Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 5, Mei 2021
ANALISIS
PERPECAHAN KEPEMIMPINAN ANTARGENERASI DI LINGKUNGAN GEREJA
Djone
Georges Nicolas
Sekolah Tinggi
Teologi (STT) IKAT Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
The purpose of this paper is to
find out why there are divisions and gaps in intergenerational leadership in
the church environment and how to overcome them.� The concept that underlies today's erroneous
intergenerational leadership is the cause of divisions and gaps in church
leadership in Indonesia.� Millennial
generation leaders feel that they are not being considered, given the
opportunity and neglected by their capacity to lead, so they do not feel part
of the goals the church is trying to achieve.�
This research uses descriptive qualitative research, with a literature
analysis method approach and narrative interpretation, by collecting data
through biblical sources, books, journals, digital articles, interviews and
other documents related to the issues being studied.� First, intergenerational leadership is seen
as regeneration or taking turns, like a career path where seniority is a
priority criterion.� Second, there is no
interaction between generations.� In conclusion,
it is necessary to have a correct understanding of intergenerational leadership
in church organizations so that intergenerational leadership becomes a culture,
so that not only trust arises, but also intergenerational cooperation and not
division.
Keywords: divisions; leadership; intergenerational; church; Indonesia
Abstrak
Tujuan penulisan
ini adalah hendak mengetahui mengapa terjadi perpecahan maupun gap dalam kepemimpinan antargenerasi di lingkungan gereja dan bagaimana cara mengatasinya. Konsep yang mendasari kepemimpinan antargenerasi yang keliru hari ini
menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan gap dalam kepemimpinan gereja di Indonesia. Pemimpin generasi millenial mempunyai perasaan tidak dianggap, tidak diberi kesempatan
dan diabaikan kapasitas mereka dalam memimpin,
sehingga tidak merasa menjadi bagian dalam tujuan
yang hendak dicapai gereja. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif, dengan pendekatan metode analisis pustaka dan tafsir narasi, dengan pengumpulan data melalui sumber Alkitab, buku-buku, jurnal-jurnal, artikel digital, wawancara dan dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Pertama, kepemimpinan antargenerasi dipandang sebagai regenerasi atau bergiliran, seperti perjalanan karir di mana senioritas menjadi kriteria prioritas. Kedua, Tidak terdapat
interaksi yang ideal antar generasi. Kesimpulan, diperlukan pemahaman yang benar tentang kepemimpinan antargenerasi di dalam organisasi gereja agar kepemimpinan antargenerasi menjadi suatu budaya,
sehingga bukan sekedar timbul kepercayaan, tetapi juga kerja sama antargerenasi
dan bukan perpecahan.
Kata Kunci: perpecahan; kepemimpinan; antargenerasi; gereja; Indonesia
Pendahuluan
Kepemimpinan
merupakan suatu kebutuhan dalam perjalanan satu organisasi, sebab kepemimpinan sangat mempengaruhi keputusan dan kebijakan yang menentukan arahnya organisasi tersebut, termasuk di dalam gereja. Fakta bahwa tidak ada
kepemimpinan yang abadi di
dunia ini, memberi kesadaran bahwa kepemimpinan antargenerasi perlu menjadi prioritas
dalam gereja Tuhan demi pencapaian yang
maximal, yang seturut dengan
Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus.
Menurut
(Norrod, 2020),
di Komunitas NPC di Tenesse,
yang menjadi penyebab utama perpecahan antargenerasi adalah penolakan kegiatan yang sekuler seperti pendidikan maupun teknologi, dikarenakan pemimpin yang lebih senior tidak menerima pemimpin milenial yang memeluk teknologi. Salah satu persoalan dalam kepemimpinan antargenerasi dalam penulisan (Schlesman, 2020)
adalah bahwa pemimpinan yang lebih tua ragu memberi
kepercayaan kepada mereka yang lebih muda untuk melanjutkan
kepemimpinan gereja, disebabkan mereka tidak yakin nilai
dan kegiatan yang sudah ada akan dipertahankan.
(Julita Nafthalia Leander, 2019)
dalam tesisnya menyampaikan bahwa generasi yang kompleks sering menjadi penyebab setiap orang dari generasi yang berlainan kecenderung bersaing dalam hal penggunaan tempat, jam kegiatan dan juga perebutan sumber daya yang terdapat di dalam lingkungan gereja. Menurut (Douglas, 2013),
gereja lokal dan hubungan yang terjalin di dalam gereja antara
hamba Tuhan yang lebih tua dengan yang lebih muda akan
memberi kesempatan untuk mewariskan kepemimpinan yang stabil. Oleh sebab� itu� gembala sebagai pemimpin� dituntut memakai cara-cara yang akurat untuk membuat pilihan
di antara jemaat dari beberapa orang yang hendak dijadikan pemimpin mengganti dirinya sebagai pemimpin rohani masa� kini (Kassi Henos, Ervi Johan Lo, Sabar Manahan Hutagalung, 2018).
Menurut
data Bambang Budijanto pada Minggu
28 Februari 2021 melalui
acara� webinar Zoom� Now and Next
Movement, terdapat enam
generasi angkatan secara sosiologis dengan ciri khas
masing-masing: Traditionalist kelahiran� sebelum 1946 (Hard
working, consistency, will power, respect and loyal), Baby Boomers kelahiran 1946-1961 (Competitive,
legacy, experience), GEN X kelahiran 1961-1981
(Adaptive life and work balance, educational, skills, speed), GEN Y kelahiran 1981-1996 (Multi-tasker and networking, look
out of the box, transparency), GEN Z kelahiran
1996-2011 (Digitaly savvy, super optimistic about
the world, purpose), dan GEN A kelahiran setelah 2011.
Tabel 1
Perbandingan Karakter dan Peristiwa Penting antargenerasi
GENERASI
|
VETERAN |
������� BB |
�� GEN X |
� GEN Y |
|||||
��� Periode |
1925-1944 |
1945-1964 |
1965-1981 |
1982-2000 |
|||||
���� Istilah |
Tradisional, mature, silent
generation |
���� ����� Boomers |
�Post-Boomers �� Baby Buster |
�� Millenials; ���� Nexter |
|||||
� Peristiwa Utama |
Depresi besar;
perang dunia kedua |
�Perang dingin; � Kemakmuran |
Hak asasi
manusia; persamaan hak wanita |
Perang Irak
dan teluk, jatuhnya komunis; revolusi internet |
|||||
Ciri di dunia kerja |
Etos kerja
tinggi; Respek menghargai
otoritas |
Berorientensi tim,
optimis, loyal, pekerja keras |
Praktism pesemis;mengejar kesimbangan
hidup, independent, cepat
beradaptasi |
Ambisius, multi-tasking, percaya diri, independent |
|||||
Gaya Kepeminpinan |
Militer, Rantai
komando |
Mau mempengaruhi,
monitoring |
Praktis, berorientensi
tujuan |
��� Fleksibel |
|||||
Motivasi |
Penghargaan atas
pengalaman, ketekunan, kestiaan |
Kemampuan, bonus, insentif, kontribusi |
Insentif liburan |
Jabatan, uang, kebutuhan, persetujuan, sosial rendah |
|||||
� Gaya belajar |
Ruang kelas,
on the job training |
Ruang kelas, penggunaan, instruktur |
Penggunaan teknologi, mentor |
Berfikir kreatif, visual |
|
||||
Sumber:�� (Adiawaty, 2019)
Tabel 2
Generational behavioural characteristics of different age-groups
������ Factors |
� Baby - boom |
� X Generation |
�Y Generation |
�Z Generation |
������ �������� View |
�� Communal, unified thinking |
Self-centred and medium-term |
� Egotistical,��� �� short term |
No sense of commitment, be happy with what you have and live for
the present |
� Relationship |
First and fore most
personal |
�Personal and ����� virtual��� ���� networks |
��� Principally virtual, network |
�� Virtual and ��� superficial |
���� ��������� Aim |
Solid
existence |
Multi-environ ment, secure position |
Rivalty for leader position |
��� Live for the present |
Self
relaizations |
Conscious carrier building |
Rapid
promotion |
��� Immediate |
Questions the need
for it at all |
�������� IT |
It is based on self-instruction and
incomplete |
��� Uses with ��� confidence |
Part of its every day
life |
������ Intuitive |
��� ������ Values |
Patience, soft skills, respect for traditions, EQ,
hard work |
Hard work, open ness, respect for diversity, curios ity, practicality |
Flexibility, mobility,
broad but superficial knowledge, success orienta-tion,
creativity, freedom of Infor-mation takes priority |
Live for the present, rapid reaction to eve rything,initiator, brave, rapid
information access and content
search |
Others
possible characteristics |
Respect for hierarchy, exag gerated mod esty or arrogant inflexibility, passivity, cyni cism, disap pointment |
Rule abiding, materialistic, fair
play, less respect for hie- rarchy, has a sense of relati- vity, need to provethemselves |
Desire for independence, no respect for tradition, quest for new forms of knowledge, inverse socializa tion, arrogant, home office and part-time work, interim manage ment,undervalue soft
skills and EQ |
Differing view points, lack of thinking, hap piness, pleasure, dividedattention, lack of conse quentialthinking, no desire to makesense of things, the boun- daries of work and
entertain- ment overlap, feel at home anywhere |
Sumber:
(Bencsik & Machova, 2016)
Data di atas menunjukkan kompleksitas perbedaan antargenerasi yang mau tidak mau dan suka
tidak suka harus di hadapi oleh gereja, terlebih secara khusus dalam
hal kepemimpinan. Perlu
diakui bahwa gereja sebagai organisme dan juga sebagai organisasi, tidaklah mudah mewujudkan kepemimpinan antargenerasi, sebab di dalam gereja sebagai persekutuan atau komunitas terdapat generasi yang berbeda sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan kehidupan bergereja, oleh karena ketegangan sangat mungkin terjadi karena berbagai perbedaan seperti usia, cara
pandang, selera, motivasi, budaya dan sebagainya. Gereja sebagai tubuh Kristus
pada dasarnya adalah satu kesatuan di mana seharusnya kesatuan menjadi esensial, namum pada kenyataannya, gereja menghadapi gap antargenerasi yang menyebabkan terjadi kelompok-kelompok sesuai generasi masing-masing sehingga sering kali kelompok tertentu mendapat perhatian yang khusus, dan kelompok yang lain merasa diabaikan sehingga dapat menjadi sumber konflik di dalam gereja.� Apabila hal ini
tidak segera dijembatani, kemungkinan besar gereja dapat
kehilangan beberapa generasi yang sesungguhnya merupakan aset dan masa depan gereja. Gereja
membutuhkan semua generasi dalam menjalankan �Missio Dei�. Oleh karenanya, penulis hendak mengetahui
mengapa terjadi perpecahan maupun gap dalam kepemimpinan antargenerasi di lingkungan gereja dan bagaimana cara mengatasinya.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitif dengan metode deskriptif dan analisa literatur maupun literatur research dengan tujuan menganalisa
dengan tujuan hendak mengetahui mengapa terjadi perpecahan maupun gap dalam kepemimpinan antargenerasi di lingkungan gereja dan bagaimana mengatasinya. Untuk
mencapai tujuan tersebut, teknik pengumpulan data melalui Alkitab, sumber buku-buku, artikel digital, jurna-jurnal, wawancara serta dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang menjadi objek kajian. Penelitian
kualitatif menurut (Bogdan, 1992)
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan tipe data deskriptif yang berupa ucapan atau
tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati di dalam suatu konteks dan yang dikaji dari sudut
pandang yang lengkap dan komprehensif, maupun menyeluruh atau holistik. Deskriptif karena mempelajari masalah-masalah di tengah masyarakat serta pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena agar menjadi sebuah uraian yang mendalam. Analisa
data dilakukan penulis dengan menemukan, mengumpulkan, serta mengkomparasikan secara kualitatif temuan-temuan yang diperoleh sebelum menarik sebuah kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
A. Kepemimpinan Antargenerasi Dipandang Sebagai Regenerasi atau Bergiliran
Generasi muda zaman sekarang belum siap untuk dipercayakan
tanggung jawab memimpin, sehingga harus dibimbing sambil tunggu giliran
mereka. Handy sebagai anak gembala menyatakan:
�di gereja kami, setelah bapa (gembala) pensiun nanti, kakak saya yang akan melanjutkan kepemimpinan penggembalaan, dan setelah itu barulah
saya� (Wawancara, 2021). Menurut Alex Sutanto kepemimpinan dalam gereja yang ideal hari ini apa bila
tidak mau kehilangan gemerai anak-anak muda, adalah kalau para senior menyerahkan tongkat estafet kepada generasi berikut, sebab masa mereka sudah lewat dan ini masa millenial (Wawancara, 2021). Sehebat dan sebagus apa pun, pemimpin di dalam organisasi non rohani maupun rohani waktunya
akan menyerahkan posisi kepemimpinan tersebut pada generasi berikutnya, yaitu generasi muda, dikarenakan ada batas usia untuk
memimpin (Hahuluy, 2020).
Ketiadaan kepemimpinan yang
efisien dalam gereja dapat menyebabkan
gereja menghadapi fakta kekurangan pemimpin di masa depan, sehingga pemimpin-pemimpin harus dihasilkan oleh seorang pemimpin melalui mentoring (Prihanto, 2018).
Memimpin di dalam gereja Tuhan pada dasarnya merupakan kasih karunia dan panggilan dari Allah sendiri, sehingga siapapun yang dipercayakan Allah untuk memimpin seharusnya tidak perlu dipertanyakan maupun dipersoalkan, seperti contoh ketika Tuhan katakan
kepada Yeremia untuk tidak mempersoalkan
tentang usianya yang masih muda ketika
menerima panggilan dan utusan Tuhan (Yeremia:1:7-8), sebab Tuhan hendak
memakai baik anak-anak muda maupun orang-orang yang lebih tua dalam penyertaan-Nya
ajaib. Oleh karena itu, memimpin dalam
gereja tidak ditentukan oleh usia, gelar, gender, kepintaran maupun senioritas, tetapi Tuhan hendak
semua generasi dapat bersama-sama melayani pekerjaan-Nya. Pastor
Tan Seow How yang adalah pemimpin dari gereja
di Singapura Heart of God Church berkata bahwa kepemimpinan antargenerasi bukanlah pergantian tetapi penguatan atau bala bantuan (www.beritabethel.com, 12/11/2019). Dengan kata
lain perlu ada perubahan pola pikir di dalam kepemimpinan gereja sehingga sungguh memperdayakan generasi muda dengan memperlakukan
mereka sebagai pemimpin sejak saat ini dan bukan
penonton. Kepemimpinan secara etis menuntut
tanggung jawab dalam pencapaian visi dan misi, serta nilai-nilai yang ditemukan di dalam suatu organisasi. Selain itu menuntut
juga tanggung jawab untuk mengkorelasikan tujuan organisasi dengan rekan-rekan dalam pekerjaan maupun pemangku kepentingan dari sisi eksternal (Candra & Sundiman, 2020).
Sebagai contoh, Yosua tidak menjadi
pemimpin setelah kematian Musa yang adalah bapa rohaninya, tetapi sejak Musa masih memimpin, tanggung jawab sebagai pemimpin sudah dipercayakan kepadanya seperti memimpin peperangan (Keluaran 17:8-10), pengintai tanah Kanaan (Bilangan 13:16-20) atas perintah Tuhan.
Hal itu memberi gambaran bahwa Tuhan sendiri hendak
ada kerja sama antargenerasi dan bukan mengelompokkan generasi dalam kepemimpinan berdasarkan usia atau senioritas,
sebab di zaman Yosua dipercayakan untuk melanjutkan kepemimpinan Israel, terdapat banyak orang lain yang lebih tua secara
umur.
B. Tidak Terdapat Interaksi
Yang Ideal Antargenerasi
Menurut (Anggraeni Lintang, 2020),
kebersamaan dalam hidup berbagai angkatan generasi sering menjadi penyebab keadaan yang jauh dari kata damai oleh karena walaupun bersama, pada kenyataannya tidak saling kenal karena
setiap orang ada di dalam perkumpulannya sesuai dengan kelompok
masing-masing. Generasi muda
kesulitan bersosialisasi dengan baik dengan
generasi yang di atasnya dikarenakan terdapat ketidakseimbangan antara nilai yang ideal yang menjadi arahan angkatan yang lebih tua di banding realitas yang dihadapi mereka (Surya Yanuar Putra, 2017).
Beberapa skenario yang
sering ditemukan dalam dinamika perubahan kepemimpinan berkaitan dengan relasi: Pertama, tipe gereja yang bergantung sepenuhnya pada seorang pemimpin, sehingga ketika yang bersangkutan meninggal dunia, gereja tidak siap
dengan penggantinya. Kedua, pemimpin mempersiapkan pengantinya untuk memimpin setelah dirinya pensiun, dan itu yang disebut regenerasi. Ketiga, model gereja yang tim kepemimpinannya terdiri dan satu generasi yang berteman baik, sehingga berlaku sistem senioritas, karena dianggap generasi muda hadir hanya
sebagai suruhan atau pelaksana perintah. Keempat, kepemimpinan yang diduduki oleh
orang yang kurang kompeten dalam bidang yang dipercayakan sehingga tidak maksimal berfungsi sebagaimana semestinya. Menurut (Reddy & Kamesh, 2016),
kepemimpinan telah mengalami pergeseran dari fokus kepada
aspek transformasional kepada suatu pengertian
bahwa solusi atas� pergumulan kepemimpinan terdapat di dalam relasi dan hubungan antara pemimpin dan orang-orang
yang dipimpinnya.
Kepemimpinan berbicara hubungan antara pemimpin dan orang-orang yang dipimpin.
Yaitu orang-orang dengan berbagai karakteristik umur, jenis kelamin,
kepribadian dan juga generasi
sehingga sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan efektivitas kepemimpinan gereja suatu tim
yang terdiri dari berbagai karakteristik tadi sebagai representasi.
Sebab kepemimpinan bersama juga berbicara tentang pikiran bersama dan bukan one man show
yang menghasilkan pikiran tunggal. Kepemimpinan yang dilandasi pada karunia dan fungsi masing-masing dan bukan kepemimpinan yang didasarkan pada
posisi semata. Diperlukan kepemimpinan antargenerasi untuk menggantikan kepemimpinan multigenerasi yang masih sering ditemukan di kalangan gereja. Menurut (Sriharmiati Leni, 2017)
kepemimpinan akan lebih efektif apa
bila berinteraksi dengan orang lain. Maka, (Harkness, 2012)
menyatakan bahwa budaya persekutuan antargenerasi adalah sangat penting sehingga terbangun kebersamaan dan ikatan antarpribadi lintas generasi dimana iman dan praktik iman bersama dapat
menjadi nyata.� Orang menyukai kemudahan sehingga lebih memilih berhubungan
dan berkomunikasi dengan
orang yang sezaman dan sefrekuensi
dari pada berusaha membangun budaya suatu komunitas kepemimpinan antargenerasi.
Cara hidup jemaat mula dapat
menjadi rujukan, sebab mereka bertekun
bukan sekedar dalam pengajaran, tetapi juga di dalam persekutuan, perkumpulan tanpa henti baik
antara yang lebih tua umurnya dengan
yang lebih muda, dan berdoa bersama (Kisah Para Rasul 2:41-42). Paulus sebagai
contoh yang baik terus menerus berinteraksi
dengan Timotius karena merindukan pertemuan-pertemuan dengannya, ingat akan dia
sebagai anak didik dan kawan sepelayanan siang dan malam (2 Timotius 1:3-4). Yesus Kristus sendiri
terus menerus membangun persekutuan dengan murid-murid-Nya dan mempercayakan
kepada mereka tanggung jawab pelayanan bukan saja setelah dia
naik ke surga, tetapi selama dia
masih bersama-sama dengan mereka melayani
di bumi (Markus 3:13-19). Di dalam
gereja mula, kepemimpinan terdiri dalam persekutuan di mana pemimpin terdiri dari ke-11 Rasul dan Matias yang bukanlah
angkatan mereka dan yang telah dipilih untuk
menggantikan posisi Yudas yang telah mati (Kisah Para Rasul 1:15-26). (Hahuluy, 2020)
berkata bahwa Musa bukan memberi kepercayaan
kepada Yosua dalam beberapa tugas, tetapi dia
juga berusaha bentuk dan teguhkan iman Yosua
kepada Allah. Dengan kata
lain, Musa menjadi mentor bagi
Yosua yang tentunya menunjukkan bahwa ia menyediakan waktu, pikiran, perasaan dan semua sarana yang bisa digunakan untuk mencapai tujuannya. Pelayanan antargenerasi menjadi suatu kebutuhan
pada komunitas gereja, sebab itu merupakan
kehendak Allah karena diperlukan untuk perkembangan pelayanan gerejawi dan misiNya, sehingga perlu mensosialisasi pemahaman kepemimpinan yang benar kepada semua kalangan
di dalam jemaat dalam rangka meruntuhkan
tembok-tembok pemisah yang sudah terpola dan justru menjadi hambatan bagi pelaksanaan
pelayanan yang ideal seturut
dengan kehendak Allah. Kepemimpinan antargenerasi merupakan wajah kekayaan dan keindahan gereja yang berdiri atas kasih Kristus
yang menyatukan dan bukan memisahkan, yang membangun dan bukan menghancurkan.
Kesimpulan
Diperlukan
pemahaman yang benar tentang kepemimpinan antargenerasi di dalam organisasi gereja agar kepemimpinan antargenerasi menjadi suatu budaya,
sehingga bukan sekedar timbul kepercayaan, tetapi juga kerja sama antargerenasi
dan bukan perpecahan. Sebab pemahaman kepemimpinan antargenerasi sebagai regenerasi atau giliran dan kurang interaksi antargenerasi menjadi ancaman bagi keberlangsungan
gereja. Oleh karena itu, dibutuhkan interaksi yang baik antara generasi agar hubungan relasi yang erat dapat menjadi
saluran menularkan pengetahuan baik dari yang lebih tua kepada yang lebih muda, maupun
sebaliknya sehingga terjadi proses saling mengisi demi pencapaian tujuan ilahi. Sebab,
tanpa interaksi antargenerasi, kemungkin kehilangan suatu atau berbagai generasi
sangat terbuka.
Adiawaty, Susi. (2019). Tantangan perusahaan mengelola
perbedaan generasi karyawan. ESENSI: Jurnal Manajemen Bisnis, 22(3),
376�382. Google Scholar
Anggraeni Lintang. (2020). Gereja Kristen Jawa Purworejo
Menjadi Gereja Intergenerasional. Tesis Universitas Kristen Duta Wacana
Yogyakarta, 4.
Bencsik, Andrea, & Machova, Renata. (2016). Knowledge
sharing problems from the viewpoint of intergeneration management. ICMLG2016-4th
International Conferenceon Management, Leadership and Governance: ICMLG2016,
42. Google Scholar
Bogdan, Robert C. (1992). Dan Steven J. Taylor. Introduction
to Qualitative Research Methotds: A Phenomenological Approach in the Social
Sciences, Alih Bahasa Arief Furchan, John Wiley Dan Sons. Google Scholar
Candra, Willy, & Sundiman, Didi. (2020). Sustainable
Leadership Key Factors: Study On Profit And Non Profit Organisations In Batam
Indonesia. Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan (Journal of Management and
Entrepreneurship), 22(2), 122�130. Google Scholar
Douglas, Scott Michael. (2013). Intergenerational
Discipleship for Leadership Development: A Mixed-Methods Study. Southern
Baptist Theological Seminary. Google Scholar
Hahuluy, Michael Salomo. (2020). Menerapkan Pola Regenerasi
Kepemimpinan Musa kepada Yosua. Jurnal Teologi Gracia Deo, 3(1),
24�41. Google Scholar
Harkness, Allan G. (2012). Intergenerationality: Biblical and
theological foundations. Christian Education Journal, 9(1),
121�134. Google Scholar
Julita Nafthalia Leander. (2019). Rancang Bangun Gereja
Intergenerasional di Gereja Kristen Protestan di Bali Jemaat Hosana Kwanji. Tesis
Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 6.
Kassi Henos, Ervi Johan Lo, Sabar Manahan Hutagalung, David
Martinus Gulo. (2018). Peran Gereja Dalam Regenerasi Pemimpin Rohani, Real
Didache. Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 3(2),
30�36.
Norrod, Benjamin. (2020). Intergenerational Disunity in
Nondenominational Tennessee Pentecostal Churches: An Intrinsic Multiple Case
Study. University of Phoenix. Google Scholar
Prihanto, Agus. (2018). Peran Proses Mentoring Pemimpin Kaum
Muda Bagi Perkembangan Pelayanan Pemuda Di Gereja. Jurnal Jaffray, 16(2),
197�212. Google Scholar
Reddy, Asi Vasudeva, & Kamesh, A. V. S. (2016).
Integrating servant leadership and ethical leadership. In Ethical leadership
(pp. 107�124). Springer. Google Scholar
Schlesman, Shane Glen. (2020). The Passing Zone: Building an
Intergenerational Leadership Team. Assemblies of God Theological Seminary. Google Scholar
Sriharmiati Leni. (2017). Relasi Kepemimpinan dan Komunikasi
Dengan Motivasi Kerja di DKI Jakarta. Jurnal Mahasiswa Administrasi Negara
(IMAN), 1(1), 21�29.
Surya Yanuar Putra. (2017). Theoritical Review: Teori
Perbedaan Generasi. Among Makarti, 9(2), 123�134. Google Scholar
Copyright holder: Djone
Georges Nicolas� (2021) |
First
publication right: Journal Syntax Literate |
This article is
licensed under: |