Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�e-ISSN : 2548-1398
Vol.
6, No. 7, Juli
2021
�
KEKUATAN PEMBUKTIAN SERTIFIKAT HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA (SHPTU)
SEBAGAI JAMINAN UTANG (CONTOH KASUS SHPTU PASAR TANAH ABANG BLOK B JAKARTA)
Liana P Nugroho, Gunawan
Djajaputra
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jakarta, Indonesia
Email: liana_[email protected],
[email protected]
Abstrak
Sertifikat Hak
Pemakaian Tempat Usaha� (SHPTU)� adalah bukti kepemilikan hak pemakaian tempat
usaha di pasar yang wajib dimiliki oleh Pedagang pasar dan memiliki nilai
ekonomis yang cukup tinggi diharapkan dapat dijadikan jaminan utang sebagaimana
yang dinyatakan dalam Peraturan Dearah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun
2018 tentang Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Perusahaan Umum Daerah Pasar
Jaya, namun faktanya tidak semua Bank bersedia dalam pemberian kredit,
Keberatan Bank menerima SHPTU sebagai jaminan utang memiliki alasan yang kuat
sebab Tempat Usaha di dalam hukum jaminan kebendaan tidak dikategorikan sebagai
benda tidak bergerak yang mana tempat usaha pasar hanya merupakan ijin
pemakaian tempat usaha di pasar, oleh karena tidak ada hubungan langsung antara
pedagang dengan bendanya (tempat usaha pasar yang dipakainya). SHPTU lahir dari
perjanjian pemakaian tempat usaha antara Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya
(Perumda Pasar Jaya), Penelitian ini
menggunakan metode penelitian normatif yuridis dengan menambahkan unsur empiris
dan wawancara, dengan analisis data secara kualitatif. Dari hasil analisis
ditarik kesimpulan bahwa SHPTU tidak mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti
halnya Sertifikat Tanah,
walaupun sama-sama bisa dialihkan kepada pihak lain, bahkan tanah dengan Sertifikat hak pakai saja hanya Bank tertentu yang mau
menerima sebagai jaminan walaupun jelas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah Berserta Benda-Benda yang berkaitan dengan
Tanah memperbolehkan hak pakai sebagai jaminan, namun memgingat SHPTU memiliki nilai ekonomis dan dapat
dialihkan, maka di harapkan pemerintah dapat segera menjawab kebutuhan para
pedagang pasar terhadap adanya suatu hukum jaminan yang dapat mengakomodir
SHPTU sebagai jaminan yang setara dengan Sertifikat tanah.
Kata Kunci: Kekuatan Pembuktian Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU);
�Jaminan
Utang
Abstract
Certificate
of Right to Use Business Places (SHPTU) is a proof of ownership that a market
trader have to own and it has a high economic value that are excepted to be a
guarantee object as stated in Special Region Regulation for Jakarta Capital
City Number 7 of 2018 concerning Management and Business Development of Pasar
Jaya Regional Public Compay, but in fact, not all banks are willing to accept
SHPTU as a guarantee object. Only certain bank that are willing to accept it.
The bank have a strong reason to objected SHPTU as a guarantee object because
in security of law, market place can�t be categorized as immovable object.
Market places had not fulfilled the constituent contained in Book II of the
Civil Kode to be categorized as material right, where as the market places is
only a permit to use the places which doesn�t give a material right because
there is no direct connection between the merchant and the object. SHPTU is
created from the agreement to use a places of business the Pasar Jaya Regional
Public Company (Perumda Pasar Jaya), market traders and developer. SHPTU is not
a material right, its an individual right that have similar constituent with
leasing as stipulated in article1548 of the Civil Code. This thesis uses a
juridical normative research method by adding an empirical element, interview
and qualitative data analysis. Based on the analysis result, it can be
concluded that SHPTU don�t have the same strength of proof as the land
certificate, although both can be diverted to another party, even land with a
right use of certificate only certain banks are willing to accept it as a
guarantee although it is clear in Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage on
Land and Objects that related to land allow to use rights as guarantee.
However, considering that SHPTU has economic value and can be diverted it is
hoped that the government can immediately respond to the needs of market
traders for the security of law that can accommodate SHPTU as a guarantee
equivalent to land certificate.
Keywords: �Strenght
of Proof Certificate of Rights to Use Business Place (SHPTU);
dept
guarantee
Pendahuluan
Perkembangan pembangunan kota Jakarta dan pertumbuhan
jumlah penduduk yang semakin bertambah mengakibatkan meningkatkan konsumsi
masyarakat terhadap barang dengan kebutuhan rumah tangga, juga berpengaruh pada
para pengusaha termasuk pedagang pasar. Pasar merupakan bagian dari kehidupan
sosial masyarakat yang tumbuh kembangnya disesuaikan dengan kebiasaan norma
adat di suatu wilayah, yang kemudian pasar tersebut menjadi sarana kegiatan
perekonomian yang menopang dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat.
Pasar Tanah Abang Jakarta merupakan salah satu pusat
perbelanjaan terbesar di kota Jakarta terutama dalam penjualan pakaian yang
menjadi salah satu pusat perhatian masyarakat masa kini, banyaknya pembeli yang
datang baik berasal dari dalam maupun luar kota Jakarta ke pusat perbelanjaan
Tanah Abang dikarenakan harga yang ditawarkan relatif terjangkau juga produk
yang dijual memiliki kualitas yang cukup baik.
Dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2018
tentang Pengelolaan� dan Pengembangan
Usaha Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya�
disebutkan bahwa untuk dapat menggunakan tempat-tempat usaha harus
mendapatkan ijin pemakaian tempat usaha secara tertulis dari Perusahan Umum
Daerah Pasar Jaya agar pemakaian tempat mempunyai hak memakai tempat di pasar.
Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) adalah bukti kepemilikan hak
pemakaian tempat usaha (kios) di pasar yang dimiliki oleh Pedagang pasar. SHPTU
memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Oleh karenanya diharapkan SHPTU dan
Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU) dapat dijadikan jaminan utang (Khairi & Roestamy, 2017).
Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2018�
tentang Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Perusahaan Umum Daerah Pasar
Jaya yang menyatakan bahwa SHPTU adalah bukti kepemilikan hak pemakaian tempat
usaha yang berlaku untuk jangka waktu�
paling lama 20 (dua puluh) tahun yang bisa dijadikan jaminan utang.� Ketentuan tersebut menjadi titik cerah bagi
pedagang pasar yang menginginkan agar SHPTU dapat dijadikan jaminan utang.
Namun dalam prakteknya tidak demikian, SHPTU hanya diterima bank sebagai
jaminan tambahan bukan jaminan pokok, tidak seperti Sertipikat Tanah atau Tanah
dan Bangunan dapat dijadikan sebagai jaminan utang pokok, hal ini tidak seperti
sebagaimana yang diinginkan Perumda Pasar Jaya maupun ketentuan dalam Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2018. Hal demikian
menjadi kerugian yang nyata bagai pedagang pasar untuk memperoleh SHPTU,
pedagang harus mengeluarkan dana yang sangat tinggi.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis
tertarik untuk mengkaji lebih lanjut megenai permasalahan ini secara
komprehensif dan menuangkannya dalam bentuk tesis dengan judul: �Kekuatan
Pembuktian Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) Sebagai Jaminan Utang
(Contoh Kasus SHPTU Pasar Tanah Abang Blok B Jakarta)�.
A.
Tujuan
dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan
dari penelitian yang ingin dicapai adalah:
a. Untuk
mengetahui dan menganalisis SHPTU di tinjau dari hukum jaminan di Indonesia.
b. Untuk
mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum pembuktian SHPTU dan Sertipikat
Tanah sebagai jaminan utang.
2. Kegunaan
Penelitian
a. Secara
Teoritis
Kegunaan dari penelitian ini adalah
untuk memberikan sumbangan pemikiran dan kontribusi bagi pengembangan Ilmu
Hukum Bisnis, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), DPRD DKI
Jakarta� dan Kenotariatan.
b. Secara
Praktis
Penelitian ini dapat berguna untuk
memberikan masukan kepada praktisi dan lembaga perbankan terkait SHPTU sebagai
jaminan utang.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif menambahkan
unsur empiris. Soerjono
Soekanto, mengemukakan bahwa pendekatan yuridis normatif merupakan penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2019). Metode penelitian ini
digunakan karena dalam penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan
pustaka atau data sekunder terdiri dari (Soerjono Soekanto, 2019): Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya, serta melakukan pemeriksaan secara mendalam atas fakta hukum
tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Berdasarkan judul yang dikaji oleh penulis, maka
metode penelitian yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian normatif menambahkan unsur empiris. Metode penelitian ini digunakan
karena dalam penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau
data sekunder terdiri dari:
a)
Bahan hukum Primer yatiu baha-nahan hukum yang
mengikat dan terdiri dari norma atau kaedah dasar, yakni Pembukaan UUD 1945,
Peraturan Dasar, yakni batang Tubuh UUD 1945 dan Ketetapan-ketetapan MPR,
peraturan perundangan seperti undang-undang dan peraturan yang setaraf,
keputusan presiden dan peraturan yang setaraf. Keputusan Menteri dan peraturan
yang setaraf, peraturan-peraturan daerah, bahan hukum yang dikodifikasikan,
yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini
berlaku.
b)
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya rancangan
undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum.
c)
Bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya
adalah kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif.
d) Bahan
Non-Hukum, yaitu wawancara pihak-pihak yang terkait.
Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, studi kepustakaan
dilakukan dengan mengacu pada buku-buku dan peraturan-peraturan dari
perpustakaan.
Penelitian ini juga dilengkapi dengan praktek penerapan hukum di
masyarakat, yang dalam hal ini bisa didapat dari pedagang pasar Tanah Abang
Blok B, pihak Bank, pihak Perumda Pasar Jaya dan pihak-pihak lain yang
berkaitan dengan objek penelitian terkait dengan Sertifikat Hak Pemakaian
Tempat Usaha� (SHPTU) atas kios sebagai
jaminan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan gejala-gejala di
lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti� yakni kepastian hukum terkait perlindungan
bagi pemegang SHPTU.
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari kepustakaan. Data sekunder yang dipergunakan adalah data
sekunder yang bersifat umum, yaitu data yang berupa tulisan-tulisan, data
arsip, data resmi dan berbagai data lain yang dipublikasikan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan, yang
dikumpulkan melalui proses membaca, mempelajari serta mengidentifikasi dan
mengklasifikasi bahan tersebut sehingga diperoleh bahan yang relevan dengan
permasalahan yang dibahas.
5. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian merupakan merupakan cara berpikir yang diadopsi
peneliti tentang bagaimana desain riset dibuat dan bagaimana penelitian akan
dilakukan.
Hasil dan Pembahasan
A.
Kedudukan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat
Usaha (SHPTU) di Tinjau Dari Hukum Jaminan
Menurut (Salim & Nurbani, 2017)
hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan
untuk mendapatkan fasilitas kredit.��
Unsur-unsur yang tercantum di dalam definisi ini adalah:�
a. Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum
dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kaidah hukum
jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan
tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan
tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan
berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat
yang dilakukan secara lisan.�
b. Adanya pemberi dan penerima jaminan
Pemberi
jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan
kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah
orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim
disebut dengan debitur. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang
menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Yang bertindak sebagai penerima
jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang
memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga
keuangan nonbank.
c. Adanya jaminan
Pada
dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan
imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan,
seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil
merupakan jaminan nonkebendaan.
d. Adanya fasilitas kredit
Pembebanan
jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan
fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit
merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga
keuangan nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok
pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga
keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya.
Dari
unsur-unsur tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa SHPTU� hanya dapat dijaminkan� hak pemakaian tempat usahanya saja tidak pada
hak kebendaannya karena SHPTU tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia dan SHPTU juga harus memenuhi unsur jaminan yang berupa hak kebendaan.
Namun, jika dilihat dari sisi hukum jaminan, SHPTU dapat memenuhi syarat
sebagai benda jaminan, sebagaimana pendapat dari Dr. Salim, S.H., M.S. syarat
benda yang dapat di jadikan jaminan adalah:
a) Dapat secara mudah membantu perolehan kredit
oleh pihak yang memerlukannya.
b) Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si
pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya.
Memberikan
kepastian kepada si kreditur dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu
bersedia untuk setiap waktu dieksekusi, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk
melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit (R. Subekti, 2010).
Penulis
mencoba untuk menganalisis, apakah SHPTU dapat diikat dengan jaminan hak
kebendaan:
1) Gadai
Berdasarkan
ketentuan pasal 1150 KUH Perdata, yang dimaksud gadai adalah Suatu hak yang
diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak� yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan
kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya.
2) Hipotik
Ketentuan
pasal 1162 KUH Perdata merumuskan pengertian Hipotik sebagai berikut: �Hipotik
adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil
penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan.� Dengan kata lain
Hipotik adalah hak kebendaan yang member kekuasaan langsung atas benda tak
bergerak yang mana benda itu dapat dijadikan jaminan pelunasan sejumlah utang.
3) Hak Tanggungan
Hak
Tanggugan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah (selanjutnya disebut
Undang-Undang Hak Tanggungan). Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 1
Undang-Undang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur
tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
4) Fidusia
Adapun yang
dimaksud dengan Jaminan Fidusia, pasal 1, angka 2 Undang-Undang Fidusia
memberikan pengertian sebagai berikut: Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas
benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak
bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan�
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur
lainnya (Pratidina, 2018).
Sebagaimana
telah disampaikan sebelumnya bahwa Perumda Pasar jaya menginginkan SHPTU dapat
diikat dengan fidusia. Adapun pertimbangan adalah Jaminan Fidusia dapat
memberikan jaminan kebendaan kepada bank selaku kreditur sehingga dapat
melindungi kepentingan bank dan memberikan hak-hak kebendaan kepada bank,
termasuk menjalankan parate executie pada saat debitur wanprestasi. Perumda
Pasar Jaya menganggap bahwa SHPTU adalah jaminan hak kebendaan, dalam hal ini
benda bergerak yang tidak berwujud, Pertimbangan lainnya adalah karena hak pakai
kios juga memiliki sifat-sifat kebendaan karena dapat dialihkan berdasarkan
Persetujuan dari Direksi Perumda Pasar Jaya.
Undang-Undang
Fidusia tidak secara tegas mengatur hak pakai atas bangunan sebagai obyek
Jaminan Fidusia dalam hal ini menimbulkan kesalahpahaman di lapangan mengenai
kemungkinan hak pakai atas bangunan sebagai obyek Jaminan Fidusia.
Berdasarkan
uraian tersebut terkait SHPTU di Pasar, maka penulis berpendapat bahwa tempat
usaha di Pasar yang dimiliki oleh Perumda Pasar Jaya tersebut merupakan izin
untuk memakai bangunan, tidak ada hak kepemilikannya. bahwa terdapat risiko
apabila pengikatan jaminan SHPTU atas tempat usaha dilakukan dengan pranata
jaminan Fidusisa karena kedudukan hak pakai kios� sebagai obyek jaminan Fidusia tidak didukung
dengan landasan hukum ataupun alasan yang kuat. Sehingga, penjelasan dari
keempat lembaga jaminan di atas, dapat diberikan suatu kesimpulan bahwa sebuah
tempat usaha Pasar yang diberikan oleh pemerintah setempat, tidak dapat
dijaminkan menggunakan keempat bentuk lembaga jaminan di atas.
2.
Sistem Hukum Jaminan
Dari kajian
berbagai literatur tentang hukum perdata, menunjukan bahwa system pengaturan
hukum, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (Rahmadi, 2009):�
a. Sistem tertutup (closed system)
b. Sistem terbuka (open system)
Sistem
pengaturan hukum jaminan adalah system tertutup (closed system). Yang diartikan dengan system tertutup adalah orang
tidak dapat mengadakan hak jaminan baru, selain yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang.
Mengingat
sistem pengaturan hukum jaminan sifatnya tertutup, maka penulis berpendapat
bahwa Ketentuan tentang jaminan hanya tunduk kepada ketentuan yang sudah
ditetapkan sebagaimana tersebut di atas dan diluar ketentuan tersebut ketentuan
jaminan tidak tunduk. Oleh karenanya ketentuan SHPTU yang didasarkan dari
Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 tahun 2009 tentang pengelolaan
Area Pasar tidak dapat diberlakukan dalam hukum�
jaminan di Indonesia.
3.
Penggunaan SHPTU Sebagai Jaminan Kredit
Dalam Praktek
Sejak
dikerluakan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor
33/POJK.03/2018 Tentang Aset Produktif dan Pembentukan Penyisahan Pengahapusan
asset Produktif Bank Perkreditan Rakyat yang diundangkan� pada tanggal 28 Desember 2018, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018, Nomor 258 (selanjutnya disebut POKJ
RI� No. 33/POJK.03/2018 ),� Bank-bank, terutama Bank Perkreditan
Rakyat� mulai mau menerima SHPTU sebagai
jaminan kredit,� karena dalam POKJ
RI� No. 33/POJK.03/2018 pasal 17 ayat 1
(g) menyatakan bahwa �50 % (lima puluh persen) dari harga pasar, harga sewan,
atau harga pengalihan, untuk agunan berupa tempat usaha yang disertai bukti
kepemilikan atau surat izin pemakaian atau hak pakai atas tanah yang
dikeluarkan oleh instansi berwenang� dan
disertai dengan surat kuasa menjual atau pengalihan hak yamg dibuat atau
disahkan oleh notaris atau dibuat oleh pejabat lain yang berwenang�.
4.
SHPTU Memiliki Kesamaan dengan Sewa Menyewa
Berdasarkan
ketentuan pasal 1548 KUH Perdata, yang dimaksud dengan sewa menyewa adalah
suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang selama waktu
tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi
pembayarannya (Tamengge, 2019).
Melihat
ketentuan sewa tersebut diatas maka penulis dapat menyimpulkan adanya kemiripan
SHPTU dengan sewa menyewa sebagai berikut:
a. Adanya penyerahan barang dari pemilik kepada
penyewa dan pembayaran uang sewa
b. Perumda Pasar Jaya sebagai pemilik bangunan
(tempat usaha/kios) menyerahkan hak�
pemakaian� tempat usaha� kepada pemilik SHPTU (pedagang) untuk dipakai
usaha, sedangkan pedagang (pemilik SHPTU) harus membayar kepada Perumda Pasar
Jaya (yang dalam hal ini pembayaran diberikan kepada developer sebagai pihak
yang ditunjuk oleh Perumda Pasar Jaya) sejumlah uang atas penjualan hak
pemakaian tersebut, demikian disebutkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Area Pasar, �pasal 1 ayat 11.
c. Adanya pembatasan jangka waktu SHPTU
dibatasi jangka waktu sesuai dengan jangka waktu yang tertera dalam SHPTU atau
paling lama 20 (dua puluh) tahun, sebagaimana pengertian SHPTU dalam Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Pengelolaan Dan Pengembangan Usaha Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya� pasal 1 ayat (33).
d. Penyewa berkewajiban menjadi �Bapak Rumah
Yang Baik�. Pemilik SHPTU (Pedagang) berkewajiban menjaga, memelihara tempat
usaha dengan baik, tidak merombak, menambah, mengubah, memperluas tempat usaha,
serta tidak mengubah jenis jualan.
Berdasarkan
hal-hal tersebut diatas, tampak jelas bahwa antara sewa menyewa dengan SHPTU
memiliki kesamaan, yang membedakan adalah dasarnya. Sewa Menyewa dasarnya
adalah buku III KUH Perdata dan perjanjian antara pemilik barang dengan
penyewa, sedangkan SHPTU dasarnya adalah Peraturan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2018, peraturan lainnya dan perjanjian yang
melibatkan 3 (tiga) pihak yaitu, pedagang pasar, developer dan Perumda Pasar
Jaya.
B.
Kekuatan Pembuktian Sertifikat Hak Pemakaian
Tempat Usaha (SHPTU) Dan Sertifikat Tanah Sebagai Jaminan Utang
1.
Hubungan Hukum antara Perusahaan Umum Daerah
Pasar Jaya, Pedagang dan Developer�
Perusahaan
Umum Daerah Pasar Jaya yang selanjutnya disebut Perumda Pasar Jaya adalah
Perusahaan Umum Daerah Pasar jaya Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
memiliki tugas untuk melaksanakan pelayanan umum dalam bidang pengelolaan area
pasar milik Pemerintah Provinsi Dearah Khusus Ibu Kota Jakarta. Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, Perumda Pasar Jaya diberi kewenangan untuk
memfasilitasi kerjasama wadah para pedagang dalam kemitraan dengan pihak lain
seperti bekerjasama dengan Pihak Ketiga, dalam hal ini di Pasar Tanah Abang
Blok B, Developer sebagai Pihak Ketiga adalah Pihak yang ditunjuk oleh Perumda
Pasar Jaya, hal demikian ditegaskan dalam Surat Keputusan Gubernur Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 39 Tahun 2002 tentang Ketentuan� Pelaksanaan Kerja Sama Perusahaan� Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Jadi dalam
hal ini, jika� para pedagang di Pasar
Tanah Abang Blok B� ingin memiliki SHPTU
atas tempat usaha pasar Tanah Abang Blok B, pedagang� memesan tempat usaha� kepada Developer� sebagai pihak yang ditunjuk oleh Perumda
Pasar Jaya, dengan membayar harga jual yang telah ditentukan oleh Developer,
lalu pedagang�� menandatangai Surat
Konfirmasi Unit Pesanan dan Surat Pemesanan, setelah pasar Tanah Abang Blok B
selesai dibangun dan siap untuk ditempati, para pedagang yang akan menempati
kios terlebih dahulu pedagang�
menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST). Dalam hal pedagang
belum melunasi pembayaran atas harga pemakaian tempat usaha kepada Developer,
pedagang juga menandatangani Perjanjian Pinjam Pakai Unit Tempat Usaha. Setelah
pedagang telah melunasi seluruh pembayaran atas harga pemakaian tempat usaha
kepada Developer maka pedagang menandatangani Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha
(PPTU) dengan Developer dan Perumda Pasar Jaya.
2.
SHPTU Merupakan Bukti Kepemilikan atas Hak
Pemakaian Tempat Usaha (Fuady, 2020)
Sertifikat
Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) adalah bukti kepemilikan hak pemakaian
tempat usaha. Seseorang belum dapat memperoleh SHPTU yang diterbitkan oleh
Perumda Pasar Jaya selaku pemilik bangunan pasar, manakala belum melunasi
seluruh pembayaran harga pengikatan serta biaya-biaya lain yang telah
disepakati. Untuk itu, jika bangunan telah siap untuk dipakai dan pembayaran
belum lunas, biasanya pihak developer/pengelola mengijinkan pemesan memakai
kios untuk berjualan dengan terlebih dahulu menandatangani perjanjian pinjam
pakai kios dengan syarat dan ketentuan yang disepakati.
Berdasarkan
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor 7 Tahun 2018
tentang Pengelolaan Dan Pengembangan Usaha Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya,
pada pasal 1 ayat (33) menyatakan: �Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha
adalah Bukti Kepemilikan atas hak Premakaian Tempat Usaha yang berlaku untuk
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun.� Dan Pasal 7 ayat (6)
menyatakan: �Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha dapat dijadikan agunan (Febriyanti, 2020).�
Dari bunyi
pasal tesebut, ada kata �kepemilikan� dan �hak pemakain�. Dari kata kepemilikan
seolah-olah SHPTU merupakan hak kebendaan, namum jika dilihat hak pemakaian
seolah-olah SHPTU sebagai hak perorangan.
Yang menjadi
dasar Perumda Pasar Jaya menyatakan bahwa SHPTU sebagai hak kebendaan adalah
sebagai berikut:
a) Hak pemakaian tempat usaha di pasar-pasar PD
Pasar Jaya diberikan oleh pemerintah DKI Jakarta cq. PD Pasar Jaya kepada para
pedagang pasar � 62.617 orang dengan jumlah tempat usaha sebanyak �100.000
tempat usaha (yang tersebar di 151 pasar) berpedoman Peraturan Daerah Propinsi
DKI Jakarta Nomor 6 tahun 1992 (pasal 9 ayat 2) jo. Peraturan Daerah DKI
Jakarta Nomor 12 tahun 1999.
b) Hak tersebut diberikan untuk jangka waktu
paling lama 20 tahun dengan cara perolehan melalui penebusan harga jual hak
pemakaian tempat usaha kepada PD Pasar Jaya.
c) Berkaitan dengan hal dimaksud pada butir 2
dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah beserta pelaksanannya Hak
Pemakaian Tempat Usaha pada bangunan�
pasar PD Pasar Jaya dapat dimiliki dan dialihkan dan dapat dijadikan
jaminan kredit. Hal ini sudah berjalan sejak terbitnya Peraturan Daerah Nomor 6
Tahun 1982.
d) Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas,
maka Hak Pemakaian Tempat Usaha merupakan kebendaan bergerak yang tidak
berwujud atas tempat usaha yang mempunyai nilai ekonomis yang didirikan di atas
tanah yang bukan milik, HGB dan HGU tetapi di atas Hak Pakai.
Lebih lanjut
(Darus Badrulzaman, 2015),
menyatakan bahwa yang menjadi sifat-sifat hak kebendaan adalah sebagai berikut:
1) Bersifat statis.
2) Bersifat absolut, artinya mempunyai akibat
kebendaan, yaitu dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Hak tersebut
mengikuti bendanya di tangan siapa benda itu berada (zaasgevolg, droit de
suite).
3) Asas hak prioritas, artinya hak kebendaan
memiliki hak didahulukan berdasrkan saat terjadinya hak tersebut.
4) Hak kebendaaan dapat dalam dipindahkan dalam
bentuk peralihan lepas, dijaminkan dan dialihkan secara terbatas (hak manfaat).
5) Hak kebendaan menganut sistem tertutup,
artinya hak kebendaan tidak dapat didasarkan pada perjanjian.
Menunjuk
butir a tersebut diatas, berdasarkan Sumber: PD Pasar Jaya 2019, jumlah pasar
dikelola Perumda Pasar Jaya sebanyak 153 Pasar yang tersebar diseluruh wilayah
Provinsi DKI Jakarta.
Berdasarkan
hal-hal tersebut diatas, Penulis berpandangan bahwa SHPTU bukan hak kebendaan,
sebab:
a. Hak Pemakaian Tempat Usaha adalah hak yang
bukan termasuk hak yang diatur dalam Buku II KUH Perdata.
b. SHPTU bukan merupakan kepemilikian bangunan
(kios) di Pasar, melainkan bukti kepemilikan atas hak pemakaian Tempat Usaha. Pedagang
yang diberikan hak pemakaian tempat usaha oleh Perumda Pasar Jaya� hanya berhak untuk memakai, karena pada
dasarnya pemilik bangunan tempat pasar (kios) di pasar adalah Pemerintah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang dikelola oleh Perumda Pasar Jaya,
hal demikian sesuai dengan:
1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dan Pengembangan Usaha
Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya:
a) Pasal 1 ayat (11)� yang menyatakan:
Pasar adalah
Lembaga ekonomi tempat bertemunya pembeli dan penjual, baik secara langsung
maupun tidak langsung, untuk melakukan transaksi perdagangan.
b) Pasal 1 ayat (12) yang menyatakan:
Pengelolaan� Usaha Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya
adalah� pengelolaan Unit Usaha Pasar Jaya
yang dikelola dan menjadi kewenangan Perusahaan Umum Daerah Pasar jaya
berdasarkan ketemtuan Peraturan Daerah.
c) Pasal 1 ayat (13)� yang menyatakan:
Pengembangan
Usaha Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya adalah pengembangan Unit Usaha
Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya sesuai dengan kebutuhan Perusahaan.
d) Pasal 1 ayat (14) yang menyatakan:
Area Pasar
adalah area dalam Pasar yang dikelola dan menjadi yang diperuntukan Perusahaan
Umum Daerah Pasar jaya sebagai zona yang diperuntukan bagi berbagai kegiatan
yang terintegrasi dengan usaha pasar baik berupa kegaiatn hunian, perdagangan,
jasa dam perkantoran.
2) Surat Ijin Pemakaian Tempat Usaha (SIPTU)
yang dikeluarkan oleh Direksi Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya diperuntukan
kepada para pedagang pasar yang menyatakan pedagang pasar diberikan ijin hanya
memakai atas tempat usaha di pasar bukan memiliki, �Untuk memakai tempat usaha
milik Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya.
3.
Peraturan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 7 Tahun 2018� Tidak Dapat
Mengikat Bank dan Jaminan Utang
Meskipun
Peraturan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Pengelolaan Dan Pengembangan Usaha Perusahaan Umum Daerah Pasar Jaya menyatakan
bahwa SHPTU adalah bukti kepemilikan yang dapat dijadian agunan, namun dalam
kenyataannya Bank tidak serta merta dapat menerima SHPTU sebagai jaminan utang,
kalaupun diterima hanya ditempatkan sebagai jaminan tambahan.
4.
Peraturan Daerah Tidak Dapat Mengatur Bank
Dan Jaminan Utang
Peraturan
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun 2018 secara hukum hanya
dapat berlaku di Daerah Khusus Ibukota Jakarta saja dan tidak bisa diberlakukab
di luar daerah Jakarta. Sementara itu, bank adalah badan usaha yang memiliki
usaha bukan hanya di wilayah Jakarta melainkan di seluruh wilayah Indonesia. Oleh
karenanya penulis berpendapat bahwa bank dan ketentuan jaminan utang tidak bisa
diatur dengan menggunakan ketentuan Peraturan Daerah, melainkan harus diatur
oleh undang-undang.
5.
Sertipikat Sebagai Bukti Kepemilikan Hak
Atas Tanah
a. Sertipikat Sebagai Tanda Bukti Hak
Sertipikat
menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah surat tanda
bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak
atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan
hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan (Susanto, 2014).
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dan
analisis yang telah diuraikan dimuka, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pengertian Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha
(SHPTU) yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 7 Tahun 2018� tentang� Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Perusahaan
Umum Daerah Pasar Jaya (Perumda Pasar Jaya)�
yang menyatakan� bahwa SHPTU
adalah bukti kepemilikan hak pemakaian tempat usaha yang berlaku untuk jangka
waktu� paling lama 20 (dua puluh) tahun yang
bisa dijadikan jaminan utang, seolah-olah�
SHPTU memiliki hak kebendaan, sedangkan ditinjau dari Hukum
Kebendaan� SHPTU bukanlah hak kebendaan.
Penulis berpandangan bahwa SHPTU bukanlah merupakan hak kebendaan, sebab hak
pemakaian tempat usaha tidak dibahas dalam buku II KUH Perdata� dan SHPTU lahir� karena adanya�
Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU) dan yang menjadi pemilik
(gedung) tempat usaha di Pasar Tanah Abang Blok B bukanlah� pemilik SHPTU melainkan Pemerintah
Provinsi� Daerah Khusus Ibukota Jakarta
yang dikelola oleh Perumda Pasar Jaya. Sedangkan Pedagang Pasar Tanah Abang
Blok B hanya memiliki hak pemakaian tempat usaha di Pasar Tanah Abang Blok B
untuk jangka waktu tertentu dengan kewajiban membayar hak pemakaian tersebut
dan kewajiban lain yang di tetapkan oleh Perumda Pasar Jaya. Selanjutnya jika
dicermati lebih jauh, dapat terlihat bahwa SHPTU memiliki kesamaan unsur dengan
sewa menyewa sebagaimana diatur� dalam
Pasal 1548 KUH Perdata yaitu adanya penyerahan barang dari pemilik kepada
penyewa untuk dinikmati (bukan untuk dimiliki), adanya pembayaran harga dari
penyewa kepada pemilik� serta adanya
jangka waktu.
Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) tidak
mempunyai kekuatan hukum pembuktian� yang
sama seperti halnya sertipikat tanah walaupun sama-sama bisa dialihkan ke pihak
lain dan tidak semua Bank mau menerima sebagai jaminan utang, bahkan tanah
dengan Sertipikat Hak Pakai saja hanya bank tertentu yang� mau menerima sebagai jaminan walaupun jelas
dalam Undang-Undang Republik Indonesia�
Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah� Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah (Undang-Undang No 4 Tahun 1996) memperbolehkan Hak Pakai sebagai jaminan.
Penulis berpendapat bahwa SHPTU tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan
pranata jaminan yang sudah ada, meskipun�
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7 Tahun
2018� menyatakan bahwa SHPTU dapat
dijadikan jaminan. Sebab SHPTU tidak dapat dijadikan obyek jaminan dengan
menggunakan hukum jaminan kebendaan baik dalam bentuk Gadai, hipotek, hak
tanggungan atau jaminan Fidusia.
BIBLIOGRAFI
Darus
Badrulzaman, Mariam. (2015). Hukum
Perikatan Dalam KUH Perdata Buku Ketiga (Yurisprudensi, Doktrin, Serta
Penjelasan). Bandung: Citra Aditya
Bakti. Google Scholar
Febriyanti, Susanty. (2020). Perolehan Hak Pemakaian
Tempat Usaha yang Belum Terbit Serifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha melalui
Perjanjian Kredit dengan Jaminan Cover Note (Pemegang Hak dalam
Penantian)(Studi Kasus pada Kantor Swamitra Unit Simpan Pinjam Koperasi Pasar
Cipulir). Pamulang Law Review, 3(2), 117�126. Google Scholar
Fuady, M. (2020). Teori Hukum Pembuktian Pidana Dan
Perdata (Cetakan Ke). In Pt Citra Aditya Bakti. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. Google Scholar
Khairi, Ilman, & Roestamy, Martin. (2017).
Pengembangan Model Asas Droit De Preference Terhadap Kepemilikan Tempat Usaha Pada
Pasar Tanah Abang Jakarta. Jurnal Hukum De�rechtsstaat, 3(2). Google Scholar
Pratidina, Ginung. (2018). Fidusia Sebagai Lembaga
Jaminan Atas Tagihan Kredit Pemilikan Rumah Pada Pasar Sekunder. Rechtsregel:
Jurnal Ilmu Hukum, 1(1). Google Scholar
R. Subekti. (2010). Hukum Perjanjian. Jakarta:
Jakarta: PT Intermasa.
Rahmadi, Usman. (2009). Hukum Jaminan Keperdataan.
Jakarta: Sinar Grafika. Google Scholar
Salim, H. S., & Nurbani, Erlies Septiana. (2017). Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis
dan Disertasi Buku Kedua. PT Raja
Grafindo Persada: Depok. Google Scholar
Soerjono Soekanto. (2019). Pengantar Penelitian
Hukum. Jakarta: UI Press. Google Scholar
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. (2019). Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Depok: Rajawali Pers.
Susanto, Bronto. (2014). Kepastian Hukum Sertifikat
Hak Atas Tanah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. DiH:
Jurnal Ilmu Hukum, 10(20). Google Scholar
Tamengge, Miranda. (2019). Kajian Yuridis Tentang Sewa
Menyewa Sebagai Perjanjian Konsensuil Berdasarkan Pasal 1548 KUHPerdata. Lex
Privatum, 6(7). Google Scholar
Liana P Nugroho dan Gunawan Djajaputra (2021) |
First
publication right: |
This
article is licensed under: |