Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 5, Mei 2021
HUBUNGAN ANTARA WORK FAMILY INTEGRATION DAN MEANINGFUL WORK
PADA REMOTE WORKER
Feby Satya Wirawati
dan Anissa Lestari Kadiyono
Universitas
Padjajaran (Unpad) Bandung Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected]
dan [email protected]
Abstract
This study
is intended to determine the relationship between work family integration and
meaningful work. Work family integration will create a balance between work
roles and family roles so that remote workers can feel balance in their lives
and feel meaningful in their work. The number of participants in this study was
30 people with the sampling technique used was quota sampling. The instruments
used in this study were Integration-Segmentation Preferences Supplies (Kreiner,
2000) and The Work and Meaning Inventory (Steger, 2012). Based on the results
of the Somer's d test, the results obtained were p = 0.032 (p <0.05) with d
= 0.885, Kendall's tau p = 0.033 (p <0.05) with τ = 0.887 and the
Spearman rank 0.014 (p <0.05) with rs = 0.967. This indicates that there is
a relationship between work family integration and meaningful work.
Keywords: work
family integration; meaningfull work; remote worker
Abstrak
Penelitian
ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara work family integration
dan meaningfull work. Work family integration akan membuat
keseimbangan antara peran kerja serta peran keluarga sehingga pekerja remote
worker dapat merasakan keseimbangan dalam hidupnya serta merasakan
kebermaknaan dalam pekerjaannya. Jumlah partisipan pada penelitian ini sebanyak
30 orang dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Integration-Segmentation Preferences Supplies
(Kreiner, 2000) dan The Work and Meaning Inventory (Steger, 2012).
Berdasarkan hasil uji somer�s d didapatkan hasil p=0.032 (p<0.05) dengan
d=0.885, kendall�s tau p=0.033 (p<0.05) dengan τ=0.887 dan spearman
rank 0.014 (p<0.05) dengan rs=0.967. Hal tersebut mengindikasikan terdapat
hubungan antara work family integration dan meaningfull work.
Kata Kunci: work
family integration; meaningfull work; remote worker
Pendahuluan
Perubahan global yang mempengaruhi dalam sistem kerja
nasional berpengaruh pula pada kehidupan pribadi serta interaksi pekerja secara
pribadi. Mulai dari permasalahan gender dalam bekerja, perkembangan teknologi
telah menyebabkan kaburnya batas kehidupan kerja yang memungkinkan karyawan
untuk bekerja kapan saja dan di mana saja, sehingga berkontribusi pada masalah
jam kerja yang berlebihan, pembagian tugas dalam� organisasi, peningkatan pekerjaan paruh waktu
menyebabkan ketidakamanan kerja dan meningkatkan beban kerja karyawan (O�Driscoll, 2008).
PBB (Llave & Messenger, 2018)
melaporkan bahwa sebanyak 41% pekerja yang memilih bekerja sebagai remote worker memiliki tingkat stress yang tinggi hal ini juga dikuatkan
oleh temuan Harvard Business Review (Maxfield & Grenny, 2017)
yang melakukan penelitian terhadap 1.100 pekerja dengan temuan bahwa
52% pekerja yang belerja dari rumah cenderung
memiliki perasaan tersisihkan dan merasa diperlakukan tidak baik serta tidak
mampu dalam menangani konflik dengan rekan maupun
atasannya.
Salah satu permsalahan dalam dunia kerja saat ini adalah
karyawan berusaha untuk mencapai keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan
tuntutan rumah. Keseimbangan ini diimpikan oleh seluruh karyawan baik yang
bekerja dari perusahaan maupun bekerja dari rumah atau remote working.
Penelitian menunjukkan bahwa karyawan dan organisasi mendapat manfaat ketika
karyawan memiliki keseimbangan kehidupan kerja yang sehat (Ronald Burke, 2010).
Baltes (Baltes, B. B., Briggs, Huff, Wright, & Neuman, 1999)
menemukan bahwa karyawan mengalami�
peningkatan kepuasan kerja dan pemimpin organisasi melaporkan sikap
karyawan yang lebih baik, meningkatkan kinerja kerja, dan mengurangi biaya
ketika kebijakan keseimbangan antara kerja dan kehidupan keluarga diterapkan
dalam organisasi.
Selama ini untuk
meraih keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan keluarga merupakan hal
yang hampir mustahil terjadi. Pengusaha didorong untuk membuat keseimbangan
antara bekerja dan keluarga menjadi mungkin (Zedeck & Mosier, 1990).
Bahkan, sejak tahun 1999, Departemen Tenaga Kerja AS merekomendasikan agar para
pemimpin bisnis untuk dapat membuat sistem dimana dapat membantu karyawan
mengelola keseimbangan kerja dan non-kerja untuk mempertahankan kinerja serta
bakat pekerja. Salah satu bentuk kebijakan yang perusahaan berikan adalah jadwal
kerja serta tempat kerja yang fleksibel.
Jam kerja yang
fleksibel dan dapat dilakukan dirumah memungkinkan seorang karyawan dapat
mengontrol di mana, kapan, dan bagaimana pekerjaan dilakukan, membuat peran
pekerja dalam pekerjaannya serta peran dalam keluarganya menjadi tidak jelas
batasannya atau kabur. Menurut Burke (Peter J. Burke, 1991),
"koneksi negatif" antara identitas peran yaitu, batasan spasial/waktu, kontradiksi makna, dan komitmen ganda -
memperburuk dampak dari interupsi. Bayangkan seorang anak memanggil ibunya saat
rapat kerja, sehingga menyela peran pekerjaan yang tengah dilakukannya. Sang
ibu tidak dapat berada di dua tempat sekaligus (dalam batasan spasial/waktu) dan tidak dapat menggabungkan makna
"ibu" dan "pekerja" menjadi identitas utama sehingga
terjadi kontradiksi, yang membuat peran ganda sekaligus. ia akan mengalami
konflik� dan harus memilih antara peran
orang tua atau peran pekerjaan. Hal ini serupa dengan penyataan Williams (Williams & Alliger, 1994)
bahwa memindahkan peran ibu dan pekerja yang tersegmentasi memiliki efek
langsung dan negatif pada tugas dan suasana hati.
Harrington (Bailyn & Harrington, 2004)
mengemukakan bahwa work family integration adalah hubungan pekerjaan,
keluarga dan masyarakat yang mempertimbangkan serta mengatur pekerjaan dan
keluarga dengan cara memenuhi kebutuhannya secara adil baik bagi pria maupun
wanita. Work family integration dapat dilakukan untuk menghindari konflik serta mencapai keseimbangan antara
peran pekerjaan dan juga peran dalam rumah serta bentuk sikap untuk menghindari
stress yang tidak semestinya dan dapat menikmati setiap peran yang ada sehingga
individu dapat mencapai keseimbangan serta memiliki kebermaknaan dalam
pekerjaannya.
Karyawan dengan
keluarga biasanya berusaha mencapai rasa keseimbangan pada setiap peran yang
dijalani. Perasaan keseimbangan ini biasanya sulit tercapai ketika pekerjaan
dan kehidupan rumah tumpang tindih karena ada tujuan bersama antara apa yang
ingin dicapai seseorang di rumah dan apa yang ingin dicapai di tempat kerja (Munn, 2012). Ketika seseorang memiliki tujuan atau makna yang
menyeluruh dalam hidupnya, tujuan ini memberikan hubungan yang erat antara
berbagai sisi kehidupan. Kebermaknaan dapat dicapai melalui berbagai sisi
seperti keluarga, pekerjaan, dan domain kehidupan lainnya. Makna juga dapat
membaurkan satu domain ke domain lainnya (Grady & McCarthy, 2008).
Chalofsky (Munn, 2012)
menjelaskan bahwa menemukan kebermaknaan di tempat kerja dapat berhubungan
dengan alasan dasar mengapa orang bekerja dan dapat berbeda dari setiap orang
misalnya mencakup nilai-nilai pribadi, memperluas rangkaian keterampilan,
merasakan rasa kebersamaan, menemukan keseimbangan, pertumbuhan pribadi, dan
pengembangan.
Beberapa tahun
terakhir, perusahaan telah mengambil langkah-langkah untuk menyediakan tempat
kerja yang bermakna dengan membantu karyawan menemukan keseimbangan dalam
kehidupan mereka. Kebijakan ini meliputi cuti untuk orang tua, kesempatan
kembali bekerja paruh waktu, dan penitipan anak di tempat bekerja. Organisasi
yang menyediakan kebijakan keseimbangan anatara kerja-rumah, dapat membantu
membuat tempat kerja lebih bermakna. Singkatnya, bermaknaan dalam kerja
mempengaruhi nilai-nilai yang positif bagi individu dan tujuan menyeluruh dalam
kehidupan, serta dalam kehidupan rumah tangga (Munn, 2012).
Cara seseorang
menjalani kehidupannya berkontribusi pada kemampuan seseorang untuk menemukan
kebermaknaan dalam pekerjaannya. Hal ini dapat dilihat dari keseimbagan antara
peran yang dijalaninya dalam pekerjaan serta dalam keluarganya apakah individu
tersebut mengintegrasikan antara perannya dalam keluarga dan juga pekerjaannya.
Dengan demikian dapat dikatakan work family integration mempunyai
hubungan dengan meaning of work pada seorang pekerja khususnya remote
worker. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah hubungan antara work
family integration dengan meaning of work pada remote worker.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
desain penelitian korelasional, studi korelasional dalam penelitian ini
digunakan untuk menguraikan dan mengukur seberapa besar tingkat hubungan antara
variabel dalam penelitian ini variabel yang diukur adalah work family integration dan variabel meaningfull work. Penelitian
ini menggunakan teknik pengambilan sampel total dimana terdapat 30 partisipan yang seluruhnya terdiri dari contributor pada media TV X di Jawa
Barat. Partisipan terdiri dari 26 Laki-laki dan 4 Perempuan. Work family integration diukur dengan
menggunakan Integration-Segmentation Preferences Supplies (Kreiner, 2000) yang kemudian skala ini
dikembangkan oleh Eddleston (2015). Instrumen
tersebut terdiri dari dimensi Integration-Segmentation Preferences (4 item, α=0.91)
dan Integration-Segmentation Supplies
(4 item, α=0.94). Meaningfull work
diukur dengan menggunakan The
Work and Meaning Inventory (WAMI) (Steger, 2012). Instrumen tersebut terdiri dari tiga dimensi yaitu Positive meaning (4 item, α=0.92 ), Meaning making through work (3 item,
α=0.82) dan Greater good motivations
(3 item, α=0.82).
Hasil dan Pembahasan
A.
Hasil Penelitian
Tabel dibawah ini
menunjukkan hasil analisis statistik deskriptif yang digunakan untuk memberikan
gambaran umum mengenai data demografi responden.
Tabel 1
Data Demografi Partisipan
Jenis Kelamin |
|
|
Laki-laki |
26 |
(87%) |
Perempuan |
4 |
(13%) |
Status Pernikahan |
|
|
Lajang |
3 |
(43%) |
Menikah |
27 |
(57%) |
Jumlah Anak |
|
|
Belum memilki anak |
5 |
(17%) |
1 Anak |
7 |
(23%) |
2 Anak |
17 |
(53%) |
3 Anak |
2 |
(7%) |
Hipotesis penelitian
diuji dengan menggunakan uji korelasi, untuk
menentukan apakah terdapat hubungan antara work
family integration dengan meaningfull
of work. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara work family integration dengan meaningfull of work.
Tabel 2
Hasil Uji Korelasi
Variabel Work Family Integration dan Meaningfull of Work
somer�s d |
Kendall�s Tau |
Spearman�s Rho |
|||
d |
p |
Ƭ |
p |
ρ |
P |
0.885 |
0.032 |
0.887 |
0.033 |
0.967 |
0.014 |
Tabel 2 menunjukkan hasil uji korelasi dengan menggunakan
uji somer�s d, uji Kendall�s Tau dan Spearman�s Rho. Pada hasil uji somer�s d
didapatkan hasil p=0.032 (p<0.05) dengan d=0.885, sementara pada hasil Kendall�s
Tau didapatkan nilai koefisien sebesar Ƭ=0.887 dengan nilai signifikansi yaitu p=0.003 (p<0.05) Sementara untuk hasil uji dengan menggunakan Spearman�s
Rho, didapatkan nilai koefisien korelasi antara kedua variabel yang diteliti
yaitu sebesar ρ=0.967
dengan nilai signifikansi p=0.014
(p<0.05). Ketiga hasil pengujian statistik menunjukkan nilai signifikasi uji
korelasi yang selaras dimana p-value dari kedua pengujian menunjukkan angka
dibawah 0.05 atau p<0.05. Selain itu, hasil uji korelasi pada kedua teknik
uji statistik yakni Kendall�s Tau dan Spearman�s Rho menunjukkan nilai
koefisien korelasi yang selaras, dimana kedua pengujian menghasilkan angka
koefisien korelasi dengan taraf yang tinggi (d=0.885, Ƭ=0.887 dan ρ=0.967).
Sehingga, dapat diputuskan bahwa H0 ditolak. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa variabel work family
integration dengan meaningfull of
work memiliki hubungan yang signifikan, dengan taraf keeratan hubungan yang
tinggi.
B.
Pembahasan
Work family integration mengacu pada Work�family border theory (Teori perbatasan kerja-keluarga) dimana
teori ini mengacu pada perbatasan antara domain kehidupan keluarga dan
pekerjaan. Batasan ini dapat bersifat fisik, temporal, atau psikologis.
Misalnya, di mana dan kapan pekerjaan dilakukan dan menetapkan aturan untuk
perilaku psikologis (Clark, 2000).
Teori ini mengasumsikan bahwa individu mengadopsi border-keeping strategies.
Dengan kata lain, individu dapat ditempatkan pada kontinum yang
mengidentifikasi segmentasi dan integrasi. Batas-batas yang ketat,
domain-domain kehidupan yang terisolasi (tersegmentasi) dan batas-batas
transenden memungkinkan penyeberangan perbatasan terus menerus (integrasi). �Integrasi
berarti ada permeabilitas perbatasan yang tinggi dan identitas temporal,
spasial, dan perbatasan yang kabur antara domain kehidupan. Manfaat dalam work
family integration ini adalah bahwa kemungkinan terkait dengan
fleksibilitas karyawan dan mengatur pengaturan peran kerja serta peran keluarga
individu.
Integrasi
dilambangkan dengan peran yang dibedakan secara lemah (kontras rendah), tidak
terikat pada tempat dan waktu tertentu (batas fleksibel), dan memungkinkan
interupsi peran-silang (batas permeabel). Peran yang sangat terintegrasi
cenderung memiliki identitas yang sama, tertanam dalam konteks yang sama, dan
tumpang tindih di lokasi fisik dan keanggotaan dari setiap peran. Mengingat
fleksibilitas antara batas peran yang� tinggi
dan permeabilitas, transisi antara peran cenderung relatif sering dan mungkin
tidak dapat diprediksi (misalnya, pekerja berbasis rumahan meluangkan waktu
untuk merawat anak yang menangis).
Kontras yang
rendah antara identitas peran dan fleksibilitas dan permeabilitas batas-batas
peran, proses transisi untuk peran yang terintegrasi cenderung lebih sulit
daripada peran yang segmentasi. Dengan demikian, proses transisi keluar
masuknya peran tidak terlalu rumit. Ahrentzen menemukan bahwa pekerja berbasis
rumahan cenderung melakukan ritual yang relatif sederhana untuk mendapatkan
motivasi untuk mulai bekerja (mis., Minum kopi, baca koran) (Ahrentzen, 1990).
Peralihan peran pada work family
integration dapat terjadi dengan cepat, dengan sedikit atau tanpa
kesadaran. Sebagai contoh, seorang manajer pada satu rapat merupakan seorang
bos dan ketika berada di rapat atau pertemuan selanjutnya dia adalah rekan
kerja, perpindahan ini hanya memerlukan sedikit upaya psikologis (dan fisik).
Gambar 1
Transisi Peran
Faktor yang
memengaruhi besarnya transisi adalah gerakan transisi melintasi peran secara
bersama atau eksklusif. Seperti yang diilustrasikan oleh Gambar 1, peran yang
sangat terintegrasi (tetapi tidak sepenuhnya) terdiri dari tiga bidang
terpisah: (1) area eksklusif untuk peran 1, (2) area eksklusif untuk peran 2,
dan (3) area tumpang tindih antara peran. Meningkatnya area yang tumpang tindih
meningkatkan pula area kekaburan peran dan kesulitasn untuk transisi menurun.
Gambar 3 menggambarkan tiga variasi transisi antara peran terintegrasi;
masing-masing berbeda dalam tingkat di mana tumpang tindih identitas peran.
Pada satu peran 1 (transisi A), transisi peran dalam area yang tumpang tindih
mungkin tidak memiliki arti sama sekali karena bagian-bagian identitas dan
bertumpang tindih tidak mengalami tidak mengalami perubahan psikologis atau
fisik yang signifikan. Pada peran 2 (transisi B), transisi antara dua area
eksklusif mungkin tampak mirip dengan transisi antara peran yang tersegmentasi
karena ada beberapa perubahan psikologis atau fisik, meskipun sebagian tumpang
tindih dalam identitas peran. Opsi ketiga peran 3 (transisi C) terjadi ketika
seseorang bergerak dari area eksklusif dari satu peran ke area yang tumpang
tindih dengan peran lain (atau sebaliknya).
Kekaburan peran
dalam work family integration
memiliki peran yang besar� (Ashforth, Kreiner, & Fugate, 2000).
Batas-batas yang sangat fleksibel dan permeable,
ditambah dengan identitas peran yang tumpang tindih dan set peran dan konteks
yang terkait, dapat menumbuhkan kebingungan dan kecemasan tentang identitas
peran mana yang harus atau paling menonjol. Contoh utama adalah multiplex relationship yaitu, hubungan
yang didasarkan pada lebih dari satu set peran. Dorsey (Ashforth et al., 2000)
menggambarkan tantangan yang dialami oleh seorang penjual� Xerox yang membuat kesepakatan dengan pelanggan lama yang
telah menjalin persahabatan dengannya. Pelanggan memandangnya sebagai teman dan
mengharapkan harga yang sangat bagus, sedangkan dia, sebagai penjual,
diharapkan mendapatkan kesepakatan yang sangat menguntungkan. Dengan demikian,
kekaburan peran dapat mengakibatkan kecemasan, dan bahkan rasa malu, jika
seseorang diminta untuk berpindah-pindah�
atau secara bersamaan memberlakukan peran (Gross & Stone, 1964).
Work-family Integration adalah kecenderungan individu untuk menggabungkan antara peran bekerja
dan juga peran dalam keluarga. Ada dua elemen dalam Work-family Integration, yaitu Integration-Segmentation
Preferences dan Integration-Segmentation Supplies. Alat
ukur yang digunakan adalah Integration-Segmentation
Preferences Supplies yang dibuat oleh Kreiner yang kemudian dikembangkan oleh
Eddleston. Kreiner (Kreiner, 2006)
mengembangkan kuesioner dengan dimensi Integration-Segmentation Preferences Supplies untuk menilai apakah
individu termasuk kedalam Work-family Integration atau Work-family
Segmentation.
Tujuan hidup adalah menemukan makna (meaning). Psikolog Victor Frankl menggambarkan tujuan hidup
manusia yaitu menemukan sesuatu dalam hidup yang membawa perasaan positif dan
kemudian membayangkan kesuksesan dan pemenuhan tujuan yang dikatakan (Frankl,
1963).
Mencari nafkah
dengan melakukan pekerjaan adalah komponen utama dalam menemukan makna (meaning). Para peneliti memperdebatkan
kewajiban moral dan etika dari tempat kerja dalam membantu karyawannya untuk
mengembangkan kebermaknaan (Yeoman, 2014).
Hackman dan Oldham (Hackman & Oldham, 1976)
mengemukakan kondisi psikologis yang diperlukan agar pekerja termotivasi dan
puas pada pekerjaannya, kondisi tersebut adalah persepsi mereka tentang
kebermaknaan (yang dipengaruhi oleh tugas pekerjaan, variasi keterampilan, dan
identitas tugas). Selain itu Kahn (Kahn, 1990)
memperkenalkan konsep employee engagemnet, dimana, salah satu dari tiga
mekanisme psikologis yang menghubungkan individu dan dirinya dalam peran
pekerjaan adalah kebermaknaan (bersama dengan ketersediaan dan keamanan). Brown
& Lent (Brown & Lent, 2016)
menghubungkan kesejahteraan eudemonik dengan makna (meaning), dan menyimpulkan bahwa kesejahteraan eudemonik dicapai
dengan menjalani kehidupan yang baik atau bermakna (bersama dengan memiliki
rasa panggilan dan keterlibatan). Duffy, Autin, dan Bott, menemukan bahwa
kemauan kerja yang dimediasi oleh kecocokan orang-lingkungan dan makna kerja
menyumbang 82% dari varians dalam kepuasan kerja ketika diuji menggunakan
pemodelan persamaan struktural. Teori-teori ini telah menyarankan pentingnya
kebermaknaan di tempat kerja untuk mencapai keterlibatan, kesejahteraan,
motivasi, dan kepuasan kerja.
Chalofsky (Munn, 2012)
menemukan bahwa tiga tema utama muncul dalam kebermaknaan pekerjaan. Tema
tersebut adalah pengalaman kerja yang bermakna dan membentuk kehidupan yang
terintegrasi, rasa percaya diri yang kuat, karya dalam pekerjaannya serta rasa
keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga.
Meaningfulness of Work
datang dengan kepuasan mengetahui bahwa tugas harian yang dilakukan
berkontribusi untuk kebaikan yang lebih besar (Munn, 2012).
Ini mengharuskan organisasi untuk mengambil pandangan yang lebih luas dan lebih
mendalam tentang karyawan mereka, karena ada hubungan yang saling tergantung
antara karyawan dan organisasi, di mana karyawan mencari organisasi yang tidak
hanya akan merawat mereka, tetapi juga menjaga keluarga mereka dengan memahami
perlunya keseimbangan kehidupan kerja (Munn, 2012).
Budaya organisasi di mana karyawan dapat menjadi diri mereka sendiri,
berinteraksi dengan rekan kerja, dan berbicara tentang kehidupan pribadi mereka
berkontribusi pada kemampuan seseorang untuk menemukan Meaningfulness of
Work (Munn, 2012).
Dalam beberapa tahun terakhir, organisasi telah mengambil langkah-langkah untuk
menyediakan tempat kerja yang bermakna dengan membantu karyawan menemukan
keseimbangan dalam kehidupan mereka. Tunjangan dan kebijakan ini termasuk cuti
orang tua yang dilindungi pekerjaan, kesempatan paruh waktu untuk kembali
bekerja, dan penitipan anak di tempat, untuk beberapa nama. Organisasi yang
menyediakan kebijakan keseimbangan kerja-rumah yang bermanfaat ini, dapat
membantu membuat tempat kerja lebih bermakna.
Meaningful of Work adalah pandangan
bagaimana individu memaknai pekerjaanya sehingga� dapat berpengaruh positif dalam kehidupannya,
mempunyai makna bagi individu dalam perkembangan dan pertumbuhannya dan juga
pekerjaan mempunyai tujuan yang saling berhubungan dengan tujuan hidup individu
tersebut. Alat
ukur yang digunakan adalah The Work and Meaning Inventory (WAMI) yang dibuat oleh Steger
(Steger, Dik, & Duffy, 2012).
Steger mengembangkan skala WAMI dimana skala ini
terdiri tiga dimensi yaitu Positive meaning, meaning making through work dan Greater
good motivations.
Berdasarkan
hasil perhitungan diketahui bahwa work
family integration dengan meaningfull
of work memiliki hubungan yang signifikan dengan taraf keeratan hubungan yang
tinggi. Kebermaknaan dan pemenuhan kebutuhan adalah hal yang memotivasi
individu untuk dapat mengintegrasikan peran keluarga serta peran dalam
pekerjaannya. Proses integrasi ini tidak mungkin dilakukan tanpa koordinasi
dengan organisasi serta dedikasi akan setiap peran yang dijalani. Bukan tidak
mungkin remote worker mengalami
kendala dalam pekerjaannya kendala yang paling terlihat dalam remote worker adalah kekaburan peran
antara peran keluarga serta peran dalam pekerjaannya. Fleksibilitas jam kerja
memungkinkan individu untuk berpindah peran dari satu peran ke peran lainnya
dan memungkinkan individu untuk berintegrasi diseluruh domain peran mereka.
Hasil penelitian ditemukan bahwa remote worker berada pada domain work family integration dengan tingkatan yang moderat atau cukup.
Dengan demikian, meskipun peran�
pekerjaan dan keluarga dapat dikatakan terintegrasi secara baik untuk
pekerja remote, tetapi pekerja remote tetap dapat menerapkan batasan-batasan
sehingga kekaburan peran tidak terlalu terlihat dalam lingkungan pekerjaannya
yang mengakibatkan konflik baik dalam keluarga maupun dari pekerjaannya. Maka,
dalam penelitian ini transisi yang terjadi adalah transisi B, dimana transisi
antara dua area eksklusif mungkin tampak mirip dengan transisi antara peran
yang tersegmentasi karena ada beberapa perubahan psikologis atau fisik,
meskipun sebagian tumpang tindih dalam identitas peran. Hasil penelitian
Eddleston (Eddleston & Mulki, 2017)
menunjukan bahwa kemampuan untuk membagi beberapa aspek pekerjaan dan keluarga
pada para pekerja remote membatasi konflik pada pekerjaan serta keluarga
mereka.
Pencarian untuk
memperoleh dan keseimbangan antara kehidupan kerja dan� kehidupan keluarga adalah proses pengembangan
berkelanjutan. Partisipan dalam penelitian ini merasakan kebermaknaan yang
tinggi terhadap pekerjaannya. dapat dikatakan mereka mengalami lebih sedikit
konflik keluarga yang bekerja, lebih banyak merasakan keseimbangan keluarga dalam bekerja. Hal yang sama
berlaku ketika mereka merasakan arti yang lebih bermakna dalam kehidupan rumah/keluarga
mereka. Chalofsky (Munn, 2012)
menemukan bahwa tiga tema utama muncul dalam kebermaknaan pekerjaan. Tema
tersebut adalah pengalaman kerja yang bermakna dan membentuk kehidupan yang
terintegrasi, rasa percaya diri yang kuat, karya dalam pekerjaannya serta rasa
keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Pada pekerja remote, mereka dapat
mengintegrasikan antara peran keluarga dan juga peran pekerjaan sehingga
meminimalkan konflik serta mengalami keseimbangan dalam kehidupannya sehingga
pekerja remote ini dapat merasakan kebermaknaan yang tinggi terhadap
pekerjaannya.
Kesimpulan
Remote
worker pada pekerja media TV X berada pada domain work family integration yang cukup dimana meskipun peran pekerjaan
dan keluarga dapat dikatakan terintegrasi secara baik untuk pekerja remote,
tetapi pekerja remote tetap dapat
menerapkan batasan-batasan sehingga kekaburan peran tidak terlalu terlihat
dalam lingkungan pekerjaannya. Adapun keseimbangan yang dimiliki oleh para remote worker ini menjadikannya lebih
mengalami keseimbangan antara peran keluarga serta peran pekerjaannnya sehingga
meminimalisir konflik yang terjadi pada lingkungan pekerjaan serta ingkungan
keluarganya. Keseimbangan yang diperoleh oleh para remote worker ini kemudian membuat para remote worker merasakan kebermaknaan yang tinggi pada pekerjaannya.
Ahrentzen, Sherry Boland. (1990). Managing Conflict by
Managing Boundaries. Environment and Behavior, 22(6), 723�752.
https://doi.org/10.1177/0013916590226001 Google Scholar
Ashforth, Blake E., Kreiner, Glen E., & Fugate, Mel.
(2000). All in a day�s work: Boundaries and micro role transitions. Academy
of Management Review, 25(3), 472�491.
https://doi.org/10.5465/AMR.2000.3363315 Google Scholar
Bailyn, Lotte, & Harrington, Mona. (2004). Redesigning
work for work-family integration. Community, Work and Family, 7(2),
197�208. https://doi.org/10.1080/1366880042000245470 Google Scholar
Baltes, B. B., Briggs, T. E., Huff, J. W., Wright, J. A.,
& Neuman, G. A. (1999). Editorial. Journal of Applied Psychology, 84(4),
496�513. https://doi.org/10.15446/rcp.v25n1.56276 Google Scholar
Brown, Steven D., & Lent, Robert W. (2016). Vocational
Psychology: Agency, Equity, and Well-Being. Annual Review of Psychology,
67(1), 541�565. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-122414-033237 Google Scholar
Burke, Peter J. (1991). Identity Processes and Social Stress.
American Sociological Review, 56(6), 836.
https://doi.org/10.2307/2096259 Google Scholar
Burke, Ronald. (2010). Do managerial men benefit from
organizational values supporting work-personal life balance? Gender in
Management, 25(2), 91�99. https://doi.org/10.1108/17542411011026267 Google Scholar
Clark, Sue Campbell. (2000). Work/Family Border Theory: A New
Theory of Work/Family Balance. Human Relations, 53(6), 747�770.
https://doi.org/10.1177/0018726700536001 Google Scholar
Eddleston, Kimberly A., & Mulki, Jay. (2017). Toward
Understanding Remote Workers� Management of Work�Family Boundaries: The
Complexity of Workplace Embeddedness. Group & Organization Management,
42(3), 346�387. https://doi.org/10.1177/1059601115619548 Google Scholar
Grady, Geraldine, & McCarthy, Alma M. (2008). Work-life
integration: Experiences of mid-career professional working mothers. Journal
of Managerial Psychology, 23(5), 599�622.
https://doi.org/10.1108/02683940810884559 Google Scholar
Gross, Edward, & Stone, Gregory P. (1964). Embarrassment
and the Analysis of Role Requirements. American Journal of Sociology, 70(1),
1�15. https://doi.org/10.1086/223733 Google Scholar
Hackman, J. Richard, & Oldham, Greg R. (1976). Motivation
through the design of work: test of a theory. Organizational Behavior and
Human Performance, 16(2), 250�279.
https://doi.org/10.1016/0030-5073(76)90016-7 Google Scholar
�
Kahn, William A. (1990). Psychological conditions of personal engagement and
disengagement at work. Academy of Management Journal, 33(4),
692�724. https://doi.org/10.5465/256287 Google Scholar
Kreiner, Glen E. (2006). Consequences of work-home segmentation
or integration: a person-environment fit perspective. Journal of
Organizational Behavior, 27(4), 485�507.
https://doi.org/10.1002/job.386 Google Scholar
Llave, Oscar Vargas, & Messenger, Jon. (2018). 1757b
Working anytime, anywhere: the effects on the world of work. A219.2-A220.
https://doi.org/10.1136/oemed-2018-icohabstracts.623 Google Scholar
Maxfield, David, & Grenny, Joseph. (2017). A Study of
1,100 Employees Found That Remote Workers Feel Shunned and Left Out. Harvard
Business Review, 1�5. Retrieved from
https://hbr.org/2017/11/a-study-of-1100-employees-found-that-remote-workers-feel-shunned-and-left-out
Google Scholar
Munn, Sunny L. (2012). Book review: Neal E Chalofsky,
Meaningful Workplaces: Reframing How and Where We Work. Work, Employment and
Society, 26(3), 542�543. https://doi.org/10.1177/0950017012438582 Google Scholar
O�Driscoll, Pam Allis Michael. (2008). Article information :
23(3), 273�291. Retrieved from https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/02683940810861383/full/html
Steger, Michael F., Dik, Bryan J., & Duffy, Ryan D.
(2012). Measuring Meaningful Work. Journal of Career Assessment, 20(3),
322�337. https://doi.org/10.1177/1069072711436160 Google Scholar
Williams, Kevin J., & Alliger, George M. (1994). Role
Stressors, Mood Spillover, and Perceptions of Work-Family Conflict in Employed
Parents. Academy of Management Journal, 37(4), 837�868.
https://doi.org/10.5465/256602 Google Scholar
Yeoman, Ruth. (2014). Conceptualising Meaningful Work as a
Fundamental Human Need. Journal of Business Ethics, 125(2),
235�251. https://doi.org/10.1007/s10551-013-1894-9 Google Scholar
Zedeck, Sheldon, & Mosier, Kathleen L. (1990). Work in
the family and employing organization. American Psychologist, 45(2),
240�251. https://doi.org/10.1037/0003-066X.45.2.240 Google Scholar
Copyright holder: Feby Satya Wirawati dan
Anissa Lestari Kadiyono� (2021) |
First
publication right: Journal Syntax Literate |
This article is
licensed under: |