�������� ����������������������������� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849

����������� e-ISSN : 2548-1398

����������� Vol. 3, No 1 Januari 2018

 


KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI DAN PENGALAMAN KOMUNIKASI PASANGAN SUAMI ISTRI PENYANDANG TUNANETRA DI KOTA BANDUNG

 

Rizqi Ghassani

Universitas Kebangsaan Republik Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami dan menemukan makna yang telah dikonstruksi oleh pasangan suami istri penyandang tunanetra yaitu mengenai identitas diri mereka sebagai penyandang tunanetra, motif pasangan suami istri penyandang tunanetra menikah, serta untuk mengungkap perilaku komunikasi keluarga penyandang tunanetra baik dengan pasangan, anak, keluarga, lingkungan masyarakat dan pekerjaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi dengan pendekatan kualitatif tentang pola komunikasi dan konsep diri para penyandang tunanetra. Subjek dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri penyandang tunanetra di Kota Bandung dengan klasifikasi kebutaan yang beragam. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam, observasi, dan studi komunikasi kepada keenam informan. Penelitian ini menggunakan Teori Identitas Diri, Teori Interaksi Simbolik dan Teori Konstruksi Sosial Atas Realitas. Hasil dari penelitian ini adalah para penyandang tunanetra dalam memaknai dirinya sebagai penyandang tunanetra dipengaruhi oleh berbagai kerangka pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta proses kebutaan yang terjadi sehingga membuat sebuah pemaknaan diri sebagai seorang yang pasrah, patut dikasihani, tidak berguna, kurang percaya diri, kecewa, trauma dan harus memiliki semangat lebih dibanding manusia yang memiliki penglihatan normal lainnya. Dalam membesarkan anak-anak mereka yang memiliki penglihatan normal, para pasangan suami istri penyandang tunanetra memasangkan gelang kaki krincing kepada anak mereka dan mengikat tangan anak mereka dengan tangannya dengan tujuan agar tidak kehilangan jejak saat pengasuhan di rumah. Meski memiliki kendala dalam penglihatan tetapi para penyandang tunanetra dalam penelitian ini memiliki kelebihan dalam pemaksimalan indera-indera lainnya. Mereka memiliki kepekaan terhadap suara, indera peraba, penciuman, serta felling yang kuat dalam menjalani kehidupan.

 

Kata Kunci: Tunanetra, Identitas Diri, Pengalaman Komunikasi

 

Pendahuluan

Seseorang mengalami ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor dari luar lebih memerlukan waktu untuk memiliki adaptasi dan menerima keadaan dirinya daripada yang mengalami sejak lahir (Rof�ah, Andayani & Muhlisun. 2010: 16). Keadaan tunanetra yang terjadi tidak dari sejak lahir akan membuat seseorang mengalami masa perubahan secara drastis. Kehilangan penglihatan mempengaruhi individu dalam berbagai hal, yang menuntut individu itu untuk mengubah caranya berpresepsi, berpikir dan merasakan berbagai hal. Selain itu seseorang yang mengalami tunanetra memiliki kesulitan lain dalam melaksanakan tugas perkembangan sosial yaitu keterbatasan tunanetra untuk dapat belajar sosial melalui proses indentifikasi dan imitasi (Somantri. 2012: 20). Akibat dari ketunanetraan ini membuat proses pengenalan rangsangan seseorang terhadap dunia luar tidak dapat diperoleh secara utuh, sehingga dapat timbul kesan maupun persepsi yang belum tentu sesuai dengan kenyataan yang ada.

Meski kendala penglihatan menjadi salah satu faktor kesulitan dalam berkomunikasi, namun para penyandang tunanetra memiliki kelebihan dalam hal penggunaan indera lainnya. Mereka sangat peka dalam penciuman, pendengaran dan peraba. Tak jarang juga perasaan atau felling mereka sangat kuat terhadap hal di sekitarnya. Mereka dapat mengetahui siapa yang datang hanya dengan mendengarkan ketukan kakinya.

Meski memiliki keterbatasan dalam penglihatan, para penyandang tunanetra pun hidup seperti halnya manusia normal pada umumnya. Memiliki perasaan dan hasrat biologis yang harus terpenuhi. Psikoanalis humanistik yang terkenal (dalam Friedman and Schuctack. 2008: 339) mengatakan bahwa cinta adalah seni. Cinta bukanlah keadaan yang seseorang alami, ataupun sekedar fenomena semu yang tidak memiliki arti nyata. Cinta membutuhkan pengetahuan, usaha dan pengalaman. Cinta membuat kita mampu mengatasi keterasingankita dari orang lain, tetapi dengan tetap menjaga integritas individual kita. Fremm mengemukakan bahwa cinta tidak mungkin ada tanpa kepribadian yang dewasa dan produktif. Oleh karena itu, pendekatan Fromm mengenai manusia yang sehat dan utuh digambarkan melalui �karakter produktif�, yang berusaha melampaui konteks biologis dan masyarakat, dan yang menggunakan otaknya untuk mencintai dan berkreasi dalam cara manusia yang unik. Di balik keterbatasannya, para penyandang tunanetra tetap hidup berdampingan dan menjalin hubungan dengan lawan jenis layaknya masyarakat pada umumnya.

Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 mengungkapkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 6.008.661 orang. Dari jumlah tersebut sekitar 1.780.200 orang adalah penyandang disabilitas netra, 472.855 orang penyandang disabilitas rungu wicara, 402.817 orang penyandang disabilitas grahita/intelektual, 616.387 orang penyandang disabilitas tubuh, 170.120 orang penyandang disabilitas yang sulit mengurus diri sendiri, dan sekitar 2.401.592 orang mengalami disabilitas ganda.

Tabel 1

Survei SUNSENAS Biro Pusat Statistik 2012

Penyandang Disabilitas Indonesia

 

No

Jenis

Jumlah

1

Penyandang Disabilitas Ganda

2.401.592 Jiwa

2

Tunanetra

1.780.200 Jiwa

3

Disabilitas Tubuh

616.387 Jiwa

4

Tunawicara

472.855 Jiwa

5

Tunagrahita

420.817 Jiwa

6

Sulit Mengurus Diri Sendiri

170.120 Jiwa

Jumlah

6.008.661 Jiwa

(data penyandang tunanetra, 18 januari 2016)

Komunikasi pasangan suami istri menjadi salah satu sarana dimana seorang anggotanya berinteraksi dengan anggota lainnya sekaligus mengembangkan nilai-nilai yang dibutuhkan sebagai pegangan hidup. Agar masing-masing anggota dapat menjalani hidupnya saat ia membaur dalam masyarakat. Oleh karena itu peneliti melihat bagaimana penyandang tunanetra ini memaknai identitas dirinya sebagai penyandang tunanetra beserta hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi dan perilaku keseharian mereka bersama anggota keluarga, bahkan lingkungan rumah atau pekerjaan.

 

Metodologi Penelitian

Fenomenologi merupakan metode yang digunakan dalam membedah penelitian ini. Fenomenologi adalah penelitian terhadap pengalaman sadar seorang individu. Teori komunikasi yang masuk dalam tradisi fenomenologi berpandangan bahwa manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung dengan lingkungan. Tradisi fenomenologi memberikan penekanan sangat kuat pada persepsi dan interpretasi dari pengalaman subjektif manusia. Pendukung teori ini berpandangan bahwa cerita atau pengalaman individu adalah lebih penting dan memiliki otoritas lebih besar dari pada hipopenelitian penelitian sekalipun (Morissan & Dr.Andy Corry. 2009: 31).

Maka dalam penelitian ini penulis mencoba menggali lebih dalam mengenai fenomenologi yang terjadi pada pasangan suami istri penyandang tunanetra di Kota Bandung. Untuk lebih memperoleh pengetahuan lebih mengenai perasaan dan pola kehidupan mereka sehari-hari. Dengan harapan terpenuhinya komunikasi yang efektif antara keluarga penyandang tunanetra dan menjadi pengetahuan bagi para praktisi ilmu komunikasi dengan pendekatan kualitatif tentang pola komunikasi dan konsep diri para penyandang tunanetra.

Subyek penelitian adalah pasangan suami istri penyandang tunanetra dengan klasifikasi pasangan suami istri penyandang kebutaan total/totally blind, pasangan suami istri penyandang buta totallow vision, dan pasangan suami istri dengan penyandang kebutaan low vision hampir total yang memiliki istri dengan penglihatan yang normal di Kota Bandung dan memiliki anak dalam hal komunikasi antarpribadi mereka baik dengan pasangan, keluarga maupun dengan masyarakat pada umumnya. Dan yang menjadi objek penelitian pada penelitian ini ialah pola komunikasi verbal maupun non verbal pasangan suami istri penyandang tunanetra dengan keluarga maupun dengan masyarakat pada umumnya.

Pendekatan dalam penelitian ini lebih pada ke arah kualitatif dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Pada pelaksanaan penelitian ini, peneliti menggunakan konsep tahap-tahap penelitian yang terdiri dari tahap pra lapangan, kerja lapangan dan analisa data.Adapun cara-cara yang digunakan peneliti untuk validasi data adalah perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan dan triangulasi.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Hasil Penelitian

1.      Latar Belakang Informan

Di bawah ini adalah data yang mewakili identitas, pekerjaan, hingga latar belakang informan dan kebutuhan informan:

Tabel 2

Identifikasi Informan

 

No.

Nama Informan

Usia Pernikahan

Pekerjaan

Klasifikasi����� Kebutaan

1.

Suminarsih

20 tahun

Ibu Rumah Tangga

Totally Blind

2.

Nono Suwarno

20 tahun

PNS

Totally Blind

3.

Wati Nur

6 tahun

Ibu Rumah Tangga

Totally Blind

4.

Yudi

6 tahun

PNS

Low Vision

5.

Eman Sulaeman

5 tahun

Guru SMK

Low Vision

6.

Mira Jumira

5 tahun

Guru SD

Normal

 

Rata-rata para penyandang tunanetra dalam penelitian ini memutuskan untuk menikah di usia 20-30 tahun dimana dalam teori identitas diri Erickon (dalam Boeree: 2005) yang di dalamnya terdapat delapan tahap perkembangan manusia, pada usia tersebut seorang individu berada dalam tahap keenam yaitu tahap keintiman vs isolasi. Artinya dalam tahap tersebut seseorang berusaha untuk menjalin kedekatan dengan orang lain dan mencoba menghindar dari sikap menyendiri. Hanya berbeda dengan para penyandang tunanetra. Terkhusus key informant pada penelitian ini mereka cenderung tertutup dan mengisolasi diri dari hal baru yang mereka pandang akan menyulitkan mereka. Pemikiran tersebut didasari dengan sikap kurang percaya diri dan malu karena disebabkan oleh kebutaan yang mereka alami.

Dalam keseharian keenam informan di atas, peneliti mendapati keberagaman yang cukup signifikan. Setiap informan menjalani hidup dengan gaya yang berbeda-beda. Pasangan Nono dan Suminarsih misalnya. Pasangan ini menjalani hidup dengan lebih tertutup. Kendati keduanya dikatakan sebagai keluarga eksklusif�karena mampu menyekolahkan buah hati sampai jenjang perguruan tinggi�keduanya tetap terkesan tertutup dengan lingkungan. Keduanya cenderung memilih aktif di PERTUNI atau Persatuan Tunanetra Indonesia. Tidak jauh berbeda dengan Nono dan Suminarsih, Yudi dan Wati juga melaksanakan kehidupan dengan lebih tertutup. Keduanya memilih untuk benar-benar lari dari keramaian. Alasan keduanya memilih lari karena mendapat labelling yang kurang baik dari masyarakat. Keduanya mengaku mendapat label sebagai keluarga cacat yang harus dikasihani dan sebagainya. Kondisi diperparah dengan stiker keluarga cacat yang ditempel di depan rumah dan tidak diikutsertakannya pasangan ini dalam agenda masyarakat. Sementara itu, baik Yudi dan Wati sama-sama menyuruh buah hatinya untuk ikut menarik diri dari pergaulan rumah. Alasan keduanya adalah ingin menyelamatkan anak mereka dari ejekkan yang dapat meruntuhkan mental anak.

Berbeda dengan kedua pasangan di atas, untuk pasangan yang terakhir�yakni Eman dan Mira�keduanya menjalani hidup sebagaimana masyarakat normal. Kondisi keluarga yang mendukung dan mau mengangkat mental keduanya membuat Eman dan Mira mampu hidup layaknya manusia normal. Sementara itu, dalam setiap kegiatan sosial, baik Eman dan Mira keduanya sama-sama senantiasa dilibatkan dan diikutsertakan dalam setiap kegiatan.

Latar belakang Eman dan Mira memang berbeda dengan kedua pasangan di atas. Eman memiliki kerabat yang bekerja sebagai aparatur desa tempat eman tinggal. Sehingga, dengan kata lain, dapat dikatakan Eman terbantu oleh keberadaan kerabat tersebut yang senantiasa mengikutsertakannya dalam setiap agenda masyarakat. Namun terlepas dari hal tersebut, Eman Sulaeman memiliki keberanian dan mau menerima yang lebih baik ketimbang kedua pasangan informan lainnya.

2.      Makna Identitas Diri untuk Pasangan Penyandang Tunanetra

Berikut adalah bagan yang menggambarkan makna identitas diri dari pasangan penyandang tunanetra:

Bagan 1

Makna Identitas Diri untuk Pasangan Penyandang Tunanetra

Gambaran kehidupan secara tidak langsung tersemat dalam akal dan pikiran seorang manusia. Manusia mempunyai paradigmanya sendiri terhadap kehidupannya. Dalam pelaksanaannya, paradigma amat berkaitan dengan pengalaman hidup yang didapat seseorang. Sementara itu, dalam teori fenomenologi manusia dikatakan sebagai individu yang memandang suatu makna dengan berdasar pada objeknya.

Dalam teori Konstruksi Sosial Atas Realitas dinyatakan bahwa kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaannya sendiri sehingga tidak tergantung pada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger. 1990: 1). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pemaknaan diri seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh pengetahuan yang ia miliki. Meski mereka merasa terdapat beberapa kendala dalam menjalani kehidupan sehari-hari namun mereka harus bisa menerima kenyataan bahwa kehidupan harus tetap berjalan bagaimanapun keadaan yang dialami oleh seseorang. Mereka harus bertanggungjawab atas segala keputusan yang telah mereka ambil.

3.      Motif Pasangan Suami Istri Penyandang Tunanetra Menikah

Di bawah ini adalah diagram yang mewakili motif suami istri penyandang tunanetrauntuk melangsungkan pernikahan:

Bagan 2

Motif Pasangan Suami Istri Penyandang Tunanetra Menikah

Bagan di atas menerangkan bahwa terdapat beberapa motif menikah suami istri penyandang tunanetra. Di antara banyak motif terlampir, pasangan penyandang tunanetra umumnya menikah karena panggilan agama. Mereka berpendapat bahwa setelah menikah, mereka dianggap telah menyempurnakan agama. Selain itu, pasangan penyandang tunanetra juga memiliki motif lain untuk menikah. Di antara banyak motif tersebut adalah; 1) agar memiliki tempat untuk berbagi, 2) agar ada seseorang yang dapat mengurusi tanpa perlu merepotkan keluarga lagi, 3) menjadi pembuktian diri, 4) faktor usia, 5) agar ada pihak yang menyempurnakan dan melindunginya.

4.      Penerapan Pola Asuh Anak

Ada beberapa jenis pola asuh yang digunakan untuk mereka yang menyandang tunanetra. Akan tetapi, dari informan yang peneliti wawancari, terdapat beberapa pola asuh anak yang khas, yang umumnya digunakan oleh mereka yang hidup sebagai penyandang tunanetra. Adapun pola asuh yang dimaksud tercantum dalam bagan berikut ini:

Bagan 3

Pola Asuh Anak Pasangan Penyandang Tunanetra

Bagan di atas menerangkan bahwa secara keseluruhan model pola asuh anak yang digunakan pasangan penyandang tunanetra tidaklah berbeda dengan mereka yang hidup normal. Akan tetapi, yang membedakan pola mereka dengan masyarakat umum adalah bagaimana orangtua dengan tunanetra senantiasa memberi arahan dan/atau pengertian pada anak bahwa orang tua mereka memiliki kekurangan.

Ada beberapa pola asuh unik yang kerap digunakan para penyandang tunanetra saat mengasuh anak balitanya. Pola pengasuhan yang dimaksud adalah dengan mengikatkan tangan orang tua penyandang disabilitas pada bagian tubuh�umumnya tangan, kaki atau pakaian balitanya�agar tidak kehilangan jejak balita saat Ia bermain. Beberapa cara lain juga diterapkan oleh orang tua penyandang tunanetra. Nono dan Suminarsih contohnya. Keduanya memasangkan gelang �kerincing pada kaki dan anaknya. Melalui gelang tersebut, keduanya dapat mendengar kegiatan yang dilakukan anaknya. Melalui gelang itu pula keduanya dapat mengetahui posisi anaknya.

5.      Pengalaman Komunikasi Suami Istri Penyandang Tunanetra

Kondisi komunikasi sepasang suami istri penyandang tunanetra dapat dilihat melalui bagan berikut:

Bagan 3

Pengalaman Komunikasi Suami Istri Penyandang Tunanetra

Secara keseluruhan komunikasi yang dilalui oleh pasangan penyandang tunanetra tidaklah sama dengan mereka yang hidup normal. Para penyandang tunanetra cenderung lebih sensitif. Para penyandang disabilitas umumnya mudah tersinggung bila ada kalimat yang menyinggung kondisinya. Di sisi lain, para penyandang disabilitas juga cenderung menarik diri, sehingga menyulitkan masyarakat luar untuk berkomunikasi. Para penyandang disabilitas yakin bahwa dengan menarik diri dari lingkungan mereka akan terbebas dari diskriminasi dan ketidakpercayaan masyarakat umum kepadanya.

Pada kasus informan kunci ketidakkepercayaan tidak hanya didapat dari masyarakat luar, namun juga keluarga sendiri. Salah satu informan mengungkapkan bahwa, pada Ia memperkenalkan calon pasangannya�yang juga tunanetra, pihak keluarga menolak. Pihak keluarga berpikir bahwa, jika anaknya menikah dengan calonnya yang diperkenalkan tersebut, sulit bagi anaknya untuk hidup. Keluarga menginginkan informan untuk dapat hidup dengan enak, ada yang mengurusi, ada yang menjaga, ada yang melayani.

Akan tetapi, pada proses perkembangannya, pihak keluarga akhir melunak dan menyerahkan semua keputusan pada anak-anak mereka. Kendati diliputi rasa khawatir dan takut, pihak keluarga yakin bahwa anak-anak mereka�penyandang tunanetra�tahu mana yang terbaik dan bagus untuk kehidupannya.

Penerimaan keluarga dan masyarakat mengenai pernikahan penyandang tunanetra terdapat beberapa komentar yang berbeda. Secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) komentar negatif terhadap pernikahan sesama penyandang totally blind Nono Suwarno dan Suminarsih dikarenakan kondisi mereka yang mengalami buta total sehingga mendapatkan beberapa komentar miring mengenai pernikahan mereka, (2) Komentar positif dengan bentuk apresiasi terhadap pernikahan Yudi Fardiat dan Wati Nur yang mengalami low vision (hampir total) karena kondisi mereka yang tergolong telat menikah dalam budaya daerah masing-masing. Hanya terdapat diskriminasi terhadap anak-anak mereka yang berbentuk ledekan-ledekan dan tidak disertakannya anak mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial/pentas seni di lingkungan masyarakat. (3) komentar yang meragukan pernikahan Eman Sulaeman dan Mira Jumira dengan bentuk komentar-komentar yang meragukan keputusan Mira Jumira yang memiliki penglihatan normal untuk menerima pinangan Eman Sulaeman yang mengalami low vision (hampir total). Sehingga setelah menjalani rumatangga bersama Eman Sulaeman, Mira Jumira memiliki perasaan malu saat berada di luar rumah bersama suaminya.

Pada pengalaman komunikasi yang dialami penyandang tunanetra terdapat banyak hambatan dan tantangan. Seperti yang telah tadi dijelaskan dalam bagan, kebanyakan penyandang tunanetra cenderung lebih sensitif, mudah tersinggung, kurang dipercaya, merasa mendapat diskriminasi dan sebagainya. Sehingga, untuk mengantasi hambatan dan kendala komunikasi seperti yang tadi disebutkan, baik pihak keluarga maupun penyandang tunanetra pun melakukan hal kebalikan guna menghindari kendala tersebut. Sebagai contoh; karena sering mendapat cemoohan dari pihak keluarga dan masyarakat, kalangan penyandang tunanetra pun menjauh dari pergaulan dan memilih bergaul dengan sesama tunanetra; karena merupakan individu yang mudah tersinggung dan sensitif, baik pihak keluarga, masyarakat dan individu penyandang tunanetra pun membiasakan diri untuk tidak berbicara ke arah penyinggungan kondisi si penyandang. Mereka cenderung memilih pembicaraan yang tidak menjurus ke bahasan tentang kekurangan si penyandang; karena merupakan individu yang kerap dijauhi, diremehkan dan didiskrimasi, individu penyandang disabilitas umumnya menjauhkan diri dari pergaulan. Mereka juga kerap menunjukkan kemampuan mereka pada publik dengan tujuan untuk mendapat pengakuan.

 

B.     Pembahasan

Dalam teori Konstruksi Sosial Atas Realitas bahwa realitas itu bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tidak juga sesuatu yang dibentuk secara ilmiah. Tapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Oleh karena itu, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, referensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Pengalaman orangtua informan kunci dalam membesarkan anak-anak mereka diliputi rasa malu karena kondisi diri anak mereka. Hingga pada akhirnya realitas yang terbentuk saat kecil itu menjadi sebuah pengalaman bagi orangtua dan keluarga informan kunci yang berdampak pada proses di saat anak-anak mereka memutuskan untuk menikah dengan sesama penyandang tunanetra.

Kondisi kebutaan pasangan suami istri penyandang tunanetra tidak hanya berdampak kepada status perkawinannya saja, tapi dari stigma yang muncul dari masyarakat tersebut berdampak kepada perkembangan sosial anak-anak mereka, sehingga proses adaptasi anak-anak informan kunci dalam penelitian ini terhambat dengan persoalan tersebut. Terjadinya ledekan-ledekan terhadap orangtua mereka yang mengalami tunanetra membuat anak-anak key informant merasa minder untuk bermain keluar rumah mereka. Realitas inilah yang membentuk perilaku keluarga informan kunci dalam penelitian ini cenderung menutup diri dari dunia luar mereka. terutama anak-anak dari pasangan suami istri penyandang tunanetra saat berada di lingkungan sekitar rumah.

Penerimaan keluarga dan masyarakat mengenai pernikahan penyandang tunanetra terdapat beberapa komentar yang berbeda. Secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu: (1) komentar negatif terhadap pernikahan sesama penyandang totally blind Nono Suwarno dan Suminarsih dikarenakan kondisi mereka yang mengalami buta total sehingga mendapatkan beberapa komentar miring mengenai pernikahan mereka, (2) Komentar positif dengan bentuk apresiasi terhadap pernikahan Yudi Fardiat dan Wati Nur yang mengalami low vision (hampir total) karena kondisi mereka yang tergolong telat menikah dalam budaya daerah masing-masing. Hanya terdapat diskriminasi terhadap anak-anak mereka yang berbentuk ledekan-ledekan dan tidak disertakannya anak mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial/pentas seni di lingkungan masyarakat. (3) komentar yang meragukan pernikahan Eman Sulaeman dan Mira Jumira dengan bentuk komentar-komentar yang meragukan keputusan Mira Jumira yang memiliki penglihatan normal untuk menerima pinangan Eman Sulaeman yang mengalami low vision (hampir total). Sehingga setelah menjalani rumatangga bersama Eman Sulaeman, Mira Jumira memiliki perasaan malu saat berada di luar rumah bersama suaminya.

Kehidupan pasangan suami istri penyadang tunanetra saat memutuskan untuk tinggal secara mandiri ditempat tinggal baru tentu memiliki cara tersendiri untuk beradaptasi bersama lingkungannya. Mulai dari perkenalan hingga orientasi saat menempati tempat tinggal baru. Karena yang menjadi kendala utama bagi mereka adalah keterbatasan mobilitas yang membuat ruang gerak mereka menjadi terbatas. Hanya dalam keseharian mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah daripada berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut terjadi karena terdapat beberapa ledekan, labelling dan diskriminasi terhadap keluarga penyandang tunanetra di lingkungan sekitar rumah mereka. sehingga akhirnya para informan kunci dalam penelitian ini terkesan tertutup dari dunia luar.

Sadar akan tanggung jawab sebagai seorang laki-laki yang pada akhirnya para suami penyandang tunanetra di dalam penelitian ini berusaha untuk bekerja agar bisa menafkahi keluarga mereka. Karena sadar akan kondisi diri, akhirnya mereka berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkan atasan dan rekan kerja mereka terhadap kualitas diri mereka yang dapat disandingkan dengan manusia dengan penglihatan normal pada umumnya. Mereka para suami penyandang tunanetra memiliki karakter disiplin dalam melakukan sebuah pekerjaan. Semua itu mereka lakukan tidak semata-mata hanya untuk dapat menafkahi keluarga saja, namun menjadi sebuah sarana pembuktian diri terhadap keluarga besar dan masyarakat mengenai kondisi mereka yang mampu bersaing dengan manusia normal pada umumnya. Berger dan Luckmann menyatakan realitas sebagai realitas berganda meliputi realitas obyektif dan subyektif (Paloma. 2007: 299). Realitas sosial obyektif menekankan pada realitas yang lahir dan sebagai produk kegiatan manusia terbentuk melalui suatu proses. Menurut Beger dan Luckmann, realitas tidak akan menemui hasil akhir walaupun realitas ini sebagai suatu produk. Realitas obyektif tentang masyarakat adalah suatu kenyataan obyektif, dalam arti orang, kelompok, dan lembaga-lembaga adalah nyata, terlepas dari pandangan kita terhadap mereka (Horton dan Hunt dalam Atwar Bajari. 2011: 90).

Realita yang ada bahwa mereka para penyadang tunanetra yang tidak memiliki penglihatan namun memiliki kelebihan lain dalam hal pengoptimalisasian indera lainnya seperti indra peraba, pendengaran, perasa dan penciuman. Untuk melakukan kegiatan kehidupan atau berkomuniksi dengan lingkungannya mereka menggunakan indera non-visual yang masih berfungsi, seperti indera pendengaran, perabaan, pembau, dan perasa. Namun dari segi kecerdasan sebagian besar tunanetra tidak dipengaruhi oleh ketunaannya, kecuali bagi mereka yang mengalami kelainan ganda (double handicaped), Hanya saja tunantera mengalami kesulitan untuk pembentukan ataupun penerimaan gagasan yang bersifat abstrak.

 


 

Kesimpulan

Berdasarkan data dan paparan dari hasil penelitian, maka dapat ditarik simpulan bahwa proses pemaknaan identitas diri pasangan suami istri penyandang tunanetra tergantung pada proses terjadinya ketunanetraan serta pengetahuan dan pengalaman yang mereka jalani. Para penyandang tunanentra memaknai diri mereka sebagai diri yang pasrah, patut dikasihani karena merasa selamanya tidak dapat terlepas dari bantuan orang lain, merasa tidak berguna, kurang percaya diri, kecewa dan trauma karena kondisi diri, serta makna diri yang harus memiliki semangat lebih tinggi daripada orang lain meski dengan kondisi yang tidak dapat melihat.

Para penyandang tunanetra memiliki motif yang berbeda-beda untuk menikah. Adapun motif menikah para penyandang tunanetra diantaranya adalah agar ada tempat berbagi karena sadar akan kondisi diri yang mengalami kebutaan tidak akan selamanya bergantung kapada orangtua, agar ada yang mengurusi keidupan mereka, agar ada yang melindung,motif pembuktian diri kepada keluarga dan masyarakat bahwa mereka para penyandang tunanetra dapat menikah dan membangun sebuah rumahtangga, hingga faktor usia yang mendesak mereka untuk menerima secara pasrah pasangan hidup meski dengan sesama penyandang tunanetra.

Pengalaman komunikasi pasangan suami istri penyandang tunanetra memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan pasangan suami istri pada umumnya. Mereka memiliki cara berkomunikasi khusus terutama di saat mereka memiliki seorang anak. Mereka memasangkan gelang kaki krincing kepada anak mereka dan mengikat tangan anak mereka dengan tangannya saat berada di dalam rumah untuk mempermudah proses interaksi bersama anak mereka yang memiliki penglihatan normal.

Penerimaan keluarga yang kurang baik membuat proses adaptasi bersama keluarga pasangan menjadi canggung dan kurang akrabAdaptasi dengan masyarakat mereka mendapatkan beberapa diskriminasi dan stereotipe dengan bentuk tidak dilibatkan dalam kegiatan masyarakat, terdapat ledekan-ledekan terhadap anak-anak mereka yang membuat mereka terkesan menutup diri dari kehidupan bermasyarakat. Adaptasi para suami penyandang tunanetra di dalam pekerjaan mereka lakukan dengan sebuah pembiasaan di ruang kerja agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan teknis, meyakinkan atasan dan rekan kerja mereka bahwa mereka para penyandang tunanetra mampu untuk bekerja layaknya pekerja yang memiliki penglihatan normal.


BIBLIOGRAFI

 

Alwilsol. 2004. Psikologi Kepribadian. UMM:Malang

 

Bajari, Atwar dan Sahala Tua Saragih. 2011. Komunikasi Kontekstual: Teori dan Praktik Komunikasi Kontemporer. PT Remaja Rosdakarya: Bandung

 

Berger, L Peter Ludwiq And Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: The Teatrise in The Sociology of Knowledge. Anchor Books. New York

 

Boeree, C. George. 2005. Personality Theories. Primasophie: Yogyakarta

 

Friedman, Howard and Schustack, Miriam. 2008. Kepribadian (Teori Klasik dan Riset Modern Edisi ketiga). Eirlangga: Jakarta

 

Morissan & Andy Corry Wardhany. 2009. Teori komunikasi. Ghalia Indonesia. Jakarta.

 

Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya: Bandung

 

Nahar. 2012. Tabel Data SUNSENAS Biro Data Statistik 2012. Diakses dari: https://www.kemsos.go.id, tanggal 18 januari 2016

 

Novianti, Evi. 2013. Pola Komunikasi Keluarga Antar Budaya. Arsad Press: Bandung

 

Novianti, Evi. 2014. Pola Pasangan Antaretnik Sunda- Minang di Bandung. Diakses dari http://jurnal.unpad.ac.id/jkk/article/view/7383/3386 pada tanggal 13 Juni 2016

 

Paloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Tim penerjemah Yogasama. Grafindo: Jakarta.

 

Rof�ah, Andayani & Muhirisun. 2010. Inklusi Pada Pendidikan Tinggi: Best Practies. Pembelajaran dan Pelayanan Adaptif Bagi Mahasiswa Difabel Netra. PDLS UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.

 

Soemantri. 2012. Psikologi Anak Luar Biasa. Refika Aditama: Bandung

 

West, Richard & Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, Edisi 3. Jakarta: Salemba Humanika