Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849 e-ISSN : 2548-1398
Vol. 3, No 3 Maret 2018
Unswagati Cirebon
Email: aliprahm[email protected]
Rekonstruksi hukum meliputi tiga dimensi yaitu substansi, struktur dan kultu. Rekonstruksi hukum dilakukan dengan revitalisasi hukum dengan memperhatikan aspek menyeluruh struktur hukum yang ada. Kondisi ini sebagai bentuk upaya dalam meningkatkan penegakan suatu hukum yang tujuannya berintikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan, dimana posisi keadilan harus mampu menjadi yang pertama dari pada suatu kepastian hukum dan kebermanfaatnnya. Pelaksanaan akad murabahah saat ini sudah banyak dilakukan oleh para pelaku ekonomi, kegiatan ini merupakan dari usaha ekonomi syariah atau perbankan syariah, yang secara hukum eksistensinya telah dipayungi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 yang mengatur seluruh pelaksanaan kegiatan Lembaga Keuangan Syariah/Perbankan Syariah yang berlaku Indonesia.Tujuan dilaksanakanya penelitian ini ialah untuk memperoleh proses penyelesaian masalah atau sengketa terkait akad Murabahah. Pada kasus ini peneliti ini menggunakan jenis penelitian dengan pendekatan kualitatif. Sumber hukum utama pada penyelesaian masalah mengenai sengketa murabahah adalah akad serta konsistensi dalam menjalankan akad itu sendiri. Dalam praktek peradilan penyelesaian masalah sengketa dalam akad murabahah telah sesuai/tidak menyalahi aturan, hanya saja dalam proses pelaksanaan akad tersebut diketahui atau tidak dengan kualitas pemahaman yang berbeda-beda, maka proses perjanjian itu tidak seutuhnya diimplementasikan sesuai dengan kaidah dan norma hukum ekonomi islam.
Pendahuluan Penegakan hukum ialah salah satu tiang utama dalam negara bahkan yang ditempatkan sebagai satu bagian tersendiri dalam norma hukum. Ek- sistensi penegakan hukum mengakibatkan setiap sengketa yang ada dapat diselesaikan (Idrus Abdullah, 2009:5), baik itu sengketa antar sesama warga, antar warga negara dengan lembaga/negara, ataupun negara dengan negara lain, dengan demikian, wajib hukumnya untuk dapat menegakkan hukum sebagai usaha terwujudnya hak-hak individu yang telah ada pada pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
17
Demikian juga dengan proses penyelesaian permasalahan adalah juga sebagai upaya dalam menegakkan hukum yang tujuannya adalah untuk memanifestasikan kepastian, keadilan hukum, idealnya tentu harus sejalan dengan UUD 1945 pasal 28 ayat 1. Akad Murabahah ialah istilah yang dipakai dalam pelaksanaan kegiatan usaha ekonomi syariah atau perbankan syariah, yang secara hukum eksistensinya telah dipayungi dengan Undang-undang yang mengatur Perbankan Syariah.
Demikian pula kebijakan yang mengatur kewenangan penyelesaian permasalahan mengenai pelaksanaan kegiatan lembaga keuangan syariah/Bank Syariah dengan yuridis (landasan hukumnya) telah diatur menjadi kebijakan dari Pengadilan Agama yang berlandaskan pada UU No 3 Tahun 2006 yaitu tentang amandemen UU No 7 Tahun 1989, sebelum adanya keputusan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 telah terjadi dualisme norma hukum yang mengatur tentang kewenangan mengadili sengketa tentang perbankan syariah antara UU tentang peradilan Agama dan UU tentang Perbankan Syariah, namun setelah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut Pengadilan Agama secara litigasi dikuatkan kewenangannya untuk menyelesaikan sebuah sengketa tersebut.
Sebagai bagian dari pelaksanaan kegiatan usaha pada bidang ekonomi pada umumnya, perbankan syariah/ekonomi syariah belum mempunyai badan hukum secara ekslusif dalam bentuk Undang-Undang, baik hukum materil ataupun non materil. Peraturan yang diterapkan masih mempunyai keterkaitan dengan hukum materil yang mengacu pada KUH Perdata, KUH Dagang, Peraturan Mahkamah Agung serta fatwa dari Dewan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional (DSN).
Oleh karena itu pembentukan dasar hukum yang mengatur sebuah perjanjian secara umum adalah hukum perdata, sedang dasar hukum pembentukan mengenai perjanjian dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi islam adalah hukum islam itu sendiri, maka daripada itu sudah jelas akan menyebabkan sebuah masalah baru. Demikian pula yang berkaitan dengan hukum acaranya, idealnya Untuk dijadikan dasar proses penyelesaiannya adalah hukum acara ekonomi syariah, namun demikian hukum acara tersebut belum dibentuk. Berikut ini Hukum Acara Perdata yang masih dilaksanakan pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum adalah:
HIR./R.Bg.;
R.V., WvK., B.W;
Hukum Acara Perdata;
Undang-Undang lainnya;
Yurisprudensi, terutama tentang putusan Pengadilan Niaga dan lainnya yang berkaitan;
Peraturan Bank Indonesia dan atau Peraturan OJK dan Surat Edaran/Peraturan Mahkamah Agung yang berkaitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor: 7/35/PBI/2005 menjelaskan bahwa sebagai suatu sengketa keperdataan, maka dalam mangatasi perkara permasalahan ekonomi syari'ah, sumber hukum utamanya adalah perjanjian, sedangkan yang lain adalah sebagai tambahan dalam hukum.
Oleh sebab itu hakim harus menguasai dan mengetahui betul apakah pelaksanaan akad itu sudah memenuhi syarat sahnya pelaksanaan suatu akad. Hakim juga harus menganalisis apakah suatu perjanjian itu terdapat unsur yang merugikan dan tidak boleh dilakukan oleh syariah Islam seperti melaksanakan kegiatan riba dengan segala bentuknya, gharar atau tipu daya, maisir atau spekulatif, dulm atau ketidak adilan (Abdul Manan, 2010:9).
Apabila beberapa unsur yang telah disebutkan di atas terdapat dalam akad perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak, maka hakim dapat merekonstruksi dengan menyimpangi dari isi akad perjanjian itu. Menurut pasal 1244, 1245, dan 1246 KUHP, jika terdapat pihak yang melakukan ingkar janji (wanprestasi) yaitu perbuatan melanggar hukum, maka pihak yang sudah dirugikan boleh menuntut ganti rugi berupa ganti rugi biaya, bunga dan pemulihan prestasi.
Dalam konsepsi praktisi hukum pada khususnya, mereka mengonsepsikan dengan membedakan tujuan hukum acara perdata dan tujuan hukum acara pidana, hukum acara perdata tujuannya adalah untuk mencari kebenaran/keadilan formal, yakni kebenaran yang didasarkan atau mencukupkan pada bukti formal, sedang hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran material, konsepsi ini apabila dihubungkan dengan ketentuan pasal 28 D (1) UUD 1945 seperti telah disebutkan diatas maka seyogyanya sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena akibat hukum yang ditimbulkan oleh kedua bidang hukum tersebut tidak kurang berat resikonya, bisa saja dalam hukum
perdatapun hak seseorang untuk memiliki harta bendanya menjadi hilang yang berakibat seseorang susah melanjutkan kehidupannya.
Akad murabahah dan segala norma hukum yang menyertainya, oleh Ibnu Rusyd didefinisikan sebagaijual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati (Syafii, 2001:101). Dari kasus penyelesaian akad murabahah yang pernah penulis telusuri belum ada pihak nasabah baik yang berkedudukan sebagai pihak Penggugat ataupun Tergugat yang memenangkan perkaranya, untuk contoh dan yang menjadi bagian pembahasan karya tulis ini adalah putusan Pengadilan Agama Kota Cirebon yang diputus Desember 2017 dimana pihak Bank adalah Tergugat dan Nasabah sebagai Penggugat dan dimenangkan oleh pihak Tergugat (dalam contoh kasus ini adalah Bank).
Ini menggambarkan bahwa cukup berat resiko hukum yang harus ditanggung, menurut asumsi penulis sebagai akibat konsepsi hukum perdata yang bertujuan lebih condong untuk mencari/mewujudkan kebenaran formal/keadilan formal. Berdasar paparan diatas, maka agar hak dan perlindungan terhadap harta benda itu terjamin maka dalam proses penyelesaian sengketapun memerlukan kebenaran/keadilan material, atau dengan kata lain tidak hanya mencukupkan atau mementingkan dengan mendasarkan pada kebenaran formal sebagaimana yang selama ini dipegangi.
Untuk kepastian hukum, sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa kepastian hukum adalah termasuk dari tujuan hukum itu sendiri, dan kepastian hukum yang dimaksud apabila dikorelasikan dengan ketentuan yang ada di dalam pasal 28 D (1) UUD 1945 adalah kepastian hukum yang adil, yang maknanya bahwa keadilan itu merupakan rokh yang harus ada dalam suatu kepastian hukum . Jadi kepastian hukum yang diidealkan bukan hanya kepastian hukum semata tapi yang memuat rasa keadilan.
Dan apabila dikaitkan dengan proses penyelesaian sengketa maka kata kepastian hukum dimaksud berkonotasi kepada tuntutan adanya ketentuan yang mengatur tata cara (proses penyelesaian) yang tiada lain adalah peraturan hukum itu sendiri, dan kata yang adil berkonotasi kepada substansi yang diatur oleh peraturan hukum tersebut, makna kepastian hukum lebih bersifat prosedural dan makna keadilan lebih bersifat substansial.
Meskipun konsepsi para ahli dibidang hukum yang selama ini berpegang pada konsep bahwa kebenaran yang dicari dalam hukum perdata adalah kebenaran formil,
namun apabila substansinya menimbulkan rasa ketidakadilan, maka sudah pasti hal tersebut tidak dapat dipertahankan. Dan hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman berdasarkan pasal 10 (1) UU Tentang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009, jo.
Pasal 56 (1) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, jo. Pasal 1 (2) Perma No. 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi syariah, telah diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk menulusuri lebihlanjut hukum sebagai jaminan putusan agar adil dan benar. Dan hal ini dijamin UUD 1945 pasal 28 D ayat (1) sebagaimana telah penulis paparkan diatas, disamping Mahkamah Agung dalam putusannya No. 3136 K/Pdt/1983 tanggal 06 Maret 1985 menggariskan suatu kaidah tidak dilarangnya Pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materil. Dalam hubungan inilah hukum yang diantaranya berfungsi memberi perlindungan pada manusia/masyarakat yang harus tegak dan ditegakan, dalam pelaksanaannya bisa tidak berjalan, dan oleh karenan itu harus ditegakan, oleh karena itulah dibutuhkan peranata sosial berupa aturan hukum.
Hukum melalui peradilan akan memberikan perlindungan hak, sehingga merupakan suatu kebutuhan dalam hidup berbangsa dan bernegara, dan peradilan diperlukan untuk menyelesaikan sengketa diantara warganya (Wildan, 2013:2). Disebutkan dalam UUD 1945 pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, berdasarkan pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 memiliki tugas pokok menerima, memutus, menyelesaikan dan mengadili kasus yang diajukan kepadanya, dan berdasarkan pasal 11 UU tersebut bahwa hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kualitatif. Penelitian kualitatif berasaskan pada latar belakang yang komprehensif, penelitian ini objek penelitiannya adalah manusia itu sendiri dan menganalisis data dengan cara induktif, lebih mementingkan proses daripada hasil serta hasil penelitian yang dilakukan disepakati oleh peneliti dan subjek penelitian (Sugiono, 2009: 45) .
Data yang digunakan pada tulisan ini adalah jenis data primer dan data sekunder. Data primer yang dipergunakan bersumber dari penelitian lapangan yaitu data mengenai gambaran Perbankan Sya’riah mengenai Rekonstruksi Proses Penyelesaian Sengketa
Dalam Akad Murabahah yang berbasis keadilan. Sedangkan data sekunder adalah berupa data yang bersumber atau diperoleh dari penelitian kepustakaan. Data sekunder dibidang hukum dibedakan menjadi 3 (tiga) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yaitu:
Bahan hukum primer, Data bahan hukum ini didapatkan dari penelusuran penelitian di lapangan, yaitu dari hasil pemeriksaan terhadap para pihak dalam persidangan atau narasumber sebagai ketua majelis yang menangani perkara tersebut di Pengadilan Agama.
Bahan Hukum Sekunder, untuk mengumpulkan data ini di butuhkan literatur yang merupakan data mentah yang diklasifikasikan sebagai data sekunder, yang diantaranya yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
Bahan Hukum tersier, yakni bahan tambahan yang membantu memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Inggris Indonesia, Kamus Hukum dan Kamus ensiklopedia Hukum.
Penyelesaian permasalahan melalui peradilan berarti menyelesaikan sebuah sengketa secara litigasi. Sengketa yang diperiksa melalui jalur tersebut akan diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan. Dalam melakukan penyelesaian sengketa melalui lembaga litigasi, hakim yang bertugas harus cermat dan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Setelah memasuki tahap persidangan maka yang pertama harus dilalui oleh hakim adalah melakukanupaya perdamaian sebagaimana ketentuan pasal 130 HIR/145 RBg. jo.ketentuan pasal. UU TentangKekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009.
Upaya perdamaian juga ditempuh dengan keharusan untuk saling memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediatornya dalam upaya menempuh proses mediasi sesuai dengan amanat yang dituangkan pada Peraturan MA No 1 Tahun 2008 dan telah diperbaharui dengan Perma Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Proses Mediasi di Pengadilan. Jika upaya perdamaian/mediasi yang dilakukan berhasil maka gugatan dicabut atau dibuat suatu akta dalam bentuk akta perdamaian.Jika perdamaian tidak berhasil dilanjutkan pada tahap persidangan berikutnya yang meliputi pembacaan
gugatan, jawab menjawab (eksepsi, rekonvensi), pembuktian, kesimpulan para pihak, musyawarah majelis hakim dan putusan hakim/Pengadilan.
Ketika gugatan selesai dibacakan, Penggugat diberikan hak untuk meneliti kembali materi dalil gugat dan tuntutannya apakah sudah benar dan lengkap (termasuk upaya menjamin hak), sebab hal-hal yang tercantum dalam gugatan dan tuntutan itu yang menjadi landasan dan obyek pemeriksaan. Setelah gugatan selesai diperiksa, Tergugat diberikan kesempatan untuk membela dirinya dan mengajukan kepentingannya kepada Penggugat melalui jawaban yang dikemukakan melalui majelis hakim dalam persidangan, termasuk didalamnya mengajukan eksepsi dan gugat balik/rekonpensi.
Dalam tahapan berikutnya Penggugat diberikan kesempatan untuk kembali menegaskan tentang gugatannya yang disangkal oleh Tergugat dan mempertahankan diri sangkalan Tergugat dalam bentuk replik. Dan diberi kesempatan kembali untuk menegaskan jawaban yang disangkal oleh Penggugat dalam bentuk duplik, sehingga majelis hakim memandang cukup atas replik dan dupli tersebut. Dengan selesainya jawab menjawab dan replik Duplik, majelis hakim akan melanjutkan kedalam tahapan pembuktian. Penggugat dan Tergugat diberi kesempatan yang setara untuk mengajukan bukti-bukti. Pasal 163 HIR jo. Pasal 283 HIR jo. pasal 1865 BW menyatakan siapa mendalilkan sesuatu Apabila pemeriksaan bukti-bukti selesai, kepada Penggugat dan Tergugat masing-masing diberi kesempatan untuk mengajukan pendapat akhir dalam bentuk kesimpulan.Sebagai akhir dari pemeriksaan terhadap sengketa yang terjadi antara Penggugat dan Tergugat, majelis hakim selanjutnya bermusyawarah dan hasil dari musyawarah tersebut akan dituangkan dalam suatu putusan yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Menurut pasal 49 pada huruf (i) UU Nomor 3 tahun 2006, yang pasal dan isinya tidak diubah dalam UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa tugas Agama mempunyai tugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan kasus antara orang- orang yang beragama islam dalam bidang ekonomi syariah. Dan penjelasan dalam pasal
49, dinyatakan bahwa yang diartikan dengan ekonomi syariah adalah kegiatan yang dilakukan menurut prinsip-prinsip syariah, antara lain meliputi:
Lembaga Bank Syari’ah
Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
Asuransi Syari’ah
Reasuransi Syari’ah
Reksa Dana Syari’ah
Surat berharga dan Obligasi Syari’ah
Sekuritas Syari’ah
Pembiayaan Syari’ah
Pegadaian Syari’ah
Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah
Bisnis Syari’ah.
Dari penjelasan pasal tersebut dapat diketahui bahwa ruang lingkup kewenangan peradilan agama di bidang ekonomi islam/syariah meliputi keseluruhan bidang ekonomi syariah, selanjutnya pada penjelasan pasal tersebut dinyatakan:”yang diartikan dengan diantara orang-orang yang memeluk agama islam” yaitu termasuk orang yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan penuh sukarela kepada hukum islam tentang hal- hal yang menjadi kewenangan pengadilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.”
Konteks dari isi pasal 49 tersebut adalah bahwa nasabah lembaga keuangan syariah dan konvensional yang membuka unit usaha dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah baik dalam implementasi akad maupun sengketanya. Dalam hal ini tentunya termasuk penyelesaian sengketa dalam akad murabahah. Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga mengawasi dan mengatur mengenai kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh sebab itu, perjanjian yang dilakukan oleh para pihak berdasarkan prinsip syariah tidak bisa diadili di pengadilan lain.
Oleh karena ituapa yang telah penulis deskripsikan pada uraian diatas dilihat dari segi kompetensiabsolut Pengadilan,maka pertimbangan majelis hakim dalam eksepsi kewenangan mengadili adalah sudah tepat bahwa hal-hal yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah termasuk obyek sengketa dalam kasus yang penulis angkat diatas, yaitu berupa barang tidak bergerak milik Penggugat yang
dibebani hak tanggungan berkaitan dengan utang Penggugat kepada Tergugat I selama itu terkait dengan akad pembiayaan ekonomi syariah (dalam hal ini adalah akad pembiayaan murabahah nomor 016/MRBH-PMLG/10/13) tanggal 31 Oktober 2013 penyelesaiannya adalah termasuk kewenangan/kompetensi absolut Pengadilan Agama. Hubungan Hukum Para Pihak Sebagai Legal Standing
Sebagaimana telah diuraikan bahwa pada dasarnya segala transaksi antara bank syariah dengan nasabah, terutama yang berbentuk fasilitas pembiayaan selalu dituangkan dalam suatu surat perjanjian/perikatan.Dari perikatan atau akad antara Bank dan Nasabah timbul hubungan hukum berupa hak dan kewajiban masing-masing. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban pihak lain yang harus dipenuhi. Sehingga hak dan kewajiban para pihak merupakan satu siklus yang tidak terputus sampai terwujudnya tujuan perikatan.Namun dalam kenyataannya seperti kasus yang penulis bahas perikatan/akad tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan disebabkan salah satu pihak (dalam hal ini nasabah) tidak memenuhi prestasinya sebagaimana isi akad.
Sebagai pihak yang haknya merasa dilanggar oleh pihak lain dan akan mengajukan tuntutan maka hubungan hukum (dalam bentuk akad pembiayaan murabahah) inilah yang dijadikan dasar hukum sebagai alas hak (legal standing).Oleh karena itumajelis hakim dalam mempertimbangkan eksepsi Tergugat dalam hubungannya dengan kedudukan hukum para pihak dalam kasus yang diuraikan diatas dilihat dari hukum acara yang berlaku dimana Penggugat mengajukan gugatan terhadap para Tergugat menurut hemat penulis adalah sudah tepat, karena Penggugat mempunyai kepentingan hukum yang menurut anggapan Penggugat telah dilanggar oleh para Tergugat, antara lain pihak Bank /Tergugat telah melakukan pelelangan terhadap barang tanggungan, dengan alasan untuk memberikan perlindunganhak bagi Bank dengan tujuan agar Bank mendapatkan jaminan pelunasan pembayaran atas pembiayaan murabahah yang telah disediakannya danseharusnya dilunasi dengan cara angsur oleh nasabah/Penggugat namun dalam kenyataannya nasabah/Penggugat inkar janji.
Dalam putusannya majelis hakim mempertimbangkan berkaitan dengan tuntutan Penggugat pada angka 2 (dua) yang berbunyi“mohon agar majelis hakim berkenan memutuskan dengan menyatakan bahwa akad yang ditandatangani oleh Penggugat
dengan Tergugat I adalah sah secara hukum”.Dan setelah mempertimbangkannya majelis hakim mengabulkan tuntutan tersebut dengan menyatakan bahwa akad yang ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat I adalah sah secara hukum.
Menurut analisa penulis bahwa antara Penggugat dan Tergugat I tidak ada masalah mengenai keabsahan akad pembiayaan murabahah yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat I, mereka sama-sama mengakui telah terjadi akad pembiayaan murabahah yang sah, oleh karena itu tidak ada dasar hukum bagi Penggugat untuk mengajukan gugatan terkait keabsahan akad tersebut. Dalam istilah hukum perdata ada istilah yang dikenal dengan “geen belang geen actie” (tidak ada sengketa tidak ada perkara) dan kaidah hukum dalam yurisprudensi putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor 4K/Sip/1957 tanggal 13 Desember 1958 menyatakan bahwa “syarat mutlak untuk menuntut seseorang didepan pengadilan adalah adanya perselisihan hukum antara kedua belah pihak”.
Dari uraian diatas, menurut hemat penulis tuntutan Penggugat tersebut oleh karena tidak ada dasar hukumnya maka selayaknya harus dinyatakan tidak dapat diterima.Terhadap tuntutan Penggugat angka 3 (tiga) yaitu agar majelis hakim menyatakan perbuatan Tergugat I yang tidak mau menerima pembayaran pelunasan utang dari Penggugat adalah haram dan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, majelis hakim setelah mempertimbangkannya mengambil kesimpulan bahwa oleh karena tuntutan Penggugat tersebut tidak didukung oleh alat bukti, maka tuntutan tersebut dinyatakan ditolak.Menurut hemat penulis bahwa oleh karena menurut bukti T. III-12 pengumuman lelang itu dilaksanakan tanggal 17 September 2014 sedang Penggugat bermaksud membayar pelunasan utangnya tersebut dilakukan pada tanggal
15 Oktober 2014 maka kesempatan Penggugat untuk melunasi hutangnya kepada Tergugat I telah melewati batas yang ditentukan dalam Undang-undang, hal ini sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 20 ayat (5) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 yang mengatur Tentang pelaksanaan Hak Tanggungan Atas Tanah dan juga Benda-Benda Yang terdapat kaitannya Dengan Tanah yang menyatakan bahwa “Untuk menghindarkan dari pelelangan objek atas hak tanggungan, pelunasan hutang boleh dilakukan sebelum hasil pengumuman lelang dikeluarkan.
Dari uraian diatas, menurut analisa peneliti bahwa tuntutan Penggugat tersebut tidak berdasarkan hukum karena upaya pelunasan tersebut telah lewat waktu, dan oleh
karenanya tuntutan Penggugat angka 3 (tiga) tersebut seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam mempertimbangkan petitum 4 (empat), yaitu agar majelis hakim menyatakan perbuatan Tergugat I yang menyerahkan harga limit kepada Tergugat III yang tidak mengindahkan Pasal 36 Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 93/PL.06/2010 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang adalah merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum Sebagaimana telah diamandemen dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor.106/PMK.06/2013. majelis hakim memberikan pertimbangan bahwa dari bukti- bukti yang diajukan Penggugat tidakada yang mendukung dali-dalil gugatan Penggugat tersebut, dan oleh karena itu dinyatakan isi gugatan Penggugat point 4 (empat) tersebut tidak terbukti dan harus ditolak.
Pertimbangan demikian menurut analisa penulis telah tepat karena telah sesuai dengan aturan ketentuan hukum pembuktian yang berlaku. Hasil dari pertimbangan hukum yang di putuskan oleh majelis hakim terhadap petitum Penggugat angka 5, 6, 7, 8, 9 dan10, yang bunyi lengkap petitumnya adalah :
Menghukum Penggugat untuk membayar pelunasan utang kepada Tergugat I dengan perincian :
Utang pokok sebesar Rp. 53.150.000,-
Biaya lelang sebesar Rp. 2.000.000,-
Menghukum Penggugat agar membayar pengganti kerugian pajak lelang kepada Tergugat I Rp. 70.000.000,- X 5 % = Rp. 3.500.000,-
Menghukum Tergugat I untuk menerima Pelunasan utang dari Penggugat dengan perincian.
Utang pokok sebesar sebesar Rp. 53.150.000,-
Biaya lelang sebesar Rp. 2.000.000,-
Membayar pengganti kerugian pajak lelang sebesar Rp. 70.000.000,- X 5 % = Rp. 3.500.000,-
Menghukum Tergugat I untuk mengembalikan jaminan Sertifikat Hak Milik Nomor. 2706 atas nama RIWAYATI(sebagai objek perkara) kepada Penggugat.
Menghukum Penggugat untuk mengembalikan uang milik Tergugat IV sebesar dengan perincian :
Pengembalian uang lelang sebesar Rp. 70.000.000,-
Pengembalian pajak lelang 70.000.000,- X 5 % = Rp. 3.500.000,-
Menyatakan bahwa risalah lelang yang diterbitkan oleh Tergugat III tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat.
Menurut analisa penulis bahwa pertimbangan hakim tersebut titik pokoknya adalah terletak pada pertimbangan hukum majelis hakim ketika majelis hakim melakukan pertimbangan atas petitum point 10 (mengenai tuntutan Penggugat yang memohon agar majelis hakim Menyatakan bahwa risalah lelang yang diterbitkan oleh Tergugat III tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat).
Dan pertimbangan majelis hakim terhadap point 10 tersebut menurut analisa penulis telah sesuai dengan hukum pembuktian yang berlaku, dimana para Tergugat telah dapat membuktikan dalil bantahannya (pelaksanaan lelang telah dilaksanakan sesuai prosedur hukum menurut Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat) dan oleh karenanya petitum 10 Penggugat tersebut harus ditolak, hal ini telah penulis uraikan ketika majelis hakim mempertimbangkan pokok perkara. Dan dengan ditolaknya petitum 10 Penggugat, maka konsekwensi yuridisnya petitum gugatan Penggugat point 5, 6, 7, 8, dan 9, harus ditolak.
Menurut analisa penulis sebenarnya majelis hakim dalam mempertimbangkan nilai limit pelelangan obyek hak tanggungan dapat menambahkan pertimbangan dengan memperhatikan pasal 35 ayat (6) Permenkeu Nomor 93/PMK.06/2010 yang diganti dengan Permenkeu Nomor 106/PMK.06/2013, bahwa dalam hal lelang eksekusi berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dengan nilai limit paling sedikit Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), nilai limit harus ditetapkan oleh Penjual berdasarkan hasil penilaian dari penilai, dan dalam perkara yang penulis teliti, oleh karena nilai limit obyek hak tanggungan yang dilelang tersebut nilai limitnya dibawahRp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), maka pihak penjual dapat menentukan nilai limitnya berdasarkan pasal 36 ayat (3) Permenkeu Nomor 93/PMK.6/2010 yang menentkan bahwa “Penaksir/Tim Penaksir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pihak yang berasal dari instansi atau perusahaan Penjual, yang melakukan penaksiran berdasarkan metoda yang dapat dipertanggungjawabkan, termasuk kurator untuk benda seni dan benda antik/kuno.
Dan dalam perkara yang penulis teliti ini penentuan nilai limit obyek sengketa hak tanggungannya adalah sebesar Rp 68.750.000,- (enam puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) sesuai dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan Nomor
1270/APHT/PTRK/XI/2013, tanggal 29 Nopember 2013 yang dibuat oleh Nasabah/Penggugat sebagai pemberi hak tanggungan dengan Tergugat I (Bank Syariah) sebagai pemegang hak tanggungan. Dengan demikian penentuan nilai tersebut tidak melanggar dengan ketentuan hukum yang berlaku. Terhadap pertimbangan majelis hakim atas petitum Penggugat Nomor 11 yang memohon agar majelis hakim memerintahkan Tergugat V tunduk dan taat pada putusan ini (Pengadilan yang memutus), dimana tuntutannya ditolak dengan pertimbangan sebagai tuntutan yang tidak perlu karena dalam sebuah persengketaan yang diajukan kepada Pengadilan, baik kalah atau menang para pihak harus tunduk dan taat kepada putusan Pengadilan, menurut analisa penulis seharusnya tuntutan tersebut bukan ditolak, namun dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan tuntutan gugatan Penggugat tersebut tidak berdasar hukum.
Sehubungan dengan pertimbangan hukum majelis hakim terhadap tuntutan Penggugat Nomor 12 agar majelis hakim menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (CB) terhadap obyek perkara, dimana majelis hakim telah mempertimbangkansebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dan ternyata dalam pembuktiannya Penggugat tidak dapat menunjukkan bukti adanya indikasi obyektif tentang adanya daya upaya Tergugat untuk menghilangkan barang guna menghindari gugatan, sehinggamajelis memutus melalui amarnya menolak permohonan sita jaminan (conservatoir Beslag) Penggugat. Menurut penulis apa yang dipertimbangkan majelis tersebut telah sesuai dengan hukum yang berlaku.
Demikian pula pertimbangan hukum majelis hakim sehubungan dengan tuntutan Penggugat point 13 mengenai pembebanan biaya yang terjadi kepada perkara agar dibebankan pada Tergugat I, telah dipertimbangkan sesuai perundangan yang berlaku, sehingga tuntutan Penggugat tersebut ditolak dan pihak yang kalah (dalam hal ini adalah Penggugat) diberikan hukuman harus membayar segala biaya yang keluar pada saat oleh sang perkara
Sumber hukum utama yang dirujuk untuk dapat menyelesaiakan permasalahan kegiatan akad murabahah adalah akad (perjanjian) serta konsistensi dalam menjalankan akad (perjanjian ) itu sendiri. Dalam praktek peradilan penyelesaian
masalah dalam sengketa akad murabahah telah sesuai/tidak menyalahi aturan, hanya saja dalam proses pelaksanaan akad tersebut disadari atau tidak disadari dengan kualitas pemahaman yang berbeda-beda, maka proses perjanjian itu tidak seutuhnya berjalan sesuai dengan kaidah dan hukum ekonomi islam.
Meskipun aturan perundangan tentang hukum ekonomi syar'ah dan hukum acaranya belum ada, namun hakim dengan otoritas/kewenangan yang dimiliki bertanggung jawab besar untuk menerapkan hukum yang berintikan keadilan substansialdan dengan dasar nilai-nilai ekonomi islam menjamin terwujudnya penyelesaian masalah sengketa akad murabahah secara adil.
Abdul Manan. Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Hukum Ekonomi Syariah, Pusat Kajian Kebijakan Hukum dan ekonomi, Surakarta.
Idrus Abdullah. “Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan Antar Warga Sesama Etnis (Studi Kasus Di Pulau Sumbawa)”. Jurnal Yustitia. 77 Mei-Agustus 2009. Surakarta: FH UNS.
M. Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani. 2001. Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor: 7/35/PBI/2005 Pasal 36 tentang Bank Umum
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan PrinsipSyariah.
Peratuaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Proses Mediasi di Pengadilan
Sugiyono. Metode Penelitian Bisnis, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. 2009. Wildan Suyuti. Rechtunding Hakim Dalam Memutus Perkara. Semarang: Unissula.
2013.