Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 7, Juli 2021
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA BUMDES
DILE DALAM PENGELOLAHAN UNIT-UNIT USAHA
Fidentus Didakus
Darma Saputra
Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tidak berjalannya unit usaha BUMDes tentunya sangat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Baik secara internal maupun eksternal.
Faktor-faktor pengahambat itulah yang membuat BUMDes Dile mengalami kemacetan
selama beberapa tahun terakhir semenjak dibentuk tahun 2016. Unit usaha yang
masih eksis hanyalah unit usaha sewa tenda dan kursi. Sedangkan kedua unit
usaha lain mengalami kendala. Peneliti sangat memfokuskan perhatian kepada faktor � faktor yang mempengaruhi kinerja BUMDes
Dile. Penulis melakukan kajian deskriptif�
kualitatif untuk menggambarkan Kinerja Bumdes Dile Dalam Implementasi
Program Unit Usaha. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif. Teknik pemilihan subyek adalah teknik� purposive. Teknik pengumpulan data yang
digunakan penulis adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi, Teknik analisis
data yang digunakan penulis adalah dilakukan secara interaktif terdiri dari
reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan conclusion Drawing/Verification. BUMDes Dile
tidak berjalan dikarenakan beberapa faktor, yaitu kapasitas sumber daya manusia
yang tidak maksimal dalam mengelola dikarenakan masih terdapat persoalan
internal yang belum selesai. Persoalan internal itu adalah SK pengurus yang
belum dibuat, sehingga pengurus kehilangan legitimasi dari masyarakat.
Pelaporan pelaksanaan program yang tidak di buat dari tahun 2018 sampai
sekarang. Dan pelaksanaan peningkatan keterampilan pengurus melalui DIKLAT yang
tidak efektif dan efisien. Semua temuan ini kemudian mempengaruhi kinerja
BUMDes Dile yan mengalami penurunan kualitas dari tahun ke tahun.
Kata Kunci: �kinerja;
BUMDes; implementasi
Abstract
The
failure of the BUMDes business unit is of course very
much influenced by various factors. Both internally and externally. These
inhibiting factors have caused BUMDes Dile to experience obstacles
for the last few years since it was formed in 2016. The only business units
that still exist are tent and chair rental business units. Meanwhile, the two
other business units encountered problems. This Research
focus on the factors that affect the performance of BUMDes
Dile. The
author conducted a qualitative descriptive study to describe the Performance of
Bumdes Dile in Business
Unit Program Implementation. This type of research is a qualitative descriptive
study. The subject selection technique is purposive technique. The data
collection techniques used by the author are observation, interviews, and
documentation. Data
analysis technique is carried out interactively consisting of data reduction,
data display, and conclusion Drawing / Verification. BUMDes
Dile is having stagnancy due
to several factors, namely the capacity of human resources that is not optimal
in managing it because of
internal problems that have not been resolved. The internal problem is the
management decree that has not been made, so that the management loses legitimacy
from the community. Program implementation reports that have not been made from
2018 to the present. And ineffective and efficient implementation of the
management skills improvement through DIKLAT. All these findings then affect
the performance of BUMDes Dile
which has decreased in quality from year to year.
Keywords: performance;
BUMDes; implementation
Pendahuluan
Sampai dengan 31 Mei
2018, realisasi anggaran dana desa yang telah disalurkan dari Rekening Umum Kas
Negara (RKUN) ke Rekening Umum Kas Daerah (RKUD) tercatat sebesar Rp 20,66
triliun (Andri Donal Putera, 2018). Direktur
Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (Dirjen PDT) Samsul Widodo menjelaskan,
dana desa pada tahun 2019 diharapkan naik menjadi Rp 85 triliun. Dengan
demikian, jika angka ini naik, maka per desa akan mendapat Rp1,2 miliar hingga
Rp1,3 miliar per tahun (Firmansyah, 2018).
Pemberlakuan otonomi daerah menjadi
momentum bagi perbaikan kualitas pembangunan perdesaan yang diperkuat melalui
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berdasarkan
perundangan tersebut, pembangunan desa dianggap sebagai upaya untuk memperkuat
ketahanan desa melalui pemberdayaan masyarakat serta pengembangan potensi yang
dimiliki (Aini, 2020). Agar dana desa tidak
sekedar dihambur-hamburkan untuk pengambangan fisik, maka jalan arternatif lain
adalah melalui proses pemberdayaan. Dalam topik ini, proses pemberdayaan
dilakukan melalui pemanfaatan Badan Usaha Miliki Desa (BUMDes) untuk
meningkatkan ekonomi Desa. Dengan prinsip pengelolahan berbasis gotong royong, diharapkan
BUMdes dapat membantu
proses pemberdayaan di desa. Untuk meperkuat BUMDes selain dari sisi material
seperti dana, peguatan kapasitas pengurus/sumber daya manusia menjadi penting. Oleh karena itu, paradigma pembangunan
kawasan pedesaan perlu diubah dengan mengedepankan partisipasi aktif masyarakat
dalam seluruh proses pembangunan (Aini, 2020).
Secara
prinsip, pendirian BUMDes adalah merupakan perwujudan dari pengelolaan ekonomi
produktif desa yang dilakukan secara kooperatif, partisipasif, emansipatif,
transparansi, akuntabel, berkelanjutan (Madjodjo & Dahlan, 2020).
Dengan prinsip tersebut sebaiknya secara internal BUMDes harus dikelola oleh
tengan-tangan yang profesional. Artinya kapasitas Sumber Daya Manusia harus
berkompeten. Pada banyak kasus, BUMDes pada akhirnya �mati suri� karena hanya
berharap pada penyertaan modal dari Dana Desa (DD). Padahal secara prinsip
ketika BUMDes sudah mendapat bantuan dana, maka upaya yang dilakukan adalah
mengelola dana tersebut menjadi sebuah produk/hasil yang menguntungkan secara
ekonomis. Sehingga, penyertaan modal ditahun berikutnya tidak diperlukan lagi
karena kekuatan dana dari BUMDes sendri sudah mencukupi.
(Peraturan Daerah Kabupaten Ende, 2014),
yang menginstruksikan bahwa setiap desa yang ada di kabupaten Ende wajib ada.
Persis sama seperti BUMDes milik masyarakat Dile di Kabupaten Ende. Memang pada
prakteknya, kinerja BUMDes belum kelihatan jika dicermati secara menyeluruh.
Tetapi pada kasus ini, kinerja BUMDes dapat digali berdasarkan porsi wilayah
dari masing-masing
desa yang telah menerapkan amanat UUDes
terkait pembangunan melalui BUMDes. Dan berdasarkan analisa tersebut, fokus
utama dari penelitian ini hanya sebatas ingin mencermati kinerja dari BUMDes
Dile. Bukan pada studi komperatif dari desa-desa yang ada di
Kecamatan Detusoko, meskipun desa tersebut sudah memiliki BUMDes.
BUMDes Dile di bentuk pada tahun 2016.
Sampai saat ini, ada 3 program utama terkait unit usaha Desa yang diprogramkan
BUMDes Dile. Ketiga unit usaha tersebut adalah, koperasi, pengadaan barang dan
jasa (tenda dan kursi), dan pembelian komoditi (hasil bumi dari desa Dile). Meskipun
secara regulasi ketiga program tersebut sudah dilegalkan, tetapi pada proses di
lapangan hanya satu program yang notabenenya sedang berjalan.
Tidak berjalannya program yang sudah
direncanakan, dapat menggangu perkembangan BUMDes Dile. Apa lagi, jika proses
evaluasi tidak dilakukan rutin untuk mengontrol perkembangan level dari BUMDes
Dile. Evaluasi itu bisa dilakukan bulanan, atau tahunan. Tergantung pada
kesepakatan pengurus dan pemerintah Desa. Tidak lupa juga keterlibatan BPD
(Badan Permusyawaratan Desa) sebagai perpanjangan tangan dari suara masyarakat
Desa Dile. Ketiga komponen itu harus sejalan dalam proses kontrol atau monitoring, agar BUMDes Dile dapat
bekerja sesuai dengan perintah UU.
Dalam pelaksanaannya BUMDes Dile selalu
mengalami kendala. Meskipun secara struktur sudah cukup, tetapi semangat dan
inovasi dari aparaturnya sering kali kendor.
Sumber Daya Manusia selalu menjadi fenomena real
dilapangan dalam proses implementasi kebijakan, terlebih khusus dalam hal ini,
implementasi program kerja yang sudah direncanakan BUMDes Dile bersama stekholder lainnya. Karena itu kemudian
Greer dan Carles dalam (Hardiyansyah, 2013)
memuncullah istilah baru di luar H.R (Human Resources), yaitu H.C atau Human
Capital (Hardiyansyah, 2013).
Disini Sumber Daya Manusia dilihat bukan sekedar sebagai aset utama, tetapi
aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan dan juga bukan
sebaliknya sebagai liability (beban, cost). Perspektik Sumber
Daya Manusia sebagai insvestasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka.
Kualitas manusia sering kali memiliki level yang berbeda-beda jika ditinjau dari kompetensi
dalam mengelola BUMDes. Dengan kompetensi yang berbeda itu, kemudian
berpengaruh dalam terwujudnya program tersebut dilapangan. Pada perspektif ini,
pengaruh intitusi atau sarana-prasarana tidak terlalu signifikan. Yang terpenting adalah
bagaimana SDM itu dapat menjamin terlaksananya program atau regulasi yang telah
dibuat.
Kepengurusan BUMDes, sudah terjadi dua
kali pergantian. Ketua BUMDes tersebut dipilih pada saat awal pembentukan
lambaga ini melalui musyawarah. Tetapi dalam perjalannya, digantikan oleh
kepengurusan baru. Sampai sekarang belum ada pelantikan yang resmi, bukan hanya
pada ketua BUMDes yang lama, tetapi juga pada ketua BUMDes baru. Hal ini
menjadi kendala juga karena akan berpengaruh pada legitimasi dan kepercayaan public. Sehingga menjadi logis bahwa,
pelaksanaan program unit-unit usaha ini seperti �mandek� sebab pengurusnya
belum memiliki legitimasi yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
Ada banyak faktor yang membuat BUMDes
tidak berjalan maksimal. Salah satunya ada masalah yang terjadi
antar organisasi yaitu BUMDes Dile dan pemerintah Kabupaten. Tidak hanya itu,
terjadi permasalahan pada BUMDes sendiri, dimana ada ketidaksesuaian antar
pengurus. Bahkan juga berdampak pada hubungan perangkat desa dan perangkat
BUMdes. Konteks permasalahan tersebut sangat menarik minat peneliti. Tidak
berjalannya unit usaha BUMDes tentunya sangat dipengaruhi oleh bermacam-macam
faktor. Baik secara internal maupun eksternal. Faktor-faktor pengahambat itulah
yang membuat BUMDes Dile mengalami kemacetan selama beberapa tahun terakhir
semenjak dibentuk tahun 2016. Unit usaha yang masih eksis hanyalah unit usaha
sewa tenda dan kursi. Sedangkan kedua unit usaha lain mengalami kendala.
Peneliti sangat menfukuskan perhatian kepada faktor apa yang kemudian menghambat
kedua program tersebut tidak berjalan selama beberapa tahun terakhir.
Desa Dile adalah salah satu desa di
kebupaten Ende yang letak geografisnya berada di pinggir jalan. Desa ini tidak
terkumpul dalam satu wilayah, tetapi terpisah dalam empat (4) wilayah utama
yaitu, dusun Tepetae, dusun Wolowege, dusun Wolongae, dan dusun Detubuga. Jika
BUMDes diolah dengan baik, maka letak geografis desa Dile yang berada di
pinggir jalan, dapat menambah nilai ekonomis masyarakat. Jalur jalan raya yang
melintas di desa Dile adalah jalur pariwisata yang tujuan akhirnya adalah danau
Kelimutu. Sehingga menjadi penting dalam membangun unit usaha yang sesuai
dengan potensi di Desa Dile. Selain potensi itu, Dile juga menjadi wilayah
dimana hasil buminya sangat bagus. Hasil bumi ini seperti, kemiri, kopi
cengkeh, coklat, dan padi. Untuk potensi air, Desa Dile tidak kekurangan sebab
terdapat banyak sumber mata air. Meskipun pada musim kemarau mata air tersebut
tidak berhenti untuk mengalir. Potensi inilah yang harus dikelola untuk
meningkatkan pendapatan asli desa (PAD) melalui BUMDes sebagai lembaga ekonomi
dan sosial.
Berdasarkan latar belakang tersebut, diperlukan beberapa
teori dan konsep untuk mendukung penelitian ini secara literatur. Konsep
kebijakan publik (public policy) menurut (Riant, 2012)
secara prinsip berasal dari dua aliran utama, yaitu pertama pemahaman
Eropa Kontinental yang cenderung melihat bahwa kebijakan publik adalah turunan
dari hukum, bahkan kadang mempersembahkan antara kebijakan publik dan hukum,
utamanya hukum publik ataupun hukum tatanegara, sehingga melihatnya sebagai
proses interaksi di antara institusi-institusi negara. Kedua, pemahaman
Anglo-Saxonis, yang cenderung memahami bahwa kebijakan publik adalah turunan
dari politik-demokrasi sehingga melihatnya sebagai sebuah produk interaksi
antara negara dan publik. Artinya bahwa kebijakan publik dengan pendekatan Eropa
Kontinental melihat kebijakan sebagai turunan dari hukum atau dengan kata lain
kebijakan itu memiliki landasan yuridis yang kuat. Sedangkan kebijakan publik
dengan pendekatan Anglo-Saxonis melihat kebijakan sebagai turunan dari politik
atau dengan kata lain kebijakan di buat dan diselenggarakan dengan
mempertimbangkan unsur politk seperti kepentingan, kekuasaan, jaringan, bahkan
kebijakan itu sebaiknya dibuat dengan demokratis.
Ada juga
beberapa teori pendukung seperti model analisis kebijakan, kinerja (pengukura
kinerja), dan BUMDes. (Puwanto, Agus & Ratih, 2015)
menjelaskan bahwa kebijakan publik, dilihat dari perspektif intrumental yang merupakan
alat untuk mencapai suatu tujuan yang berkaitan dengan upaya pemeritah
mewujudkan nilai � nilai kepublikan. Artinya bahwa kebijakan publik dapat
dikategorikan sebagai sebuah cara dari pemerintah untuk mensejahterahkan
masyarakatnya melalui penerapan kebijakan. Disisi lain Dhunn dalam (Suharto, 2015)
menjelaskan kebijkan publik bisa dianalisa menggunakan tiga (3) pendekatan.
Pendekatan pertama adalah model prospektif yang menitikberatkan
pada melihat implementasi sebelum kebijakan itu dilakukan. Kedua, model
restropektif adalah model dimana melihat implementasi setelah kebijakan itu
dilakukan. Dan ketiga, model integratif yang merupakan model yang lebih
netral, dimana melihat implementasi kebijakan sebelum dan sesudah dilakukan.
Pendekatan analisis kebijakan ini sebenarnya membantu untuk melihat fragmentasi
kebijakan baik sesudah dan sebelum dilaksanakan. Tetapi untuk melakukan analisa
yang baik, model integratif lebih cocok untuk memperoleh data secara
komprahensif. Selain itu, kemungkinan untuk memberikan rekomendasi lebih baik
karena data kebijakan dikumpulkan sebelum kebijakan itu diimplementasikan dan
juga setelah kebijakan itu diimplementasikan.
Analisis berikut
ditawarkan oleh Waeimer dan Vining (Riant, 2012)
yang menjelaskan proses analisis kebijakan terdiri atas dua tahap utama, yaitu
analisis masalah dan analisis solusi. Pada waktu proses analisis, secara
pararel dilakukan pekerjaan pengumpulan informasi yang disebut kedua penulis (Riant, 2012)
sebagai �dentifying and organizing relevant data, theories, and facts for
assessing problem and predicting consequence of current and alternative
policies. Pengumpulan informasi memberikan kontribusi baik pada analisis
permasalahan maupun analisis solusi. Setelah proses analisis dilakukan tahap
selanjutnya adalah melakukan komunikasi. Artinya, ketersediaan informasi baik
dalam bentuk data, dokumentasi, bahkan hasil wawancara sangat berguna dalam
meberikan analisa yang baik terhadap kebijakan baik yang sudah dilakukan dan
belum dilakukan atau masih dalam tahap pembahasan. Setelah itu, dengan data
yang baik dan informasi yang cukup, maka komunikasi bisa dilakukan antara orang
atau antar instansi pemerintahan itu sendiri.
Untuk mengukur
bagaimana kebijakan itu diterapkan dilapangan, maka memungkinkan adanya konsep
Kinerja.� Mangkunegara (Raihanah Daulay, Efri Kurnia, 2019) menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang tercapai oleh seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Sedangkan Hakim (Raihanah Daulay, Efri Kurnia, 2019) menjelaskan bahwa kinerja sebagai hasil kerja yang
dicapai oleh individu yang disesuaikan dengan peran atau tugas individu tersebut
dalam suatu perusahaan pada suatu periode waktu tertentu, yang dihubungkan
dengan suatu ukuran nilai atau standar tertentu dari perusahaan dimana individu
tersebut bekerja. Menurut Spekle dan Verbeeten (Wahyuni, Taufik, & Ratnawati, 2016)
menyatakan bahwa sistem pengukuran kinerja merupakan kunci utama dalam
mewujudkan manajemen sektor publik yang efektif, efisien dan akuntabel. Dari
pendapat-pendapat tersebut dapat digaris bawahi bahwa sitem pengukuran kinerja
sangat penting dalam mendorong organisasi atau instansi pemerintahan untuk
terus berkembang sesuai dengan keadaan lingkungannya baik internal maupun
eksternal. Pengukuran kinerja sendiri menjadi awal dalam memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada instansi pemerintah untuk
merevisi beberapa kekeliruan teknis yang berkaitan dengan pelayanan publik (Public
Service).
Sihaloho dan Halim (Sofyani & Akbar, 2013)
menyarankan agar sebelum intansi pemerintah menjalankan suatu sistem pengukuran
kinerja, maka peru untuk memperhatikan beberapa faktor internal organisasi
supaya menghindari informasi yang tidak termanfaatkan atau agar pelaksanaan
sistem pengukuran kinerja tersebut tidak dilakukan hanya sebatas pemenuhan
tuntutan tertib administratif. Lebih jauh lagi, Sihaloho dan Halim (Sofyani & Akbar, 2013)
menilai bahwa niat penggunaan sistem pengukuran kinerja di sebagian besar
institusi pemerintah lebih didominasi oleh tekanan luar. Artinya bahwa,
pengukuran kinerja terkadang hanya untuk memenuhi kebutuhan pertanggungjawaban
administratif. Tetapi esensi dari pengukuran kinerja tidak tercapai, sebab
aparatur dan instansi pemerintah hanya mengejar formalisme belaka. Padahal jika
ingin ditelaah lebih dalam, pengukuran kinerja adalah jantung untuk menilai
kualitas pelayanan, akuntabilitas, efisiensi, efektifitas instansi pemerintah.
Dalam pengukuran Kinerja sebuah organisasi yang informal
ataupun formal tentu memiliki standar dan kriteria masing-masing. Tergantung
kepada objek dan subyek yang akan diukur kinerjanya. Prinsip pengukuran kinerja
dapat dikategorikan menjadi dua. Cavaluzzo dan Ittner (Sofyani & Akbar, 2013)
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sistem
pengukuran kinerja: yaitu faktor teknis, meliputi kesulitan menentukan
ukuran kinerja dan keterbatasan sistem informasi. Dan faktor organisasional,
meliputi: komitmen manajemen, otoritas pembuatan keputusan, dan pelatihan.
Artinya pengukuran kinerja harus komprehensif agar tidak terjadi kekeliruan
sewaktu menilai sebuah instansi pemerintah. Jika dilakukan tanpa ada ukuran
yang jelas, maka rekomendasi sebagai bagian dari sistem pengukuran kinerja bisa
sangat buruk dan membahayakan intansi atau organisasi.
Pengukuran kinerja termasuk dalam standar untuk mengamati
dinamika yang ada di sebuah organisasi atau instansi pemerintahan. Dwiyanto (Ariany & Putera, 2013)
mengemukakan beberapa indikator yang dapat digunakan dalam mengukur kinerja
birokrasi pelayanan publik, yaitu: (1) Produktivitas. Konsep produktivitas
tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan; (2)
Kualitas Layanan. Kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan
indikator kinerja organisasi publik, sebab akses untuk mendapatkan informasi
mengenai kualitas layanan relatif sangat mudah dan murah; (3) Responsivitas.
Responsivitas dimasukan sebagai salah satu indikator kinerja karena
responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam
menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;
(4) Responsibilitas. Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau
sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit; (5)
Akuntablitas. Konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat
seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan
kehendak masyarakat banyak.
Pendapat diatas mengidentifikasikan jika sistem pengukuran
kinerja memiliki beberapa indikator. Setiap indikator itu memiliki sistem pengukurannya
masing � masing. Misalkan akuntabilitas yang menilai sejauh mana proses
pertanggungjawaban dari instansi pemerintah kepada masyarakat tentang kebijakan
yang telah dilakukan. Masyarakat perlu untuk mengetahui alokasi anggarannya
berapa, jadwalnya kapan, dan juga prosesnya seperti apa. Komponen � komponen
ini yang dipenuhi dalam indikator penilaian kinerja pemerintahan melalui
indikator akuntabilitas. Begitupun dengan indikator-indikator lain dengan
karakteristiknya. Tetapi semua komponen dan indikator itu hanya befungsi untuk menghasilkan
pengukuruan kinerja yang komprehensif dari instansi pemerintahan.
Objek yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah BUMDes
Dile, sehingga peneliti merasa perlu menambahkan beberapa konsep atau teori
tentang BUMDes. Badan Usaha Milik Desa, selanjutnya
disebut BUM Desa, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha
lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa (Permen No 4 Tahun
2015).
BUMDes merupakan pilar kegiatan ekonomi di
desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan
komersial (commercialinstitution). BUMDes sebagai lembaga sosial
berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam
penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan sebagai lembaga komersial
bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal (barang
dan jasa) ke pasar. Dalam menjalankan usahanya prinsip efisiensi dan
efektifitas harus selalu ditekankan. BUMDes sebagai badan hukum,
dibentuk berdasarkan tata perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai
dengan kesepakatan yang terbangun di masyarakat desa. Dengan demikian,
bentuk BUMDes dapat beragam di setiap Desa di Indonesia. Ragam bentuk
ini sesuai dengan karakteristik lokal, potensi, dan sumberdaya yang
dimiliki masing-masing desa. Pengaturan lebih lanjut tentang BUMDes diatur melalui
Peraturan Daerah (Perda) (Buku Panduan Pendirian Dan Pengelolahan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes),
2007).
Peneliti mengakui ada banyak konsep dari pengukuran kinerja.
Tetapi dalam kasus ini, peneliti berfokus
pada pendekatan penilaian kinerja yang dimotori oleh. Pendapat dari kedua ahli
tersebut menjadi konsep utama yang dijadikan sebagai pisau analisa untuk
memahami faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja BUMDes Dile. Donald S. Van
Meter dan Carl E. Van Horn (Puwanto, Agus & Ratih, 2015)
menjelaskan terdapat lima (5) variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi. Pertama,
standar dan sasaran kebijakan harus jelas terukur sehingga dapat
direalisasikan. Apa bila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi
multiintepretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara agen implementasi. Kedua,
Implementasi kebijakan perlu dukungan
sumberdaya baik manusia ( human resources)
maupun sumberdaya non-manusia (non-human
resources). Ketiga, Hubungan antar organisasi. Dalam banyak
program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dengan instansi lain. Untuk
itu, diperluakan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan
suatau program. Keempat, Karakteristik agen pelakasana.� Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana
adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang
terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatau
program. Kelima, Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel
ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan; sejauhmana kelompk-kelompok kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni
mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada dilingkungan; dan
apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
Adapun penelitian terdahulu yang serupa
dengan penelitian ini. Penelitian tersebut ditulis oleh Alif Bus Reyndra dengan
judul penelitian �faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja badan usaha milik desa� (Rendra, 2018).
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dan dilakukan di dua desa
yaitu Desa Panggungharjo dan Desa Wonokromo. Faktor -faktor yang mempengaruhi
kinerja BUMDes berdasarkan penelitian tersebut adalah pertama,
kepimpinan yang harus memiliki kualitas manajerial untuk bisa menjalankan
BUMDes. Kedua, Sumber Daya Manusia yang diukur dari kemampuan pegawai
dalam menjalankan kewajiban dan tanggungjawab. Keterampilan juga belum begitu
terasah, meskipun penyuluhan telah diberikan. Jumlah penguruh BUMDes juga tidak
sesuai dengan kebutuhan, seperti yang terjadi di BUMDes Wonokromo. Ketiga, komunikasi
yang dibangun baik antara BUMDes dan pemerintah Desa atau BUMDes dengan
masyarakat. Komunikasi ini, saah satunya dibangun dengan memberikan trasparansi
dan penyuluhan tentang program-program
BUMDes yang ingin dijalankan.
Kebaharuan yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian terdahulu pertama terletak pada posisi pengambilan
teori. Teori yang digunakan peneliti menfokuskan pada standar dan sasaran
kebijakan, sehingga kinerja BUMDes bisa diukur melalui bagaimana kebijakan
tersebut diimplementasikan. Kedua, sumber daya yang tidak hanya dilihat
dari sisi kompetensi pengurus BUMDesnya saja, melainkan meninjau juga kesiapan
sumber daya alammnya, apakah bisa diproduksi atau dimanfaatkan untuk mendukung
pendapatan BUMDes. Selain dukungan sumber daya alam, kinerja BUMDes juga dapat
diteropong dari suplai finansial serta sarana dan prasarana. Karena kedua hal
tersebut berguna untuk mengoperasikan segala bentuk kegiatan yang ingin
dijalankan BUMDes. Sedangkan yang terakhir adalah kondisi sosial yang
dititiberatkan kepada respon masyarakat dalam mendukug BUMDes. Karena dukungan
masyarakat ini sangatlah penting agar BUMDes tidak menjadi murni perusahaan
yang hanya mengejar keuntungan, melainkan BUMDes hadir untuk memberdayakan
masyarakat setempat. Sedangkan untuk karakteristik agen pelaksana dan hubungan
antara organisasi, menurut peneliti tidak jauh berbeda dari penelitian sebelumnya.
Kedua,
hasil dan temuan dilapangan juga berbeda didasarkan pada lokasi penelitian dan
juga keadaan masyarakat yang memang berbeda antara penelitian sebelummnya.
Penelitian ini dilakukan di Desa Dile, Kabupaten Ende yang hampir sebagian
besar pemahaman masyarakat tentang pentingnya BUMDes belum begitu merata.
Selain itu kepengurusan BUMDes sebagaian besar dibentuk secara spontan sebagai
bentuk paksaan dari pemerintah Kabupaten Ende untuk memuluskan jalannya UU Desa.
Sehingga berdampak kepada kinerja BUMDes yang memang belum begitu maksimal
karena penyiapan potensi sumber daya manusiannya, proses penyadaran kepada
masyarakat, dan juga BUMDes harus bersaing dengan usaha- usaha yang sudah
dirintis masyarakat Desa.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif menggunakan
lingkungan alamiah, dimana penelitian dilakukan pada situasi alamiah dalam
suatu keutuhan agar sumber data yang di dapat secara langsung bersifat
naturalistik, tidak manipulatif dan terbuka pada apapun yang akan timbul ke
depan (Simangunsong, 2016).
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu observasi,
wawancara, dan dokumentasi. Data tesebut dikumpulkan dari berbagai informan dan
selanjutnya
dilakukan proses analisa. Teknis analisis data menggunakan model Miles dan
Huberman (Simangunsong, 2016)
yang dilakukan secara interaktif terdiri dari reduksi
data (data reduction), penyajian data (data display), dan conclusion
Drawing/Verification.
Hasil dan Pembahasan
A.
Standar
dan
Sasaran Kebijakan
Standar dan
Sasaran menjadi awal dalam proses pelaksanaan kebijakan. Sebelum kebijakan
dilaksanakan, kebijakan tersebut harus dirumuskan dengan capaian-capaian yang
dibutuhkan. BUMDes Dile di bentuk pada tahun 2016 dengan acuan dan tuntutan
dari Pemerintah Daerah Ende melalui (Peraturan Daerah Kabupaten Ende, 2014). PERDA tersebut menginstrusikan bahwa setiap Desa
yang ada di Kabupaten Ende wajib memiliki BUMDes. Standar kebijakan ada melalui
PERDA Ende, sehingga pemerintah Dile membentuk BUMDes. Proses perumusan itu
salah satunya memilih pengurus BUMDes, tetapi dalam perjalanan pengurus tidak
dilantik yang mengakibatkan pelaksanaan kegiatan dan kebijakan untuk
mengembangkan BUMDes tidak direalisasikan. Standar dan visi akhirnya menjadi
kabur yang berakibat pada BUMDes berjalan di tempat. Secara kepengurusan belum
menemukan titik terang, padahal seharusnya persoalan pengurus harus sudah
selesai. Pengurus inilah yang akan menjadi motor penggerak BUMDes. Terkait
standar dan sasaran ini Van Meter dan Van Horn menjelaskan bahwa apa bila
standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiintepretasi dan
mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi. Hal demikian
terjadi pada polemik BUMDes Dile ketika pembentukan awal. Pengurus yang dipilih
secara aklamasi tidak memiliki SK kepengurusan. Ketidakjelasan proses
administratif ini selanjutnya mempengaruhi proses pengerjaan unit-unit usaha
yang sudah disepakati. Bahkan sampai
pada realisasi anggaran yang tersendat-sendat dikarenakan proses
pertanggungjawaban harus membutuhkan pengurus yang secara aturan legal. Tetapi jika itu tdak ada, maka proses
pertanggungjawaban menjadi terhambat. Meskipun pengurus telah diganti, tetapi
laporan pertanggungjawaban pada periode tidak ada realisasi.
Terkait dengan
unit usaha yang menjadi pilihan dan standar untuk dikelola, BUMDes Dile
memiliki tiga (3) program unit usaha:
Tabel 1
Pogram
Unit Usaha BUMDes Dile
No |
Unit
Usaha |
Status |
1 |
Koperasi |
Tidak
Beroperasi |
2 |
Pengadaan Barang dan Jasa (tenda dan kursi) |
Beroperasi |
3 |
Pembelian Komoditi |
Tidak
Beroperasi |
Data: di olah
dari profil Bumdes, 2016
Program tabel 1 adalah unit
usaha yang telah disepakati dalam MUSDes (Musyawarah Desa) untuk menentukan jenis-jenis
usaha yang dibutuhkan oleh masyarakat dan disesuaikan dengan potensi lokal yang
ada. Artinya standar dan sasaran yang ingin dicapai sudah ada melalui program
unit usaha BUMDes. Tetapi pada kenyataannya hanya satu (1) unit usaha yang
benar-benar berjalan. Kedua unit usaha lain, yaitu koperasi dan pembelian
komoditi tidak berjalan. Tidak berjalannya unit usaha itu dikarenakan
penyertaan modal 50 juta hanya dialokasikan untuk unit usaha pengadaan barang
dan jasa (kursi dan tenda). Hal lain juga terjadi polemik internal antara
pengurus BUMDes dan pemerintah desa karena pelaporan yang tidak dibuatkan.
B. Sumber
Daya
Implementasi
program kerja tentunya membutuhkan dukungan sumber daya yang memadai, baik
sumber daya manusia atau sumber daya finansial dan SARPRAS. Secara infratruktur
bangunan, BUMDes Dile belum memiliki dan masih menggunakan kantor pemerintah
desa untuk aktivitas. Anggaran untuk pembangunan kantor BUMDes sampai saat ini
tidak pernah ada, apa lagi dengan polemik internal yang belum terselesaikan
membuat pembahasan pembangunan kantor dihentikan sementara. Sebagian besar
aktivitas diskusi dan perencaan program BUMDes dilakukan di rumah ketua BUMDes.
Memang secara prosedur pemandangan ini tidak elok dikarenakan bisa saja terjadi
politisasi kegiatan atau program. Sumber daya berikut yang mendukung program �
program di unit usaha BUMDes Dile adalah Sumber Daya Alam. Data berikut ini
akan membantu menjawab alasan mengapa unit usaha pembelian komoditi� masuk dalam program BUMDes, meskipun realisasinya tidak dijalankan.
Tabel 2
Data Komoditi Desa Dile
No |
Uraian |
Luas/Ha |
1 |
Kemiri |
33 Ha |
2 |
Kopi |
5 Ha |
3 |
Cengkeh |
1,5 Ha |
4 |
Kakao |
1,5 Ha |
5 |
Padi Sawah |
13,5 Ha |
Suber: Data profil Desa
Dile
Data tabel 2 sebenarnya
menunjukkan alasan
mendasar mengapa unit usaha komoditi perlu ada di dalam tubuh BUMDes. Penentuan unit-unit usaha dilakukan di dalam musyawarah Desa dengan
mempertimbangkan potensi lokal. Tetapi dalam perjalanannya, unit usaha komoditi
ini tidak berjalan. Banyak tantangan yang di hadapi, misalkan berbenturan dengan usaha-usaha masyarakat yang memang konsentrasinya pada
jual beli komoditi. Berdasarkan literatur, seharunya BUMDes hadir tidak
mematikan usaha-usaha yang sudah ada di tengah masyarakat. Sebaliknya BUMDes
harus membantu agar unit usaha yang sudah dirintis masyarakat tetap eksis dan
terus berjalan.
Sebagian besar
potensi lokal yang ada di Dile adalah kemiri. Tetapi masyarakat tidak menjual
ke BUMDes, melainkan langsung ke pengumpul-pengumpul yang ada di Desa atau
langsung di jual ke Kota. Metode penjualan ini berimbas kepada penentuan harga yang hanya ditentukan sepihak oleh
pengumpul atau tempat masyarakat menjual komoditi. Sebenarnya ini memberatkan
masyarakat dengan kondisi harga yang tidak selalu stabil, terkadang masyarakat
terpaksa langsung menjual hasil panen kemirinya. Meskipun mereka tahu bahwa
harga yang ditawarkan tidak sesuai dengan ekspetasi mereka. Sehingga bisa
dilihat jika perputaran ekonomi pedesaan tidak ditentukan oleh masyarakat
sendiri, melainkan oleh aktor-aktor lokal yang notabenenya adalah orang-orang
yang mendedikasikan dirinya sebagai perantara penjualan hasil kemiri/komoditi.
Celah inilah yang seharunya diisi oleh BUMDes untuk meningkatkan ekonomi
masyarakat. Tetapi hasilnya nihil, karena BUMDes Dile masih sibuk dengan urusan-urusan
internal dan administratif yang belum juga selesai.
Sumber Daya
Manusia juga menjadi salah satu point dalam pengelolahan BUMDes. Oleh karena
itu, kinerja BUMDes Dile tidak semata � mata hanya melihat komposisi sumber
daya alamnya saja. Tetapi juga harus meneropong bagaimana kesiapan dan
infrastruktur manusianya. Di dalam regulasi dijelaskan bahwa pengurus BUMDes
minimal berijazah SMA. Data berikut ini akan menjelaskan komposisi pengurus
BUMDes Dile dari perspektif kepemilikan ijazah terakhir.
Tabel 3
Profil
Pengurus BUMDes
No |
Nama |
Jabatan |
Pendidikan
Terakhir |
1 |
Ibrahim
Pay |
Ketua
BUMDes |
SMA |
2 |
Hendrikus
Mesi |
Sekretaris
|
SMA |
3 |
Nikolaus
Sae |
Bendahara |
SMA |
Sumber: data diolah dari hasil penelitian
Data tabel 3 menunjukkan bahwa syarat ijazah terakhir memang terpenuhi,
tetapi yang menjadi persoalan adalah kepengurusan ini tidak memiliki
legitimasi. Karena masih belum memilki SK yang sah. Ditambah lagi dengan
pembagian pekerjaan yang tidak maksimal karena dilapangan segala macam urusan
hanya di jalankan oleh ketua BUMDes. Pengurus BUMDes lain terkesan tidak
mengerjakan TUPOKSI nya untuk mengelola BUMDes. Dan kepengurusan ini sangat
minim dikarenakan koordinator dari masing-masing unit belum ada, sehingga pengelolahan
unit-unit usaha masih ditangani oleh pengurus inti.
C. Hubungan
Antar Organisasi
Pelaksanaan
program kerja tidak hanya di jalankan oleh satu unit/organisasi saja. Secara
ideal setiap pencapaian implementasi program kerja yang baik selalu berasal
dari koordinasi antara satu unit dengan unit yang lain atau organisasi dengan organisasi
yang lain. Ini juga berlaku untuk BUMDes dile yang membutuhkan dukungan dari
unit/organisasi lain yang ada di Desa.
Dari beberapa
kutipan wawancara ditemukan bahwa koordinasi dan kerjasama antara BUMDes dengan
organisasi terkait seperti pemerintah desa, BPD, dan masyarakat yang ada di
Desa berjalan dengan baik. Tetapi pada kenyataannya, BUMDes Dile �mati suri�
dari tahun 2018 sampai sekarang. Fakta ini menunjukan bahwa memang ada
ketidakberesan secara internal dala mengelola BUMDes Dile. Mulai dari belum
adanya SK pengurus, pergantian pengurus yang tidak transparan, dan pelaporan keuangan
BUMDes yang masih tersendat-sendat. Artinya bahwa, masing-masing organisasi di
desa yang seharusnya mampu mengontrol kinerja BUMDes tidak juga berjalan
semestinya. Atau sebaliknya bahwa BUMDes �enggan� untuk inklusif dengan
organisasi atau unit lain yang ada di desa. Yang pada akhirnya membuat BUMDes
Dile berjalan ditempat.
D. Karakteristik
Agen Pelaksana
Temuan paling
menonjol dari indikator ini adalah program pelatihan yang tidak berjalan dan
kesesuain program pelatihan dengan orang yang dipilih. Pengembangan sumber daya
manusia pernah dibuat ketika BUMDes Dile selesai di bentuk pertama kali.
Pelatihan itu langsung berada di bawah pemerintah daerah melalui Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa (BPMD) kala itu dan sekarang sudah berubah
menjadi Dinas. Program pelatihan ini bertujuan untuk mengelola BUMDes sesuai
dengan kaidah-kaidah regulasi agar BUMDes menjadi pilar ekonomi pedesaan. Untuk
mencapai itu, maka kebutuhan akan komposisi pengurus mulai dari keterampilan,
skill, kualitas, dan lain -lain menjadi kunci dari pelatihan itu. Tetapi
sayangnya, program ini tidak diikuti oleh pengurus BUMDes yang telah di pilih
melainkan utusan tersebut berasal dari perangkat Desa.
Kesalahan ini
berimbas kepada kinerja BUMDes dile yang membuat pengurusnya kebingunan untuk
melakukan sesuatu. Fakta ini menunjukan bahwa secara organisasi antar BUMDes
dan pemerintah desa sebenarnya tidak dijalankan secara harmonis. Ada rasa tidak
saling percaya antara satu organisasi dengan organisasi lain. Yang kemudian berimbas pada
banyak hal yang berkaitan dengan pengembangan BUMDes Dile untuk menjadi pilar
ekonomi dan sosial di Desa.
E. Kondisi
Sosial
Secara umum
keterlibatan masyarakat Desa sudah kelihatan semenjak sosialisasi dilakukan
oleh pemerintah desa untuk mendirikan BUMDes. Antusias masyarakat desa ini
tidak datang dari kekosongan, melainkan mereka berharap bahwa kelak BUMDes
benar-benar dapat
membantu dari sisi ekonomi maupun sosial. �Program yang ditawarkan pun berasal dari
potensi lokal yang sangat di buhtukan oleh masyarakat, seperti jual beli
komoditi, pengadaan kursi dan tenda jadi, dan perkiosan. Tiga hal pokok itu melekat
pada kehidupan sehari-hari
masyarakat desa Dile.
Pengembangan BUMDes
Dile tentunya harus menyentuh aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Hal ini
menjadi penting dikarenakan kedua aspek tersebut adalah konsekuensi logis dari
setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Desa. Biasanya, kepercayaan
masyarakat timbul jika sebuah program menyentuh kedua aspek itu. Proses
sosialisasi memang harus dilakukan, tetapi disisi lain tidak boleh hanya
sebatas pada level sosialisasi. Harus implementasi yang nyata oleh BUMDes agar
kesejahteraan bisa dirasakan masyarakat Desa Dile. Tetapi kalau hanya sebatas
sosialisasi, tentunya tidak akan memecahkan masalah masyarakat. Apa lagi
mengurangi ketidakpercayaan masyarakat.
Kepercayaan
masyarakat tidak hanya timbul dari aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga aspek
politik. Aspek ini terkait dengan pemahaman masyarakat terhadapa pentingnya
BUMDes. Pemahaman menjadi penting agar masyarakat bisa dengan cerdas
menyampaikan aspirasi mereka. Selain itu, masyarakat akan lebih sering
bekerjasama dengan BUMDes karena akan menguntungkan dan bukan merugikan. Masih
ada sebagaian masyarakat yang beranggapan bahwa BUMDes tidak menguntungkan
mereka, apa lagi secara ekonomis. Padahal BUMDes hadir bukan sekedar mencari
untung, melainkan mengembangkan ekonomi kolektif agar setiap masyarakat di Desa
dapat sejahtera. Baik dari aspek sosial, politik, dan ekonomi.
Kesimpulan
Temuan-temuan dalam penelitian ini
mengindikasikan bahwa pengelolahan BUMDes Dile belum begitu optimal baik secara
organisasi maupun administratif. Ini menjadi pekerjaan rumah tidak hanya
pengurus BUMDes, melainkan juga seluruh stekholders yang ada di desa untuk
membantu dari berbagai aspek agar BUMDes tersebut dapat berjalan sesuai relnya.
Bisa saja ada renovasi yang dilakukan untuk menghasilkan manejemen pengelolahan
BUMDes yang lebih baik. �Karena sampai
hari ini BUMDes Dile masih belum menunjukan eksistensinya agar masyarakat
percaya bahwa tujuan hadirnya BUMDes untuk membantu masyarakat baik secara
ekonomi dan sosial. Tapi dengan keadaanya sekarang membuat masyarakat sedikit
mengurangi kepercayaannya kepada BUMDes.
BIBIOGRAFI
Aini, Nurul. (2020). Gambaran Kinerja Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di
Kabupaten Pati. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah, 18(2), 2.
Andri Donal Putera. (2018). �Alokasi Dana Untuk Tahun 2019 Akan
Dinaikan�, diakses dari.
Ariany, Ria, & Putera, Roni Ekha. (2013). Analisis Kinerja Organisasi
Pemerintah dalam Memberikan Pelayanan Publik di Kota Pariaman. MIMBAR:
Jurnal Sosial Dan Pembangunan, 29(1), 33�40. Google Scholar
Buku Panduan Pendirian Dan Pengelolahan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
(2007). Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Kajian Dinamika Sistem
Pembangunan (PKSDSP), Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang.
Firmansyah. (2018). �2019, Desa Diharapkan Dapat Dana Hingga Rp 1,3
Miliar Per Tahun�, diakses dari.
Hardiyansyah, Hardi. (2013). Sistem Administrasi dan Manajemen Sumber
Daya Manusia Sektor Publik dalam perspektif otonomi daerah. Yogyakarta:
Gava Media. Google Scholar
Madjodjo, Farid, & Dahlan, Fadli. (2020). Analisis kinerja Badan Usaha
Milik Desa dalam pengelolaan anggaran untuk meningkatkan pengolahan potensi
desa di Desa Akedotilou. Indonesia Accounting Journal, 2(2),
187�195. Google Scholar
Peraturan Daerah Kabupaten Ende. (2014). No 7 tentang pedoman dan
pembentukan pengelolahan Badan Usaha Milik Desa.
Puwanto, Agus & Ratih, Dyah. (2015). Implementasi Kebijaan Publik
(Konsep dan Aplikasinya Di Indonesia). Yogyakarta: Gava Media. Google Scholar
Raihanah Daulay, Efri Kurnia, Irvan Maulana. (2019). Analisis Faktor � Faktor Yang Mepengaruhi
Kinerja Karyawan Pada Perusahaan Daerah Di Kota Medan. Sumatra Utara,
Indonesia: Proseding Seminar Nasional Kewirausahaan, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara.
Rendra, Alif Bus. (2018). �Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Badan
Usaha Milik Desa (studi kasus di BUMDes Panggugharjo, Kecamatan Sewon dan
BUMDes Wonokromo, Kecamatan Pleret.� Universitas Muhammadyah Yogyakarta.
Retrieved from http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/29281
Riant, Nugroho. (2012). Public
Policy: Dinamika Kebijakan, Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan. Jakarta, Elex Media Komputindo. Google Scholar
Simangunsong, Fernandes. (2016). Metodologi
Penelitian Pemerintahan. Alfabeta,
Bandung. Google Scholar
Sofyani, Hafiez, & Akbar,
Rusdi. (2013). Hubungan faktor internal institusi dan implementasi sistem
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) di Pemerintah Daerah. Jurnal
Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 10(2), 184�205. Google Scholar
Suharto, Edi. (2015). Analisis kebijakan publik: panduan praktis
mengkaji masalah dan kebijakan sosial. Google Scholar
Wahyuni, Endang Sri, Taufik, Taufeni, & Ratnawati, Vince. (2016).
Pengaruh budaya organisasi, locus of control, stres kerja terhadap kinerja aparat
pemerintah daerah dan kepuasan kerja sebagai variabel intervening (Studi
empiris pada Pemerintah Kabupaten Bengkalis). Jurnal Manajemen, 20(2),
189�206. Google Scholar
Copyright
holder: Fidentus Didakus Darma Saputra (2021) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is
licensed under: |