Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN : 2548-1398

Vol. 6, No. 6, Juni 2021

�

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PADA DINAS SOSIAL KABUPATEN BANDUNG

 

Ai Nunung

Politeknik Piksi Ganesha Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstract

Business governance blames the research object that is the problem to achieve Minimum Service Standards (SPM) in the Social Service of Bandung Regency, which is a matter of what else is the target of SPM. The achievement target has not been implemented to the maximum, causing mainly the most important model of service fragmentation that variations which the government is very limited, especially resources. The purpose of this research is to then human resources that are important network members become mandate holders of initiator institutions at the District / City and Provincial levels to animate, understand, and understand the social field, especially the concept of colaborative governance elements of its elements. Which research force is qualitative. Which techniques are purposive sampling and literature studies which share data collection of work and national journals. The results of this study are a minor science of social welfare science base with open information management and data, tiered services and rough systems which adhere to the central level of community service begins at all levels and the management of management who participate in the development of Human Resources.

 

Keywords: collaborative governance; minimum service standards; leadership

 

Abstrak

Tata kelola kolaboratif merupakan objek penelitian yang menjadi permasalahan untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Dinas Sosial Kabupaten Bandung, yang menjadi masalah adalah target SPM. Pencapaian target tersebut belum terlaksana secara maksimal, penyebab utama adalah karena model paling utama dari fragmentasi pelayanan adalah variasi yang dimiliki pemerintah sangat terbatas, terutama sumber daya. Tujuan dari penelitian ini untuk menyiapan SDM yang diperlukan anggota jaringan sebagai pemegang mandat beserta lembaga inisiator di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi untuk menjiwai, mengerti, dan memahami bidang sosial terutama konsep colaborative governance beserta praktek elemen-elemennya. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Teknik yang digunakan adalah teknik purposive sampling dan studi kepustakaan yang digunakan adalah pengumpulan data sekunder dan jurnal nasional. Hasil penelitian ini merupakan minor science ilmu kesejahtraan sosial sebagai basis pengetahuan dengan pengelolaan informasi dan data yang terbuka, pelayanan berjenjang dan sistem kolaboratif yang dilaksanakan dari tingkat pusat sampai pelayanan masyarakat dimulai disemua tingkatan dan mendukung tata kelola kolaboratif yang mahir dalam pengembangan Sumber Daya Manusia.

 

Kata Kunci: tata kelola kolaboratif; standar pelayanan minimal; kepemimpinan

 

Pendahuluan

Indonesia yang menganut dasar negara yaitu Pancasila mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan itu merupakan tata kehidupan dalam berbangsa dan bernegara (Wijaya, 2020). Jumlah terbesar penduduk di Indonesia yaitu Jawa Barat sekitar 20%, data ini didapat dari BPS, jumlah total sebesa 49.316.712 jiwa pada tahun 2019 menjadi meningkat 49.935.858 pada tahun 2020, tentunya besar sekali permasalahan sosial yang berpotensi dibandingkan negara di Indonesia dengan wilayah lainnya. Lokasi pilihan yaitu Kabupaten Bandung, dipilihnya menjadi dasar alasan karena Dinas Sosial Kabupaten Bandung menjadi lokasi khusus penelitian dimana dinas tersebut yang menjadi penyelenggara urusan sosial dan yang menjadi tanggung jawabnya.

SPM nasional 2015-2020 targetnya sangat tinggi yaitu yaitu 70% sampai 90% kepada Kabupaten/Kota dan Provinsi dibebankan pemenuhannya, sedangkan kemampuan Kabupaten/Kota dan Provinsi tidak sesuai. Di dalam Keputusan Menteri Sosial nomor 50 tahun 2020 menurut informasi yang didapat tentang panduan pedoman pelayanan Sosial, pemerintah melalui Kementerian Sosial bahwa kemampuan pemerintah untuk menyebutkan dalam lima tahun terakhir rata-rata sekitar 8-10% yang terjangkau dari total kesejahteraan sosial didalam penyandang masalah atau� sekitar 15,5 juta rumah tangga, pemerintah daerah sendiri tidak bisa menanggung beban pencapaian SPM. Regulasi terbaru apabila ingin mengacu harus 100% pencapaian tersebut berdasarkan target SPM UU no 23 tahun 2014 dimana PMKS pada lima jenis yaitu korban bencana, gelandangan pengemis, penyandang disabilitas terlantar, lansia terlatar, dan anak terlantar.

Identifikasi permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia menurut Keputusan Menteri Sosial menyajikan bahwa Jawa Barat yang termasuk wilayah di Indonesia adalah sebagai berikut:

1.    Terbatasnya layanan sosial dasar yang mengakibatkan berkembangnya masalah sosial, konflik sosial, bencana alam, dan krisis ekonomi tidak terpenuhinya hak dasar dapat dikelompokkan kedalam jenis masalah sosial tersebut, antara lain kekerasan sosial ekonomi, kedaruratan, kebencanaan, keterpencilan atau keterisolasian, kecacatan, keterlantaran, ketentuan sosial, kemiskinan, dan kerawanan sosial ekonomi.

2.    Sektoral atau fragmentaris merupakan sifat dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial, terbatasnya jangkauan sosial didalam memberikan pelayanan, reaktif secara aktual didalam merespon masalah dan terpokus kepada institusi atau panti sosial untuk berbasis pelayanannya.

3.    Kabupaten/Kota khususnya secara kelembagaan merupakan pemerintah daerah, didalam kesejahteraan sosial masih belum dijadikan sebagai penyelenggara kegiatan dan program menurut tugas pembantuan dan asas otonomi daerah, karena:

a.    Kesejahteraan sosial merupakan pelayanan yang harus dipahami sebagai sektor pemerintah, pelayanan sosial bukan sebagai sistem pelayanan untuk hak-hak dasarnya agar rentan terpenuhi terutama bagi masyarakat miskin.

b.    Dukungan harus mampu memperkuat pendampingan yang dilakukan harus membantu memecahkan masalah, menjembatani, memfasilitasi, dan memotivasi berbagai kebutuhan PMKS.

c.    Secara holistik membutuhkan penanganan bagi rencana strategis nasional untuk menangani permasalahan.

Permasalahan sosial dan kondisi tersebut merupakan tugas penyelenggaraan urusan sosial membuktikan hal tersebut tidak bisa ditangani sendiri dan merupakan urusan organisasi tunggal yaitu Dinas Sosial sendiri dimana pekerjaannya harus dilaksanakan dengan lembaga terkait dibutuhkan jaringan kerjasama untuk peningkatan integrasi tidak hanya semata pada tingkat koordinasi saja, tetapi konsensus lebih mengikat dan dibutuhkan kolaborasi dengan sesama dinas sosial yang berada di Kabupaten Bandung baik organisasi non pemerintah maupun organisasi pemerintah harus menjaga hubungan yang baik dilingkungan lembaga-lembaga mitra.

Titik berat didalam menjalankan fungsinya Dinas Sosial masih menganut paradigma tradisional administrasi publik dan jaringan kerjanya sudah dibangun sedikit dari paradigma NPM dan sudah menerapkannya tetapi koordinasinya masih bertahap yaitu Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dilibatkan untuk mengambil keputusan bidang sosial keterlibatan pemberi masukan masih pada tataran serta Perencanaan pembangunan musyawarah tidak mengikat pada acara forum-forum resmi� maupun hukum daerah di dalam penyusunan produk-produk.

Posisi Dinas Sosial didalam menjalankan urusan sosial, pemegang mandat sebagai organisasi teresebut di atas berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diharapkan Dinas Sosial Kabupaten Bandung menjadi Collaborative Governance dan didalam pengembangan jaringan sebagai lembaga pelayanan sosial khususnya melakukan dalam mengoptimalkan terobosan menjadi yang paling tinggi dan paling terbaik untuk mencapai sasaran dan tercapai percepatan tujuan serta target SPM di Kabupaten Bandung. Judul didalam penelitian ini yaitu �Collaborative Governance dalam pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) pada Dinas Sosial Kabupaten Bandung�.

Collaborative Governance muncul di era paradigma governance, dimana pada saat itu masyarakat semakin berkembang sehingga pemerintah menghadapi masalah yang lebih kompleks. Disisi lain, pemerintah juga memiliki keterbatasan waktu untuk mengatasi masalah tersebut sehingga membutuhkan kolaborasi dengan aktor-aktor eksternal (Charalabidis, Koussouris, Lampathaki, & Misuraca, 2012). Collaborative Goovernance bagi akademisi dan para praktisi menjadi acuan dalam proses penyelenggaraan penelitian maupun implementasi kebijakan, hal tersebut untuk lebih dipahami. 3 (Tiga) definisi diambil penulis yang berhubungan dengan Collaborative Governance sangat berpengaruh dari para ahli dalam kemajuan praktek Collaborative Governance, kemajuan ilmu dan perkembangan yang masing-masing membuat model kerangka yang menjadi dasar teoritisnya, definisi tersebut adalah sebagai berikut:

1.    Dari (Christopher Ansell, 2014) menyebutkan bahwa Collaborative Governance sebagai sebuah strategi baru dalam tata kelola pemerintahan yang membuat beragam pemangku kebijakan berkumpul di forum yang sama untuk membuat sebuah konsensus bersama. Selanjutnya Ansell dan Gash mendefinisikan Collaborative Governance sebagai sebuah aransemen tata kelola pemerintahan yang mana satu atau lebih institusi publik secara langsung melibatkan aktor non pemerintah dalam sebuah proses pembuatan kebijakan kolektif yang bersifat formal, berorentasi konsesus, dan konsultatif dengan tujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik dan mengelola program atau asset public (C Ansell & Gash, 2007):

Definisi ini menekankan lima kriteria penting, yakni:

a.    Forum yang diprakarsai oleh instansi atau lembaga-lembaga publik.

b.    Peserta dalam forum termasuk aktor non pemerintah.

c.    Peserta terlibat langsung dalam pengambilan keputusan dan tidak hanya untuk konsultasi lembaga-lembaga publik.

d.    forum secara resmi terorganisir dan bertemu secara kolektif.

e.    Forum ini bertujuan untuk membuat keputusan dengan konsensus (bahkan jika konsensus tidak tercapai dalam praktek), dan fokus kolaborasi adalah kebijakan publik atau manajemen publik.

2.    Collaborative Governance merupakan instrumen yang digunakan untuk mengatasi suatu masalah. Collaborative Governance merupakan instrumen yang tepat untuk berkonfrontasi dengan masalah, sebab Collaborative Governance menciptakan kepemilikan bersama terhadap masalah tersebut. Berbagi aktor memiliki perspektif yang berbeda dalam melihat suatu permasalahan. Bukan hal yang mudah untuk menciptakan suatu kepahaman di antara peran aktor tersebut. Collaborative Governance berperan sebagai penengah agar para aktor dapat merumuskan kesepahaman yang sama terhadap suatu masalah (Christopher Ansell, 2014).

3.    Collaborative Governance merupakan suatu forum yag digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut (Donahue & Zeckhauser, 2011), Collaborative Governance merupakan kondisi yang mana pemerintah untuk memenuhi tujuan publik melalui kolaborasi antar organisasi maupun individu. Hal senada juga diungkapkan oleh (Holzer et al., 2020) yang menyatakan bahwa Collaborative Governance adalah kondisi ketika pemerintah dan swasta berupaya mencapai suatu tujuan bersama untuk masyarakat.

Masalah publik merupakan materi yang sama yang terkandung pada ketiga definisi tersebut diatas, dimana setiap permasalahan harus diselesaikan tidak terpokus pada satu organisasi atau terpisah. Diarahkan organisasi antar pemerintah dan atau non pemerintah, dua atau lebih pihak (organisasi) serta adanya konsensus ada tindakan bersama, pengambilan keputusan bersama, dan yang terpenting mengenai urusan publik. Pengendali dan Pemrakarsa atau inisiator tetap berada pada organisasi pemerintah walaupun derajat para pihak sama kedudukannya. Suatu bidang tugas yang menjadi tantangan atau suatu masalah yang mendapat mandat tetap berada pada organisasi pemerintah yang tercantum dalam tugas pokok dan fungsinya. Pemerintah harus membuat jaringan kerja dan menjadi inisiator dalam membangun Collaborative Governance ini.

Terkait dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Sosial penyelenggaraannya adalah pemenuhan akses masyarakat dan pemenuhan hak individu dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan dasar yang berhubungan dengan sumber-sumber yang ada. Pemerintah tersebut dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dasar dapat melakukan antara lain berbagai cara yaitu jenis layanan dasar dibebaskan biayanya. Warga negara berhak memperoleh secara gratis sarana dan prasarana sesuai kriteria yang diberikan dan masyarakat berhak mendapatkan bantuan tunai.

Penerapan SPM mempunyai prinsip yaitu kewenangan harus sesuai, kesinambungan, keterjangkauan, dan ketersediaan dijamin pemerintah. Selain itu SPM tepat sasaran dan harus terukur artinya yang berhak saja dan hanya yang layak layanan ini dapat menerima. Dalam Norma Prosedur dan kriteria (NSPK), ditetapkannya hal tersebut oleh Kementrian atau Lembaga yang mengeluarkan SPM tersebut. (Ratminto, 2005) menurutnya bahwa ketentuan standar pelayanan minimal harus memenuhi sebagai berikut:

1.    Mudah diukur, tidak terlalu banyak, sesederhana mungkin, konkrit, dan jelas standar pelayanan minimal yang ditentukan oleh Pemerintah pusat.

2.    Minimal informasi diberikan yang merupakan indikator standar pelayanan kinerja yang merupakan kewajiban daerah didalam penyelenggaraan kewenangan secara kuantitas dan kemajuan yang tidak dilakukan seberapa berartinya secara kualitas untuk bisa bernilai bobotnya.

3.    Karakteristik meliputi: (1) Pelayanan yang berdampak pada hubungan hubungan secara makro terhadap kondisi berdasarkan hasil dan manfaatnya (2) Sebagai nilai tambah yang dirasakan untuk tingkat kemanfaatan termasuk kepuasan konsumen atau masyarakat dan kualitas hidup maupun pemerintah daerah (3) Diberikan pelayanan termasuk pencapaian kinerja sebagai wujud hasil terhadap pelayanan persepsi publik� tersebut dan perilaku perubahan publik (4) Pengukuran salah satu upaya yang termasuk proses yang digunakan seperti: pengelolahan, penerapan, kegiatan isi program, lokasi, cangkupan waktu atau kegiatan yang dilakukan, dan program personil, uang, perlengkapan, juga peralatan merupakan contoh masukan yang digunakan untuk mengukur besaran sumber daya atau tingkatannya.

4.    Indikasi variabel sebagai gambaran pelayanan dasar untuk mengevaluasi keadaan dan digunakan sebagai Indikator Standar Pelayanan Minimal.

5.    Minimal keadaan secara nasional diharapkan sebagai suatu jenis tertentu secara nasional yang merupakan indikator pelayanan minimal.

6.    Perencanaan daerah seharusnya mencantumkan penilaian kapasitas daerah serta Kepala Daerah, Laporan Pertanggung jawaban (LPJ) sebagai salah satu dokumen, pelaporan, pengawasan, gabungan lembaga perangkat daerah, pemekaran, dan pengangguran daerah didalam perencanaan daerah seharusnya tercantum indikator standar pelayanan minimal.

7.    Target yang akan dicapai didalam pelayanan Minimum Service Target, pelayanan minimal merupakan batas awal Minimum Service Baselines, waktu tertentu berjangka yang digunakan di dalam pencapaian standar pelayanan minimal.

8.    Tingkat awal untuk spesifikasi kinerja merupakan Minimum Service Baseliner merupakan standar indikator data berdasarkan terbaru atau terakhir dari Minimum Service Baseliner.

9.    Pelayanan kinerja untuk peningkatan spesifikasi adalah dalam waktu tertentu yang harus dicapai di dalam periode berdasarkan perencanaan siklus daerah multi tahun untuk melebihi atau mencapai standar pelayanan minimum dari Minimum Service Target.

10.              Standar Teknis berbeda sekali dengan standar pelayanan minimal, dimana standar pelayanan minimal dijadikan sebagai pencapaian untuk faktor pendukung dari standar teknis.

Kriteria Kesepuluh yang telah dikemukakan dapat diaktualisasikan dengan teori rujukan yang dikembangkan oleh Albert Hirschman bahwa pelayanan kinerja publik dikatakan dapat ditingkatkan bila voice dan exit ada mekanismenya (Ratminto, 2005). Mekanisme exit mengandung arti apabila pelayanan yang diberikan oleh pelayanan publik maka bagi konsumen atau klien diberikan kesempatan untuk memilih lembaga yang lain sebagai pelayanan publik yang disukainya. Kualitas� pelayanan� yang� baik,� akan� merasa puas� sehingga� membuat loyal� untuk� tetap� memilih lembaga� tersebut (Baharudin, Maulana, & Aprilian, 2020).� Sedangkan mekanisme voice mempunyai arti konsumen atau klien diberikan kesempatan untuk menyampaikan atau mengemukakan apabila menemui ketidakpuasan kepada lembaga yang sudah ditunjuk yaitu penyelenggara pelayanan publik.

Tujuan dari penelitian ini untuk menyiapan SDM yang diperlukan anggota jaringan sebagai pemegang mandat beserta lembaga inisiator di tingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi untuk menjiwai, mengerti, dan memahami bidang sosial terutama konsep Colaborative Governance beserta praktek elemen-elemennya.

 

Metode Penelitian

Kerangka teori dalam penelitian ini menggunakan pendapat dari (Bryson, Patton, & Bowman, 2011) tentang kolaborasi pada lintas sektor yang didukung oleh elemen-elemen penelitian. Untuk menguji dari elemen-elemen dalam penelitian tersebut dilakukan wawancara terhadap para informan yang sebelumnya sudah dipilih dari pegawai di Dina Sosial Kabupaten Bandung, tiga LKS, Dinas atau Instansi empat Kabupaten/Kota serta perangkat daerah mitra. Dari hasil itu diharapkan dapat mengembangkan mengenai kerangka teori utama yang sangat tepat untuk diterapkan di Dinas Sosial Kabupaten Bandung beserta semua mitra yang termasuk jejaring kerjanya. Untuk desain penelitian menggunakan analisis yang sudah dirancang sebagai berikut:

Pertama, akan dibahas yaitu yang sangat dianggap paling penting untuk beberapa elemen yang paling utama di kerangka teoritis, multi actor dan multi level tersebut. Antara lain hasil evaluasi para pakar, partisipasi, jejaring kerja, dan kepemimpinan tentang empirik program didalam praktek berdasarkan keberhasilan pengalaman juga faktor-faktor kegagalan dari pengalaman sebelumnya yang akan di bahas oleh ahlinya di bidang Collaborative Goovernance.

 

Gambar 1

Desain Penelitian

Sumber: Diolah dari Beberapa Sumber

 

Hasil observasi di lapangan dan hasil wawancara didapat langsung sumber data primer dengan informan, buku refensi dari berbagai sumber juga informasi dari data-data yang bisa menambah untuk mengambil data sekunder. Selain itu, dokumen jurnal-jurnal nasional, data PSKS, data PMKS, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) dinas Sosial, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat 2013-2018, Peraturan Gubernur), Peraturan Daerah, Peraturan Menteri, PP, Undang-undang, dan Peraturan Perundang- undangan (UUD 1945).

Mencari teori dan analisis yang digunakan sebagai dasar dalam mencari data dan informasi dan untuk memahami ciri dan mengenali, karakteristik serta pola yang dijadikan konsep penelitian untuk menyusun serta berguna didalam obyek penelitian. Terkait dengan data primer khusus untuk mencari objek penelitian, informan yang dijadikan obyek penelitian bersumber dari objek penelitian yang dijadikan objek didalam penelitian ini bisa menganalisis fenomena dan mengungkapkan serta berguna untuk jenis data primer yaitu: kinerja Dinas yang menjadi review, mitra kerja yang banyak tekait didalam pelayanan penyelenggaraan PMKS dengan menitik beratkan kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Sosial.

Teknik pengumpulan data yaitu studi literatur, observasi, dan wawancara. Adapun Teknik analisis data dilaksanakan dengan melakukan teknis olahan data, tahapan, dan prosedur yang dilakukan sebagai berikut:

1.    Pemeriksaan Keabsahan dari Data

Keabsahan suatu data perlu dilakukan pemeriksanaan secara cermat supaya dianggap layak valid dan atau dapat dipercaya data yang dikumpulkan. Uji validitas triangulasi (Triangulation of Observers), dilaksanakan dengan mengklasifikasi perwakilan dari sumber data, yaitu sudut pandang menurut (1) Kalangan masyarakat sebagai pemangku kepentingan (2) Instansi terkait di tingkat kabupaten/kota yang merupakan unsur pimpinan Dinas Sosial Kabupaten/Kota, (3) Pimpinan dari unsur Dinas Sosial Kabupaten Bandung.

2.    Pengolahan Data

a.    Dilakukannya pengolahan data apabila data yang diperlukan sudah terkumpul dengan teknis dan prosedur sebagai berikut� berbagai dokumen yang diperoleh dari data sekunder ditentukan dulu klasifikasinya yang dimaksudkan pengolahan jenis data ini beberapa jenis data faktual yang merupakan klarisifikasi dari data sekunder yang berfungsi untuk menentukan lokus penelitian dan juga mengungkapkan obyek penelitiannya.

b.    Lokus penelitian bisa digambarkan untuk mendeskripsikan mengenai penelitian terutama obyeknya juga kondisi eksitingnya, sebagai penyelenggara tugas dan fungsinya yaitu kondisi Dinas Sosial Kabupaten Bandung sebagai pelayanan sosial, jejaring pembangunan. Untuk mengambil data yang kurang lengkap atau yang dianggap lemah maka kepada pihak-pihak yang terkait dilakukan konfirmasi.

c.    Data yang sudah diperoleh dari para informan penelitian terutama data primer selanjutnya ditentukan klasifikasinya dengan memakai kerangka teori sebagai teori pendukung yaitu kerangka teori dari Bryson dkk, maka disusun sifat data primer dan jenisnya yang berbeda beda terutama latar belakangnya dari unsur informan.

3.      Tahap-Tahap Analisis Data dan Informasi

Analisis data sebagai tahapan-tahapan dari kegiatan analisis data sebagai berikut:

a.    Menganalisis tahapan Data Sekunder: Berbagai dokumen yang sudah diperoleh dan dari sumber lainnya kemudian ditelaah dan disajikan sebagai tahap analisis data sekunder;

b.    Menganalisis tahapan Data Primer: penyajiannya meliputi penelaahan, penafsiran, dan penyimpulan. Tahap ini digunakan untuk menganalisis tahap dari data primer. Makssud dari analisis data primer ini untuk menganalisis dan mendeskripsikan tujuh elemen sebagai penerapannya Collaborative Governance lintas sektor oleh Dinas Sosial Kabupaten Bandung. Supaya efektif di dalam membangun jejaring kerja maka bagi Dinas Sosial Kabupaten Bandung harus berperan sebagai lembaga inisiator didalam penyelenggara SPM.

 

Hasil dan Pembahasan

Kerangka�� kerja�� teoritis� yang digunakan untuk meningkatkan dalam rangka mencapai target SPM adalah yang paling tepat sebagai tindakannya yaitu meningkatkan pencapaian target SPM, Collaborative Governance merupakan perangkat strategis atau� alat yag dipakai oleh� manajer dan pembuat kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan publik. Alat kolaboratif adalah metode untuk memulai dan mendukung kolaborasi antar organisasi. Manajer menggunakan insentif partisipasi, perjanjian formal, pembagian sumber daya, forum deliberatif, dan cara lain untuk membentuk dan mendorong tindakan kolaboratif� (Scott & Thomas, 2017).

Tata kelola kolaboratif menuntut perubahan persepsi tata kerja dari government ke governance dari biasa bekerja terpisah menjadi bersama-sama dengan mitra sehingga ada tujuan bersama, ada kontribusi bersama berbagi kewenangan dan lain-lain. Perubahan kondisi tersebut dalam administrasi publik pada abad terakhir adalah terdapatnya peningkatan kesaling tergantungan antara organisasi publik secara radikal yang mengubah pekerjaan administrator publik (Kettl, 2015) yang sekarang tidak hanya mengelola fungsi dari organisasi mereka sendiri tetapi juga harus membangun hubungan penting dengan pihak lain (Agranoff, 2012).

Temuan tersebut maka merujuk kepada hasil penelitian dari Turrini bahwa konfigurasi keseluruhan untuk efektivitas jaringan termasuk faktor-faktor penentu adalah motif politik dan eksposur mitra jaringan, tata kelola jaringan, komitmen mitra jaringan, kualitas staf, dan kontak pribadi dengan perwakilan lain (Lucidarme, Marlier, Cardon, De Bourdeaudhuij, & Willem, 2014). Salah satu pendekatan untuk melihat efektifitas jaringan adalah dengan melih Jaringan adalah sistem tertanam dalam lingkungan dan memiliki input mereka sendiri (peserta dan organisasi mereka), proses throughput, output, dan hasil (Adamczyk et al., 2017). Proses throughput sebagai "kotak hitam" karena paling kurang dipahami. Namun merupakan komponen yang memungkinkan beroperasinya input dalam mengambil tindakan kolektif (Sullivan et al., 2019) tingkat integritas dari suatu hubungan didalam jaringan.

Model Collaborative Goovernance Lintas Sektor Sebuah Alternatif Solusi Dibahas setelah dianalisis dari hasil penelitian, hipotesis semakin dikuatkan bahwa Dinas Sosial Kabupaten Bandung� sebagai organisasi untuk mencapai target SPM tidak bisa diselesaikan oleh Dinas Sosial atau mitranya secara terpisah tetapi perlu penanganan yang sistemik, terintegrasi dan holistik serta penanganan sebuah sistem sangat dibutuhkan. Setelah dilakukan wawancara pelayanan manajemen dan keputusan yang diambil dilakukan secara terpisah seluruhnya antara Kabupaten/Kota, Perangkat Daerah Provinsi, level Pemerintah (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota), dan sasaran yang ditangani padahal sama yaitu PMKS.

Tumpang tindih penanganan jenis PKM karena perangkat daerah lain sebagai unsur bersama mempunyai kewenangan dan bertindak sebagai leading sector yaitu balita terlantar, anak terlantar, anak jalanan, anak korban trafficking, PMKS (Anak berhadapan dengan Hukum, pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana (DP3AKB) PMKS nya, Perlindungan Anak, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan. Dinas Sosial bersifat penunjang sementara dengan BPBD kebencanaan sebagai leading sector yaitu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat dalam hal terapi psiko sosial korban bencana, peralatan tenda, sandang, dapur umum, permakanan, dan pemenuhan kebutuhan korban bencana yang bersifat penunjang.�

Diperlukan pada tahap awal tersebut dari hasil penelitian yaitu penyiapan SDM yang diperlukan anggota jaringan sebagai pemegang mandat beserta lembaga inisiator ditingkat Kabupaten/Kota maupun Provinsi untuk menjiwai, mengerti, dan memahami bidang sosial terutama konsep Colaborative Governance beserta praktek elemen elemennya sebagai berikut:

1.    Tata Kelola Pemerintahan harus diketahui terutama praktek-praktek dan teori teorinya (kontingensi, dinamis dan emergency).

2.    Pimpinan terutama untuk jajarannya harus, menguasai dan memiliki serta kemampuan tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi pemimpin harus bisa menjadi fasilitatif, kolaboratif, dan memiliki kompetensi juga harus� adaktif.

3.    Pemimpin harus bisa relasional dalam membangun hubungan dan berkomunikasi dengan jajaran non pemerintah maupun dengan mitra antar pemerintah serta bisa membangung jejaring kerja yang terampil.

4.    Sumber daya yang baik yang berada di luar organisasi maupun yang ada di dalam organisasi seorang pemimpin harus bisa dan mahir melakukan negoisasi.

5.    Yang terkait dengan mitra kerja seorang pemimpin harus bisa bersama dan membuat text otoritatif secara mahir yang bisa memberikan nilai publik bisa merencanakan lintas sektor� (formal� maupun emergensi) serta mempunyai dan menguasai keterampilan.

6.    Perundang-undangan serta seluruh aturan-aturan harus dikuasai terutama yang sangat erat hubunganya dengan pelaksanaan mandat mitra kerja, fungsi organisasi, serta pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.

7.    Bisa memecahkan masalah beserta alternative dari masing-masing karakteristik PMKS serta bisa menghadapi masalah dan mampu untuk mengidentifikasi nya.

8.    Memiliki serta mampu memanfaatkan dan menggali sumber daya� yang berada diluar organisasinya. Ketegangan yang mungkin timbul� bisa mengelola dan mampu memprediksi dalam melaksanakan hubungan kolaborasi karena multi pihak didalam interaksi akan timbul karena ada perbedaan perbedaan pendapat.

9.    Mengelola jaringan seorang pemimpin harus mampu� kolaborasi dan mengarahkan secara akuntabel sehingga perencanaan� sesuatu bisa meghasilkan. PMKS ada 5 jenis menurut PP nomor 2 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) yaitu korban bencana, gelandangan dan pengemis, penyandang disabilitas terlantar, lansia terlantar, dan anak terlantar.

PMKS terlantar akan saya bahas nomor 1 s/d nomor 4, karena sistem yang berjalan sudah dimiliki pada kasus penanganan bencana dengan baik. Komunikasi pemangku kepentingan, Kabupaten/Kota, Desa/Kelurahan, juga RT/RW sangat penting sekali untuk komuniasi kerja dan membangun jejaring, supaya efektif perlu dibangun suatu aplikasi jejaring kerja dengan memakai Komunikasi (TIK) serta teknologi informasi tetap harus digunakan.

Kerangka kerja model penerapan memungkinka tersebut diatas bisa menghasilkan analisis terutama teoritis Collaborative Governance lintas sektor dengan kondisi tersebut dan situasi anggota jejaringnya serta Dinas Sosial Kabupaten Bandung. "By design" harus dilakukan karena merupakan inti Collaborative Goovernance lintas sektor, karena harus melalui perencanaan serta menempuh seluruh proses dan tentu situasi-situasi harus dikondisikan supaya seluruh kolaboratif melalui proses dan sukses perjalanannya. Untuk melakukan dengan mudah dalam mengatur situasi dan mengkondisikan harus mengguakan kerangka model kerja teoritis sesuai dengan situasi kedalam dunia praktis dan jejaring kerja berpotensi di bidang sosial di Jawa Barat. Anteseden (Prasyarat awal) merupakan kondisi yang mencerminkan setiap kontak kajian yang akan difokuskan dimana perjanjian sebelumnya harus dibangun kolaborasi sampai akuntabilitas sebagai berikut:

Untuk melaksanakan Collaborative Goovernance lintas sektor berdasarkan dasar hukum tersebut dapat dianalisis dan disimpulkan bahwa Dinas Sosial Kabupaten Bandung yang fungsinya sebagai lembaga yang� menangani urusan sosial di dalam panti (tugas sebagai daerah otonom) dan sebagai penyelenggara kesejahtraan sosial (tugas dekonsentrasi) sebagai mid-level dimana� posisinya untuk membangun pemerintah disini dimungkinkan harus Collaborative Goovernance berbagai sumber daya yang bisa memobilisasi utuk 100% pencapaian target SPM.

Kerangka kerja utama yang dibahas untuk setiap aspek dari uraian ditemukan hal hal sebagai berikut:

1.    beberapa kendala ditemukan pada pra kondisi atau proses antesenden antara lain pemangku kebijakan kurang memahami bahkan Dinas Sosial sendiri tidak mengenal� Multi aktor, multi level dan Collaborative Goovernance lintas sektor.

2.    Karena tidak dipahaminya proses antesenden maka selanjutnya sebuah upaya dibangun yang perlu pemahaman yang bisa memberikan sebuah upaya untuk meningkatkan keterampilan maka eksekutif dan pemerintah maupun legislatif di daerah dan legislatif di pusat harus dibatu oleh lembaga-lembaga� pendidikan yang dilakukan oleh para akademisi.�

3.    Akuisi sumber daya Merujuk penelitian yang dihasilkan oleh (Chen & Roberts, 2010), menurutnya bahwa legitimasi organisasi, prakondisi sisi penawaran, dan karakteristik mitra untuk kolaborasi sangat dipengaruhi. Hasil yang dirasakan pada efek antersenden sangat besar.

Membangun jaringan Collaborative Governance pada kasus ini penulis berkesimpulan berdasarkan temuan di Dinas Sosial Kabupaten Bandung, sasaran untuk tujuan pemenuhan serta target SPM, antesenden pada proses lintas sektor Collaborative Goovernance maka di kerangka teoritis tambahan satu elemen yaitu pra kondisi lembaga inisiator. Organisasi inti atau dikenal sebagai lembaga inisiator sangat berkompetensi untuk membangun kapasitas dalam rangka konteks penelitian yaitu: Dinas Sosial Kabupaten Bandung dengan sub elemen pelayanan berjenjang untuk membangun sistem kolaborasi dan modal manusia harus disiapkan (Human Capital).

�SDM sebagai motor penggerak, maka SDM sebagai sub-sub penambahan dapat memonitor, mengimplementasikan dan mendesain jaringan kelembagaan. Kapasitas disiapkan sehingga diperlukan pada proses proses relevan dan kompetensi SDM, dari manajemen tim datataran pimpinan adalah sangat menentukan sebagai paktor kolaborasi supaya efektifitas. Bergulirnya proses merupakan jenjang Sistem layanan dan bekelanjutan bukan hanya sangat efektif tetapi komunikasi akan terbangun didalamnya, sarana komunikasi dapat dijadikan bukan hanya lapayan pendukung� tetapi dapat dijadikan informasi PMKS terlantar dan pembaharuan data, hal ini untuk semua tingkatan pemerintah akan menjadi informasi dan aplikasi data untuk menginputya.

Terbukanya data pemerintah untuk informasi dan mengelola sangat penting untuk mempromosikan dan membatu serta mendukung terbukanya Collaborative Governance. Pertama jika disediakan dengan cara yang sesuai asimetri pengetahuan bisa mengatasi dan membantu terbukanya data dengan pengetahuan dan informasi yang bisa memberikan akses yang sangat luas. Kedua fakta bersama penemuan dapat difasilitasi dengan pengetahuan berbasis menawarkan dan menerima informasi dari sumbernya. Ketiga kepercayaan dibangun, dasar yang menjadi alasan tersebut untuk informasi terbuka dan pengelolaan data yang dimasukan pada kondisi antesenden sebagai sub-sub elemen.

Kerangka teoritis sebagai model dapat disimpulkan, dengan demikian yang dianggap diadopsi dan cocok oleh Dinas Sosial untuk pencapaian target yang lebih efektif dalam rangka pencapaian SPM bagi kelompok PMKS tertentu. komprehensif sebagai model yang ditetapkan� yang dibuat oleh Bryson dkk, proses antesenden sangat penting dan sub sub elemen dari beberapa elemen sebagai penambahan yaitu elemen pra kondisi lembaga inisiator sebagai kapsitas untuk membangun dan sub sub elemen pengembangan dengan inisiator lembaga kompetensi sebagai kolaboratif pengembangan SDM informasi terbuka, pengelolaan data, dan jenjang layanan sistem.

 

Kesimpulan

Kerangka kerja teoritis yang digunakan sebagai model kerangka dalam penelitian yang dijadikan sebagai landasan teori. Model tersebut hasilnya sebagai penguatan terhadap kerangka kerja bagi organisasi yang paling tepat di Dinas Sosial Kabupaten Bandung dengan jaringan mitra kerjanya dan diharapkan sasaran target dan tujuan SPM diharapkan dapat dioptimalkan pencapaiannya.

Sebagai mayor science penelitian bidang administrasi publik, penelitian ini merupakan minor science ilmu kesejahtraan sosial. Collaborative Governance merupakan manajemen bagian dari ilmu administrasi publik keduanya terdapat irisan, pendekatannya merupakan alat untuk menjadi peningkatan nilai publik dalam memecahkan masalah-masalah� yang dinamis dan kompleks dalam berbagai bidang pemerintahan termasuk di bidang kesejahtraan sosial untuk menciptakan kesejahteraan sosial baik masyarakat, keluarga maupun individu yang bisa membantu kesejahteraan sosial pada bidangnya kondisi masyarakat yang sejahtera akan dipercepat pencapainya dengan mengelola berbagai sumberdaya yang ada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Adamczyk, L., Adkins, J. K., Agakishiev, G., Aggarwal, M. M., Ahammed, Z., Ajitanand, N. N., Alekseev, I., Anderson, D. M., Aoyama, R., & Aparin, A. (2017). Global Λ Hyperon Polarization In Nuclear Collisions. Nature (London), 548(Bnl-114181-2017-Ja). Google Scholar

 

Agranoff, R. (2012). Local Governments In Federal Systems: Intergovernmental Relations In The Governance Era. Panel On Territorial Choice, Multilevel And Governance And Local Democratic Accountability. 22nd Ipsa World Congress. Google Scholar

 

Ansell, C, & Gash, A. (2007). Collaborative Governance In Theory And Practice Journal Of Public Administration Research And Theory Advance Access Published November 13. Collaborative environmental governance: achieving collective action in social-ecological systems. Science. Google Scholar

 

Ansell, Christopher. (2014). Pragmatist Democracy : Evolutionary Learning As Publik Philosophy. New York: Oxford University Press, Inc. Google Scholar

 

Baharudin, Baharudin, Maulana, Agus, & Aprilian, Yaswar. (2020). Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen Pada Cv Rajawali Graha Motor Tembilahan. Literacy: Jurnal Ilmiah Sosial, 2(1), 8�15. Google Scholar

 

Bryson, John M., Patton, Michael Quinn, & Bowman, Ruth A. (2011). Working With Evaluation Stakeholders: A Rationale, Step-Wise Approach And Toolkit. Evaluation And Program Planning, 34(1), 1�12. Google Scholar

 

Charalabidis, Yannis, Koussouris, Sotiris, Lampathaki, Fenareti, & Misuraca, Gianluca. (2012). Ict For Governance And Policy Modelling: Visionary Directions And Research Paths. In Empowering Open And Collaborative Governance (Pp. 263�282). Springer. Googe Scholar

 

Chen, Jennifer C., & Roberts, Robin W. (2010). Toward A More Coherent Understanding Of The Organization�Society Relationship: A Theoretical Consideration For Social And Environmental Accounting Research. Journal Of Business Ethics, 97(4), 651�665. Google Scholar

 

Donahue, John D., & Zeckhauser, Richard J. (2011). Collaborative Governance. Princeton University Press. Google Scholar

 

Holzer, Adrian, Kocher, Bruno, Bendahan, Samuel, Von�che Cardia, Isabelle, Mazuze, Jorge, & Gillet, Denis. (2020). Gamifying Knowledge Sharing In Humanitarian Organisations: A Design Science Journey. European Journal Of Information Systems, 29(2), 153�171. Google Scholar

 

Kettl, Donald F. (2015). The Transformation Of Governance: Public Administration For The Twenty-First Century. Jhu Press. Google Scholar

 

Lucidarme, Steffie, Marlier, Mathieu, Cardon, Greet, De Bourdeaudhuij, Ilse, & Willem, Annick. (2014). Critical Success Factors For Physical Activity Promotion Through Community Partnerships. International Journal Of Public Health, 59(1), 51�60. Google Scholar

 

Ratminto, Atik Septi Winarsih. (2005). Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar

 

Scott, Tyler A., & Thomas, Craig W. (2017). Unpacking The Collaborative Toolbox: Why And When Do Public Managers Choose Collaborative Governance Strategies? Policy Studies Journal, 45(1), 191�214. Google Scholar

 

Sullivan, John T., Mcgee, Thomas J., Stauffer, Ryan M., Thompson, Anne M., Weinheimer, Andrew, Knote, Christoph, Janz, Scott, Wisthaler, Armin, Long, Russell, & Szykman, James. (2019). Taehwa Research Forest: A Receptor Site For Severe Domestic Pollution Events In Korea During 2016. Atmospheric Chemistry And Physics, 19(7), 5051�5067. Google Scholar

 

Wijaya, Vincentius Andhika. (2020). Analisis Kesalahan Tata Kelola Rupbasan. Literacy: Jurnal Ilmiah Sosial, 2(2), 88�100. Google Scholar

 

 

Copyright holder:

Ai Nunung (2021)

 

First publication right:

Journal Syntax Literate

 

This article is licensed under:

�