Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 5, Mei 2021
STRATEGI PERANG SEMESTA: PERTEMPURAN PANGERAN
DIPONEGORO MENGHADAPI BELANDA 1825-1830
Tjandra Ariwibowo
Universitas Pertahanan (Unhan) Citereup Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
The history of
the Indonesian nation has recorded the struggle of Prince Diponegoro from 1825
to 1830 to seize the nation's right to independence, the right to own his own
homeland as a sovereign. The struggle, which was later known as the Diponegoro
War or the Java War, had a strategic meaning for the nation against the
oppression of European colonialism at that time. This sacred history is
legendary to foreign countries, in his war against the Netherlands for 5 (five)
years, Prince Diponegoro certainly implemented a universal war strategy to win
the war, but the victory of the five years of battle ended on the Dutch side
with the end of the story of Prince Diponegoro's captivity in when the
agreement was made it was only a ruse to catch him. The purpose of this paper
is to find out and analyze the background of the Diponegoro battle and the
resistance strategy in facing the Dutch. The research method in this writing
uses the method of library research (library research) obtained from library
sources (books, literature, websites, journal articles, magazines, research
results and so on) with qualitative data analysis. The result of this research
is the guerrilla thinking strategy adopted by the Diponegoro prince in the form
of delivery to regional war leaders, recruiting followers, mobilizing, how to
survive the five years of fighting carried out by the palace troops and life
during combat from region to region.
Keywords: universal war; battle; diponegor
Abstrak
Sejarah bangsa Indonesia telah
mencatat perjuangan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825 sampai dengan 1830
merebut hak bangsa atas kemerdekaan, hak kepemilikan tanah airnya sendiri
secara berdaulat. Perjuangan yang selanjutnya dikenal dengan Perang Diponegoro
atau Perang Jawa (Java War), memiliki arti strategis bangsa melawan
penindasan kolonialisme bangsa Eropa pada masa itu. Sejarah
sakral tersebut melegenda sampai ke manca negara, dalam peperangannya menghadapi Belanda selama 5
(lima) tahun, Pangeran Diponegoro tentunya menerapkan strategi perang semesta untuk memenangkan perang tersebut, namun kemenangan dari pertempuran selama lima tahun berakhir di pihak Belanda dengan akhir cerita tertawannya
pangeran Diponegoro pada saat perjanjian yang dilakukan ternyata hanya tipu muslihat
untuk menangkapnya. �Tujuan penulisan ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisa latar belakang pertempuran Diponegoro dan
strategi perlawanan dalam menghadapi Belanda. Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan
metode studi pustaka
(library research) yang diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan (buku, literatur, website, artikel
jurnal, majalah, hasil penelitian dan sebagainya) dengan analisa data secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah strategi pemikiran gerilya yang diadopsi oleh pangeran Diponegoro berupa cara penyampaian
kepada pimpinan perang wilayah, perekrutan pengikut, memobilisasi, cara bertahan dalam
pertempuran selama lima tahun yang dilakukan oleh pasukan keraton dan kehidupan pada saat pertempuran dari wilayah ke wilayah lainnya.
Kata Kunci:
perang semesta; pertempuran; diponegoro
Pendahuluan
Strategi perang semesta merupakan konsep perang total yang menggali akar budaya
atau kearifan lokal. Kearifan lokal yang ditemukan dari bentuk gotong royong atau keterlibatan seluruh rakyat. Berbeda dengan teori total war yang diusung oleh
Clausewitz, perang semesta atau Indonesia total war memiliki
kekhasan tersendiri yaitu bersifat kesemestaan. Sifat kesemestaan selanjutnya menjadi sistim pertahanan Indonesia yang dimasukkan dalam regulasi nasional. Menurut Undang Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa sistem pertahanan
negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah,
dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. Sifat kesemestaan yang digali dari akar budaya,
tentunya memiliki sejarah pertempuran yang pernah dilakukan bangsa sebelumnya.
����������� Pertempuran pangeran Diponegoro atau yang dikenal dengan perang Jawa
mempengaruhi cara pandang bangsa Eropa dalam menggunakan
strategi perang melalui
para ahli strateginya. Ahli
strategi perang Eropa seperti Hugo Grotius, Carl Von Clausewitz, Antoine-Henri Jomini, Sir Julian Stafford Corbett, Giulio Douhet, Billi Mitchel, Andre Beaufre
memiliki karakter strategi perang bangsa bangsa
barat. Karakter strategi perangnya
disesuaikan dengan akar sosial budaya
masyarakat barat. Strategi perang
ini belum tentu sesuai bila
diterapkan oleh bangsa
Indonesia yang notabene termasuk
bangsa timur. Sebuah bangsa yang memiliki ciri dan karakter yang sangat berbeda dari aspek
sosial dan budayanya. Namun demikian, strategi perang bangsa barat tetap dapat digunakan
oleh seluruh bangsa/kelompok, karena setiap strategi meramalkan kemenangan (W. Michaelson, 2007). �
�� Pangeran Diponegoro yang memiliki sejarah perang yang fenomenal sampai bangsa lain mendokumentasikan mulai dari biografinya sampai seni kepemimpinannya
serta �keteguhannya melaksanakan pertempuran yang lama pada tahun
1825-1830, �walaupun
pada akhirnya Pangeran Diponegoro tertawan oleh Belanda bukan disebabkan� kalah dalam pertempurannya tetapi karena Pangeran
Diponegoro terkecoh kedalam meja perundingan
di Magelang pada bulan Mei
1830 (Djoko Suryo, 1991). Pertempuran demi pertempuran yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap Belanda sebenarnya� cukup banyak membawa korban dan biaya yang tidak sedikit bagi pihak
belanda, menurut sumber tidak kurang
dari 8000 pasukan Eropa dan 7000 pasukan bumiputera meninggal dan menghabiskan biaya tidak kurang dari
20 juta gulden, selain itu �selama peperangan pihak pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal De Kock pertempurannya menggunakan pergerakan pasukan mobile untuk pengejaran atas serangan gerilya
dan strategi perang belanda
ini selalu mengalami kegagalan. Tertawannya pangeran diponegoro karena belanda menggunakan strategi benteng stelsel yang efektif mengurung pergerakan gerilya pasukan pangeran Diponegoro dan karena lamanya pertempuran mengakibatkan kelelahan moril pasukan pangeran Diponegoro, yang akhirnya tergiur oleh propaganda dan janji
jabatan serta hadiah yang ditawarkan pihak Belanda untuk berdamai sehingga terjadilah pengkhianatan diantara mereka.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa sebenarnya strategi perang gerilya yang digunakan oleh pangeran diponegoro sebenarnya selalu mengalami kemenangan walaupun sifatnya masih kedaerahan dan masih melibatkan� masyarakat sekitar Jawa Tengah yang turut serta� membantu berperang di dalamnya,� strategi perang seperti ini tentunya menjadi
hal penting untuk dipelajari dan dapat dijadikan rekomendasi dimasa kini dan masa mendatang bagi pertahanan Indonesia, khususnya Tentara Nasional
Indonesia yang sebagai alat
pertahanan Negara dan sebagi
komponen utama, selanjutnya rakyat dapat membantu kekuatan TNI apabila Negara menghadapi ancaman militer, karena alasan itulah penulis
tertarik untuk mengkaji lebih lanjut terkait Strategi Perang Semesta pada Pertempuran Pangeran Diponegoro Menghadapi Belanda 1825-1830.
Penelitian ini dikaji karena
sepengetahuan penulis belum ada yang membahas terkait Strategi Perang Semesta pada Pertempuran Pangeran Diponegoro Menghadapi Belanda 1825-1830, namun
demikian sebagai bahan perbandingan, penulis telah menelusuri
beberapa penulisan sebelumnya seperti tabel 1 dibawah ini, diantaranya:
Tabel 1
Penelitian sebelumnya
No. |
Nama, Sumber dan Tahun Penelitian |
Judul |
Rumusan Permasalahan |
1 |
Djoko Suryo
(1991) https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/2091/1890 |
Kepemimpinan Pangeran Diponegoro
Dalam Perspektif Sejarah |
Bagaimana Kepemimpinan dan kepahlawanan tokoh Pangeran diponegoro dan bagaimana Pangeran Diponegoro memiliki tempat penting dalam sejarah. |
2 |
Ubaidillah Zuhdi dkk, (2010) Jurnal
Pembangunan dan Kebujakan Publik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas GarutISSN: 2087-1511 |
Aplikasi
GMCR Untuk Resolusi Konflik (Studi Kasus: Perang Diponegoro (The Java War /
De Java Oorlog)) |
dinamika
perang Diponegoro denganmenggunakan metode GMCR dan memberikan usulan /
masukan pada jalannya perang Diponegoro agar Pangeran Diponegoro dan
pasukannya dapat meraih kemenangan di perang tersebut. |
Berdasarkan Tabel 1 tersebut dijelaskan bahwa pada penelitian sebelumnya tidak membahas tentang Strategi Perang Semesta pada Pertempuran Pangeran Diponegoro Menghadapi Belanda 1825-1830,
sehingga dengan demikian penelitian ini belum ada
yang meneliti sebelumnya
dan dapat dikatakan sebagai kebaruan suatu penelitian.
Adapun manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai
referensi salah satu penerapan strategi perang semesta dimasa kini dan mendatang melalui pengembangan strategi perang semesta dengan platform collect data yang dilakukan pada era digitalisasi, dimana dalam pertempuran
fisik melibatkan dua kelompok yang bersaing sebagaimana disampaikan oleh �Grotius yang menyatakan
bahwa, perang adalah kondisi yang bersaing (bersaing) dengan kekuatan seperti itu (Grotius, 1625).
Metode Penelitian
Metode penelitian dalam penulisan ini menggunakan
metode studi pustaka
(library research) yang diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan (buku, literatur, website, artikel
jurnal, majalah, hasil penelitian dan sebagainya) dengan analisa data secara kualitatif yaitu suatu
proses penelitian
dan pemahaman yang
berdasarkan pada metode yang menyelidiki suatu fenomena social danmasalah
manusia. Pada penelitian ini peneliti membuat suatu gambarankompleks, meneliti
kata-kata, laporan terinci dari pandagan responden danmelakukan studi pada
situasi yang alami (Iskandar, 2009)
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil proses search
process dan criteria process
diambil literatur yang sesuai dengan topik pembahasan rantang waktu sampai
dengan 2021 (tabel 2). Topik pembahasan tentang strategi perang semesta dalam
pertempuran pangeran Diponegoro melawan Belanda 1825-1830, sangat beragam
mengingat penggalian sejarah yang dilakukan oleh para peneliti yang melakukan
sesuai bidang keilmuwan masing-masing.
Tabel 2
Pengelompokan literature sesuai kriteria
No |
Jurnal/Publisher |
Literature |
Tahun |
Jumlah |
1 |
The Far Eastern Quarterly |
Article |
1949 |
1 |
2 |
Modern Asian Studies |
Article |
1986 |
1 |
3 |
Brill |
Article |
1896 |
1 |
4 |
Humaniora |
Article |
2013 |
1 |
5 |
Nomosleca |
Article |
2013 |
1 |
6 |
Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial |
Article |
2016 |
1 |
7 |
International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding
(IJMMU) |
Article |
2020 |
1 |
8 |
Sindang |
Article |
2020 |
1 |
9 |
Palapa |
Article |
2012 |
1 |
10 |
Gramedia |
Book |
2011 |
3 |
11 |
The English Historical Review |
Book Chapter |
1976 |
1 |
12 |
Brill |
Book Chapter |
2007 |
2 |
13 |
Amsterdam University Press |
Book Chapter |
2015 |
1 |
14 |
Komunitas Bambu |
Book |
2014 |
1 |
15 |
Jajasan Pembangunan |
Book |
1950 |
1 |
16 |
Universitas Diponegoro |
Report |
2003/2005 |
2 |
Setelah dilakukan pengelompokan
berdasarkan jenis jurnal, hasil quality assesment selanjutnya dituangkan dalam
bentuk tabel 3. dibawah ini.
Tabel 3
Hasil Quality Assesment
No |
Author |
Title |
Year |
Qa1 |
Qa2 |
Output |
1 |
Justus M. van der kroef |
Prince Diponegoro
Progenitor of Indonesian Nationalism� |
1949 |
√ |
√ |
Article |
2 |
Peter Carey |
Waiting for the 'Just King': The Agrarian World of
South-Central Java from Giyanti (1755) to the Java
War (1825-1830) |
1986 |
√ |
√ |
Article |
3 |
P. H. Van Der Kemp |
Brieven Van Den Gouverneur-Generaal
Van Der Capellen Over Dipanegara's Opstand Zoomede Eene Wederlegging Van Den
Minister Elout |
1896 |
√ |
√ |
Article |
4 |
Djoko Surjo |
Kepemimpinan pangeran Diponegoro dalam perspektif sejarah |
2013 |
√ |
√ |
Article |
5 |
Anang Sudjoko |
Komunikasi Diponegoro Dan Post-Truth
Era Propaganda Klasik Jawa |
2013 |
√ |
√ |
Article |
6 |
Warto |
Pewarisan Nilai Kepahlawanan Pangeran Diponegoro Dalam Perang Jawa |
2016 |
√ |
√ |
Article |
7 |
Bani Sudardi; Istadiyantha |
The Prince Of Diponegoro
The Knight Of The Javanese War |
2020 |
√ |
√ |
Article |
8 |
Vira Maulisa Dewi, Wiwin Hartanto, Rully Putri Nirmala Puji |
Pangeran diponegoro dalam perang jawa 1825-1830 |
2020 |
√ |
√ |
Article |
9 |
Ni ketut Ginanti |
Tinjauan Historis Peran Perjuangan Pangeran Diponegoro Tentang Peristiwa Perang Jawa Pada Tahun 1825-1830 |
2019 |
√ |
√ |
Article |
10 |
Sri Indrahti, Mahendra Pudji Utama |
Laporan Kegiatan Penilitian Pengumpulan Sumber-sumber Sekunder Perang Diponegoro (1825-1830) |
2005 |
√ |
√ |
Report |
11 |
Haryono Riyani, Sri Indrahti |
Laporan Arsip dan Dokumen tentang Perang Diponegoro 1825-1830 |
2003 |
√ |
√ |
Report |
12 |
Wardiman Djojonegoro |
Sejarah Ringkas Pangeran Diponegoro dan perang jawa 1825-1830 |
2019 |
√ |
√ |
Book ISBN |
13 |
Peter Carey |
Kuasa Ramalan Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 |
2007 |
√ |
√ |
Book ISBN |
14 |
Peter Carey |
Sisi lain Diponegoro Babad Kedung Kebo dan Histografi Perang Jawa |
2017 |
√ |
√ |
Book ISBN |
15 |
Peter Carey |
The origins of the Java War (1825-30)� |
1976 |
√ |
√ |
Book ISBN |
16 |
Peter Carey |
The last stand of the old order: Reflections on the
Java War, 1825-1830 |
2007 |
√ |
√ |
Book ISBN |
17 |
Jan Breman |
Winding up the Priangan
system of governance |
2015 |
√ |
√ |
Book ISBN |
18 |
Saleh As�ad Djamhari |
Sejarah Ringkas Pangeran Diponegoro dan perang jawa 1825-1830 |
2014 |
√ |
√ |
Book ISBN |
19 |
Muhammad Yamin |
Sedjarah peperangan Dipanegara, pahlawan kemerdekaan Indonesia |
1950 |
√ |
√ |
Book |
20 |
Ambaristi Lasman Marduwiyota |
Babad Dipanegara Ing Nagari Ngayogyakarta Adiningrat |
1983 |
√ |
√ |
Book |
Pada tahap melakukan analisis data
(data analysis) dilakukan menjawab pertanyaan dari research question dan
membahas hasil dari metode serta pendekatan yang dominan dari tulisan artikel
yang muncul dalam internet sampai dengan tahun 2021. Secara keseluruhan
penelitian dalam artikel jurnal membahas sejarah pangeran Diponegoro dari aspek
politik, sosial, budaya, kepemimpinan, dan sejarah. Mayoritas hasil penelitian
sebelumnya melakukan analisis berdasarkan data-data yang diperoleh. Hasilnya
bervariasi dengan menjabarkan sejarah dan kebudayaan, tetapi mengerucut pada
pembahasan yang spesifik tentang pangeran Diponegoro pada saat pertempuran
melawan Belanda pada kurun waktu 1825-1830.
Sumber-sumber literatur atas perang
Diponegoro masih banyak diperdebatkan oleh kalangan akademisi luar negeri.
Sebagai contoh sumber tulisan dari Babad Dipanegara yang ditulis langsung oleh
Kangjeng Pangeran Harya Dipanegara masih menjadi perdebatan apakah dapat
dijadikan sumber sejarah dalam merekonstruksi sejarah masa lalu atau tidak
dapat dijadikan sumber. Akademisi Indonesia lebih condong menggunakannya
sebagai referensi untuk merenstruksi sejarah masa lalu, mengingat tata tulis
secara administrasi masyarakat Jawa tempo dulu masih banyak yang belum memahami
secara keilmuwan, sama halnya seperti kata �babad� yang banyak diperdebatkan
bukan berarti perang. Dalam istilah Jawa kata �babad� dapat berarti perang atau
hutan. Menurut Zoetmolder menyebutkan bahwa, dalam penggunaan kata modern, kata
benda babad menunjukkan catatan orang Jawa tentang masa lalu, atau
"sejarah". Akar kata "babad", kata kerja yang berasal dari
teks Jawa Kuno, berarti "membersihkan (sebidang hutan), membuka (lahan
baru untuk pemukiman manusia) (Firmantoro, Sujoko, & Antoni, 2018).
A.
Latar Belakang Pertempuran Diponegoro
Latar belakang perang Diponegoro
atau perang jawa menurut Peter Carey merupakan pertahanan terakhir dari kepala
suku Jawa yang sangat prinsip melawan Belanda, selamanya dikaitkan dengan nama
pangeran Yogyakarta, Pangeran Dipanagara, yang memimpin tentara lokal dalam
perjuangan lima tahun yang sengit (Claqueur, 1981).
Pertempuran berlatar belakang agama yang dibalut dengan nasionalisme yang
populer di mata masyarakat jawa periode waktu itu. Latar belakang perang atau
penyebab perang jawa yang diceritakan keliru dari banyak literatur disampaikan
Wardiman Djojonegoro dalam bukunya Sejarah Ringkas Pangeran Diponegoro dan
perang jawa 1825-1830 (Djojonegoro, 2019).
Kekeliruan penceritaan berbagai literatur yang lebih banyak disebabkan adanya
perebutan kekuasaan atau takhta di lingkungan keraton.
Kedaulatan kesultanan Yogyakarta
memiliki wilayah yang memanjang di bagian selatan pulau Jawa peninggalan dari
kerajaan Mataram yang berbatasan dengan karesidenan Tegal, Pekalongan,
Semarang, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan yang dikuasai pemerintah kolonial
Belanda. Masalah kedaulatan wilayah ini menjadi penyebab perang yang berawal
dari pememerintahan kolonial dengan Sultan Hamengkubuwono II. Sikap anti
kolonial dari Sultan menimbulkan banyaknya konflik yang terjadi dan juga faktor
tidak suka pemerintah kolonial terhadap Sultan (Ambaristi, 1983).
Penimbulan situasi perang pertama kali terjadi adanya pemotongan pohon jati di
perbatasan Ponorogo pada tahun 1810. Selanjutnya permasalahan berlanjut pada
penyewaan atas tanah kesultanan oleh pemerintah kolonial. Penyewaan tanah yang
memiliki keuntungan besar, karena sebelumnya tidak dimanfaatkan di wilayah
Bedoyo, Bangkong, Rembang, Kedu pada tahun 1814.� Permasalahan berlanjut saat pemerintah
kolonial menetapkan sewa (pajak) tanah terhadap petani yang meningkat setiap
tahunnya secara drastis sampai dengan tahun 1824. Pangeran Diponegoro bahkan
memberikan saran agar dibuat rencana untuk membatasi kegiatan pemungut pajak
negara dan memiliki pajak uang diubah menjadi pembayaran dalam bentuk barang
dan tenaga (Carey, 1976).
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda pada masa pendudukan kolonial di nusantara. Perang ini melibatkan
seluruh Jawa, jadi perang ini disebut perang Perang Jawa setelah kekalahannya
dalam Perang Napoleon di Eropa (Sudardi & Istadiyantha, 2019).
Pangeran Diponegoro sebagai putra
Sultan Hamengkubuwono ke III dari selir sultan yang bernama R.A. Mangkarawati
yang lahir pada November 1785 (Van Der Kroef, 1949), sebagai keluarga keraton
Kesultanan Yogyakarta merasa tersinggung akibat pemerintahan kolonialisme
campur tangan atas pergantian kesultanan. Menurutnya pergantian kesultanan
merupakan urusan dalam dari keluarga keraton dan tidak diperkenankan campur tangan
orang luar keraton, apalagi dilakukan oleh pemerintah kolonial yang notabene
sebagai orang asing di wilayah Yogyakarta. Penyebab ini yang menyulut
perlawanan pangeran Diponegoro atas pihak Belanda dan kesultanan yang berpihak
terhadap Belanda. Pihak pemerintahan Belanda menganggap perlawanan pangeran
Diponegoro sebagai suatu pemberontakan. Hal ini tertera dalam surat gubernur
Hindia Belanda kepada pemerintahan Belanda di Eropa akhir November 1825 yang
akan menindak dan melawan pemberontakan tersebut (Kemp, 1896). Perlawanan dalam pertempuran merugikan
pihak Belanda dengan pembakaran kantor, pencurian uang dan penyerangan terhadap
pasukan Belanda di Yogyakarta. Perlawanan pangerang Diponegoro dan pasukannya
membunuh 40 pasukan Belanda, yang akhirnya pihak pemerintahan Belanda
mendatangkan pasukan Belanda dukungan dari Semarang. Penyerangan terhadap
kantor kongsi, dan pasukan Belanda meluas ke wilayah Magelang dan Kedu.
Perlawanan pangeran Diponegoro ini
mendapat dukungan dari kaum Kesultanan Yogyakarta, ulama, pemuka agama dan
masyarakat pedesaan. Dukungan masyarakat dan tokoh masyarakat serta tokoh agama
menyebar luas dari Kedu, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Pati, Bojonegoro,
Madiun, Kediri, dan sekitarnya (Surjo, 1990).
Perang dengan sebab kemerosotan moral, atas perubahan di Eropa yang membawa
dampak pemerintahan Belanda di Indonesia, mengakibatkan banyak kalangan Jawa
yang mendukung perlawanan pangeran Diponegoro atas pemerintahan Belanda. Unsur
ini didukung adanya sebutan Perang Sabil atau Jihad fi Sabillah dengan
semboyannya Anti Kafir. Menurut Heck menjelaskan bahwa, jihad adalah kriteria
dasar setiap perjuangan yang dianggap saleh melawan kekuatan ketidak percayaan,
yang dipahami tidak hanya sebagai penyangkalan atau kebenaran tetapi juga
sebagai ancaman agama dan ketertiban umum (Heck, 2004).
Unsur keagamaan ini selanjutnya memunculkan kekuatan golongan agama terutama di
kalangan santri di pesantren dan masyarakat pedesaan. Para santri dan
masyarakat ini sebagai unsur pendukung kekuatan inti pasukan keraton yang
berpihak pada Pangeran Diponegoro. Unsur pendukung para santri dan masyarakat
ini selanjutnya dimobilisasi oleh pasukan pangeran Diponegoro ke berbagai wilayah
untuk melakukan pertempurannya.
Perang ini memakan korban setidaknya
8.000 pasukan Belanda, dan 7.000 pasukan pangeran Diponegoro, menghabiskan 20
juta gulden, serta 200.000 orang sipil meninggal (Puji, 2020).
Serangan masif yang dilancarkan pangeran Diponegoro merupakan bagian dari
strategi perang yang dilancarkan. Strategi mobilisasi massa oleh pangeran
Diponegoro terhadap masyarakat yang loyal atas kesultanan Yogyakarta sangat
luas dan banyak. Selain itu kesamaan nilai kultur Jawa dan Kesultanan Mataram
masih melekat sampai saat ini terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kesamaan nilai peradaban yang mendapat invasi budaya asing menghasilkan suatu
pemberontakan budaya yang diaktualisasikan pada perlawanan fisik untuk memusuhi
nilai-nilai yang berbeda. Perlawanan sebagai simbol perjuangan identitas kaum
marjinal yang berubah menjadi kelompok dominan dengan membangun propaganda
tradisional (dari mulut ke mulut) kelompok pendukung untuk ikut memperjuangkan
nilai-nilai luhur yang dikikis adanya nilai barat yang dibawa oleh kelompok
kolonial. Cara memobilisasi yang efektif melalui propaganda, pembentukan
organisasi, persiapan aktivitas sosial, pelatihan dan persiapan perang (Cederman, Warren, & Sornette, 2011).
Pengorganisasian dan persiapan
perang yang disusun pangeran Diponegoro yaitu rencana penyerbuan, pesan
memerangi bangsa Belanda pemimpin pasukan, menyusun bangsawan yang melindungi,
membagi wilayah perang, dan menyusun pasukan keraton.� Wilayah perang Jawa terbagi atas wilayah
Bagelen, Lowano, Ledok, Gowong, Langon, Kedu, Parakan, Ngayogyakarto,
Sambiroto, Gunung Kidul, Pajang, dan Sokowati dengan Selarong sebagai
markasnya. Wilayah perang tersebut dipimpin oleh seorang tumenggung dengan
struktur adat jawa berupa kawedanan (kabupaten) yang berarti kewilayahan dan
berlanjut ke bawah kedemangan/kemantren (kecamatan), bekel/desa, sampai unit
yang terkecil dusun, yang memiliki unsur perlawanan. Gambaran struktur ini
hampir sama dengan penggelaran kewilayahan yang saat ini digunakan oleh TNI
Angkatan Darat, namun tidak sampai ke unit terkecil seperti dusun yang melekat
menjadi� bentuk pertahanan rakyat
semesta. Falsafah jawa yang disosialisasikan pangeran Diponegoro kepada
masyarakat dan pasukannya sebagai ajaran perlawanan pemerintahan kolonial yaitu
semangat sadumuk bathok, senyari bumi kudu ditohi tekan pati, yang menurut
Nindya Noegraha (2010: 42) berarti sejari kepala, sejengkal tanah harus dibela
sampai mati (Warto, 2016).
Pemimpin perang kewilayahan
masing-masing yang diangkat oleh pangeran Diponegoro terdiri dari wilayah
Bagelen dipimpin oleh tumenggung Reksoprojo, wilayah Lowano dipimpin oleh
pangeran Abu Bakar, wilayah Ledok dipimpin oleh tumenggung Handangtoro, wilayah
Gowong dipimpin oleh tumenggung Gajah Permada, wilayah Langon dipimpin oleh
pangeran Notoprojo, wilayah Kedu dipimpin oleh tumenggung Mangundipuro, wilayah
Parakan dipimpin oleh tumenggung Sumodilogo, wilayah Ngayogyakarto dipimpin
oleh tumenggung Sumonegoro, wilayah Sambiroto dipimpin oleh tumenggung
Ranupati, wilayah Gunung Kidul dipimpin oleh pangeran Sudironegoro, wilayah
Pajang dipimpin oleh Warsokusumo, dan wilayah Sokowati (Sragen) dipimpin oleh
tumenggung Kertodirjo. Gelar posisi wilayah ini menunjukkan kesiapan untuk
melaksanakan perang disamping susunan pasukan kraton. Susunan keraton yang
dibuat terdiri dari enam korps berkekuatan 50 personel yaitu pasukan Mantrirejo
dipimpin pangeran Adinegoro, pasukan Daeng dipimpin pangeran Suryodipuro,
pasukan pasukan Nyutro dipimpin pangeran Suryoadi, pasukan Mandung dipimpin
oleh pangeran Kecokusumo, pasukan Ketanggung dipimpin oleh pangeran Adiwijoyo,
dan pasukan Kanoman dipimpin oleh pangeran Teposono. Susunan pasukan yang
digelar merupakan susunan pasukan yang meniru model Turki Utsmaniah (Djamhari, 2014).
Serangan yang dilancarkan pangeran
menggunakan taktik gerilya, perang yang di lakukan dengan cara
sembunyi- sembunyi, penuh kecepatan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain. Hal ini di lakukan tidak lain hanya untuk menghindari incaran
musuh. Persenjataan yang di gunakan Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda
masih tradisional yaitu tombak, keris, pedang, golok, senapan dan senjata api (Ginanti, ketut, 2018).
Sarana dan taktik yang digunakan oleh pangeran Diponegoro memperlihatkan adanya
kekuatan yang tidak berimbang, sehingga mengambil taktik peperangan gerilya.
Keberhasilan menerapkan taktik ini yang bertahan sampai lima tahun perlawanan,
lebih banyak didukung oleh dasar peperangan gerilya yaitu aspek sosial yang
didukung oleh masyarakat Jawa Tengah untuk melawan penjajahan. Aspek lainnya
yaitu nilai budaya dan nilai keagamaan yang telah tertanam sebelumnya bertentangan
dengan budaya Eropa memicu konflik nilai budaya yang diwujudkan dengan
perlawanan fisik pangeran Diponegoro dan masyarakat serta pengikutnya.
B.
Strategi Perlawanan
Belanda
Perjuangan pangeran Diponegoro
bersama masyarakat Jawa dilawan oleh Belanda menggunakan strategi mobilitas dan
benteng stelsel. Pada awal pertempuran tahun 1825 sam pai dengan 1826, pasukan
Belanda mengejar pasukan sampai pelosok pangeran Diponegoro setiap melakukan
serangan. Strategi yang digunakan banyak mengalami kegagalan akibat kegesitan
dan pengelabuan yang dilakukan, yang membaur bersama dalam komunitas masyarakat
pedesaan (Indarhti, 2003).
Jenderal De Kock memanggil pasukan dari Kalimantan dan Sulawesi untuk merebut
Yogyakarta dan mengejar pasukan pangeran Diponegoro. Pasukan Jenderal De Kock
melakukan pengejaran sampai ke gua Selarong, namun hanya menemukan tempat
kosong yang ditinggalkan seluruh pasukan pangeran Diponegoro. Strategi ini
menggunakan lima pendekatan yaitu menjalin persahabatan dengan pangeran
Kasultanan agar tidak membantu pangeran Diponegoro, menjalin persahabatan
dengan Mangkunegoro, merebut kesultanan Yogyakarta, menggiring pasukan
Diponegoro ke arah sungai Progo, dan menangkap pangeran Diponegoro.
Operasi yang dilakukan pasukan
Belanda tidak banyak membuahkan hasil. Untuk memudahkan informasi yang didapat
masyarakat desa dianaiaya dan rumah-rumah dibakar. Hal ini juga tidak memancing
pasukan Diponegoro keluar dari persembunyiannya, sebaliknya dukungan masyarakat
semakin besar dan membenci pasukan Belanda. Dengan adanya berbagai uasaha yang
yidak membuahkan hasil, memaksa pasukan Jenderal De Kock mencari strategi baru.
Strategi ini mulai diubah pada tahun 1827 menggunakan pengepungan yang dikenal
dengan startegi benteng stelsel. Suatu strategi menggunakan benteng yang dapat
digunakan untuk menahan serangan dari pasukan pangeran Diponegoro. Benteng
temporary yang dibangun setiap menguasai wilayah konflik. Benteng ini dapat
difungsikan secara berpindah pindah (Djamhari, 2014). �
Awal pembangunan benteng ini
dilakukan oleh Letkol F.D. Cochius yang berhasil menahan serangan pasukan
pangeran Diponegoro di Kalijengking. Selanjutnya pembangunan benteng ini ditiru
oleh pasukan Belanda lainnya dan sangat efektif menahan serangan.
������� Dari
pembangunan benteng-benteng ini dikenal dengan strategi benteng Stelsel, oleh
Jenderal De Cock dipublikasikan sebagai strategi baru untuk menghadapi startegi
yang dijalankan pangeran Diponegoro. Benteng yang dapat menampung 25 sampai
dengan 30 orang pasukan yang dipersenjatai dua pucuk meriam di dalamnya.
Strategi ini diikuti dengan larangan pasukan Belanda untuk melakukan pembakaran
terhadap rumah, lumbung, rumah ibadah, hasil panen di desa-desa yang dianggap
tidak membantu pasukan Belanda. Perbuatan yang oleh Jenderal De Kock dianggap
melemahkan strategi menghadapi pangeran Diponegoro. Benteng stelsel mulai
digunakan oleh seluruh pasukan pada bulan Mei 1827 melalui reorganisasi dan
redislokasi pasukan Belanda.
������� Susunan
redislokasi pasukan Belanda sesuai rencana Jenderal De Kock terdiri dari kolone
mobile yaitu Kolone-1 di Boyolali, Kolone-2 di Kalitan, Kolone-3 di Klaten,
Kolone-4 di Yogyakarta, Kolone-5 di Kalijengking, Kolone-6 di Menoreh, Kolone-7
di Wonosobo, Kolone-8 di Banyumas. Seluruh deploy pasukan ini merupakan
gabungan korps infantery, ruiterij (kavaleri), pasukan bertombak, artileri dan
pioner, yang bersenjata senapan, meriam,kuda. Pasukan ini berfungsi untuk
mengamati dan sekaligus perthanan. Untuk meningkatkan serangan dibangun
pengamanan logistik dan jalur komunikasi yaitu Surabaya-Pajang, Semarang �
Solo, Solo-Klaten Yogyakarta. Strategi ini membutuhkan banyak dana oleh
pemerintah Belanda. Selain itu, pihak Jenderal De Kock melancarkan operasi
intelijen dan operasi psikologi terhadap pasukan pangeran Diponegoro. Dengan
diangkatnya kembali Sultan Sepuh oleh Belanda secara psikologis meluluhkan
semangat perlawanan.
Sejak saat itu pangeran
Mangkudiningrat menghentikan perlawanan dengan pihak Belanda. Secara bersamaan
pihak Belanda memberikan propaganda untuk membujuk pasukan pangeran Diponegoro
menghentikan perlawanan dan mengajak damai. Berturut-turut pangeran Notoprojo
dan pangeran Serang yang memimpin pasukan menghentikan perlawanaan dan berdamai
dengan pihak Belanda, bersama 47 demang, 280 prajurit, 485 pengikut. Dengan
penghentian perlawanan ini pihak Belanda memberikan hadiah berupa apanage
sebanyak 2.000 cacah. Di sisi lainnya pangeran Diponegoro malah marah mendengar
penyerahan pasukannya dan melaksanakan serangan atas desa-desa yang membantu
pihak Belanda. Perjanjian gencatan senjata ditawarkan kepada pangeran Diponegoro,
yang kemudian akhirnya dilakukan penangkapan dan perlucutan sebjata seluruh
pasukan pangeran Diponegoro melalui protokoler sareng tata lenggah sami aneng
panyeratanira. Sebanyak 1.400 pasukan pengikut pangeran Diponegoro telah
dilucuti senjatanya oleh pihak Belanda secara bersamaan ditawannya pangeran
Diponegoro. Pertemuan ini yang menjadi akhir dari perlawanan pangeran
Diponegoro yang kemudian ditawan pada 8 Maret 1830.
Kesimpulan
Hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa dari beberapa literatur
telah mengulas strategi pertempuran perang Diponegoro atau perang Jawa yang dilakukan oleh pangeran Diponegoro maupun oleh pihak Belanda. Artikel jurnal maupun buku
yang didapat menjelaskan secara detail startegi gerilya yang dilakukan oleh pasukan pangeran Diponegoro yang meliputi di berbagai wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di lain pihak pasukan Belanda yang dipimpin
oleh Jenderal De Kock yang awal
pertempuran menggunakan pergerakan pasukan mobile untuk pengejaran atas serangan gerilya
selalou mengalami kegagalan.
Sebagai gantinya menggunakan strategi benteng stelsel yang efektif mengurung pergerakan gerilya pasukan pangeran Diponegoro. Lamanya pertempuran mengakibatkan kelelahan moril pasukan pangeran Diponegoro, yang akhirnya tergiur oleh propaganda dan janji
jabatan serta hadiah yang ditawarkan pihak Belanda untuk berdamai. Kemenangan dari pertempuran selama lima tahun berakhir di pihak Belanda dengan akhir cerita
tertawannya pangeran Diponegoro pada saat perjanjian yang dilakukan ternyata hanya tipu muslihat untuk
menangkapnya.
Kesempatan masih terbuka untuk
mengembangkan penelitian tentang strategi perang semesta dalam pertempuran
pangeran Diponegoro, mengingat dari hasil systematic literature review� terhadap artikel jurnal dan buku politik, sosial,
budaya, sejarah, pertahanan yang belum menceritakan pemikiran gerilya yang diadopsi oleh pangeran Diponegoro, cara penyampaian kepada pimpinan perang wilayah, perekrutan pengikut, memobilisasi, cara bertahan dalam
pertempuran selama lima tahun yang dilakukan oleh pasukan keraton dan kehidupan pada saat pertempuran dari wilayah ke wilayah lainnya.
Ambaristi, Lasman. (1983). Babad Dipanegara ing
Nagari Ngayogyakarta Adiningrat; Kangjeng Pangeran Harya Dipanegara (1st
ed.). Jakarta: BalaiPusta.
Carey, Peter. (1976). The Origins of The Java War. The English
Historical Review, 91(358), 52�78. Google Scholar.
Cederman, Lars Erik, Warren, T. Camber, & Sornette, Didier. (2011).
Testing Clausewitz: Nationalism, Mass Mobilization, and the Severity of War. International
Organization, 65(4), 605�638. Google Scholar
Claqueur, L. (1981). Peter B. R. Carey (ed.), Babad Dipanagara; An Account
of the Outbreak of the Java War (1825�1830). Itinerario, 5(1),
96�96. Google Scholar
Djamhari, Saleh As�d. (2014). Strategi Menjinakkan Diponegoro Stelsel
Benteng 1827-1830 (Kedua; Danang Whansa, Ed.). Depok: Komunitas Bambu. Google Scholar
Djojonegoro, Wardiman. (2019). Sejarah Ringkas Pangeran Diponegoro dan
perang jawa 1825-1830 (Pertama; Andi Makmur Makka, Ed.). Jakarta: Gramedia.
Firmantoro, Verdy, Sujoko, Anang, & Antoni, Antoni. (2018). Komunikasi
Diponegoro Dan Post-Truth Era Propaganda Klasik Jawa. Jurnal Nomosleca, 4(1).
Google Scholar
Ginanti, ketut, Yustiani. (2018). Tinjauan Historis Peran Perjuangan
Pangeran Diponegoro tentang Peristiwa Perang Jawa. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Sejarah. Google Scholar
Grotius, Hugo. (1625). De iure belli ac pacis (The Rights of War and
Peace) (Knud Haakonssen, Ed.). Indianapolis: Liberty Fund. Google Scholar
Heck, Paul L. (2004). Paul L. Heck. Journal of Religious Ethics, 32(1),
95�128. https://doi.org/10.1111/j.0384-9694.2004.00156.x Google Scholar
Indarhti, Haryono Rinardi; Sri. (2003). Penelitian Arsip dan Dokumen
tentang Perang Diponegoro 1825-1830. Semarang. Google Scholar
Iskandar, (20090, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung Persada Google Scholar
Kemp, P. H. Van Der. (1896). Brieven Van Den Gouverneur-Generaal Van Der
Capellen Over Dipanegara�s Opstand Zoomede Eene Wederlegging Van Den Minister
Elout. BRILL, 46(4), 535�607. Google Scholar
Lusiana, & Suryani, Melva.
(2014). Metode SLR untuk Mengidentifikasi Isu-Isu dalam Software Engineering. SATIN
(Sains Dan Teknologi Informasi), 3(1), 1�11. Google Scholar
Puji, Vira Maulisa Dewi; Wiwin Hartanto; Rully Putri Nirmala. (2020).
Pangeran Diponegoro Dalam Perang Jawa 1825-1830. Sindang, 2(1),
147�158.
Sudardi, Bani, & Istadiyantha, Istadiyantha. (2019). The Prince of Diponegoro:
The Knight of the Javanese War, His Profile of the Spirit and Struggle against
the Invaders. International Journal of Multicultural and Multireligious
Understanding, 6(5), 486. Google Scholar
Surjo, Djoko. (1990). Kepemimpinan Pangeran D1Ponegoro Dalam Perspektif
Sejarah. Seminar Sehari Sejarah Pangeran Diponegoro. Google Scholar
Van Der Kroef, Justus M. (1949). Prince Diponegoro: Progenitor of
Indonesian Nationalism. The Journal of Asian Studies, 8(4),
424�450. Google Scholar
W.Michaelson, Steven. (2007). Sun Tzu for Execution, How to Use The Art
of War to Get Result. Massachusetts: Adam Business. Google Scholar
Warto. (2016). Pewarisan Nilai Kepahlawanan Pangeran Diponegoro dalam
Perang Jawa. Media Informasi, 40(3), 217�226. Google Scholar
Copyright
holder: Tjandra Ariwibowo (2021) |
First
publication right: Journal Syntax Literate |
This article
is licensed under: |