilitas suatu perusahaan untuk mengalami kondisi financial distress atau kesulitan keuangan. Dalam kata lain, nilai profitabilitas yang tinggi merupakan hal yang baik karena merupakan pertanda bahwa laba yang diperoleh perusahaan semakin besar yang menyebabkan probabilitas perusahaan mengalami keadaan financial distress akan menjadi semakin kecil.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh (Almilia, L.S., 2003) serta (Manzaneque, Priego, & Merino, 2016) didapatkan hasil bahwa profitability terbukti berpengaruh negatif terhadap financial distress (kesulitan keuangan). Hal ini dikarenakan, jika tingkat profitabilitas yang dimiliki suatu perusahaan semakin besar, maka probabilitas atau probabilitas perusahaan tersebut untuk mengalami kondisi financial distress (kesulitan keuangan) akan menjadi lebih kecil, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga dapat ditentukan rumusan hipotesis sebagai berikut:

H5: Profitability berpengaruh negatif terhadap probabilitas terjadinya financial distress.

H.    Faktor Makro-Ekonomi dan Financial Distress

Sensitivitas perusahaan merupakan tingkat kepekaan suatu perusahaan terhadap faktor-faktor makro ekonomi. Dalam penelitian ini, hubungan antara sensitivitas perusahaan mengenai faktor makro-ekonomi dan return saham perusahaan direpresentasikan dengan multi-factor model. Langkah pertama adalah menganalisis perubahan sensitivitas perusahaan mengenai faktor makro-ekonomi terhadap return saham perusahan. Return saham inilah yang menggantikan sensitivitas perusahaan. Setelah didapatkan hasil sensitivitas perusahaan atas inflasi, lalu langkah kedua adalah menganalisis hasil dari analisis sensitivitas tersebut terhadap financial distress. Dengan kata lain, perubahan faktor makro-ekonomi yang dilihat dari tingkat sensitivitas perusahaan akan mengakibatkan perubahan yang akan mempengaruhi return saham suatu perusahaan.

Beaver (1996) dan Scott (1981) dalam (Tirapat & Nittayagasetwat, 1999) membenarkan adanya hubungan antara return saham perusahaan dengan kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Apabila suatu perusahaan memiliki tingkat return yang tinggi, kemungkinan financial distress untuk terjadi pada perusahaan tersebut akan semakin kecil. Sehingga dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H6: Faktor makro-ekonomi berpengaruh negatif terhadap probabilitas perusahaan mengalami financial distress.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini memakai data sekunder. Untuk data sekunder sendiri merupakan data yang tidak diperoleh langsung melainkan mengambil data-data yang telah tersedia. Data tersebut diambil dari bursa saham Indonesia (IHSG), Malaysia (KLSE), dan Thailand (SET) melalui Bloomberg. Populasi penelitian ini meliputi seluruh perusahaan non-keuangan yang terdaftar di bursa saham Indonesia (IHSG), Malaysia (KLSE), dan Thailand (SET) periode tahun 2013-2017. Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi dengan kreteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dari banyaknya perusahaan non-keuangan yang listing di bursa saham periode 2013-2017 di Indonesia (IHSG) periode sebanyak 640 perusahaan, Malaysia (KLSE) sebanyak 1500 perusahaan, dan Thailand (SET) sebanyak 1000 perusahaan. Sampel perusahaan tersebut dipilih berdasarkan purposive sampling.

Penelitian ini menggunakan alat analisis berupa regresi logistik akan digunakan sebagai metode analisis untuk menguji hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan. Selain itu, digunakan juga uji statistik deskriptif dengan tujuan untuk mengilustrasikan variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini dengan menggunakan program SPSS 21. Berikut ini merupakan model untuk regresi logistik yang digunakan dalam penelitian ini:

 

Ln (p/1-p) = α + β0 MO + β1 IO + β2 LV + β3 LQ + β4 PR + β5 SI + β6 FS + β7 AG + ɛ

 

Alat pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik yang dilakukan dengan Program SPSS 21. Pengujian hipotesis meliputi uji Hosmer and Lemeshow Test, Omnibus Tests of Model Coefficients, Cox and Snell�s R Square dan Nagelkerke R Square.

 

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini mencangkup seluruh perusahaan pada sektor non keuangan yang terdaftar di Indonesia (IHSG) periode tahun 2013-2017 sebanyak 640 perusahaan, Malaysia (KLSE) periode tahun 2013-2017 sebanyak 1500 perusahaan, dan Thailand (SET) periode tahun 2013-2017 sebanyak 1000 perusahaan. Sampel perusahaan tersebut dipilih berdasarkan purposive sampling. Perusahaan yang digunakan dalam objek penelitian ini merupakan perusahaan yang menyampaikan data secara lengkap berkaitan dengan variabel penelitian baik perusahaan yang mengalami dan tidak mengalami financial distress atau kesulitan keuangan.

Tabel 2

Statistik Deskriptif Indonesia

 

N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

Financial distress

640

,00

1,00

,0547

,22755

Managerial ownership

640

,00

51,32

2,4466

6,99530

Institutional ownership

640

,00

98,66

39,4848

30,68630

Leverage

640

,00

79,97

20,2702

16,85376

Likuiditas

640

,00

15,16

2,2703

1,90144

Profitabilitas

640

-20,56

43,93

7,7558

8,30183

Sensitivitas nilai inflasi

640

-13,09

31,50

,0055

1,77990

Firm size

640

10,05

23,80

19,0962

2,20434

Asset growth

640

-46,03

274,77

14,1300

21,89597

Sumber: Hasil output SPSS, 2019

 

Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa hasil pengolahan data statistik deskriptif menunjukkan bahwa variabel independen managerial ownership (MO), institutional ownership (IO), leverage (LV) dan likuiditas (LQ) mempunyai nilai minimum yang sama yaitu sebesar 0. Variabel independen pertama yaitu managerial ownership (MO) memiliki nilai maksimum 51,32% yaitu PT Elang Mahkota Teknologi Tbk dan nilai mean 2,4466% dengan standar deviasi 6,9953. Variabel independen kedua yang merupakan institutional ownership (IO) memiliki nilai maksimum 98,66% yang dimiliki PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk dan nilai mean 39,4848% dengan standar deviasi sebesar 30,6863. Variabel independen ketiga adalah leverage (LV) yang memiliki nilai maksimum sebesar 79,97% yaitu PT Tower Bersama Infrastructure Tbk dan nilai mean 20,2702% dengan standar deviasi senilai 16,85376. Variabel independen keempat merupakan likuiditas (LQ) yang memiliki nilai maksimum 15,16% yaitu PT Duta Pertiwi Nusantara Tbk dan nilai mean sebesar 2,2703% dengan standar deviasi 1,90144. Variabel independen selanjutnya adalah profitabilitas (PR) yang memiliki nilai minimum -20,56% yaitu PT Bumi Resources Minerals Tbk dan nilai maksimum yang dimiliki PT Unilever Indonesia Tbk sebesar 43,93% serta nilai mean sebesar 7,7558% dengan standar deviasi 8,30183. Variabel independen berikutnya sensitivitas nilai inflasi (SI) yang memiliki nilai minimum -13,09 yaitu PT Supreme Cable Mnfctrg & Commerce Tbk dan nilai maksimum 31,5 serta nilai rata-rata 0,0055 dengan standar deviasi 1,7799. Berikutnya adalah variabel kontrol, dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu yang pertama adalah firm size (FS) yang memiliki nilai minimum 10,05 yaitu PT Inti Agri Resources Tbk dan nilai maksimum 23,8 yaitu PT Astra International Tbk serta nilai rata-rata 19,0962 dengan standar deviasi sebesar 2,20434. Lalu variabel kontrol yang kedua adalah asset growth (AG) dimana nilai minimumnya adalah sebesar -46,03% yaitu PT Bumi Resources Minerals Tbk dan niai maksimumnya sebesar 274,77% yaitu PT Island Concepts Indonesia Tbk serta nilai mean senilai 14,13% dengan standar deviasi senilai 21,89597.

 

 

 

Tabel 3

Statistik Deskriptif Malaysia

 

N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

Financial distress

1500

,00

1,00

,0300

,17064

Managerial ownership

1500

,00

86,85

14,7030

17,70488

Institutional ownership

1500

,00

100,87

34,0850

26,39785

Leverage

1500

,00

68,24

15,2751

14,30935

Likuiditas

1500

,03

65,30

3,4363

4,40383

Profitabilitas

1500

-96,18

73,07

7,4230

8,56944

Sensitivitas nilai inflasi

1500

-262,95

110,70

-,2812

8,04710

Firm size

1500

7,51

24,28

18,5889

2,15666

Asset growth

1500

-91,07

974,73

11,7923

38,45924

Sumber: Hasil output SPSS, 2019

 

Pada Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa hasil pengolahan data statistik deskriptif menunjukkan bahwa variabel independen managerial ownership (MO), institutional ownership (IO), dan leverage (LV) mempunyai nilai minimum yang sama yaitu sebesar 0. Variabel independen pertama yaitu managerial ownership (MO) memiliki nilai maksimum 86,85% yaitu Federal International Holdings Bhd dan nilai mean 14,703% dengan nilai standar deviasi 17,70488. Variabel independen kedua yang merupakan institutional ownership (IO) memiliki nilai maksimum 100,87% yang dimiliki oleh Tasek Corp Bhd dan nilai rata-rata (mean) 34,085% dengan standar deviasi sebesar 26,39785. Variabel independen ketiga adalah leverage (LV) yang memiliki nilai maksimum sebesar 68,24% yaitu Ekovest Bhd dan nilai mean 15,2751% dengan standar deviasi senilai 14,30935. Variabel independen keempat merupakan likuiditas (LQ) yang memiliki nilai minimum 0,03% dan nilai maksimum 65,3% yaitu Gopeng Bhd dan nilai rata-rata (mean) sebesar 3,4363% dengan nilai standar deviasi 4,40383. Variabel independen selanjutnya adalah profitabilitas (PR) yang memiliki nilai minimum -96,18% yaitu Appsia Bhd dan nilai maksimum 73,07% yaitu British American Tobacco Malaysia Bhd serta nilai mean sebesar 7,423% dengan standar deviasi 8,56944. Variabel independen berikutnya sensitivitas nilai inflasi (SI) yang memiliki nilai minimum -262,95 yaitu Khind Holdings Bhd dan nilai maksimum 110,7 yaitu CCK Consolidated Holdings Bhd serta nilai mean -0,2812 dengan standar deviasi 8,0471. Berikutnya adalah variabel kontrol, dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu yang pertama adalah firm size (FS) yang memiliki nilai minimum 7,51 yaitu Appsia Bhd dan nilai maksimum 24,28 serta nilai rata-rata 18,5889 dengan standar deviasi sebesar 2,1566. Lalu variabel kontrol yang kedua adalah asset growth (AG) dimana nilai minimumnya adalah sebesar -91,07% yaitu Rev Asia Bhd dan niai maksimumnya sebesar 974,73% app mk serta nilai mean senilai 11,7923 dengan standar deviasi senilai 38,45924.

 

 

 

 

Tabel 4

Statistik Deskriptif Thailand

 

N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

Financial distress

800

,00

1,00

,0400

,19608

Managerial ownership

800

,00

74,64

15,7422

18,54536

Institutional ownership

800

,00

89,33

20,8685

21,17108

Leverage

800

,00

70,45

19,1955

17,79690

Likuiditas

800

,13

92,03

2,9449

4,82073

Profitabilitas

800

-80,25

48,67

7,8088

9,12227

Sensitivitas nilai inflasi

800

-12,41

18,73

-,0927

1,26201

Firm size

800

9,86

24,95

18,7262

2,25826

Asset growth

800

-48,04

590,60

9,4586

33,15635

Sumber: Hasil output SPSS, 2019

 

Pada Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa hasil pengolahan data statistik deskriptif dapat memperlihatkan bahwa variabel independen managerial ownership (MO), institutional ownership (IO), dan leverage (LV) mempunyai nilai minimum yang sama yaitu sebesar 0. Variabel independen pertama yaitu managerial ownership (MO) memiliki nilai maksimum yaitu 74,64% Sabina PCL dan nilai mean 15,7422% dengan nilai standar deviasi 18,54536. Variabel independen kedua yang merupakan institutional ownership (IO) memiliki nilai maksimum 89,33% yaitu Berli Jucker PCL dan nilai rata-rata (mean) 20,8685% dengan standar deviasi sebesar 21,17108. Variabel independen ketiga adalah leverage (LV) yang memiliki nilai maksimum sebesar 70,45% yaitu SPCG PCL dan nilai rata-rata (mean) 19,1955% dengan standar deviasi senilai 17,7969. Variabel independen keempat merupakan likuiditas (LQ) yang memiliki nilai minimum 0,13% yaitu G Steel PCL dan nilai maksimum 92,03% yaitu City Steel PCL dan nilai mean sebesar 2,0449% dengan standar deviasi 4,82073. Variabel independen selanjutnya adalah profitabilitas (PR) yang memiliki nilai minimum -80,25% yang merupakan Three Sixty Five PCL dan nilai maksimum 48,67% BEC World PCL serta nilai mean sebesar 7,8088% dengan standar deviasi 9,12227. Variabel independen berikutnya sensitivitas nilai inflasi (SI) yang memiliki nilai minimum -12,41 Advanced Info Service PCL dan nilai maksimum 18,73 serta nilai rata-rata -0,0927 dengan standar deviasi 1,26201. Berikutnya adalah variabel kontrol, dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu yang pertama adalah firm size (FS) yang memiliki nilai minimum 9,86 NEP Realty & Industry PCL dan nilai maksimum 24,95 PTT PCL serta nilai rata-rata 18,7262 dengan standar deviasi sebesar 2,25826. Lalu variabel kontrol yang kedua adalah asset growth (AG) dimana nilai minimumnya adalah sebesar -48,04% GMM Grammy PCL dan niai maksimumnya sebesar 590,60% yaitu Berli Jucker PCL serta nilai rata-rata (mean) senilai 9,4586% dengan standar deviasi senilai 33,15635.

 

 

 

 

 

Tabel 5

Statistik Deskriptif Gabungan 3 Negara (Indonesia, Malaysia dan Thailand)

 

N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

Financial distress

2734

,00

1,00

,0369

,18865

Managerial ownership

2734

,00

74,61

11,9349

16,40010

Institutional ownership

2734

,00

98,66

30,7238

26,71965

Leverage

2734

,00

79,97

17,9292

16,09394

Likuiditas

2734

,00

32,57

2,7640

2,58153

Profitabilitas

2734

-80,25

46,47

7,5354

7,31276

Sensitivitas nilai inflasi

2734

-15,42

18,73

-,0742

1,20798

Firm size

2734

7,51

24,95

18,7642

2,18242

Asset growth

2734

-66,79

325,08

10,2930

19,50377

Sumber: Hasil output SPSS, 2019

 

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa hasil pengolahan data statistik deskriptif menunjukkan bahwa variabel independen managerial ownership (MO), institutional ownership (IO), leverage (LV) dan likuiditas (LQ) mempunyai nilai minimum yang sama yaitu sebesar 0. Variabel independen pertama yaitu managerial ownership (MO) memiliki nilai maksimum 74,61% Sabina PCL dan nilai mean 11,9349% dengan nilai standar deviasi 16,4001. Variabel independen kedua yang merupakan institutional ownership (IO) memiliki nilai maksimum 98,66% yang dimiliki PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk dan nilai mean 20,7238% dengan standar deviasi sebesar 26,71965. Variabel independen ketiga adalah leverage (LV) yang memiliki nilai maksimum sebesar 79,97% yaitu PT Tower Bersama Infrastructure Tbk dan nilai rata-rata (mean) 17,9292% dengan standar deviasi senilai 16,09394. Variabel independen keempat merupakan likuiditas (LQ) yang memiliki nilai maksimum 32,57% yaitu FCW Holdings BHD dan nilai mean sebesar 2,764% dengan standar deviasi 2,58153. Variabel independen selanjutnya adalah profitabilitas (PR) yang memiliki nilai minimum -80,25% Three Sixty Five PCL dan nilai maksimum 46,47% Brooker Group PCL serta nilai mean sebesar 7,5354% dengan standar deviasi 7,31276. Variabel independen berikutnya sensitivitas nilai inflasi (SI) yang memiliki nilai minimum -15,42 yaitu Magni-Tech Industries Bhd dan nilai maksimum 18,73 TTCL PCL serta nilai mean -0,0742 dengan nilai standar deviasi sebesar 1,20798. Berikutnya adalah variabel kontrol, dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu yang pertama adalah firm size (FS) yang memiliki nilai minimum 7,51 AppAsia Bhd dan nilai maksimum 24,95 PTT PCL serta nilai rata-rata 18,7642 dengan standar deviasi sebesar 2,18242. Lalu variabel kontrol yang kedua adalah Asset Growth (AG) dimana nilai minimumnya adalah sebesar -66,79% AppAsia Bhd dan niai maksimumnya sebesar 325,08% yaitu GHL Systems Bhd serta nilai rata-rata (mean) senilai 10,293% dengan standar deviasi senilai 19,50377.

Sebelum melakukan pengujian mengunakan regresi logistik, langkah yang dilakukan pertama adalah melakukan uji Goodness of fit Test untuk menguji kelayakan model yang dilakukan untuk memastikan apakah model yang digunakan dalam penelitian sudah tepat atau cocok untuk menjelaskan data yang ada (antara model dengan data tidak ada perbedaan, sehingga model dapat dikatakan fit). Salah satu uji yang dapat dilakukan adalah dengan melihat nilai dari Hosmer and Lemeshow�s untuk Goodness of fit Test. Dimana apabila nilai p-value atau signifikansi lebih besar dari nilai α yang ditetapkan sebesar 0,05 maka model yang digunakan sudah tepat.

Tabel 6

Hosmer and Lemeshow Test

 

Chi-square

df

Sig.

Indonesia

,019

8

,793

Malaysia

,556

8

,591

Thailand

,164

8

,667

Gabungan 3 Negara

,412

8

,799

Sumber: Hasil output SPSS yang diolah, 2019

 

Dalam Omnibus Tests of Model Coefficients, jika nilai signifikansi memiliki nilai yang lebih kecil dari α yang bernilai sebesar 0,05 maka hal ini memperlihatkan adanya pengaruh yang signifikan dari kesembilan predictor yaitu managerial ownership, institutional ownership, leverage, liquidity, profitability, sensitivitas nilai inflasi, firm size dan asset growth secara sekaligus bersama-sama dapat menjelaskan terjadinya kesulitan keuangan atau financial distress perusahaan.

Tabel 7

Omnibus Tests of Model Coefficients

 

Chi-square

df

Sig.

Indonesia

271,478

10

,000

Malaysia

404,226

10

,000

Thailand

268,711

10

,000

Gabungan 3 Negara

864,499

10

,000

Sumber: Hasil output SPSS yang diolah, 2019

 

Nagelkerke R Square merupakan besaran nilai koefisien R square yang modifikasi dari koefisien Cox and Snell yang merupakan nilai ukur yang serupa dengan nilai ukur R2 pada multiple regression atau regresi berganda yang dimana berdasarakan pada teknik estimasi likehood.

Tabel 8

Cox and Snell�s R Square & Nagelkerke R Square

 

-2 Log likelihood

Cox & Snell

-2 Log likelihood

Indonesia

,000a

,346

,995

Malaysia

,000a

,236

,998

Thailand

,000a

,285

,900

Gabungan 3 Negara

, 019a

,271

,898

Sumber: Hasil output SPSS yang diolah, 2019

 

Dapat dilihat bahwa besaran nilai dari Cox and Snell�s R Square Indonesia adalah sebesar 0,346 dan nilai dari Nagelkerke R Square adalah sebesar 0,995 yang memiliki arti bahwa 99,5% variabilitas (keragaman) variabel financial distress perusahaan dapat dijelaskan oleh model sedangkan sisanya (yaitu sebesar 0,5%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model. Lalu di Malaysia Cox and Snell�s R Square adalah sebesar 0,236 dan nilai dari Nagelkerke R Square adalah sebesar 0,998 yang memiliki arti bahwa 99,8% variabilitas (keragaman) variabel financial distress perusahaan dapat dijelaskan oleh model sedangkan sisanya (yaitu sebesar 0,2%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model. Selanjutnya di Thailand Cox and Snell�s R Square adalah sebesar 0,285 dan nilai dari Nagelkerke R Square adalah sebesar 0,900 yang memiliki arti bahwa 90% variabilitas (keragaman) variabel financial distress perusahaan dapat dijelaskan oleh model sedangkan sisanya (yaitu sebesar 10%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model. Pada gabungan tiga negara (Indonesia, Malaysia, dan Thailand) Cox and Snell�s R Square adalah sebesar 0,271 dan nilai dari Nagelkerke R Square adalah sebesar 0,898 yang memiliki arti bahwa 89,8% variabilitas (keragaman) variabel financial distress perusahaan dapat dijelaskan oleh model sedangkan sisanya (yaitu sebesar 10,2%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk di dalam model.

Dalam melakukan pengujian hipotesis yang diajukan, analisis dilakukan menggunakan model regresi logistik yang menguji hubungan managerial ownership, institutional ownership, leverage, likuiditas, profitabilitas, sensitivitas nilai inflasi, dan variabel kontrol yaitu firm size dan asset growth terhadap perusahaan yang mengalami financial distress dan perusahaan nonfinancial distress yang tidak mengalami kondisi kesulitan keuangan. Hasil pengujian hipotesis disajikan pada Tabel 9 sampai dengan Tabel 12 sebagai berikut:

 

Tabel 9

Hasil Pengujian Koefisien Regresi Indonesia

 

B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Step 1a

 

MO

-,343

157,490

,000

1

,998

,709

IO

-,067

39,486

,000

1

,999

,935

DAR

,289

192,540

,000

1

,999

1,335

CR

-1,555

2723,876

,000

1

,060

,211

ROA

-,119

765,023

,000

1

,993

,888

NI

,454

1245,824

,000

1

,995

1,575

Size

-9,185

1432,792

,000

1

,001

,000

Growth

-,140

87,294

,000

1

,999

,869

Constant

139,799

21730,297

,000

1

,995

5,177E60

 

Berdasarkan hasil pengujian koefisien regresi pada Tabel 9 diatas maka dapat ditentukan persamaan logit sebagai berikut:

 

Ln (p/1-p)ID = 139,799 � 0,343 MO � 0,067 IO + 0,289 DAR � 1,555 CR � 0,119 ROA + 0,454 NI � 9,185 Size � 0,140 Growth

 


Tabel 10

Hasil Pengujian Koefisien Regresi Malaysia

 

B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Step 1a

 

MO

-,098

53,990

,000

1

,999

,907

IO

-,035

45,623

,000

1

,999

,966

DAR

,121

134,473

,000

1

,999

1,129

CR

-,706

562,605

,000

1

,999

,494

ROA

-,071

235,646

,000

1

,999

,932

NI

,002

271,464

,000

1

,999

1,002

Size

-7,421

436,556

,000

1

,001

,001

Growth

,037

23,974

,000

1

,999

1,037

Constant

105,814

6024,452

,000

1

,986

9,005E45

 

Berdasarkan hasil pengujian koefisien regresi untuk perusahaan-perusahaan di Malaysia pada Tabel 10 diatas maka dapat ditentukan persamaan logit sebagai berikut:

Ln(p/1-p)MY = 105,814 � 0,098 MO � 0,035 IO + 0,121 DAR � 0,706 CR � 0,071 ROA + 0,002 NI � 7,421 Size � 0,037 Growth

Tabel 11

Hasil Pengujian Koefisien Regresi Thailand

 

B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Step 1a

 

MO

-,137

121,529

,000

1

,999

,872

IO

-,016

89,009

,000

1

,800

,984

DAR

-,139

337,336

,000

1

,993

,870

CR

-1,038

1073,775

,000

1

,110

,354

ROA

1,010

583,006

,000

1

,099

2,746

NI

-,253

1469,088

,000

1

,900

,777

Size

-4,897

917,025

,000

1

,004

,007

Growth

,040

77,543

,000

1

,995

1,040

Constant

70,736

15384,153

,000

1

,996

5,250E30

 

Berdasarkan hasil pengujian koefisien regresi untuk perusahaan-perusahaan di Thailand pada Tabel 11 diatas maka dapat ditentukan persamaan logit sebagai berikut:

Ln(p/1-p)TH = 70,736 � 0,137 MO � 0,016 IO � 0,139 DAR � 1,038 CR + 1,010 ROA� 0,253 NI � 4,897 Size+ 0,040 Growth

Tabel 12

Hasil Pengujian Koefisien Regresi 3 Negara

(Indonesia, Malaysia, dan Thailand)

 

B

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Step 1a

 

MO

-,221

29,898

,000

1

,994

,801

IO

-,064

31,231

,000

1

,998

,938

DAR

,226

53,997

,000

1

,997

1,254

CR

-2,845

759,858

,000

1

,010

,058

ROA

,061

451,570

,000

1

,992

1,063

NI

,085

1204,327

,000

1

,996

1,089

Size

-8,616

415,796

,000

1

,002

,000

Growth

,021

35,981

,000

1

,998

1,021

Constant

131,991

6264,872

,000

1

,983

2,104E57


Berdasarkan hasil pengujian koefisien regresi untuk perusahaan-perusahaan di gabungan 3 Negara (Indonesia, Malaysia dan Thailand) pada Tabel 12 diatas maka dapat ditentukan persamaan logit sebagai berikut:

 

Ln(p/1-p)3N = 131,991 � 0,221 MO � 0,064 IO + 0,226 DAR � 2,845 CR + 0,061 ROA + 0,085 NI � 8,616 Size + 0,021 Growth

 

Berdasarkan pengujian hipotesis untuk variabel yang berkaitan dengan corporate governance diperoleh hasil bahwa managerial ownership dan institutional ownership berpengaruh secara negatif namun tidak signifikan terhadap kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan baik di Indonesia, Malaysia, Thailand maupun gabungan ketiga negara tersebut. Sedangkan hasil yang diperoleh dari pengujian hipotesis untuk variabel-variabel mengenai financial indicator adalah leverage berpengaruh secara positif namun tidak signifikan terhadap kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan baik di Indonesia, Malaysia, Thailand maupun gabungan ketiga negara tersebut. Sedangkan profitability berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan baik di Indonesia, Malaysia, Thailand maupun gabungan ketiga negara tersebut. Variabel liquidity berpengaruh secara negatif namun tidak signifikan terhadap kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan baik di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Namun berpengaruh negatif signifikan terhadap kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan gabungan ketiga negara Indonesia, Malaysia dan Thailand.

Berdasarkan pengujian hipotesis mengenai variabel terkait faktor makro-ekonomi diperoleh hasil bahwa sensitivitas inflasi berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan baik di Indonesia, Malaysia, Thailand maupun gabungan ketiga negara tersebut.

Berdasarkan pengujian hipotesis terkait variabel kontrol diperoleh hasil bahwa firm size berpengaruh negatif signifikan sedangkan asset growth berpengaruh secara negatif namun tidak signifikan terhadap kesulitan keuangan (financial distress) perusahaan baik di Indonesia, Malaysia, Thailand maupun gabungan ketiga negara tersebut.

 

Kesimpulan

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh dari corporate governance yang terdiri dari managerial ownership dan institutional ownership, lalu indikator finansial yang terdiri dari leverage, liquidity dan profitability serta faktor makro ekonomi yang berupa sensitivitas inflasi. Berdasarkan hasil analisis yang ada, dapat disimpulkan hasil penelitian Hasil temuan penelitian ini terhadap financial distress di Indonesia adalah liquidity dan firm size berpengaruh negatif signifikan terhadap kemungkinan financial distress. Lalu hasil temuan penelitian ini terhadap financial distress di Malaysia adalah firm size berpengaruh negatif signifikan terhadap kemungkinan financial distress. Selanjutnya hasil temuan penelitian ini terhadap financial distress di Thailand adalah profitability dan firm size berpengaruh negatif signifikan terhadap kemungkinan financial distress.� Setelah itu hasil temuan penelitian ini terhadap financial distress di gabungan tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah liquidity dan firm size berpengaruh negatif signifikan terhadap kemungkinan financial distress.

Hasil penelitian membuktikan bahwa di Indonesia dan pada gabungan ketiga negara menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat likuiditas suatu perusahaan yang dapat dilihat dari current ratio maka semakin kecil probabilitas perusahaan untuk mengalami financial distress (kesulitan keuangan). Oleh karena itu disarankan agar perusahaan memperbesar tingkat likuiditasnya, sebagai indikasi bahwa perusahaan tersebut memiliki sejumlah aset lancer (current asset) untuk membayar utang jangka pendeknya sehingga mampu menghindari probabilitas untuk mengalami kondisi financial distress. Pada hasil penelitian juga membuktikan bahwa di Thailand semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin rendah probabilitasnya untuk mengalami kesulitan keuangan (financial distress).

Penelitian ini tidak lepas dari beberapa keterbatasan yang ada yang mencangkup: (1) Nilai Nagelkerke R Square pada perusahaan di Indonesia (0,995), di Malaysia (0,998), di Thailand (0,900) yang memiliki arti bahwa pada rata-rata masih lebih dari 90% variabilitas atau keragaman variabel financial distress perusahaan dapat dijelaskan oleh model sedangkan persentase sisanya dijelaskan oleh variable lain yang tidak termasuk di dalam model. (2) Beberapa perusahaan yang terdaftar di Bloomberg tidak menampilkan beberapa informasi mengenai variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini secara lengkap sehingga mengurangi jumlah sampel.

Beberapa saran untuk penelitian selanjutnya: (1) Penelitian selanjutnya sebaiknya dapat menggunakan sampel penelitian yang lebih luas untuk digunakan dalam penelitian, maka kemungkinan tidak akan ada masalah terkait terbatasnya sampel dan dapat menambah validitas dari penelitian yang dilakukan. (2) Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggabungkan beberapa variabel-variabel lain sebagai proxy dari corporate governance yang akan memberikan hasil penelitian yang lebih baik. (3) Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti bukan hanya managerial ownership dan institutional ownership namun juga bagaimana kualitas direksi, jumlah rapat yang dilakukan, tingkat pendidikan manajer maupun direksi dalam pengaruhnya terhadap financial distress. Selain itu selain meneliti leverage, liquidity dan profitability diharapkan juga dapat meneliti cash flow, return saham dalam pengaruhnya terhadap kemungkinan terjadinya financial distress. (4) Bagi perusahaan, akan lebih baik jika dapat memperhatikan penerapan corporate governance yang baik sehingga perusahaan dapat terhindar dari kemungkinan kondisi financial distress yang dapat memicu terjadinya bankruptcy.

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Al-Khatib, Hazem B., & Al-Horani, Alaa. (2012). Predicting financial distress of public companies listed in Amman Stock Exchange. European Scientific Journal, 8(15). Google Scholar

 

Almilia, L.S., dan Kristijadi. (2003). Analisis Rasio Keuangan untuk memprediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi Dan Auditing Indonesia, 7(2), 182�208.

 

Almilia, L. (2004). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Financial Distress Suatu Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, 7(1), 1�22. Google Scholar

 

Brigham, E.F., dan P. Daves. (2003). Intermediate Financial Management (8th edition). USA: Thompson-South Western.

 

Elloumi, Fathi, & Gueyi�, Jean‐Pierre. (2001). Financial distress and corporate governance: an empirical analysis. Corporate Governance: The International Journal of Business in Society. Google Scholar

 

Hanifah, O. (2013). Pengaruh Struktur Corporate Governance dan Financial Indicators terhadap Kondisi Financial Distress. Jurnal Magister Akuntansi Universitas Diponegoro, 25�53. Google Scholar

 

Iramani, Rr. (2007). Analisis Struktur Kepemilikan dan Rasio Relatif Industri Sebagai Prediktor dalam Model Kesulitan Keuangan. Jurnal Bisnis Dan Manjemen, 1(1), 1�13. Google Scholar

 

Jensen, Michael C., & Meckling, William H. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305�360. Google Scholar

 

Jimming L., dan D. Weiwei. (2011). An Empirical Study on the Corporate Financial Distress Prediction Based on Logistic Model: Evidence from China�s Manufacturing Industry. International Journal of Digital Content Technology and Its Applications, 5(6), 368�379.

 

Kristanti, Farida Titik, Rahayu, Sri, & Huda, Akhmad Nurul. (2016). The determinant of financial distress on Indonesian family firm. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 219, 440�447. Google Scholar

 

Manzaneque, Montserrat, Priego, Alba Mar�a, & Merino, Elena. (2016). Corporate governance effect on financial distress likelihood: Evidence from Spain. Revista de Contabilidad, 19(1), 111�121. Google Scholar

 

Miglani, Seema, Ahmed, Kamran, & Henry, Darren. (2015). Voluntary corporate governance structure and financial distress: Evidence from Australia. Journal of Contemporary Accounting & Economics, 11(1), 18�30. Google Scholar

 

Nindita, Kanya, & Moeljadi, N. (2014). Prediction on Financial distress of Mining Companies Listed in BEI using Financial Variables and Non-Financial Variables. European Journal of Business and Management Vol, 6. Google Scholar

 

Parulian, Safrida Rumondang. (2012). Hubungan struktur kepemilikan, komisaris independen dan kondisi financial distress perusahaan publik. Google Scholar

 

Suntraruk, Phassawan. (2010). The predictors of financial distress: Evidence from nonfinancial firms listed in Thailand during 2000 to 2009. Unpublished. Doctoral Dissertation, Martin de Tours School of Marketing, Assumption University. Google Scholar

 

Triwahyuningtias, Meilinda, & Muharam, Harjum. (2012). Analisis Pengaruh Struktur kepemilikan, Ukuran Dewan, Komisaris Independen, Likuiditas dan Leverage Terhadap Terjadinya Kondisi Financial Distress (Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2008-2010). Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Google Scholar

 

Wicaksana, Satria Nawa, Muharam, Harjum, & Mawardi, Wisnu. (2017). Pengaruh Corporate Governance Terhadap Kemungkinan Financial Distress (Studi pada Perusahaan Non Keuangan di Bursa Saham Indonesia, Malaysia, Singapura Periode Tahun 2012-2016). UNDIP; Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Google Scholar

 

Copyright holder:

Amanda Ratri Yasmin, Harjum Muharam (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: