��������� ����������������������������� ��Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849

����������� e-ISSN : 2548-1398

����������� Vol. 3, No 1 Januari 2018

 

 


PROSPEK DAN PEMBERDAYAAN MEDIASI SEBAGAI CARA PENYELESAIAN ALTERNATIF PERSELISIHAN HUKUM AKIBAT PEMBERITAAN PERS

 

Muhamad Noupel

Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon

Email: [email protected]

 

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat proses dan pem berdayaan mediasi sebagai cara penyelesaian alternatif perselisihan hukum akibat pemberitaan pers. Secara umum strategi penelitian ini menggunakan paradigma naturalistik. Lokasi penelitian ini adalah Kota dan Kabupaten Cirebon. Teknik pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara secara mendalam. Adapun hasil dari penelitian ini adalah Mediasi atau Penyelesaian sengketa alternatif adalah suatu penyelesaian sengketa di luar peradilan. Penyelesaian tersebut berdasar pada kata sepakat (konsensus). Pengembangan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia merupakan pilihan yang presisi di tengah derasnya arus perkara di Indonesia. Di samping pertimbangan budaya. dimana pola penyelesaian sengketa dengan pendekatan konsensus dan musyawarah mufakat telah lama dikenal dan mengakar dalam masyarakat Indonesia. juga secara empiris penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan penyelesaian secara litigasi. Namun demikian kendala yang dihadapi dalam pemberdayaan mediasi di Indonesia. antara lain; 1) tata aturan terkait mediator di Indonesia masih cukup samar dan sporadis. 2) minat dan keinginan masyarakat untuk mendirikan sentra mediasi di Indonesia masih relatif rendah. 3) Masih kurangnya tenaga-tenaga mediator di Indonesia.

 

Kata Kunci: Pemberdayaan Mediasi, Perselisihan Hukum, Pemberitaan Pers

 

Pendahuluan

UU No. 40 tahun 1999 tentang pers tidak dapat dinafikkan lagi sebagai sebuah pembuka kehidupan kebebasan pers di Indonesia. Lahirnya kebebasan pers ini tidak lepas dari perubahan politik yang terjadi di Indonesia. Gerakan reformasi yang didorong kalangan mahasiswa telah menuntut dilakukan pembaharuan ke arah kehidupan politik bernegara yang lebih demokratis. Salah satu ciri penyelenggaraan negara yang demokratis adalah kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi.

Sistempers dan sistem politik di sebuah negara biasanya saling mewarnai. Namun ini hanya dapat terjadi apabila negara tersebut melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Miezezlaw Kafel mengatakan. bila suatu saat peran pers meningkat. maka ia menjadi variable berpengaruh terhadap perubahan sosial politik (kondisi masyarakat dan kehidupan politik menjadi variable yang dipengaruhi) (Muis: 2002).

Kebebasan pers sebuah negaratidak terlepas dari sistem politiknya. Kekuatan negara dan struktur masyarakat juga akan mempengaruhi corak paham sebuah pers.

Interaksi pers dan sistem politik akan saling mempengaruhi secara sehat apabila negara melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Pada paham otoritarian dan komunis kehidupan pers tidak berkembang. bahkan mencapai equilibrium karena pers hanya merupakan alat propaganda.

Indonesia secara normatif-konstitusional adalah negara berdasar atas Hukum.Penetapan Indonesia sebagai negara hukum merupakan perspektif resmi yang utama dalam politik hukum nasional yang memberi tuntunan agar hukum dapat berperan aktif atau menjadi sentral dalam kehidupan bermasyarakat (Mulyana: 1986).

Negara hukum dilihat dari perspektif konstruksi perjanjian kemasyarakatan mengandung makna kekuasaan dan keberlakuan negara dilandaskan pada adanya suatu kesepakatan. dimana semua perhubungan-perhubungan kekuasaan ditundukkan pada aturan-aturan yang ditetapkan bersama (Van der Pot: 1983). Negara hukum tidak diartikan sebagai negara otoriterian. Akan tetapi. negara hukum�dalam artian sebenarnya�adalah negara yang benar-benar menegakkan hukum dengan adil dan bijak. sehingga menjamin hak keadilan masyarakat (Sunaryati: 1976).

Sebagai negara hukum. negara dan pemerintah Indonesia didirikan untuk memajukan kesejahteraan umum. mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Upaya memajukan kesejahteraan umum. antara lain diwujudkan dengan dianutnya sistempers dan sistem politik yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi.

Salah satu indikatornya telah diundangkan undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 4 ayat (2) telah diberlakukan kehidupan pers bebas dan bertanggungjawab. Namun demikian dalam era tersebut kebebasan yang dimaksud dinilai sangat besar. sehingga terjadilah apa yang dinamakan freedom euphoria dan euphrasia. Hal ini ditandai dengan jumlah surat kabar yang meningkat tajam. Sebelum reformasi jumlah penerbitan. surat kabar harian dan berkala berjumlah 217. namun setelah reformasi hingga tahun 2000 mencapai sekira 2.003 penerbitan pers di Indonesia (Jacob Oetama: Tanpa Tahun).

Karena kebebasannya ini Sistem Hukum Pers Nasional mengalami perubahan besar. Ia termotivasi teori libertarian sebab penerbit pers adalah perusahaan berbadan hukum yang untuk membiayai operasional dan meningkatkan kesejahteraannya dimungkinkan untuk mencari profit sebesar-besarnya sehingga penyajian media ini tidak lepas dari market oriented.Terlebih lagi tanpa pengawasan pemerintah langsung seperti intervensi terhadap content media.

Kebebasan pers nyatanya tidak dibarengi dengan kemampuan manajem pers. Beberapa penerbit pers yang lemah dari sisi permodalan terpaksa gulung tikar karena tidak mampu bersaing. Data yang tercatat pada Serikat Penerbitan Pers menunjukkan. bila pada tahun 2003 terdapat 2.003 penerbitan pers di seluruh Indonesia maka pada tahun 2006 jumlahnya turun hingga 55.62 persen menjadi 889 penerbitan yang terdiri atas surat kabar harian. surat kabar mingguan. majalah. tabloid. dan buletin. Dari jumlah tersebut sebanyak 44.21 persen berada di Jakarta (Kompas: 2007).

Dampak lain dari market oriented ada beberapa media yang tampil vulgar dan kebablasan. Ini merupakan salah satu penyalahgunaan dari kekuatan (abuse of power) yang diberikan kepada pers. Dampak negatif dari kebebasan pers yang dilakukan berupa hak untuk berbohong atau informasi palsu (the right to lie). hak untuk mengotorkan nama (the right to vilify). hak untuk masuk ke dalam privasi orang (the right to invade privacy). serta hak untuk memutarbalikkan (the right to distort). Penyajian media yang lebih ke market oriented menyebabkan kebijakan pemberitaan yang diserahkan sepenuhnya pada keinginan pembaca sehingga melekatlah adagium: bad news is a good news.

Noam Chomsky dan Edward Herman mensinyalir. pers modern terjepit di atara kekuasaan dan bisnis sehingga secara alami lebih berorientasi kepada elite serta oplah atau rating. Akhirnya pers Indonesia pun dicap kebablasan atas kebebasannya.

Interaksi komunikasi antara pers dengan masyarakat yang tidak berimbang ini ditentang dengan menolak hak jawab dan upaya non ligitasi ketika terjadi sengketa pers. Publik figur memilih penyelesaian sengketa pers ke pengadilan. Pers pun dijaring dengan Delik versi KUHP yang warisan kolonial Belanda yang disebut Haatzaai Artikelen.

Kategori pelanggaran oleh pers ini antara lain trial by the press (peradilan oleh pers) berupa pencemaran nama baik pejabat (public libel/slander defamatory). pihak lain yang dirugikan (civil action atau label suit). minachting (perkataan/tulisan yang menusuk perasaan). character assassination atau stigmatisasi. false news (berita yang menghasut atau menimbulkan keonaran). crusading journalism (pemberitaan yang tidak berimbang). sampai pada pornografi. naked language (ketelanjangan bahasa). kecabulan bahasa (language obscenity). disfemisme. dan hiperbola.

Jean Baudrillard mengatakan kekerasan bahasa/perkosaan bahasa baik eufimisme. metafora maupun jenis kekerasan simbolik lainnya disadari atau tidak dilakukan oleh media. Implikasi sosiologis dari penggunaan jurnalistik jenis �sex and crime� ini menurut Yasraf A Pilliang mempunyai nilai ekonomi libido yang tinggi karena memikat pembaca untuk berfantasi terhadap jalannya perkosaan (KIPPAS: Tanpa Tahun).

Ketidakpuasan masyarakat terhadap sajian media. termasuk ketidakpuasan cara penyelesaian sengketa pers melalui koridor yang diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yakni Hak Jawab. telah memunculkan tindakan anarki berupa tindakan kekerasan maupun intimidasi terhadap pekerja pers hingga boikot maupun perusakan kantor media. Tindakan yang lebih serius adalah gerakan perlawanan terhadap kemerdekaan dan kebebasan pers melalui jalur legal-formal. yakni pengadilan maupun menggunakan alat kebijakan komunikasi (media policy). Biasanya ini dilakukan oleh pejabat yang keberatan terhadap pemberitaan yang menyangkut dirinya.

Kehidupan pers kini memasuki tahap ketiga. Awal reformasi ditandai dengan kebebasan pers yang mutlak pada fase ini equilibrium lebih besar pendulumnya kepada pers. Fase kedua. masyarakat mulai menuntut subordinasi yang seimbang. jalur yang ditempuh adalah tindakan anarki. Kini fase ketiga dimulai dimana equilibrium pers-masyarakat tengah mencapai formulasinya yang pas. Dewan Pers tahun 2000 mengkampanyekan perselisihan sengketa pers tidak ditempuh dengan anarki melainkan jalur hukum. Timbul persoalan baru. pejabat. pengusaha maupun militer yang kecewa terancam oleh perubahan. Kesemua elemen tersebut kemudian bersatu dengan menggugat pers di pengadilan.

Kekerasan-kekerasan fisik tidak lagi dominan. tergeser oleh kekerasan struktural yang memanfaatkan kelemahan-kelemahan pada ranah regulasi dan penegakan hukum. serta dengan mempengaruhi publik dengan wacana-wacana resmi versi pemerintah seperti nasionalisme. etika publik. ketertiban sosial. stabilitas nasional dan lain sebagainya. Beberapa kasus kekerasan struktural terhadap pers antara lain dalam kasus-kasus korupsi pers dituduh melanggar privasi dan asas praduga tak bersalah. Tudingan lainnya pers dianggap memprovokasi konflik. menyebarkan fitnah dan kebencian serta merusak moral bangsa dengan pornografi.

Tudingan ini menakutkan bagi pers. Pers merasa terancam kebebasannya. Dampak kasus-kasus pengaduan pers menguras energi dan konsentrasi komunitas media. Aspek sosiologisnya. langkah hukum menempatkan pers sebagai terdakwa yang secara simbolik terposisikan sebagai pihak yang illegitimate. Sebaliknya pengusaha atau pejabat yang bersalah memenangi sengketa maka ia muncul secara konstruksi sosial yang sangat legitimate sebagai hamba hukum yang baik. anti kekerasan dan menyelesaikan masalah secara taat. baik asas maupun hukum. Dari permasalahan di atas. timbullah pertanyaan; apakah pers bersalah? Belum tentu di tengah lembaga peradilan Indonesia yang gencar dituding melakukan judicial corrupt.

Implikasinya pers melakukan self control yang tinggi. Apakah ketakutan pers akan memandulkan kebebasan pers dari segi kualitas sehingga fungsi pers menjadi mandul. dan bagaimanakah pola penyelesaian perselisihan pers harus dibangun agar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kebebasan pers itu sendiri.

 

Metodologi Penelitian

Untuk lebih memahami proses penyelesaian perselisihan hukum akibat pemberitaan Pers dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma naturalistik. (naturalistic inquiry) (Imam dan Tobroni: Tanpa Tahun). untuk lebih memahami perilaku insan Pers dan korban. baik dalam kerangka berpikir maupun dalam bertindak. ketika interaksi/ komunikasi antara keduanya terjadi. Pemahaman atas perilaku insan Persdan korban sepenuhnya dapat ditelusuri. karena dalam pandangan paradigma difinisi sosial. hukum dinilai sebagai fenomena yang dinamis � hidup�. sehingga dapat terjadi interaksi dialogis antara manusia dan hukum. Perilaku manusia dianggap benar. apabila didasarkan atas hubungan dialogis dengan hukum. Hukum dan manusia saling berinteraksi. saling memberikan aksi dan koreksi yang pada gilirannya terdapat � makna� dan �tindakan� penuh arti dan/atau penghayatan secara mendalam dengan mengedepankan interpretatif understanding atau verstehen.

Oleh karena itu. terkait dengan proses perselihan hukum akibat pemberitaan Pers. akan terjadi hubungan dialogis antara insan Pers dan korban yang pada akhirnya akan melahirkan pilihan�pilihan hukum perlunya dilakukan tindakan berupa keputusan tentang langkah yang akan diambil.

Penelitian ini dilakukan di Kota dan Kabupaten Cirebon. di samping karena merupakan wilayah kerja penulis sebagai wartawan. juga di kedua wilayah tersebut sarat dengan persoalan-persoalan perselisihan hukum akibat pemberitaan Pers.���

Sumber utama penelitian tidak lain adalah pelaku dan korban pers akibat pemberitaan pers. Untuk itu metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah metode wawancara mendalam. Metode wawancara ini juga didukung dengan metode observasi untuk mendapatkan data/informasi berupa sikap dan perilaku insan Pers dan korban akibat pemberitaan Pers.

Data-data yang telah terkumpul kemudian ditindaklanjuti dan dianalisis melalui teknik kualitatif dan kauntitatif. Analisis kuantittatif dilakukan dengan pendekatanpemaparan gejala melalui pola-pola deskriptif.Adapun analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan induktif-deduktif kemudian diarahkan kepada informasi-informasi responden yang tidak dapat diungkapkan secara kuantitatif tetapi sangat penting sebagai pendukung upaya pencarian jawaban atas permasalahan yang sedang diteliti. Dengan demikian. model analisis yang dipakai adalah model interaktif (Esmi: 1999)(interactive model of analysis) yakni melalui pola pengumpulan data. kemudian reduksi data (Miles dan Huberman: 1992). display data dan berakhir dengan simpulan.

Apabila simpulan dirasa kurang mantap maka untuk mengetahui keakuratan dan kehandalan data dilakukan dengan triangulasiatau multi strategi yaitu suatu metode penanganan masalah yang muncul dari kajian yang hanya mengandalkan satu teori saja. satu macam data dan satu metode penelitian saja (Mikkelsen: 1999).


 

Hasil dan Pembahasan

1.      Praktik Penyelesaian Perselihan Hukum Akibat Pemberitaan Pers

Dalam kehidupan negara yang demokratis. pers menjadi pilar keempat setelah lembaga eksekutif. legislatif dan yudikatif. Kebebasan menyatakan pendapat. kritis dan kontrol melalui pers menyumbangkan keseimbangan dalam sistem penyelenggaraan negara. Apabila ketiga pilar lainnya tidak berfungsi. maka masyarakat melalui fungsi pers dapat melakukan kontrol yang positif. Sebagai subsistem nasional. pers melakukan interaksi dan memiliki sifat interdependent dengan subsistem lainnya. Sistem pers merupakan subsistem atau bagian dari sistem komunikasi. sedangkan sistem komunikasi merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar yaitu sistem sosial.

Dalam perspektif proses komunikasi. pers adalah salah satu komponen komunikasi sebagai saluran bagi pernyataan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Hanya saja dalam saluran ini yang bertindak sebagai komunikator bukanlah individu biasa melainkan seseorang yang terlembagakan atau mengatasnamakan surat kabar. studio radio. studio televisi. dan sebagainya. Dengan kata lain. pers dalam hal ini dikatakan sebagai sebuah lembaga dan/atau perusahaan. Sebagaimana diketahui. sebagai sebuah lembaga perusahaan. pers acap kali bersinggungan dengan opsesi untuk meraih keuntungan�profit oriented. Lebih dari itu. beberapa perusahaan pers bahkan melakukan kegiatan pers di luar batas untuk mendapat profit yang melimpah. Hasil dari fenomena tersebut membuahkan permasalahan-permasalahan yang bersinggungan dengan pemberitaan masyarakat.

Sebagaimana diketahui. di era modern seperti sekarang. permasalahan terkait pemberitaan pers sudah menjadi hal yang umum. Pers kerap kali membuat pemberitaan yang menyudutkan salah satu pihak. Kendati pihak tersebut memiliki hak jawab�untuk klarifikasi�namun tetap saja. pihak yang dimaksud adalah pihak yang dirugikan.

Ada beberapa penyelesaian yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan terkait pemberitaan pers. Penyelesaian tersebut adalah optimalisasi Hak Jawab. Hak Koreksi. dan Kewajiban Koreksi. UU Pers menjamin tiap-tiap perusahaan pers untuk melakukan pelayanan hak jawab tatkala ada ketidaksepahaman antara perusahaan pers dan pihak yang merasa dirugikan. Hak Jawab yang selama ini dipahami sebagai bagian dari etika jurnalistik. oleh pembuat undang-undang dinaikan menjadi nilai hukum positif. Apabila Hak Jawab tidak dilayani maka Perusahaan Pers dapat diancam pidana dan denda hingga Rp 500.000.000,-. Itu artinya. bahwa dengan menggunakan ajaran hukum tentang penafsiran a contrario. maka apabila Hak Jawab itu sudah dilayani. itu berarti persoalan hukum sudah dinyatakan selesai. Inilah spirit fundamental dan roh UU Pers dalam menyelesaikan permasalahan akibat pemberitaan pers. Sekarang tinggal bagaimana menghormati dan menempatkan pelayanan Hak Jawab itu secara benar dan profesional.

Berbeda dengan Hak Jawab. maka terhadap Hak Koreksi�karena kualitas akibat yang ditimbulkannya tidak seberat Hak Jawab�tidak diancam dengan pidana denda. Demikian halnya dengan Kewajiban Koreksi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU Pers mengatur bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan pemberitaan pers akibat adanya kegiatan jurnalistik yang dilakukan wartawan pada prinsipnya seluruhnya diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik dengan menggunakan tiga pilihan mekanisme yaitu Hak Jawab. Hak Koreksi. dan atau kejujuran melakukan Kewajiban Koreksi. yang dapat dilakukan melalui Redaksi. Ombudsman. dan atau Dewan Pers. Sekali lagi ditegaskan. Jawa Pos Group dalam menyediakan Ombudsman untuk melayani penyelesaian akibat permasalahan akibat pemberiataan pers. Sekalipun ada pengecualian pada apa yang diatur dalam pasal 5ayat (1). dimana pers yang menyampaikan opini dan peristiwa yang melanggar norma agama, masyarakat, hingga asas praduga tak bersalah diancam pidana dan denda hingga Rp 500.000.000,-.

2.      Prospek dan Pemberdayaan Media Sebagai Cara Penyelesaian Alternatif Perselisihan Hukum Akibat Pemberitaan Pers di Indonesia

a.      Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Mediasi (Rachmadi: 2003), atau juga penyelesaian sengketa dengan jalan alternatif, dikenal sebagai sebuah bentuk penyelesaian yang berorientasi pada kata sepakat. Artinya, masing-masing dari pihak yang bersengketa akan mengedepankan kesepakatan bersama.

Langkah mediasi sendiri telah ada dan diatur dalam UU No. 30 tahun 1999 mengenai Arbitrase juga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada pasal 6 ayat (3) UU yang telah disebutkan di atas dijelaskan bahwa; dalam hal terkait sengeketa atau berbeda pandangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (2) idak dapat diselesaikan, maka atas kesepahaman tertulis dari setiap pihak, sengeka dan/atau perbedaan pendapat tersebut diselesaikan dengan melibatkan pihak lain sebagai seorang mediator.

Dalam ranah peradilan tertinggi, Mahkaman Agung RI, telah menggunakan mediasi sebagai proses peradilan di tingkat pertama. Penggunakan ini telah diatur dalam PERMA No. 2 tahun 2003 mengenai prosedur mdiasi di pengadilan. Adapun aplikasi dari penerapan PERMA ini adalah per tanggal 11 September 2003.

b.      Keunggulan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa

Ada beberapa keunggulan yang dimiliki mediasi pada praktik peradilan dan arbitrase. Sebab, pada praktiknya, tiap-tiap pemutusan perkara yang melibatkan pengadilan dan arbitrase bersifat formal, memaksa, menengok ke beberapa sejarah, memiliki ciri berupa pertenangan dan berdasar pada hak.

c.       Prospek dan Pemberdayaan Mediasi sebagai Cara Penyelesaian Alternatif Perselisihan Hukum Akibat Pemberitaan Pers di Indonesia

Pengembangan mediasi sebagai alternatif peradilan sengketa di Indonesia dan Amerika memiliki sejarah yang berbeda. Di Indonesia, mediasi adalah bagian erat dari kehidupan masyarakat. Sedang dikan di Amerika, mediasi dianggap sebagai pengembangan peradilan.

Berbagai upaya pengembangan mediasi telah direalisasikan di Indonesia (Santosa: 1999) antara lain dengan pengembangan peraturan perundang-undangan sebagai landasan penerapannya. seperti:

1)      Di bidang lingkungan hidup melalui UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2)      Di bidang perburuhan melalui UU No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;

3)      Di bidang keperdataan dan bisnis melalui UU No.30 Tahun 1999;

4)      Di bidang hak atas kekayaan intelektual. melalui: UU No.14 Tahun 2001 tentang Paten .UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek. UU No.29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang UU No.31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. UU No.32 Tahun 2000 tentang Desain Tata letak Sirkuit Terpadu; dan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Yang di dalamnya ada mengatur tentang alternatif penyelesaian sengketa sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa;

5)      Di bidang perkawinan telah dibentuk Badan Penasihat Perkawinan. Perselisihan dan Perceraian (BP4) melalui SK Menteri Agama RI No.30 Tahun 1977. Melalui PERMA No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan. mediasi telah dimasukkan sebagai bagian dari proses peradilan tingkat pertama.

Suatu perkembangan baru yang cukup menggembirakan bagi pemberdayaan mediasi di Indonesia. adalah dengan diundangkannya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. dimana telah menawarkan penyelesaian di luar pengadilan yakni melalui hak jawab sebagai pemulihan �cedera� nama baik (rehabilitasi) dan mediasi Dewan Pers. Dewan Pers sendiri memperbolehkan subjek berita yang dirugikan menyelesaikan melalui pengadilan. namun itu merupakan langkah terakhir apabila upaya mediasi secara msuyawarah dan mufakat tidak dapat memuaskan para pihak.


 

Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan di atas penulis mendapati beberapa kesimpulan sebagaimana berikut:

  1. Mediasi atau Penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolution (ADR). adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik tanpa ataupun dengan bantuan pihak ketiga yang netral telah lazim digunakan dalam penyelesaian sengketa pers di Indonesia;
  2. Pengembangan dan pemberdayaan mediasi sebagai alernatif penyelesaian sengketa di Indonesia merupakan pilihan yang tepat untuk mengurangi derasnya arus perkara yang masuk ke pengadilan; di samping pertimbangan budaya. dimana pola penyelesaian sengketa dengan pendekatan konsensus dan musyawarah mufakat telah lama dikenal dan mengakar dalam masyarakat Indonesia. juga secara empiris penyelesaian sengketa melalui mediasi mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan penyelesaian secara litigasi. Namun demikian kendala yang dihadapi dalam pemberdayaan mediasi di Indonesia. antara lain; 1) pengaturan mengenai dasar hokum bagi bekerjanya mediasi di Indonesia masih bersifat sumir dan sporadis. 2) minat masyarakat untuk mendirikan sentra-sentra mediasi masih rendah. 3) Masih minimnya tenaga-tenaga mediator yang terampil.

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Arief. Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti

 

--------------------------.2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti

 

--------------------------.2006. Mediasi Pidana (Penal Mediation) Dalam penyelesaian Sengketa Masalah Perbankan Beraspek Pidana. Bank Indonesia. Semarang. 13 Desember 2006.

 

Artadi. Ibnu. 2006. Delik Pers : Masalah Kemerdekaan dan Pertanggungjawaban Pidana. dalam Hukum Pidana & Dinamika Kriminalitas. Cirebon: Penerbit Syariah Fakultas Hukum Unswagati.

 

-----------------------. 2006. Memahami Respon Konsep Keadilan Transisional Atas Keberlakuan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Konvensional. Dipublikasikan pada Majalah Ilmiah KOPERTIS IV TRI DHARMA No. 12 Tahun XVIII Juli 2006. STT No. 209/ SK /Ditjen PPG /STT /1994. ISSBN 0215-8256

 

--------------. 2006. Dekonstruksi Penyelesaian Perkara Pidana Melalui prosedur Perdamaian. Jurnal Ilmu Hukum Unpar. Pro Justitia. FH UNPAR BANDUNG.Vol. 24 No. 4. Oktober 2006. ISSN 0215-7519. SK TERAKREDITASI No. 55/DIKTI/Kep/2005. tanggal 17 Nopember 2005.

 

Atmasasmita. Romli. 2003. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. Bogor: Predana Media