���������� ������������������������������ Syntax Literate :
Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849
����������� e-ISSN : 2548-1398
����������� Vol. 3, No 2 Februari 2018
REKONSTRUKSI
NEGARA HUKUM PANCASILA DALAM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN DI INDONESIA BERDASARKAN
UUD 1945
Mohammad Sigit
Gunawan
Universitas
Swadaya Gunung Jati
Email:
[email protected]
Abstrak
Pada awal pembentukannya Indonesia didaulat sebagai
negara yang berkeadilan dan berkemanusiaan sebagaimana yang tertuang dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dengan merujuk dari penjalasan di atas, dapat
dikatakan bahwa sedari dulu Indonesia adalah negara yang dibentuk untuk menjadi
negara hukum. Namun pada perkembangannya tidak demikian. Terdapat banyak
penyimpangan terkait hukum. Karya tulis ini berpendekatan kualitatif dengan
analisis deskriptif. Data dikumpulkan dari sumber literatur yang menyangkut
tentang Indonesia sebagai negara hukum. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan
awal bahwa Indonesia masih belum menjalankan negara hukum sebagaimana yang
dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 sehingga menjadi sebuah
kewajiban untuk melakukan rekonstruksi negara hukum agar penyelenggaraan
kekuasaan di Indonesia berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila.
Kata Kunci: Rekonstruksi
Negara Hukum, Penyelenggaraan Kekuasaan.
Pendahuluan
Paham negara hukum merupakan obyek studi yang bisa dibilang
selalu aktual (Thaib: 2000). Hanya saja paham terkait rechtsstaat maupun paham rule
of law dalam praktiknya masih dipertanyakan. Hal ini dapat dimengerti.
Sebab pengertian bersih mengenai praktik negara hukum seringkali mengalami
degradasi, sehingga tidak mengherankan apabila terjadi kesenjangan yang cukup
signifikan antara cita-cita universal negara hukum yang terdapat pada konstitusi
dengan praktiknya. Pandangan demikian wajar, sehingga studi tentang negara
hukum sangat penting untuk dilakukan secara sistematis-metodelogik, mengingat
hal tersebut akan sangat membantu dalam memahami pola dasar negara hukum secara
komperhensif, tidak saja pada dunia akademis tetapi juga bagi praktik
kenegaraan (Mahfud MD: 1993). �
Kekuasaan
hegemonik yang keluar dari koridor cita-cita negara hukum, tidak saja
melahirkan absolutisme, akan tetapi lebih dari pada itu akan melahirkan negara
barbarian. Kondisi negara bangsa semacam ini cenderung menginjak-injak hak-hak
asasi warga negaranya, yang pada akhirnya menciptakan sistem kenegaraan yang
serba tidak-menentu, dimana kebangkitan politik identitas (primordialisme), yang disertai dengan menguatnya daya tarik
kebangkitan rasa kedaerahan, yang diikuti oleh melunturnya tingkat pertautan
hubungan antaranggota masyarakat (degree
of cohesiveness) yang akan membawa negara dan� bangsa pada disintegrasi.
Beberapa tahun ke belakang terdapat beberapa pihak yang mempertanyakan kembali praktik negara hukum yang dipegang teguh negara, dimana kondisi semacam ini kemudian didukung oleh keyakinan bahwa praktik negara hukum dalam arti sesungguhnya akan mampu memperbaiki sistem ketatanegaraan yang carut-marut, yang demikian diharapkan mampu memberi peningkatan pada keterampilan seluruh pranata hukum dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi masyarakat untuk berperan aktif. Kiranya hal ini menemukan kebenarannya bahwa tanpa kontrol yang kuat dari masyarakat maka kekuasaan akan menguat dan cenderung memunculkan penyimpangan-penyimpangan.
Banyak peristiwa yang terjadi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, dimana idiom negara hukum menjadi fokus utama dalam kajian hukum ketatanegaraan, mengingat sejarah kenegaraan demikian seringkali menempatkan kekuasaan menjadi titik sentral penyelenggaraan kekuasaan, sehingga cenderung kekuasaan berjalan tidak didasarkan pada hukum, tentu saja hal demikian berakibat pada kekuasaan negara yang absolutisme, yang kemudian bermuara pada sistem kenegaraan yang otoriter. Artinya perjalanan tentang Indonesia yang dipandang sebagai negara hukum masih perlu diperhitungkan dengan faktor-faktor yang ada di dalam kehidupan masyarakat, sehingga tidaklah mengherankan apabila cita-cita universal mengenai negara hukum yang diletakkan dalam konstitusi seringkali tidak selaras dengan praktiknya.
Fenomena sosial semacam ini kemudian diperparah dengan melunturnya tingkat pertautan hubungan antara anggota masyarakat dengan aparatur negara. Kondisi semacam ini kemudian mempengaruhi praktik negara hukum terutama pada beberapa negara berkembang seperti Indonesia yang bermuara pada cita-cita negara hukum yang berkeadilan sosial dan demokratis mengalami deletigimasi secara menyeluruh.
Setiap manusia di dunia ini selalu mempunyai tujuan hidup, dalam
mencapai tujuan hidup tersebut, maka manusia diproteksi atau
dilindungi oleh suatu ilmu yang disebut sebagai hukum. Eksistensi hukum di negara ini memang terbilang
memprihatinkan di mata masyarakat. Sebagaimana
diketahui hukum telah menyimpang dari perlindungan kepentingan-kepentingan
konstitusional dan tujuan-tujuan sah tindakan negara yang berorientasi pada struktur hukum dalam bingkai negara
demokratis.
Transformasi
masyarakat primodialisme menuju masyarakat modern, memaksa paham negara hukum
untuk menyesuaikan diri. Struktur politik-ekonomi kolonialisme yang menempatkan
paham negara hukum sebagai instrumen pokok untuk melegalisasi setiap kebijakan
rezim, melahirkan dan melanggengkan struktur politik otoriter-abslutisme yang
mengharuskan semua kekuatan sosio-politik tunduk dan melayani kepentingan serta kehendak
rezim.
Demokrasi dan otoriterisme memang kerap muncul
dengan bergantian dalam satu sudut linier pada masing-masing periode
konfigurasi otoriter. Mengamini hal tersebut perkembangan karakter hukum negara
pun cenderung tarik ulur secara bergantian. Tarik ulur tersebut melibatkan
produk hukum dengan karakter konservatif dengan kecenderungan linier yang
serupa. Bahkan dari sana penulis dapat beranggapan bahwa produk hukum adalah
sesuatu yang amat mudah berubah�dalam artian berkembang�sejalan dengan
konfigurasi politik suatu negara. Meskipun kepastiannya bervariasi,
konfigurasi politik yang demokratis senantiasa diikuti munculnya produk hukum
yang responsif/otonom, sedang konfigurasi politik yang otoriter kerap
kali diikuti oleh kemunculan hukum yang konservatif dan/atau ortodoks.
Konfigurasi sebagaimana yang dimaksud umumnya dicirikan dengan munculnya dorongan elit penguasa untuk bertindak memaksanakan persatuan, menghapus opisisi secara terbuka, meningginya peran dan/atau dominasi pemimpin negara dalam pengambilan kebijakan negara hingga dominasi kekuatan politik mayoritas dalam kepentingan politik negara. Dalam mengidentifikasi apakah suatu konfigurasi politik demokratis atau otoriter (Ariyanto: tanpa tahun), maka indikator-indikator yang diaplikasikan adalah peranan Partai Politik (Parpol) juga badan sekelas �lembaga yang menjadi wakil rakyat, kebebasan pers dan peranan pemerintah. Guna melihat lebih jauh tentang jenis produk hukum responsif maupun ortodoks, maka indikator dipergunakan adalah proses pembuatan terkait sifat dan fungsinya juga kemungkinan penafsirannya. Permasalahan besar yang seringkali muncul dalam praktik ketatanegaraan Indonesia adalah keberlangsungan bias-bias pemahaman dan spirit dari gagasan negara hukum itu sendiri, dimana terdapat kecenderungan pragmatis yang terfokus pada sekedar mengimplementasikan rumusan, kriteria, indikator dan intrusmentasi negara hukum. Oleh karena hal tersebut peneliti kemudian melangsungkan penelitian dengan judul �Rekonstruksi Negara Hukum Pancasila dalam Penyelenggaraan Kekuasaan di Indonesia Berdasarkan UUD 1945.�
Metode Penelitian
Secara umum penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Metode kualitatif sendiri cenderung pada penelitian dengan
orientasi pola-pola induktif. Irawan (2006) menjelaskan bahwa penelitian ini
tidak dimulai dengan mengajukan hipotesis, melainkan memulai dengan
mengumpulkan data sebanyak-banyaknya kemudian dianalisis baik dari sisi hukum,
pola hingga prinsip. Dari analisis tersebut barulah peneliti mengungkapkan
kesimpulan yang diperoleh dari bahan analisis yang telah dilakukan.
Studi kepustakaan dipilih sebagai teknik
pengumpulan data penelitian. Teknik ini memungkinkan peneliti untuk memperoleh
informasi dari sumber literatur�meliputi buku, majalah, koran hingga karya
tulis ilmiah�yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti. Data-data yang
diperoleh dari sumber literatur di atas kemudian dianalisis dan dijabarkan
menggunakan pola analisis deskriptif untuk kemudian ditarik kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Istilah �negara hukum�, mengingatkan pada konsep �rechtsstaat� Eropa Kontinental,
sebagaimana yang tercermin dalam konstitusi negara-negara di abad ke-IX. Selain
istilah rechtsstaat, pada tahun 1966
negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo
Saxon memperkenalkan pula istilah negara hukum dengan sebutan Rule of law yang berakar pada sistem
hukum Common Law, yang dicetuskan
oleh pemikir-pemikir hukum Inggris yang kemudian diartikan sebagai negara
hukum. Pandangan negara hukum tersebut di Indonesia mendapat dukungan dari
Sunaryati Hartono, Ismail Sunny� dan
Sudargo Gautama, sementara di Amerika Serikat mengistilahkan negara hukum
dengan sebutan lain, yakni government of
law, but not of man.
Harus disadari bahwasanya negara hukum Indonesia
bertitik-tolak pada Proklamasi 1945, dan tidak sepenuhnya dibangun dari gagasan
�rechtsstaat� atau pun �rule of law�, melainkan falsafah negara
yang tidak lain adalah Pancasila. Gagasan negara hukum Indonesia pada dasarnya
menganut prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial yang merupakan
pengejewantahan dari persepsi pendiri negara Republik Indonesia atas kenyataan
sejarah bangsa (Garuda: 1988). Ini berarti bahwa negara berlandas hukum yang
dicita-citakan oleh bangsa Indonesia adalah negara hukum yang merupakan
penolakan terhadap setiap bentuk pemerintahan otoriter-absolutisme dan
sekaligus penolakan terhadap struktur sosial yang timpang.
Secara formiil gagasan negara hukum Indonesia dapat
ditemukan pada Mukadimmah UUD 1945 pada alinea ke I yaitu kata-kata �Peri
Keadilan�, alinea ke II, kata �Adil� dan alinea ke IV di kata �keadilan Sosial�
dan �kemanusiaan yang Adil�. Istilah negara hukum, walaupun tidak secara tegas,
dapat ditemukan pada penjelasan umum UUD 1945, mengenai sistem negara yang
menyatakan Indonesia sebagai sebuah negara hukum�atau disebut rechtstaat�bukan machstaat atau yang berarti negara kekuasaan.
Selain itu istilah negara hukum, dapat ditemukan pada
alinea ke-4, Mukadimah Konstitusi RIS tahun 1949, sebagai paham
ketatanegaraannya, yang secara tegas menyatakan bahwa; untuk mencapai
kesejahteraan, kebahagiaan hingga kemerdekaan pada masyarakat, maka Indonesia
sebagai negara dengan orientasi hukum haruslah berdaulat dengan sempurna, yang
kemudian dipertegas oleh Pasal 1 (1) Konstitusi RIS, yang menyatakan bahwa Republik
Indonesia Serikat yang berdaulat juga merdeka adalah negara hukum yang
senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi bangsa juga berbentuk federal. Istilah
negara hukum, juga dapat dijumpai pada Pasal 1 (1) UUDS 1950, yang secara tegas
menyatakan bahwa Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah suatu
negara hukum yang demokrasi dan berbentuk kesatuan.
Menurut Kansil istilah negara hukum yang digunakan oleh
Pasal 1 (1) Konstitusi RIS 1949 dan Pasal 1 (1) UUDS 1950, merupakan negara
politik yang menganut sistem demokrasi, dimana dalam penyelenggaraan
kekuasaannya, negara dibatasi oleh asas-asas hukum (democratiche rechtstaat), artinya paham negara hukum dalam hal ini
bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi lebih merupakan paham negara politik,
dimana hukum menjadi bagian dalam pelaksanaan pemerintahan.
Ismail Saleh sebagaimana yang dikutip oleh Mulyana W.
Kusuma dan kemudian dikutip oleh Moh. Mahfud MD, tanpa menjelaskan dan
mempermasalahkan paham tentang konsep negara hukum yang dipegang Indonesia,
menyatakan bahwa:
��
Republik Indonesia adalah Negara Indonesia didasakan atas hukum (rechtstaat)
bukan atas dasar kekuasaan belaka (machtstaat), hal ini mengandung makna
bahwasannya negara yang didasarkan atas hukum, hukum harus menampilkan perannya
secara mendasar sebagai titik sentral dalam kehidupan orang perorang,
masyarakat maupun berbangsa dan bernegara�.
Negara
hukum yang demikian menurut persepektif resmi dalam konstitusi negara,
mencerminkan bahwa dalam penyelenggaraan negara hukum, hukum menjadi asas
terpenting dalam mengatur tiap-tiap sendiri kehidupan dalam pola berbangsa dan
bernegara (Mahfud: 1999). Tentu saja Konsekuensi logis dianutnya paham negara
hukum demikian, akan adanya tuntutan dari masyarakat untuk menjadikan hukum
sebagai pusat semua kegiatan ketatanegaraan, yang mengatur dan mengarahkan
semua kehidupan baik institusional maupun perseorangan, sehingga terciptanya
keselarasan antara paham negara hukum dalam praktik kenegaraan.
Menurut Mahfud M.D Indonesia
mengambil konsep prismatik atau integratif dari konsepsi negara hukum, antara rechtstaats dan the rule of the law. Prinsip kepastian hukum pada rechstaats disejajarkan dengan
prinsip-prinsip the rule of the law, yang
bermura pada hak asasi setiap manusia Indonesia. Berdasarkan pandangan Mahfud MD
tersebut, bahwa sistem hukum yang terkandung dalam Pancasila adalah sistem yang
lekat dengan Indonesia, yang dimana, sistem tersebut diambil dari setiap segi
terbaik dari kedua sistem hukum tersebut. Di sisi yang berbeda sistem itu juga
menghendaki penegakan hukum pada tiap-tiap keadilan substansial dengan memegang
aturan-aturan hukum formal.
Guna mendukung keterwujudan
sistem negara sebagaimana yang telah dimaksud,�
prinsip pokok negara hukum baiknya benar-benar perlu diterapkan. Jimly
dalam bukunya telah menerangkan 13 prinsip negara hukum yang merupakan
penggabungan dari konsep rechtstaats
dan the rule of law, yaitu:
a.
Supremasi hukum;
b.
kesejajaran hukum;
c.
Asas Legalitas;
d.
Pembatasan kekuasaan sebagaimana
tertuang dalam Undang-Undang Dasar;
e.
Aktifnya organ indipenden yang saling
mmberi kendali;
f.
Prinsip keadilan yang sebenar-benarnya
adil tanpa keberpihakan;
g.
Adanya usaha Peradilan Tata Usaha
Negara;
h.
Adanya upaya peradilan tatanegara;
i.
Adanya jaminan dan/atau keterlindungan
HAM;
j.
Demokratis;
k.
Memiliki peran sebagai sarana untuk
mencapai tujuan negara;
l.
Terdapatnya pers yang bebas dan
pengelolaan kekuasaan yang transparan juga akuntabel dengan sistem mekanisme
kontrol sosial;
m.
Ketuhanan Yang Maha Esa. (Jimly: 2008).
Penerapan dua sistem hukum
ini di Indonesia ditimbulkan karena meningginya dinamika sosial masyarakat yang
menghendaki penerapan hukum yang mencerminkan kepastian hukum, keadilan, dan
kemanfaatan. Pada satu sisi yag berbeda, yang juga terkait dengan negara hukum,
beberapa tokoh Eropa Kontinental telah mengembangkan rechsstaat sejak lama. Akan tetapi, sebagaimana konsep dan pola
terdahulu, pola dan konsep negara hukum ini pun masih memiliki kelemahan. Oleh
karena alasan tersebut, akulturasi konsep Anglo
Saxon dapat dilakukan dan menjadi jalan terbaik mengembangkan konsep negara
hukum tanpa menghilangkan unsur-unsur yang terdapat pada rechsstaat. �
Kesimpulan
Gagasan
negara hukum (Rechtsstaat) yang
didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan nilai keadilan sosial menghendaki
adanya penyelenggaraan negara yang seimbang, serta adanya lembaga peradilan
yang bebas, mandiri dan tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh
eksekutif, yang kemudian diharapkan dapat�
menjamin hak asasi manusia ternyata tidak menjadi hal penting menurut
rezim penguasa saat ini. Hal ini kemudian diperparah dengan perilaku dan
kebijakan rezim berkuasa lebih banyak berpihak pada pemilik modal dari pada
kepentingan rakyat banyak. Salah satu contoh hilangnya kepekaan pemerintahan
yang mencabut subsudi 9 (sembilan) bahan Pokok (sembako) bagai rakyat
Indonesia.
Menjamurnya
komisi-komisi negara yang merupakan upaya rezim untuk membentengi kekuasaannya
yang tercerai berai akibat arus reformasi pertengahan 1998, dan maraknya KKN
menjadi gambaran buram bagi keberlangsungan praktik negara hukum itu sendiri,
dimana kondisi semacam ini menjadikan gagasan negara hukum yang semula
diorentasikan pada rasa keadilan, menjadi tidak relevan untuk dijadikan rujukan
memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemikiran yang
responsif-progresif sebagai metode untuk mendorong bagi percepatan proses
perubahan sosial sebagaimana yang dinyatakan oleh Paul dan Dien sebagaimana
yang dikutip oleh A.H. Garuda Nusantara yakni menghendaki kelompok masyarakat
sebagai pemegang peranan penting dalam penyelenggaraan negara hukum (garuda:
2002), menjadi suatu hal yang sulit untuk diwujudkan, dimana kekuasaan
eksekutif pada semua sendi kehidupan bernegara menjadi faktor penentu dalam
implementasi negara hukum itu sendiri. Hal ini kemudian dibarengi oleh
banyaknya peraturan perundang-undangan yang membelenggu kekuasaan lembaga
negara lainnya.
Agenda reformasi, tergantung dari arti tatanan yang
diberikan terhadap tatanan yang perlu direformasi. Bila tatanan hukum yang
perlu direformasi maka sistem hukum berupa substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure), sumber daya manusia (human resource), dan budaya hukum (legal culture) adalah sesuatu yang
kemudian direformasi. Namun bila tatanan hukum itu diartikan sebagai kaidah-kaidah
hukum, maka lingkup reformasi hukum terbatas pada reformasi kaidah-kaidah
hukum, khususnya peraturan perundang-undangan.
Di samping reformasi hukum di bidang politik, ekonomi dan
media massa, reformasi hukum perlu pula dilakukan terhadap Undang-Undang di
bidang kesehatan dan pertahanan keamanan. A. Ramlan Surbakti pernah menerangkan
bahwa negara yang dianggap kuat tidak melulu sama dengan pemerintah yang
berkuasa. Menurutnya pemerintahan yang kuat berartil; memiliki legitimasi dari
rakyat karena mendapatkan kekuasaan berdasarkan hasil pemilu yang kompetitif
dan adil, melakukan tindakan berdasarkan persetujuan badan perwakilan rakyat, menggunakan
kekuasaan berdasarkan konstitusi dan undang-undang, mempertanggungjawabkan penggunaan
kewenangannya kepada badan permusyawaratan dan perwakilan dan secara hukum
kepada badan peradilan, menggunakan kewenangan publik berdasarkan moralitas
publik (Subakti: 1988). Berdasarkan argumentasi tersebut, maka untuk mendukung
sistem dan mekanisme yang dapat menempatkan pemerintah dalam posisi yang kuat
secara politik, ekonomi, hukum dan sosial, bukan dengan menempatkan posisi dan
wewenang lembaga kepresidenan sebagai penentu kebijakan-kebijakan penting
tersebut secara top down, namun
dibutuhkan sistem dan mekanisme yang efektif dan demokratis dalam menggerakkan
roda penyelenggaraan pemerintahan di kemudian hari, yang akan mengeliminasi
kecenderungan penyimpangan kekuasaan.
Dengan demikian pengkajian
kembali terhadap konsep kekuasaan Presiden yang �Tidak Tak Terbatas� sangat
penting untuk ditelaah kembali, untuk menghindari keterjebakan pada sistem
kenegaraan yang monarchi-absolutisme,
untuk itu setidaknya ada beberapa hal yang patut untuk dilakukan; 1) Pendefinisikan
ulang konsep Presiden RI sebagai Kepala Negara, sebagai Mandataris MPR, sebagai
Kepala Pemerintahan dan sebagai Panglima Tinggi ABRI. Kebutuhan redefinisi
terhadap konsep-konsep kedudukan Presiden RI sudah sangat mendesak. 2) Pemberdayaan
supra struktur politik dengan memberikannya kemandirian dalam mekanisme rekruitmen
(pengisian jabatan), kemandirian dalam pengambilan keputusan serta transparansi
kelembagaan. Negara-negara demokrasi pada umumnya mendelegasikan kekuasaan
untuk menjalankan roda kenegaraan dan pemerintahan kepada lembaga-lembaga
negara yang masing-masing memiliki kewenangan yang terpisah dan mandiri.
Mekanisme ini dijalankan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip kemandirian dari
tiap-tiap lembaga tersebut, bahkan sebaliknya kemandirian (non intervensi)
menjadi pedoman dalam pelaksanaan fungsi masing-masing lembaga.
Mekanisme ini akan
mengurangi kendala psikologis, administratif dan politis bagi pengisi jabatan
dalam menjalankan fungsinya (Hardono: 1997). Yang terpenting, dalam penyelenggaraan kelembagaan
tersebut harus diiringi dengan mekanisme yang transparan, sehingga peranan
kontrol tidak hanya berputar di lingkaran elit saja, tapi juga melibatkan peran
serta masyarakat dan infrastruktur politik secara luas. 3) Pemberdayaan
infrastruktur politik dan masyarakat dengan cara pembukaan peluang untuk berpartisipasi
yang didukung oleh transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan penyediaan
akses informasi yang memadai. Selama masa Orde Baru partisipasi masyarakat
secara luas diarahkan pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh
para elit penguasa.
Paradigma sentralistis yang
menempatkan negara yang diwakili oleh birokrasi sebagai aktor utama dalam
kebijakan publik telah banyak mendapatkan kritik dari para penganut paradigma
partisipasi masyarakat (kedaulatan rakyat) (Indra: 1998). Doktrin Montessqieu tentang trias politica, merupakan acuan dasar bagi sistem ini. Ia membagi
kekuasaan negara ke dalam kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di
Perancis misalnya, membentuk lembaga penasehat (council de �etat) dan juga Indonesia yang membentuk lembaga
penasehat (DPA) dan lembaga pemeriksa keuangan negara (BPK). Pemisahan
kekuasaan yang menurut Montessqieu
mutlak antara tiap lembaga-lembaga tersebut juga sudah mengalami pergeseran,
mekanisme yang justru banyak dipergunakan di negara-negara modern adalah
mekanisme check and balance.
Selain itu pendekatan yang
sentralistis juga menyebabkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi
dan politik tidak berjalan secara optimal. Oleh karenanya keterlibatan dan peran
aktif masyarakat, dalam rangka kontrol atas pelaksanaan negara hukum, baik
langsung atau tidak langsung, seyogianya memahami dengan baik hal-hal yang
berhubungan dengan doktrin negara hukum yang dianut oleh negara Indonesia,
termasuk dalam hal pembentukan komisi-komisi negara yang sesungguhnya tidak
relevan dan tidak memilik akar pada doktrin negara hukum yang dianut oleh
Indonesia. Perubahan dan pembenahan terhadap UUD 1945 oleh MPR, seharusnya
memperhatikan� subtansi, sistematikanya
maupun bahasa yang digunakan, sehingga tidak�
menimbulkan tafsir ganda, selain mencabut peraturan perundangan-undangan
yang ekspolitatif, diskriminatif termasuk peraturan perundang-undangan
yang bertentangan dengan semangat konstitusi.
BIBLIOGRAFI
A.M
Fatwa. 2004. Melanjutkan Reformasi
Membangun Demokrasi: Jejak Langkah Parlemen Indonesia Periode 1999-2004.
Jakarta: RajaGrafindo Persada,
Amiruddin
dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar� Metode�
Penelitian� Hukum. Jakarta: �PT RajaGrafindo Persada
Azhary.
1995. Negara Hukum Indonesia. Jakarta:
UI Press
Dimyati
Khudzaifah. 2004. Teorisasi Hukum Studi
Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1999 Surakarta:
Muhammadiyah University Press
Franz
Magnis Suseno. 1994. Etika
Politik-Prinsip-Prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramdia
Pustaka Utama.
HM
Wahyudin Husein & H Hufron. 2008. Hukum,
Politik & Kepentingan. Yogyakarta: LaksBang Pressindo & Pusderankum.
Jimly
Asshiddiqie. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer
Mahfud
MD. 1993. Perkembangan Politik Hukum,
disertasi doctor dalam Ilmu Hukum. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Mahfud
MD, Moh. 2007. Perbedaan Hukum Tata
Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Banjarmasin: Rajawali Press.
Mahfud
MD, Moh. 1998. Pergulatan Politik dan
Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media.
Mukthie
Fadjar. 2003. Reformasi Konstitusi Dalam
Transisi Paradigmatik. Malang: In-TRANS
Muladi.
2002.� Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: �The Habibie Center.
Mulyana
W. Kusumah. 1986. Perspektif Teori dan Kebijaksanaan Hukum. Jakarta: Rajawali.
Padmo
Wahjono. 1986. Indonesia Negara
Berdasarkan Atas Hukum. Cet Ke 2. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rahardjo,
Satjipto. 1985. Beberapa Pemikiran
tentang Ancangan antar disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung:
Sinar Baru.
Raharjo,
Sutjipto dan Ulfra. 2009. Negara Hukum
yang Membahagiakan Rakyat. Yogyakarta: Genta Publishing.
Soehino.
2003. Ilmu Negara. Yogyakarta:
Penerbit Liberty.
Sunaryati
Hartono. 1976. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung: Alumni