������������� ����������������������� Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia � ISSN : 2541-0849

�������� e-ISSN : 2548-1398

�������� Vol. 3, No 2 Februari 2018

 

 


PERLINDUNGAN HUKUM ISLAM TERHADAP ISTRI YANG DITUDUH MELAKUKAN ZINA OLEH SUAMI

 

Montisa Mariana

Universitas Swadaya Gunung Jati

Email: [email protected]

 

Abstrak

Hukum Islam merupakan rahmat bagi semesta alam, dimana Islam menjaga kehormatan bagi seluruh manusia. Termasuk diantaranya di dalam aspek kehidupan berumah tangga. Ketika terjadi perselisihan antara suami dan istri yang didasari oleh tuduhan melakukan zina, Islam pun mengatur tata cara dan aturan nya. Seorang suami tidak dapat serta merta menuduh istrinya berzina tanpa adanya bukti dan persaksian yang kuat. Hal ini didasari bahwa di dalam Islam diharuskan selalu berprasangka baik (Berhusnuudzon) dan adanya larangan untuk membuka aib. Penelitian ini bermetodekan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi literatur. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa dalam peristiwa suami menuduh istri telah berzina, berarti antara suami istri tersebut tidak saling mempercayai lagi satu sama lain. Maka setelah suami bersumpah Li�an yang diikuti pula oleh istrinya dengan bersumpah yang sama untuk menolak tuduhan suaminya, perkawinan mereka diputuskan untuk selama-lamanya, mereka tidak mungkin lagi kembali hidup bersama-sama sebagai suami istri.

 

Kata Kunci: Dituduh Melakukan Zina, Hukum Islam

 

Pendahuluan

Secara sederhana hukum dibedakan menjadi dua yaitu hukum positif (Hukum Indonesia) dan hukum agama (dalam hal ini Hukum Islam). Hukum positif Indonesia adalah peraturan perundang-undangan yang rumuskan oleh badan legislatif dan eksekutif. Sedangkan hukum Islam sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (Al�Quran) dan Rasul-Nya (Hadist, syariah) atau hasil pemahaman ulama terhadap ketentuan ketentuan (Fiqih) untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan benda (Rohidin: 2007).

Tujuan Hukum Islam sebenarnya adalah kemaslahatan hidup agar lebihbahagia dan selamat. Dan tentunya kemaslahatan tersebut tidak hanya bertujuan untuk kebaikan di dunia, melainkan juga kebaikan di akhirat. Abu Ishaq Al Shatibi (m.d 790�1388) (dalam Moh. Daud Ali: tanpa tahun) merumuskan lima tujuan hukum Islam, (yang mana disebut juga dengan Al Maqasid Al Khamsah / Al � Maqasid Al Shariah) yakni memelihara:

1.      Agama

Tujuan pemeliharaan agama tidak lain adalah untuk menjaga dan/atau memelihara muruah pedoman hidup kaum muslim. Selain daripada itu tujuan hukum Islam ini juga mengakomodir komponen akidah. Oleh karena hal tersebut hukum Islam sudah sepatutnya melindungi agama.

2.      Jiwa

Pemeliharaan jiwa tidak lain adalah untuk menjamin kebebahasan pengaplikasian hak asasi manusia. Secara sederhana pemeliharaan ini dilakukan untuk menjaga manusia dari perbuatan tidak memanusiakan manusia seperti perbuatan aniaya hingga menghilangkan nyawa.

3.      Akal

Pemeliharaan akal bertujuan untuk menjaga manusia agar selalu berpikir logis dan berpengetahuan. Tanpa adanya akal manusia akan sulit berkembang dan hidup. Melalui akal pula manusia akan melaksanakan hukum Islam dengan lebih bijak dan baik. Sehingga, dalam pelaksanaannya, hukum tersebut akan dijalani dengan tanpa dan/atau minim pelanggaran. Pada akhirnya pemeliharaan akal merupakan satu dari bagian tujuan penegakan hukum Islam. Adapun alasan terkait hal tersebut telah penulis jelaskan dalam uraian di atas.

4.      Keturunan

Keturunan adalah satu dari sekian syarat untuk menjadi ahli waris. Keturunan juga sebagian dari syarat pemberian tahta dan/atau jabatan bila dalam lingkup kerajaan. Melalui pemeliharaan keturunan Islam menjamin keberlangsungan hidup generasi penerus ke arah yang lebih baik.

5.      Harta

Harta walau tidak menjadi hal yang begitu primer menurut para kalangan namun keberadaannya tetap memiliki peran. Harta memungkinkan manusia untuk dapat bertahan di tengah hidupnya. Harta pula dapat menjadikan manusia menjadi makhluk yang tamak dan gila dunia. Begitu pun dengan sebaliknya. Oleh karena itu, menjauhkan hal buruk terkait harta, Islam kemudian menjamin kebaikan harta melalui hukum Islam.

����������� Kelima tujuan di atas menekankan pada persoalan empirik atau yang sehari-harinya melingkupi kehidupan manusia. Agama, jiwa, akal, harta dan keturunan merupakan aspek-aspek yang harus dihadapi oleh manusia dalam menjalankan kehidupan.

����������� Islam adalah agama yang sangat mengagungkan perempuan. Allah pun sangat menghargai perempuan karena perempuan adalah makhluk mulia walaupun diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (seperti hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam As). Namun ternyata kenyataan bahwa Allah sangat menghargai perempuan terkadang ditafsirkan berbeda oleh umat Islam sehingga banyak menimbulkan tafsiran yang berbeda.

����������� Di Indonesia pun, banyak perempuan yang masih terpinggirkan. Hal ini dipacu oleh adanya budaya patriarki yang begitu kuat mengakar. Apabila kita runut, terjadinya kesewenang-wenangan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki, memang terjadi karena kuatnya budaya patriarki di Indonesia. Hal tersebut sudah sangat lama terjadi, dan salah satu tandanya adalah perbedaan yang diberikan sangat jelas terhadap laki-laki dan perempuan. Pada zaman dulu, laki-laki mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, sedangkan perempuan tidak mempunyai kesempatan untuk bersekolah dan hanya diam dirumah karena nasibnya sudah ditentukan, yaitu nantinya akan menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Walaupun ada perubahan di zaman RA Kartini, dimana beliau sudah memperjuangkan kepentingan kaum perempuan agar perempuan dapat mengapresiasikan diri dan menyejajarkan diri dengan laki�laki, walaupun tetap tidak boleh melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan.

����������� Apabila kita melihat dari sejarah Islam, di zaman jahiliah, yakni di awal perjuangan Nabi Muhammad SAW, dalam menegakkan ajaran Islam, perempuan pun kedudukannya masih jauh dibawah laki-laki bahkan terkesan tidak diakui kedudukan dan kegunaannya. Di zaman ini, perempuan hanya menjadi objek kultural yang sesat. Perempuan tidak mendapatkan perlakuan yang manusiawi sebagaimana perlakuan terhadap kaum lelaki. Diskriminasi gender diberlakukan sebagai alternatif kultural dan pembenaran gaya hidup yang maskulinitas. Superioritas laki-laki dibenarkan menjadi daya kepenguasaan, kepenjahatan dan penghalalan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus penguburan bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan (infanticide). Sahabat Umar bin Khattab (ketika belum masuk Islam) pernah melakukannya pada puterinya sendiri. Kaum pria merasa bahwa kehadiran perempuan hanya menjadi beban kultural dan dapat menjatuhkan kewibawaan atau citra etnis. Al�Haitsam bin Adi menerangkan sebagaimana dikutip oleh Al�Midani, bahwa penanaman anak perempuan hidup-hidup merupakan adat di seluruh kabilah Arab. Inilah bagian dari sejarah hitam ketertindasan dan keterjajahan perempuan atas laki-laki (Wahid dan Irvan: 2001).

Begitu Nabi Muhammad SAW hadir ke tengah-tengah kehidupan bangsa yang sedang dilanda kejahiliahan itu, hak-hak perempuan mendapatkan advokasi dan keberdayaannya. Perempuan diberi jaminan istimewa dan hak-haknya baik di sektor domestik maupun produktif. Perempuan tidak boleh dianiaya, diperkosa, atau dijadikan objek kekejaman atas dasar kebutuhan seksual. Bahkan ketika terjadi peperangan dengan pihak musuh sekalipun, Nabi melarang keras para sahabatnya berlaku aniaya, mengganggu dan membunuh kaum perempuan dan anak�anak. Mereka harus diperlakukan secara manusiawi dan dijauhkan dari tindakan-tindakan kesewenang-wenangan. Perempuan wajib diadvokasi hak-haknya dari perilaku anarki individual maupun structural (Wahid dan Irvan: 2001).

Besarnya perhatian Nabi Muhammad SAW pada perempuan dapat terbaca dalam sabda�sabdanya, seperti �Surga itu dibawah telapak kaki ibu�, atau������������������������ �pengabdian seorang anak wajib mendahulukan pengabdiannya kepada ibunya� merupakan isyarat yang menunjukkan kewajiban manusia untuk tidak menyia-nyiakan, dan apalagi melakukan tindakan yang merusak dan melecehkan martabat perempuan (Wahid dan Irvan: 2001). Nabi Muhammad SAW pun memperingatkan semua laki-laki:

Perlakukan perempuan dengan baik, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Bagian darinya yang paling bengkok adalah di atas. Jika engkau mencoba untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, dan jika engkau membiarkannya maka akan tetap bengkok. Jadi perlakukanlah wanita dengan baik. �( Muttafaqun �alaih ) (dalam Ali Al Hasyimi: 2002)

Sebagaimana penulis uraikan di atas, Islam adalah agama yang sangat adil dan melindungi manusia. Namun bagaimanakah perlindungan hukum Islam terhadap istri yang dituduh berzina oleh suaminya? Budaya patriarki mau tidak mau akan berdampak pada munculnya permasalahan seperti ini di Indonesia. Pada makalah ini penulis akan mencoba mengurai masalah tersebut.

 

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Bahasan dalam penelitian ini diperoleh dari data yang terkumpul. Pengumpulan data sendiri dilakukan dengan pendekatan studi literatur. Studi literatur sendiri adalah pendekatan penelitian yang bisa bilang wajib, mengingat studi literatur sendiri dibutuhkan untuk pengumpulan data ilmiah di luar kegiatan pengumpulan data primer. Studi literatur peneliti lakukan dengan mengumpulkan sumber literatur seperti buku, majalah, paper, hingga karya tulis yang bersinggungan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

Data yang telah terkumpul penulis analisis menggunakan analisis deskriptif. Analisis ini dilakukan dengan memberi gambaran atas hasil penelitian yang telah diperoleh. Hasil-hasil tersebut penulis gambarkan guna mencari kesimpulan penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

1.      Zina dalam Pandangan Islam

Sebelum kita membahas mengenai qadzaf, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu tentang substansi dari perzinaan. Zina itu sendiri adalah perbuatan dosa yang sangat dilarang oleh Allah SWT, karena memang banyak sekali implikasi buruk dari zina yang tidak hanya berdampak bagi pelaku, namun juga berimplikasi buruk bagi anak yang lahir akibat dari perzinaan.

Pijakan atas larangan melakukan perzinaan terdapat di dalam Al-Quran SuratAl Mukminun 5-7 telah dijelaskan bahwa orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri atau budak merekaadalah mereka yang dianggap tidak tercela. Namun kebalikan dari itu. Mereka yang tidak mampu menjaga adalah mereka yang dianggap orang-orang yang melampaui batas. Terkait dengan ayat di atas pada Al Isra ayat 32 juga telah dijelaskan bahwa kamu dalam hal ini adalah kita sebagai muslim dan manusia dilarang untuk mendekati perbuatan zina, sebab zina sendiri dalam ayat tersebut dinyatakan sebagai perbuatan keji dan jalan yang buruk. Selain daripada itu, dalam Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim (dari Ibn Abas) juga dijelaskan bahwa seorang di antara kamu (yang juga dimaksud laki-laki) bersepi-sepi dengan seorang perempuan (yang bukan mahram). Dalam hadits tersebut juga dijelaskan bahwa jika kita berdua dengan yang bukan makhram, maka yang ketiganya adalah setan.

Larangan dalam ayat dan sabda Rasulullah SAW ini menunjukkan suatu peringatan yang keras. Peringatan ini berkaitan dengan keharaman perbuatan zina. Sebelum sampai pada perbuatan yang sebenarnya (zina), Allah SWT sudah melarangnya.

Menurut Abdul A�la Al�Maududi, para fuqaha dan ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam mendifinisikan zina. Madzhab Hanafi mendefinisikan zina dengan mengartikan seseorang yang menyetubuhi wanita melalui vagina (kemaluan wanita) tanpa ada akad syar�i (sah) atau pemilikan di bawah sumpah, seperti menyetubuhi budak wanita milik anaknya. Orang yang menyetubuhi lewat dubur atau homo seks tidak termasuk kategori berzina yang harus dihukum, begitu pula menyetubuhi binatang. Namun madzhab Syafi�I mendefinisikan, zina sebagai masuknya dzakar ke dalam vagina dengan penuh nafsu dan diharamkan oleh syari�at. Madzhab Maliki mendefinisikannya sebagai seorang pria atau wanita yang bersetubuh melalui kemaluan atau dubur tanpa hak syari�at atau subhah (Al Maududi: 1995). Perbedaan di antara berbagai madzhab tersebut dapat dimaklumi, mengingat hal-hal yang berkaitan dengan perilaku seks itu bermacam-macam jenisnya. Dan tentunya karena adanya perbedaan visi dalam menginterpretasikan perkembangan zaman, seperti kondisi sosial, kultural dan moralitas masyarakatnya.

A.Djazuli berpendapat bahwa apa yang Islam jabarkan terkait hukum zina sangat berbeda jauh dengan apa yang dijabarkan oleh hukum barat. Sebab dalam Islam segala hubungan seksual yang diharapkan, itulah yang dikatakan sebagai zina, baik itu dilaksanakan oleh mereka yang telah berstatus menikah, belum menikah (tergolong mukallaf), atau hubungan yang diharamkan namun dilakukan dengan suka sama suka. Sehingga, hubungan sebagaimana disebutkan di atas, menurut Islam, ada tindak perzinahan (Djazuli: 1997).

Dari apa yang telah disampaikan di atas penulis berkesimpulan awal bahwa zina adalah perbuatan bersetubuh yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, dimana keduanya tidak terikat di dalam ikatan perkawinan yang sah.

2.      Aspek Hukum Islam Terhadap Kejahatan Zina

Zina adalah suatu perbuatan yang dilarang Allah SWT karena perbuatan zina tidak hanya berimplikasi pada pelaku, namun juga terhadap masyarakat. Oleh karena itulah, Allah SWT sudah menetapkan di dalam Al Quran, hukuman terhadap orang yang berzina maupun kepada orang yang menuduh seseorang melakukan zina namun tidak dapat membuktikannya. Al Quran Surat An Nur ayat 2 mengajarkan.

Perempuan dan laki�laki yang berzina hendaklah kamu dera (lecut) masing�masing seratus kali; janganlah kamu merasa kasihan pada mereka dalam melaksanakan (hukum) agama Allah, jika kamu benar�benar beriman kepada Allah dan hari akhir; dan hendaklah hukuman mereka itu disaksikan oleh segolongan orang mukmin.�

Hal tersebut pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab di zaman pemerintahannya, yang mana hal tersebut dilakukannya kepada anaknya sendiri yang bernama Ubaidillah atau Abi Syambah, yang telah melakukan perzinaan. Ubaidillah dihukum cambuk karena melakukan perzinaan (perkosaan) kepada seorang wanita yahudi, sehingga wanita tersebut mengandung dan melahirkan anaknya. Akhirnya Ubaidillah dihukum cambuk di depan sahabat-sahabat, sebanyak seratus kali, sehingga akhirnya ia meninggal dunia. Dari uraian tersebut di atas dapat kita lihat bahwa perzinaan merupakan suatu perbuatan yang sangat serius sehingga Khalifah Umar sedemikian konsisten menerapkan jenis hukuman cambuk kepada putranya sendiri yang terbukti melakukan perbuatan zina.

Sedangkan untuk pezina yang telah berada dalam ikatan pernikahan, ancaman pidananya adalah rajam (dilempar batu sampai meninggal). Untuk menetapkan perbuatan zina benar-benar telah terjadi dapat digunakan dua macam alat bukti, yaitu:

a.       Persaksian empat orang saksi laki�laki yang adil, yang dengan mata kepala sendiri benar�benar menyaksikan terjadinya perzinaan, diibaratkan seperti orang yang melihat dengan mata kepala sebuah timba masuk sumur atau tangkai celak masuk tempat celak. Pembuktian dengan empat orang saksi demikian itu hampir tidak mungkin terjadi, kecuali dalam keadaan orang tidak lagi mengindahkan sama sekali nilai-nilai moral luhur.

b.      Pengakuan langsung dari pelakunya sendiri, sebagaimana telah terjadi pada masa Nabi. Pengakuan ini pun harus benar-benar dapat meyakinkan kebenarannya. Nabi baru mau menerima kebenaran pengakuan orang setelah empat kali dan disertai persaksian terhadap Allah atas kebenaran pengakuannya. Seolah-olah satu pengakuan sama kekuatannya dengan seorang saksi, dan empat kali pengakuan sama kuatnya dengan empat orang saksi (Basyir: 2001).

3.      Qadzaf yang Dilakukan Suami Terhadap Istri

Suami dan istri yang hidup di dalam suatu rumah tangga tentunya haruslah saling menghormati dan menyayangi agar tercipta pernikahan yang sakinnah mawaddah warrahmah sebagaimana yang telah didoakan ketika mereka melaksanakan ijab qabul, dan sebagaimana cita-cita perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun ketika di dalam suatu rumah tangga sudah tidak ada kepercayaan lagi di dalamnya, dalam hal ini suami yang sudah berpikir bahwa istrinya melakukan zina dengan orang lain sehingga akhirnya menuduh istrinya secara terang-terangan, langkah apa yang harus dilakukan?

Sebelum penulis membahas mengenai hal tersebut, penulis akan menguraikan terlebih dahulu arti dari qadzaf itu sendiri.

Qadzaf (menuduh zina) dapat dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik di dalam ruang lingkup rumah tangga ataupun tidak. Apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, maka sang suami tersebut harus dapat membuktikan tuduhannya tersebut. Dasar hukum keharaman qadzaf adalah firman Allah di dalam Al Quran surat An Nur ayat 4.

Di dalam keadaan qadzaf yang dilakukan suami terhadap istri, kita patut mengingat kembali asas-asas dalam perkawinan, yaitu asas untuk����������������������� selama-lamanya, yang mana menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakannya untuk melangsungkan keturunan-keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Al Quran Surat Ar Rum ayat 21). Itulah alasan mengapa baik suami atau istri harus berhati-hati apabila hendak menuduh pasangannya berbuat zina. Karena tuduhan zina tersebut sangat memungkinkan untuk membuat suatu rumah tangga tidak menjadi utuh lagi karena tidak adanya rasa saling percaya antara keduanya. Apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, maka harus ada 4 (empat) orang saksi laki-laki yang menguatkan tuduhannya tersebut. Namun apabila ia tidak dapat menghadirkan saksi tersebut, sebagaimana firman Allah dalam Al�Quran surat An-Nur ayat 6-9,

�Dan orang yang menuduh zina istri mereka, padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah atas nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukum (zina) oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah bahwa sesungguhnya suaminya itu benar�benar termasuk orang yang berdusta; dan (sumpah) yang kelima ialah bahwa murka Allah atasnya jika suaminya termasuk orang yang benar. �

Sumpah yang diucapkan suami istri sehubungan dengan adanya tuduhan zina suami terhadap istrinya itu disebut sumpah li�an. Dengan bersumpah li�an, suami telah memperkuat tuduhan zina terhadap istrinya. Dengan demikian, Ia akan terhindar dari hukuman qadzaf, yaitu dicambuk delapan puluh kali. Istri yang kemudian menyatakan sumpah li�an untuk menyanggah tuduhan suaminya, Ia terhindar dari hukuman dirajam sampai mati.

Tuduhan qadzaf di dalam hukum pidana Islam adalah tuduhan yang sangat serius. Karena hal tersebut tidak hanya berimplikasi pada kehidupan rumah tangga itu sendiri namun juga berimplikasi pada kehidupan bermasyarakat. Mengapa menuduh zina sudah dituliskan aturannya dalam Al Quran dan termasuk jarimah hudud? Sebab apabila hal tersebut tidak diatur, maka baik suami atau istri tidak akan berpikir panjang apabila hendak menuduh zina kepada pasangannya. Dan apabila hal itu terjadi, tentunya perkawinan tidak lagi menjadi satu hal yang sakral dan harus dijaga kehormatannya. Selain itu, hal tersebut akan membuat salah satu tujuan perkawinan dalam hukum Islam, yaitu �untuk selama-lamanya�, tidak akan terlaksana. Karena seperti yang sudah penulis jabarkan di atas, apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan Ia tidak dapat menghadirkan buktinya (persaksian empat orang laki-laki yang melihat langsung terjadinya perzinaan itu secara jelas), dan istrinya tetap bersikeras bahwa ia tidak melakukan seperti apa yang dituduhkan suaminya, maka dapat dikatakan bahwa suaminya bersumpah atas nama Allah seakan mewakili keberadaan 4 orang saksi dan itu dilakukan dalam empat kali bersumpah. Sehingga, kepercayaan di antara mereka suami dan istri tersebut sudah tidak ada lagi sehingga perkawinan di antara mereka harus diputus (bercerai).

Dan Islam pun memberikan perlindungan hukum kepada sang istri. Istri diberikan juga hak untuk melindungi dirinya apabila ternyata tuduhan tersebut tidak benar. Ketika suaminya sudah bersumpah lima kali atas nama Allah, sang istri pun dapat bersumpah empat kali atas nama Allah bahwa suaminya itu tidak berkata benar.

Di sini dapat dilihat bahwa Islam memberikan kesempatan yang sama, baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan dihadapan hukum dan dihadapan Allah, karena Allah maha mengetahui atas apa yang dilakukan hamba-Nya. Perlindungan hukum ini juga merupakan bentuk perwujudan dari adanya asas praduga tak bersalah dalam hukum pidana Islam. Seorang istri yang dituduh melakukan zina oleh suaminya tidak serta merta dapat dihukum rajam sampai Ia meninggal, namun sang istri pun diberi kesempatan untuk membela diri dan menyatakan pembelaannya. Ini merupakan bentuk perlindungan hukum yang paling nyata terhadap kedudukan istri di dalam permasalahan qadzaf.

Dan tentunya dalam hal ini juga tidak boleh dilupakan adalah adanya prinsip kesamaan manusia di depan hukum. Karena Islam pada dasarnya adalah agama yang adil, tidak membedakan manusia atas dasar ras, warna, bahasa, jenis kelamin dan sebagainya. Allah SWT menyayangi seluruh umat-Nya tanpa terkecuali, dan yang membedakan kedudukan manusia di hadapan-Nya hanyalah ketaqwaan manusia itu sendiri. Rasulullah SAW bersabda,

�Wahai manusia! Kalian menyembah Tuhan yang sama, kalian mempunyai bapak yang sama. Bangsa Arab tidak lebih mulia dari bangsa Persia dan merah tidak lebih mulia dari hitam. Kecuali dalam hal ketaqwaan�

Islam menerapkan Equality before the Law karena Islam adalah agama yang adil. Pada prinsipnya, Islam berupaya untuk memberikan perlindungan kepada perempuan (istri) terkait dengan tuduhan zina. Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina haruslah menghadirkan 4 orang saksi. Apabila tidak dapat dihadirkan, maka Ia harus bersumpah. Namun perbuatan menuduh zina adalah perbuatan yang sangat besar konsekwensinya. Karena dapat berakibat pada hancurnya rumah tangga. Itulah mengapa tuduhan zina tidak dapat diucapkan begitu saja, dan harus dipikirkan dengan matang dan sebaik-baiknya.

 

Kesimpulan

Islam sangat melindungi hak-hak kaum perempuan atau istri di dalam rumah tangga. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya perlakuan yang sama kepada suami maupun istri apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina dengan orang lain. Istri yang dituduh berbuat zina tidak serta merta mendapatkan hukuman rajam sampai meninggal, namun istri tersebut dapat menolak tuduhan suaminya dengan melakukan sumpah Li�an.

Dalam peristiwa suami menuduh istrinya berbuat zina, berarti antara suami istri tersebut tidak saling mempercayai lagi satu sama lain. Maka setelah suami bersumpah Li�an yang diikuti pula oleh istrinya dengan bersumpah yang sama untuk menolak tuduhan suaminya, perkawinan mereka diputuskan untuk selama-lamanya, mereka tidak mungkin lagi kembali hidup bersama-sama sebagai suami istri.

 

 


 

BIBLIOGRAFI

 

A. Djazuli. 1997. Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Raja Grafindo.

 

AlHasyimi, Muhammad Ali. 2002. Menjadi Muslim Ideal �Mengembangkan Keshalehan Sosial Berdasarkan Nilai-Nilai dan Spiritualitas Islam�. ctk. Pertama. Depok: Inisiasi Press.

 

Al Maududi, Abul A�la. 1995. Kejamkah Hukum Islam. (Terjemahan A. M Basalamah). Jakarta: Gema Insani Press.

 

Ali, Mohammad Daud. Tanpa Tahun.Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. ctk. Keenam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

 

Basyir, Ahmad Azhar. 2001. Ikhtisar Fikih Jinayat ( Hukum Pidana Islam ). Yogyakarta: UII Press.

 

Rohidin. 2007. Filsafat Hukum dalam Hukum Islam. Yogyakarta: Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

 

Wahid, Abdul dan Muhammad Irvan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan. ctk. Pertama. Bandung: PT Rafika Aditama