����������� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849

����������� e-ISSN : 2548-1398

����������� Vol. 3, No 1 Januari 2018

 

 


NILAI PANCASILA KONDISI DAN IMPLEMENTASINYA DALAM MASYARAKAT GLOBAL

 

Alip Rahman

Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

Email: [email protected]

 

Abstrak

Arus globalisasi adalah arus yang tidak bisa dihentikan oleh negara mana pun, tidak terkecuali dengan Indonesia. Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada nilai-nilai bangsa. Terdapat penyimpangan nilai yang masif dan membuat jati diri bangsa luntur, bahkan perlahan menghilang. Penelitian ini secara umum menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa, sejauh masa globalisasi ini muncul, masyarakat Indonesia telah banyak meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Adapun cara menggugah implementasi Pancasila di era global adalah dengan menerapkan pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila di setiap lini pendidikan, melaksanakan hari besar dan memberikan nilai-nilai Pancasila pada masyarakat, melakukan pertunjukan seni berkarakter nasionalis. Dengan cara tersebut masyarakat diharapkan menyerap setiap nilai Pancasila dan mampu mengamalkan nilai-nilai tersebut di keseharian masyarakat.

 

Kata Kunci: Masyarakat Global, Pancasila

 

Pendahuluan

Merujuk daripada falsafahnya, Pancasila adalah sesuatu yang membimbing manusia Indonesia untuk menjadi pribadi yang lebih bermartabat. Lebih jauh daripada itu, setiap sila Pancasila juga mengajarkan manusia Indonesiauntuk menjadi individu yang berguna, baik untuk pribadi, khalayak, lingkungan, agama, hingga negaranya.

Hal yang demikian juga telah disampaikan oleh Sumarsono, dkk (2007) dalam bukunya. Menurut Sumarsono dan kawan-kawan, manusia�menurut Pancasila�adalah makhluk Tuhan yang memiliki banyak kelebihan. Dalam kelebihan-kelebihan tersebut terdapat naluri, akhlak hingga daya pikir yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Sambung Sumarsono dan kawan-kawan, manusia dengan kelebihan tersebut juga kemudian tidak hanya terlibat pada kondisi diri pribadi, melainkan juga terhubung pada banyak bagian manusia yang lain�sebagaimana kelompok dan golongan. Sebagai penutup, Sumarsono dan kawan-kawan kemudian menerangkan bahwa, segala hal yang dimiliki manusia�yang berguna untuk pihak lain�digunakannya untuk keperluan sesama. Di sisi lain, hal yang tersebutkan di atas juga berperan sebagai ajang dan/atau alat untuk meningkatkan eksistensi diri, kelompok. Serta bertindak sebagai guna untuk menyokong kelangsungan hidup dari generasi ke generasi.

Dari apa yang telah digambarkan di atas, Pancasila sudah selayaknya�dan memang telah�menjadi pondasi atau jati diri bangsa. Oleh karena hal tersebut, penanaman beberapa nilai Pancasila seakan menjadi suatu kewajiban pada setiap momen pendidikan. Dan hal seperti yang disebutkan di atas tersebut, pada dasarnya telah terkandung Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional.

Pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 menyebutkan; pendidikan nasional�termasuk Pancasila serta Kewarganegaraan�adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk kemampuan serta watak peserta didik. Dalam bahasan yang lebih lanjut, pasal tersebut juga menerangkan bahwa, pendidikan yang dimaksud juga berfungsi sebagai ajang pembentukan watak dan kepribadian bangsa, yang tahap tahap selanjutnya, hal tersebut diarahkan agar senantiasa berdampak pada pengembangan martabat Bangsa Indonesia dan menjadikan peserta didik sebagai individu yang bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berilmu, adil, cakap, berakhlak mulia. Pada akhirnya, bahasan dari pasal tersebut juga mengarahkan siswa menjadi pribadi yang lebih demokratik dan bertanggung jawab. Baik untuk dirinya sendiri, kelompok, hingga agama serta negara.

Pendidikan Nasional�pendidikan Kewarganegaraan dan Pancasila�adalah pendidikan yang telah ditanamkan sejak pendidikan dasar. Tujuan dari pendidikan ini ialah agar peserta didik mampu dan mau menerapkan nilai Pancasila sejak dini. Agar kemudian pada dewasa nanti peserta didik menjadi individu yang menjadikan Bangsa Indonesia lebih bermartabat dan berkembang ke arah yang lebih baik.

Akan tetapi, jika dilihat dari kondisi sekarang. Pendidikan Pancasila juga Kewarganegaraan seakan menjadi pelengkap dari banyak pendidikan lain yang diajarkan di dunia pendidikan. Hal ini tidak lain karena nilai-nilai yang harusnya diterapkan justru malah dikesampingkan. Bahkan tidak sedikit pula peserta didik yang kemudian menyingkirkan nilai-nilai tersebut dan menggantinya dengan nilai-nilai global yang, semestinya bersebrangan dengan Pancasila.

Globalisasi menjadi masalah tersendiri bagi bangsa. Terdapat sisi positif-negatif dari globalisasi. Akan tetapi, dibandingkan dengan sisi positif, resapan hal negatif justru lebih banyak diambil oleh anak bangsa. Hal itulah yang berdampak pada pergeseran nilai-nilai bangsa yang telah lama dijaga oleh leluhur dan pendiri bangsa.

Seperti yang telah banyak diketahui. Globalisasi memungkinkan setiap individu untuk melakukan akulturasi budaya. Pertukaran budaya seperti demikian memungkinkan individu tersebut untuk tertarik, dan pada tahap lanjutan, individu tersebut kemudian menggunakan budaya tersebut�bahkan pada kesehariannya.

Nilai-Nilai Pancasila sendiri adalah nilai-nilai yang melibatkan kepribadian dan kebiasaan masyarakat lokal Indonesia. Setiap nilai-nilai Pancasila secara keseluruhan telah mewakili diri Bangsa. Sementara itu, pada era kini, budaya yang menjadi objek akulturasi adalah budaya-budaya barat. Beberapa budaya barat pada dasarnya memiliki nilai yang cukup baik dan tidak berlawanan terhadap nilai Pancasila. Akan tetapi, merujuk dari bahasan di atas, mayoritas pemuda bangsa cenderung mencontoh budaya yang berkesan negatif, sehingga mendorong mereka untuk menjadi pribadi yang tidak mengedapankan jati diri Bangsa.

Pada akhirnya kehidupan masyarakat di era globalisasi ini mengharuskan mereka nuntuk melestarikan nilai-nilai Pancasila. Hal tersebut dilakukan demi menjaga dan mengkondisikan eksistensi nilai Pancasila. Sementara itu, pada sisi yang berbeda, pelestarian nilai-nilai Pancasila juga berguna untuk menjaga implementasi juga penerapan nilai Pancasila oleh para penerus bangsa.

 

Metodologi Penelitian

Secara keseluruhan metode penelitian diartikan sebagai cara atau metode pemecahan masalah dengan landasan ilmiah. (Ali, 1984: 54). Metode penelitian sendiri terbagi atas beberapa jenis. Sementara itu, khusus untuk penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualititatif dengan desain deskriptif analitis. Metode kualitatif sendiri diartikan sebagai metode yang lebih mengarah pada pendekatan hasil deskriptif. Hasil yang diberikan dari penelitian condong pada penggambaran kondisi terkini dari subjek dan objek penelitian (Taylor dalam Moleong, 2005: 4).

Seperti yang telah disampaikan di atas tentang deskriptif analitis. Pendekatan penelitian ini lebih mengarah pada analisa yang menggambarkan hasil penelitian. Sebagaimana yang telah disampaikan Koentjaraningrat (1993). Menurutnya, penelitian dengan deskriptif analitis lebih pada memberi gambaran tersendiri akan hasil dan kondisi penelitian. Koentjaraningrat juga menegaskan bahwa pokok bahasan dari metode ini lebih contoh pada kelompok atau individu tertentu mengenai keadaan dan kondisi terkini objek penelitian.

Pengumpulan data di sini dilakukan dengan studi literatur�atau juga disebut studi kepustakaan. Dalam pandangan Koentjaraningrat (1993) teknik pengambilan data kepustakaan diartikan sebagai teknik pengambilan data yang merujuk pada sumber-sumber literatur seperti buku, majalah, naskah, dokumen, dan sumber literatur lain yang bersentuhan dengan beberapa masalah yang sedang diteliti. Sementara itu, menurut anggapan Sugiyono (2012), studi kepustakaan dikatakan sebagai cara yang relevan dari setiap kegiatan ilmiah. Menurutnya, kegiatan penelitian�sebagaimana yang kini dilakukan�tidak akan lepas dengan yang namanya kajian sumber literatur ilmiah. Dari hal tersebut dapatlah peneliti mengatakan bahwa, studi kepustakaan dianggap lumrah, bahkan wajib dilakukan oleh setiap kegiatan penelitian ilmiah.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Hasil Penelitian

1.      Pancasila Sebagai Sebuah Warisan Pendiri Bangsa

Asmaroini (2017) dalam karya tulisnya pernah menyebutkan bahwa, dalam pembentukannya Pancasila mendapat banyak sekali tantangan. Ia juga menyebutkan bahwa dalam prosesnya, panitia pembentukan Pancasila dihadapkan dengan kondisi ketegangan, konflik serta concensius. Kala itu para pendiri bangsa dihadapkan dengan kenyataan bahwa, kala itu mayoritas rakyat Indonesia telah hidup dalam ketidakadilan yang diberikan oleh praktik kolonialisme.

Masa-masa kolonialisme membuat masyarakat Indonesia menjadi para individu yang senasib sepenanggungan. Kemiskinan dan kebodohan kala itu sudah menjadi hal yang lumrah. Masyarakat pribumi menyadari bahwa, apa yang mereka dapati kala itu banyak dialami oleh saudara-saudara mereka di belahan Indonesia yang lain. Melalui kondisi yang demikian, timbullah keprihatinan dan keinginan memunculkan pergerakan untuk melawan setiap ketidakadilan tersebut.

Lepas dari hal tersebut, para tokoh perjuangan seperti Ir. Soekarno, Hatta, Moh. Yamien dan lainnya yakin bahwa, Bangsa Indonesia layak menjadi bangsa yang makmur dan bermartabat. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar. Selain itu, Bangsa Indonesia juga tumbuh dalam banyak perbedaan yang relatif kompleks. Dengan kondisi tersebut, Indonesia menjadi negara yang pluralis sejaka zaman nenek moyang. Perbedaan menjadi wadah mempersatukan dan memunculkan banyak nilai yang kemudian diemban dan dijadikan sebagai identitas negara.

Perumusan Pancasila muncul atas itikat para tokoh untuk membentuk negara yang makmur, adil dan berorientasi pada pengembangan bangsa. Sebagaimana bahasan di atas, Indonesia selaku negara kesatuan memiliki banyak nilai yang khas. Nilai-nilai yang dimaksud kemudian diabadikan dalam setiap sila yang kini disebut dengan istilah Pancasila. Para tokoh berharap, dengan adanya Pancasila, Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang dapat mengamalkan setiap nilai yang terdapat di dalamnya. Melalui Pancasila, para tokoh berharap, masyarakat Indonesia tumbuh berkembang menjadi masyarakat yang bermartabat, bertakwa, memiliki akhlak mulia, adil, serta bersatu membentuk kesatuan bangsa.

Dari gambaran di atas, secara keseluruhan, pembentukan Pancasila dilandasi harapan tokoh untuk membentuk Bangsa yang besar. Sementara itu, menurut Hariyono (2014), perumusan Pancasila tidak lain karena para tokoh menginginkan perumusan dasar negara yang mewakili setiap kebutuhan rakyatnya, dan menjadi ideologi bangsa yang dapat diterapkan oleh segenap rakyat Indonesia.

2.      Pancasila Sebagai Sebuah Ideologi Bangsa

Secara umum ideologi memiliki peran untuk menjaga integritas nasional (Ubaidillah: 2000). Pada perkembangan zaman seperti sekarang ini, ideologi membawa pemegangnya untuk senantiasa mengikuti apa yang menjadi landasan pemikiran�atau juga ideologi. Di Negera ini, ideologi memiliki tempat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Ideologi membawa masyarakat pada satu sudut pandang yang sama akan semua hal.

Dalam jurnal Asmaroini (2017) dijelaskan bahwa, ideologi dalam segi bahasa diartikan sebagai pandangan, cita-cita, dan anggapan dasar yang senantiasa dipegang teguh untuk pemiliknya. Sementara itu Kaelan (2005) dalam bukunya menjelaskan bahwa, ideologi�yang dalam hal ini juga Pancasila�memiliki beberapa karakter yang khas. Karakter-karakter yang dimaksud adalah; 1) muncul pada situasi kritis, 2) merupakan cita-cita dengan jangkauan yang luas serta terprogram, 3) mencakup banyak strata pemikiran, 4) menjadi pemikiran dengan pola yang amat sistematis, 5) terkesan eksklusif, absolut serta universal, 6) memiliki sifat yang empiris dan normatis, 7) menjadi sesuatu yang dapat dioprasionalkan dan dikomuntasikan dengan mudah, 8) umumnya ideologi timbul atas suatu pergerakan politik.

Pancasila sebagai ideologi bangsa tidaklah diambil dari banyak ideologi luar, melainkan murni dari adat istiadat, religius serta nilai dari bangsa Indonesia sendiri. Dengan kata lain, dapat penulis sebutkan bahwa, Pancasila secara umum bersumber dari bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia itu sendiri. Sementara itu, menguatkan hal tersebut, Kaelan dan Ahmad Zubaidi (2007) menyebutkan bahwa, bahan pembentukan Pancasila adalah pandangan bangsa Indonesia atas nilai sosial, adat, budaya serta religius yang sejauh ini diemban.

Sebagai sebuah ideologi bangsa, Pancasila bertindak sebagai dasar dan/atau landasan dari setiap lembaga hukum, politik dan masyarakat Indonesia (Suparlan: 2012). Sebagai sebuah ideologi juga Pancasila mengakomodir setiap golongan yang berdiri atas nama Bangsa pada wadah yang dinamakan �Bineka Tunggal Ika��atau diartikan sebagai suatu yang berbeda namun memiliki satu pandangan yang sama.

Kedudukan Pancasila pada peranan ideologi bangsa telah tercantum dalampada Pembukaan UUD 1945 (Asmaroini: 2017). Sambung Asmaroini, sebagai ���������� deologi bangsa Pancasila sudah selayaknya dilaksanakan dengan berkesinambungan dalam setiap kehidupan bangsa dan negara. Hal itu dinyatakan sebagai sebuah keseluruhan implementasi Pancasila pada kehidupan Bangsa.

Pada sisi bahasan yang berbeda, untuk sebuah ideologi bangsa, sudah selayaknya Pancasila mampu menjadi tameng khusus untuk para generasi muda. Dengan adanya Pancasila, dan bila penerapannya juga baik, sudah seharusnya para muda dapat membedakan mana yang baik dan buruk dari globalisasi. Dalam pancasila sendiri terkandung beberapa nilai luhur yang wajib diterapkan untuk setiap penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3.      Nilai Pancasila yang Mewakili Masyarakat Indonesia

Sebagai sebuah ideologi bangsa, Pancasila telah memiliki beberapa nilai luhur yang mewakili setiap rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya telah mencakup beragam aspek, golongan dan adat istiadat dari setiap masyarakat dan daerah di Indonesia. Mengamini hal tersebut, dalam bukunya Suko Wiyono (2013) juga menjelaskan tentang nilai dan karakteristik Pancasila pada peranan ideologi Bangsa. Menurutnya, ada beberapa nilai yang sudah benar-benar mewakili masyarakat Indonesia. Nilai-nilai tersebut antara lain:

a.      Ketuhanan yang Maha Esa

Pada sila pertama masyarakat Indonesia mengenal �Ketuhanan yang Maha Esa.� Sila tersebut memiliki beberapa nilai yang menyangkut tentang ketuhanan. Dalam sila tersebut terkandung beberapa nilai tentang, 1) esensi manusia yang percaya dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa; 2) kebeasan setiap manusia untuk beragama dan memiliki kepercayaan�sebagai suatu kebebasan mendasar dan hak asasi manusia; 3) wadah toleransi kepada sesama umat beragama dan berkeyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa; 4) menjadi bentuk kecintaan seorang makhluk pada Tuhannya.-

b.      Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Pada sila kedua ini, secara tersirat, penulis mendapati sisi humanis dalam tubuh Pancasila. Sementara itu, pada sila ini juga, penulis mendapati beberapa nilai lain seperti; 1) bentuk kecintaan pada sesama manusia; 2) kesetaraan derajat; 3) keberkeadilan dan keberadaban antarmanusia sebagai sesama makhluk Tuhan.

c.       Persatuan Indonesia

Pada sila ketiga tersirat nilai-nilai nasionalis dan kebersamaan antara setiap rakyat Indonesia. Secara umum bebeapa nilai yang terdapat pada sila ini antara lain; 1) kebersamaan dan persatuan pada seluruh rakyat Indonesia, 2) kecintaan pada bangsa dan tanah air Indonesia, 3) wujud dari Bhineka Tunggal Ika.

 

d.      Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Pada sila yang ke empat ini terdapat beberapanilai khas yang terkait dengan kepemimpinan, kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan. Secara umum, dari apa yang dijelaskan Suko Wiyono, terdapat beberapanilai yang tertanam dalam sila keempat ini. Nilai-nilau tersebut antara lain; 1) kerakyatan dan demokrasi, 2) hikmat kebijaksanaan, 3) musyawarah mufakat.

e.       Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila di atas cenderung menekankan pada nilai keadilan bangsa. Di samping itu, dari Suko Wiyono, penulis juga mendapati nilai lain yang terkait dengan sila kelima ini. Nilai-nilai yang dimaksud adalah: 1) keadilan sosial, 2) kesejahteraan lahir batin rakyat, 3) kekeluargaan dan gotong royong, 4) etos kerja bangsa.

Dari bahasan sila di ata, dapat dikatakan bahwa, Pancasila merupakan dasar pemikiran�juga disebut dengan ideologi�yang amat tepat untuk segenap rakyat Indonesia. Sedang di sisi lain, Pancasila juga dapat merangkul banyak golongan, banyak pihak, hingga seluruh individu yang menjadi rakyat Indonesia. Implementasi Pancasila juga tidak terbatas waktu. Hal itu terbukti hingga kini. Dimana hingga kini Pancasila masih mempunyai tempat khusus di hati rakyat Indonesia. Walau dalam penerapannya, nilai-nilai Pancasila sebagaimana disebutkan di atas perlahan luntur oleh perubahan zaman dan globalisasi.

4.      Tantangan Pancasila di Era Global

Globalisasi secara keseluruhan tidak hanya berdampak pada masing-masing individu. Namun lebih dari itu. Pada perkembangannya, globalisasi justru berdampak pada segenap negara dunia, tidak berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia.

Pada proses perkembangan globalisasi, terdapat akulturasi budaya yang amat kental. Pelaku globalisasi�termasuk juga masyarakat Indonesia�cenderung melihat budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia tanpa memperdulikan budaya bangsanya sendiri. Budaya-budaya yang masuk umumnya dituru dan diterapkan oleh anak bangsa. Hasil dari hal tersebut, anak bangsa cenderung menggunakan budaya yang bukan dari negaranya sendiri, yang pada penerapannya, terkadang budaya tersebut justru bersebelahan dengan Pancasila pada peranan ideologi negara.

Kondisi sebagaimana yang penulis terangkan di atas adalah bentuk dari mulai melunturnya identitas bangsa. Pada kondisi saat ini, para penerus bangsa memang tidak benar-benar menerapkan nilai-nilai ideologi bangsa sebagaimana yang telah disampaikan di atas. Anak bangsa cenderung mengurangi rasa nasionalis mereka dan beralih pada peradaban luar yang dinilai lebih menarik dan modern.

Tantangan terbesar Bangsa terhadap dunia global ini adalah melunturnya nilai-nilai kebangsaan. Hal tersebut diakibatkan oleh meningginya budayaluar yang masuk. Sementara itu, dalam praktiknya, tidak ada penyaring yang dapat memetakan mana budaya yang baik untuk diserap dan mana budaya yang kurang baik untuk diserap. Sehingga, dalam penerapannya, diharapkan Pancasila bertindak sebagai penyaring dan mampu menjauhkan anak bangsa dari hal-hal buruk yang bersumber dari globalisasi.

5.      Penyimpangan Nilai Pancasila di Era Global

Terdapat beberapa penyimpangan nilai Pancasila pada era modern. Penyimpangan-penyimpangan tersebut secara tidak sadar dilakukan secara menyeluruh dan oleh setiap individu�walau ada pula yang tetap memegang teguh nilai-nilai tersebut. Adapun penyimpangan tersebut antara lain:

a.      Penyimpangan Sila Pertama

Kendati setiap orang memiliki hak untuk melakukan dan/atau tidak melakukan suatu kegiatan tertentu, namun pada sudut pandang Pancasila, pelaksanaan ibadah adalah kewajiban bagi setiap diri yang bertakwa. Ada banyak bentuk penyimpangan sila pertama, di antaranya: 1) melanggar peraturan agama, 2) meninggalkan ibadah, 3) menganggap dirinya sebagai Tuhan dan Rasul, 4) meningalkan agama, dan sebagainya.

Dalam Sila pertama secara jelas dikatakan bahwa, �Ketuhanan yang Maha Esa�, yang diartikan setiap diri berhak dan wajib memiliki agama sebagai suatu kepercayaan. Lebih dari itu, dari sila pertama ini, Indonesia dapat dikatakan telah mengakomodir masyarakat yang beragama.

 

 

b.      Penyimpangan Sila Kedua

Pada sila kedua menyoroti tentang sisi humanis. Di era sekarang, masyarakat Indonesiatelah banyak melanggar sila kedua. Masyarakat Indonesia di era sekarang telah lumrah dengan praktik tidak memanusiakan manusia. Hal itu tentu amat berlawanan dengan sila kedua dari Pancasila.

Contoh praktis pelanggaran sila kedua Pancasila di era globalisasi adalah; 1)pembunuhan, 2) penganiyayaan, 3) perbudakan era modern, 4) perampokan, 5) penjarahan dan tindak kriminal lain. Contoh kasus di atas adalah bentuk dari pelanggaran Pancasila sila kedua.

c.       Penyimpangan Sila Ketiga

Penyimpangan sila ketiga dapat dilihat dari mulai melunturnya nilai-nilai kesatuan Bangsa. Masing-masing kelompok masyarakat berdiri di atas nama kelompoknya sendiri. Prinsip individualisme�bahkan rasisme�kini mulai membabi buta. Masyarakat kini sudah tidak canggung lagi memaki dan menganggap kelompok lain yang bertentangan sebagai lawan.

Contoh praktis pelanggaran sila ketiga ini dapat dilihat dari; 1) mulai banyaknya bentrokkan antarwarga, 2) meningginya angka persekusi bagi kalangan minoritas, 3) meningginya isu SARA dan masih banyak lagi. Kondisi-kondisi seperti di atas melambangkan kebobrokan persatuan bangsa dan pelanggaran Pancasila yang nyata.

d.      Penyimpangan Sila Keempat

Sila keempat secara umum membahas tentang bagaimana bentuk kepemimpinan dan keorganisasian yang ada di Indonesia. Sebagai negara majemuk, Pancasila mengakomodir semua golongan, dengan menerapkan bentuk pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, kebijaksanaan dan permusyawaratan/perwakilan. Akan tetapi, pada praktiknya, pemerintahan�termasuk juga organisasi dan kelompok�dijalankan dengan sistem keuntungan pribadi.

Ada banyak contoh kasus yang menyinggung bobroknya sila keempat ini. Di antara banyak kasus tersebut, kasus korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bentuk nyata dari pelanggaran sila keempat. Keuntungan pribadi menjadi orientasi pada pelaksanaan pemerintahan. Walau terdapat beberapa pemimpin yang jujur dan adil, praktik kotor sebagaimana dijelaskan di atas seakan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat Indonesia.

e.       Penyimpangan Sila Keempat

Sila kelima menyinggung tentang keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, pada praktiknya, Indonesia masih memiliki pola ketidakadilan pada banyak sektor. Pendidikan, kesehatan hingga praktik sosial, banyak mencerminkan ketidakadilan. Pada praktik pendidikan, masih banyak anak-anak kurang mampu yang tidak mendapat mengenyam bangku sekolah, pada anggaran pendidikan telah mencapai angka paling tinggi. Pada sisi kesehatan, masih banyak kalangan miskin yang terpaksa mengonsumsi obat warung karena tidak mampu berobat ke rumah sakit.

Indonesia memang telah memiliki sistem Kartu Indonesia Sehat. Namun pada pelaksanaannya, masih ada beberapa kasus rumah sakit dan instansi kesehatan yang menolak pasien miskin karena anggaran kesehatahn untuk Kartu Indonesia Sehat tidak kunjung dibayar pemerintah.

6.      Upaya Masyarakat Global dalam Membudayakan Nilai Pancasila

Globalisasi adalah tantangan tersendiri bagi Indonesia. Sebagai negaraberkembang, Indonesia harus dihadapkan dengan permasalahan moral dan nasionalisme yang kian padam akibat globalisasi. Sebagai jalan keluar, Indonesia dapat menanamkan paham ideologi Pancasila pada generasi penerus.

Pemberian paham Pancasila dapat dilakukan di berbagai bidang pendidikan. Akan tetapi, pemberian paham yang paling efektif dapat dilakukan di pendidikan formal seperti sekolah dan sejenisnya. Dengan pemberian paham tersebut, peserta didik�atau juga masyarakat umum�dapat memiliki paham nasionalisme yang cukup baik. Setidaknya, dengan kondisi tersebut, nilai-nilai global yang bertentangan dengan sisi nasionalis akan sedikit terpinggirkan.

Pada penerapan pendidikan sendiri, Pancasila sudah disinggung sejak lama. Pendidikan Pancasila telah dilakukan sejak zaman orba hingga beberapa tahun setelahnya. Akan tetapi, setelah masa reformasi dan setelahnya, pendidikan Pancasila seakan hilang ditelan bumi. Kondisi tersebut membawa dampak kurang baik pada anak bangsa. Pada masa itu, ekspansi budaya luar masuk dengan intensitas tinggi. Hasil dari hal tersebut, masyarakat Indonesia secara berbondong-bondong menerapkan budaya-budaya baru yang dinilai lebi menarik�walau pada dasarnya tidak begitu baik untuk dirinya.

Ditinggalkan pendidikan Pancasila pada masa lampau membuat masyarakat Indonesia meninggalkan beberapa nilai nasionalis. Sehingga, untuk keluar dari permasalahan tersebut, dan meningkatkan nilai nasionalisme seperti masa lalu, Indonesia sudah selayaknya menerapkan pendidikan Pancasila di setiap lini pendidikan. Menurut Hidayatillah (2014), pendidikan dan Pancasila adalah dua hal yang saling berkaitan. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah termaktub bahwa salah satu cita-cita negara adalah untuk mencerdaskan bangsa. Kaitan pendidikan dan Pancasila juga disinggung dalam sila kedua. Dimana dalam sila tersebut dikatakan bahwa; �Kemanusiaan yang Adil dan Beradab� yang berarti, manusia Indonesia dituntut untuk adil dan memiliki adab. Sementara itu, untuk mencapai adab dan adil, manusia membutuhkan pendidikan yang setara dan dengan kualitas yang sama rata.

Penanaman nilai-nilai Pancasila secara umum tidak hanya terbatas pada pendidikan formal. Pada beberapa momen tertentu, penanaman nilai dasar Pancasila juga dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan momen hari besar nasional. Pemanfaatan momen hari besar nasional tersebut dilakukan dengan melakukan agenda khusus, yang dimana, dalam pelaksanaan agenda tersebut ditanamani kegiatan-kegiatan yang memunculkan nilai nasionalisme. Akan tetapi, penerapan penanaman nilai Pancasila dengan cara ini tidak dapat dilakukan seorang diri, melainkan membutuhkan pembimbing semisal guru dan dosen. Melalui bimbingan dosen dan/atau guru, peserta didik, mahasiswa, atau masyarakat umum dapat menerima penjelasan dari setiap nilai yang tandung dalam hari besar nasional.

Guru, dosen, atau bahkan masyarakat umum juga dapat menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan Pancasila pada sesamanya. Cara terbaik untuk melakukan hal ini adalah dengan memberi pengalaman, jabaran ilmiah, analogi, hingga hikmah yang terkandung dari setiap fenomena nasional. Cara untuk memupuk semangat nasionalis bisa dilakukan dengan mengajak masyarakat�juga diri pribadi�untuk membeli dan mengonsumsi produk dalam negeri. Melalui cara tersebut masyarakat akan diajarkan tentang bagaimana menghargai sesama rakyat Indonesia. Di sisi yang berbeda, dengan masyarakat membeli produk dalam negeri, secara tidak langsung masyarakat juga telah menyokong pergerakan perekonomian rakyat.

Menumbuhkan semangat nasionalisme tidak berhenti pada apa yang telah disampaikan di atas. Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Setiap cara yang ada tergantung pada kemampuan tiap diri masyarakat. Cara-cara yang dimaksud di atas adalah seperti; 1) memberi sosialisasi ke masyarakat tentang pentingnya nasionalisme, 2) mengangkat semangat gotong royong, 3) membentuk perkumpulan dan organisasi yang berorientasi pada rakyat, 4) memperingati setiap hari besar nasional dengan bahasan nasionalis, 5) pertunjukan seni peran dengan tajuk nasionalisme dan masih banyak lagi.

Di era globalisasi seperti ini yang menjadi masalah bukanlah pada seberapa baik penerapan itu dilakukan, tapi lebih pada bagaimana anak bangsa tertarik pada kegiatan dan pergerakan yang berkarakter nasionalis. Melalui upaya-upaya di atas, jika dilakukan dengan kontinyu dan berkelanjutan, masyarakat akan memiliki sisi nasionalis yang baik. Sehingga, pada tahap selanjutnya, masyarakat akan dapat dengan mudah dan kontinyu menerapkan nilai yang telah tertanam dalam Pancasila.

 

Kesimpulan

Arus globalisasi adalah arus yang tidak bisa dihentikan oleh negara mana pun, termasuk Indonesia. Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh tokoh bangsa. Terdapat banyak sekali penyimpangan nilai yang membuat jati diri bangsa luntur, bahkan perlahan menghilang.

Pancasila sebetulnya hadir untuk mengakomodir setiap hal yang demikian. Dalam Pancasila, telah terdapat banyak nilai-nilai luhur yang mencerminkan budaya bangsa. Masyarakat Indonesia sejatinya telah memiliki apa yang dinamakan ideologi dalam Pancasila. Guna menangkal setiap hal negatif dari globalisasi, masyarakat Indonesia hanya perlu memegang erat�serta mengamalkan�Pancasila dengan sebaik-baiknya.

Akan tetapi, di tengah arus gelombang globalisasi yang semakin masif, masyarakat Indonesia kini telah lupa dengan nilai-nilai Pancasila tersebut. Arus globalisasi yang semakin tinggi membuat masyarakat tergoda dengan budaya luar yang dinilai lebih menarik. Perlahan tapi pasti, masyarakat pun menjadi lupa dengan nilai-nilai bangsa yang terkandung dalam Pancasila.

Satu-satunya jalan untuk kembali menanamkan nilai Pancasila adalah dengan mengenalkannya kembali pada masyarakat. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan setiap hari besar nasional sembari menanamkan nilai-nilai nasional dalam setiap pertemuan. Di samping itu, dapat juga dilakukan dengan jalur pendidikan. Dalam jalur ini pendidik dapat secara masif menanamkan pandangan nasionalisme pada peserta didiknya. Selain jalur pendidikan, dapat juga dilakukan dengan jalur pertunjukkan dan kesenian. Seniman-seniman dapat melakukan pertunjukkan yang memiliki nilai-nilai nasionalis. Dengan cara tersebut, masyarakat akan dapat menyerap sisi nasionalisme.

Pada akhirnya, upaya penanaman nilai-nilai luhur Pancasila perlu dilakukan. Cara-cara di atas adalah contoh upaya yang dapat dilakukan. Selain contoh cara di atas, masyarakat juga dapat melakukan cara lain yang lebih sesuai dengan pribadinya. Melalui cara-cara tersebut, diharapkan masyarakat akan lebih dapat memahami, menyerap dan menghayati setiap nilai Pancasila untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sebagai suatu identitas banga.

 

 

 

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Al Hakim, Suparlan., dkk. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang.

 

Ali, Mohammad. 1984. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi. Jakarta: Angkasa.

 

Asmaroini, Amiro Puji. 2017. Menjaga Eksistensi Pancasila dan Penerannya Bagi Masyarakat di Era Globalisasi. Jurnal Pendidikan dan Kewarganegaraan, Vol. 1., No. 2., Edisi Januari 2017.

 

Hariyono. 2014. Ideologi Pancasila Roh Progesif Nasionalisme Indonesia. Malang: Instans Publishing.

 

Hidayatillah, Yetti. 2014. Urgensi Eksistensi Pancasila di Era Globalisasi (Studi Kritis Terhadap Persepsi Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep tentang Eksistensi Pancasila). Jurnal Volume 6., No. 2., Edisi Juni 2014.

 

J. Meleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosdakarya.

 

Kaelan & Zubaidi, Ahmad. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.

 

Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

 

Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Administrasi Negara

 

Sumarsono, dkk. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Ubaidillah, A., dkk. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Civil Education), Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press.

 

Wiyono, Suko. 2013. Reaktualisasi Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Malang: Universitas Wisnuwardhana Malang Press.