����������� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849

����������� e-ISSN : 2548-1398

����������� Vol. 3, No 1 Januari 2018

 

 


IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PRIORITAS LEGALISASI ASET SERTIFIKAT TANAH BAGI NELAYAN DI KOTA CIREBON

 

Misbak

Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

Email: [email protected]

 

Abstrak

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebon yang diukur berdasarkan parameter standar dan sasaran sudah baik, parameter sumber daya sudah cukup baik, parameter hubungan antarorganisasi belum baik, parameter karakteristik agen pelaksana belum baik, parameter kondisi sosial, politik dan ekonomi belum begitu baik dan parameter disposisi implementor sudah cukup baik. Dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah nelayan di atas faktor-faktor sebagai penentu belum sepenuhnya diterapkan dengan baik oleh kantor pertanahan dan dinas kelautan perikanan Kota Cirebon. Hal ini mengakibatkan penilaian masyarakat bagi implementasi kebijakan program tidak berjalan sebagaimana apa yang menjadi target dalam program ini. Dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah oleh kantor pertanahan Kota Cirebon bagi nelayanKota Cirebon menemui hambatan-hambatan di antaranya sebagai berikut;a). Kurang optimalnya dari pihak DKP3 dalam melaksanakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebon, b). Kurang koordinasi dari 3 instansi yang terlibat kelurahan, DKP, dan kantor pertanahan dalam hal pembagian tugas, c). Tidak sesuainya waktu pembuatan sertifikat yang telah di targetkan bulan Maret 2014 sudah selesai tapi ditargetkan mundur dari jadwal yang ditentukan, d). Masih adanya pungutan yang dirasakan oleh nelayan dalam pembuatan persyaratan sertifikat.

 

Kata Kunci: Kebijakan, Sertifikat Tanah, Nelayan

 

Pendahuluan

Pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang dapat dukungan penuh dari rakyatnya. Oleh karna itu sebagai wujud terimakasih atas dukungan rakyat tersebut sudah sepantasnya pemerintah melalui aparatur birokrasi memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Kondisi masyarakat yang sudah jauh berbeda dibandingkan dengan kondisi setengah abad yang lalu. Kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi telah semakin meningkat. Kesejahteraan dan kualitas hidup serta kehidupan masyarakat pun sudah semakin kompleks, dinamis, dan sangat beragam. Dalam kondisi yang demikian ini kita sebenarnya juga telah menyaksikan bagaiman perekonomian berbagai negara. Baginya Indonesia telah sempat mengalami fluktuasi. Bahkan pada menjelang akhir tahun 1990-an Indonesia justru mengalami kegagalan pasar yang mengacu timbulnya krisis multi dimensosial. Akhir daripada kondisi tersebut berdampak pada kegagalan pemerintahan dalam mengatur sektor ekonomi.

Secara umum bangsa Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki hasil bumi yang melimpah dan negara kepulauan yang memiliki hasil laut yang beraneka ragam. Indonesia juga kaya akan hasil tambang sehingga apabila diolah secara efektif dan efisien dapat menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Dalam konteks pertanahan, di samping sebagai tempat berpijak, tanah di Indonesia juga memiliki kesuburan yang amat baik. Kondisi tersebut memungkinkan masyarakat Indonesiauntuk melakukan cocok tanam, yang pada tahap lanjutan, kondisi tersebut berdampak baik bagi ekonomi dan kelangsungan hidup rakyat.

Pada sebuah sisi, tanah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa, tanpa tanah tidak ada kehidupan. Dengan kata lain tanah memiliki arti dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sementara bangsa Indonesia yang pada saat ini sedang giat melaksanakan pembangunan sangat banyak membutuhkan tanah atau lahan tempat bagi membangun.

Menurut teori van Meter dan van Horn dalam (dalam Dr.sholochin, 2005:65), implementasi ini sebagai those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions. Atau dalam bahasa Indonesia pernyataan tersebut dikatakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu, pejabat, atau kelompok pemerintahan dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan.

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (dalam subarsono, 2010:2) kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah bagi melakukan atau tidak melakukan. Dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteti, peraturan pemerintah daerah provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kota, dan keputusan bupati/walikota. Lingkup dari studi kebijakan pablik sangat luas karena mencakup berbagai bidang atau sektorseperti bidang politik, hukum, pendidikan, pertanian, keamanan, dan serta pertanahan.

Menyadari betapa pentingnya tanah bagi hidup dan kehidupan manusia, dan Indonesia sebagai negara agraris, maka dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan peranan tanah bagi bangsa Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (3) undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, maka pada tanggal 24 September 1960 telah dikeluarkan ketentuan hukum yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Kebijakan pokok pertananhan dan sekaligus arah pembangunan di bidang pertanahan adalah sukses pemecahan masalah pertanahan. Berdasarkan arah kebijakan tersebut ditetapkan sasaran pelaksanaan tugas yaitu terwujudnya Catur Tertib Pertanahan yang berdasarkan Keputusan Presiden Nomer 7 Tahun 1979 tentang Catur Tertib Pertanahan, yang sebagai berikut:

a)      Tertib Hukum Pertanahan;

b)      Tertib Administrasi pertanahan;

c)      Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup;

d)     Pensertifikatan tanah secara masal melalui PP (Program Prioritas).

Program Prioritas yaitu merupakan suatu perencanaan yang memiliki tujuan bagi Badan Pertanahan Nasional. Badan Pertanahan Nasional itu sendiri memiliki Program prioritas yaitu legalisasi aset. Legalisasi Aset diartikan sebagai proses administrasi pertanahan yang meliputi adjudikasi pendaftaran hak atas tanah serta penertiban sertifikat hak atas tanah.

Tanah milik yang telah bersertifikat selanjutnya akan dimanfaatkan sebagai sumber-sumber ekonomi masyarakat terutama dalam rangka penguatan modal usaha, sehingga berkontribusi nyata dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnyapercepatan legalisasi aset/tanah merupakan sebuah keharusan untuk mewujudkan fokus dari arah pembangunan nasional di bidang pertanahan. Pada giliranya pemilik/penguasa tanah yang belum terlegalisasi akan rentan bagi terjadinya sengketa konflik pertanahan. Sebagai wujud pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang pertanahan dan bagi mendorong tumbuhnya sumber-sumber ekonomi masyarakat, Badan Pertanahan Nasional RI terus mengembangkan Program Prioritas legalisasi asset dengan rupiah murni, melalui kegiatan yaitu:

a)      Sertifikat Tanah PRONA

b)      Sertifikat tanah Petani

c)      Sertifikat Tanah UKM

d)     Sertifikat Tanah Transmigrasi

e)      Sertifikat Tanah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)

f)       Sertifikat Tanah bagi nelayan.

Sertifikasi tanah bagi nelayan merupakan kerjasama antara Badan Pertanahan Nasional RI dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan keputusan bersama nomer01/DPT/Dep KP /KB/XI/2007 dan Nomor: 08-SKB-BPNRI-2007 tanggal 15 November 2007. Dinas kelautan perikanan yaitu salah satu OPD yang diikutsertakan atau dipilih oleh Kantor Pertanahan Nasional Kota Cirebon dalam melaksanakan Program prioritas ini baginya Sertifikat tanah nelayan. Sertifikasi Tanah bagi Nelayan adalah sub komponen dari komponen kegiatan legalisasi aset. Sertifikasi tanah nelayan pada hakekatnya adalah proses administrasi pertanahan yang meliputi adjudikasi, pendaftaran tanah dan penerbitan Sertifikat hak atas tanah. Program ini dimaksudkan bagi memberikan fasilitasi akses penguatan hak berupa sertifikasi tanah kepada nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil. program ini telah ditindak lanjuti dengan membentuk Tim POKJA sertifikat tanah nelayan dengan SK walikota nomer 593.05/kep.373-dkppp/2013.

Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan ada beberapa yang terlihat bahwa masih ada beberapa nelayan yang belum mengesahkan atau menyertifikatkan tanahnya karena satu dan lain hal seperti tidak memenuhi persyaratan yang ada dan tidak mempunyai bukti kepemilikan tanah. Sedangkan untuk memperoleh bukti kepemilikan tanah tersebut butuh biaya tambahan lagi yang mungkin dari masyarakat nelayan itu tidak mampu membayar. Selain itu masih adanya nelayan yang kurang mengerti atau kurang memahami akan tatacara membuat, manfaat, atau kegunaan dari sertifikat tanah tersebut.

Bertitik tolak dari uraian di atas maka merupakan hal yang menarik bagi di angkat menjadi suatu bahan penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Program Prioritas Legalisasi Aset Sertifikat Tanah Bagi Nelayan di Kota Cirebon.�

 

Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang berupaya mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya. Untuk itu peneliti dibatasi hanya mengungkapkan fakta-fakta dan tidak menggunakan hipotesa (moleong, 2006:11). Penelitian deskriptif bertujuan bagi menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu dan keadaan sosial yang timbul dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai penelitian. Lokasi penelitian dilaksanakan di Kantor Pertanahan Kota Cirebon dan dinas Kelautan Perikanan Kota Cirebon. Penelitian dilaksanakan Bulan Februari sampai dengan Mei 2015.

 

Hasil dan Pembahasan

Implementasi Kebijakan Program Prioritas Legalisasi Aset Sertifikasi Tanah Bagi Nelayan Kabupaten Cirebon

Terdapat banyak model yang dapat dipakai untuk menganalisis sebuah implementasi kebijakan, dan salah satu model tersebut adalah milik van Meter dan van Horn yang tercantum dalam karya Winarno (2007). Dalam buku tersebut model implementasi kebijakan dikatakan sebagai berikut; those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions. Dalam terjemahan bahasa Indonesia ulasan di atas sama artinya dengan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu, pejabat atau kelompok, baik swasta maupun pemerintahan, yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

Kebijakan pokok pertanahan dan sekaligus arah pembangunan di bidang pertanahan adalah sukses pemecahan masalah pertanahan, berdasarkan arah kebijakan tersebut ditetapkan sasaran pelaksanaan tugas. Sertifikasi tanah nelayan merupakan salah satu kebijkan publik. Program lintas sektoral iniwujudkerja sama antara Badan Pertanahan Nasional RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan keputusan bersama nomer: 01/DPT/Dep KP /KB/XI/2007 dan Nomor: 8-SKB-BPNRI-2007 tanggal 15 November 2007, salah satu bagian Dinas kelautan perikanan�yakni OPD�dipilih Kantor Pertanahan Nasional Kota Cirebon guna melaksanakan Program prioritas Sertifikasi tanah bagi nelayan. Sertifikasi Tanah bagi Nelayan adalah sub komponen dari komponen kegiatan legalisasi aset. Sertifikasi tanah bagi nelayan pada hakekatnya adalah proses administrasi pertanahan yang meliputi adjudikasi, pendaftaran tanah dan penerbitan Sertifikat hak atas tanah. Program ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitasi akses penguatan hak berupa sertifikasi tanah kepada nelayan dan usaha penangkapan ikan skala kecil. program ini telah ditindak lanjuti dengan membentuk Tim POKJA sertifikat tanah bagi nelayan dengan SK walikota nomer 593.05/kep.373-dkppp/2013.

Di Kota Cirebon penanggulangan tersebut dimulai dari tahun 2013-2014. Kantor Pertanahan Kota Cirebon dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Cirebon melaksanakan program kebijakan sertifikat tanah bagi nelayan Kota Cirebon. Pada bulan maret 2014 seharusnya program ini harus sudah mencapai tujuan, namun yang terjadi di lapangan menunjukkan hal yang berlawanan. Terdapat banyak hambatan yang menjadikan program sertifikat tanah bagi nelayan ini melebihi dari waktu yang ditargetkan.

Berdasrkan hasil pengamatan yang penulis lakukan, ada beberapa yang terlihat bahwa masih ada beberapa nelayan yang belum mengesahkan atau menyertifikasi tanahnya karena satu dan lain hal. Sedangkan untuk memperoleh bukti kepemilikan tanah tersebut butuh biaya tambahan lagi yang menguras keuangan masyarakat nelayan. Selain itu, masyarakat juga terkesan belum paham dengan tentang sistem pembuatan sertifikat dan lain sebagainya. Dari sana, dapat dikatakan bahwa pihak Dinas Pertanahan tidak benar-benar melaksanakan sosialisasi secara efektif.

Untuk mengetahui yang terjadi pada fenomena di atas, maka peneliti melakukan wawancara langsung kepada pihak yang terkait seperti penanggung jawab dari sertifikasi hak atas tanah nelayan di Kantor Pertanahan Kota Cirebon. Adapun pihak yang terkait dengan ini tidak lain adalah Ketua Seksi Kelautan dan Perikanan Kota Cirebon, Lurah Lemah Wungkuk dan nelayan Kota Cirebon itu sendiri.

Faktor-faktor yang Mendukung Implementasi Kebijakan Program Prioritas Legalisasi Aset Sertifikat Tanah Bagi Nelayan di Kota Cirebon

1.      Standar dan Sasaran

a.      Kebijakan & Konsistensi Sasaran Program

Kejelasan dan konsistensi sasaran program sertifikat bagi nelayan di Kota Cirebon sudah cukup jelas mengenai konsistensi dari program tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara yang telah peneliti lakukan dengan penanggung jawab dari pada legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan dengan bapak mansyur, beliau mengatakan:

�Menurut sepengatahuan saya program ini sudah tepat sasaran. Maksudnya begini. Pada program ini target tujuan kita adalah nelayan dan yang saya lihat para pendaftar sejauh ini ya para nelayan yang mempunyai kartu nelayan atau nelayan yang terdaftar, dan ada pula nelayan yang belum punya kartu nelayan ya mereka membuatnya terlebih dahulu.�

Selain itu penulis juga mewawancarai kepala seksi kelautan perikanan yaitu bapak Dedi Supardi mengenai kejelasan dan konsistensi dari sasaran program sertifikat tanah bagi nelayan Kota Cirebon:

�Kejelasan dan konsistensi sasaran tujuan dalam program ini sudah tepat sasaran karena dalam program ini banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi. Selain surat-surat, kejelasan mereka sebagai nelayan juga harus dibuktikan adanya, tidak bisa sembarang orang, dan saya sebagai orang kelautan perikanan sangat hapal sekali dengan para angota nelayan di kota ini.�

Selain orang dari kantor pertanahan dan kelautan perikanan, peneliti juga mewawancarai seorang nelayan mengenai kejelasan dan konsistensi sasaran program sertifikat tanah bagi nelayan. Narasumber menyatakan bahwa:

�Kalau kata saya udah cukup jelas apa yang pemerintah mau kasih ke kita, memang kalau yang tidak memenuhi syarat ya tidak bisa dilanjutkan pembuatan sertifikatnya, jadi kalau ditanya pemerintah konsisten atau tidak dalam memberikan program ini ya konsisten�

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan di atas, dapat disimpulkan bahwasannya masalah kejelasan dan konsistensi program yang diberikan oleh kantor pertanahan dan kantor kelautan perikanan dalam mencapai sasaran memang sudah tepat dan konsisten pada apa yang ingin dituju diprogram prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan Kota Cirebon.

b.      Standarisasi Prosedur Perencanaan, Anggaran,dan Implementasi

Standarisasi prosedur perencanaan, anggaran, dan implementasi program ini dalam dinilai peneliti masih belum baik. Hal itu karena belum adanya sertifikat yang terealisasi sampai saat ini. Namun dalam segi perencanaan, serta penganggaran sudah baik karena tertata dengan baik, bisa dilihat pada hasil wawancara peneliti dengan penggung jawab dari pihak kantor pertanahan kota cirebon bapa mansyur:

�Dalam segi perencanaan, penganggaran saya rasa sudah maksimal kita lakukan, namun dalam implementasinya masih banyak hambatan-hambatan yang kita hadapi, makanya sampai saat ini belum 1 sertifikat yang kita garap, ya itu karna kita masih menunggu berkas persyaratan yang belum rampung.�

Hal senada juga di ungkapkan bapak Dedi Supardi selaku penanggung jawab dari pihak DKP3. Narasumber menyebutkan bahwa:

�Mungkin dalam hal ini kita masih kurang optimal dalam mengimplementasikan program sertifikat tanah nelayan. Kalau dari segi perencanaan dan penganggaran kita sudah optimal dalam mengerjakannya�

Dalam parameter ini terlihat ada satu poin yang masih buruk yaitu dalam hal pengimplementasi suatu program kebijakan, terlihat belum ada satu pun sertifikat tanah yang terealisasi.

2.      Sumber Daya

a.      Kemampuan SDM

Kemampuan SDM di Kantor Pertanahan Kota Cirebon sudah cukup baik. Hal tersebut terlihat ketika penulis mewawancarai kepala TU Kantor Pertanahan Kota Cirebon. Menurutnya kualitas SDM di instansi tersebut sudah cukup baik. Mayoritas pegawai di instansi tersebut telah memiliki latar pendidikan Strata 1. Jumlah pegawai dengan latar belakang S1 berjumlah 20 orang, S2 9 orang, D3 18 orang, dan SMA sebanyak 12 orang.

Tidak kalah dengan Kantor Pertanahan Kota Cirebon, Dinas Kebersihan dan Pertanaman Kita Cirebon pun memiliki pegawai dengan latar belakang pendidikan yang baik. Tercatat ada 25 pegawai dengan latar belakang pendidikan S2, 30 pegawai yang S1, 1 pegawai yang D4,2 pegawai yang D3, dan ada 12 pegawai yang berlatar belakang SMA.

b.      Keseimbangan Antara Pembagian Anggaran, Kegiatan Program & Ketepatan Alokasi Anggaran

Dalam hal mengenai keseimbangan antara pembagian anggaran, kegiatan program apa saja yang teranggarkan, dan ketetapan alokasi anggaran, di sini peneliti melakukan wawancara pada pihak terkait. Hasil wawancara tersebut penulis sampaikan dalam kutipan berikut:

�Begini saya akan jelaskan dari awal mengenai anggaran untuk program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan,jadi kementrian kelautan dan perikanan membuat program yang dinamakan program lintas sektoral dua instansi,dimana kementrian kelautan perikanan mengajak atau menarik badan pusat pertanahan nasional untuk membuat program yang disebut sertifikat tanah bagi nelayan, bembiyayaannya yaitu kementrian kelautan perikanan memberikakan DIPA anggaran BPN RI sebanyak 100 bidang untuk Kota Cirebon, per bidang mendapatkan jatah tiga ratus ribu rupiah untuk biaya pendaftaran pembuatan sertifikat tanah, dan pengukuran tanah, untuk Kota Cirebon sendiri dari 100 bidang tanah dibagi jadi 2 kecamatan dari 4 kelurahan yaitu, 1)Kecamatan Kejaksan yang terdiri dari kelurahan kesenden sebanyak 40 bidang, kebonbaru sebanyak 14 bidang; 2) Kecamatan Lemah Wungkuk ada 2 kelurahan yaitu, kelurahan panjunan sebanyak 31 bidang, dan kelurahan lemah wungkuk sebanyak 15 bidang.�

Begitu pula hal yang sama dikatakan oleh pihak dinas kelautan perikanan. Saat peneliti mewawancari narasumber, beliau menyampaikan keseimbangan antara pembagian anggaran, kegitan program, dan ketetapan alokasi anggaran. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan narasumber adalah; mengapa untuk lokasi pembagian anggarannya tidak disamaratakan?

Dari hasil wawancara di atas, dapat dikatakan bahwa terkait dengan keseimbangan antara pembagian anggaran, kegiatan program, dan ketetapan alokasi anggaran pada kedua instansi di atas, lebih mengarah pada pembagian anggaran dan fokus lokasi pembagian.

3.      Hubungan Antara Organisasi

Menurut Subarsono (2010) terdapat beberapa parameter yang terkait dengan komunikasi antarorganisasi. Kedua parameter tersebut adalah sebagai berikut:

a.      Pembagian Fungsi Antarinstansi yang Pantas

Dalam bembagian fungsi antarinstansi yang pantas dalam implementasi kebijakan program sertifikat tanah nelayan Kota Cirebon menurut peneliti sudah cukup baik. Hal itu diakibatkan karena adanya implementasi program selain keputusan dari KEMENLU dan BPN RI. Walikota Kota Cirebon sendiri telah membuat kelompok kerja khusus untuk menyoroti kondisi tersebut.

Berkaca dari parameter ini, dan dengan ditambahkan kondisi riil dari penanganan masalah sertifikasi tanah nelayan, peneliti melihat bahwa perencanaan pembuatan POKJA�atau panitian khusus yang diselenggarakan walikota�akan berpengaruh baik untuk penanganan masalah sertifikasi tanah nelayan Kota Cirebon.

b.      Ketetapan, Konsistensi, dan Kualitas antara Instansi yang Terkait

Terkait dengan parameter ini, peneliti telah melakukan wawancara dengan narasumber di Kelurahan Panjunan. Hasil dari wawancara tersebut penulis lampirkan dalam kutipan berikut:

�dalam hal ini menurut saya masih kurang optimal dari apa yang sudah terbagi-bagi tugas, permisalan kantor pertanahan sendiri bertugas sebagai pembuat atau yang mengeluarkan sertifikat tanah itu sendiri, DKP mempunyai tugasmencari para nelayan calon pendaftar, mendata calon pendaftar, dan mensurvei lokasi para calon pendaftar, dan kelurahan bertugas untuk membantu membuat persyaratan yang masih kurang dalam persyaratan pensertifikatan tanah, tapi kenyataannya dalam menjalani tugas dan fungsi masing-masing tidak seimbang, seperti tugas mencari dan mensurvei tempat para calon pendaftar masih dari fihak kami�

 

Di samping mewawancarai staf kelurahan, peneliti juga mewawancarai dinas lain yang terkait dengan penelitian dan permasalahan ini. Hasil dari wawancara menyebutkan bahwa, secara keseluruhan, pihak-pihak yang terkait dengan sertifikasi tidak begitu baik melaksanakan tugas dan fungsinya. Para pegawai dan staf dinilai masih memiliki tanggung jawab yang relatif rendah. Sehingga berpengaruh pada ketetapan, konsistensi dan kualitas dari setiap instansi yang terlibat.

4.      Karakteristik Agen Pelaksana

Terdapat beberapa definisi yangmelibatkan agen pelaksanaan. Namun dari kesemua definisi tersebut, penulis memiliki satu definisi pasti yang disampaikan oleh Subarsono (2010). Menurutnya, agen pelaksanaan tidak hanya melingkupi individu, tapi juga struktur birokrasi, norma, pola hubungan dalam birokrasi. Sambung Subarsono, menurutnya, kesemua hal di atas secara bersama-sama memberi pengaruh pada implementasi program.

Secara keseluruhan terdapat beberapa parameter pokok dari agen pelaksanaan. Parameter tersebut adalah berikut:

a.      Kemampuan untuk mengkoordinasi, mengontrol dan mengintegrasi keputusan

Terlihat dari hasil wawancara mengenai Ketetapan, konsistensi dan kualitas antarinstansi yang terkait, dapat peneliti simpulkan bahwa, kemampuan dalam mengontrol,mengkoordinasi dan mengintregretasiakan keputusan sangat kurang baik ditambah lagi hasil wawancara di parameter ini.

b.      Komitmen petugas terhadap program

Dalam ketiga hasil wawancara di atas peneliti dapat menilai masih kurang komitmen para petugas terhadap program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah untuk nelayan.

5.      Kondisi Sosial, Politik dan Ekonomi

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakter para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaiman sifat opini publik yang ada dilingkungan; dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan (subarsono, 2010:101).

Dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan nelayan terlihat jelas bahwa kesejahteraan yang mereka alami masih kurang layak.

6.      Disposisi Implementor

a.      Sikap Aparat

Pada intinya, menurut pengakuan para narasumber�yang tidak lain adalah nelayan�sikap aparat pada nelayan tidak lebih buruk dari yang nelayan-nelayan tersebut harapkan. Menurut para narasumber tersebut aparat cenderung baik dalam melaksanakan setiap tugas dan perannya sebagai pelaksana.

b.      Motivasi

Pada intinya, berdasar pada hasil wawancara yang telah peneliti lakukan, nelayan cenderung termotivasi oleh dorongan pemerintah. Menurut nelayan-nelayan tersebut, pemerintah sudah sangat baik mendorong mereka untuk tanggap dalam menyiapkan setiap persyaratan.

Hambatan-Hambatan dalam Mengimplementasikan Kebijakan Program Prioritas Legalisasi Aset Sertifikat Tanah Bagi Nelayan Kota Cirebon

Ada beberapa hambatan yang umumnya timbul pada proses implementasi kebijakan Program Prioritas Legalisasi Aset Sertifikasi Tanah. Di antara banyak hambatan tersebut adalah:

  1. Peran Dinas Kebersihan dan Pertamana Kota Cirebon masih relatif minim. Keberadaan dinas tersebut sebagai kordinator calon pendaftar tidak benar-benar berjalan dengan baik. Hasil dari itu sama kemudian berdampak pada alokasi penyebaran kebijakan tidak benar-benar berjalan;
  2. Dinas Kebersihan dan Pertamanan, kantor kelurahan, dan Kantor Pertanahan tidak benar-benar berkordinasi dengan baik dan mengakibatkan kebijakan yang tumpang tindih;
  3. Pembuatan sertifikat yang masih sangat terlambat dari jadwal yang telah ditetapkan;
  4. Masih terdapatnya biaya tambahan membuat nelayan merasa terbani dengan biaya-biaya tersebut. Kendati tidak begitu besar, namun menurut nelayan yang menjadi narasumber, kondisi tersebut mengharuskan merekan mengeluarkan dana yang tidak seharusnya dikeluarkan;

Dampak Implementasi Kebijakan Program Akibat Hambatan

Terdapat beberapa dampak yang muncul pasca penerapan kebijakan program dengan hambatan yang telah disebutkan di atas. Dari banyak hambatan tersebut adalah:

  1. Tidak tercapainya targetan waktu yang telah ditetapkan pada proses pembuatan sertifikat tanah nelayan;
  2. Terdapat beberapa calon peserta yang masih berkecimpung dengan proses pengumpulan persyaratan di tengah nelayan lain sudah berhasil mendapat sertifikattanah;

 

Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan di atas diketahui beberapa kesimpulan sebagaimana yang penulis sampaikan dalam uraian berikut:

1.      Implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebon yang diukur berdasarkan dimensi implementasi kebijakan menurut Van Meter & Van Hornhasilnya adalah:

a.       Standar dan Sasaran; dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebon dilihat dan dinilai dari dimensi ini sudah baik;

b.      Sumberdaya: dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebondinilai dari dimensi dan parameterini sudah cukup baik;

c.       Hubungan antarorganisasi: dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebondinilai dari dimensi dan parameterini belum baik;

d.      Karakteristik agen pelaksana: dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebondinilai dari dimensi dan parameterini belum baik;Kondisi sosial, politik dan ekonomi: dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebondinilai dari dimensi dan parameterkemampuan ekonomi warga nelayan belum begitu baik;

e.       Disposisi implementor: dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebondinilai dari dimensi dan parameterini sudah cukup baik;

2.      Dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah nelayan di atas faktor-faktor sebagai penentu belum sepenuhnya diterapkan dengan baik oleh kantor pertanahan dan dinas kelautan perikanan Kota Cirebon, hal ini mengakibatkan penilaian masyarakat bagi implementasi kebijakan program tidak berjalan sebagaimana apa yang menjadi target dalam program ini.

3.      Dalam implementasi kebijakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah oleh kantor pertanahan Kota Cirebon bagi nelayanKota Cirebon menemui hambatan-hambatan di antaranya sebagai berikut:

a.       Kurang optimalnya dari pihak DKP3 dalam melaksanakan program prioritas legalisasi aset sertifikat tanah bagi nelayan di Kota Cirebon;

b.      Kurang koordinasi dari 3 instansi yang terlibat kelurahan, DKP, dan kantor pertanahan dalam hal pembagian tugas;

c.       Tidak sesuainya waktu pembuatan sertifikat yang telah ditargetkan bulan Maret 2014 sudah selesai tapi ditargetkan mundur dari jadwal yang ditentukan, mundur jadi dua bulan yaitu awal Juli dipastikan selesai pembuatan sertifikat selesai;

d.      Masih adanya pungutan yang dirasakan oleh nelayan dalam pembuatan persyaratan sertifikat;

 


 

BIBLIOGRAFI

 

AG, Subarsono. 2010. Analisis Kebijakan Publik Konsep Teori dan Aplikasi. Yogyakarta Pustaka Pelajar

 

Moleong, j, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

 

Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik :Teori dan Proses. Yogyakarta :Med Press ( Anggota IKAPI )

 

Hardiansyah .2011. Kualitas Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gava Media