Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849 e-ISSN : 2548-1398
Vol. 3, No 3 Maret 2018
Fakultas Ilmu dan Keguruan Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: [email protected]
Penelitian terhadap novel Maryam karya Okky Madasari ini bertujuan untuk mengungkapkan identitas diri dan identitas politik, manifestasi pluralisme, dan faktor-faktor konflik identitas dan pluralisme. Tujuan penelitian ini dibagi menjadi:
1) mengetahui dan memahami bentuk identitas diri dan identitas politik yang terungkap dalam novel Maryam karya Okky Madasari 2) Mengetahui dan memahami manifestasi pluralisme yang terungkap dalam novel Maryam karya Okky Madasari 3) Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan konflik identitas dan konflik pluralisme dalam novel Maryam karya Okky Madasari. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif interpretatif. Data penelitian ini adalah data tekstual yang berupa novel Maryam karya Okky Madasari yang di dalamnya terdapat kata, kalimat, dan wacana yang harus diinterpretasi secara mendalam. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data tekstual berupa novel yang berjudul Maryam karya Okky Madasari yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2013. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik baca yang di dalamnya terdapat metode atau proses memahami dan mencatat. Teknik analisis data dilakukan melalui strategi analisis bentuk dan isi, yakni melalui deskripsi dan analisis kata-kata, kalimat, dan narasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pluralisme di dalam novel Maryam karya Okky Madasari mempunyai kompleksitas ketika bertemu dengan konflik antara identitas subjek Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang pasif dan identitas subjek yang aktif, yakni ‘Kaum Islamis’, dan antara subjek yang menginginkan identitasnya dan subjek yang tidak menginginkan keberagaman. Keberagaman yang dimaksudkan bukanlah penyatuan pemikiran, melainkan penerimaan terhadap cara pandang yang beragam dari subjek. Sekelompok subjek akan mempunyai sikap ketika salah satu subjek dari kelompok lain melakukan hal yang berbeda dari kelompoknya.
Novel Maryam karya Okky Madasari hadir sebagai representasi dari kompleksitas akan diskursus pluralitas Indonesia yang tampaknya tak pernah ada habis-
53
habisnya. Di dalam novel ini diceritakan bahwa Maryam terlahir sebagai Ahmadiyah. Dalam setiap karyanya, seperti novel Entrok dan 86, Okky Madasari mendasari tulisannya melalui kritik sosial. Hal inilah yang menyebabkan Okky Madasari pernah masuk ke dalam lima besar dalam penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2011. Tidak seperti novel-novel serius yang lain, bahasa-bahasa yang digunakan oleh Okky pun tidaklah rumit sehingga pembaca akan mudah dalam menikmati bacaannya. Di tahun 2012, ia menerbitkan sebuah novel yang berjudul Maryam, temanya jarang disentuh oleh penulis-penulis lain, yaitu persoalan Ahmadiyah. Novel ini memang seperti sentilan untuk pemerintah. Masih di tahun yang sama, novel ketiganya ini mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2012 (Khatulistiwa Literary Award: 2012). Hal inilah yang menjadi alasan mengapa novel Maryam dianalisis melalui pendekatan hermeneutika atas pluralitas sebagai tema besar di dalamnya.
Novel Maryam ini mempunyai landasan kuat untuk mengkritik atas diskriminasi yang dialami para Ahmadi. Alasan mengkritik ini bukan karena novel Maryam ditulis berdasarkan fakta yang pernah terjadi di tanah Indonesia, akan tetapi wacana mengenai ketidakadilan antarkepercayaan di dalam masyarakat inilah yang ditawarkan Okky pada novelnya. Ketidakadilan ini mengerucut pada jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
Studi terhadap novel-novel karya Okky Madasari mulai dari skripsi, tesis, sampai esai tampak menunjukkan hal yang baik dan progresif. Tulisan-tulisan Okky yang realis dan mudah dibaca, tentunya tidak terlepas dari sebuah kritik atau ideologi karena walau bagaimanapun sebuah karya merupakan pencapaian penulis untuk menyampaikan sesuatu meski itu tersirat.
Penelitian ini menggunakan hermeneutika sebagai pendekatan utama untuk mengkaji novel Maryam secara khusus di dalam ranah Cultural Studies. Dengan demikian, penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul Pluralisme dalam Novel Maryam karya Okky Madasari.
Secara khusus, penelitian ini untuk (a) mengetahui dan memahami bentuk identitas diri dan identitas politik yang terungkap dalam novel Maryam karya Okky Madasari; (b) mengetahui dan memahami manifestasi pluralisme yang terungkap dalam novel Maryam karya Okky Madasari; dan (c) mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan konflik identitas dan konflik pluralisme dalam novel Maryam karya Okky Madasari.
Metode penelitian merupakan alat atau strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya dalam melakukan penelitian. Metode penelitian digunakan untuk menyederhanakan masalah sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2010: 84). Metode penelitian menjelaskan mengenai jenis penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni penelitian yang dilakukan untuk “Memberikan perhatian pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu studi kultural
Pembahasan dalam artikel ini di bagi menjadi tiga, yakni bentuk identitas, manifestasi pluralisme, dan konflik identitas dan konflik pluralisme dalam novel Maryam karya Okky Madasari. Ketiga hal di atas akan dijabarkan sebagai berikut.
Identitas diri timbul ketika seseorang mendapatkan bagian dari dirinya memiliki ruang kosong yang belum terbentuk atau masih luang. Ruang kosong yang belum terbentuk inilah yang diidentifikasi sebagai ruang identitas diri yang dibawanya secara sadar. Maksudnya adalah belum teridentifikasi. Akan tetapi, identitas diri yang ditampilkan di permukaan ini tidak sepenuhnya menjadi permanen sebagai identitas seseorang, identitas ini akan berubah-ubah bergantung situasi di mana subjek itu berada.
Identitas diri sebagai si ‘sesat’ ini tidak dihadirkan melalui diri subjek akan tetapi melalui liyan. Di sisi lain, julukan ‘sesat’ yang diucapkan secara tidak langsung ini menjadi ambivalensi karena di sisi lain Maryam merasa takut akan dosa dan sisi lain Maryam bersahabat dan terbiasa dengan kata ‘sesat’. Posisi Maryam di sini merujuk pada in between (berada di antara) dua hal yang bertentangan sehingga menimbulkan perwujudan karakter diri Maryam yang ketus. Ketus kepada orang ‘Islam-kebanyakan’ dan JAI karena orang-orang JAI dan ‘Islam-kebanyakan’ berada di lingkungannya, maka sifat ketus di sini dapat menjadi makna penolakan atas keduanya yang membuat hidupnya sulit untuk memilih. Hal ini dilakukan agar Maryam tidak didekati oleh laki-
laki di sekolahnya. Sifat ketus yang dimiliki Maryam dapat juga diartikan sebagai pembatasan diri subjek agar terhindar dari masalah yang lebih pelik.
Maryam sudah tidak benar-benar menjadi JAI ketika pulang kembali ke kampung halamannya. Identitas diri Maryam sebagai JAI yang ortodoks sudah tergeser melalui pernikahannya dengan Alam yang ‘Islam-kebanyakan’. Maryam tidak lagi fanatik terhadap JAI, meski sudah menikah dengan Umar dan Maryam pun tidak meyakini ‘Islam-kebanyakan’, posisi in between Maryam menjadi ruang yang harus diisi melalui identitas dirinya yang lain, yakni identitas yang bercampur atau hybrid.
Identitas politik adalah fakta-fakta perjuangan, laku, dan hasrat subjek untuk mendapatkan pengakuan (recognition) oleh lingkungan sosialnya. Keinginan untuk mendapatkan pengakuan dikarenakan subjek dipandang sebagai liyan, tidak biasa, dan dianggap subjek yang mengancam karena sudah keluar dari stereotype masyarakat. Maryam sebagai anggota JAI tentu dipandang liyan oleh orang-orang ‘Islam- kebanyakan’ karena JAI dianggap sudah keluar dari jalan ‘Islam-kebanyakan’. Meski Maryam sudah melakukan hibriditas atas pernikahannya dengan Alam, tetapi masa lalunya tidak bisa hilang dan terus mengikutinya sehingga ibunya Alam menginginkan agar Ustaz yang hadir di acara ulang tahun bapaknya Alam agar mendoakan Maryam untuk mendapatkan anak dan diampuni karena sudah dianggap sesat. Maryam yang menghendaki pengakuan dari lingkungan keluarga Alam tentunya merasa tersinggung dan merasa masih kurang diakui atas ucapan ibunya Alam bahwa Maryam pernah ‘sesat’.
Recognition atau pengakuan masyarakat terhadap JAI ditampilkan melalui pembicaraan. Pembicaraan ini berbentuk bahwa JAI ‘sesat’, melakukan pengusiran, dan melakukan kekerasan. Meksi JAI termasuk golongan minoritas, akan tetapi identitas politiknya sudah diakui melalui pembicaraan bukan melalui hokum, yakni undang- undang.
Terdapat satu cara untuk meliyan ‘Islam-kebanyakan’, yakni dengan melakukan pernikahan antar-JAI. Secara iman, JAI tidak ingin berbaur dengan ‘Islam-kebanyakan’ karena dianggap sudah berbeda. Di satu sisi, JAI juga membutuhkan pertolongan dari ‘Islam-kebanyakan’, salah satunya adalah Gubernur. Tindakan semacam ini merupakan ambivalensi karena di satu sisi JAI tidak menghendaki adanya percampuran iman
dengan ‘Islam-kebanyakan’ dan di satu sisi JAI tidak bisa lepas dari kehadiran ‘Islam- kebanyakan’ sebagai identitas politik yang dominan.
Bentuk pluralisme ekslusivisme absolut adalah cara pandang untuk melihat kebenaran agamanya atau imannya lebih benar ketimbang agama lain. Maka agama lain menurut pandangan ini terbilang sesat. Cara pandang ekslusivisme absolut ini dapat dikatakan ekstrim atau keras sehingga fatwa sesat lebih sering dikeluarkan. Di dalam cara pandang ini terkesan tidak ada ruang untuk berdialog antariman.
Cara pandang pluralisme eksklusivisme absolut tidak bisa menolerir adanya perbedaan, maka yang timbul adalah rasa benci kepada golongan yang berbeda. Kebencian itu tampak ketika Pak Khairuddin meninggal dan jasadnya akan dikebumikan di Gerupuk. Warga Gerupuk tidak menerima Pak Khairuddin untuk dikebumikan di Gerupuk dengan alasan bahwa Pak Khairuddin bukan warga Gerupuk.
Manifestasi sederhana dari eksklusivisme absolut lainnya adalah dengan melakukan penulisan kata ‘sesat’ di mobil Umar. Tindakan semacam ini dapat terbilang vandalisme. Aksi vandalisme ini masih mengacu kepada ‘kamu’ sesat, tidak baik, dan aneh. Maka subjek ‘Islam-kebanyakan’ mengklaim bahwa bagi subjek yang terbilang sesat ini harus berada di luar lingkungan ‘Islam-kebanyakan’.
Relativisme Absolut merupakan cara pandang yang melihat bahwa setiap agama memiliki kebenaran. Akan tetapi satu agama tidak bisa dibandingkan dengan yang lain karena setiap seseorang itu hendak membandingkan, maka seseorang itu harus masuk dan menganut agama tertentu agar seseorang itu dapat menemukan perbedaan antara agama satu dengan agama yang lainnya.
Maryam pernah masuk ke dalam lingkungan dan menjauh dari aktivitas JAI karena telah menikah dengan Alam Syah yang ‘Islam-kebanyakan’ (lihat Madasari, 2013: 40 dan 110). Kemudian Maryam menikahi Umar yang JAI (lihat Madasari, 2013: 163). Akan tetapi posisi Maryam sebagai subaltern ini menyanggah bahwa ia telah benar-benar keluar dari JAI dan menjadi ‘Islam-kebanyakan’. Dengan demikian cara pandang relativisme absolut di dalam novel Maryam karya Okky Madasari ini tidak ada.
Terdapat kebenaran dalam setiap agama, tetapi kebenaran yang paling sempurna ada pada agamanya, inilah cara pandang pluralisme hegemonik. Masyarakat Gerupuk, khususnya para pengurus masjid kampung, berdialog dengan kakek Maryam ketika kakek Maryam sudah tidak lagi sholat, menjadi imam, dan menjadi khatib di masjid kampung. Kakek Maryam meyakini dan mengimani apa itu kedalaman dari ajaran Ahmadiyah. Kakek Maryam tidak memaksa kaum ‘Islam-kebanyakan’ untuk sama meyakini apa yang kakek Maryam yakini. “. . . “Yang namanya keyakinan memang tak bisa dijelaskan. Ia akan datang sendiri tanpa harus punya alasan”” (Madasari, 2013: 55).
Melalui pluralisme hegemonik subjek tidak akan mengatakan secara verbal bahwa agamanyalah yang paling benar. Maka yang dilakukannya adalah dengan melakukan mimikri dan bersanding dengan pihak liyan. Maksudnya adalah ketika subjek JAI melakukan sembahyang dan mengikuti pelajaran agama bersama subjek ‘Islam-kebanyakan’, subjek JAI akan melakukan kedua hal itu secara penampilan. Akan tetapi, iman dan hatinya tetap berpegang teguh kepada JAI.
Keimanan JAI di sini tidaklah ditampakan secara terbuka, akan tetapi hanya ditampakan secara personal. Ia mempercayai imannya adalah sesuatu yang paling benar, akan tetapi iman liyan pun tidak disangkalnya sebagai sesuatu yang salah dan harus dilupakan.
Kebenaran agama terdapat pada masing-masing agama sehingga tiap-tiap agama memiliki posisi yang sama dengan kadarnya sendiri-sendiri inilah yang disebut dengan pluralisme realistik. Pluralisme realistik dapat dijabarkan ketika Alam berniat menikahi Maryam. Ia berpendapat bahwa Maryam tidak ada bedanya dengan ‘Islam-kebanyakan’ meski Maryam dilahirkan dilingkungan JAI. Maryam mempunyai kebenaran dalam mengimani JAI dan Alam pun sama mengiman ‘Islam-kebanyakan’.
Pluralisme realistik tentunya sangat berpengaruh besar ketika subjek melakukan komunikasi dengan liyan. ‘Aku’ sebagai subjek mempunyai kebenaran dalam iman begitu pun liyan. Maka melalui pandangan pluralisme realistik subjek akan dapat mengeliminasi adanya prasangka-prasangka yang dapat menumbuhkan perpecahan hubungan baik antariman.
Pluralisme regulatif merupakan cara pandang bahwa setiap agama mempunyai kebenarannya masing-masing akan tetapi dikemudian hari kebenaran itu bersatu karena mengalami evolusi. Evolusi dalam kebenaran untuk menjadi satu iman dalam beragama di novel Maryam karya Okky Madasari ini tidak ditemukan.
Kehadiran JAI tidak semerta-merta diterima begitu saja. Tidak diterima karena gerakan pemikiran dan iman ini dianggap liyan (berbeda) dengan pemikiran ‘Islam- kebanyakan’ maka yang terjadi adalah konflik. Konflik ini terjadi karena di salah satu golongan tidak menghendaki keadaan yang plural di lingkungan agama islam sendiri. Konflik JAI dengan ‘Islam-kebanyakan’ dapat disebut sebagai konflik antarkelas karena salah satu kelompok menginginkan ketunggalan sedangkan di lain kelompok menginginkan pembaharuan di tubuh islam.
Maryam sebagai representasi JAI mendapatkan kekerasan di kala Maryam masih duduk di Sekolah Dasar. Kekerasan ini berbentuk penistaan terhadap JAI sebagai aliran sesat di buku pelajaran kelas limanya. Maryam yang tidak memberitahukan identitas keahmadiyahannya di muka umum tentu saja terpukul dan takut berdosa atas apa yang ia anut. Ketika penistaan itu terjadi, Maryam sudah tentu marah. Akan tetapi, kepada siapa ia harus melontarkan amarah karena kawan-kawan sekolah dan gurunya tidak sedang mengejeknya. Konflik di dalam diri Maryam semakin menjadi ketika diceritakan mengenai penindasan, pengusiran, dan pengasingan terhadap penganut Ahmadiyah di masa lalu. Sebagai subaltern, yang hanya bisa Maryam lakukan adalah menangis. Menangis menjadi laku ambivalensi karena dengan menangis ia bisa menghilangkan ketakukannya dan identitasnya masih menjadi JAI.
Pihak JAI pun sama halnya dengan umat ‘Islam-kebanyakan’. Pihak menganggap ‘Islam-kebanyakan’ adalah subjek liyan. Cara meliyankan ini tampak ketika Maryam berpacaran dengan Alam Syah. Ayah dan ibu Maryam mengatakan bahwa ‘Islam-kebanyakan’ adalah ‘orang luar’. ‘Orang luar’ tidak pantas untuk menikah dengan JAI. Apabila keduanya menikah maka akan melahirkan kekerasan dan ketidaksetujuan. Maka yang harus dilakukan ‘orang luar’ agar bisa menikah dengan
salah satu orang JAI adalah dengan tidak menjadi ‘Islam-kebanyakan’ lagi, melainkan menjadi JAI.
Islam kembali dipertanyakan ketika bertemunya konflik, khususnya konflik antara JAI dan ‘Islam-kebanyakan’. Konflik yang pertama, yaitu ketika menginginkan kebebasan dalam mengimani agama dan konflik yang kedua, yaitu ketika menginginkan penyamarataan dalam mengimani agama. Di dalam novel Maryam karya Okky Madasari, tampak begitu jelas bahwa masing-masing kelompok menemukan kegagalan untuk mengutarakan pendapat. Gagalnya pendapat itu melahirkan kekerasan dalam bentuk ketidaksetujuan dari mayoritas. JAI sebagai kelompok yang pasif dan minoritas dengan suka tidak suka harus menerima sebagai kelompok yang sesat dan yang diliyankan. ‘Islam-kebanyakan’ pun mau tidak mau harus menerima bahwa kelompoknya tergolong aktif, sensitif, dan tidak menerima adanya perubahan. Maka JAI mengatakan ‘Islam-kebanyakan’ sebagai kelompok ‘orang luar’. Akan tetapi, posisi kedua kelompok di atas ini menemukan titik arti bahwa JAI dan ‘Islam-kebanyakan’ masing-masing saling meliyankan atau membedakan.
JAI tidak akan lahir tanpa kehadiran agama ‘Islam-kebanyakan’. Di lain sisi, ‘Islam-kebanyakan’ tidak akan mengenal pluralisme agama apabila tidak ada JAI. Maka keduanya dapat saling mempengaruhi untuk meyakinkan bahwa agama bukanlah sumber dari pertikaian. Pertikaian terjadi karena tidak ada kesepakatan dan masing- masing mementingkan golongannya. Melalui konflik JAI dan ‘Islam-kebanyakan’ di dalam novel Maryam karya Okky Madasari, pluralisme agama bukan untuk menyatukan setiap iman dan agama dari semua manusia. Akan tetapi, pluralisme agama di sini untuk memperlihatkan bahwa mengimani agama tidak hanya dengan satu cara, melainkan dengan berbagai cara.
Pernikahan antara Maryam dan Alam (lihat Madasari, 2013: 40-41, dan 106-
128) menunjukkan bahwa Maryam sebagai JAI dan Alam sebagai ‘Islam-kebanyakan’ sudah melakukan kontrak perdamaian. Kontrak perdamaian ini tidak secara terang- terangan dibicarakan ke permukaan publik, akan tetapi wacana pernikahan merupakan makna yang tersirat. Kontrak perdamaian ini ditujukan untuk melahirkan perdamaian di tubuh antara pemeluk Islam sendiri. Di lain sisi, pernikahan Maryam dan Alam ini menimbulkan kegagalan yang dipicu oleh liyan, yakni ibu Alam. Sehingga perceraian di antara mereka pun terjadi. Perceraian ini merupakan batas dari kontrak perdamaian.
Akan tetapi, batas ini bukanlah sebagai jalan buntu melainkan sebagai representasi atau jembatan agar orang lain pun melakukan kontrak perdamaian yang serupa dengan Maryam. Maka yang terjadi adalah Fatimah, adik Maryam, menikah dengan laki-laki ‘Islam-kebanyakan’ (lihat Madasari, 254-258).
Pernikahan antara Maryam dan Alam (lihat Madasari, 2013: 40-41, dan 106-
128) menunjukkan bahwa Maryam sebagai JAI dan Alam sebagai ‘Islam-kebanyakan’ sudah melakukan kontrak perdamaian. Kontrak perdamaian ini ditujukan untuk melahirkan perdamaian di tubuh antara pemeluk Islam sendiri.
Di dalam novel Maryam karya Okky Madasari, ‘Islam-kebanyakan’ ditampilkan sebagai sosok yang menakutkan karena ‘Islam-kebanyakan’ selalu agresif untuk menanggapi persoalan JAI. ‘Islam-kebanyakan’ merupakan sosok yang menemukan kegagalan gagap dalam berdialog ketika menemukan adanya perbedaan iman di dalam tubuh Islam sendiri. Hal ini terjadi karena ‘Islam-kebanyakan’ selalu menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.
Terdapat dua gejala lahirnya subjek baru ketika subjek keluar dan terlahir di antara JAI dan ‘Islam-kebanyakan’. Gejala pertama, subjek yang terlahir dari lingkungan JAI yang tidak taat. Subjek ini bernama Mandalika (lihat Madasari, 2013: 241-242) ini dapat dikatakan juga sebagai gejala untuk memandang JAI dan ‘Islam- kebanyakan’.
Gejala kedua adalah melalui kehadiran Maryam dan Fatimah yang menikah dengan subjek ‘Islam-kebanyakan’. Posisi Maryam dan Fatimah ketika menikah dengan ‘Islam-kebanyakan’ berada di luar JAI dan ‘Islam-kebanyakan’. Keduanya merupakan subjek baru karena mereka berdua dapat memosisikan diri untuk mengamati kedua iman tersebut. Maryam dan Fatimah dapat mengkritik ‘Islam-kebanyakan’ dan JAI atas permasalahan kemanusiaan. Di lain sisi, posisi antara ‘Maryam dan Fatimah’ dan ‘JAI dan ‘Islam-kebanyakan’’ dapat saling berpengaruh.
Berdasarkan pembahasan pada di atas, terdapat tiga kesimpulan yang dapat ditarik di dalam penelitian ini, yakni:
Identitas diri JAI yang diwakili oleh Maryam sebagai tokoh sentral diberikan oleh diri subjek (dalam hal ini JAI) dan dari masyarakatnya;
Bentuk-bentuk dari pluralisme akan ditemukan melalui tindakan dan situasi masyarakat yang ada di dalam novel Maryam karya Okky Madasari dan;
Faktor-faktor yang menyebabkan konflik identitas dan pluralisme antara JAI dan ‘Islam-kebanyakan’ adalah iman, kegagalan dalam berdialog, dan ketidakterimaan tentang hal yang baru.
Banchoff, Thomas (edt). 2007. Democracy and the New Religious Pluralism. New York: Oxford University Press. Inc.
During, Simon. 2005. Cultural Studies (A Critical Introduction). NY: Routledge. Khatulistiwa Literary Award (Mendukung Perkembangan Sastra di Indonesia). 2012.
“Pemenang Khatulistiwa Literary Award ke 12, 2012”. http://khatulistiwaliteraryaward.wordpress.com/. diunduh tanggal 29 Agustus 2013.
Madasari, Okky. 2013. Maryam. cet. ke-2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Qodir, Zuly. 2010. Islam Liberal (Varian-Varian Liberalisme di Indonesia 1991-2002).
Yogyakarta: LKiS.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian (Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sheehan, Paul. 2004. “Postmodern and Philosophy”. dalam Steven Connor (edt). The Cambridge Companion to Postmodern. UK: Cambridge University Press.
Smith, Andrea L. 2006. Colonial Memory and Postcolonial Europe (Maltese Settlers in Algeria and France). USA: Indiana University Press.