��������� ������������������������������ ��Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia � ISSN : 2541-0849
����������� e-ISSN : 2548-1398
����������� Vol. 3, No 1 Januari 2018
FORMULASI HUKUM
PIDANA DALAM MENETAPKAN KERUGIAN NEGARA PADA TINDAK PIDANA KORUPSI
Agus Dimyati
Universitas
Swadaya Gunung Jati Cirebon
Email:
[email protected]� �
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan guna mengkaji ulang untuk memberantas korupsi yang berimplikasi
dengan tugas, fungsi dan wewenang antara (SAI) ke (BFDC) dalam menilai dan
menetapkan kerugian menurut undang-undang dan peraturan negara. Penelitian ini menerapkan
hukum normatif dengan rancangan deskriptif dan evaluatif. Ini Hukum, konsep dan
pendekatan historis yang terapan. Sumber data sekunder dari penelitian ini
adalah materi hukum primer dan materi hukum sekunder. Data penelitian
dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan. Hasil penelitian berdasarkan
prinsip hukum, kewenangan, teori hirarki hukum, dan teori rule of law
menunjukkan bahwa kewenangan BFDC bertentangan dengan SAI berdasarkan
Undang-Undang KPK (ACC) dan UU tentang tindakan pidana korupsi. Kontradiksi
tersebut muncul karena ada ketidaksesuaian antara undang-undang ACC dan SAI
dalam menentukan institusi yang berwenang dalam mengkoordinasikan pemberantasan
korupsi. Hukum SAI secara eksplisit menyatakan bahwa SAI merupkan badan yang
mempunyai wewenang untuk menetapkan atau menilai kerugian negara, sedangkan
peraturan ACC mengatur bahwa selain SAI ada juga institusi yang berwenang bahwa
BFDC. Kewenangan sebaliknya BFDC juga muncul dalam menentukan institusi yang
berwenang di negara tersebut dalam menghitung kerugian. Ketidakjelasan Pasal 6
(a) peraturan ACC dan Pasal 32 UU Pemberantasan Kasus Korupsi dalam memonitor
dan/atau mengatur instansi yang memiliki wewenang dalam penghitungan kerugian
keuangan negara yang digunakan oleh BDFC sebagai "senjata" untuk melaksanakan
kewenangannya. Ketidakjelasan menyebabkan masalah pihak berwajib dalam
penggunaan hasil audit dari SAI atau BFDC. Masalah itu muncul ketika hasil
audit yang digunakan oleh pihak berwajibadalah hasil audit oleh BFDC, sedangkan
peraturan SAI secara eksplisit menyatakan bahwa BPK adalah satu-satunya
instansi yang berwenang.
Kata Kunci: Hukum Pidana,
Kerugian Negara, Tindak Pidana Korupsi
Pendahuluan
Pada pelaksanaan
peneyelenggaraan negara, pemerintah kerap kali bertindak melawan hukum. Kondisi
demikian kemudian berdampak pada timbulnya kerugian negara. Sementara itu,
dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 1 tahun 2004 mengenai �Perbendaharaan negara dikatakan bahwa, kerugian
negara�atau juga daerah�merupakan berkurangnya uang, surat berharga hingga
barang yang dimunculkan dari tindak pidana.
Berdasar bahasan yang diutarakan
di atas, Efendi (2013) dalam bukunya menerangkan bahwa, terdapat dua hal yang
menjadi syarat kerugian negara. Dua syarat di atas tidak lain adalah
berkurangnya keuangan, barang, hingga surat berharga dari jumlah sebelumnya.
Kekurangan tersebut merupakan kekurangan yang pasti dan benar-benar telah
terjadi. Sementara itu, dalam UU No. 15 tahun 2004 dikatakan bahwa, proses
kerugian negara dapat melalui dua tahapan. Tahapan yang pertama adalah saat
uang tersebut masuk ke dalam kas negara. Sementara tahapan lain dapat terjadi
pada saat uang tersebut keluar dari kas negara.
Kondisi sebagaimana
yang telah diterangkan di atas memaksa�
negara untuk menyelenggaraan pengawasan ekstra pada setiap aktivitas
keuangan negara. Upaya yang telah dilakukan negara untuk meminimalisir kerugian
adalah dengan menerapkan pengawasan keuangan�atau juga disebut audit keuangan.
Tindakan ini bertujuan untuk memantau pergerakan keuangan lembaga negara, baik
lembaga pemerintahan sendiri, maupun badan lain milik pemerintahan. Aplikasi
dari pengawasan tersebut sejauh ini telah dilakukan dua melibatkan dua pihak,
yakni internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan dengan; 1)
pengawasan atasan terhadap bawahan dalam satu lingkup kerja, 2) pengawasan oleh
Inspektorat Jendral, Inspektorat Provinsi, hingga Inspektorat setingkat Kabupaten
Kota, 3) pemantauan dilaksanakan oleh badan-badan pengawas keuangan juga
pembangunan. Sementara untuk pengawasan dari tubuh eksternal dilakukan dengan
melibatkan Badan Pemeriksaan Keuangan�atau yang biasa disebut BPK.
Pada dewasa ini telah
muncul banyak perdebatan yang bersinggungan tentang badan dan/atau lembaga yang
memiliki wewenang dalam menghitung kerugian negara. Sementara itu, dalam kasus
tindak kriminal yang melibatkan kerugian negara, unsur yang paling disorot
adalah kerugian negara itu sendiri. Dalam menentapkan kerugian negara akibat
tindakan korupsi penyelenggara negara, suatu instansi membutuhkan bagian dan/atau
lembaga khusus untuk menghitung dan mengetahui kerugian. Instansi yang dapat mengungkap
kerugian negaraitu sendiri adalah:
1.
Instansi itu sendiri;
2.
Inspektorat Jendral, Inspektorat
Provinsi, serta Inspektorat setingkat kabupaten kota;
3.
BPKP;
4.
BPK;
5.
Akuntan Publik; dan
6.
Kejaksaan Republik Indonesia;
Instansi-instansi di
atas dapat melakukan perhitungan melalui keahlian dan wewenang yang diperoleh
dari tata aturan dan perundang-undangan, sehingga para penegak hukum dapat
lebih mudah dalam memaksimalkan pengembalian kerugian uang negara. Dalam Pasal
52 Keppres No. 103 Tahun 2001 mengenai Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
menyebutkan bahawa, BPKP bertugas mengawasi bidang perputaran uang dan
pembangunan sebagaimana perundang-undangan yang telah berlaku. �
Sementara dalam Pasal
53 Keppres Nomor 103 tahun 2001, BPKP sebagaimana pasal 52 yang disebutkan di
atas memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut, 1) melaksanakan kajian dan juga
penyusunan pada setiap kebijakan nasional pada sektor pengawasan serta
pembangunan, 2) melaksanakan perumusan hingga aplikasinya pada tiap-tiap
kebijakan di bidang keuangan hingga pembangunan, 3) melaksanakan pemantauan,
pembinaan, serta pemberian bimbingan atas tiap-tiap kegiatan pengawasan di
sektor keuangan dan pembangunan, 4) melaksanakan penyelenggaraan pelayanan dan
perencanaan umum, organiasi serta tatalaksana, ketatausahaan, kearsipan,
kesandian, hukum, keuangan, perlengkapan, kepegawaian dan/atau rumah tangga.
Dalam Ketentuan Umum
Peraturan Pemerintahan Nomor 60 tahun 2008 mengenai Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP), menegaskan bahwa BPKP merupakan apar pengawasan intern
pemerintahan. Melalui penegasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, BPKP bertanggung
jawab langsung pada Presiden. Dalam PP Pasal 47 Ayat 2 Nomor 60 tahun 2008 dijelaskan
bahwa, dalam memperkuat, serta meningkatkan efektivitas sistem pengendalian
internal sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1, dengan ini dilakukan; �
Dalam pasal 49 PP Nomor
60 tahun 2008 juga disebutkan bahwa, BPKP adalah aparat negara yang bertindak
sebagai pengawas internal. Dengan peran tersebut BPKP berhak untuk kegiatan audit
investigasi. Akan tetapi, dalam melaksanakan hal tersebut, BPKP diperkenankan
apabila telah memiliki permintaan dan persetujuan dari penyidik. Melalui
persetujuan tersebut BPKP memiliki hak lebih untuk melakukan investigasi dan penghitungan
kerugian uang negara. Akan tetapi, dalam pekembangannya, muncul polemik baru
yang melibatkan keabsahan BPKP dalam melakukan pengawasan dan penghitungan
kerugian uang negara. Beberapa kalangan menganggap bahwa BPKP tidak memiliki
hak untuk peran tersebut. Sedang menurut kalangan yang sama, yang mempunyai hak
untuk melakukan pengawasan hingga penghitungan kerugian uang negara adalah BPK.
Dalam sidang kasus
korupsi terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli yang dihadirkan di
sidang TIPIKOR misalnya Oce Madril dari instansi Pusat Kajian Anti Korupsi
(Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) menyatakan BPKP berwenang, sementara
Mudzakir dari Universitas Islam Indonesia (UII) menyatakan BPKP tak berwenang
karena BPKP hanya dianggap sebagai pengawas internal yang mempunyain tanggung jawab
penuh pada Presiden. Namun, pada tahun 2012 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
Putusan Nomor 31/PUUX/ 2012 terkait pengujian UU No. 30 tahun 2002 mengenai
Komisi Pemberantasa Korupsi atas UUD 1945 yang menyebutkan jika KPK tidak hanya
berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam upaya pembuktian dan pengungkapan bukti
tindak korupsi. Dengan dikeluranya Putusan Mahkamah Konstitusi di atas maka
jelas bahwa BPKP sebenarnya dapat mengungkap kerugian negara. �
Permasalahan yang
sekarang terjadi pada Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) BPKP yaitu mengenai
hasil penghitungan kerugian uang negara yang dilaksanakan BPKP. Permasalahan
tersebut muncul ketika Penyidik dihadapkan dengan kasus korupsi yang
membutuhkan ahli guna menunjukkan kerugian negara. Dan salah satu dari lembaga
tersebut adalah BPKP, sehingga Penyidik seringkali meminta BPKP untuk
menerapkan audit investigasi dalam rangka pengungkapan jumlah kerugian negara. Namun,
ketika laporan hasil audit invetigasi tersebut dijadikan sebagai alat bukti
dalam persidangan selalu saja dieksepsikan oleh terdakwa yang didampingi oleh
kuasa hukumnya dan selanjutnya pihak tersebut melayangkan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara. Hal tersebut sering kali terjadi karena BPKP dianggap tidak
memiliki kewenangan dalam hal mengungkap kergian negara. Selain itu, laporan
hasil audit yang sering menjadi permasalahan adalah hasil audit insvestigasi
BPKP ini ini masuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara atau malah
sebaliknya.
Berdasarkam uraian di
atas muncul ketertarikan penulis untuk menyusun karya tulis ini dengan judul:
Formulasi Hukum Pidana Dalam Menetapkan Kerugian Negara Pada Tindak Pidana
Korupsi.
Metodologi
Penelitian
Penelitian ini bersifat
deskriptif dengan tipe penelitian yuridis normatif, yuridis empiris, dan
yuridis komparatif. Penelitian yuridis normatif berarti penelitian dilakukan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai topik yang diteliti.
Sementara itu, penelitian yuridis empiris berarti penelitian dilakukan terhadap
pelaksanaan dan implikasinya di lapangan ketika peraturan perundangundangan
tersebut dilaksanakan.
Data penelitian
berjeniskan data primer dan skunder. Data primer melibatkan aturan hukum dan
perundangan terkait; Hukum Acara Pidana; Pemberantasan T. P. Korupsi; Badan
Pemeriksaan Keuangan; Pemeriksaan Pengelolaan uang� negara; Keududukan, Tugas Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintahan non Departemen, serta
aturan negara dan perundang-undangan lain yang terkait bahasan di atas.
Sementara untuk data skunder adalah data-data yang berasal dari buku, literatur
dan karya ilmiah yang terkait dengan topik hukum pidana�khususnya tindak pidana
korupsi.
Teknik sampling dalam penelitian ini
menggunakan non probability sampling jenis
purposive sampling. Teknik
pengambilan sampel yang dilakukan ini lebih pada penilaian subjektif peneliti
terhadap responden. Hasil dari penilaian tersebut kemudian dianggap sebagai
sampel yang mewakili populasi penelitian.
Hasil
dan Pembahasan
1. Kedudukan Hukum Mengenai Peran BPK
dan BPKP dalam Melakukan Penghitungan Keuangan Negara Pada kasus Pidana Korupsi
Dalam perundang-undangan yang melibatkan
Pemberantasan Tindak Korupsi�UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun
2001�tidak benar-benar menyebutkan lembaga yang memiliki hak lebih atas
perhitungan kerugian keuangan negara. Akan tetapi, dalam Pasal 32 ayat 1 UU
PTPK secara implisit dijelaskan bahwa, lembaga yang dimaksud adalah lembaga yang
benar-benar mempunyai kewenangan dan akuntan publik yang telah ditunjuk, dimana
dalam prosesnya, keduanya telah benar-benar membuktikan kerugian negara
berdasarkan perhitungan dan pembuktian nyata
Dalam kasus tindak korupsi dua lembaga yang kerap
disinggung tidak lain adalah BPKP dan BPK. Kedua lembaga ini mempunyai
kewenangan yang serupa. Akan tetapi, eksistensi keduanya dalam persidangan
tergantung pada jaksa dan surat dakwaan, apakah kemudian jaksa akan menggunakan
BPK atau BPKP sebagai lembaga yang menghitung jumlah kerugian negara?
Akan tetapi, bersandar pada hasil wawancara penulis
dengan Ibu Nanik Kushartanti�Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Bandung�menyebutkan
bahwa jaksa lebih umum menggunakan jasa BPKP sebagai badan perhitungan kerugian
uang negara. Hal itu dikarenakan prosedur yang digunakan BPKP lebih sejalan
dengan asas peradilan cepat, sederhana dan ringan biaya. Berbeda dengan
prosedur BPK yang bersebrangan dengan hal tersebut. Sementara itu Bapak
Agustinus Triyonojati�Kepala Bagian Hukum BPK RP Perwakilan Daerah Jawa
Barat�menegaskan bahwa, lama proses penghitungan yang dilakukan BPK tidak lain
karena prosedur BPK itu sendiri. Menurut beliau, proses perhitungan yang
dimaksud akan dilakukan oleh BPK wilayah perwakilan, lalu hasil dan kesimpulan
akan diserahkan pada BPK pusat untuk dibahas dalam forum rapat. Setelah hasil
ditemukan dalam forum tersebut, hasil akan dikembalikan BPK
Provinsi/Perwakilan, yang setelahnya akan diserahkan pada penegak hukum. Di
sisi lain, penulis juga menemukan kesenjangan SDM dalam tubuh BPK dibandingkan
dengan kasus dugaan korupsi yang di Indonesia. Penulis�berdasarkan
temuan�mendapati SDM BPK cenderung kualahan dalam menghadapi kasus korupsi di
Indonesia.
Secara yuridis normatif kewenangan BPKP memang
diatur oleh PP No. 60 Tahun 2008 mengenai sistem pengendalian intern pemerintah
Kewenangan BPKP. Putusan tersebut kemudian diperkuat oleh Putusan MK Nomor:
31/PUUX/2012 tanggal 23 Oktober 2012. Berdasarkan hirarki tata aturan
undang-undang bahwa kedudukan Undang-Undang lebih tinggi di banding Peraturan
Pemerintah sehingga kewenangan BPK tetap didahulukan dibandingkan BPKP.
Mengacu pada Putusan MK Nomor: 31/PUUX/2012 tanggal
23 Oktober 2012, kewenangan BPK dan kewenangan BPKP diperjelas, namun
kewenangan BPK tetap didahulukan dalam mengungkap kerugian negara. Kewenangan
BPK tersebut dikuatkan dengan suatu peraturan perundang-unndangan yang lebih
tinggi kedudukannya dibandingkan tata aturan perundangan yang mengatur
kewenangan BPKP.
Dalam UU. No. 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan
Korupsi yang dirubah menjadi UU. No. 20 20 Tahun 2001 untuk seterusnya disebut UUPTPK
tidak menyebutkan secara jelas mengenai lembaga yang benar-benar mempunyai wewenang
dalam perhitungan kerugian negara tersebut. Akan tetapi, secara implisit,
lembaga tersebut dapat ditemukan pada paparan Pasal 32 ayat (1) UUPTPK, yang
menyebutkan bahwa badan yang berwenang adalah badan yang telah diberikan hak
dan kewenangan oleh peraturan dan perundang-undangan juga akuntan publik yang
telah ditunjuk.
Dalam sistem tata negara, tiga bagian kekuasaan
tersebut masing-masing dijalankan berdasarkan konsep pembatas kekuasaan
(separation of power) oleh suatu lembaga atau organ negara, yaitu:
Kendati ketiga kekuasaaan tersebut
dipisah berdasarkan masing-masing tugas dan wewenangnya, namun dalam
menjalankan penyelenggaraan pemerintahan dan negara, dijalankan berdasarkan
mekanisme hubungan kerja antarlembaga Negara--prinsip checks and balances�dalam
rangka menjalankan tugas negara.
Ketiga kekuasaan di atas sama-sama sederajat dan
sama-sama memiliki peran sebagai �checks and balances�. Melalui pola tersebut kekuasaan
negara akan lebih mudah diatur hingga dikontrol. Di sisi lain, melalui kontrol
tersebut, permasalahan tersebut penyalahgunaan wewenang pun akan lebih mudah
terhindarkan (Tommy Saragih: 2011).
Selain ketiga sudut kekuasaan di atas, ada juga BPK
yang memiliki peran untuk mengawasi kegiatan keuangan. Dengan munculnya BPK,
maka negara Indonesia tidak berpaham trias politica Montesqiue secara murni.
Dengan tidak dianutnya secara konsisten, mungkin dikarenakan adanya kebutuhan
suatu lembaga negara yang benar-benar independen serta tidak bernaung pada tiga
sudut kekuasaan di atas.
Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas serta
wewenangnya BPK diharapkan tidak dapat dicampurtangani oleh para penguasa.
Seiring kemajuan sistem tata negara, muncul lembaga yang serupa dengan BPK,
yakni BPKP. Badan ini bertanggung jawab langsung pada eksekutif. Sehingga, dapat
dikatakan bahwa lembaga ini berada di bawah naung-naung eksekutif negara.
Dengan munculnya BPKP ini, maka menimbulkan polemik
terkait pemeriksaan atau pengawasan terhadap pengelolaan uang negara. Oleh
karena itu, perlu ditinjau lebih mendalam untuk memperoleh informasi terkait
kedudukan kedua lembaga tersebut dalam sistem tata negara. Berdasarkan tugas
dan fungsinya lembaga BPK dan BPKP apabila dikaitkan dengan teori lembaga
negara, maka keduanya dapat dianggap sebagai lembaga negara. Kedua lembaga (BPK
dan BPKP) merupakan lembaga negara karena lembaga tersebut bertujuan untuk menjalankan
urusan pemerintahan dalam bidang pemeriksaan dan pengawasan pengelolaan
uang� negara.
Hal ini juga didukung oleh pandangan Hans Kelsen tentang
lembaga negara. Menurutnya lembaga negara adalah lembaga yang melaksanakan
tugas pokok dan fungsi atas tata hukum negara. Meski sudah diketahui bahwa BPK
dan BPKP merupakan lembaga negara, namun yang perlu diketahui adalah kedudukan
lembaga negara tersebut. Keberadaan UUD 1945 dalam sistem tata negara sangat
memiliki keterkaitan dengan pengelompokan lembaga-lembaga negara tertentu dalam
penentuan kedudukannya. Lembaga-lembaga tertentu dalam setiap cabang kekuasaan
memiliki kewenangannya masing-masing.
Kemudian untuk mewujudkan tata kerja yang baik
dibuatlah hirarti peraturan perundang-undangan. Berikut diuraikan jenis dan
hierarki urutan Peraturan Perundang-undangan dalam sistem tata negara yang
dijadikan acuan untuk mengklasifikasikan kedudukan suatu lembaga atau organ
negara.
2.
Kebijakan Hukum Pidana dalam Menetapkan Kerugian
Negara oleh BPK dan BPKP pada Kasus Pidana Korupsi Kaitannya dengan Putusan MK
Nomor 31/PUU-X/2012
Permasalahan LHPKKN BPKP yang dipergunakan KPK guna
mencari alat bukti juga pernah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pintu masuk dari
perkara ini terdapat pada pasal 6 UU KPK. Selain itu dijelaskan pula bahwa
komisi tersebut memiliki hak dan tugas untuk berkordinasi dengan instansi yang
berwenang. Sedang salah satu dari instansi tersebut adalah BPKP.�
Pengujian materi perundangan
di atas telah dilakukan dan diajukan oleh salah seorang direksi Perusahaan
Listrik Negara (PLN), Eddie Widiono Suwondho. Dia adalah terdakwa kasus
pengadaan tenaga lepas di tahun 2012. Pada kasus ini terdakwa menganggap bahwa
hak konstitusionalnya diganggu dengan keberadaan undang-undang tersebut. Eddie
berpendapat bahwa hak konstitusionalnya dilanggar. Pelanggaran tersebut tidak
lain, menurutnya, akibat pasal 6 UU KPK. Sebab, alih-alih memohon perhitungan
kerugian keuangan negara oleh BPK, KPK justru menunjuk LHPKKN BPKP, ditambah
permohonan pengujian materi terdakwa ditolak oleh MK yang saat itu diketahui
Mahfud MD. Majelis menerangkan bahwa BPK dan BPKP memiliki peran yang keduanya
telah diatur dalam perundang-undangan. Terlebih, KPK selaku badan pemberantasan
tindak korupsi tidak hanya berkoordinasi dengan BPK dan BPKP.
KPK juga berkoordinasi
dengan pihak lain di luar BPK dan BPKP. Salah satu contoh dalam hal ini adalah
diundangnya seorang ahli, meminta bahan dan/atau informasi dari Inspektoran
Jendral atau dengan memanfaatkan dari badan pemerintahan yang memiliki peran
dan fungsi yang sama dari badan-badan yang telah disebutkan di atas.� demikian
pertimbangan majelis MK dalam putusan Nomor 31/PUU-X/2012.
Selain putusan MK di atas,
hakim pengadilan tinggi korupsi juga mendapati permasalahan sebagaimana yang
disebutkan di atas pada kasus mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali. Pada saat
itu kuasa hukum terdakwa mempermasalahkan lembaga yang menghitung kerugian
keuangan negara kala itu, LHPKKN BPKP. Menurutnya, lembaga tersebut dianggap
tidak memiliki kewenangan khusus dalam peran tersebut.
Apa yang dilakukan pengacara
terdakwah Suryadharma Ali tidak jauh berbeda dengan banyak penguasa hukum lain
yang bergelut dengan permasalahan yang sama. Apa yang menjadi keberatannya
ditolak. Majelis hakim mengatakan bahwa BPK bukanlah satu-satunya badan yang
berhak mengihitung kerugian keuangan negara. BPKP hingga akuntan publik pun
dapat melakukan tugas tersebut jika sudah mendapat restu dari penyidik. Hal di
atas juga telah diperjelas dalam putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012.
Penghitungan kerugian negara
kerap menjadi masalah tersendiri bagi perkara korupsi. Masalah yang cukup umum muncul
dalam persidangan kasus korupsi adalah pihak mana yang berhak melakukan
perhitungan tersebut. Akan tetapi, menjawab permasalahan tersebut, MA telah mengeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2016.
SEMA di atas membahas tentang
penerapan umusan hasil pleno MA tahun 2016 sebagai tata laksana tugas
peradilan. Satu poin dari surat di atas membahas tentang bagaimana BPK memiliki
hak konstitusional untuk menghitung kerugian negara. Akan tetapi, Kondisi
riilnya, sejauh ini, penuntut umum kerap kali memanfaatkan hasil penghitungan
kerugian negara dari kedua lembaga, yakni BPK dan BPKP dalam mengungkap alat
bukti persidangan. Penuntut kerap menuntut perhitungan dilakukan oleh BPKP
karena dinilai lebih cepat dibanding BPK. Meski begitu, rumusan SEMA No. 4
Tahun 2016 tidak benar-benar mengikat hakim. Siapa pun yang melakukan peran
tersebut, Siapapun yang memeriksa kerugian negara, baik BPK maupun BPKP, tidak
harus diikuti hakim. Demikian pula dengan ahli. Jika kemudian ada satu atau
ahli yang berpendapat tentang kerugian keuangan negara, hakim persidangan tidak
diwajibkan untuk mengikuti dan/atau mempertimbangkan pandangan tersebut.
Wakil Ketua KPK Laode M
Syarif menjelaskan SEMA hanya lembaga yang mempunyai kewenangan secara
konstitusional. Akan tetapi, SEMA juga tidak melarang BPKP�atau bahkan instansi
lain�melakukan tugas layaknya BPK. Kendati kondisi demikian, KPK masih tetap
melakukan kajian terhadap peraturan dengan pendekatan focus group discussion (FGD) bersama para ahli. Menurut Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi; jika menimbang putusan MK tersebut, masing-masing
lembaga yang berkompeten dapat melakukan penghitungan kerugian negara, tidak
harus BPK yang melakukan. Baik BPK maupun BPKP, keduanya adalah institusi
negara yang mempunyai keterampilan guna melaksanakan tugas penghitungan negara.
Sementara itu, Laode menambahkan bahwa, keduanya juga kerap membantu KPK dalam
mencari barang bukti kasus dugaan korupsi. Sehingga sangat mungkin keduanya diterapkan
guna kepentingan perhitungan kerugian negara.
Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan di atas penulis mendapati beberapa kesimpulan
sebagaimana yang diterangkan berikut:
1. Bahwa,
kewenangan BPK dalam mengungkap kerugian negara secara yuridis memang diatur
dalam UU No. 15 tahun 2006 mengenai BPK. Perundangan tersebut perpendapat bahwa
BPK merupakan sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan fungsi untuk
memeriksa dan memantau keuangan negara. Akan tetapi penerapannya tergantung
dari jaksa apakah menggunakan BPK atau lembaga lain selain BPK, sebagaimana
yang terjadi dalam putusan No. 16/Pid.Sus/2013/P.Tpkor.Bd, dimana dalam putusan
tersebut lembaga yang dipakai dalam dakwaan jaksa utuk menghitung besarnya
kerugian keuangan Negara adalah BPKP. Secara yuridis normatif baik BPK maupun
Lembaga BPKP sama sama berwenang dalam menghitung jumlah kerugian negara akibat
kasus korupsi. Dalam prakteknya alasan jaksa tidak memakai BPK dalam mengungkap
kerugian negara adalah karena prosedur yang dilakukan oleh BPK jika diminta
oleh penyidik dalam hal ini jaksa untuk menghitung serta memberikan kesimpulan
dari hasil penghitungan yang dilakukan oleh BPK sangatlah lama, dan secara umum
BPK hanya ahli dalam bidang penghitungan dan audit pemeriksaan tetapi jika
terkait dengan masalah teknis atau kualitas suatu obyek yang di korupsi, BPK
tidak mempunyai keahlian dalam bidang tersebut. Namun bila menatap hirarki
peraturan negara maka kewenagan BPK tetap didahulukan dalam mengungkap kerugian
negara. Selain jaksa, persoalan penggunaan BPK juga bergantung pada keputusan
hakim, karena dalam menentukan besarnya kerugian negara didasarkan pada fakta
dan bukti nyata dalam persidangan bukan terikat pada hasil temuan dari BPK atau
lembaga lainnya.
2. Kebijakan
hukum pidana dalam menetapkan kerugian negara oleh BPK dan BPKP pada kasus
tindak pidana korupsi kaitanya dengan putusan MK Nomor� 31/PUU-X/ 2012 bahwa BPKP berwenang untuk
menghitung kerugian negara, hal tersebut didasarkan pada Pasal 53 Keppres No.
103 Tahun 2001, Pasal 35 ayat (8), Keppres No. 110 Tahun 2001, Pasal 49 ayat
(2) PP No. 60 Tahun 2008 dan Peraturan Kepala BPKP Nomor: PER-1341/L/D6/2012
tentang Pedoman Penugasan Bidang Investigasi/Bukti TI, TII-15. Hal tersebut
juga dipertegas kembali dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi putusan
Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 yang menyatakan bahwa BPKP
berwenang untuk menghitung kerugian negara. Selain itu, keluarnya Peraturan
Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
dan Intruksi Presiden No. 9 Tahun 2014 tentang Peningkatan Kualitas Sistem
Pengendalian Intern Dan Keandalan Penyelenggaraan Fungsi Pengawasan Intern
Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat memberi kepastian hukum kepada BPKP
terkait kepastian lembaga tersebut dalam menghitung kerugian negara. Putusan MK
dan Peraturan Presiden sebagaimana telah disebutkan di atas sedikit banyaknya
telah menjawab beragam pertanyaan terkait keabsahan BPKP dalam perhitungan
kerugian negara akibat kroupsi.
BIBLIOGRAFI
Akbar,
Patrialis, 2013, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945,
Sinar Grafika, Jakarta.
Ali,
Mahrus, 2013, Asas, Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press,
Yogyakarta.
Ali,
M.A. Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Amirudin
dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali
Pers, Jakarta.
Andi
Gadjong, Agussalim, 2007, Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum),
Ghalia Indonesia, Bogor.
Arifin,
Firmansyah, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga
Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta.
Asshiddiqie,
Jimly, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen
dan Kepanitraan MK RI, Jakarta.
______________,
2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta.
Atmadja,
I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi
Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang.
Atmasasmita,
Romli, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,
Mandar Maju, Bandung.
Atmosudirdjo,
1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Barnett,
Hillaire., 2011, Constitutional & Anministrative Law, eighth
edision, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York.
Budiardjo,
Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Chaerudin,
dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Refika
Aditama, Bandung.
Chazawi,
Adami, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Kurupsi di Indonesia, Bayumedia
Publishing, Malang.
Djaja,
Ermansjah, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.