Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN : 2548-1398

Vol. 6, No. 6, Juni 2021

�

TANTANGAN BAGI DOKTER ATAS KETIDAKJUJURAN PASIEN DALAM MEMBERIKAN KETERANGAN DI MASA PANDEMI COVID-19

 

Ontran Sumantri Riyanto, Hetty W.A. Panggabean

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Bethesda Yakkum, Yogyakarta, Indonesia

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan, Medan, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstract

Advancing the transmission of the COVID-19 virus is currently citizens because both the spread is worldwide / all countries of its planting period including Indonesia. Government efforts to stop the spread of COVID-19, one of the directed implementation of physical distancing / social distancing and take care of health. Good cooperation is also good for doctors between patients during the COVID-19 pandemic when patients provide information or information about which self. The purpose of this study is anything to know from the word how it works from the doctor to anywhere. This research method is a normative juridical method with literature relevant to the theme studied. Data collection through library studies for legal materials relevant to Descriptive Descriptive. The results of the sub-district research that there is firm in patients who are not honest at the time of the patient could have a detrimental impact on medical personnel, other health workers. So that it knows that a regulation and related protocols of dishonest patients, due to the impact of patient's mismanagement during the COVID-19 pandemic can be transmitted to medical personnel and other health workers who can snoop.

 

Keywords: dishonesty of the patient; pandemic; COVID-19; doctor; health workers

 

Abstrak

Perkembangan penularan virus COVID-19 saat ini relatif signifikan lantaran penyebarannya telah mendunia & semua negara merasakan dampaknya termasuk Indonesia. Berbagai upaya dilakukan pemerintah buat memutus penyebaran COVID-19, salah satunya merupakan dengan penerapan physical distancing/social distancing dan menjaga kesehatan. Kerjasama yang baik juga harus dilakukan antara dokter dengan pasien di masa pandemi COVID-19 pada saat pasien memberikan keterangan atau informasi tentang dirinya harus dilakukan secara jujur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dari ketidakjujuran pasien kepada dokter. Metode Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji berbagai literatur yang relevan dengan tema yang dikaji. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka untuk menemukan bahan hukum sekunder yang relevan dengan Pendekatan deskriptif preskriptif. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa belum ada sanksi tegas kepada pasien yang tidak jujur ketika ketidakjujuran pasien tersebut dapat berdampak merugikan tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya. Sehingga diperlukan dibuat sebuah peraturan dan kebijakan terkait dari ketidakjujuran pasien, sebab dampak dari ketidakjujuran pasien di masa pandemi COVID-19 dapat menularkan bagi Tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang bisa menyebabkan kematian.

 

Kata Kunci: ketidakjujuran pasien; pandemi; COVID-19; dokter; tenaga kesehatan

 

Pendahuluan

COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, China pada akhir 2019, kemudian berkembang pesat dan tidak terkendali di seluruh dunia (Wu & McGoogan, 2020). Menurut catatan, lebih dari 213 negara telah dipastikan terinfeksi COVID-19. Faktanya, COVID-19 merupakan varians virus yang telah menginfeksi dunia, seperti SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), flu burung, flu babi, dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus) (Wong, 2020). Namun, yang berbeda dalam penanganan virus COVID-19 adalah� penularan sangat cepat, kekurangan tenaga medis, masalah inkubasi virus yang tidak jelas, karantina skala besar, dan infodemic unik yang menyebabkan banyak pemberitaan di media sosial sehingga menimbulkan kepanikan pada masyarakat. (Lauer et al., 2020). Dalam kondisi saat ini, virus Corona bukanlah epidemi yang bisa diabaikan begitu saja. Dari segi gejalanya, orang awam akan mengira bahwa itu terbatas pada flu biasa, namun menurut analisa medis, virus ini cukup berbahaya dan mematikan (Joob & Wiwanitkit, 2020).

Saat ini pada tahun 2021 perkembangan penularan virus ini relatif signifikan lantaran penyebarannya telah mendunia dan semua negara merasakan dampaknya termasuk Indonesia. Penularan ini terjadi biasanya melalui droplet & kontak langsung dengan orang, lalu virus bisa masuk ke dalam mukosa yg terbuka. (Juli�-Torras, de Iriarte Gay de Montell�, & Porta-Sales, 2021) Suatu analisis mencoba mengukur laju penularan dari masa inkubasi, gejala dan durasi antara tanda-tanda dengan pasien yang diisolasi. Analisis tadi menerima output penularan berdasarkan 1 pasien ke kurang lebih tiga orang pada sekitarnya, namun kemungkinan penularan pada masa inkubasi mengakibatkan masa hubungan pasien ke orang sekitar lebih lama sehingga risiko jumlah kontak tertular berdasarkan 1 pasien mungkin bisa lebih besar (Lam et al., 2020). Mengantisipasi dan mengurangi jumlah penderita virus Corona pada Indonesia telah dilakukan pada semua daerah. Diantaranya menggunakan kebijakan membatasi aktifitas keluar rumah, aktivitas sekolah dirumahkan, bekerja dari rumah (work from home), bahkan aktivitas beribadah pun dirumahkan. Kebijakan ini merupakan upaya yang diterapkan kepada masyarakat agar dapat menyelesaikan segala pekerjaan di rumah (Wang et al., 2020).

Berbagai upaya dilakukan pemerintah buat memutus penyebaran COVID-19, salah satunya merupakan dengan penerapan physical distancing/social distancing, dan menjaga kesehatan. Virus Corona menyerang sistem pernapasan manusia dan salah satu cara mencegah infeksi virus ini dengan menjaga daya tahan tubuh tetap kuat. Tenaga kesehatan �dan tenaga medis adalah orang yang berada pada garda terdepan dalam melawan wabah virus Corona. Ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan alat-alat medis menjadi faktor penting untuk dapat mendukung keberhasilan proses penanganan COVID-19 (Laurensius Lungan, Ontran Sumantri Riyanto, David Maharya Ardyantara, & Arman Harahap, 2021). Di tengah keterbatasan fasilitas layanan dan alat-alat medis, tenaga kesehatan mempunyai risiko tinggi dalam proses menangani pasien COVID-19.

Masih tingginya kasus sebaran COVID-19 menempatkan tenaga kesehatan dan tenaga medis sangat mudah terdampak pada risiko terpapar COVID-19 ini. (Ashinyo et al., 2020) Orang yang paling berisiko terinfeksi adalah tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berhubungan dekat dengan pasien COVID-19 atau yang merawat pasien COVID-19. Petugas kesehatan berada di garis depan dari respons pandemi COVID-19 memiliki risiko yang lebih besar untuk terpajan infeksi. SARS-CoV2 sebagai virus penyebab COVID-19 merupakan salah satu dari sejumlah bahaya potensial (Razvi, Oliver, Moore, & Beeby, 2020).

Risiko ini bisa terjadi pada fasilitas layanan kesehatan yang sebagai rujukan tindakan penanganan COVID-19 juga pada fasilitas layanan kesehatan yang bukan merupakan rujukan penanganan COVID-19. Fasilitas layanan kesehatan terutama Rumah Sakit adalah jenis industri dengan karakteristik spesifik diantaranya jumlah tenaga kerja yang banyak, penggunaan teknologi tinggi, frekuensi pekerjaan yang terus menerus, dan keleluasaan akses masyarakat atau bukan pekerja untuk masuk di Rumah Sakit. Selama pandemi COVID-19, tenaga medis juga menghadapi situasi yang rumit dan tidak pernah mereka temui sebelumnya, sehingga kemungkinan mengalami berbagai masalah atau tekanan (Maltezou et al., 2020). Salah satu penyebabnya karena kebijakan kunjungan Rumah Sakit yang sangat terbatas yang mencegah tenaga medis melibatkan keluarga pasien, mengalami kelelahan karena beban kerja, kekhawatiran terhadap kesehatannya sendiri, kurangnya penyediaan alat pelindung diri dan peralatan medis lainnya.

Upaya yang dilakukan seorang dokter dalam masa pandemi COVID-19 ini perlu diberikan penghargaan, karena sebagai garda terdepan untuk membantu orang lain yang terdampak COVID-19. Dokter bersama dengan tenaga kesehatan harus berjuang selain untuk mengupayakan kesembuhahan pasien, mereka juga harus berhadapan menghadapi resiko tertular. Selain itu juga seorang� dokter harus menerima keadaan berpisah atau menjaga jarak yang aman bagi keluarganya di rumah dan terkadang mendapatkan perlakukan yang tidak menyenangkan dari masyarakat. Selain itu juga dokter mutlak harus mempergunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat melakukan tindakan medis dalam situasi kritis pandemi COVID-19 saat ini.

Masa pandemi ini diperlukan kerjasama kepada semua pihak, mulai dari peran serta pemerintah, masyarakat dan juga tenaga kesehatan perlunya menerapkan protokol kesehatan sehingga diharapkan pandemi ini dapat segera berlalu. Tetapi hal tersebut susah untuk diwujudkan jika masih banyak masyarakat yang tidak peduli menjaga kesehatan seperti menggunakan masker, mengurangi kegiatan berkumpul dengan orang banyak, tidak menjaga jarak dan tidak mencuci tangan dengan air mengalir, otomatis wabah pandemi ini akan terus meningkat menelan korban jiwa lebih banyak lagi. Kerjasama yang baik juga harus dilakukan antara dokter dengan pasien di masa pandemi COVID-19, pada saat pasien memberikan keterangan atau informasi� tentang dirinya harus dilakukan secara jujur (Ontran Sumantri Riyanto, David Maharya Ardyantara, Raditya Sri Krisnha Wardhana, & Laurensius Lungan, 2021). Dampak dari ketidakjujuran pasien kepada dokter tentunya menimbulkan permasalahan dan bisa merugikan dari pihak dokter maupun bagi tenaga kesehatan lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak dari ketidakjujuran pasien kepada dokter.

 

Metode Penelitian

Metode Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji berbagai literatur yang relevan dengan tema yang dikaji. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka untuk menemukan bahan hukum sekunder yang relevan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, literatur baik buku, artikel jurnal, artikel berita dari internet yang relevan dengan topik penulisan. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif preskriptif dengan memberikan gambaran dan analisis terhadap kerangka hukum perlindungan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan atas ketidakjujuran pasien dalam memberikan keterangan di masa pandemi COVID-19.

 

Hasil dan Pembahasan

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu jenis pelayanan dari sekian banyak spesifikasi jasa. Dengan demikian pelayanan kesehatan dapat ditentukan kualitasnya. Pengertian kualitas pelayanan kesehatan bersifat multidimensional. Pengertian itu terdiri dari definisi menurut pemakai jasa pelayanan kesehatan (pasien dan keluarganya), definisi menurut penyelenggara pelayanan kesehatan (pihak Rumah Sakit), dan definisi menurut penyandang dana yang membiayai pelayanan kesehatan. Pengertian kualitas pelayanan kesehatan menurut berbagai pihak tersebut (I Putu Arif Setianto, 2010) adalah:

1.    Bagi pemakai jasa pelayanan (pasien dan keluarganya), pengertian kualitas terutama berhubungan erat dengan ketanggapan dan kemampuan petugas Rumah Sakit dalam memenuhi kebutuhan pasien dan komunikasi pasien dan petugas, termasuk didalamnya sifat ramah, rendah hati dan kesungguhan

2.    Bagi pihak penyedia jasa pelayanan (Rumah Sakit), termasuk didalamnya para dokter dan petugas lain, derajat kualitas pelayanan terkait pada pemakaian yang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Selain itu terkait pula pada otonomi profesi dokter dan perawat serta profesi kesehatan lainnya yang ada di Rumah Sakit.

3.    Bagi pihak penyandang dana, kualitas pelayanan terkait pada segi-segi efisiensi pemakaian sumber dana serta kewajaran pembiayaan kesehatan.

Berdasarkan uraian dari berbagai sumber diatas, dapat dikatakan kualitas pelayanan direpresentasikan dengan kepuasan pasien. Sehingga untuk mengetahui sejauh apa kualitas pelayanan kesehatan, dapat diketahui dengan mengukur kepuasan pasien. Untuk melihat apakah suatu pelayanan mampu memenuhi keinginan konsumen, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu system dengan keluhan dan saran, survei kepuasan pasien. Menurut Parasurama kepuasan konsumen sendiri dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu ekspektasi dan persepsi. Pelayanan kesehatan dapat dibedakan dalam dua golongan yakni :

1.    Pelayanan kesehatan primer (primary health care) atau pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang paling depan yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau kecelakaan.

2.    Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care) adalah Rumah Sakit tempat masyarakat mendapatkan perawatan lebih lanjut.

Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan pelayanan kesehatan promotif dan prefentiv. Pelayanan promotif adalah upaya peningkatan kesehatan masyarakat kearah yang lebih baik lagi dan prefentiv untuk mencegah agar masyarakat terhindar dari penyakit. Sebab itu pelayanan kesehatan tidak hanya tertuju pada pengobatan individu yang sedang sakit saja.

Dengan demikian, Rumah Sakit adalah tempat untuk menyelenggarakan salah satu upaya kesehatan yaitu upaya pelayanan kesehatan (health services). Dalam Pasal 58 dinyatakan pula bahwa sarana kesehatan tertentu harus berbentuk badan hukum antara lain Rumah Sakit. Ini berarti Rumah Sakit tidak dapat diselenggarakan oleh orang perorangan (individu, natuurlijk persoon), tetapi harus diselenggarakan oleh suatu badan hukum (rechts persoon) yang dapat berupa perkumpulan, yayasan atau perseroan terbatas.

Transaksi terapeutik yang timbul antara dokter dengan pasien secara langsung menimbulkan hak dan kewajiban antara dokter dengan pasien, dimana secara langsung apa yang menjadi hak pasien otomatis menjadi kewajiban bagi dokter untuk melaksanakannya begitu pun sebaliknya. Seorang pasien� mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu terhadap dokter dan juga terhadap dirinya sendiri. Di dalam melakukan kewajibannya pasien diminta untuk melaksanakan sesuai dengan standar pasien yang wajar. Apabila tidak melakukan kewajibannya dan hal ini sampai menimbulkan permasalahan bagi orang lain misalnya menularkan virus penyakit sehingga menularkan dokter, tenaga kesehatan, dan pasien lainnya yang juga bisa menimbulkan kematian bagi orang lain tentunya pasien tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban apakah secara ganti rugi atau juga ke arah pidana.

Seorang pasien mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Dalam� Pasal 53 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menyebutkan pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai kewajiban yakni:

1.    Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

2.    Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;

3.    Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;

4.    Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Pasal 50 huruf (c) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menyatakan bahwa, �Dokter atau Dokter Gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.� Pasal 7 ayat (2) huruf (a) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien mewajibkan kepada pasien dan keluarganya untuk memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap, dan jujur.

Ketidakjujuran pasien� mengakibatkan proses memberikan layanan kesehatan atau �terapi yang diberikan oleh Dokter menjadi tidak maksimal, selain itu juga Dokter berpotensi terpapar COVID-19. Jika ternyata pasien yang sedang dilayaninya merupakan karie dari COVID-19. Hal ini justru sangat memprihatinkan karena beberapa peraturan perundang-undangan telah mengamanahkan agar pasien menyampaikan informasi dengan jujur ketika mengakses pelayanan medis. Dampak dari ketidakjujuran pasien dalam memberikan keterangan atau informasi kepada dokter tidak dapat disebutkan sebagai kesalahan yang ringan untuk saat ini di masa pandemi COVID-19. Kondisi tersebut akan menimbulkan permasalah besar dan juga bisa mengakibatkan bukan hanya pada 1 dokter saja tetapi bisa mengakibatkan tertularnya satu Rumah Sakit dimana pasien tersebut di rawat.

Seperti yang terjadi kasus di beberapa Rumah Sakit seperti terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Sulawesi, beberapa kasus terjadi berawal dari� pasien atau keluarga pasien mengantarkan salah satu anggota keluarganya yang tidak sadarkan diri Rumah Sakit dan pihak keluarga hanya mengatakan bahwa pasien memiliki riwayat kencing manis dan tidak menjelaskan bahwa pasien tersebut pernah kontak dengan pasien positif COVID-19 yang saat ini sudah meninggal dunia. Akibat dari keluarga pasien yang tidak memberikan keterangan secara jujur tersebut kepada dokter dan juga tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit mengakibatkan 21 tenaga medis di Rumah Sakit tersebut menjalani isolasai mandiri.

Peristiwa ketidakjujuran pasien ini juga terungkap di Purwodadi, Jawa Tengah. Petugas medis dan pegawai Rumah Sakit terkena imbas karena pasien dengan gejala COVID-19 tak bercerita jujur mengenai kondisinya. Pasien tidak mengaku bahwa dirinya telah melakukan bepergian dari luar negeri maupun daerah zona merah COVID-19. Karena pernyataan tersebut, pasien tak ditempatkan di ruang isolasi melainkan di bangsal biasa dengan pasien non COVID-19. Setelah perawatan beberapa hari, ditemukan gejala pneumonia. Setelah itu baru pasien mengaku jujur bahwa dirinya habis berpergian ke luar negeri. Pernyataan tersebut lantas membuat seluruh petugas medis yang menangani pasien wajib melakukan Rapid Test.

Informasi dari pasien dan atau keluarga ini sangat penting dalam menegakkan diagnosa selain tentunya pemeriksaan fisik dan klinis terhadap pasien. Ketidakjujuran atau ketidaklengkapan informasi bisa membuat diagnosa tidak tepat. Dalam kasus biasa, tentu pasienlah yang akan rugi bila tidak menyampaikan informasi dalam tanya jawab pasien dan dokter dengan tepat. Namun, dalam kasus COVID-19 ini tidak hanya akan berdampak pada pasien, tapi penularan cepat bisa merugikan dokter yang menanganinya. Belum lagi seisi Rumah Sakit, bila tidak segera ditempatkan dalam ruang isolasi. Keterangan yang tidak jelas atau menyesatkan seperti menyembunyikan penyakit yang pernah diderita sebelumnya tidak memberikan informasi yang benar bahwa dirinya pernah dekat dengan orang yang� terinfeksi virus atau tidak memberitahukan obat-obatan yang pernah diminum selama ia sakit dapat dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah �Cotributory Negligence� yang artinya � Pasien turut bersalah�� (J. Guwandi, 1993). Bila pasien dan keluarga terbukti telah memberikan keterangan tidak tepat pada pemeriksaan kesehatan, maka tenaga kesehatan dapat dilepaskan dari tanggung jawab apabila terdapat kerugian yang ditimbulkan dari penegakan diagnosa yang tidak tepat. Karena sama saja pasien telah melanggar perjanjian antara pasien dan dokter dan telah terdapat unsur penipuan dalam suatu perjanjian.

Hubungan antara pasien dengan dokter sifatnya adalah inspanningsverbintennis (Supriyatin, 2018) Artinya, dalam hubungan ini yang dititikberatkan adalah upaya maksimal dari dokter berdasarkan standar keilmuan dan pengalaman dalam bidang medis. Inspanningsverbintennis mengandung makna sebagai perikatan yang prestasinya berupa upaya maksimal. Terkait dengan pandemi COVID-19, seorang dokter tidak dapat memberikan garansi atas keberhasilan tindakan medisnya pada saat menangani pasien. Sepanjang Dokter telah berupaya maksimal sesuai dengan ukuran medis (ilmu pengetahuan dan pengalamman dalam bidang medis), maka tindakan medisnya tidak dapat dipersalahkan. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang berpotensi menyebabkan kegagalan dalam tindakan medis, di antaranya adalah risiko medis, kecelakaan medis, dan contributory of negligence dari pasien (Bortolotti, Verzeletti, & Antonietti, 2018).

Perbuatan pasien yang tidak memberikan keterangan atau informasi yang benar, tidak mematuhi nasehat dari dokter maupun tidak mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan secara tidak langsung menimbulkan dampak pada dokter, tenaga kesehatan dan juga pada tempat pelayanan kesehatan juga. Apabila resiko yang ditimbulkan pasien tersebut justru merugikan orang lain dalam hal ini dokter tentunya seorang dokter memiliki hak mendapatkan perlindungan hukum.

Pasal 50 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menjelaskan bahwa dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional dan memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. Pasal 29 huruf s UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menjelaskan bahwa melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas dan di tegaskan Pasal 30 ayat 1 huruf e dan f UU Rumah Sakit bahwa Rumah Sakit boleh menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian dan mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, sehingga apabila ada pihak pasien yang merugikan dokter dan Rumah Sakit pasien tersebut bisa di tuntut secara perdata maupun pidana. Karena perbuatan pasien tersebut telah mencederai perjanjian teraupetik, secara hukum Perdata dianggap pasien tersebut telah melakukan pebuatan melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan yang tercantum pada pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum sehingga membawa kerugian kepada orang lain, maka sipelaku yang menyebabkan kerugian tersebut berkewajiban untuk mengganti kerugian tersebut.

Perlindungan hukum terhadap dokter juga dapat diberikan melalui tuntutan tindak pidana kepada pasien yang masih tidak tertib untuk melaksanakan protokol penanggulangan wabah penyakit menular yang berdampak pada tertularnya dokter, tenaga kesehatan dan orang lain bahkan mengakibatkan meninggal dunianya dokter, tenaga kesehatan dan orang lain yang ikut terpapar. Tidak tertibnya melaksanakan standar protokol kesehatan penanggulangan COVID-19 dapat dikatakan masyarakat atau pasien atau keluarga pasien tersebut memenuhi unsur dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit menular COVID-19, hal ini tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang Wabah Penyakit Menular.

UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular pada Pasal 5 bahwa upaya penanggulangan wabah meliputi penyelidikan epidemiologis, pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk tindakan karantina, pencegahan, dan pengebalan, pemusnahan penyebab penyakit, penanganan jenazah akibat wabah, penyuluhan kepada masyarakat dan Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Berdasarkan pasal tersebut dapat ditafsirkan bagi pasien yang tidak jujur dalam memberikan informasinya atas kondisi dirinya sehingga dapat merugikan dokter, Rumah Sakit dan lain sebagainya dikategorikan menghalang-halangi penanggulangan wabah karena dokter dan paramedis sangat memerlukann sikap kejujuran dari pasien agar wabah pandemi COVID-19 ini tidak meluas.

Perlindungan terhadap dokter dan tenaga kesehatan juga telah diatur di dalam Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular. Pasal 8 ayat (1) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda yang diakibatkan oleh upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan ganti rugi. Demikian juga di dalam Pasal 9 ayat (1) juga telah diatur secara tegas bahwa kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya.

Selain itu juga bentuk perlindungan hukum bagi keselamatan kerja bagi dokter dalam hal memberikan layanan kesehatan dalam menangani pandemi COVID-19, yaitu:

1.    Perlunya kelengkapan peralatan medis yang mencukupi mengingat bahwa ketersediaan akan peralatan medis yang berkualitas untuk melindungi dokter yang sedang memberikan layanan kesehatan dalam hal penanganan virus ini sangat diperlukan, sebaliknya ketika kualitas peralatan medis tidak berkualitas justru berpotensi besar dokter dapat dengan mudahnya tertular virus COVID-19;

2.    Memberikan layanan kesehatan prima yaitu dengan rutin memeriksa kesehatan dari tenaga medis itu sendiri agar tenaga medis yang kurang sehat atau sudah lanjut usia tidak perlu untuk terjun langsung ke lapangan untuk menangani virus karena rentan tertular;

3.    Beban waktu para tenaga medis dalam memberikan pelayanan kesehatan pada kondisi pandemi ini harus diperhatikan karena pada saat memberikan pelayanan mereka menggunakan APD, kondisi ini justru membuat tubuh dehidrasi akibat tubuh berkeringat;

4.    Memberikan santunan bagi tenaga medis yang gugur dalam memberikan layanan kesehatan menangani pandemi COVID-19. Mereka merupakan pahlawan garda terdepan melindungi menangani warga dari wabah COVID-19;

5.    Kondisi ini dapat menjadi pertimbangan negara segera membentuk suatu aturan mengenai perlindungan hukum bagi keselamatan kerja tenaga medis dalam melawan COVID-19.

Pelaksanaan penegakan hukum demi memberikan perlindungan kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya, hingga saat ini belum ada tindakan tegas bagi pasien yang tidak jujur misalnya pasien tersebut pernah kontak dengan orang yang positif COVID-19, padahal dampak akibatnya bisa menyebabkan dokter tertular dan hingga menyebabkan kematian. Akibat ketidak jujuran pasien sudah banyak berguguran tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Perlunya sebuah regulasi yang jelas yang mengatur terkait perilaku tidak jujur dari pasien atau keluarga pasien selain sebagai upaya menghindari sengketa medik yang dapat timbul akibat dari ketidakjujuran dari pasien dan juga memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi dokter dan tenaga kesehatan di masa pandemi yang bisa menimbulkan korban jiwa yang begitu besar. Di sisi lain bisa menimbulkan sengketa medik antara dokter dengan pasien akibat keluarga pasien tidak terima jika keluarga dibilang tertular COVID-19 karena khawatir akan ditolak masyarakat. Sengketa medik antara pihak Rumah Sakit atau dokter dengan pasien atau keluarga pasien sebenarnya tidak menguntungkan semua pihak karena akan memancing pihak luar terlibat dalam sengketa tersebut. Maka sangat bijaksana jika setiap sengketa diselesaikan dengan baik. Adapun alternatif penyelesaian sengketa medik di luar jalur pengadilan dapat ditempuh secara mediasi antara pihak pasien dengan tenaga medis.

 

Kesimpulan

Meningkatnya kasus COVID-19 mengakibatkan meningkatnya pasien yang terinfeksi virus Corona dan menjalani perawatan di Rumah Sakit, dibutuhkan kejujuran yang penuh dari tenaga medis kepada setiap pasien yang dirawat dengan COVID-19 disebabkan dengan berbagai penanganan yang diberikan secara spesifik seperti tidak diperbolehkannya keluarga untuk menemani dan hal lainnya yang membuat pasien banyak bertanya terkait dunia luar dan perkembangan kesehatannya.� Selain itu, tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya sebagai petugas kesehatan berisiko terinfeksi, membawa beban besar dalam perawatan klinis, dan upaya pencegahan penularan COVID-19 di Rumah Sakit maupun lingkungan sekitar. Dari hal tersebut menyebabkan munculnya stigma negatif dari masyarakat terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan yang dapat menularkan COVID-19. Dalam melaksanakan praktek kedokteran, dokter harus memenuhi Informed Consent dan rekam medik sebagai alat bukti yang bisa membebaskan dokter dari segala tuntutan hukum. Apabila pasien tersebut tidak jujur maka menimbulkan contribution negligence atau pasien turut bersalah sebab kejujuran serta mentaati saran dan instruksi dokter merupakan sebagai kewajiban pasien terhadap dokter. Selain itu, diperlukan sebuah peraturan dan kebijakan terkait dari ketidakjujuran pasien, sebab dampak dari ketidakjujuran pasien di masa pandemi COVID-19 dapat menularkan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang bisa menyebabkan kematian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ashinyo, Mary Eyram, Dubik, Stephen Dajaan, Duti, Vida, Amegah, Kingsley Ebenezer, Ashinyo, Anthony, Larsen-Reindorf, Rita, Kaba Akoriyea, Samuel, & Kuma-Aboagye, Patrick. (2020). Healthcare Workers Exposure Risk Assessment: A Survey Among Frontline Workers In Designated Covid-19 Treatment Centers In Ghana. Journal Of Primary Care And Community Health, 11. Https://Doi.Org/10.1177/2150132720969483. Google Scholar

 

Bortolotti, Niccolo, Verzeletti, Andrea, & Antonietti, Anna. (2018). Patients Contributory Negligence In Alleged Medical Liability. Rivista Italiana Di Medicina Legale E Del Diritto In Campo Sanitario, Vol. 40. 187-207. Google Scholar

 

I Putu Arif Setianto. (2010). Penilaian Kualitas Jasa (Pelayanan): Tinjauan Literatur (1ST Ed.). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Google Scholar

 

J. Guwandi. (1993). Tindakan Medik Dan Tanggung Jawab Produk Medik (1ST Ed.). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Google Scholar

 

Joob, Beuy, & Wiwanitkit, Viroj. (2020). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Infectivity, And The Incubation Period. Journal Of Preventive Medicine And Public Health, Vol. 53(2), 70-70. �Https://Doi.Org/10.3961/Jpmph.20.065. Google Scholar

 

Juli�-Torras, Joaquim, De Iriarte Gay De Montell�, Natalia, & Porta-Sales, Josep. (2021). Covid-19: Quick Reflections From Palliative Care Before The Next Epidemic. Medicina Cl�nica (English Edition), 156(1), 29-32. �Https://Doi.Org/10.1016/J.Medcle.2020.07.018. Google Scholar

 

Lam, Simon Ching, Arora, Teresa, Grey, Ian, Suen, Lorna Kwai Ping, Huang, Emma Yun Zhi, Li, Daofan, & Lam, Kin Bong Hubert. (2020). Perceived Risk And Protection From Infection And Depressive Symptoms Among Healthcare Workers In Mainland China And Hong Kong During Covid-19. Frontiers In Psychiatry, 11, 6-30 Https://Doi.Org/10.3389/Fpsyt.2020.00686. Google Scholar

 

Lauer, Stephen A., Grantz, Kyra H., Bi, Qifang, Jones, Forrest K., Zheng, Qulu, Meredith, Hannah R., Azman, Andrew S., Reich, Nicholas G., & Lessler, Justin. (2020). The Incubation Period Of Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) From Publicly Reported Confirmed Cases: Estimation And Application. Annals Of Internal Medicine, 172(9). 1-9. Https://Doi.Org/10.7326/M20-0504. Google Scholar

 

Laurensius Lungan, Ontran Sumantri Riyanto, David Maharya Ardyantara, & Arman Harahap. (2021). Doctor�s Responsibility To The Implementation Of 24 Hours Emergency Unit Service In Non Primary Health Care Center Of Land Bumbu District. Annals Of The Romanian Society For Cell Biology, 25(3), 8333�8342. Google Scholar

 

Maltezou, Helena C., Dedoukou, Xanthi, Tseroni, Maria, Tsonou, Paraskevi, Raftopoulos, Vasilios, Papadima, Kalliopi, Mouratidou, Elisavet, Poufta, Sophia, Panagiotakopoulos, George, Hatzigeorgiou, Dimitrios, & Sipsas, Nikolaos. (2020). Sars-Cov-2 Infection In Healthcare Personnel With High-Risk Occupational Exposure: Evaluation Of 7-Day Exclusion From Work Policy. Clinical Infectious Diseases, 71(12), 3182-3187. Https://Doi.Org/10.1093/Cid/Ciaa888. Google Scholar

 

Ontran Sumantri Riyanto, David Maharya Ardyantara, Raditya Sri Krisnha Wardhana, & Laurensius Lungan. (2021). Legal Protection For Doctors Against Dishonesty Of Patients In Providing Information During Covid-19 Pandemic. International Journal Of Science, Technology & Management, 2(1), 289-299. Https://Doi.Org/10.46729/Ijstm.V2i1.118. Google Scholar

 

Razvi, Salman, Oliver, Rahima, Moore, Jonathan, & Beeby, Andrew. (2020). Exposure Of Hospital Healthcare Workers To The Novel Coronavirus (Sars-Cov-2). Clinical Medicine, Journal Of The Royal College Of Physicians Of London, 20(6). Https://Doi.Org/10.7861/Clinmed. 2020-0566. Google Scholar

 

Supriyatin, Ukilah. (2018). Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Tenaga Medis (Dokter) Dalam Pelayanan Kesehatan. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 6(2). Https://Doi.Org/10.25157/Jigj.V6i2.1713. Google Scholar

 

Wang, Cuiyan, Pan, Riyu, Wan, Xiaoyang, Tan, Yilin, Xu, Linkang, Ho, Cyrus S., & Ho, Roger C. (2020). Immediate Psychological Responses And Associated Factors During The Initial Stage Of The 2019 Coronavirus Disease (Covid-19) Epidemic Among The General Population In China. International Journal Of Environmental Research And Public Health, 17(5), 1-25. Https://Doi.Org/10.3390/Ijerph17051729. Google Scholar

 

Wong, Rebecca S. Y. (2020). The Sars-Cov-2 Outbreak: An Epidemiological And Clinical Perspective. Sn Comprehensive Clinical Medicine, 2(11), 1983-1991. Https://Doi.Org/10.1007/S42399-020-00546-Z. Google Scholar

 

Wu, Zunyou, & Mcgoogan, Jennifer M. (2020). Characteristics Of And Important Lessons From The Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Outbreak In China. Jama, 323(13), 1239-1242. Https://Doi.Org/10.1001/Jama.2020.2648. Google Scholar

 

Copyright holder:

Ontran Sumantri Riyanto, Hetty W.A. Panggabean (2021)

 

First publication right:

Jurnal Syntax Literate

 

This article is licensed under: