Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol.
6, No. 5, Mei 2021
MENGUKUR KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM
PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Supardi
Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta,
Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
One of the negative impacts of the advancement of digital
technology is the growth of various crimes using electronic means or other
means based on computerization, no exception to corruption. The situation
requires law enforcement officials in proving the crime of corruption not only
rely on conventional evidence, but combine electronic digital technology
methods so as to give birth to electronic evidence.� The fundamental issues related to this in
Indonesia are: (1) How is the regulation of electronic evidence in Indonesian
law (2) How is the position of electronic evidence in the law of proof of
corruption. (3) How to maintain the validity of electronic evidence for the
purposes of proof? Research method used is normative juridical approach, which
is research based on secondary data, while the research specification used is
descriptive analytical. The data source used consists of primary legal
materials and secondary legal materials. The results concluded that: (1)
Indonesia does not yet have a law governing electronic evidence that is
generally applicable to all criminal acts. (2) The placement of electronic data
as a means of evidence of instruction in the case of corruption is a form of
dissertation and evidently has a weak position. (3) The validity of electronic
evidence is determined through a forensic digital process with stages:
maintained data integrity, the presence of competent persons, the preservation
of chain of custody and compliance with regulations.
Keywords: �electronic evidence; instructions; proof;
corruption
Abstrak
Salah satu dampak negatif
kemajuan teknologi digital adalah tumbuh kembangnya
berbagai kejahatan dengan menggunakan sarana elektronik atau sarana lain yang berbasis pada komputerisasi, tidak terkecuali tindak pidana korupsi.
Keadaan tersebut menuntut aparat penegak hukum dalam
membuktikan perkara tindak pidana korupsi
tidak hanya mengandalkan bukti-bukti konvensional, namun menggabungan metode teknologi digital elektronik sehingga melahirkan alat bukti elektronik.� Persoalan mendasar terkait dengan hal ini
di Indonesia yaitu: (1) Bagaimana
pengaturan alat bukti elektronik di dalam hukum Indonesia (2) Bagaimana kedudukan alat bukti elektronik
di dalam hukum pembuktian tindak pidana korupsi. (3) Bagaimana menjaga validitas alat bukti elektronik untuk kepentingan pembuktian? Metode Penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada data sekunder, sedangkan spesifikasi penelitian yang digunakan berupa deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian berkesimpulan bahwa: (1)
Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur alat bukti elektronik
yang berlaku umum untuk semua tindak
pidana. (2) Penempatan data
elektronik sebagai alat bukti petunjuk
dalam perkara tindak pidana korupsi
merupakan bentuk diskrimansi dan secara pembuktian memiliki kedudukan yang lemah. (3) Validitas alat bukti elektronik ditentukan melalui proses digital
forensik dengan tahapan: terpeliharanya integritas data, adanya orang
yang kompeten, terpeliharanya
chain of custody dan kepatuhan terhadap peraturan.
Kata Kunci: alat bukti elektronik; petunjuk; pembuktian; korupsi
Pendahuluan
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat, berlaku pula bagi perkembangan kejahatan. Kejahatan dilakukan memanfaatkan dan menggunakan peluang yang disediakan oleh kemudahan instrumen teknologi canggih, tidak lagi dengan
cara-cara tradisional. Kejahatan yang demikian itu merupakan kejahatan
berdimensi baru. Istilah ini untuk
menunjukkan suatu kejahatan yang berhubungan perkembangan masyarakat di bidang perekonomian dalam masyarakat industri, yang pelakunya terdiri dari golongan
mampu, intelek, terorganisasi (termasuk dalam white collar crime). Mobilitas
kejahatan tinggi dilakukan tidak hanya di suatu wilayah, melainkan antar wilayah, bahkan menerobos batas regional, transnasional modus-operandinya menggunakan peralatan canggih, memanfaatkan peluang kelemahan sistem hukum, sistem manajemen
(Kunarto, 1991).
Meningkatnya tingkat kejahatan yang beririsan dengan pengembangan pengetahuan dan teknologi, dengan sendirinya membawa dampak kompleksitas modus
operandi yang digunakan oleh para pelaku
kejahatan termasuk kejahatan/ tindak pidana korupsi. Dampaknya, penindakan terhadap tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan
hanya dengan cara-cara konvensional. Aparat penegak hukum harus memahami
dan memanfaatkan jejak-jejak
digital dan elektronik dalam
pengungkapan dan pembuktian
tindak pidana korupsi dengan sarana teknologi digital elektronik. Terminologi jejak-jejak digital elektronik tersebut dikenal dengan sebutan �alat bukti elektronik
atau sering disebut bukti elektronik�.
�� Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tidak mengenal alat bukti elektronik.
Alat bukti yang dikenal dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa dan petunjuk. Jejak digital yang diangkat menjadi formulasi alat bukti dimulai
dengan diundangkannya Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UUTPK). Pasal 26A UUTPK mengangkat jejak digital elektronik menjadi alat bukti
�petunjuk�, dengan rumusan sebagai berikut:
�Alat bukti yang sah dalam bentuk
petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana
korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. alat bukti
lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.�
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UUTPPU),
dalam Pasal 73 menempatkan alat bukti digital elektronik yang disebut sebagai �alat bukti lain� selain yang diatur di dalam KUHAP berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau
alat yang serupa optik dan dokumen. Artinya UUTPPU menempatkan bukti digital sebagai alat bukti mandiri,
bukan dilekatkan sebagai �alat bukti
petunjuk� seperti dalam UUTPK. Redaksi yang hampir sama dengan
UUTPPU yang menempatkan alat
bukti elektronik sebagai alat bukti
mandiri, ada di UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UUITE) dan beberapa undang-undang lain seperti UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Pasal 86), UU Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (Pasal 20) dan UU Nomor
9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
(Pasal 38).
Bukti elektronik pada dasarnya adalah informasi atau dokumen, atau dapat
disebut secara umum �data�, bukan alat. Data ini sifatnya �mirroring� atau copy
dari perangkat. Data inilah yang digunakan sebagai alat bukti
dalam pengungkapan dan pembuktian perkara pidana sejak penyidikan
hingga di persidangan.
KUHAP menentukan jenis alat bukti secara
secara limitatif, sedangkan undang-undang khusus lainnya menambahkan �data� sebagai jenis alat bukti
tambahan yang ada di KUHAP.
Namun anehnya di antara undang-undang khusus tersebut tidak terdapat kata sepakat dalam�� menempatkan data sebagai alat bukti,
ada yang menjadikan sebagai alat bukti
petunjuk dan ada yang sebagai alat bukti
tersendiri (mandiri).
Tidak adanya perlakuan yang sama terhadap data dan tidak adanya kesatuan
pengaturan mengenai alat bukti elektronik
ini menimbulkan problematik hukum baik dalam tataran
normatif maupun praktis, mengingat alat bukti petunjuk
sebenarnya memiliki gradasi terendah dalam fungsinya sebagai alat pembuktian.
Bahkan secara gamblang van Bemelen (Hamzah, 2008) mengatakan bahwa petunjuk itu sebenarnya bukanlah alat bukti.
Untuk itu relevan sekali dilakukan penelitian dan pengkajian mengenai persoalan pengaturan dan kekuatan alat bukti
elektronik.
Metode Penelitian
Metode penelitian
yang digunakan dalam penulisan� ini adalah pendekatan
yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analisis, yaitu metode penelitian
dengan cara mengumpulkan data-data sesuai dengan data yang sebenarnya kemudian data-data tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk memberikan gambaran mengenai masalah yang ada (Dr,
2008). Data-data sekunder yang diperoleh
akan disajikan dalam bentuk uraian
yang disusun secara sistematis sebagai suatu rangkaian yang utuh sehingga metode
yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah metode
kualitatif. Artinya data
yang diperoleh disusun secara sistematis dalam bentuk uraian
atau penjelasan untuk menggambarkan hasil penelitian (Soekanto,
1986).
Hasil dan Pembahasan
1.
Pengaturan bukti elektronik
Proses pidana menurut KUHAP umumnya dimulai dengan penemuan peristiwa pidana oleh penyelidik melalui proses yang disebut penyelidikan, walaupun menurut ketentuan Pasal 104 KUHAP tingkatan penyelidikan bukan merupakan keharusan (not obligation for the criminal process). Peristiwa tersebut kemudian akan diuji
di tingkat penyidikan melalui bukti-bukti yang diperoleh penyidik.
Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tidak terdapat penjelasan yang memadai terkait ukuran keadaan yang bagaimana sehingga penyidik dikatakan telah berhasil membuat terang tindak pidana dan menemukan tersangka. Merujuk ketentuan Pasal 183 KUHAP, syarat yang harus dipenuhi oleh hakim setidak-tidaknya didukung dengan dua alat
bukti sah ditambah adanya keyakinan. Alat bukti sah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang terdiri: 1) keterangan saksi, 2) keterangan ahli, 3) surat, 4 petunjuk dan 5) keterangan terdakwa.� Sistem pembuktian seperti ini disebut pembuktian
negatif (negative
wettelijk) atau pembuktian menurut undang-undang secara negatif.
Negative wettelijk ���mirip dengan sistem pembuktian
convicition in raisone. Hakim
di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seorang
terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang dan keyakinan hakim
sendiri, sehingga dalam sistem negatif
ada� dua� syarat untuk membutikan
kesalahan terdakwa, yaitu wettelijk �berdasarkan alat bukti� yang ditentukan undang-undang dan negative sesuai keyakinan hakim (Sasangka &
Rosita, 2003). Prinsip pembuktian tersebut harus dipedomani oleh penyidik dan jaksa dalam proses pengumpulan alat bukti di penyidikan
dan penentuan kelengkapan berkas perkara-perkara, sehingga ketika berkas perkara pidana dinyatakan lengkap telah memenuhi
kriteria mininal dua alat bukti� yang cukup dan keyakinan terbukti di persidangan nantinya.
Pengertian penyidikan dalam Pasal 1 angka 2 tidak mengenal istilah alat bukti
tetapi �bukti�, sementara dalam Pasal 184 ayat (1) jo Pasal 183 KUHAP memakai istilah alat bukti.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) memberikan pengertian
bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, kebenarannya, saksi, tanda hal
yang menjadi tanda perbuatan jahat (Indonesia, 2008).
Menurut M. Yahya Harahap, secara yuridis pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat bukti
yang dibenarkan undang-undang
dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati
dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa (Harahap, 2012).
Subekti dan R. Tjitrosoedibjo mengartikan bukti sebagai sesuatu
untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau
pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian, bewisje middle adalah
alat yang dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak dimuka pengadilan
(Hamzah, 1986). Andi Hamzah mendefinisikan
tentang bukti dan alat bukti, yaitu
sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian
dan dakwaan. Alat bukti ialah upaya pembuktian
melalui alai-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana
dakwaan disidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat, petunjuk,
dan termasuk persangkaan
dan sumpah (Hamzah, 1986).
Pegertian bukti dan alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 184 KUHAP sering dipersamakan dalam menyebut �data� sebagai out put suatu proses
digital forensik atas benda sitaan elektronik
(perangkat elektronik) yang
lazim disebut sebagai barang bukti (elektronik) dan turunannya.� Barang bukti elektronik
adalah perangkat elektronik diperoleh melalui proses penyitaan yang dalam bahasa Pasal
44 KUHAP disebut sebagai benda sitaan. Sedangkan
data elektronik sifatnya �mirroring�
atau copy dari perangkat dan data inilah yang digunakan sebagai alat bukti elektronik
yang tampil dalam bentuk informasi elektronik ataupun dokumen elektronik.
Barang bukti bukan alat
bukti tetapi barang bukti bisa
menjadi alat bukti petunjuk apabila bersesuaian dengan alat bukti
lain. Dalam sistem�� Common Law seperti
di Amerika Serikat, pengaturan
alat bukti elektronik berbeda dengan sistem di Indonesia. Alat bukti yang disebut sebagai forms of
evidence dalam US Criminal Procedure Law ��ialah real evidence,
documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice. Dalam system ini real evidence (barang
bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai, sementara itu real evidence di
Indonesia bukanlah
alat bukti, sehingga alat bukti
elektronik jelas berbeda dengan barang bukti elektronik.
Dengan demikian pengertian bukti dalam Pasal
1 angka 2 KUHAP terdiri dari alat bukti
dan barang bukti, sehingga relevan untuk tidak mencampur
adukkan pengertian bukti elektronik dan alat bukti elektronik.� Pembedaan istilah ini penting,
setidaknya didukung dengan tiga alasan:� pertama� KUHAP mengenal� istilah� bukti, alat bukti dan barang bukti (benda
sitaan) dalam fungsi yang berbeda-beda, kedua berpijak dari pengertian penyidikan (mencari dan mengumpulkan bukti), hasil pekerjaan� penyidik berupa berkas perkara
berisi kumpulan fakta�� dengan dukungan� dua hal yaitu� alat bukti� dan barang� bukti. Ketiga pernyataan Penuntut Umum menyatakan kelengkapan formil/materiil berkas perkara dari penyidik,
alat ukurnya minimum pembuktian, yaitu unsur-unsur pasal yang disangkakan setidaknya didukung dengan dua alat bukti
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 jo 184 ayat (1) KUHAP
dan adanya barang bukti yang mendukung hal tersebut. Oleh karena itu penyebutan
istilah bukti elektronik harus dibedakan dengan alat bukti elektronik.
Alat bukti elektronik
berisi data elektronik yang
terdiri dari informasi elektronik ataupun dokumen elektronik. Informasi elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic
mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol, atau perforasi
yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Dokumen elektronik adalah setiap informasi
elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik,
optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol atau perforasi
yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Secara khusus undang-undang yang berkaitan langsung dengan obyek data elektronik atau �data� yang lahir dari transaksi
elektronik, diatur di dalam UUITE. Undang-undang ini mengatur setiap
perbuatan yang berhubungan dengan transaksi elektronik, yaitu setiap perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
UUITE dimaksudkan untuk merespon perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global akibat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless)
dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan
berlangsung demikian cepat.� Situasi ini telah
lahir suatu rezim hukum baru
yang dikenal dengan hukum siber atau
hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika.
Istilah lain yang
juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup
lokal maupun global (internet)
dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara
virtual.
Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian
dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Perbuatan hukum tersebut acapkali mengganggu keseimbangan hak pribadi orang lain atau dengan kewajiban hukum pelaku sehingga
dikriminalisi menjadi delik yang diatur di dalam Pasal 27 s/d 37 Jis Pasal 45 s/d 42 UUITE.
Namun demikian UUITE hanya berlaku bagi dirinya
sendiri. UUITE tidak menyatukan pemahaman fungsi alat bukti
elektronik yang tersebar di
undang-undang lainnya, yang
masing-masing memberikan porsi
atau kedudukan berbeda-beda. Alat bukti elektronik yang dimaksud dalam UUITE hanya berlaku untuk pembuktian
perbuatan hukum dalam arti tindak pidana yang diatur di dalam UUITE. Pasal 2 UUITE menegaskan bahwa undang-undang tersebut hanya berlaku untuk
setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam UUITE sehingga segala ketentuan tentang alat bukti
elektronik tidak berlaku bagi undang-undang
lain termasuk UUTPK.
Perbuatan hukum ini harus
dimaknai semua bentuk transaksi elektronik yang berdimensi hukum baik dalam�� arti negatif (tindak pidana) maupun positif. Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. UUITE bertujuan agar pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Untuk itu perlu diatur sisi
keamanan, kepastian hukum dalam pemanfaatan
teknologi informasi, media
dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Setiap perbuatan yang memanfaatkan dan menggunakan sarana TI harus memenuhi kriteria dan ketentuan UUITE, dengan konsekuensi pelanggaran�� dikenai pidana dan berlaku alat bukti elektronik
menurut UUITE.
Alat bukti elektronik mandiri menurut UUITE tidak berlaku untuk
tindak pidana lain di luar UUITE meskipun kejahatan dilakukan dengan sarana elektronik.
Menjadi problem besar ketika dihubungkan dengan kejahatan umum yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak mengenal alat bukti
elektronik.
Perdebatan di pengadilan dalam pengajuan alat bukti elektronik sangat mungkin terjadi, terlebih dalam perkara tindak
pidana umum. Penasehat Hukum menganggap alat bukti yang diajukan Penuntut Umum ilegal atau
tidak sah. Ketidakseragaman perlakuan perundang-undangan terhadap data elektronik sebagai alat bukti semestinya
bisa diakhiri apabila setiap undang-undang menempatkan status
dan kualitas yang sama terhadap alat bukti
elektronik di dalam pembuktian perkara pidana yang menggunakan data elektronik.
� Solusi paling ideal melalui
legislatif (DPR) dengan melakukan revisi Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menambahkan data elektronik sebagai alat bukti
sah yang dan mandiri sehingga alat bukti
elektronik menjadi milik semua tindak
pidana tanpa kecuali. Terlebih, perkembangan kejahatan yang menggunakan sarana digital elektronik dan kompleksitas kejahatan termasuk delik-delik yang diatur di dalam KUHP menuntut pengungkapan dan pembuktian yang mendasarkan�� pada alat bukti elektronik.
Jalan keluar kedua memberikan perlakuan yang sama di setiap undang-undang atas data elektronik, dengan cara revisi undang-undang
yang memberikan perlakuan berbeda seperti UUTPK.
Perbedaan perlakuan alat bukti elektronik sangat mempengaruhi cara kerja aparat
penegak hukum, baik dari sudut
pembuktian perkara pidana maupun perlindungan
hak asasi terdakwa. Sudarto mengemukakan bahwa keseluruhan fungsi penegak hukum termasuk
cara kerja pengadilan merupakan bagian dari arti kebijakan kriminal dalam arti luas (Barda Nawawi Arief,
2016). Menurut
G. Peter Hoefnagels sebagaimana
dikutip Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminal as a science policy is par
of longer policy, the law enforcement policy. The legislative and enforcement
policy is turn part of social policy. Jadi cara kerja aparat penegak
hukum dalam membuktikan perkara, kerja legislatif merupakan bagian integral kebijakan sosial menuju kesejahteraan sosial dan perlindungan masyarakat.
Cara kerja dalam penegakan
hukum merupakan bagian kebijakan sosial dalam melindungi
masyarakat. Keberhasilan penegakan hukum tidak terlepas dari hasil kerja
legislatif. Upaya penegakan hukum yang baik akan lebih
mudah apabila didasari pada undang-undang yang baik, inilah yang dinamakan implementasi kebijakan kriminal yang baik. Ketika tedapat ketidaksempurnaan undang-undang sudah semestinya dilakukan perbaikan melalui revisi, perubahan atau penggantian.
2. Mengukur kekuatan data elektronik sebagai alat bukti
petunjuk dalam perkara tindak pidana korupsi.
Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (1) KUHAP petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan,
yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidananya itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Perbuatan, kejadian dan keadaan yang saling bersesuaian itu sesuai Pasal
188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari alat bukti
berupa keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Ini artinya alat
bukti petunjuk sebenarnya bukan sebagai alat bukti
yang mandiri karena keberadaannya harus digantungkan pada alat bukti lain.
Pasal 188 KUHAP memiliki kemiripan dengan ketentuan Pasal 310, Pasal 311 dan Pasal 312 HIR dengan sedikit perbedaan. Petunjuk menurut� Pasal 311 HIR selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa juga dapat diperoleh dari pemeriksaan dan penglihatan hakim sendiri, sehingga pembuktian yang didasarkan petunjuk di berbagai alat bukti
tidak mungkin diperoleh oleh hakim tanpa menggunakan redenering atau suatu pemikiran
tentang adanya persesuaian antara kenyataan satu dengan kenyataan lain atau dengan tindak
pidananya sendiri (Lamintang, 1984). Jadi sifat
petunjuk sebagai alat bukti tidak
mandiri dan sangat bergantung pada pemikiran hakim.
Oleh karena itu Andi Hamzah
berpendapat petunjuk lebih pantas disebut
sebagai alat bukti pengamatan hakim seperti hanya UU Nomor 1 Tahun 1950 yang telah menghapus alat bukti petunjuk
atau sama dengan Nederland Strafvordering
yang baru.
Lebih lanjut Andi Hamzah dengan menyetir pendapat A. Minkenhof dikatakan: �Di sini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian, menjadi sama dengan pengamatan
hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim (eigen
waarneming van de rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui
oleh hakim sebelumya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan
atau peristiwa itu telah diketahui
oleh umum�. (Hamzah, 2005) Hal ini berbanding lurus dengan praktek
penyidikan yang menampilkan
produk berkas perkara, dimana alat bukti yang tersusun di dalam berkas perkara tidak satupun menyebutkan
alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP karena alat bukti
petunjuk pada prinsipnya didasarkan pengamatan pada saat pembuktian.
Oleh karena itu sangat
beralasan apabila dikatakan alat bukti petunjuk memiliki gradasi terendah dibandingkan dengan alat bukti
lain. Bahkan van Bemelen megatakan �tetapi kesalahan utama ialah petunjuk dipandang sebagai suatu alat bukti
padahal pada hakekatnya tidak ada� (Hamzah, 2015). Artinya, menurut van Bemelen petunjuk sebenarnya bukan merupakan alat bukti.
Hal tersebut di atas relevan dengan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang memberikan catatan khusus bahwa penilaian atas kekuatan alat
bukti petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh
hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Ketentuan ini seolah memberikan
pesan, sebaik-baiknya pembuktian adalah dengan menggunakan alat bukti yang secara nalar obyektif
tidak memerlukan pemikiran khusus untuk menganggapnya sebagai alat bukti
(alat bukti mandiri). Intinya penggunaan alat bukti petunjuk sedapat mungkin diminimalisir dengan menggunakan alat bukti lain yang ukuran obyektifnya lebih jelas, seperti alat bukti keterangan
saksi, keterangan terdakwa, surat dan keterangan ahli.
� Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUITE mengatakan
bahwa data yang berupa informasi elektronik dan dokumen elektronik berikut hasil cetakannya�� merupakan �alat bukti hukum
yang sah� sebagai perluasan alat bukti yang diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. UUITE menempatkan
data yang berisi informasi
dan dokumen elektronik merupakan alat bukti mandiri yang tidak digantungkan pada alat bukti lain. Redaksi �alat bukti
sah� sama dengan penyebutan yang diatur di dalam undang-undang lain di luar KUHAP seperti tindak pidana pencucian uang, narkotika, terorisme dan
lain-lain yang menempatkan data elektronik
sebagai alat bukti mandiri dan sempurna sebagai tambahan jenis alat bukti yang diatur di dalam Pasal 188 KUHAP. Hal berbeda dengan ketentuan Pasal 26A UUTPK yang menempatkan
data elektronik sebagai sumber untuk mendapatkan
petunjuk (sebagai alat bukti petunjuk).
Mengingat kedudukan, sifat dan kharakter alat petunjuk tersebut, maka penempatan alat bukti elektronik
sebagai petunjuk dalam pembuktian perkara tindak pidana korupsi harus mengikuti sifat dan kharakter alat bukti petunjuk
sebagaimana dimaksud di dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti petunjuk
di dalam khasanah pembuktian harus mengikuti tata cara yang sama layaknya alat
bukti petunjuk, yaitu berdasarkan penilaian dan pengamatan di dalam sidang oleh hakim.
Tren yang berkembang dalam pembuktian perkara sulit terutama tindak pidana korupsi,
alat bukti elektronik merupakan �pembunuh� (baca: alat bukti) handal
untuk membuktikan perbuatan dan kesalahan terdakwa karena alat bukti elektronik
mampu merekam kejadian ante factum seperti
�apa adanya�. Sebagai alat bukti
handal, dengan mudah alat bukti
elektronik mampu membentuk keyakinan terbuktinya perbuatan dan kesalahan terdakwa.
Alat bukti elektronik relatif sebagai alat bukti yang sulit dibantah baik oleh saksi maupun terdakwa. Bantahan yang sifatnya kebohongan secara gestur tubuh dan ketidaklogisan bantahan mudah diketahui sehingga tidak sulit�� melahirkan keyakinan mengenai kebenaran alat bukti elektronik.
Terlebih lagi alat bukti elektronik
dapat melahirkan alat bukti lain yaitu ahli, seperti
ahli digital forensik yang membenarkan suara dan gambar saksi maupun
terdakwa yang terekam di dalam alat bukti
elektronik, seperti nampak dalam persidangan
perkara tindak pidana korupsi (suap) dengan terdakwa
Eddy Sindoro di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Terdakwa membantah
alat bukti rekaman suara hasil
penyadapan yang diajukan
oleh Penuntut Umum bahwa suara di dalam rekaman bukan
suaranya. Ahli digital forensik
Dhany Arifianto dari Institut Teknologi
Surabaya (ITS) menerangkan suara
di dalam rekaman tersebut identik dengan suara milik
Eddy Sindoro.
Alat bukti elektronik merupakan alat bukti �apa adanya� (as it is), ditampilkan
di dalam sidang dan sebagai informasi apa adanya, layaknya
seorang saksi yang merekam dan menceriterakan kembali apa yang pernah dilihat, diketahui dan didengar sendiri. Ketika isi yang terurai dalam alat
bukti elektronik tersebut�� bersesuaian dengan alat bukti lain (seperti saksi), maka semestinya alat bukti elektronik
secara mandiri telah berfungsi sebagai alat bukti
mandiri dan memenuhi kualifikasi dua alat bukti cukup,
tidak lagi menjadi sumber alat bukti petunjuk
yang harus diproses melalui pengamatan hakim. Merujuk pada Pasal 185 ayat (6) KUHAP, maka alat bukti keterangan
saksi dapat dikatakan telah bersesuaian dengan alat bukti elektronik,
misalnya hasil sadapan.
Dengan demikian secara normatif dan teknis, penempatan alat bukti elektronik lebih tepat apabila
diletakkan sebagai alat bukti lain yang sah di luar ketentuan
Pasal 184 ayat (1) KUHAP, artinya alat bukti
elektronik tidak disposisikan sebagai alat bukti petunjuk
sebagaimana dalam UUTPK. Alih-alih sebagai mesin pembunuh, justeru alat bukti
elektronik di UUTPK tidak menjadi alat bukti
yang mandiri tetapi harus dilekatkan sebagai alat bukti
petunjuk.
Ironisnya, secara teknis alat
bukti elektronik sebagai petunjuk maupun sebagai alat bukti mandiri,
tidak terdapat perbedaan substansial baik dalam �memperoleh
maupuan menampilkan� di persidangan. Misalnya hasil intercept melalui
media sosial atau sarana yang digunakan oleh orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan,
berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah
jaringan dan komunitas
virtual. Penuntut Umum akan menunjukkan visualisasi percakapan, gambar atau tulisan tersebut di depan persidangan. Tidak ada perbedaan perlakuan
di tataran teknis sehingga pembedaan dalam undang-undang menjadi sesuatu yang aneh, menyimpang dari konsep alat
bukti petunjuk dan lebih jauh tentunya
merugikan kepentingan terdakwa.
Selain itu alat bukti
elektronik juga dapat diperoleh melalui proses pengolahan digital forensik atas benda sitaan
elektronik (perangkat elektronik) sehingga diperoleh data elektronik atas benda sitaan/barang bukti elektronik,
termasuk proses cloning atas
data-data yang telah terhapus.
Mekanisme penampilan keduanya dalam pembuktian di pengadilan tidak memiliki perbedaan, sehingga menempatkan keduanya dalam kualitas yang berbeda menjadi sesuatu yang tidak tepat.
Oleh karena itu penempatan
kualitas berbeda terhadap alat bukti
elektronik di dalam UUTPK menandakan sebagai kebijakan kriminal yang diskriminatif dibandingkan dengan undang-undang di luar KUHP lainnya. Karena itu penempatan kualifikasi data elektronik sebagai alat bukti
petunjuk di dalam UUTPK perlu ditinjau ulang.
3. Validitas alat bukti elektronik.
Di Indonesia
belum terdapat peraturan khusus terkait alat bukti
elektronik yang berlaku umum (untuk semua
tindak pidana). UUITE merupakan ketentuan khusus yang mengatur aktifitas bidang elektronik yang di dalamnya juga mengatur alat bukti
elektronik, tetapi terbatas berlaku pada perbuatan hukum yang diatur di dalam UUITE. Menurut Pasal 5 ayat (3) jo Pasal 6 UUITE Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dinyatakan sah apabila menggunakan sistem
elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a.
dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
b.
dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
c.
dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
d.
dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
e.
memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban
prosedur atau petunjuk.
Suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dapat menjadi alat bukti yang sah di persidangan harus harus didasarkan
sertifikasi, baik mengenai subyek maupun sistemnya. Syarat-syarat mengenai penyelenggara sertifikasi dan penyelenggaraan sistem elektronik diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal
16 UUITE. Proses dan pengelolaan (processing and
treatment) atas informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik sehingga menjadi alat bukti memerlukan
ilmu keahlian khusus yang disebut sebagai digital forensik (digital
forensic).
Menurut Prayudi, dkk digital forensik� adalah� penggunaan ilmu dan metode untuk menemukan,
mengumpulkan, mengamankan, menganalisis, menginterpretasi
dan mempresentasikan barang
bukti digital dalam rangka kepentingan rekontruksi kejadian serta memastikan keabsahan pada proses peradilan (Prayudi & Ashari,
2015). Kebande, dkk.� menambahkan:
�digital forensic� �can be used to obtain digital evidence for use
in a court of law during criminal or civil proceedings. This involves using�
scientifically proven methods to
acquire, examine, identify, analyse and present digital evidence from digital
sources that may have reliable information to prove or disprove a hypothesis
about a security incident� (Kebande, Karie, & Venter,
2016).
Demikian juga Digital
Forensic Research Workshop (DFRWS) yang berpusat di �Utica, NY menyatakan bahwa:
�digital forensic sciensce as �the use of scientifically derived and
proven methods toward the preservation, collection, validation, identification,
analysis, interpretation, documentation and presentation of digital evidence
derived from digital sources for the purpose of facilitating or furthering the
reconstruction of events found to be criminal, or helping to anticipate
unauthorized actions shown to be disruptive to planned operations� (Kebande et al., 2016).
Dalam digital forensic terdapat tiga
entitas yang memiliki peran yang sangat penting, yaitu manusia sebagai aktor yang melakukan aktivitas, digital evidence sebagai
objek dan aset vital, dan process
sebagai pedoman yang harus diikuti sepanjang
proses investigasi digital forensic berlangsung.� Pedoman dalam pelaksanaan
investigasi tersebut menggunakan metode ilmiah, artinya dalam setiap tahapan
atau langkah yang dilakukan oleh tim investigasi ataupun lembaga hukum harus
menjunjung tinggi kaidah metode ilmiah.
Dengan berpedoman pada karakteristik metode ilmiah, maka proses dalam bidang digital forensic harus mengacu pada langkah-langkah prosedural dan terstruktur. Dalam prosesnya dikenal dengan digital forensic investigation. Digital forensic
investigation diterapkan setiap
penyelidikan terhadap barang bukti digital sebagai hasil dari
suatu kejadian, untuk menentukan kejadian itu termasuk
sebagai kegiatan kriminal atau bukan
(Sudirman, 2019).
Perolehan dan pengelolaan data elektronik penting dalam rangka
menjamin obyektifitas dan validitas alat bukti elektronik. Secara khusus Indonesia belum memiliki aturan yang khusus dan berlaku umum mengenai
hal ini. Praktek selama ini disandarkan pada standar ilmiah yang berlaku secara internasional. Secara internasional, prinsip pokok dalam penanganan
alat bukti elektronik meliputi: terpeliharanya integritas data, adanya orang yang kompeten, terpeliharanya chain of custody dan kepatuhan terhadap peraturan.
Prinsip pokok tersebut dapat diterjemahkan ke dalam empat
prinsip dasar digital forensik sebagaimana ditetapkan oleh Asosiasi Pimpinan Kepolisian Negara Inggris (Association of Chief Police Officers /ACPO), yaitu:
1.
No action taken by law enforcement agencies or their agents
should change data held on a computer or storage media which may subsequently
be relied upon in court. Sebuah lembaga penegak hukum dan/atau petugasnya dilarang
mengubah data digital yang tersimpan dalam suatu media penyimpanan elektronik
yang selanjutnya akan dibawa dan dipertanggungjawabkan di pengadilan.
2.
In exceptional circumstances, where a person finds it
necessary to access original data held on a computer or on storage media, that
person must be competent to do so and be able to give evidence explaining the
relevance and the implications of their actions. Untuk seseorang yang merasa perlu
untuk mengakses data-data digital yang tersimpan di media penyimpanan barang
bukti, maka orang tersebut harus benar-benar jelas kompetensinya dan dapat
menjelaskan relevansi dan implikasi dari tindakan-tindakan yang ia lakukan
selama pemeriksaan dan analisis barang bukti tersebut.
3.
An audit trail or other record of all processes applied to
computer based electronic evidence should be created and preserved. An
independent third party should be able to examine those processes and achieve
the same result. Seharusnya ada catatan teknis dan praktis terhadap
langkah-langkah yang diterapkan terhadap media penyimpanan barang bukti selama
pemeriksaan dan analisis berlangsung, sehingga ketika barang bukti tersebut
diperiksa oleh pihak ketiga maka seharusnya pihak ketiga tersebut akan
mendapatkan hasil yang sama dengan hasil yang telah dilakukan oleh
investigator/analis forensik sebelumnya.
4.
The person in charge of the investigation (the case officer)
has overall responsibility for ensuring that the law and these principles are
adhered to. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap investigasi kasus
maupun pemeriksaan dan analisis barang bukti elektronik harus dapat memastikan
bahwa proses yang berlangsung sesuai dengan hukum yang berlaku dan
prinsip-prinsip dasar sebelumnya (prinsip 1,2, dan 3) dapat diaplikasikan
dengan baik.
Berdasarkan hal tersebut di atas, barang bukti
elektronik ataupun data elektronik untuk dapat menjadi suatu
alat bukti elektronik harus melalui rangkaian proses berstandar ilmiah. Hal ini bertujuan agar terjaga proses hukum yang fair
dan tidak melanggar hak asasi baik
tersangka/terdakwa maupun sumber darimana
data elektronik diperoleh dalam kerangka pembuktian perkara pidana (due process of law).
Kesimpulan
Alat bukti
elektronik pada prinsipnya copying
atau mirroring isi dari benda elektronik.
Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur kedudukan dan kualitas alat bukti elektronik
yang berlaku secara umum (semua jenis
tindak pidana), namun tersebar di berbagai undang-undang dengan menempatkan kualitas dan kedudukan yang berbeda-beda.
Alat bukti
petunjuk memiliki gradasi kualitas terendah sebagai alat bukti. Penempatan
data elektronik sebagai alat bukti petunjuk
dalam perkara tindak pidana korupsi
atau UUTPK merupakan bentuk diskrimansi yang tidak mencerminkan bentuk kebijakan kriminal yang baik.
Alat bukti
elektronik harus memiliki validitas pembuktian. Validitas alat bukti elektronik
ditentukan melalui proses
digital forensik dengan tahapan: terpeliharanya integritas data, adanya orang
yang kompeten, terpeliharanya
chain of custody dan kepatuhan terhadap peraturan.
Barda Nawawi Arief, S. H. (2016). Bunga rampai
kebijakan hukum pidana. Prenada Media. Google Scholar
Dr, P. (2008). Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan
R&D. CV. Alfabeta, Bandung. Google Scholar
Hamzah, Andi. (1986). Kamus Hukum (p. 99). p. 99. Jakarta, Ghalia
Indonesia. Google Scholar
Hamzah, Andi. (2005). Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia
(pp. 254�255). pp. 254�255. Sinar Grafika, Jakarta. Google Scholar
Hamzah, Andi. (2008). Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika.
Jakarta. Google Scholar
Hamzah, Andi. (2015). Delik-delik tertentu (Speciale Delicten) di dalam
KUHP. Sinar Grafika. Google Scholar
Harahap, M. Yahya. (2012). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding dan Peninjauan Kembali. Edisi Kedua.
Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika. Google Scholar
Indonesia, Kamus Besar Bahasa. (2008). Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (p. 133). p. 133. Jakarta: Balai Pustaka.
Kebande, Victor R., Karie, Nickson M., & Venter, H. S. (2016). A
generic Digital Forensic Readiness model for BYOD using honeypot technology. 2016
IST-Africa Week Conference, 1�12. IEEE. Google Scholar
Kunarto. (1991). Gelagat Perkembangan Kejahatandan Kebijakan
Penanggulangannya, Makalah Seminar KRIMINOLOGI VIII. Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang. Google Scholar
Lamintang, P. A. F. (1984). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
dengan pembahasan secara yuridis menurut yurisprudensi dan ilmlu pengetahuan
hukum pidana. Sinar Baru. Google Scholar
Prayudi, Yudi, & Ashari, Ahmad. (2015). A Study on Secure
Communication for Digital Forensics Environment. Int. J. Sci. Eng. Res, 6(1),
1036�1043. Google Scholar
Sasangka, Hari, & Rosita, Lily. (2003). Hukum pembuktian dalam
perkara pidana: untuk mahasiswa dan praktisi. Mandar Maju. Google Scholar
Soekanto, Soerjono. (1986). Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia.
Sudirman, Asep. (2019). Kerangka
Kerja Digital Forensic Readiness pada Sebuah Organisasi (Studi Kasus: PT
Waditra Reka Cipta Bandung). Universitas Islam Indonesia. Google Scholar
Copyright
holder : Supardi (2021) |
First
publication right : Journal Syntax Literate |
This article
is licensed under: |