Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia - ISSN : 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 2, No 3 Maret 2017
ANALISIS TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA DAN SANKSI BAGI
PELAKU PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Andi Lala
Akamigas Balongan Indramayu
Email : [email protected]
Abstrak
Di dalam Pancasila khususnya pada sila pertama, Indonesia memberikan
jaminan kepada seluruh warganya untuk menganut dan/atau menjalankan
agama sesuai aturan yang telah ditentukan. Selain di dalam Pancasila,
kebebasan dalam hal beragama juga dijamin dalam Undang Undang Dasar
1945 (UUD 1945) amandemen kedua pasal 28E ayat 1 dan 2 yang menjelaskan
bahwa tiap warga negara mempunyai kebebasan dalam hal memeluk dan/atau
menjalankan agama yang diyakininya. Meskipun kebebasan tentang beragama
telah terjamin dalam Pancasila dan UUD
1945, namun kenyataannya
permasalahan-permasalahan di masyarakat yang bertalian dengan agama
masih terjadi, seperti halnya penghinaan, merendahkan kepercayaan suatu
kelompok hingga masalah yang bertalian dengan tempat ibadah suatu agama.
Sebagai upaya guna mencegah serta menanggulangi hal tersebut, pemerintah
memberikan payung hukum terhadap permasalahan-permasalahan yang
bertalian dengan agama yang termaktub dalam pasal 156, 156a dan 157 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang mengenai pidana penistaan
agama.
Kata Kunci: Penistaan Agama
Pendahuluan
Agama ialah satu dari sekian unsur terpenting dalam masyarakat karena
agama merupakan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan di masyarakat.
Sehingga kebebasan bagi masyarakat untuk beragama harus dihargai, dijamin dan
dilindungi. Kebebasan dalam hal beragama harus dipahami dengan pengertian yang
luas seperti kebebasan untuk membangun tempat ibadah dan berkumpul, melakukan
ibadah sesuai ajaran agamanya, melakukan dakwah
(publikasi) hingga komunikasi
dalam umat beragama dalam mencari solusi ketika terjadi suatu permasalahan.
28
Analisis Tindak Pidana Penistaan Agama
Kebebasan dalam bergama sejatinya sudah diatur dalam UUD 1945 amandemen
kedua pasal 28E ayat 1 dan 2, yang menjelaskan bahwa tiap warga negara diberikan
kebebasan untuk: memeluk, meyakini, dan/atau menjalankan agamanya, memilih
kewarganegaraan dan tempat tinggal, memilih pendidikan serta pengajaran.
Sehingga dapat kita pahami bahwa memeluk agama atau mayakini suatu
kepercayaan di Indonesia serta menjalankan aktivitas keagamannya merupakan hak
bagi seluruh warga negara. Hak yang dimiliki tersebut tidak dapat diintervensi dan
diintimidasi oleh siapapun karena tindakan melakukan intervensi atau intimidasi
dapat tergolong dalam jenis pelanggaran hukum. Kebebasan beragama yang diatur
dalam undang-undang bertujuan untuk menumbuhkan sikap toleransi, meniadakan
tindakan diskriminasi atas nama agama, dan menciptakan rasa nyaman dan aman
dalam menjalankan setiap kegiatan keagamaan.
Akan tetapi hal tersebut dapat terwujud apabila setiap individu dapat
menunjukan rasa saling pengertian, bersahabat dengan semua orang, menjaga
perdamaian dan persaudaraan yang universal serta menghargai tiap perbedaan.
Sehingga setiap warga negara benar-benar memahami bahwa segala macam bentuk
perbedaan termasuk dalam aspek keagamaan yang sebenarnya dapat diterapkan
sebagai media guna menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa.
Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap kebebasan beragama
dengan menerapkan aturan-aturan tertentu
(payung hukum) mengingat bahwa
Indonesia merupakan bangsa plural yang mempunyai keberagaman dalam banyak
aspek, termasuk salah satunya dalam aspek agama. Tanpa adanya aturan yang jelas,
keberagaman ini tentunya akan berpeluang menimbulkan banyak permasalahan
dalam kehidupan bernegara.
Sehingga selain memberikan kebebasan, pemerintah juga memberikan
aturan-aturan terhadap kebebasan tersebut sebagaimana yang termaktud pada Pasal
28J ayat 1 dan 2 UUD 1945 amandemen kedua. Dalam Pasal 28J ayat 1 dan 2 UUD
1945 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai kewajiban untuk saling
menghormati dan/atau menghargai HAM satu sama lain serta wajib untuk mentaati
tata aturan yang telah disahkan oleh undang-undang mengenai pembatasan terhadap
hak asasi tersebut.
Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pengakuan atas hak yang dimiliki
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
29
Andi Lala
orang lain. Segala macam bentuk ketidakpatuhan yang diperbuat akan dikenakan
sanksi
(pidana) sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Meskipun
kebebasan beragama dan batasan-batasannya sudah diatur, akan tetapi dalan
praktiknya masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran baik secara individu
ataupun kelompok terhadap individu ataupun kelompok lainnya, seperti melakukan
intervensi, intimidasi ataupun menghina kepercayan suatu kelompok yang biasa
disebut dengan penistaan agama.
Perdebatan mengenai penistaan agama senantiasa terjadi terlebih saat
menentukan perbuatan dan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke jenis penistaan
agama serta vonis yang akan dikenakan bagi pelaku penistaan agama tersebut. Hal
seperti ini bisa dilihat dari beberapa kasus di nusatara yang masuk dalam kategori
penistaan agama, seperti: Kasus Arswendo Atmowiloto yang terjadi pada tahun
1990an.
Arswendo divonis
4
(empat) tahun penjara karena dianggap melakukan
penistaan tehadap agama Islam. Hal tersebut terjadi ketika Arswendo melakukan
polling tentang tokoh idola yang dimuat dalam Tabloid Monitor dengan hasil
pollingnya menempatkan Presiden Soeharto yang pada masa itu menjadi Presiden RI
berada di urutan pertama sedangkan Nabi Muhammad SAW yang merupakan
panutan seluruh orang islam berada di urutan ke-11. Hal tersebut tentunya
menimbulkan gejolak dalam masyarakat, padahal apa yang diperbuat oleh Arswendo
sekedar menyampaikan hasil polling, bukan secara sengaja melakukan sebuah
penistaan. Daripada itu, Pasal
156 KUHP dijadikan dasar dalam Penetapan vonis
tersebut.
Syamsuriati atau yang dikenal Lia Eden divonis
2,5 tahun penjara setelah
menyatakan dirinya sebagai nabi. Lia Eden kemudian dikenakan Pasal 156a, subsider
pasal 156 KUHP. (Kompas, 2 Juni 2009) . kemudian pada tanggal 25 Mei 2016,
Ahmad Musadeq ditahan oleh polisi karena dianggap telah melakukan penistaan
agama. Ahmad Musadeq ialah pendiri Gafatar, salah satu organisasi yang dianggap
memiliki ajaran yang menyesatkan. Selain itu Gafatar merupakan metamofosis dari
Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan konsep ideologi
yang sempat dilarang kejaksanaan agung di tahun 2007 lalu. Pasal 156a kemudian
dijadikan dasar dalam penangkapan sekaligus penahanan terhadap Imam Musadeq
30
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
Analisis Tindak Pidana Penistaan Agama
yang pada ahirnya imam Musadeq divonis 4 tahun penjara.
Selanjutnya pada tanggal
15 November
2016, Basuki Tjahaja Purnama
(Gubernur DKI Jakarta) dijadikan sebagai tersangka oleh kepolisian atas dugaan
penistaan agama. Hal ini berkaitan dengan pernyataanya ketika melakukan
kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu. Basuki Tjahaja
Purnama dianggap menistakan agama Islam setelah mengeluarkan pernyataan yang
memiliki kaitan dengan isi salah satu ayat di dalam Al Quran
(kitab suci agama
Islam). Atas ungkapannya tersebut, Basuki Tjahaja Purnama kemudian dijadikan
tersangka dengan merujuk pasal 156a KUHP dan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik (Kompas, 16
Februari 2017).
Penerapan pasal 156a KUHP ini memang perlu penafsiran. Oleh karena hal ini,
hakim harus bijak apabila akan menerapkan pasal ini. Hakim harus mempunyai
pengetahuan khusus tentang ajaran suatu agama, sehingga keputusan-keputusan yang
ditetapkan dapat mewakili kepentingan bersama bukan keputusan yang dapat
menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat.
Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang diterapkan disini ialah metode penelitian hukum
normative. Yaitu dengan cara mengkaji dan/atau menganalisis berbagai macam
sumber hukum
(library research). Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji
mengungkapkan bahwa hukum normatif mencakup: (1) penelitian tentang asas-asas
hukum; (2) penelitian atas sistematik hukum; (3) penelitian akan taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal;
(4) perbandingan hukum; dan (5) sejarah hukum. Data yang
peneliti gunakan ialah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari
UUD 1945, KUHP pasal 156, pasal 156a dan pasal 157 serta Undang-Undang
Nomor 1/Pnps/1965. Sedangkan untuk sumber data sekunder, diperoleh dari berbagai
buku tentang hukum pidana, kamus hukum, jurnal tentang hukum dan dokumen-
dokumen resmi lain yang berkaitan. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis
secara kualitatif.
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
31
Andi Lala
Pembahasan
Hakekat Penistaan Agama
Penistaan agama merupakan gabungan dari kata penistaan dan agama. Agama
menurut Koentjaraningrat diartikan sebagai sebuah sistem yang tersusun atas empat
unsur, yaitu: emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan umat atau
kesatuan sosial
(Koentjaraningrat.
1985). Semua unsur-unsur tersebut saling
berkaitan dan terintegrasi secara utuh. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyebutkan bahwa agama ialah suatu sistem dan prinsip kepercayaan atas adanya
Tuhan atau Dewa (Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2002). Sedangkan kata penistaan
menurut KBBI mempunyai kata dasar nista yang bermakna hina, cela atau rendah
sehingga penistaan dapat diartikan penghinaan, pelecehan dan merendahkan. Dari
rangkaian penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa penistaan agama
merupakan suatu upaya untuk merendahkan, melecehkan, atau merendahkan sesuatu
yang diyakini sebagai prinsip kepercayaan seseorang baik dalam wujud ucapan atau
perbuatan.
Pengertian penistaan agama dalam KUHP tidak dipaparkan dengan jelas,
namun dalam buku yang lain dijelaskan bahwa makna dari penistaan agama adalah
penyerangan dengan sengaja atas nama baik serta kehormatan orang lain atau suatu
golongan baik lisan ataupun tulisan dengan tujuan agar diketahui oleh masyarakat
luas
(J.C.T. Simorangkir,
1995). Barda Nawawi Arief (dalam Barda Nawawi Arief,
2010)
menjelaskan bahwa kegiatan pidana yang berkaitan dengan agama dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) kriteria yaitu:
1. Tindak pidana menurut agama, yaitu mencakup semua yang dilarang menurut
agama, kendati hukum negara tidak menggolongkan tindakan tersebut sebagai
perbuatan yang dilarang. Dalam hal ini pada umumya dijelaskan dalam kitab suci
agamanya. Seperti membunuh, berzinah, atau mencuri.
2. Tindak pidana terhadap agama, yaitu mencakup perbuatan dan/atau ucapan yang
bersinggungan atau bertujuan untuk merendahkan Keagungan dan kemuliaan
Tuhan, Sabda dan Sifatnya, Nabi/Rasul, aktivitas keagamaan, Institusi Agama,
Kitab Suci, tempat ibadah dan sebagainya.
3. Tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama, yaitu
mencakup seluruh ucapan atau perbuatan yang dapat mengganggu ketenangan dan
32
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
Analisis Tindak Pidana Penistaan Agama
rasa nyaman terhadap individu atau kelompok dalam melakukan aktivitas
keagamaannya.
Sebagaimana yang dijabarkan dalam uraian sebelumnya bahwa untuk
terciptanya rasa nyaman dan ketertiban dalam masyarakat, maka diperlukan payung
hukum guna menjamin dan/atau melindungi setiap individu atau kelompok atas hak
asasinya. Termasuk hak memperoleh rasa nyaman dalam menjalankan kegiatan
keagamaan (ibadah) sebagaimana yang termaktub dalam pasal 28E ayat 1 dan 2. Hal
ini tentunya selain dapat menciptakan ketertiban dalam masyarakat juga dapat
menciptakan ketenangan dan sikap khusyuk dalam beribadah.
Dalam KUHP, tindak pidana agama pada awalnya hanyalah mencakup pada
poin tindak pidana yang memiliki kaitan dengan agama atau terhadap kehidupan
beragama
(kriteria poin
3). Namun ditambahkan Pasal
156a ke dalam KUHP
berdasarkan Pasal
4 Undang-Undang Nomor
1/Pnps/1965, barulah pengertian
tentang tindak pidana atas agama (poin ke-2) juga tercantum dalam KUHP.
Selain pasal
156a KUHP di atas, pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor
1/Pnps/1965 juga mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana
yang berhubungan agama, tetapi tidak diintegrasikan dalam KUHP. Inti dari pasal 1
sendiri ialah tiap individu dilarang dengan sengaja di muka umum membeberkan,
menganjurkan dan/atau mengusahakan dukungan umum guna melakukan penafsiran
akan sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan
yang punya kemiripan dengan kegiatan-kegiatan ada pada agama itu, penafsiran dan
kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itudijelaskan
tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang.
Jika dipahami secara mendalam, pasal 1 di atas secara jelas melarang individu
atau kelompok untuk melakukan penafsiran-penafsiran tambahan ajaran dari suatu
agama termasuk di dalamnya melakukan kegiatan-kegiatan yang menyerupai dari
kegiatan dari sebuah agama yang sudah ada. Namun aturan ini baru dapat dipidana,
apabila telah mendapat perintah atau peringatan untuk menghentikan perbuatan
tersebut yang berdasar pada SKB
3 Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri).
Hal tersebut mengacu pada pasal
3 Undang-Undang Nomor
1/Pnps/1965.
Adapun inti dari pasal
3 sendiri ialah; apabila, setelah dilakukan perbuatan oleh
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
33
Andi Lala
Menteri Agama beserta Menteri/Jaksa Agung serta Menteri Dalam Negeri atau oleh
Presiden Republik Indonesia menurut aturan yang terkandung dalam pasal 2 terhadap
orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka tetaP melanggar aturan dalam
pasal
1, maka orang, penganut, anggota dan/atau pengurus organisasi yang
bersangkutan akan dipidana dalam waktu selama-lamanya lima tahun.
Wirjono Prodjodikoro (dalam Wirjono Prodjodikoro 1982: 149) menerangkan
bahwa pelanggaran pidana tentang agama dibagi menjadi dua, yaitu: pelanggaran
dan/atau tindak pidana yang diarahkan pada suatu agama (againts) dan pelanggaran
dan/atau tindak pidana yang bersangkutan/berhubungan dengan suatu agama
(relating, concerning). Pada umumnya sebagian besar orang menyebutkan tindak
pidana agama adalah pada konotasi yang disebutkan pada poin 1 di atas, yaitu
perbuatan atau pernyataan yang dengan jelas dilakukan untuk menyerang suatu
agama. Ini ialah pelanggaran dan/atau tindak pidana yang diartikan dalam pengertian
sempit. Sedangkan tindak pidana dalam pengertian luas mencakup tindak pidana
pada kedua poin tersebut. Tindak pidana dan/atau pelanggaran yang diarahkan pada
suatu agama (againts) dijelaskan dalam Pasal 156, dan 156a dan 157 KUHP.
Adapun inti dari pasal
156 KUHP ialah barang siapa di muka umum
menyatakan dan/atau mengungkapkan perasaan permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap suatu atau beberapa kelompok dan/atau golongan rakyat
Indonesia, diancam dengan hukuman pidana penjara selama-lamanya empat tahun
atau pidana denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan
golongan atau kelompok pada pasal ini diartikan sebagai bagian dari rakyat
Indonesia yang memiliki perbedaan baik dari segi agama, tempat dan/atau negeri
asal, ras, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara”.
Dalam pasal tersebut dijelaskkan bahwa pelanggaran dan/atau tindak pidana
yang dimaksud semata-mata ditunjukan kepada individu ataupun kelompok yang
mempunyai keinginan untuk memusuhi atau menghina golongan tertentu, salah
satunya adalah agama. Sehingga pasal ini dapat dijadikan rujukan untuk menjerat
pelaku tindak pidana penistaan agama dalam pengertian umum tetapi tidak spesifik
karena dalam pasal tersebut agama disejajarkan dengan golongan-golongan lainnya
seperti ras, negeri asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan.
Sehingga pasal tersebut belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan-
34
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
Analisis Tindak Pidana Penistaan Agama
permasalahan yang berkaitan dengan agama karena dalam pasal tersebut tidak
dijelaskan mengenai unsur-unsur penistaan agama secara spesifik. Baru setelah
disahkannya UU No
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama, maka KUHP ditambahkan dengan Pasal 156a.
Adapun inti dari 165a ialah; dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengungkapkan perasaan atau
melakukan tindakan: Yang pada intinya mengandung sifat
permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap sebuah agama yang ada di Indonesia;
Dengan tujuan agar orang tidak menganut agama apapun memiliki dasar atau sendi
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pasal di atas dijelaskan unsur-unsur yang secara khusus mengatur
tentang penistaan agama, sehingga sampai saat ini pasal
156a selalu dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan serta memutuskan perkara yang menyangkut tentang
penistaan agama. Ada 2 (dua) unsur penting dalam Pasal 156a KUHP di atas, yaitu
unsur barang siapa dan unsur dengan sengaja. Unsur barang siapa merupakan
penjelasan mengenai subjek hukum yang dianggap cakap dan sanggup bertanggung
jawab terhadap segala perbuatanya sedangkan unsur dengan sengaja merupakan
penjelasan bahwa semua tindakan dan ucapan yang dimaksud tersebut dilakukan
dengan penuh kesadaran dan kesengajaan.
Jika dilihat dari materi yang termaktub pada pasal 156a di atas, maka pasal ini
memang menghendaki adanya bentuk penistaan agama secara langsung yaitu
menodai ajaran suatu agama dan sarana yang menunjang kegiatan keagamaan. Akan
tetapi, masih terdapat hal yang kurang jelas sehinggga berpotensi menimbulkan
perdebatan dalam menetapkan apakah suatu perbuatan atau pernyataan tersebut
termasuk ke dalam bentuk penistaan agama atau tidak. Ketidak jelasan yang
dimaksud dapat dilihat dari penggunaan kalimat “di muka umum” dalam pasal 156a.
Penggunaan kalimat di muka umum sebenarnya dapat mengurangi esensi tersebut,
karena suatu penistaan agama tidak dapat dipidanankan selama tidak dilakukan di
muka umum dan jika perbuatan tersebut tidak ditujukan guna melakukan sebuah
penistaan.
Sehingga apa yang dimaksudkan dalam pasal ini kurang jelas, apakah yang
hendak dilindungi itu adalah ajaran agama atau orang yang beragama. Oemar Seno
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
35
Andi Lala
Adji (dalam Oemar Seno Adji, 1981) menjelaskan bahwa dalam pasal 165a masih
terdapat beberapa kelemahan diantaranya adalah dalam pasal 165a masih sekedar
memberikan secara parsial oleh karena perbuatan pidana tersebut hanya ditunjukan
terhadap agama
(untuk tidak beragama) dan belum mencakup pernyataan perasaan
yang ditunjukan kepada nabi, kitab suci agama atau para pemuka agama.
Selain pasal 156 dan pasal 156a, pasal 157 juga dapat dijadikan sebagai dasar
untuk menjerat pelaku penistaan agama. Adapun inti dari pasal 157 ialah:
1. Barang siapa menyampaikan, menunjukan, atau menempelkan suatu tulisan atau
lukisan di muka umum, yang pada isinya mengandung pernyataan mengenai
perasaan permusuhan, kebencian dan/atau penghinaan atas golongan-golongan
rakyat Indonesia tertentu, dengan tujuan agar isinya diketahui atau lebih
diketahui oleh khalayak luas, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya
dua tahun enam bulan atau pidana denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima
ratus rupiah.
2. jika yang pihak bersalah melakukan tindak kejahatan tersebut pada saat
menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum melewati lima tahun
terhitung sejak pemidanaannya menjadi tetap karena tindak kejahatan demikian
beserta yang bersangkutan dapat dicekal dan/atau dilarang.
Dalam kehidupan sosial, sering kali seseorang terjebak pada suatu perbuatan
dan pernyataan yang dapat dikelompokkan sebagai suatu wujud penistaan agama,
meskipun orang yang bersangkutan tersebut sebenarnya tidak bertujuan untuk
melakukan sebuah penistaan atau pernyataan permusuhan sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam pasal di atas. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian khusus bagi
seluruh masyarakat Indonesia, terlebih, terlebih bagi yang berada pada lingkungan
yang berbeda agama dan kepercayaan. Untuk itu agar dapat terhindar dari semua
bentuk tindak pidana penistaan agama, tentunya kita harus mempunyai pengetahuan
yang baik mengenai bentuk atau ruang lingkup tindak pidana terhadap agama
tersebut.
Berikut adalah inti bentuk serta ruang lingkup perbuatan pidana atas
penodaan agama yang dipaparkan pada konsep RUU KUHP Tahun 2005 yang diatur
secara tersendiri dalam Bab VII mengenai Tindak Pidana Terhadap Agama dan
Kehidupan Beragama: Penghinaan terhadap suatu agama, yang dirinci menjadi:
36
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
Analisis Tindak Pidana Penistaan Agama
mengungkapkan perasaan dan/atau melakukan tindakan yang mengandung unsur
penghinaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
(Ps.
341); menghina
keagungan Tuhan, firman dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya
(Ps.
342); menodai,
mengejek, dan/atau merendahkan suatu agama, rasul, nabi, kitab-kitab suci, ajaran
agama, dan/atau ibadah keagamaan (Ps.
343); delik penyiaran atas Pasal 341 atau
342
(Ps.
344). Gangguan atas penyelenggaraan suatu ibadah dan/atau kegiatan
keagamaan, terdiri dari: merintangi, mengganggu, dan/atau dengan melawan hukum
dalam bentuk pembubaran via kekerasan dan/atau ancaman kekerasan atas jamaah
yang sedang menjalankan suatu ibadah, upacara keagamaan, dan/atau pertemuan
keagamaan (Ps.
346
(1)); membuat keributan dekat bangunan ibadah pada saat
proses ibadah sedang berlangsung (Ps.
346 (2)); di muka umum melakukan ejekan
terhadap orang yang sedang melakukan ibadah atau melakukan ejekan terhadap
petugas agama yang sedang melakukan tugasnya (Ps. 347). Perusakan tempat ibadah,
yakni menodai dan/atau secara melawan hukum melakukan pengrusakan atau
pembakaran bangunan tempat beribadah atau benda-benda yang ada dan dipakai
untuk keperluan ibadah (Ps. 348).
Kesimpulan
1. Keberagaman agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia hendaknya dapat
dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa, meski demikian keberagaman tersebut
mempunyai potensi menimbulkan berbagai macam permasalahan sehingga
pemerintah memberikan payung hukum untuk melindungi dan menjamin hak
setiap warga untuk beragama dan menjalankan aktivitas keagamaanya.
2. Secara umum tindak pidana penistaan agama di Indonesia merujuk pada KUHP
pasal 165,
165a dan 157. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku atau
seseorang yang melakukan pelanggaran pidana agama akan diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun .
3. Penetapan tindak pidana penistaan agama di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
(KUHP) dimasukkan dalam kelompok kejahatan penghinaan,
karena penodaan disini mengandung sifat penghinaan, melecehkan, meremehkan
dari suatu agama dan hal ini dapat mengganggu ketertiban umum. Perumusan
ketentuan delik penodaan terhadap agama. Karena itu menyakitkan perasaan
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
37
Andi Lala
bagi umat pemeluk agama yang bersangkutan, sehingga unsur hal ini memenuhi
unsur yang ada dalam ketentuan Pasal 156a KUHPidana yang terdiri dari: (1)
Melakukan perbuatan mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan, dan (2)
di muka umum.
38
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
Analisis Tindak Pidana Penistaan Agama
BIBLIOGRAFI
Alwi, Hasan.
2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga: Jakarta; Balai
Pustaka.
Arief, Barda Nawawi. 2010. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara. Yogyakarta; Genta Publishing.
J.C.T. Simorangkir, Rudy T.Erwin dan J.T. Prasetyo. 1995. Kamus Hukum, Jakarta;
Sinar Grafika.
Koentjaraningrat.
1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta; Gramedia.
Oemar Seno Adji. 1981. Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi. Jakarta; Erlangga,
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif . Jakarta;
Rajawali Pers.
Wirjono Prodjodikoro, 1982. Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung;
Refika Aditama.
Syntax Literate, Vol. 2, No. 3 Maret 2017
39