Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 7, Juli 2021
PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI PIHAK PEMBELI DAN KREDITUR ATAS PEMBLOKIRAN SERTIFIKAT HAK MILIK
DALAM PELAKSANAAN PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH
Alit Nurfatah Prihadiansyah, Ariawan
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara (UNTAR) Jakarta, Indonesia
Email:� [email protected], [email protected]
Abstrak
Mengikat
jual beli tanah dengan status Sertifikat Hak Milik merupakan tindakan hukum
awal yang mendahului tindakan hukum jual beli tanah. Akta pengikatan jual beli
tanah dalam praktiknya sering dilakukan dalam bentuk akta otentik yang dibuat
di hadapan Notaris, sehingga Akta Pengikatan Jual Beli adalah akta otentik yang
memiliki kekuatan bukti sempurna. Berdasarkan uraian tersebut, ditetapkan 2
(dua) formulasi permasalahan, yaitu: (1) apakah akta pengikatan penjualan dan
akta kekuasaan penjualan yang telah dilakukan sebelum Notaris dapat diminta pembatalan
oleh pemilik petok; dan (2) apa perlindungan hukum bagi pembeli Sertifikat
Tanah Milik. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif.� Hasil penelitian ini adalah
bahwa pembeli tanah yang telah disertifikasi yang telah terbukti membeli dengan
Kekuatan Jual Beli Yang Mengikat, terutama sertifikat tersebut telah benar
asalnya dan telah diterbitkan lebih dari 5 (lima) tahun tidak mengajukan klaim,
maka klaim atau keberatan pihak yang dirugikan dengan penerbitan sertifikat
tersebut dianggap batal.
Kata Kunci: perlindungan hukum; pemilik tanah; sertifikat
Abstract
Binding of land sale and purchase with
the status of Property Rights Certificate is an early legal action that
precedes the legal act of buying and selling land. Deed of binding on the sale
and purchase of land in practice is often made in the form of an authentic deed
made before a Notary Public, so the Deed of Binding of Sale and Purchase is an
authentic deed that has the power of perfect proof. Based on the description,
determined 2 (two) formulations of the problem, namely: (1) whether the deed of
binding of sale and deed of power of sale that has been made before the Notary
public can be requested cancellation by the owner of the petok; and (2) what is
the legal protection for the buyer of the Land Certificate of Property. The type of research used is normative
juridical research. The result of this research is that the buyer of land that
has been certified that has been proven to purchase with the Binding Buy and Sell
Power, especially the certificate has been true origin and has been issued more
than 5� (five) years do not file a claim,
then the claim or objection of the party harmed by the issuance of the
certificate is considered void.��
Keywords: legal protection; landowners; certificates
Pendahuluan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dalam Pasal 5 menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi,
dan ruang angkasa ialah hukum adat (Dilapanga, 2017).
Berdasarkan hukum adat perjanjian jual beli tanah merupakan perjanjian yang
bersifat tunai, terang dan riil. Tunai artinya bahwa dengan dilakukannya
perbuatan hukum tersebut hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada
penerima hak. Terang artinya Perbuatan hukum tersebut harus dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas membuat aktanya.Riil
artinya bahwa akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata dan
riil. Akta tersebut membuktikan bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum
yang bersangkutan, karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan
hukum pemindahan hak (Harsono, 1999).
Jual beli tanah merupakan hal
yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.Istilah jual beli
disebutkan dalam Pasal 26 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu yang
menyangkut jual beli hak milikatas tanah. Pasal-pasal lainnya tidak ada kata yang
menyebutkan jual-beli, tetapi hanya disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian
dialihkan menunjukan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak
atas tanah kepada pihak lain. Jadi, meskipun dalam Pasal hanya disebutkan
dialihkan,termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas
tanah karena jual beli (Sutedi, 2008).
Perkembangan penduduk yang
semakin meningkat, membuat kebutuhan tanah juga menjadi semakin tinggi, dan
untuk mendapatkan tanah sekarang ini juga bukanlah hal yang mudah ditengah
tingginya kebutuhan akan tanah, salah satu perolehannya dengan cara melalui
jual beli.
Berlakunya
UUPA menjadi dasar bagi terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Mengenai perbuatan hokum pemindahan hak atas tanah
maka wajib didaftarkan dan dicatat di Kantor Pertanahan. Sesuai dengan Pasal 6
ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997 dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala
Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut terbit
pula Peraturan pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta
Tanah sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Pembentukan peraturan perundang-undangan terkait pendaftaran
tanah adalah apabila ada orang maupun badan hukum yang hendak melakukan
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah maka harus dilakukan sebagaimana
ditetapkan. Secara normatif yuridis peralihan hak atas tanah khususnya Jual
Beli hanya dapat dilakukan apabila pembayaran telah lunas, dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan menandatangani Akta Jual Beli yang kemudian
didaftarkan di Kantor Pertanahan.
Keadaan
tersebut berbeda dengan ketentuan tentang perjanjian jual beliyang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).Sesuai
dengan Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan bahwa �Jual beli itu
dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya
orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya,
meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar� (Soeikromo, 2013).
Atas dasar Pasal tersebut, terlihat bahwa perjanjian dianggap telah ada sejak
tercapai kata sepakat, meskipun barang yang diperjanjikan belum diserahkan
maupun harganya belum dibayar.
Di dalam prakteknya, sering
terjadi ketika ada pihak penjual dan pihak pembeli yang akan melakukan jual
beli tanah tidak seketika langsung dilakukan pendaftaran tanah atas nama
pembeli meski telah dibayar lunas. Hal tersebut dapat dikarenakan adanya halangan-halangan
administratif, misalnya sertipikat masih dalam Hak Tanggungan, Pihak Penjual
maupun Pihak Pembeli belum mampu untuk membayar pajak-pajak yang timbul akibat
jual beli,sertipikat masih dalam proses turun waris, sertipikat masih dalam
proses pemecahan dan lain sebagainya, sehingga penandatanganan akta jual beli
hak atas tanah belum dapat dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan juga akan
menolak untuk membuatkan akta jual belinya.
Bahwa
untuk mengatasi hal tersebut, dengan tujuan perbuatan hokum dalam transaksi
jual beli mendapat perlindungan hukum, dengan demikian dapat dihindari akibat
hukum yang merugikan pihak-pihak yang bersangkutan,serta
guna kelancaran tertib administrasi pertanahan, maka ditemukan suatu terobosan
hukum oleh Notaris.Dalam praktiknya yang hingga kini masih dilakukan dengan
dibuatkannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
dihadapan Notaris.
R.
Subekti dalam bukunya menyatakan perjanjian pengikatan jual beliadalah perjanjian
antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli
dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut
antara lain adalah sertipikat hak atas tanah belum ada karena masih dalam
proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak
yang dikenakan terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik oleh
penjual atau pembeli (R. Subekti, 2010).
Walaupun
isinya sudah mengatur tentang jual beli tanah namun formatnya baru sebatas
pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang merupakan atau dapat
dikatakan sebagai perjanjian pendahuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual
beli.Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) itusendiri sebenarnya belum diatur
dalam perundang-undangan yang dinamakan perjanjian pengikatan jual beli (Supriadi, 2006).
Perjanjian
Pengikatan Jual Beli sering digunakan sebelum dilakukannya pembuatan akta jual
beli hak atas tanah dihadapan PPAT. Pada kenyataannya Perjanjian Pengikatan
Jual Beli ini tidak pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hak atas tanah, sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan
mengenai kekuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli terhadap sengketa hak atas
tanah yang diikuti pemblokiran sertipikat di Kantor Pertanahan.
Seperti halnya perjanjian jual
beli tanah dan bangunan yang terjadi antara Lasmini selaku penjual dan Sudiyana
selaku pembeli yang dituangkan dalam Akta
Pengikatan Jual Beli No. 04 yang dikeluarkan oleh Notaris Woedjoed Wiradi, SH.
M.KN pada tanggal 11 November 2014, atas sebidang tanah dan bangunan
milik Lasmini yang beralamat di Perumahan
Wahana Pondok Gede Blok K.1 No. 1 RT 00 RW 007 Kelurahan Jatiranggon, Kecamatan
Jatisampurna, Kota Bekasi, Propinsi Jawa Barat dengan Sertipikat Guna Bangunan
Nomor 1661 Surat Ukur Nomor 2063/Jatiranggon atas nama Fery Zanwar, Ferdy
Zanwar, Lasmini. Dalam Akta tersebut dijelaskan bahwa Sudiyana membeli
sebidang tanah dan bangunan dengan harga sebesar Rp. 400.000.000,00 (empat
ratus juta rupiah) dengan sistem pembayaran
uang muka (tanda jadi) sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) kepada Lasmini yang dibayarkan sebelum
penandatanganan Akta Jual Beli.
Untuk pembayaran selanjutnya Sudiyana dan Lasmini sepakat bahwa pembayaran dilakukan melalui PT. Bank Pundi
Indonesia, Tbk, Kantor Cabang Ahmad Yani, Bekasi, sebagaimana dituangkan dalam
Akta Jual Beli dengan menitipkan sertipikat tanah dan bangunan di bank. Pada
intinya Sudiyana mendapat fasilitas
kredit rumah sebesar Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) untuk
melunasi pembayaran rumah tersebut kepada PT. Bank Pundi Indonesia, Tbk, Kantor
Cabang Ahmad Yani, Bekasi.
Berdasarkan
hal tersebut maka Sudiyana melakukan
Pembayaran sebesar Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) kepada
Lasmini melalui PT. Bank Pundi Indonesia, Tbk, Kantor Cabang Ahmad Yani,
Bekasi. Selatah Sudiyana melakukan
kewajiban pembayaran kredit rumah melalui PT. Bank Pundi Indonesia dan
melakukan pelunasan pembayaran kredit rumah tersebut sesuai dengan Surat Keterangan Lunas No. 003/SKL/BPD
Bantenkcbekasi/III/17 tanggal 13 Maret 2017 dari Bank Pembangunan Daerah Banten
Tbk, KC Bekasi yang menyatakan bahwa fasilitas kredit atas nama Lasmini,
No. Loan 04000803, sebesar Rp. 237. 885.062,90 selama 73 bulan dinyatakan Telah Lunas.
Berdasarkan Akta Surat Kuasa yang dikeluarkan oleh
Notaris Woedjoed Wiradi, SH. M.KN pada tanggal 11 November 2014, dinyatakan bahwa
Lasmini memberikan kuasa kepada Sudiyana untuk mengambil dokumen dan sertipikat
pada Bank Pundi, Tbk Kantor Cabang Ahmad Yani, Bekasi. Dengan demikian
surat-surat dan dokumen dari bangunan dan tanah tersebut sudah menjadi hak
milik Sudiyana sejak tanggal 13 Maret 2017.
Pada saat Sudiyana membeli rumah dan bangunan
tersebut dari Lasmini, Lasmini
menyampaikan bahwa rumah dan bangunan tersebut tidak dalam keadaan bermasalah
atau bersengketa dengan pihak lain. Selain itu setelah Sudiyana membeli
Tanah dan Bangunan dari Lasmini tidak pernah menjaminkan Sertipikat Guna
Bangunan No. 1661/Jatiranggon kepada pihak lain. Namun ketika Sudiyana hendak
melakukan proses balik nama atas Sertipikat Guna Bangunan No. 1661/Jatiranggon
menjadi sertipikat hak milik ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 26
April 2017, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bekasi BPN memberikan informasi bahwa
Sertipikat Guna Bangunan No.
1661/Jatiranggon telah diblokir sejak 14 Maret 2016 yang diajukan oleh Lasmini.
Berdasarkan
hal tersebut maka dapat diketahui bahwa pihak pembeli telah dirugikan oleh
pihak penjual.Dimana pihak pembeli yang sudah beritikad baik membeli tanah dan
bangunan serta telah melakukan pembayaran dengan lunas, namun pihak penjual
melakukan pemblokiran terhadap sertipikat tanah dan bangunan tersebut tanpa
sepengetahuan dari pihak penjual.
Menurut
ketentuan Pasal 126 Peraturan Menteri Agraria /Kepala BPN No. 3 Tahun 1997
tentang ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah syarat permohonan pencatatan dalam buku tanah atau pemblokiran
sertipikat hak atas tanah yaitu (Mardani, 2016):
a.
Adanya pihak
yang akan mengajukan gugatan atas objek sertipikat tanah yang dilayangkan ke
pengadilan
b.
Pencatatan
atau blokir tanah tersebut berlaku selama 30 (tiga puluh) hari; dan bahwa atas
permohonan pencatatan atau blokir tanah tersebut dijalankan atas perintah
Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut;
Catatan mengenai blokir akan terhapus dengan sendirinya dalam
waktu 30 hari kecuali apabila diikuti dengan putusan sita jaminan yang salinan
resmi dan berita acara eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan
(Peraturan Menteri Agraria /Kepala BPN
No. 3 Tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, Pasal 126).
Berdasarkan uraian Pasal 126
tersebut maka dapat diketahui bahwa pengajuan pemblokiran Sertipikat Guna
Bangunan seharusnya diajukan terlebih dahulu dengan melayangkan gugatan melalui
Pengadilan Negeri dan blokir sertipikat dijalankan berdasarkan perintah Majelis
Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Selain itu seharusnya pemblokiran tersebut berakhir setelah 30 (tiga puluh)
hari.Namun dalam uraian kasus di atas pemblokiran tanah dan bangunan
berlangsung lebih dari 30 (tiga puluh) hari, sehingga hal tersebut menimbulkan
kerugian bagi pihak pembeli yang telah beritikad baik.
Selain
itu pemblokiran sertipikat biasa dilakukan
untuk menghindari si pembeli mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain si
penjual dapat memblokir sertipikat tanah tersebut terlebih dahulu.Untuk memblokir
sertipikat tanah tersebut, si pejual dapat mengajukan surat permohonan
pemblokiran sertipikat tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan
menyertakan alasan-alasan melakukan pemblokiran, sebagai contoh tanah tersebut
sedang dalam sengketa hukum. Maka dari itu, surat permohonan harus dilampiri
dengan dokumen-dokumen yang relevan, seperti foto copy surat gugatan atau
laporan polisi, guna meyakinkan kantor pertanahan bahwa tanah tersebut dalam
sengketa.
Ketentuan
Pasal 1338 ayat (3) BW, salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan
asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari pihak yang membuat
perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian adalah kepatutan,
yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam
melaksanakan apa yang akan diperjanjikan (R. Subekti, 2010).
Asas itikad baik dengan demikian mengandung pengertian, bahwa kebebasan suatu
pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi
dibatasi oleh itikad baiknya (Remy, 1993).
Pasal
1320 KUHPerdata menyebutkan empat syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
sepakat, mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu,suatu sebab yang halal (Gumanti, 2012).
Pasal
1454 KUHPerdata menyebutkan bila suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu
perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang khusus mengenai
waktu yang lebih pendek, maka waktu itu adalah lima tahun. Maka berdasarkan
kasus tersebut, hal ini ditemui di dalam praktek, perjanjian pengikatan jual
beli tidak senantiasa mengalami perjalanan yang lancar. Hal ini dapat kita
lihat, manakala timbul suatu perselisihan-perselisihan disertai sengketa di
kantor pertanahan dan hingga yang diangkat di hadapan sidang pengadilan.
Timbulnya perselisihan ini diakibatkan karena terjadinya tidak adanya asas itikad baik dari pihak penjual (Setiawan Rahmat, 2005).
Sementara itu, masalah jual
beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari dan itikad
baik dalam jual beli merupakan faktor yang penting sehingga pembeli yang
beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku,sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu
mendapat perlindungan hukum.
Oleh karenanya ada hal-hal
yang harus diperhatikan dalam jual beli khususnya jual beli atas tanah, seperti
status hukum tanah tersebut apakah sedang dalam sengketa atau tidak dan sedang
dijaminkan atau tidak, hal tersebut biasanya tercantum dalam surat pernyataan
tidak dalam sengketa yang ditandatangani oleh pihak penjual dan diketahui oleh
pejabat daerah setempat dimana objek jual beli itu berada. Itikad baik yang
ditunjukkan oleh pihak pembeli yaitu dengan membayar harga yang telah
disepakati, dan pihak penjual berkewajiban menyerahkan objek jual beli yang
telah dibayar kepada pihak pembeli dalam keadaan tidak sedang dijaminkan ke
instansi manapun atau dilakukan jual beli terhadap pihak manapun.
Sehingga hal ini merupakan
salah satu problem hukum apabila penjual tidak memiliki itikad baik yaitu tidak
mengatakan yang sebenarnya mengenai obyek tanah yang dijualnya, seperti
misalnya tanah sudah dilakukan jual beli kepada pihak lain tetapi tidak
dikatakan secara terus terang atau tanah yang dijual sebenarnya masihdalam
sengketa atau telah dilakukan pemblokiran terhadap sertipikat atas tanah
tersebut. Selain itu, bila pembelian atau penjual tidak mempunyai itikad baik
akan menyulitkan notaris untuk membuatkan akta jual beli tanahnya mengingat
notaris kesulitan dalam menilai itikad baik dari para pihak baik penjual maupun
pembeli.
Berkaitan dengan uraian
tersebut diatas, apabila terjadi suatu peristiwa bahwa pihak penjual tidak
memiliki itikad baik dalam transaksi jual beli tanah tersebut karena melakukan
pemblokiran sertipikat tanah dan bangunan pada perjanjian jual beli tanah dan
bangunan yang telah mengakibatkan kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak
pembeli yang beritikad baik maka pihak penjual berkewajiban untuk memberikan
ganti kerugian kepada penggugat karena perbuatannya itu, hal tersebut sebagai
bentuk kepastian hukum bagi pihak pembeli yang beritikad baik. Tujuan
dari penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1). Untuk
mengetahui dan menganalisis prosedur pemblokiran
sertipikat oleh pihak penjual dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli
tanah apabila pembeli wanprestasi. 2). Untuk mengetahui dan menganalisis kepastian hukum pemblokiran sertipikat oleh pihak penjual dalam pelaksanaan
perjanjian pengikatan jual beli tanah yang dilakukan oleh penjual. 3). Untuk mengetahui dan menganalisis. 4). Perlindungan hukum
terhadap pembeli yang beritikad baik atas pemblokiran sertipikat hak milik
dalam pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli tanah. Suatu penelitian setidaknya harus mampu memberikan kegunaan baik
teoritis maupun praktis dalam kehidupan masyarakat.Kegunaan
penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yaitudari
segi teoritis dan segi praktis.
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat
bagi pengembangan keilmuan hukum
khususnya hukum perdata dalam hal perjanjian pengikatan jual belihak atas tanah
dan ilmu pengetahuan lainnya. Selain itu mampu memberi
masukan bagi para pihak yang membutuhkan pengetahuan mengenai asas itikad baik
dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Serta sebagai
bahan kajian awal yang lebih mendalam bagi penelitilainnya yang akan melakukan
kajian atas asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait atau masyarakat dalam
memaknai perlindungan hukum terhadap pembeli kedua
yang beritikad baik atas pemblokiran sertipikat hak guna bangunan dalam
pelaksanaan jual beli tanah. Selain itu dengan adanya penelitian ini diharapkan
dapat menambah wawasan dan dapat memberikan informasi dalam memahami asas
itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode yuridis normatif yang selain itu juga didukung dengan
menggunakan metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan
kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan
bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus)
(Sedarmayanti, 2017).
Dengan demikian objek yang dianalisis dengan pendekatan yang bersifat
kualitatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan (Soerjono Soekanto, 2019).
Hasil dan Pembahasan
A. Perlindungan Hukum Bagi Pihak Pembeli Dan Kreditur Atas Pemblokiran
Sertipikat Hak Milik Dalam Pelaksanaan Pengikatan Perjanjian Jual Beli Tanah
Perjanjian
Pengikatan Jual Beli merupakan ikatan penjarjian� pendahuluan yang dibuat antara penjual dan
pembeli yang didasari atas kesepakatan sebelum jual beli dilaksanakan.
Keinginan dan janji-janji dari penjual dan pembeli tersebut kemudian dituangkan
dalam suatu akta perjanjian pengikatan jual beli, yang mana hal ini dilakukan
untuk mengamankan kepentingan penjual dan pembeli serta bagaimana cara
penyelesaiannya jika salah satu pihak melakukan wanprestasi.
Akta
Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dilakukan sebelum terjadinya peristiwa
hukum jual beli dan dituangkan dalam Akta Jual Beli (AJB). Dengan demikian PPJB
tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas
tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.
Namun,
dengan dibuatkannya Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini diharapkan secara
yuridis dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan hak bagi para pihak. Dalam
penelitian ini penulis menemukan bahwa surat permohonan mengenai permohonan
blokir buku tanah yang diajukan oleh penjual. Permohonan tersebut dilakukan
oleh penjual ketika penjual masih menjadi nasabah dari salah satu bank yang
memberikan pinjaman dengan mengagunkan sertifikat hak milik. Dan ketika penjual
tanah dan bangunan tersebut menjual tanah dan bangunan tersebut, si penjual
tidak mencabut blokir terlebih dahulu padahal pembelian mana dilakukan secara
terang dan tunai. Bahwa memang, dalam Pasal 1458 KUH Perdata mengatakan: �jual
beli telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang
mencapai kata sepakat tentang benda dan harganya, walaupun benda itu belum
diserahkan dan harganya belum dibayar.� Kemudian dikatakan oleh Pasal 1459 KUH
Perdata: �Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli,
selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616 KUH
Perdata�. Namun dengan adanya pasal tersebut bukan berarti penjual melalaikan
kewajibannya untuk mencabut blokir sebagai syarat kepastian objek jual beli.
Selain
itu juga, selaku penjual diwajibkan untuk menjaminkan penguasaan benda
yang dijual secara aman dan tentram kepada pembeli dan adanya cacat-cacat
barang tersembunyi sebagaimana tertera dalam Pasal 1491 KUH Perdata.
Cacat-cacat
tersembunyi dalam hal ini ialah mengenai adanya kekurangan dari sertipikat
dalam hal ini belum dilakukan pencabutan blokir atas sertifikat tersebut.
Dengan melekatnya kewajiban penjual sebagaimana telah diatur dalam pasal
tersebut, seharusnya kedudukan pembeli telah memiliki Hubungan hukum yang
terjalin sebagai akibat perbuatan hukum jual beli dibentuk atas perjanjian atau
persetujuan diantara pihak yang berkepentingan. Peranan kejujuran atau itikad
baik sangat dibutuhkan dalam perjanjian, sehingga akan tercapai sesuai dengan
kemauan serta perasaan hukum para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Apabila
menunjuk kepada Pasal 125 ayat (2) dan 126 ayat (1) Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
pencatatan/pemblokiran buku tanah sertipikat hanya dapat dilakukan oleh pihak
yang berkepentingan dengan melampirkan salinan resmi penetapan/putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan salinan Berita Acara
Eksekusi atau melampirkan salinan surat gugatan atas suatu hak atas tanah yang
akan dijadikan obyek di pengadilan.
Kenyataannya
kantor pertanahan tetap mencatatkan blokir buku tanah atas sertipikat tersebut
dengan hanya berdasarkan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang telah dibuat
dihadapan notaris sebagai salah satu alat bukti kepemilikan. Akta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli mengandung unsur sepakat antara pihak penjual dan pihak
pembeli, maka dengan adanya kata sepakat ini lahirlah perikatan, namun hak
milik atas objek perikatan yang tercantum di dalam Akta PPJB belum dapat
dinyatakan beralih, untuk peralihan tersebut harus diadakan levering atau
penyerahan. Penyerahan atau levering adalah merupakan tindakan atau perbuatan
pemindahan hak kepemilikan atas sesuatu barang atau benda dari seseorang kepada
orang lain. Namum perlu dipahami bahwa peralihan atau berpindahnya hak atas
kekayaan dari seseorang kepada orang lain dapat terjadi dengan titel umum dan
titel khusus. Oleh karena itu, dengan dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli
saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual
kepada pembeli. Tahapan ini baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan
harusdiikuti dengan perjanjian penyerahan (levering) (R. Subekti, 1987),
yaitu di tandatanganinya akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
untuk selanjutnya dilakukan pendaftaran haknya pada kantor pertanahan yang
berwenang. Akta perjanjian pengikatan jual beli dalam permohonan pemblokiran
bukan merupakan salah satu unsur untuk memenuhi permohonan pemblokiran oleh
pihak yang berkepentingan dikabulkan oleh kantor pertanahan, PPJB hanyalah
merupakan alat bukti telah terjadinya penyerahan secara nyata (feitelijke levering) dan penyerahan
yuridis (yuridische levering) antara
pihak penjual dan pihak pembeli atas objek jual beli untuk selanjutnya
dimasukan ke dalam surat gugatan yang menjadi persyaratan administratif permohonan
pemblokiran pada kantor pertanahan.
Kesimpulan
Akta
Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris dalam pelaksanaannya sebagai
perjanjian awal sebelum dilaksanakannya pembuatan akta jual beli, mempunyai
kekuatan hukum yang sangat kuat, karena merupakan akta notariil yang bersifat
akta otentik. Akta pengikatan jual beli sebagai sarana untuk mengikat keinginan
para pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta jual beli namun masih
terkendala dengan adanya kekurangan syarat-syarat administratif, dalam hal ini
dengan akta pengikatan jual beli tersebut, tanah yang menjadi obyek jual beli
telah dapat beralih dari penjual kepada pembeli.
Sedangkan
Kuasa menjual merupakan bentuk perlindungan hukum bagi pembeli tanah Sertifkat
Hak Milik berdasarkan akta pengikatan jual beli, yang tetap menganut makna dari
Pasal 1818 KUHPerdata. Sertifikat Hak Milik merupakan suatu bukti yang kuat
bagi pemilik tanah untuk mengalihkan hak atas tanahnya tersebut. Selanjutnya
berdasarkan asas rehtverwerking, pihak yang merasa dirugikan atas
terbitnya sertifikat tersebut apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak
mengajukan tuntutan, maka tuntutan atau keberatan pihak yang dirugikan oleh
terbitnya sertifikat tersebut dianggap gugur, hal tersebut termaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 32 Ayat 2.
BIBLIOGRAFI
Dilapanga, Reynaldi A. (2017).
Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Merupakan Alat Bukti Otentik Menurut
Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Lex Crimen, 6(5). Google Scholar
Gumanti, Retna. (2012). Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari
KUHPerdata). Jurnal Pelangi Ilmu, 5(01). Google Scholar
Harsono, Boedi. (1999). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA.
Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Google Scholar
Mardani. (2016). Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
R. Subekti. (1987). Hukum Perjanjian. Bandung: Bina Cipta.
R. Subekti. (2010). Hukum Perjanjian. Jakarta: Jakarta: PT
Intermasa.
Remy, Sjahdeini Sutan. (1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank di Indonesia. Jakarta,
Institut Bank Indonesia. Google Scholar
Sedarmayanti. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia Reformasi Birokrasi
dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung : PT Refika Aditama. Google Scholar
Setiawan Rahmat. (2005). Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung:
Putra Abardin. Google Scholar
Soeikromo, Deasy. (2013). Pengalihan Hak Milik Atas Benda Melalui
Perjanjian Jual Beli Menurut KUH Perdata. Jurnal Hukum Unsrat, 1(3),
89�97. Google Scholar
Soerjono Soekanto. (2019). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI
Press. Google Scholar
Supriadi. (2006). Cetakan kedua. In
Sinar Grafika, Jakarta. Google Scholar
Sutedi, Adrian. (2008). Peralihan
Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, cetakan kedua. Sinar Grafika, Jakarta. Google Scholar
Copyright
holder: Alit Nurfatah
Prihadiansyah, Ariawan (2021) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article
is licensed under: |