Syntax Literate : Jurnal
Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol.
1, no 4 Desember 2016
REKONSTRUKSI MISI
GEREJA DI ABAD 21
Fredy Siagian
Akademi Maritim Cirebon
Email:
[email protected]
Abstrak
Abad 21 merupakan abad pembaharuan dari konvensional
menjadi modern,� tidak saja teknologi dan
informasi yang mengalami perkembangan namun juga kehidupan beragama termasuk
didalamnya ajaran agama kristen. Pergeseran ajaran agama terjadi dari konsep
dogmatis menjadi kritis, ajaran agama terus dibedah dan dikembangkan untuk
menemukan kemanfaatan bagi seluruh umat manusia. Misi yang merupakan perintah
Tuhan wajib dimiliki tidak saja oleh gereja tetapi oleh seluruh umat kristiani.
Misi bersifat dinamis, sesuai dengan masa dan perkembangan zaman yang pastinya
menimbulkan masalah yang lebih kompleks pada setiap periodenya. Pergeseran paradigma misi salah satunya disebabkan karena munculnya krisis
yang menyebabkan perubahan-perubahan yang begitu cepat seperti perkembangan
ilmu dan teknologi yang menyuburkan sekulerisme, negara barat bukan hanya milik
kristen karena agama lain juga tumbuh subur di barat. Misi tidak hanya
dikembangkan sebagai misi peribadatan tetapi lebih dari itu, misi harus
diarahkan pada ditegakannya nilai-nilai kemanusiaan seperti keadilan,
penuntasan kemiskinan dan permasalahan masyarakat lainnya. Rekonstruksi misi
dapat dilakukan melalui penyampaian teologi secara efektif dengan memperhatikan
keberagaman struktur sosial sehingga berita AL Kitab dapat diterima oleh
masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
hermeneutika temu-lintas-teks (cross-textual
interpretation). Cara ini menekankan bahwa Al-Kitab harus mampu
menafsirkan masalah kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat.
Kata Kunci:
Misi, Paradigma, Keberagaman
Pendahuluan
Misi tidak hanya milik kalangan tertentu, menjalankan misi adalah
tugas bagi setiap umat
kristiani. Misi kristen tertuang dalam Matius 28:18-20 yang isinya �Yesus
mendekati mereka, dan berkata, �Seluruh kuasa di surga dan di bumi sudah
diserahkan kepada-Ku. Sebab itu pergilah kepada segala bangsa
di seluruh dunia, jadikanlah mereka pengikut-pengikut-Ku. Baptiskan mereka
dengan menyebut nama Bapa, dan Anak
dan Roh Allah�, ajarkan
mereka mentaati semua yang sudah Kuperintahkan kepadamu. Dan
ingatlah Aku akan selalu menyertai kalian sampai akhir zaman.�
Berdasarkan ayat tersebutlah, pada zaman kolonial dikenal istilah gospel, yaitu
upaya penyebaran agama kristen dengan mengajak manusia di negara-negara jajahan yang
dianggap kaum tersesat untuk masuk dalam agama kristen guna memperluas
kekuasaan agama, ciri dari misi ini adalah penekanan untuk penambahan jumah anggota dan lebih
memperlihatkan pertentangan serta permusuhan dengan agama-agama
lain. �
Pergeseran
paradigma misi salah satunya disebabkan karena munculnya krisis yang
menyebabkan perubahan yang teramat cepat seperti perkembangan ilmu dan teknologi yang
menyuburkan sekulerisme, negara barat bukan hanya milik kristen
karena agama lain juga berkembang dengan pesat di barat. (Widi Artanto: 1997) Kemajemukan
bangsa Indonesia terutama dalam bidang agama tidak hanya sebatas kebanggaan
karena beragamnya agama, lebih dari itu agama harus memiliki fungsi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
umat manusia. Dengan kata lain, agama harus memiliki kontribusi
dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan seperti peran agama dalam mengurangi
jumlah angka kemiskinan, menurunkan angka kekerasan, meminimalisir kerusakan
lingkungan, menghapuskan ketidakadilan, menyelesaikan masalah gender
dan membantu orang yang
dimarjinalisasi dan didiskriminasi hak-hak asasinya (Th Sumartana: 1998). Gereja sebagai institusi yang memiliki misi harus dapat
berpartisipasi dalam meletakkan landasan moral, etik dan spiritual kepada pembangunan nasional. Gereja tidak boleh merasa nyaman dengan kurungan emas Anugerah
Allah dan bersembunyi dalam pernyataan bahwa Gereja tidak masuk dalam perpolitikan dan hanya mengurus kehidupan rohani (John
Campbell-Nelson: 1995). Bonhoeffer menegaskan bahwa
Gereja adalah �the church for others�.
Gereja harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia
yaitu membantu dan memberikan pelayanan bukan dengan menguasai. Hal ini harus dilakukan agar gereja terhindar dari stigma �humanis
liberal borjuis� yang telah diubah menjadi �the
church with others�. Gereja memiliki nilai essensial sebagai misi
dan keberadaannya adalah demi misi (Widi Artanto:1997).
Semua manusia termasuk orang awam memiliki tugas pengutusan, tidak
terbatas pada gereja, karena
pada dasarnya misi adalah milik Allah yang ditegaskan dengan Missio Dei atau pengutusan dari Allah
yang menghendaki keselamatan
bagi
semua orang. Jadi gereja hanya
mendapat misi dan bukan pemilik misi (J B Banawiratma: 2006).
Pendekatan
yang dilakukan gereja dalam tugas menyampaikan misi sebaiknya
menggunakan pendekatan bottom up. Pendekatan ini ditempuh agar misi dapat dengan mudah dimengerti, diterima dan hidup
dalam masyarakat sehingga gereja dirasakan kehadirannya oleh masyarakat
(Aristarchus Sukarto: 1998).
Di Indonesia sendiri, gereja nampaknya tidak terasakan
kehadirannya oleh masyarakat
sehingga misinya menjadi tidak jelas. Salah
satu penyebabnya adalah pemahaman misiologis Gereja yang masih terpaku kepada
pemahaman abad ke-19, diantaranya dengan mentasbihkan diri sebagai umat yang
terpilih atau yang paling mulia
untuk membawa manusia menjadi Kristen.
Gereja saat
ini masih menjadi pusat dunia
dimana keselamatan
dan kebahagiaan terpusat
dan hanya ada pada Gereja (Widi Artanto: 1997). Berdasarkan pernyataan tersebut maka paradigma misi
tersebut harus diperbaharui berdasarkan kajian secara kontekstual dengan
pendekatan, metode dan tujuan yang relevan serta efektif.
Paradigma
misi harus bersifat dinamis dalam rangka memberikan pelayanan dan bantuan
dengan melihat realita permasalahan yang terjadi pada
kehidupan masyarakat masa
kini. Gereja sudah seharusnya meninggalkan eksklusivitasnya terutama
gereja di Indonesia mengingat
kekristenan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia dan
bukan lagi memiliki identitas Barat.
Paradigma Misi dari Waktu
ke Waktu
Paradigma Misi gereja Timur abad ke-2 sampai abad ke-6
Misi ini
merupakan pergulatan antara kristen yang dipengaruhi
oleh kebudayaan Yunani-Romawi dan iman kristen dengan ciri tradisi keyahudian.
Kristen dengan kebudayaan Yunani-Romawi dipengaruhi oleh pemikiran dan
ajaran para filsuf
seperti Plato dengan ciri lebih menekankan pada pengetahuan sedangkan kristen
tradisi keyahudiaan lebih menitikberatkan pada pengalaman.
Dalam pandangan kristen Yunani-Romawi Allah bukan lagi dilihat dalam hubungan
antara hamba dan tuhan, melainkan
Allah menjadi semakin penting untuk direfleksikan dalam kehidupan
sehari-hari. Keselamatan bukan masalah pengalaman atau peristiwa melainkan
masalah pemahaman yang benar. Dengan demikian implementasinya adalah Roh Kudus bukan lagi sebagai
penuntun, penghibur atau penolong, melainkan menjadi roh hikmat. Firman Allah tidak saja dipahami
sebatas komunikasi peristiwa-peristiwa, melainkan komunikasi
kebenaran-kebenaran tentang keberadaan Allah dalam tiga hakikat dan pribadi
tunggal Kristus dalam dua tabiat. Dalam ajaran ini,
pesan menjadi doktrin, doktrin menjadi dogma, dan dogma ini diuraikan dalam
ajaran yang dirangkai menjadi satu.
Perbedaan yang mencolok antara tradisi Yunani yang telah dipengaruhi
oleh filsafat dan tradisi Ibrani (semitik) yang primitive adalah terletak pada penekanan visual dan audio. Menurut tradisi Ibrani, iman timbul dari pendengaran,
dimana asalnya adalah Dabar
(kata Ibrani untuk firman), menunjuk pada kata-kata yang diucapkan. Sedangkan menurut tradisi Yunani Logos (Firman), mengacu pada
pengetahuan yang timbul melalui penglihatan. Pesan
Kristen berada dalam masa perubahan dari pemberitaan tentang pemerintahan Allah
yang imanen menjadi pemberitaan tentang agama yang satu-satunya yang sejati dan berlaku untuk seluruh umat manusia.
Kristus tidak lagi dipandang dalam bingkai sejarah perjanjian Lama dan
Eskatologis masa depan, melainkan juga peristiwa kematian dan kebangkitan yang
menjadi puncak. Kristologi Yahudi yang menekankan pentingnya
Kristus yang histories tersingkirkan menjadi kristus yang dimuliakan (Logos
yang kekal). Pemahaman bukan lagi pada eskatologi dan protologi Kristus
(apa yang dikerjakan dan tujuan kedatangan Kristus),
kedalam dunia melainkan pada praeksistensi kekal Kristus (dari mana Kristus
datang).
Kekristenan Yahudi menekankan penyelamatan manusia dari bencana
di dunia dan pembebasan para
tawanan (keselamatan kepada dunia ini), sedangkan kekristenan Helenis
menekankan pada penyelamatan dari dunia ini. Gereja zaman ini mengalami ancaman
yang cukup serius dari kaum Gnosis. Sementara gereja
semakin menanamkan kekuasaannya di dunia barat, kekristenan dituntut untuk
membangun kerjasama yang erat dengan kekaisaran. Kerena
itu model kekristenan yang lainnya kemudian dikucilkan dan diusir. Akan tetapi pengusiran
ini justru memunculkan model kekristenan Timur sehingga metode yang khas
dan berbeda dengan kekristenan di Barat.
Paradigma Misi Katolik Roma Abad Pertengahan �
Abad
pertengahan terjadi antara 500 sampai 1500 tahun sesudah Masehi yang dimulai
pada saat Gregorius Agung menjadi Paus dan berakhir pada saat Konstantinopel
direbut oleh Islam. Teologi abad pertengahan dipengaruhi oleh
pemikiran Agustinus dari Hippo yang membantah Pelagius dengan ajarannya
pelagianisme yang memandang bahwa manusia mempunyai potensi. Bagi Pelagius,
manusia
mempunyai kemampuan untuk
mencapai kebaikan melalui tindakan, perkataan, dan pengilhaman. Dengan demikian Pelagius menganggap penyaliban Yesus bukanlah dalam
rangka untuk menebus dosa manusia sehingga Yesus bukanlah juru selamat melainkan sebatas guru
yang perbuatannya patut diteladani. Pemahaman ini ditentang oleg Agustinus, menurutnya manusia sangat berdosa sehingga tidak
memiliki daya untuk berbuat
apa-apa selain menerima anugrah Allah. Oleh sebab itu kematian Yesus Kristus di salib dan
kebangkitanNya adalah pusat teologi Kristen. Selain
pertentangannya dengan pendapat Pelagius, Agustinus juga menentang kaum Donatis yang bermukim di Afrika Utara.
Menurutnya, kaum Donatis
yang mengklaim
benar dan kudus
lebih berdosa daripada orang-orang berdosa lainnya. Agustinus tidak mengatakan bahwa gereja dan para pemimpinnya bebas dari dosa,
melainkan harus disadari bahwa di dalam gereja kita juga akan
menemukan orang-orang yang masih berlumuran dosa. Oleh sebab itu semua orang dalam gereja
adalah orang berdosa. Agustinus menekankan bahwa
kehadiran gereja bukanlah menjadi tempat perlindungan dari dunia melainkan
hadir demi perbaikan dunia. Akan tetapi yang kemudian
menjadi fatal adalah pandangan Agustinus kemudian menimbulkan paradigma
kekudusan melekat pada diri Gereja sehingga
barangsiapa yang keberadaannya tidak
dalam gereja (Katolik) menjadi tidak selamat.
Dua abad setelah
Agustinus, Cyprianus mengatakan istilah yang kemudian menjadi dasar Gereja
Katolik abad pertengahan �extra ecclesian
nulla salus� (tidak ada keselamatan di luar Gereja Katolik). Sekalipun
slogan ini lahir dalam kondisi yang sangat khas (hasil pembantahan Agustinus
terhadap kaum Donatis), akan tetapi tidak lama kemudian kontekstualisasi ucapan
Cyprianus menjadi tidak penting, sehingga ini dijadikan dasar dalam bertindak
melakukan ekspansi-ekspansi keluar bahkan dengan cara-cara yang memalukan.
Penaklukkan Roma yang
saat itu telah menjadi Kristen oleh kaum Gotik (non Kristen). Menjadi kasus
yang juga dijawab oleh Agustinus melalui salah satu karya fenomenalnya �De Civitate Dei�. Teologi saat itu yang
sangat mengagung-agungkan kekristenan sebagai sumber berkat, terbukti dari
kejayaan Roma menjadi luntur akibat kekalahan mereka dari kaum Gotik yang bukan
orang Kristen. Sehingga banyak orang yang melihat ini sebagai bukti kegagalan
agama Kristen. Para penganut agama tradisi Romawi menuduh penerimaan agama
Kristen dan pelarangan agama Romawi kuno menyebabkan kemarahan para dewa
sehingga Roma mengalami kekalahan.�
Agustinus dalam jilid 15, menekankan bahwa ada dua masyarakat di dunia
ini. Masyarakat yang pertama adalah kelompok yang hidup berdasarkan
standar-standar manusia, sedang kelompok yang kedua adalah yang hidup menurut
kehendak Allah. Agustinus yakin bahwa kelompok manusia yang hidup menurut
kehendak Allah ini telah ditetapkan oleh Allah sebelumnya untuk memerintah
bersama Allah (predestined). Penting
untuk melihat bahwa Agustinus tidak menyamakan Civitas Dei dengan gereja secara institusi apalagi negara,
melainkan ia menunjuk kepada persekutuan orang-orang kudus (communion sanctorum), yang sedang
berziarah dalam sebuah perjalanan menuju ke rumah sorga. Sekalipun demikian
pandangan Agustinus ini dilencengkan menjadi penyamaan Kota Allah dengan
kehadiran gereja Katolik sebagai Institusi. Hal yang menarik adalah pandangan
Agustinus tentang Kota Dunia (kelompok manusia yang pertama), tidak sepenuhnya
negative berbeda dengan kaum Donatis. Agustinus tidak memisahkan secara mutlak
antara yang kudus dan yang profan. Tetapi ia juga tidak menjadi terburu-buru
menyatakan bahwa Kekaisaran Roma sebagai alat keselamatan Allah. Agustinus
mengakui bahwa masyarakat Kota Dunia (civitas
terrena), sedang berjuang menuju kepada masyarakat ideal dimana keadilan
dan perdamaian berkuasa, akan tetapi kondisi ideal ini tidak akan pernah tercapai
di dalam dunia, melainkan hanya di dalam kerajaan Kristus yang akan datang.
Tiga peristiwa di atas
kemudian menjadi dasar bagi teologi gereja Katolik abad pertengahan. Akan
tetapi dalam perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran-pergeseran pemahaman ke
arah yang lebih radikal dan cenderung tidak memperhatikan konteks ide tersebut
lahir. Sebagai contoh ide pemaksaan terhadap kaum Donatis agar mereka kembali
masuk Kristen kemudian menjadi dasar bagi Gregorius Agung melakukan tindakan
kekerasan bagi para budak yang belum dibabtis, padahal pemaksaan yang dilakukan
oleh Agustinus hanya sebatas penambahan pajak, pengucilan, dan bukannya hukuman
fisik. Hal yang sungguh disyukuri kemudian adalah perkembangan Monastisime yang
sebenarnya diyakini lahir di dunia Gereja Timur. Sekalipun demikian ada
perbedaan yang mencolok antara monastisisme Gereja Timur dan Gereja Barat. Di
Timur gerakan ini lebih kepada menjauhkan diri dari kehidupan duniawi,
melakukan penyendirian-penyendirian, sedangkan di Barat, seorang Biara bahkan
menjadi pusat misi dan Misionaris dibekali dan diperlengkapi. Puncak dari
teologi abad pertengahan diyakini muncul dalam diri Thomas Aquinas. Ia membagi
manusia dan segala sesuatunya di alam ini ke dalam dua bagian besar. Bagian
pertama lebih condong� kepada sifat
kodrati dan bagian kedua bersifat adikodrati. Adikodrati lebih tinggi dari yang
bersifat kodrati, ia mengatakan bahwa iman lebih tinggi dari nalar dan teologi
lebih tinggi dari filsafat.
Paradigma
Misi Reformasi Protestan
Reformasi dalam tubuh
Gereja Katolik Roma dilakukan oleh Marthin Luther, hal ini disebabkan karena
kekecewaan terhadap ajaran-ajaran yang menyimpang dari Alkitab. Firman Allah
dalam Roma 1:16 yang berbunyi sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam
Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah �yang menyelamatkan setiap orang
yang percaya,� pertama-tama
orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di
dalamnya nyata �kebenaran
Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada
tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman�. Firman Allah tersebut
memberi inspirasi kepada Marthin Luther yang pada akhirnya melahirkan tiga
semboyan yaitu sola gratia, sola
scripture, sola fide. Pemikiran ini membuat Marthin Luther diusir dari
dalam gereja dan pengikutnya kemudian disebut sebagai kaum reformator.
Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah menyadarkan manusia bahwa konsep-konsep
rasionalisme bukan lagi segala-galanya dan tidak harus melakukan ekspansi dalam
menyebarluaskannya. Skema subjek-objek telah diperbaharui, bumi bukanlah
sekedar objek tetapi bagian dari manusia yang tidak dapat dipisahkan, sehingga
kesadaran ekologis mulai berkembang. Kesadaran akan pentingnya membangun dialog
dengan penganut agama lain menjadi hal yang tidak dapat dikesampingkan. Gereja
bukan lagi bersifat sentifugal tetapi sentrypetal. Misi bukan lagi dari gereja
dan untuk gereja, melainkan dari gereja untuk umat manusia. Misi yang
dijalankan oleh gereja bukanlah misi gereja, melainkan misi Allah yang
dipercayakan kepada gereja, sehingga gereja adalah Alat dan bukan penentu dalam
melaksanakan Misi. Proses pelaksanaan misi tidak boleh serampangan, harus
memperhatikan konteks sosial masyarakat sekitarnya, sehingga tidak lagi tejadi
vandalisme teologis.
Misi
dan Kesalahan Mengartikan Misi
Misi berasal dari bahasa Latin,
yaitu dari kata benda missio, artinya �pengutusan� yang berarti tugas yang
diberikan oleh Tuhan kepada orang yang percaya untuk bersaksi tentang Kristus
dalam perkataan dan perbuatan. Menurut David J. Bosch, misi berarti keseluruhan
tugas yang telah Allah berikan kepada Gereja demi keselamatan dunia. Jadi misi
tidak hanya sebatas pada unsur tertentu tetapi mencakup semua kegiatan yang
menolong membebaskan manusia dari perbudakannya di hadapan Allah yang sedang
datang, perbudakan yang meluas dari kebutuhan ekonomi sampai keberadaan tanpa
Allah� (Moltmann 1977:10). Penafsiran misi yang salah sering terjadi ketika
misi hanya diartikan sebagai �pekabaran Injil�, padahal pekabaran Injil hanya
merupakan bagian dari misi. Selain itu kesalahan dalam memaknai misi terjadi
ketika implementasi misi tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada
masyarakat. Dengan kata lain misi bersifat dinamis dan selalu mengalami
perkembangan dalam setiap periode. Berikut ini perkembangan
corak misi dari masa ke masa: (Widi Artanto: 1997)
1.
Foreign Mission
Misi ini terjadi pada masa
penjajahan dan mengalami perkembangan bersamaan dengan misi Kristen Barat.
Acuan pelaksanaan misi ini adalah Matius 28:18-20 �Pergilah�.�� Dimana penekanan misi ini adalah perluasan
geografis untuk� mengkristenkan semua
bangsa yang dianggap masih kafir dan menyembah berhala.
2.
Misi �Civilization�
Misi ini memiliki corak yaitu
mendirikan gereja-gereja di negara-negara Asia dan negara jajahan. Misi ini
menjadikan gereja tidak berakar dalam kehidupan bermasyarakat.
3.
Misi penaklukan (penganut)
agama-agama lain
Misi ini memiliki pemahaman
bahwa penganut agama-agama lain harus ditaklukan. Misi ini cenderung
menimbulkan permusuhan dengan agama-agama lain karena memaksakan agama kepada
penganut yang telah beragama lain
4.
Misi sebagai Church
Planting dan Church Growt
Misi ini menekankan pada
pertambahan jumlah jemaat Gereja dengan tujuan memperluas kerajaan Allah. Misi
ini terjadi pada abad ke-19 yang sering disebut sebagai the great
century mission.
5.
Misi Individualistis
Misi ini dijalankan secara
individualsitis berbarengan dengan penjajahan kolonial
Pergeseran misi terjadi setelah
berakhirnya kekuasaan politik Barat di negara-negara jajahan disertai dengan
bangkitnya agama-agama di seluruh dunia. Menurut David J Bosch, beberapa
faktor di bawah ini mendorong terjadinya krisis yaitu:
(Widi Artanto: 1997)
1.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memacu tumbuhnya sekularisme;
2.
��dechristianized�
di Barat dalam kehidupan Gereja maupun dunia misi;
3.
Barat tidak lagi seutuhnya menjadi �negara-negara
Kristen�, hal ini seiring dengan tumbuhnya agama-agama lain di barat;
4.
Terjadinya kesenjangan ekonomi antara negara kaya dan
negara miskin;
5.
Munculnya teologi baru dan kontekstual dari
negara-negara jajahan yang menuntut otonominya dihargai sehingga �wilayah misi�
berubah;
6.
Persoalan-persoalan intern akibat warisan masa lalu.
Menurut David J Bosch,
pergeseran misi yang terjadi pada Era
Postmodernisme, �berimplikasi
terhadap misi gereja, yang terdiri dari: (Widi Artanto:
1997).
1.
Pergeseran rasionalitas, pergeseran
ini memacu negara-negara jajahan untuk�
mengembangkan �teologi naratif� dan �theology as story�.
2.
Pergeseran skema �subjek-objek�, pergeseran
ini mendorong dikembangkannya suatu pemikiran holistis yang menekankan
�simbiosis�.
3.
Penemuan kembali dimensi
teologis, pergeseran
ini menyebabkan pergeseran dari pemikiran �non-eskatologis� kepada pemikiran
eskatologis.
4.
Tantangan terhadap �progress
thinking�
Pemikiran ini menimbulkan kesenjangan antara yang kaya
dan miskin karena terlalu mengagungkan�
pembangunan
5.
Penemuan kembali nilai-nilai
dalam fakta kehidupan
Pada era ini, misi Gereja ditujukan untuk menetralisir
pengaruh ideologi dibalik ilmu pengetahuan.
6.
Pergeseran optimisme
Pergeseran ini menyatakan bahwa misi Kristen harus
mampu menghadirkan visi Kerajaan Allah dalam kenyataan eskatologis yang memberi
sinar dan menerangi dunia serta memberi arti kepadanya.
7.
Pergeseran dari individualism
ke ketergantungan positif
Pergeseran ini menimbulkan komitmen simbiosis
mutualisme antar relasi yang baru untuk menerima keselamatan.
Pergeseran dalam misi tersebut tidak
terlepas dari elemen-elemen mendasar yang merupakan tema pokok pada paradigma
misi, yaitu: (Widi Artanto: 1997).
1.
Gereja dan Misi
Elemen ini menyatakan bahwa
gereja merupakan esensi dari sebuah misi sehingga misi gereja harus dapat
terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.
2.
Gereja dan Dunia
Gereja merupakan simbol
kerajaan Allah di dunia untuk menciptakan perdamaian, keadilan, kebenaran dan
kehidupan baru dalam cinta kasih.
3.
Penemuan kembali peranan
jemaat
Misi utama gereja adalah misi yang dilakukan oleh
jemaat-jemaat di segala penjuru di dunia, adapaun perbedaan yang ada diubah
menjadi ungkapan partnership in obedience (mitra dalam ketaatan).
4.
Misi dan Penginjilan
Penginjilan bukan satu-satunya misi tetapi merupakan
bagian dari misi. Seseorang yang melakukan penginjilan dianggap seorang saksi
yang mengembangkan relasi sosial yang berhubungan dengan masyarakat.
5.
Missio Dei
Misi ini meliputi semua aspek kehidupan manusia,
dengan kata lain perhatian Allah tidak hanya milik gereja, tetapi seluruh
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, misi ini mematahkan pandangan yang
sempit tentang misi yang bersifat �Gereja-sentris�.
6.
Misi dan Keadilan
Misi harus mencakup pelayanan yang mampu menjawab
kebutuhan manusia yang meliputi baik transformasi pribadi oleh Roh Allah maupun
transformasi sosial-kultural.
7.
Misi dan Pembebasan
Misi ini membahas masalah
pokok terkait ��dominasi� dan �ketergantungan�,
penindas dan yang ditindas, kaya dan miskin, kapitalis dan sosialis.
8.
Misi dan kesaksian bersama
Misi ini lebih menekankan
pada kesatuan
spiritual dibandingkan dengan kesatuan struktural karena kesatuan bukan berarti
penyeragaman.
9.
Misi dan pelayanan umat
Misi bukan saja menjadi urusan kaum elit Gereja tetapi
juga menjadi milik komunitas.
10. Misi dan orang-orang dari kepercayaan lain
Misi ini ditandai dengan munculnya theologia
religonum pada tahun 60-an,
teologi ini tidak saja mempertanyakan siapa saja orang Kristen itu, tetapi juga
siapa saja orang-orang yang memeluk agama atau kepercayaan lain. Hal ini
disebabkan karena adanya pluralitas agama yang telah ada di Asia serta
perkembangan baru di Barat dengan bertumbuhnya penganut agama-agama lain.
Akhirnya timbul suatu pandangan baru yaitu dialog. Tema mengenai misi
dan dialog ini makin menjadi relevan bagi gereja-gereja dan para teolog Asia.
Perspektif dari paradigma ini adalah pluralis dialogal.
Rekonstruksi
Misi Gereja Pada Abad 21 yang Efektif dan Relevan
Adanya pluralitas religius
menyadarkan Gereja bahwa kehidupannya yang majemuk merupakan suatu gejala
sosiologis dimana penghayatan iman gereja merupakan teologi inkulturatif atau
kontekstual. Theologia religionum (teologi agama-agama) saat ini masih
berkutat pada pendekatan-pendekatan eklesiosentris (berpusat pada
Gereja), teosentris ( berpusat pada Allah) atau kristologi (berpusat
pada Kristus). Padahal kenyataan keberagaman dalam iman lebih mementingkan
dialog dalam praksis yang digunakan dalam menghadapi persoalan etis bersama
sebagai sesama manusia (Joas Adiprasetya: 2002). Sejak Perang Dunia II,
terutama dekade 1960-an, ada kecenderungan tumbuhnya teologi konteks dimana
teologi tersebut tidak berfokus pada dogma Gereja yang bersifat sekterian
tetapi berfokus pada isu lokal atau global yang berkembang
di masyarakat seperti teologi pengharapan (Jurgen Moltman), teologi
revolusi (Richard Saul), teologi pembangunan, teologi pembebasan
(Amerika Latin), teologi hitam (Afrika dan Amerika), teologi minjung
(Korea) dan sebagainya. Semua teologi konteks tersebut memiliki keragaman dan
kekhususan masing-masing sesuai dengan asalnya. (A N Natar: 2003).
Teologi
harmoni dianggap sebagai teologi yang lebih mengakar khususnya di Asia. Hal ini
dikarenakan Asia memiliki keberagaman. Agama Kristen di Asia merupakan
minoritas sehingga beberapa pemimpin Gereja Asia dan sebagian umat merasa perlu
untuk berdialog dengan agama-agama lain. Harmoni harus dikembangkan secara
aktif dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Teologi ini menyimpulkan jika
keberagaman menjadi kesatuan seperti anggota dalam satu tubuh maka tidak ada
masalah sekompleks apapun yang tidak bisa diatasi (Franz Dahler: 2006).
Keefektifan penyampaian teologi
dapat dilakukan dengan cara memperhatikan keberagaman struktur sosial sehingga
berita Al Kitab dapat diterima oleh masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan hermeneutika temu-lintas-teks (cross-textual
interpretation). Cara ini menekankan bahwa Al-Kitab harus mampu menafsirkan
masalah kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam membangun
teologi misi gereja, Widi Artanto membagi lima tema dan corak misi,
yaitu: (Widi Artanto: 1997).
1. Misi
Kerajaan Allah, misi ini merupakan misi dasar gereja
2. Misi
Penciptaan, merupakan misi universal
3. Misi
Kehambaan, merupakan motif misi dalam diri Gereja sendiri dan sikap terhadap
orang lain
4. Misi Eksous,
merupakan motif yang dinamis dalam action yang nyata
5. Misi
Rekonsiliasi merupakan misi dengan konteks pluralis.
Rekonsiliasi berarti kedamaian dan
kerukunan antar umat manusia bahkan juga meliputi seluruh alam semesta. Misi
rekonsiliasi dapat dilakukan pada aspek kemanusiaan dan aspek dialog. Misi
Rekonsiliasi diteladani oleh Yesus yang merelakan diri untuk menebus dosa umat
manusia dengan jalan disalib. Hal ini tentu saja harus dapat juga dilakukan
oleh gereja dengan cara berpartisipasi dan terlibat aktif dalam aksi
kemanusiaan. (Widi Artanto: 1997)
BIBLIOGRAFI
A N Natar, et al editor. 2003. Teologi Operatif. Jakarta: Gunung
Mulia
Adiprasetya, Joas. 2002. Mencari Dasar Bersama: Etik Global dalam Kajian
Postmodernisme dan Pluralisme Agama. Jakarta: Gunung Mulia
Artanto, Widi. 1997. Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia. Jakarta:
Gunung Mulia
Campbell, John-Nelson. et al editor. 1995. Mengupayakan Misi Gereja yang
Kontekstual. Studi Institut Misiologi Persetia. Jakarta: Persetia
Dahler, Franz. 2006. A Pluralist
Missiology for Contemporary in Indonesia, Jurnal Teologi Proklamasi
J B Banawiratma. 2006. Misi,
Globalisasi dan Kaum Miskin di Indonesia, Jurnal Teologi Proklamasi
Sukarto, Aristarchus. 1998. Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong
Dialog Kristen-Islam di Indonesia, Jurnal Teologi dan Gereja Penuntun.
Vol 4, No 13
Sumartana, Th. 1998. Pemikiran
Kembali Kristologi untuk Menyongsong Dialog Kristen-Islam di Indonesia.
Jurnal Teologi dan Gereja Penuntun. Vol 4, No 13