��������� ������������������������������ ��Syntax Literate : Jurnal Ilmiah
Indonesia � ISSN : 2541-0849
����������� e-ISSN : 2548-1398
����������� Vol. 3, No 1 Januari 2018
PROSPEK
DAN PEMBERDAYAAN MEDIASI SEBAGAI CARA PENYELESAIAN ALTERNATIF PERSELISIHAN
HUKUM AKIBAT PEMBERITAAN PERS
Muhamad Noupel
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk melihat proses dan pem berdayaan mediasi sebagai
cara penyelesaian alternatif perselisihan hukum akibat pemberitaan pers. Secara
umum strategi penelitian ini menggunakan paradigma naturalistik. Lokasi
penelitian ini adalah Kota dan Kabupaten Cirebon. Teknik pengambilan data
dilakukan dengan teknik wawancara secara mendalam. Adapun hasil dari penelitian
ini adalah Mediasi atau Penyelesaian sengketa alternatif adalah suatu penyelesaian sengketa di luar peradilan. Penyelesaian
tersebut berdasar pada kata sepakat (konsensus). Pengembangan mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa di Indonesia merupakan pilihan yang presisi di tengah
derasnya arus perkara di Indonesia. Di samping pertimbangan budaya. dimana pola penyelesaian
sengketa dengan pendekatan konsensus dan musyawarah mufakat telah lama dikenal
dan mengakar dalam masyarakat Indonesia. juga secara empiris penyelesaian
sengketa melalui mediasi mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan
penyelesaian secara litigasi. Namun demikian kendala yang dihadapi dalam
pemberdayaan mediasi di Indonesia. antara lain; 1) tata aturan terkait mediator di Indonesia masih
cukup samar dan sporadis. 2) minat dan keinginan masyarakat untuk mendirikan
sentra mediasi di Indonesia masih relatif rendah. 3) Masih kurangnya
tenaga-tenaga mediator di Indonesia.
Kata Kunci: Pemberdayaan
Mediasi, Perselisihan Hukum, Pemberitaan Pers
Pendahuluan
UU No. 40 tahun 1999 tentang pers tidak dapat dinafikkan
lagi sebagai sebuah pembuka kehidupan kebebasan pers di Indonesia. Lahirnya
kebebasan pers ini tidak lepas dari perubahan politik yang terjadi di
Indonesia. Gerakan reformasi yang didorong kalangan mahasiswa telah menuntut
dilakukan pembaharuan ke arah kehidupan politik bernegara yang lebih
demokratis. Salah satu ciri penyelenggaraan negara yang demokratis adalah
kebebasan mengeluarkan pendapat dan berekspresi.
Sistem� pers dan sistem politik di sebuah negara
biasanya saling mewarnai. Namun ini hanya dapat terjadi apabila negara tersebut
melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Miezezlaw Kafel mengatakan. bila suatu
saat peran pers meningkat. maka ia menjadi variable berpengaruh terhadap
perubahan sosial politik (kondisi masyarakat dan kehidupan politik menjadi
variable yang dipengaruhi) (Muis: 2002).
Kebebasan pers sebuah
negara� tidak terlepas dari sistem
politiknya. Kekuatan negara dan struktur masyarakat juga akan mempengaruhi
corak paham sebuah pers.
Interaksi pers dan
sistem politik akan saling mempengaruhi secara sehat apabila negara
melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi. Pada paham otoritarian dan komunis
kehidupan pers tidak berkembang. bahkan mencapai equilibrium karena pers hanya merupakan alat propaganda.
Indonesia secara normatif-konstitusional adalah negara berdasar atas
Hukum.� Penetapan Indonesia
sebagai negara hukum merupakan perspektif resmi yang utama dalam politik hukum
nasional yang memberi tuntunan agar hukum dapat berperan aktif atau menjadi
sentral dalam kehidupan bermasyarakat (Mulyana: 1986).
Negara hukum dilihat dari perspektif konstruksi
perjanjian kemasyarakatan mengandung makna kekuasaan dan keberlakuan negara
dilandaskan pada adanya suatu kesepakatan. dimana semua perhubungan-perhubungan
kekuasaan ditundukkan pada aturan-aturan yang ditetapkan bersama (Van der Pot:
1983). Negara hukum tidak diartikan sebagai negara otoriterian. Akan tetapi.
negara hukum�dalam artian sebenarnya�adalah negara yang benar-benar menegakkan
hukum dengan adil dan bijak. sehingga menjamin hak keadilan masyarakat
(Sunaryati: 1976).
Sebagai negara hukum. negara dan pemerintah Indonesia didirikan untuk
memajukan kesejahteraan umum. mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi
segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Upaya memajukan kesejahteraan umum.
antara lain diwujudkan dengan dianutnya sistem� pers dan sistem politik yang menjunjung
tinggi prinsip-prinsip demokrasi.
Salah satu indikatornya
telah diundangkan undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 4
ayat (2) telah diberlakukan kehidupan pers bebas dan bertanggungjawab. Namun
demikian dalam era tersebut kebebasan yang dimaksud dinilai sangat besar.
sehingga terjadilah apa yang dinamakan freedom euphoria dan euphrasia.
Hal ini ditandai dengan jumlah surat kabar yang meningkat tajam. Sebelum
reformasi jumlah penerbitan. surat kabar harian dan berkala berjumlah 217.
namun setelah reformasi hingga tahun 2000 mencapai sekira 2.003 penerbitan pers
di Indonesia (Jacob Oetama: Tanpa Tahun).
Karena kebebasannya ini
Sistem Hukum Pers Nasional mengalami perubahan besar. Ia termotivasi teori libertarian
sebab penerbit pers adalah perusahaan berbadan hukum yang untuk membiayai
operasional dan meningkatkan kesejahteraannya dimungkinkan untuk mencari profit
sebesar-besarnya sehingga penyajian media ini tidak lepas dari market
oriented.� Terlebih lagi tanpa
pengawasan pemerintah langsung seperti intervensi terhadap content
media.
Kebebasan pers nyatanya
tidak dibarengi dengan kemampuan manajem pers. Beberapa penerbit pers yang
lemah dari sisi permodalan terpaksa gulung tikar karena tidak mampu bersaing.
Data yang tercatat pada Serikat Penerbitan Pers menunjukkan. bila pada tahun
2003 terdapat 2.003 penerbitan pers di seluruh Indonesia maka pada tahun 2006
jumlahnya turun hingga 55.62 persen menjadi 889 penerbitan yang terdiri atas
surat kabar harian. surat kabar mingguan. majalah. tabloid. dan buletin. Dari
jumlah tersebut sebanyak 44.21 persen berada di Jakarta (Kompas: 2007).
Dampak lain dari market
oriented ada beberapa media yang tampil vulgar dan kebablasan. Ini
merupakan salah satu penyalahgunaan dari kekuatan (abuse of power) yang
diberikan kepada pers. Dampak negatif dari kebebasan pers yang dilakukan berupa
hak untuk berbohong atau informasi palsu (the right to lie). hak untuk
mengotorkan nama (the right to vilify). hak untuk masuk ke dalam privasi
orang (the right to invade privacy). serta hak untuk memutarbalikkan (the
right to distort). Penyajian media yang lebih ke market oriented menyebabkan kebijakan pemberitaan yang diserahkan
sepenuhnya pada keinginan pembaca sehingga melekatlah adagium: bad news is a good news.
Noam Chomsky dan Edward
Herman mensinyalir. pers modern terjepit di atara kekuasaan dan bisnis sehingga
secara alami lebih berorientasi kepada elite serta oplah atau rating. Akhirnya
pers Indonesia pun dicap kebablasan atas kebebasannya.
Interaksi komunikasi
antara pers dengan masyarakat yang tidak berimbang ini ditentang dengan menolak
hak jawab dan upaya non ligitasi ketika terjadi sengketa pers. Publik figur
memilih penyelesaian sengketa pers ke pengadilan. Pers pun dijaring dengan
Delik versi KUHP yang warisan kolonial Belanda yang disebut Haatzaai
Artikelen.
Kategori pelanggaran
oleh pers ini antara lain trial by the press (peradilan oleh pers)
berupa pencemaran nama baik pejabat (public libel/slander defamatory).
pihak lain yang dirugikan (civil action atau label suit). minachting
(perkataan/tulisan yang menusuk perasaan). character assassination atau stigmatisasi.
false news (berita yang menghasut atau menimbulkan keonaran). crusading
journalism (pemberitaan yang tidak berimbang). sampai pada pornografi. naked
language (ketelanjangan bahasa). kecabulan bahasa (language obscenity).
disfemisme. dan hiperbola.
Jean Baudrillard
mengatakan kekerasan bahasa/perkosaan bahasa baik eufimisme. metafora maupun
jenis kekerasan simbolik lainnya disadari atau tidak dilakukan oleh media.
Implikasi sosiologis dari penggunaan jurnalistik jenis �sex and crime�
ini menurut Yasraf A Pilliang mempunyai nilai ekonomi libido yang tinggi karena
memikat pembaca untuk berfantasi terhadap jalannya perkosaan (KIPPAS: Tanpa
Tahun).
Ketidakpuasan
masyarakat terhadap sajian media. termasuk ketidakpuasan cara penyelesaian
sengketa pers melalui koridor yang diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers yakni Hak Jawab. telah memunculkan tindakan anarki berupa tindakan
kekerasan maupun intimidasi terhadap pekerja pers hingga boikot maupun
perusakan kantor media. Tindakan yang lebih serius adalah gerakan perlawanan
terhadap kemerdekaan dan kebebasan pers melalui jalur legal-formal. yakni
pengadilan maupun menggunakan alat kebijakan komunikasi (media policy).
Biasanya ini dilakukan oleh pejabat yang keberatan terhadap pemberitaan yang
menyangkut dirinya.
Kehidupan pers kini
memasuki tahap ketiga. Awal reformasi ditandai dengan kebebasan pers yang
mutlak pada fase ini equilibrium lebih besar pendulumnya kepada pers.
Fase kedua. masyarakat mulai menuntut subordinasi yang seimbang. jalur yang
ditempuh adalah tindakan anarki. Kini fase ketiga dimulai dimana equilibrium
pers-masyarakat tengah mencapai formulasinya yang pas. Dewan Pers tahun 2000
mengkampanyekan perselisihan sengketa pers tidak ditempuh dengan anarki
melainkan jalur hukum. Timbul persoalan baru. pejabat. pengusaha maupun militer
yang kecewa terancam oleh perubahan. Kesemua elemen tersebut kemudian bersatu
dengan menggugat pers di pengadilan.
Kekerasan-kekerasan
fisik tidak lagi dominan. tergeser oleh kekerasan struktural yang memanfaatkan
kelemahan-kelemahan pada ranah regulasi dan penegakan hukum. serta dengan
mempengaruhi publik dengan wacana-wacana resmi versi pemerintah seperti
nasionalisme. etika publik. ketertiban sosial. stabilitas nasional dan lain
sebagainya. Beberapa kasus kekerasan struktural terhadap pers antara lain dalam
kasus-kasus korupsi pers dituduh melanggar privasi dan asas praduga tak
bersalah. Tudingan lainnya pers dianggap memprovokasi konflik. menyebarkan
fitnah dan kebencian serta merusak moral bangsa dengan pornografi.
Tudingan ini menakutkan
bagi pers. Pers merasa terancam kebebasannya. Dampak kasus-kasus pengaduan pers
menguras energi dan konsentrasi komunitas media. Aspek sosiologisnya. langkah
hukum menempatkan pers sebagai terdakwa yang secara simbolik terposisikan
sebagai pihak yang illegitimate. Sebaliknya pengusaha atau pejabat yang
bersalah memenangi sengketa maka ia muncul secara konstruksi sosial yang sangat
legitimate sebagai hamba hukum yang
baik. anti kekerasan dan menyelesaikan masalah secara taat. baik asas maupun
hukum. Dari permasalahan di atas. timbullah pertanyaan; apakah pers bersalah?
Belum tentu di tengah lembaga peradilan Indonesia yang gencar dituding
melakukan judicial corrupt.
Implikasinya pers
melakukan self control yang tinggi. Apakah ketakutan pers akan
memandulkan kebebasan pers dari segi kualitas sehingga fungsi pers menjadi
mandul. dan bagaimanakah pola penyelesaian perselisihan pers harus dibangun
agar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kebebasan pers itu sendiri.
Metodologi
Penelitian
Untuk
lebih memahami proses penyelesaian perselisihan hukum
akibat pemberitaan Pers dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma
naturalistik. (naturalistic inquiry) (Imam dan Tobroni: Tanpa Tahun).
untuk lebih memahami perilaku insan Pers dan korban. baik dalam kerangka
berpikir maupun dalam bertindak. ketika interaksi/ komunikasi antara keduanya
terjadi. Pemahaman atas perilaku insan Pers�
dan korban sepenuhnya dapat ditelusuri. karena dalam pandangan paradigma
difinisi sosial. hukum dinilai sebagai fenomena yang dinamis � hidup�. sehingga
dapat terjadi interaksi dialogis antara manusia dan hukum. Perilaku manusia
dianggap benar. apabila didasarkan atas hubungan dialogis dengan hukum. Hukum
dan manusia saling berinteraksi. saling memberikan aksi dan koreksi yang pada
gilirannya terdapat � makna� dan �tindakan� penuh arti dan/atau penghayatan
secara mendalam dengan mengedepankan interpretatif understanding
atau verstehen.
Oleh
karena itu. terkait dengan proses perselihan hukum akibat
pemberitaan Pers. akan terjadi hubungan dialogis
antara insan Pers dan korban yang pada akhirnya akan melahirkan pilihan�pilihan
hukum perlunya dilakukan tindakan berupa keputusan tentang langkah yang akan
diambil.
Penelitian ini
dilakukan di Kota dan Kabupaten Cirebon. di samping karena merupakan wilayah
kerja penulis sebagai wartawan. juga di kedua wilayah tersebut sarat dengan
persoalan-persoalan perselisihan hukum akibat pemberitaan Pers.���
Sumber utama penelitian
tidak lain adalah pelaku dan korban pers akibat pemberitaan pers. Untuk itu metode yang digunakan dalam
mengumpulkan data adalah metode wawancara mendalam. Metode wawancara ini juga didukung dengan metode
observasi untuk mendapatkan data/informasi berupa sikap dan perilaku insan Pers
dan korban akibat pemberitaan Pers.
Data-data yang telah
terkumpul kemudian ditindaklanjuti dan dianalisis melalui teknik kualitatif dan
kauntitatif. Analisis kuantittatif dilakukan dengan pendekatan� pemaparan gejala melalui pola-pola
deskriptif.� Adapun analisis kualitatif dilakukan
dengan pendekatan induktif-deduktif kemudian diarahkan kepada
informasi-informasi responden yang tidak dapat diungkapkan secara kuantitatif tetapi
sangat penting sebagai pendukung upaya pencarian jawaban atas permasalahan yang
sedang diteliti. Dengan demikian. model analisis yang dipakai adalah model
interaktif (Esmi: 1999)� (interactive
model of analysis) yakni melalui pola pengumpulan data. kemudian reduksi
data (Miles dan Huberman: 1992). display data dan berakhir dengan simpulan.
Apabila simpulan dirasa
kurang mantap maka untuk mengetahui keakuratan dan kehandalan data dilakukan
dengan triangulasi� atau multi strategi yaitu
suatu metode penanganan masalah yang muncul dari kajian yang hanya mengandalkan
satu teori saja. satu macam data dan satu metode penelitian saja (Mikkelsen:
1999).
Hasil
dan Pembahasan
1. Praktik Penyelesaian Perselihan
Hukum Akibat Pemberitaan Pers
Dalam kehidupan negara yang demokratis. pers menjadi
pilar keempat setelah lembaga eksekutif. legislatif dan yudikatif. Kebebasan
menyatakan pendapat. kritis dan kontrol melalui pers menyumbangkan keseimbangan
dalam sistem penyelenggaraan negara. Apabila ketiga pilar lainnya tidak
berfungsi. maka masyarakat melalui fungsi pers dapat melakukan kontrol yang
positif. Sebagai subsistem nasional.
pers melakukan interaksi dan memiliki sifat interdependent dengan subsistem
lainnya. Sistem pers merupakan subsistem atau bagian dari sistem komunikasi.
sedangkan sistem komunikasi merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar
yaitu sistem sosial.
Dalam perspektif proses komunikasi. pers adalah
salah satu komponen komunikasi sebagai saluran bagi pernyataan yang disampaikan
oleh komunikator kepada komunikan. Hanya saja dalam saluran ini yang bertindak
sebagai komunikator bukanlah individu biasa melainkan seseorang yang
terlembagakan atau mengatasnamakan surat kabar. studio radio. studio televisi.
dan sebagainya. Dengan kata lain. pers dalam hal ini dikatakan sebagai sebuah
lembaga dan/atau perusahaan. Sebagaimana diketahui. sebagai sebuah lembaga
perusahaan. pers acap kali bersinggungan dengan opsesi untuk meraih keuntungan�profit oriented. Lebih dari itu.
beberapa perusahaan pers bahkan melakukan kegiatan pers di luar batas untuk
mendapat profit yang melimpah. Hasil dari fenomena tersebut membuahkan
permasalahan-permasalahan yang bersinggungan dengan pemberitaan masyarakat.
Sebagaimana diketahui. di era modern seperti
sekarang. permasalahan terkait pemberitaan pers sudah menjadi hal yang umum.
Pers kerap kali membuat pemberitaan yang menyudutkan salah satu pihak. Kendati
pihak tersebut memiliki hak jawab�untuk klarifikasi�namun tetap saja. pihak
yang dimaksud adalah pihak yang dirugikan.
Ada beberapa penyelesaian yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan permasalahan terkait pemberitaan pers. Penyelesaian tersebut
adalah optimalisasi Hak Jawab. Hak Koreksi. dan Kewajiban Koreksi. UU Pers menjamin
tiap-tiap perusahaan pers untuk melakukan pelayanan hak jawab tatkala ada
ketidaksepahaman antara perusahaan pers dan pihak yang merasa dirugikan. Hak
Jawab yang selama ini dipahami sebagai bagian dari etika jurnalistik. oleh
pembuat undang-undang dinaikan menjadi nilai hukum positif. Apabila Hak Jawab
tidak dilayani maka Perusahaan Pers dapat diancam pidana dan denda hingga Rp
500.000.000,-. Itu artinya. bahwa dengan menggunakan ajaran hukum tentang
penafsiran a contrario. maka apabila Hak Jawab itu sudah dilayani. itu
berarti persoalan hukum sudah dinyatakan selesai. Inilah spirit fundamental dan
roh UU Pers dalam menyelesaikan permasalahan akibat pemberitaan pers. Sekarang
tinggal bagaimana menghormati dan menempatkan pelayanan Hak Jawab itu secara
benar dan profesional.
Berbeda dengan Hak Jawab. maka terhadap Hak
Koreksi�karena kualitas akibat yang ditimbulkannya tidak seberat Hak
Jawab�tidak diancam dengan pidana denda. Demikian halnya dengan Kewajiban
Koreksi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU Pers
mengatur bahwa mekanisme penyelesaian permasalahan pemberitaan pers akibat
adanya kegiatan jurnalistik yang dilakukan wartawan pada prinsipnya seluruhnya
diselesaikan dengan mekanisme jurnalistik dengan menggunakan tiga pilihan
mekanisme yaitu Hak Jawab. Hak Koreksi. dan atau kejujuran melakukan Kewajiban
Koreksi. yang dapat dilakukan melalui Redaksi. Ombudsman. dan atau Dewan
Pers. Sekali lagi ditegaskan. Jawa Pos Group dalam menyediakan Ombudsman untuk
melayani penyelesaian akibat permasalahan akibat pemberiataan pers. Sekalipun
ada pengecualian pada apa yang diatur dalam pasal 5� ayat (1). dimana pers yang menyampaikan opini
dan peristiwa yang melanggar norma agama, masyarakat, hingga asas praduga tak
bersalah diancam pidana dan denda hingga Rp 500.000.000,-.
2. Prospek dan Pemberdayaan Media
Sebagai Cara Penyelesaian Alternatif Perselisihan Hukum Akibat Pemberitaan Pers
di Indonesia
a. Mediasi Sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Mediasi (Rachmadi: 2003), atau juga penyelesaian
sengketa dengan jalan alternatif, dikenal sebagai sebuah bentuk penyelesaian
yang berorientasi pada kata sepakat. Artinya, masing-masing dari pihak yang
bersengketa akan mengedepankan kesepakatan bersama.
Langkah mediasi sendiri telah ada dan diatur dalam
UU No. 30 tahun 1999 mengenai Arbitrase juga Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pada pasal 6 ayat (3) UU yang telah disebutkan di atas dijelaskan bahwa; dalam
hal terkait sengeketa atau berbeda pandangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam
ayat (2) idak dapat diselesaikan, maka atas kesepahaman tertulis dari setiap
pihak, sengeka dan/atau perbedaan pendapat tersebut diselesaikan dengan
melibatkan pihak lain sebagai seorang mediator.
Dalam ranah peradilan tertinggi, Mahkaman Agung RI,
telah menggunakan mediasi sebagai proses peradilan di tingkat pertama.
Penggunakan ini telah diatur dalam PERMA No. 2 tahun 2003 mengenai prosedur
mdiasi di pengadilan. Adapun aplikasi dari penerapan PERMA ini adalah per
tanggal 11 September 2003.
b. Keunggulan Mediasi Sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Ada beberapa keunggulan yang dimiliki mediasi pada
praktik peradilan dan arbitrase. Sebab, pada praktiknya, tiap-tiap pemutusan
perkara yang melibatkan pengadilan dan arbitrase bersifat formal, memaksa,
menengok ke beberapa sejarah, memiliki ciri berupa pertenangan dan berdasar
pada hak.
c. Prospek dan Pemberdayaan Mediasi
sebagai Cara Penyelesaian Alternatif Perselisihan Hukum Akibat Pemberitaan Pers
di Indonesia
Pengembangan mediasi sebagai alternatif peradilan
sengketa di Indonesia dan Amerika memiliki sejarah yang berbeda. Di Indonesia, mediasi
adalah bagian erat dari kehidupan masyarakat. Sedang dikan di Amerika, mediasi
dianggap sebagai pengembangan peradilan.
Berbagai upaya pengembangan mediasi telah
direalisasikan di Indonesia (Santosa: 1999) antara lain dengan pengembangan
peraturan perundang-undangan sebagai landasan penerapannya. seperti:
1)
Di bidang lingkungan hidup melalui UU
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2)
Di
bidang perburuhan melalui UU No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
3)
Di
bidang keperdataan dan bisnis melalui UU No.30 Tahun 1999;
4)
Di
bidang hak atas kekayaan intelektual. melalui: UU No.14 Tahun 2001 tentang
Paten .UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek. UU No.29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman. UU No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang UU
No.31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. UU No.32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata letak Sirkuit Terpadu; dan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Yang di
dalamnya ada mengatur tentang alternatif penyelesaian sengketa sebagai salah
satu bentuk penyelesaian sengketa;
5)
Di
bidang perkawinan telah dibentuk Badan Penasihat Perkawinan. Perselisihan dan
Perceraian (BP4) melalui SK Menteri Agama RI No.30 Tahun 1977. Melalui PERMA
No.2 Tahun 2003 tentang Mediasi di Pengadilan. mediasi telah dimasukkan sebagai
bagian dari proses peradilan tingkat pertama.
Suatu
perkembangan baru yang cukup menggembirakan bagi pemberdayaan mediasi di
Indonesia. adalah dengan diundangkannya UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.
dimana telah menawarkan penyelesaian di luar pengadilan yakni melalui hak jawab
sebagai pemulihan �cedera� nama baik (rehabilitasi) dan mediasi Dewan Pers.
Dewan Pers sendiri memperbolehkan subjek berita yang dirugikan menyelesaikan melalui
pengadilan. namun itu merupakan langkah terakhir apabila upaya mediasi secara
msuyawarah dan mufakat tidak dapat memuaskan para pihak.
Kesimpulan
Dari hasil dan
pembahasan di atas penulis mendapati beberapa kesimpulan sebagaimana berikut:
BIBLIOGRAFI
Arief.
Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya
Bakti
--------------------------.2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti
--------------------------.2006. Mediasi Pidana (Penal Mediation) Dalam penyelesaian
Sengketa Masalah Perbankan Beraspek Pidana. Bank
Indonesia. Semarang. 13 Desember 2006.
Artadi. Ibnu. 2006. Delik Pers : Masalah Kemerdekaan dan
Pertanggungjawaban Pidana. dalam Hukum Pidana & Dinamika Kriminalitas. Cirebon:
Penerbit Syariah Fakultas Hukum Unswagati.
-----------------------. 2006. Memahami
Respon Konsep Keadilan Transisional Atas Keberlakuan Asas Legalitas Dalam Hukum
Pidana Konvensional. Dipublikasikan pada Majalah Ilmiah KOPERTIS IV TRI DHARMA
No. 12 Tahun XVIII Juli 2006. STT No. 209/ SK /Ditjen PPG /STT /1994. ISSBN 0215-8256
--------------. 2006. Dekonstruksi
Penyelesaian Perkara Pidana Melalui prosedur Perdamaian. Jurnal
Ilmu Hukum Unpar. Pro Justitia. FH UNPAR BANDUNG.� Vol. 24 No.
4. Oktober 2006. ISSN 0215-7519. SK TERAKREDITASI No. 55/DIKTI/Kep/2005.
tanggal 17 Nopember 2005.
Atmasasmita. Romli. 2003. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. Bogor: Predana Media